BAB III PEMBAHASAN
A. Kewenangan
Badan Arbitrase
Syariah
Nasional
(BASYARNAS)
Terhadap Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Sebelum Putusan MK No. 93/PUU-X/2012 Arbitrase merupakan salah satu alternatif penyelesaian sengketa bagi para pihak. Banyak sekali para pelaku bisnis memilih Arbtrase sebagai jakur penyelesaian sengketa mereka.1 Menurut Subekti Arbitrase adalah penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang hakim atau para hakim yang berdasarkan persetujuan bahwa mereka akan tunduk kepada atau menaati keputusan yang diberikan oleh hakim atau para hakim yang mereka pilih.2 Sebelum Undang-Undang tentang Arbitrase berlaku, ketentuan mengenai arbitrase diatur dalam Pasal 615 sampai dengan Pasal 651 Reglemen Acara Perdata (Reglement op de Rechtsvordering). Selain itu, dalam Pasal 58 UndangUndang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan 1
Hasanuddin Rahman, “Contract Drafting Seri Keterampilan Merancang Kontrak Bisnis” (Bandung: Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, 2003). h. 337. 2 Hasanuddin Rahman, h. 341.
53
54
bahwa penyelesaian perkara di luar pengadilan melalui prosedur yang disepakati para pihak tetap diperbolehkan.3 Yahya Harahap menegaskan bahwa keberadaan arbitrase itu sebelum adanya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, bertitik tolak dari Pasal 377 HIR atau Pasal 705 R.Bg, pada ketentuan Pasal 377 HIR tersebut telah memberikan kemungkinan dan kebolehan bagi para pihak yang bersengketa untuk membawa dan menyelesaikan perkara yang timbul di luar jalur pengadilan apabila mereka menghendakinya sebagaimana yang dituangkan dalam akad perjanjian yang dibuat berdasarkan kesepakatan sebelumnya. Penyelesaian dan keputusannya dapat mereka serahkan sepenuhnya kepada juru pisah yang lazim dikenal dengan nama arbitrase.4 Badan Arbitrase Syari`ah Nasional (BASYARNAS) adalah lembaga arbitrase permanen yang didirikan oleh MUI5 yang berfungsi menyelesaikan kemungkinan terjadinya sengketa muamalah yang timbul dalam hubungan perdagangan, industri, keuangan, dan jasa. Bila melihat kedudukan, tugas, dan wewenang antara Dewan Pengawas Syariah (DPS) dan BASYARNAS adalah berbeda, namun kedua lembaga ini saling mengisi. DPS merupakan bagian integral dalam struktur Lembaga Keuangan Syariah (LKS), sementara BASYARNAS berdiri di luar struktur dan berfungsi sebagai instrumen hukum yang menangani perselisihan terhadap LKS.6
3
Hasanuddin Rahman, h. 340. Yahya Harahap, “Arbitrase Komersial Internasional” (Jakarta: Pustaka Katini, 1991). h. 21-22 5 SK. No. Kep-09/MUI/XII/2003 perubahan dari BAMUI menjadi BASYARNAS 6 Wirdyaningsih, h. 294 dalam Rahayu Hartini., “Kedudukan Fatwa MUI Mengenai Penyelesaian Sengketa Melalui BASYARNAS Pasca Lahirnya UU. No. 3 Tahun 2006 Tentang Pengadilan 4
55
Apabila lembaga arbitrase yang ditunjuk tidak mampu menyelesaikan persoalan, maka jalan terakhir adalah maju bersama di muka persidangan. Peradilan Umum pada awalnya adalah pemutus dari sengketa ini, karena; (1) kompetensi absolut (2) kepentingan umum akibat kepentingan politik terhadap a priori umat Islam yang berakibat mengganggu sistem perbankan syari`ah. Akan tetapi kelemahan utamanya adalah pada Hakim di Pengadilan Negeri tidak banyak yang mengerti tentang konsep sistem LKS.7 Ada tiga alasan yang melatarbelakangi berdiri dan beroprasinya Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS). Pertama, alasan teks al-Qur’an dan Sunnah, antara lain adanya ayat al-Qur’an yang menganjurkan penunjukan hakam apabila ada perselisihan dalam rumah tangga, seperti tertuang di dalalm QS alNisa (4) : 35. Kedua, dalam sejarah Islam, yang biasa disebut sebagai badan tahkim (arbitrase). Perintah tahkim sendiri termasuk qath’i al-wurud di dalam alQur’an,
yaitu
untuk
menyelesaikan
perselisihan,
mendamaikan
dengan
musyawarah; yaitu penyelesaian sengketa secara ishlah.8 Ketiga, alasan kepentingan sosio-ekonomi ialah bahwa dalam kondisi perekonomian umat Islam Indonesia yang semakin meningkat dan berkembang tentu akan ditemukan
Agama “ Naskah Publikasi Hasil Penelitian, (Malang: Universitas Muhammadiyah Malang, 2007) , h.13. 7 Wirdyaningsih, h. 294-295 dalam Rahayu Hartini., “Kedudukan Fatwa MUI Mengenai Penyelesaian Sengketa Melalui BASYARNAS Pasca Lahirnya UU. No. 3 Tahun 2006 Tentang Pengadilan Agama “ Naskah Publikasi Hasil Penelitian, (Malang: Universitas Muhammadiyah Malang, 2007), h. 13 8 Sesuai dengan tujuan pendiriannya, badan ini bertugas untuk mengadakan ishlah (perdamaian) dan memutuskan perkara muamalah/perdata secara adil, cepat, murah, final, mengikat dan tertutup. Prosedur BAMUI yang terdiri dari 6 BAB, 37 Pasal yang mencakup tata tertib dalam prosedur pengajuan, pemeriksaan dan keputusan suat sengketa. Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve. 1996) vol. II h. 164. sebagaimana dalam Jaih Mubarok, “Hukum Ekonomi Syariah – Akad Mudharabah” (Bandung: Fokus Media, Agustus 2013). h. 81.
56
berbagai persoalan dan sengketa yang memerlukan penyelesaian yang cepat dan efisien agar tidak mengganggu perputaran roda perekonomi umat.9 Eksistensi Badan Arbitrase Syariah Nasional dibentuk karena adanya kekosongan hukum, dan dalam rangka: a. Menyelesaikan perselisihan atau sengketa-sengketa keperdataan dengan prinsip mengutamakan usaha-usaha perdamaian (islah) sebagaimana yang dimaksud oleh QS. al-Hujurat ayat: 9 dan QS. An-Nisa ayat: 128. b. Lahirnya Badan Arbitrase Syariah Nasional ini, menurut Prof. Mariam Darus Badrulzaman, sangat tepat karena melalui Badan Arbitrase tersebut, sengketa-sengketa bisnis yang operasionalnya menggunakan Hukum Islam dapat diselesaikan dengan mempergunakan Hukum Islam. c. Adanya Badan Arbitrase Syariah Nasional sebagai suatu lembaga permanen, berfungsi untuk menyelesaikan kemungkinan terjadinya sengketa perdata diantara bank-bank Syariah dengan para nasabahnya atau pengguna jasa mereka pada khususnya dan antara sesama umat Islam yang melakukan hubungan keperdataan yang menjadikan Hukum Islam sebagai dasarnya, pada umumnya adalah merupakan suatu kebutuhan yang sungguh-sungguh nyata. Dikatakan selanjutnya bahwa Basyarnas akan lebih menitikberatkan pada tugas dan fungsinya untuk mencari titik temu diantara para pihak yang tengah berselisih melalui proses yang digali dari tujuan Hukum Islam disyariatkan menuju jalan perdamaian hakiki (islah), tanpa merasa ada pihak yang dimenangkan atau dikalahkan. d. Memberikan penyelesaian yang adil dan cepat dalam sengketa ekonomi syariah yang timbul dalam perdagangan, industri, jasa dan lain-lain yang erat kaitannya dengan bisnis syariah. e. Atas permintaan pihak-pihak dalam suatu perjanjian, dengan memberikan suatu pendapat yang mengikat mengenai suatu persoalan berkenaan dengan perjanjian tersebut. 10 Di Indonesia, penyelesaian sengketa melaui jalur non litigasi diatur dalam satu pasal, yakni Pasal 6 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
9
Ensiklopedi Hukum, h. 163 sebagaimana dalam Jaih Mubarok, “Hukum Ekonomi Syariah – Akad Mudharabah” (Bandung: Fokus Media, Agustus 2013) h. 81 10 Al Fitri, Artikel “Badan Arbitrase Syariah Nasional dan Eksistensinya” http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/BADAN%20ARBITRASE%20SYARIAH%20NASIONAL.pd f h.25. diakses pada tanggal 7 Desember 2013.
57
Alternatif Penyelesaian Sengketa11 sebelum Putusan MK No. 93/PUU-X/2012 yang menegaskan bahwa penjelasan pasal 52 Ayat (2) UU Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Pada prinsipnya dalam sengketa perbankan syariah pihak-pihak yang bersengketa diberi kebebasan untuk menentukan mekanisme penyelesaian sengketa yang dikehendaki sesuai prinsip syariah atau hukum Islam yang termuat dalam kesepakatan tertulis antara Bank Syariah dengan pihak lain (nasabah) yang memuat adanya hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak yang selanjutnya kesepakatan tertulis ini dituangkan dalam bentuk akad dan ketentuan ini sesungguhnya sudah diatur dalam Pasal 55 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UndangUndang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah dan Pasal 49 huruf (i) Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Perubahan Terhadap UndangUndang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yang memberikan tugas dan kewenangan kepada pengadilan di lingkungan Peradilan Agama untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah. Sebaliknya jika sudah ditentukan klausul arbitrase, maka kewenangan untuk menyelesaikan sengketa kepada Badan Syariah Nasional (BASYARNAS).
11
Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa disebutkan: “Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata diluar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.” Pada dasarnya para pihak diberikan kebebasan untuk menentukan sendiri cara dan proses pemeriksaan sengeketa yang mereka kehendaki untuk dilaksanakan oleh arbiter yang telah ditunjuk atau diangkat tersebut. Penentuan tersebut harus dilakukan secara jelas dan tidak boleh bertentangan dengan apa yang telah diatur dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999.
58
Penyelesaian sengketa
ekonomi
syariah
secara litigasi
menjadi
kewenangan absolut Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama, karena para pihak tidak boleh memperjanjikan lain akibat terikat dengan Undang-Undang yang telah menetapkan adanya kekuasaan (kewenangan) mutlak (absolut) bagi suatu badan peradilan untuk menyelesaikan sengketa namun secara non litigasi para pihak dibebaskan untuk membuat pilihan forum (choice of forum) Secara sistematis pilihan forum hukum sesuai dengan akad adalah pilihan kedua jika para pihak tidak sepakat menyelesaikan sengketa melalui Pengadilan Agama. Dengan demikian pilihan forum hukum untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah harus secara jelas tercantum di dalam akad (perjanjian). Para pihak harus bersepakat memilih salah satu forum hukum dalam penyelesaian sengketa bilamana para pihak tidak ingin menyelesaikan sengketanya melalui Peradilan Agama, karena akad (perjanjian) merupakan Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya sebagaimana ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata (asas pacta sunt servanda), namun suatu akad tidak boleh bertentangan dengan Undang- Undang, terlebih lagi Undang-Undang yang telah menetapkan adanya kekuasaan mutlak bagi suatu badan peradilan yang mengikat para pihak yang melakukan perjanjian. Oleh sebab itu kejelasan dalam penyusunan perjanjian merupakan suatu keharusan penyelesaian sengketa (settlement dispute option), termasuk menyelesaikan sengketanya melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional yang putusannya bersifat final dan binding. Kewenangan
Badan
Syariah
Nasional
(BASYARNAS)
adalah
menyelesaikan sengketa perdata secara Islam, baik antara bank syariah dan
59
nasabahnya, maupun antara bank-bank syariah. Basyarnas didirikan pada tahun 1993, atas prakarsa Majelis Ualama Indonesia (MUI), dalam bentuk badan hukum berupa yayasan dengan Akte Notaris Nomor : 175, Notaris Yudo Paripurno.12 Penyelesaian melalui arbitrase (Basyarnas) dapat dilakukan apabila terjadi kesepakatan dan dicantumkan dalam akta/akad sejak awal sebelum terjadi sengketa disebut “pactum compromittendo” Atau dibuat ketika terjadi sengeta akta kompromis. “Persetujuan untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase seperti pada ayat (1) dimuat dalam satu dokumen yang ditandatangani oleh para pihak”. Basyarnas mempunyai kewenangan menyelesaikan secara adil dan cepat sengketa muamalah (perdata) yang timbul dalam bidang perdagangan, keuangan, industri, jasa dan lain-lain, sesuai dengan peraturan prosedur dan Putusan arbitrase di basyarnas bersifat final (terakhir)dan binding (mengikat). Sejak tumbuh dan berkembangnya aktifitas perbankan syariah medio tahun 1998 penyelesaian sengketa perbankan syariah rata-rata dilakukan melalui proses Arbitrase oleh Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) yang kemudian berubah menjadi Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) karena rata-rata akad (perjanjian) antara Bank Syariah dengan nasabahnya selalu mencantumkan
arbitration
clause
dan
biasanya
apapun
putusan
dari
BASYARNAS ini bersifat final dan binding atau sebagian kecil melalui proses litigasi di Pengadilan Negeri. Namun sejak lahirnya Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama muncul dispute settlement option (pilihan penyelesaian sengketa
12
Jaih Mubarok, h. 82
60
yang baru, karena Pasal 49 huruf (i) undang-undang ini memberikan tugas dan kewenangan penyelesaian sengketa ekonomi syariah termasuk di dalamnya perbankan syariah kepada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama.13 Di saat masih hangatnya pembicaraan mengenai kewenangan baru Pengadilan Agama termasuk di dalamnya penanganan terhadap sengketa Perbankan Syariah lahir Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang dalam salah satu bab dan pasalnya yaitu Bab IX Pasal 55 memunculkan mekanisme penyelesaian sengketa apabila terjadi sengketa (dispute) antara pihak bank syariah dengan nasabah. Syafi’i Antonio menyatakan dengan adanya pilihan forum (choice of forum) yang dibuka oleh ketentuan Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 dan penjelasannya kejadian conflict of dispute settlement (pertentangan mengenai lembaga penyelesaian sengketa) ini sudah belasan atau malah puluhan kali terjadi baik antara BASYARNAS dengan Pengadilan Negeri atau antara Basyarnas dengan Pengadilan Agama atau antara Pengadilan Agama dengan Pengadilan Negeri, yang mungkin muncul karena tidak terpenuhinya kepentingan para pihak atau hasil dari penafsiran masing-masing pihak terhadap ketentuan Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 dan penjelasannya.tersebut.14
13
Muhammad Iqbal, “Implikasi Hukum Terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012”, http://www.ptamakassarkota.go.id/artikel/Implikasi%20Hukum%20Terbitnya%20Putusan%20Ma hkamah%20Konstitusi.pdf diakses pada tanggal 7 Desember 2013. h. 3-4 14 Majalah Konstitusi, “Laporan Utama” edisi No. 79 September 2013 h. 2
61
B. Kewenangan
Badan Arbitrase
Syariah
Nasional
(BASYARNAS)
Terhadap Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Pasca Putusan MK No. 93/PUU-X/2012 Peradilan agama yang memiliki kompetensi absolut menjadi tidak lagi absolut menurut pendapat beberapa para ahli yakni dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tetang Perbankan Syariah. Pendapat tersebut didasari pada Pasal 55 Undang-Undang Perbankan Syariah yang memberikan pengaturan tersendiri tentang penyelesaian sengketa perbankan syariah.15 Bunyi Pasal 55 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah ditegaskan bahwa: (1) Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama; (2) Dalam hal pada pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad; (3) Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan Prinsip Syariah. Dalam penjelasan Pasal 55 Ayat (2) disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad” adalah upaya melalui: a. Musyawarah; b. Mediasi perbankan; c. Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYRANAS) atau lembaga arbitrase lain; dan/atau d. Melalui pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.16
15 16
Khotibul Umam, Opini Konstitusi, h. 6 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
62
Sudah jelas bahwa dalam sengketa ekonomi syariah yang mencakup di dalamnya adalah persoalan perbankan syariah menjadi kewenangan Pengadilan Agama menurut Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Setelah diundangkan undang-undang tersebut, pengadilan agama tidak saja berwenang dalam menerima, memeriksa, memutus mengadili dan menyelesaikan sengketa di bidang perkawinan dan kewarisan, melainkan juga di bidang ekonomi syariah. Dalam Pasal 49 huruf i disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “Ekonomi Syariah” adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah, antara lain meliputi: a. Bank syariah; b. Lembaga keuangan mikro syariah; c. Asuransi syariah; d. Reasuransi syariah; e. Reksa dana syariah; f. Obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah; g. Sekuritas syariah; h. Pembiayaan syariah; i. Pegadaian syariah; j. Dana pension lembaga keuangan syariah; dan k. Bisnis syariah.17 Berdasarkan pada Pasal 49 huruf (i) yang menjelaskan beberapa kegiatan usaha dengan prinsip syariah, dapat disimpulkan bahwa Pengadilan Agama mempunyai kompetensi absolut dalam perkara di bidang ekonomi syariah, antara lain yakni sengketa di bidang perbankan syariah. Kompetensi absolut berarti bicara mengenai kewenangan lingkungan peradilan tertentu terhadap suatu jenis sengketa.18
17
Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama 18 Khotibul Umam, Opini Konstitusi, Majalah Konstitusi edisi No. 79 September 2013 h. 6
63
Selain itu, Hakim Mahkamah Konstitusi juga berpendapat : “Menurut Mahkamah, adanya pilihan tempat penyelesaian sengketa syariah dalam perbankan syariah justru telah menyebabkan terjadinya tumpang tindih kewenangan untuk mengadili. Hal ini jauh berbeda dengan isi UU Peradilan Agama yang secara tegas menyatakan peradilan agama diberikan kewenangan mutlak untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah, termasuk di dalamnya sengketa ekonimi syariah Mahkamah meyakini, proses penyelesaian sengketa syariah harus dilakukan di satu tempat sesuai kesepakatan awal kedua belah pihak, yang diharapkan tidak akan menimbulkan kerancuan tempat penyelesaian sengketa di kemudian hari. Merujuk sengketa yang dialami Pemohon, Mahkamah berkeyakinan, hukum sudah seharusnya memberikan kepastian bagi nasabah dan juga unit usaha syariah dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah. Nasabah dan unit usaha syariah berhak untuk mendapatkan kepastian sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945”.19
Pendapat di atas, yang membincang sengketa Pemohon yaitu Achmad Dadang, seorang Nasabah bank Muamalat, Cabang Bogor, Jawa Barat menegaskan bahwa adanya pilihan tempat penyelesaian (choice of forum) sengketa ekonomi syariah menyebabkan tumpang tindih kewenangan dan bertentangan dengan Pasal 28 Ayat (1) UUD 1945 serta benar-benar menguatkan bahwa Pengadilan Agama memiliki kewenangan Absolut untuk menyelesaikan persoalan sengketa ekonomis syariah. Implikasi dari adanya ketentuan penyelesaian sengketa perbankan syariah menurut Pasal 52 UU Perbankan Syariah berpotensi menimbulkan adanya ketidak pastian hukum. Sehingga hal tersebut mendorong salah satu nasabah dari PT Bank Muamalat yaitu Bapak Dadang Achmad mengajukan permohonan uji materiil terhadap Undang-Undang Perbankan Syariah, khususnya pada Pasal 55 ayat (2) dan (3), yakni melalui perkara Nomor 93/PUU-X/2012 perihal Pengujian Undang-
19
Majalah Konstitusi edisi No. 79 September 2013 h. 2
64
Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah terhadap UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia. Hal pokok dari perkara dinyatakan bahwa Pasal 55 dianggap merugikan nasabah dari PT Bank Muamalat, yakni terkait dengan penyelesaian sengketa yang dilakukan melalui pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.20 Arbitrase merupakan lembaga volunteer yang dipilih dan ditunjuk berdasarkan kesepakatan para pihak apabila mereka menghendaki penyelesaian persengketaan yang timbul diantara mereka diputus oleh seorang atau beberapa orang arbiter yang akan bertindak sebagai pemutus yang tidak memihak. Demikian putusan yang dihasilkan akan mengikat kepada para pihak (final dan binding).21 Penjelasan Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah22 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dengan demikian yang dinyatakan tidak berlaku melalui putusan MK Nomor 93/PUU-X/2012 adalah bagian penjelasan Pasal 55 ayat (2). Artinya bahwa Pasal 55 ayat (2) tetap dianggap tidak bertentangan dengan UndangUndang Dasar 1945.
20
Khotibul Umam, Opini Konstitusi, h. 6 M. Yahya Harahap, “Arbitrase”. edisi 2 Cet. 4. (Jakarta: Sinar Grafika, 2006). h. 83. 22 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867 21
65
Hal demikian menurut Khotibul Umam23 berpendapat bahwa : Pasal 55 ayat (2) tetap dianggap tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dapat dibenarkan, karena keberadaan pasal 55 ayat (2) mewadahi prinsip umum dalam penyelesaian sengketa muamalah, yakni berupa asas kebebasan berkontrak (al-hurriyah). Dengan adanya pasal 55 ayat (2),\ akan memberikan legitimasi bagi para pihak untuk memilih sarana penyelesaian alternatif (non-litigasi). Klausula Arbitrase merupakan pacta sunt servanda. Pacta berasal dari pactum, yang diambil dari bahasa Latin, yang berarti agreement (perjanjian) yang kemudian dapat dipahami setiap perjanjian yang sah (legal agreement) mengikat kepada para pihak atau agreement or promise must be kept, oleh karena itu para pihak harus menaatinya sebagai konsekuensi undang-undang yang berlaku kepada para pihak yang telah bersepakat seelumnya.24 Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1338 KUHPerdata : Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang, persetujuan harus dilaksanakan dengan iktikad baik.25 M Yahya Harahap menjelaskan hubungan antara pacta sunt servanda dengan Pasal 1338 KUHPerdata sebagai berikut : Jika makna pacta sunt servanda dihubungkan dengan ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata, serta dikaitkan dengan perjanjian, terdapat beberapa asas yang sangat esensial untuk diterapkan menentukan kewenangan yurisdiksi arbitrase : 1) setiap perjanjian mengikat kepada para pihak; 2) kekuatan mengikatnya serupa dengan kekuatan undang-undang; 3) hanya dapat ditarik kembali atas kesepakatan bersama para pihak. Oleh karena klausula arbitrase merupakan persetujuan atau kesepakatan yang dituangkan para pihak dalam perjanjian, asas-asas yang terkadung dalam proposisi pacta sunt servanda
23
Dosen Fakultas Hukum UGM, peneliti dan kontributor pada lembaga pusat Khasanah Hukum dan praktik bisnis syariah, Opini Konstitusi, h. 8 24 M. Yahya Harahap, “Arbitrase”. edisi 2 Cet. 4. (Jakarta: Sinar Grafika, 2006). h. 88. 25 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)
66
dan Pasal 1338 KUHPerdata berlaku sepenuhnya terhadap perjanjian arbitrase.26 Sudah jelas bahwa penyelesaian sengketa ekonomi syariah pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012 memberikan kewenangan kepada Badan Arbitrase Syariah nasional (BASYARNAS) untuk menangani kasus tentang sengketa ekonomi syariah. Hal ini senada dengan Muhammad Alim27 yang berpendapat bahwa : “selama ini belum pernah terjadi suatu kewenangan mutlak peradilan agama diserahkan kepada peradilan umum untuk mengadilinya. Yang justru terjadi, kewenangan mengadili perkara pidana yang merupakan kompetensi peradilan umum bagi penduduk beragama Islam di daerah provinsi Aceh, diadili oleh mahkamah syari’ah yang diemban oleh peradilan agama. Oleh karena itu penjelasan pasal 55 Ayat (2) huruf d, sudah sepantasnya dinyatakan bertentangan dengan konstitusi. Adapun penjelasan pasal 55 ayat (2) huruf a, huruf b dan huruf c Undang- Undang a quo, yang menentukan bahwa yang dimaksud dengan penyelesaian sengketa sesuai dengan akad adalah upaya musyawarah, mediasi perbankan, melalui badan Arbitrase syariah Nasional, menurut saya hal-hal tersebut merupakan upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dapat dibenarkan berdasarkan asas musyawarah, dengan syarat tidak melanggar ketentuan undang- undang dan sejalan dengan ketentuan syariah”.28
Dengan terbitnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012 yang menyatakan penjelasan Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, maka para pihak tidak lagi terpaku dalam menyelesaikan sengketanya secara non litigasi pada musyawarah, mediasi perbankan, arbitrase melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional atau lembaga arbitrase lainnya, tetapi dapat juga menempuh proses non-litigasi lainnya seperti
26
M. Yahya Harahap, h. 88. Hakim Konstitusi yang berpendapat berbeda (dissenting opinion) terkait putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012 28 Majalah Konstitusi, Laporan Utama, edisi No. 79 September 2013 h. 11 27
67
konsultasi, negosiasi (perundingan), konsiliasi, mediasi non mediasi perbankan, pendapat atau penilaian ahli.29 C. Kelebihan dan Kekurangan Kewenangan Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) terhadap Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Pasca Putusan MK No. 93/PUU-X/2012 1. Kelebihan Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) Arbitrase memiliki kelebihan dengan juga kekurangan berdasarkan penjelasan umum Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dijelaskan bahwa antara kelebihan arbitrase adalah: a) kerahasiaan para pihak dijamin; b) dapat menghindari kelambatan yang diakibatkan karena prosedural dan administratif; c) pihak-pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan, pengalaman serta latar belakang yang cukup untuk mengenai masalah yang disengketakan, jujur dan adil, d) pihak-pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase; dan e) putusan arbitrase merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan melalui tata cara atau prosedur yang sederhana dan langsung dapat dilaksanakan.30 Kelebihan utama arbitrase disbanding dengan pengadilan adalah sifat kerahasiaannya, karena keputusan arbitrase tidak dipublikasikan. Hal inilah yang sangat penting bagi para pebisnis, sebab masyarakat umum tidak mengetahui 29
Lihat Abdul Mannan, “Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah, Sebuah Kewenangan Baru Peradilan Agama” dalam Mimbar Hukum Edisi 73 Tahun 2011, Pusat Pengembangan Hukum Islam dan Masyarakat Madani (PPHIMM), h. 20 – 35. 30 Siswono Yudohusodo, “Arbitrase Penyelesaian Sengketa dalam Dunia Usaha” dalam Djarab, dkk (ed.), Prospek dan Pelaksanaan, h. 139; dan Ais Chatamarrasjid, “Penyelesaian Konflik: Arbitrase dan Pengadilan” (Jakarta: t.pn. 1999), h. 3-4. Dalam Jaih Mubarok, “Hukum Ekonomi Syariah – Akad Mudharabah” (Bandung: Fokus Media, Agustus 2013) h. 74-75
68
adanya sengketa dalam perusahaan tertentu. Seseorang pebisnis biasanya merasa terganggu bermitra dengan pebisnis lain yang sedang bermasalah ke pengadilan dalam menyelesaikan sengketa bisnisnya; atas dasar itu, arbitrase merupakan faktor yang mendukung reputasi pebisnis di dunia usaha pada umumnya.31 Arti penting arbitrase dalam menyelesaikan sengketa adalah sifat fleksibelitasnya dan kecenderungan tidak formal. Hal ini berdampak pada sikap para pihak yang bersengketa sehingga tidak terlalu bersitegang dalam menyelesaikan perkara. Iklim seperti ini sangat kondusif dan lebih mendorong semangat kerjasama para pihak sehingga mempercepat proses penyelesaiaan perkara.32 Arbitrase bagi dunia usaha merupakan pilihan yang cocok dengan semangat menumbuhkan etika bisnis. Hal ini penting sekali guna mengurangi kebiasaan kolusi dan penggunaan kekerasaan dalam menyelesaikan sengketasengketa bisnis, dengan demikian akan tumbuh budaya hukum di kalangan pebisnis. 33 Menurut MUI dan
BASYARNAS,
Arbitrase Syariah memiliki
keunggulan-keunggulan dibandingkan dengan arbitrase lainnya antara lain : 1. Arbitrase Islam memberikan kepercayaan kepada para pihak karena penyelesaiaannya secara terhormat dan bertanggung jawab; 31
Chatamarrasjid, Penyelesaian Konflik, h. 3-4 dalam Jaih Mubarok, “Hukum Ekonomi Syariah – Akad Mudharabah” (Bandung: Fokus Media, Agustus 2013) h. 75. 32 Adolf, “Arbitrase Komersial”. h. 14 dalam Jaih Mubarok, “Hukum Ekonomi Syariah – Akad Mudharabah” (Bandung: Fokus Media, Agustus 2013) h. 75. 33 Yudohusodo, “Arbitrase Penyelesaian” h. 139. Mediasi atau Arbitrase telah berkembang di berbagai Negara seperti antara lain dijelaskan oleh Atja Sanjaja. Lihat Atja Sandjaja, “Perkembangan Mediasi di Berbagai Negara”, hand out disampaikan pada acara pelatihan Mediasi bagi Hakim yang diselenggarakan Pusdiklat Teknis Mahkamah Agung RI tanggal 26 Maret 2009, h. 1-12 dalam Jaih Mubarok, Hukum Ekonomi Syariah – Akad Mudharabah (Bandung: Fokus Media, Agustus 2013) h. 75
69
2. Para pihak menaruh kepercayaan yang besar kepada arbiter karena ditangani oleh orang-orang yang ahli dibidangnya (expertise); 3. Prosedur pengambilan putusannya cepat dengan tidak melalai prosedur yang berbelit-belit serta dengan biaya yang murah; 4. Para pihak menyerahkan penyelesaian sengketa secara sukarela kepada orang-orang atau badan yang dipercaya sehingga para pihak juga secara sukarela akan melaksanakan putusan arbiter sebagai konsekuensi atas kesepakatan mereka mengangkat arbiter karena hakikat kesepakatan mengandung janji harus ditepati; 5. Dalam proses arbitrase pada hakikatnya terkandung makna perdamaian dan musyawarah sedangkan musyawarah dan perdamaian merupakan keinginan nurani setiap orang; 6. Khusus untuk kepentingan muamalat Islam dan transaksi melalui Bank Muamalat Indonesia maupun BPR Syariah, arbitrase syariah akan member peluang bagi berlakuknya hukum Islam sebagai pedoman penyelesaian perkara karena dalam setiap kontrak terdapat klausul diberlakukan penyelesaian melalui BASYARNAS.34 2. Kelemahan Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) Sedangkan diantara kelemahan arbitrase adalah: a) hanya tersedia dengan baik bagi perusahaan-perusahaan yang bonafide; b) due process kurang terpenuhi; c) kurangnya unsure finality;d) kurangnya kekuatan untuk menggiring para pihak ke penyelesaiaan; e) kurangnya kekuatan untuk menghadirkan barang bukti, saksi
34
Ramdlon Naning, Artikel, Varia Advokat Volume 06, September 2008, h. 29
70
dan lain-lain; f) kurangnya kekuatan dalam hal law enforcement dan eksekusi keputusan; g) tidak dapat menghasilkan solusi yang bersifat preventif; h) kemungkinan timbulnya keputusan yang saling bertentangan satu sama lain karena tidak ada system preseden terhadap keputusan sebelumnya, dan juga karena unsur fleksibelitas dari arbitrer. Oleh karena itu, keputusan arbitrase tidak predictable; i) kualitas keputusannya sangat bergantung pada kualitas para arbiter itu sendiri, tanpa ada norma yang cukup untuk menjaga standard mutu keputusan arbitrase. Oleh karena itu sering, sering dikatakan , “an arbitration is as good as arbitrators”; j) berakibat kurangnya upaya untuk mengubah system pengadilan yang ada; dan k) berakibat semakin tinggi rasa kurang senang terhadap pengadilan.35 Disamping keunggulan arbitrase, arbitrase juga memiliki kelemahan. Dari praktik yang berjalan di Indonesia, kelemahan arbitrase adalah masih sulitnya upaya eksekusi dari suatu putusan arbitrase, padahal pengaturan untuk eksekusi putusan arbitrase nasional maupun Internasional sudah cukup jelas. Untuk putusan BANI upaya eksekusinya melalui Peradilan Umum, sementara untuk putusan BASYARNAS upaya eksekusinya adalah Peradilan Agama. Meskipun memiliki banyak kelemahan, arbitrase terbukti menjadi alternatif penyelesaian sengketa ang popular dan digemari. Diantara kelemahan atau kendala dari badan Arbitrase Syariah Nasional adalah: pertama, keterbatasan jumlah lembaga arbitrase syariah seluruh wilayah Indonesia. Tidak semua Prvinsi memiliki Basyarnas. Akibatnya para pihak akan kembali menggunakan 35
Fuady, Arbitrase Nasional, h. 95 dalam dalam Jaih Mubarok, “Hukum Ekonomi Syariah – Akad Mudharabah” (Bandung: Fokus Media, Agustus 2013) h. 76
71
pengadilan sebagai tempat penyelesaian sengketa; dan kedua, Basyarnas tidak memiliki perangkat atau dasar hukum untuk melakukan penetapan sita, pelaksanaan lelang atau proses pengosongan atas sebuah bangunan sengketa misalnya. Putusan BASYARNAS harus diikuti dengan permohonan Pengadilan untuk dilakukan proses hukum selanjutnya (sita, lelang dan pengosongan). Karenanya pihak-pihak yang bersengketa harus melalui dua lembaga yang berbeda untuk menyelesaikan sengketanya.36
36
Jaih Mubarok, h. 76.