BAB III KEWENANGAN BADAN PERADILAN UMUM MENGADILI GUGATAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM YANG PARA PIHAKNYA TERIKAT DENGAN PERJANJIAN BERKLAUSUL ARBITRASE (Studi Kasus Terhadap Putusan Nomor 238 PK/Pdt/2014)
A.
Kewenangan Badan Peradilan Umum Dalam Mengadili Gugatan Perbuatan Melawan Hukum Yang Para Pihaknya Terikat Dengan Perjanjian Berklausul Arbitrase
1.
Pertimbangan Putusan Peninjauan Kembali Nomor 238 PK/Pdt/2014 Tergugat I mengajukan permohonan peninjauan kembali kepada Mahkamah
Agung atas Putusan Kasasi Nomor 862 K/Pdt/2013. Alasan yang diajukan oleh Tergugat I selaku Pemohon Peninjauan Kembali dalam memori peninjauan kembali pada pokoknya adalah tentang ruang lingkup kompetensi absolut. Tergugat I menyebutkan bahwa dalam putusan kasasi tersebut, Majelis Kasasi melakukan kekhilafan atau kekeliruan yang nyata dengan menyatakan sengketa ini merupakan kewenangan peradilan umum dan bukan kewenangan arbitrase. Padahal, sesuai dengan ketentuan Pasal 13.2 sampai dengan 13.4 Investment Agreement dan oleh karena pokok sengketa dalam perkara ini adalah tentang pelaksanaan Investment
99
100
Agreement, maka yang berwenang memeriksa dan mengadili perkara ini adalah lembaga arbitrase di Jakarta, yakni Badan Arbitrase Nasional Indonesia (selanjutnya disebut “BANI”). Majelis Hakim Peninjauan Kembali dalam Putusan Nomor 238 PK/Pdt/2014 memutus menolak permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali yaitu PT. Berkah Karya Bersama (Tergugat I). Menurut Pasal 74 ayat (2) Undang-Undang Mahkamah Agung, Mahkamah Agung menolak permohonan peninjauan kembali, dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa permohonan itu tidak beralasan.1 Dalam hal Mahkamah Agung menolak permohonan peninjauan kembali, Pasal 74 ayat (3) Undang-Undang Mahkamah Agung memperingatkan agar penolakan permohonan peninjauan kembali itu disertai dengan pertimbanganpertimbangan yang matang, argumentatif, dan objektif.2 Dalam hal menolak permohonan peninjauan kembali dari Tergugat I, Majelis Hakim Peninjauan Kembali berpendapat bahwa alasan-alasan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali tidak dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti dengan saksama memori peninjauan kembali dan kontra memori peninjauan kembali dihubungkan dengan pertimbangan putusan Judex Juris dalam tingkat kasasi
1
Pasal 74 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung jo. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamag Agung jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. 2 M. Yahya Harahap, Op.Cit, hlm. 489.
101
dan putusan Judex Facti, dalam perkara a quo ternyata tidak terdapat adanya kekhilafan Hakim dengan pertimbangan sebagai berikut: “Bahwa sengketa dalam perkara a quo adalah tentang perbuatan melawan hukum dan bukan merupakan sengketa mengenai hak berdasarkan Investment Agreement karena terdapat pihak yang tidak terikat dengan Invesment Agreement tersebut ikut digugat dalam perkara a quo yang tidak terikat dengan perjanjian tersebut sehingga tidak termasuk pada ketentuan yang diatur dalam Investment Agreement tanggal 23 Agustus 2002; Perjanjian Investment Agreement terjadi antara Penguggat dengan Tergugat I dan Turut Tergugat I, sedangkan Tergugat II dan Turut Tergugat lainnya tidak terikat dengan isi perjanjian tersebut sehingga Pengadilan Negeri berwenang mengadili perkara a quo; Bahwa terbukti Para Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum sebagaimana telah dipertimbangkan oleh Judex Facti (Pengadilan Negeri Jakarta Pusat) dan Judex Juris dengan tepat; Bahwa surat-surat bukti Pemohon PK I s/d. PK IV semuanya dibuat pada tanggal 18 Oktober 2013 yaitu setelah adanya putusan kasasi dalam perkara a quo (tanggal 2 Oktober 2013) sehingga tidak bernilai sebagai novum yang menentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 (b) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana yang telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009; Bahwa alasan Pemohon Peninjauan Kembali lainnya merupakan pengulangan yang hanya mengenai perbedaan pendapat antara Pemohon Peninjauan Kembali dengan Judex Facti (Pengadilan Negeri) dan Juris Juris.” Selanjutnya Majelis Hakim menyebutkan bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, maka permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali yaitu PT. Berkah Karya Bersama tersebut adalah tidak beralasan sehingga harus ditolak. Dengan ditolaknya permohonan peninjauan kembali tersebut, maka putusan yang dimohonkan peninjauan kembali, yaitu Putusan Kasasi Nomor 862
102
K/Pdt/2013, tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat kepada Para Pihak yang bersangkutan. Pertimbangan Majelis Hakim Peninjauan Kembali tersebut pada pokoknya adalah menguatkan pertimbangan putusan Judex Juris dalam tingkat kasasi dan Judex Facti (Pengadilan Negeri Jakarta Pusat) yang menyebutkan bahwa sengketa dalam perkara a quo adalah tentang perbuatan melawan hukum dan bukan merupakan sengketa mengenai hak berdasarkan Investment Agreement yang berklausul arbitrase. Menurut Ridwan Khairandy bahwa berkaitan dengan kemungkinan suatu perjanjian yang memuat klausul arbitrase diselesaikan juga di pengadilan umum, sangat bergantung pada kualifikasi fakta dari kasus yang ada. Jika kasus yang bersangkutan berkaitan dengan sengketa kontraktual, maka kasus yang bersangkutan diselesaikan oleh forum yang telah dipilih para pihak dalam klausul arbitrase dimaksud. Namun, apabila kasus yang ada walaupun ada kaitannya, tetapi bukan perselisihan kontraktual, misalnya sengketa badan hukumnya atau perbuatan melawan hukum yang tidak tercakup dalam klausul arbitrase tersebut, dapat saja diselesaikan oleh pengadilan umum.3 Berikut adalah pembahasan tentang perbuatan melawan hukum sebagaimana yang telah dipertimbangkan oleh Majelis Hakim:
3
Ridwan Khairandy, Pendapat Hukum Atas Kasus PT. Berkah Karya Bersama v Ny. Siti Hardiyanti Rukmana, PT. Tridan Satriaputra Indonesia, PT. Citra Lamtoro Gung Persada, Yayasan Purna Bhakti Pertiwi, Ny. Niken Wijayanti, dan Mohammad Jarman, Yogyakarta, 24 September 2014, hlm.11.
103
a.
Perbuatan Melawan Hukum Tergugat I dalam Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) Turut Tergugat I pada tanggal 18 Maret 2005 Perbuatan melawan hukum di Indonesia secara normatif selalu merujuk kepada
Pasal 1365 KUHPerdata.4 Pasal 1365 KUHPerdata menyebutkan bahwa setiap perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerugian terhadap orang lain, mewajibkan kepada orang itu karena kesalahannya untuk mengganti kerugian tersebut. Pasal 1365 KUHPerdata tidak memberikan pengertian atau makna perbuatan melawan hukum, tetapi mengatur persyaratan bagi seseorang yang mengajukan gugatan ganti karena perbuatan hukum berdasar ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata. Pengertian perbuatan melawan hukum ditemukan dalam doktrin. Pengertian perbuatan melawan hukum secara luas menurut M.A. Moegni Djojodirjo adalah perbuatan atau kealpaan, yang bertentangan dengan hak orang lain atau bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku sendiri atau bertentangan baik dengan kesusilaan, maupun dengan sikap hati-hati yang harus diindahkan dalam pergaulan hidup terhadap orang lain atau benda. Sedangkan, pengertian perbuatan melawan hukum menurut Rosa Agustina adalah perbuatan melanggar hak (subjektif) orang lain atau perbuatan (atau tidak berbuat) yang bertentangan dengan kewajiban menurut undang-undang atau bertentangan dengan apa yang menurut hukum tidak
4
Ridwan Khairandy, Hukum Kontrak Indonesia Dalam Prespektif Perbandingan (Bagian Pertama), FH UII Press, Yogyakarta, 2013, hlm. 300.
104
tertulis yang seharusnya dijalankan oleh seseorang dalam pergaulannya dengan semua warga masyarakat dengan mengingat adanya alasan pembenar. Jika seseorang ingin menguggat orang lain karena perbuatan melawan hukum, maka dia (Penguggat) harus memenuhi persyaratan yang ditentukan Pasal 1365 KUHPerdata. Dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1365 KUHPerdata dapat ditarik beberapa unsur yang sekaligus persyaratan gugatan ganti rugi karena perbuatan melawan hukum. Muatan dalam Pasal 1365 KUHPerdata yang merupakan syarat
dipenuhi
dalam
hak
perbuatan
melawan
hukum
yaitu
adanya
tindakan/perbuatan, perbuatan tersebut harus melawan hukum, pelakunya memiliki unsur kesalahan, perbuatan tersebut menimbulkan kerugian, dan hubungan sebabakibat antara perbuatan dan kerugian. Berikut adalah unsur-unsur perbuatan melawan hukum Para Tergugat: 1)
Perbuatan Berdasarkan pernyataan keputusan rapat Turut Tergugat I Nomor 16 tanggal 18
Maret 2005 diketahui bahwa pada tanggal 18 Maret 2005, telah dilaksanakan RUPSLB para pemegang saham Turut Tergugat I. Sebelumnya, telah diadakan panggilan terlebih dahulu untuk rapat tertanggal 18 Maret 2005 yang telah dikirim pada tanggal 10 Maret 2005. Rapat tersebut dihadiri oleh para pemegang saham dan/atau kuasa pemegang saham perseroan yang mewakili sebanyak 408.550.000 (empat ratus delapan juta lima
105
ratus lima puluh ribu) lembar saham atau sebesar 99,23% dari 411.700.00 (empat ratus sebelas juta tujuh ratus ribu) saham yang merupakan seluruh saham yang telah dikeluarkan dan disetor penuh dalam perseroan serta memiliki hak suara sah, sehingga korum kehadiran sebagaimana ketentuan Pasal 22 ayat (1) a Anggaran Dasar perseroan telah terpenuhi. Adapun keputusan yang diambil dalam RUPSLB tersebut antara lain: “Menyetujui bahwa penyelesaian transaksi antara Siti Hardiyanti Rukmana (Penguggat I) dan Perseroan Terbatas PT. Berkah Karya Bersama (Tergugat I) akan dilaksanakan dengan mengikuti tujuan atau rencana dari Investment Agreement, yaitu Perseroan Terbatas PT. Berkah Karya Bersama (Tergugat I) akan menjadi pemegang atau pemilik saham dalam perseroan yang memiliki sebanyak 75% dari seluruh saham yang ditempatkan dan disetor penuh dalam perseroan.” 2)
Perbuatan Tersebut Harus Melawan Hukum Oleh karena RUPSLB tanggal 18 Maret 2005 dilaksanakan pada tahun 2005,
maka peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat itu adalah UndangUndang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. Judex Facti (Pengadilan Negeri Jakarta Pusat) berkesimpulan bahwa pelaksanaan RUPSLB Turut Tergugat I tanggal 18 Maret 2005 yang dilaksanakan oleh Tergugat I tidak memenuhi prosedur sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Nomor 1 tahun 2995 dan Anggaran Dasar Turut Tergugat I dengan pertimbangan sebagai berikut: a)
Bahwa prosedur pemanggilan terhadap pemegang saham in casu Para Penguggat tidak memenuhi ketentuan Pasal 69 Undang-Undang Nomor 1
106
Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas dan ketentuan Pasal 20 Anggaran Dasar Turut Tergugat I Nomor 94 Tahun 1997; b)
Bahwa panggilan rapat yang hanya ditujukan kepada Tergugat I sebagai kuasa dari Para Penguggat adalah tidak sah karena surat kuasa yang dibuat pada tanggal 3 Juni 2003 telah dicabut dan pencabutan surat kuasa multak tersebut adalah sah menurut hukum. Dengan demikian, pelaksanaan RUPSLB Turut Tergugat I yang dilaksanakan
pada tanggal 18 Maret 2005 menurut Judex Facti (Pengadilan Negeri Jakarta Pusat) adalah tidak sah secara hukum. Pertimbangan Judex Facti tersebut dikuatkan oleh Judex Juris dalam tingkat kasasi. Pertama, tentang pemanggilan RUPSLB 18 Maret 2005 telah menyalahi ketentuan yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas dan Anggaran Dasar Turut Tergugat I. Berdasarkan pernyataan keputusan rapat Turut Tergugat I Nomor 16 tanggal 18 Maret 2005 diketahui bahwa telah diadakan panggilan terlebih dahulu untuk RUPSLB tertanggal 18 Maret 2005 tersebut melalui surat tertanggal 10 Maret 2005 yang telah dikirim pada tanggal 10 Maret 2005. Dalam surat undangan tertanggal 10 Maret 2005 tersebut diketahui bahwa undangan tersebut hanya dialamatkan dan dikirim kepada Tergugat I yang dalam undangan tersebut disebut sebagai penerima kuasa.
107
Menurut Pasal 69 Undang-Undang Perseroan Terbatas disebutkan:5 1.
Pemanggilan RUPS dilakukan paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum RUPS diadakan;
2.
Pemanggilan RUPS dilakukan dengan surat tercatat;
3.
Pemanggilan RUPS untuk Perseroan Terbuka dilakukan dalam 2 (dua) surat kabar harian;
4.
Dalam panggilan RUPS dicantumkan tanggal, waktu, tempat, dan acara rapat disertai pemberitahuan bahwa bahan yang akan dibicarakan dalam RUPS tersedia di kantor perseroan mulai hari dilakukan pemanggilan RUPS sampai dengan hari RUPS diadakan;
5.
Perseroan wajib memberikan salinan bahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) kepada pemegang saham secara cuma-cuma.
6.
Dalam hal pemanggilan tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), keputusan tetap sah apabila RUPS dihadiri oleh seluruh pemegang saham yang mewakili saham dengan hak suara yang sah dan disetujui dengan suara bulat. Berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (2) Anggaran Dasar Turut Tergugat I
disebutkan bahwa pemanggilan Rapat Umum Pemegang Saham dilakukan dengan surat tercatat yang harus dikirim paling lambat 14 hari sebelum tanggal rapat, dalam
5
Pasal 69 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas.
108
hal mendesak jangka waktu tersebut dapat dipersingkat paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum rapat dengan tidak memperhitungkan tanggal panggilan dan tanggal rapat. Judex Facti (Pengadilan Negeri Jakarta Pusat) berpendapat bahwa apabila dikaitkan dengan undangan rapat yang dilakukan pada tanggal 10 Maret 2005 sedangkan pelaksanaan RUPS dilaksanakan pada tanggal 18 Maret 2005, maka dengan demikian jangka waktu pemanggilan sebagaimana diatur oleh UndangUndang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas dan Anggaran Dasar PT. Cipta Televisi Pendidikan Indonesia sebagaimana dalam Akta Berita Acara Rapat Nomor 94 Tahun 1997, tidak terpenuhi. Dalam pertimbangannya tersebut, Majelis Hakim tidak mempertimbangkan tentang Pasal 69 ayat (6) Undang-Undang Perseroan Terbatas, yang menyebutkan bahwa dalam hal pemanggilan tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan (2), keputusan tetap sah apabila RUPS dihadiri oleh seluruh pemegang saham yang mewakili saham dengan hak suara sah dan disetujui dengan suara bulat. Jadi, apabila ada pemanggilan RUPS lebih cepat dari 14 (empat belas) hari tidak mempengaruhi hasil putusan RUPS sepanjang semua pemegang saham dengan hak suara hadir atau diwakili dalam RUPS dan keputusan tersebut disetujui dengan suara bulat. Apalagi jika dikaitkan dengan Anggaran Dasar Turut Tergugat I yang menyatakan bahwa pemanggilan RUPS kurang dari 14 (empat belas) hari karena di
109
Anggaran Dasar Turut Tergugat I hal tersebut dimungkinkan apabila terdapat kedaan mendesak. Menurut Ridwan Khairandy, makna mendesak di sini adalah mendesak bagi Perseroan.6 Dalam pertimbangannya, Judex Facti (Pengadilan Negeri Jakarta Pusat) juga tidak mempertimbangkan tentang keadaan mendesak sebagaimana diatur dalam Anggaran Dasar Turut Tergugat I. Untuk mengetahui apakah RUPSLB tanggal 18 Maret 2005 dihadiri oleh seluruh pemegang saham yang mewakili saham dengan hak suara sah maka terlebih dahulu mempertimbangkan mengenai keabsahan pencabutan surat kuasa tertanggal 3 Juni 2003 yang dipergunakan oleh Tergugat I untuk hadir dalam RUPSLB tanggal 18 Maret 2005 tersebut. Selanjutnya, tentang apakah keputusan dalam RUPSLB pada tanggal 18 Maret 2005 disetujui dengan suara bulat. Keputusan dalam RUPSLB pada tanggal 18 Maret 2005 tidak disetujui dengan suara bulat, karena RUPSLB tersebut dihadiri oleh para pemegang saham dan/atau kuasa pemegang saham Perseroan yang hanya mewakili 408.550.000 (empat ratus delapan juta lima ratus lima puluh ribu) lembar saham atau sebesar 99,23% dari 411.700.000 (empat ratus sebelas juta tujuh ratus ribu) saham. Selanjutnya, tentang keadaan mendesak sebagaimana diatur dalam Anggaran Dasar Turut Tergugat I. Judex Facti (Pengadilan Negeri Jakarta Pusat) tidak mempertimbangkan secara jelas mengenai terpenuhi atau tidak keadaan mendesak 6
Ridwan Khairandy, Pendapat Hukum Atas Kasus PT. Berkah Karya Bersama, Ny. Siti Hardiyanti Rukmana, PT. Tridan Satriaputra Indonesia, PT. Citra Lamtoro Gung Persada, Yayasan Purna Bhakti Pertiwi, Ny. Niken Wijayanti, dan M. Jarman, hlm. 6.
110
sebagaimana diatur dalam Anggaran Dasar Turut Tergugat I. Dalam Jawaban Pokok Perkara Tergugat I, Tergugat I menyebutkan: “Pemanggilan 7 hari sebelum RUPS dapat dilakukan dalam keadaan mendesak sesuai dengan Pasal 20 ayat (2) dari Anggaran Dasar Turut Tergugat I. Pada watu itu RUPSLB 18 Maret 2005 dilakukan dalam keadaan mendesak karena Tergugat I mencurigai adanya gelagat itikad tidak baik dari Para Penguggat untuk menguasai kembali Turut Tergugat I dengan cara yang tidak mematuhi dan bertentangan dengan Investment Agreement. Gelagat itikad tidak baik ini terlihat dari surat-surat sebelumnya dari Para Penguggat, diantaranya adalah surat tanggal 20 Desember 2004 yang menunjukkan Para Penguggat mulai ingin menguasai kembali Turut Tergugat I dan tidak mau memberikan hak Tergugat I atas 75% saham Turut Tergugat I dan dilanjutkan dengan surat tertanggal 19 Januari 2005. Dengan demikian pemanggilan yang dilakukan atas dasar alasan yang mendesak tersebut telah sesuai dengan prosedur yang ada.” Berkaitan dengan hal tersebut, Judex Facti (Pengadilan Negeri Jakarta Pusat) pada pokoknya mempertimbangkan bahwa pada pokoknya dalam surat Penguggat tersebut, tidak pernah menyebutkan adakan membeli kembali 75% saham pada Turut Tergugat I yang telah dikuasai oleh Tergugat I, akan tetapi adalah untuk memperhitungkan dan membayar kembali biaya-biaya yang telah dikeluarkan oleh Tergugat I terkait dengan pengambilalihan utang-utang Turut Tergugat I oleh Tergugat I. Dengan demikian, menurut Judex Facti (Pengadilan Negeri Jakarta Pusat) keadaan mendesak sebagaimana yang diatur dalam Anggaran Dasar Turut Tergugat I tidak terpenuhi. Kedua, tentang keabsahan pencabutan surat kuasa mutlak (Power of Attorney) tertanggal 3 Juni 2003 yang dilakukan oleh Para Penguggat.
111
Surat kuasa sebagaimana yang diberikan Penguggat I kepada Tergugat I pada tanggal 3 Juni 2003 adalah untuk mewakili dan bertindak untuk dan atas nama prinsipal dalam kapasitasnya berikut ini (sebagaimana berlaku) sebagai: 1)
Pemegang saham 22.048.000 saham dalam PT. Cipta Televisi Pendidikan Indonesia;
2)
Dirut PT. Tridan Satriaputra Indonesia;
3)
Dirut PT. Citra Lamtorogung Persada;
4)
Wakil ketua yayasan Purna Bhakti Pertiwi dan kerenanya mewakili prinsipal dalam setiap RUPSLB PT. Cipta Televisi Pendidikan Indonesia. Dalam surat kuasa tertanggal 3 Juni 2003 tersebut diatur ketentuan bahwa surat
kuasa tersebut tidak dapat ditarik kembali dan tidak dapat diakhiri karena alasan apapun dan oleh karenanya prinsipal mengesampingkan Pasal 1813, 1814, dan 1816 KUHPerdata yang berlaku di Indonesia. Penguggat I untuk selanjutnya disebut para pemegang saham pada tanggal 16 Maret 2005 mencabut surat kuasa yang pernah dibuat pada tanggal 3 Juni 2003 dengan dasar pada pokoknya adalah para pemegang saham tidak memberikan kewenangan kepada Tergugat I untuk mengatur/memutuskan tentang pelaksanaan transaksi antara Penguggat I selaku pribadi dengan Tergugat I apalagi untuk
112
mengatur/memutuskan tentang 3 (tiga) alternatif penyelesaian yang disebutkan dalam undangan RUPSLB pada tanggal 18 Maret 2005. Berdasarkan Berita Acara Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa Turut Tergugat I tertanggal 21 Juli 2003, diketahui bahwa surat kuasa pada tanggal 3 Juni 2003 telah dipergunakan oleh Tergugat I dalam RUPSLB Turut Tergugat I tanggal 21 Juni 2003 dalam rangka penggantian pengurus Turut Tergugat I. Terhadap pencabutan surat kuasa tertanggal 3 Juni 2003 tersebut, kuasa Tergugat I mengirimkan surat kepada kuasa Para Penguggat yang isinya pada pokoknya menjawab surat dan menolak dengan tegas pencabutan surat kuasa yang dibuat pada tanggal 3 Juni 2003. Pemberian surat kuasa diatur dalam Pasal 1792 KUHPerdata, dalam Buku III KUHPerdata. Namun, dalam KUHPerdata sendiri tidak ditemui pengaturan mengenai surat kuasa mutlak (Power of Attorney). Secara khusus, larangan kuasa mutlak adalah untuk bidang pertanahan yang dapat ditemui dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak Sebagai Pemindahan Hak atas Tanah. Dalam Instruksi Mendagri disebutkan bahwa melarang Camat dan Kepala Desa atau Pejabat yang setingkat dengan itu, untuk membuat/menguatkan pembuatan Surat Kuasa Mutlak yang pada hakekatnya merupakan pemindahan hak atas tanah.
113
Pasal 1813, 1814, dan 1816 KUHPerdata diatur dalam Buku III KUHPerdata. Sifat pengaturan Buku III KUHPerdata adalah bersifat pelengkap. Sifat yang demikian itu memiliki konsekuensi bahwa pihak-pihak yang membuat perjanjian memiliki kebebasan untuk menyimpangi ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Buku III KUHPerdata. Apabila ada kesepakatan yang isinya menyimpangi ketentuan KUHPerdata, berarti para pihak di dalam perjanjian sepakat untuk mengesampingkan ketentuan KUHPerdata yang dimaksud. Para Pihak dalam surat kuasa tertanggal 3 Juni 2003, sepakat untuk mengesampingkan Pasal 1813, 1814, dan 1816 KUHPerdata. Pertama, Pasal 1813 KUHPerdata mengatur tata cara berakhirnya pemberian kuasa. Di dalam pasal tersebut ditentukan bahwa salah satu cara berakhirnya pemberian kuasa adalah dengan cara penarikan kembali kuasa dimaksud oleh pemberi oleh pemberi kuasa. Kedua, Pasal 1814 KUHPerdata yang mentukan bahwa pemberi kuasa dapat menarik kembali kuasanya bila hal itu dikehendakinya, dan jika ada alasan untuk itu, memaksa pemegang kuasa untuk mengembalikan kuasa yang dipegangnya. Ketiga, Pasal 1816 KUHPerdata yang menentukan bahwa pengangkatan kuasa baru untuk menjalankan suatu urusan yang sama, menyebabkan ditariknya kembali kuasa yang pertama. Jika dalam surat kuasa menyebutkan bahwa kuasa yang diberikan sebagai kuasa yang tidak dapat dicabut kembali, maka ini bermakna bahwa Para Pihak bersepakat
mengesamapingkan
ketentuan
KUHPerdata
di
atas.
Sebagai
114
konsekuensinya Pemberi Kuasa tidak dapat mengakhiri pemberian kuasa melalui penarikan kembali kuasa dimaksud. Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim Pengadilan Tingkat Pertama menyebutkan bahwa pada pokoknya surat kuasa yang telah dibuat setiap saat dapat dicabut oleh Pemberi Kuasa, akan tetapi dalam praktek dimungkin adanya surat kuasa mutlak yang dibuat Pemberi Kuasa. Menurut Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1060/K/1972, tanggal 14 Oktober 1975 disebutkan: “Suatu surat kuasa di dalamnya tercantum kalimat bahwa “surat kuasa ini tidak dapat ditarik kembali oleh pemberi kuasa” (surat kuasa mutlak), meskipun tercantum kalimat tersebut di atas menurut hukum dapat dibenarkan pemberi kuasa untuk membatalkan surat kuasa tersebut karena merupakan hak dari pemberi kuasa, terlebih lagi ternyata pihak penerima kuasa telah melakukan pelanggaran atas isi dari surat kuasa tersebut.” Selanjutnya, menurut Putusan Mahkamah Agung Nomor 3332/K/Pdt tanggal 18 Desember 1997 disebutkan: “Akta kuasa mutlak yang dibuat oleh Notaris sebagai sarana untuk melaksanakan jual beli tanah tidak dapat diajukan sebagai bukti dipersidangan pengadilan, tentang adanya peliharaan hak atas tanah dari penjual kepada pembeli dengan dasar alasan bahwa kuasa mutlak mengandung perkosaan hak penjual yang lemah dan tidak adanya kebebasan berkontrak.” Erman Radjagukguk menyebutkan bahwa: “Pemberian kuasa adalah untuk kepentingan terbaik Pemberi Kuasa, sehingga Pemberi Kuasa dapat mencabut kuasa yang telah diberikan dalam hal Penerima Kuasa melakukan tindakan tertentu di luar kewenangan yang diberikan Pemberi Kuasa. Selanjutnya, ditegaskan bahwa Pemberian Kuasa itu tidak berarti
115
mengalihkan hak suara Pemberi Kuasa/Hak Kuasa pemegang saham. Sebagai contoh saya memberi kuasa untuk mengadakan Rapat Umum Pemegang Saham dengan acara a, b, c, tetapi tidak berarti sudah menyerahkan hak suara saya. Di dalam KUHPerdata ada tentang pemberian kuasa umum, sifatnya kepengurusan, tetapi kalau ada yang mengalihkan hak milik atau mengalihkan hak pemberian kuasa, harus nyata-nyata secara tegas dinyatakan, jadi kalau tidak ada secara tegas dinyatakan dalam pemberian kuasa, maka tidak sah Rapat Umum Pemegang Saham.” Judex Facti (Pengadilan Negeri Jakarta Pusat) berpendapat bahwa jika dikaitkan dengan pemberian kuasa oleh Penguggat I kepada Tergugat I sebagaimana surat kuasa tanggal 3 Juni 2003, meskipun terdapat klausul pemberian kuasa tidak dapat ditarik kembali (kuasa mutlak), maka pemberi kuasa, Penguggat I masih mempunyai hak untuk mencabut kuasa yang telah diberikan kepada Tergugat I. Dengan demikian pencabutan surat kuasa yang dilakukan oleh Penguggat I adalah sah menurut hukum. Meskipun dalam surat kuasa terdapat klausul pemberian kuasa tidak dapat ditarik kembali (kuasa mutlak), Pemberi Kuasa masih mempunyai hak untuk mencabut kuasa yang telah diberikan kepada Penerima Kuasa, terlebih lagi jika Penerima Kuasa telah melakukan pelanggaran atas isi dari surat kuasa tersebut, misalnya Penerima Kuasa melakukan tindakan melampaui batas kewenangan yang dilimpahkan Pemberi Kuasa kepadanya. 3)
Kesalahan Pada RUPSLB Turut Tergugat I tanggal 18 Maret 2005, Tergugat I hadir dalam
RUPSLB tersebut serta membuat keputusan mengenai masalah penyelesaian
116
transaksi antara Penguggat I pribadi dengan Tergugat I dalam RUPSLB Turut Tergugat I tanggal 18 Maret 2005. Tergugat I hadir dalam RUPSLB tersebut dengan surat kuasa yang telah dicabut oleh Para Penguggat. 4)
Kerugian Kerugian timbul dan dihitung dari perubahan presentase kepemilikan saham
Para Penguggat di Turut Tergugat I yang terdilusi sebesar 75% (tujuh puluh lima persen) sehingga Para Penguggat kehilangan pengendalian dalam Turut Tergugat I. 5)
Hubungan Sebab-Akibat antara Perbuatan dan Kerugian Pada tanggal 18 Maret 2005 telah dilaksanakan Rapat Umum Pemegang Saham
Luar Biasa (RUPSLB) Turut Tergugat I. Salah satu keputusan yang diambil dalam RUPSLB Turut Tergugat I pada tanggal 18 Maret 2005 tersebut adalah: “Menyetujui bahwa penyelesaian transaksi antara Penguggat I dan Perseroan Terbatas Tergugat I akan dilaksanakan dengan mengikuti tujuan atau rencana dari Investment Agreement yaitu Perseroan Terbatas Tergugat I akan menjadi pemegang atau pemilik saham dalam Perseroan yang memiliki sebanyak 75% (tujuh puluh lima persen) dari seluruh saham yang ditempatkan dan disetor penuh dalam perseroan.” Pelaksanaan RUPSLB 18 Maret 2005 yang dilaksanakan oleh Tergugat I tersebut tidak memenuhi prosedur sebagaimana dimanatkan oleh Undang-Undang Perseroan Terbatas dan Anggaran Dasar Turut Tergugat I dan RUPSLB 18 Maret 2005 tersebut dilaksanakan oleh tergugat I dengan surat kuasa yang telah dicabut.
117
Berdasarkan keputusan yang diambil dalam RUPSLB 18 Maret 2005, maka kepemilikan saham Para Penguggat di Turut Tergugat I terdilusi sebesar 75% (tujuh puluh lima persen), sehingga Para Penguggat kehilangan pengendalian dalam Turut Tergugat I. b.
Perbuatan Melawan Hukum Tergugat I dan Tergugat II dalam Pelaporan Hasil RUPSLB tertanggal 17 Maret 2005 melalui Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum) pada Turut Tergugat VI Dalam dalil gugatan, Para Penguggat menyebutkan bahwa perbuatan Tergugat I
dan Tergugat II menyebabkan keputusan RUPSLB Turut Tergugat I yang dilaksanakan Para Penguggat tanggal 17 Maret 2005 yang tertuang dalam Akta Notaris Buntario Tigiris Nomor 114 tanggal 17 Maret 2005 tidak dapat dilakukan pencatatan pemberitahuannya secara online melalui Sisminbakum adalah merupakan perbuatan melawan hukum. 1)
Perbuatan Pada saat saksi Buntario Tigiris Darmawa Ng hendak melaporkan pencatatan
pemberitahuan perubahan pengurus Turut Tergugat I yang diputuskan dalam RUPSLB 17 Maret 2005 pada Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia melalui Sisminbakum, ternyata pelaporan tersebut tidak berjalan dan selalu menolak input data untuk memproses pemberitahuan perubahan data Anggaran Dasar Turut Tergugat I.
118
2) Perbuatan Tersebut Harus Melawan Hukum Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia mempunyai kewenangan mengesahkan status badan hukum suatu Perseroan Terbatas, memberikan persetujuan atas perubahan
tertentu
anggaran
dasar
Perseroan
Terbatas
dan
menerima
laporan/pemberitahuan perubahan anggaran dasar/data Perseroan Terbatas. Berdasarkan tanggapan dari Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Direktorat Jendral Aministrasi Hukum Umum tentang pencabutan gugatan dalam perkara Nomor 96/G/2010/PTUN-JKT tanggal 19 Agustus 2010 diketahui bahwa: a) Bahwa telah ditemukan kesalahan prosedural pengesahan Akta Nomor 16 tanggal 18 Maret 2005 dibuat dihadapan Notaris Bambang Wiweko SH yang telah mendapat
surat
persetujuan
dari
Menteri
Hukum
dan
HAM
Nomor
C07564.HT.01.04 Tahun 2005 tanggal 21 Maret 2005; b) Bahwa telah ditemukan proses pengesahan Akta Nomor 114 tanggal 17 Maret 2005 yang dibuat dihadapan Notaris Buntario Tigiris Darmawa Ng, SH yang terhalang/terblokir oleh sistem pada sistem Sisminbakum; c) Bahwa seharusnya yang diproses terlebih dahulu adalah Akta Nomor 114 tanggal 17 Maret 2005 yang dibuat dihadapan Notaris Buntario Tigiris Darmawa Ng karena telah melakukan akses lebih dahulu tapi aksesnya diblokir. Kemudian
119
akses tersebut dibuka kembali oleh Tergugat II untuk pemprosesan Akta Nomor 16 tanggal 18 Maret 2005 dibuat dihadapan Notaris Bambang Wiweko SH; d) Bahwa pemblokiran dan pembukaan akses yang dilakukan tidak atas perintah tertulis Direktur Jendral Administrasi Hukum Umum atau Pejabat yang berwenang yang ditunjuk; e) Bahwa pemblokiran dan pembukaan akses yang dilakukan oleh Tergugat II sebagai pengelola sistem tanpa adanya perintah dari pejabat yang berwenang di Direktorat Jendral Administrasi Hukum; f) Bahwa pemblokiran dan pembukaan akses dilakukan dengan tanpa hak oleh Tergugat II sehingga Akta Nomor 114 tanggal 17 Maret 2005 yang dibuat dihadapan Notaris Buntario Tigiris Darmawa Ng, SH menjadi terhalang/terblokir; g) Bahwa wewenang pemblokiran dan pembukaan akses hanya terdapat pada pejabat yang berwenang di Direkotar Jendral Administrasi Hukum Umum; h) Bahwa karena adanya pelampauan wewenang yang seharusnya menjadi tugas pokok dan fungsi Direktorat Jendral Adminitrasi Hukum Umum maka seluruh proses dan fungsi dan hukum dalam rangka persetujuan akta perubahan Anggaran Dasar Perseroan Terbatas menjadi batal; i) Bahwa dalam hukum adminitrasi umum, setiap proses adminitrasi yang dilakukan harus memenuhi proses persyaratan materiil dan formil. Persyaratan materiil yang
120
harus dipenuhi adalah bahwa alat pemerintah yang membuat keputusan tersebut harus berwenang, sedangkan Tergugat II tidak memiliki kewenangan untuk menentukan pemblokiran; j) Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka Proses Pengesahan Akta Nomor 16 tanggal 18 Maret 2005 yang dibuat di hadapan Notaris Bambang Wiweko, SH menjadi tidak sah karena memiliki cacat hukum prosedural pengesahan dan surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor C07564.HT.01.04 Tahun 2005 tanggal 21 Maret 2005 tersebut menjadi batal demi hukum dan dianggap tidak pernah dibuat atau tidak pernah ada sehingga tidak memiliki akibat hukum. Akibat batalnya Surat Keputusan tersebut maka surat-surat keputusan yang ditetapkan oleh Menteri Hukum dan HAM sesudah itu menjadi batal seluruhnya karena alas hak awalnya sudah cacat hukum dan batal demi hukum. Berdasarkan surat dari Dirjen Administrasi Hukum Umum Direktur Perdata diketahui bahwa dari hasil pemeriksaan dan laporan tim independen menemukan pihak Para Penguggat pernah mengajukan permohonan perihal Akta Nomor 114 tanggal 17 Maret 2005 tentang Perubahan Pengurus Perseroan Turut Tergugat I, akan tetapi permohonan tersebut tidak diproses atau diblokir disisi lain, Pihak Harry Tanoesodibjo melalui Notaris Bambang Wiweko, SH memberikan kuasa Yohannes Waworuntu, Direktur Tergugat II yang mengendalikan secara teknis sistem pendaftaran badan hukum pada saat itu, untuk memproses permohonan perubahan
121
pemegang saham dan pengurus perseroan melalui Akta Nomor 16 tanggal 18 Maret 2005 yang akhirnya menerbitkan Surat Keputsan Menteri Hukum dan HAM Nomor 07564-HT.01.04 tahun 2005 tanggal 21 Maret 2005. Jadi SK tersebut tidak melalui proses pejabat yang memiliki kewenangan untuk memberikan persetujuan perubahan Anggaran Dasar Perseroan. Penegasan ini disampaikan kepada kepada tim independen oleh Zulkarnaen Yunus (Direktur Jendral Adminitrasi Hukum Umum), Syamsudin Manan Sinaga (Direktur Perdata), Budihardjo (Kasub Dit Badan Hukum dan menurut pengakuan Yohanes Waworuntu (Direktur Tergugat II) dirinya melakukan hal tersebut atas perintah Harry Tanoesoedibjo. Judex Facti (Pengadilan Negeri Jakarta Pusat) menyimpulkan bahwa perbuatan penutupan akses atau pemblokiran hasil RUPSLB Turut Tergugat I yang dilakukan Para Tergugat adalah merupakan perbuatan yang bertentangan dengan undangundang dan kewajiban Para Tergugat karena tidak berdasarkan perintah yang berwenang yaitu Direjen Administrasi Hukum Umum Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia. 3) Kesalahan Akses penegsahan Akta Nomor 114 tanggal 17 Maret 2005 yang dibuat dihadapan Notaris Buntario Tigiris Darmawa Ng, SH terhalang/terblokir oleh sistem pada Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum), sehingga pencatatan hasil RUPSLB tersebut tidak bisa dilasanakan. Kemudian akses tersebut dibuka kembali
122
oleh Tergugat II untuk memproses Akta Nomor 16 tanggal 18 Maret 2005 yang dibuat dihadapan Notaris Bambang Wiweko SH, sehingga perubahannya dicatatkan oleh Turut Tergugat VI. Pemblokiran dan pembukaan akses dilakukan oleh Tergugat II sebagai pengelola sistem tanpa adanya perintah dari perjabat yang berwenang di Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum. Wewenang pemblokiran dan pembukaan akses hanya terdapat pada pejabat yang berwenang di Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum. 4) Kerugian Tidak terdaftarnys RUPSLB 17 Maret 2005 yang semakin mengukuhkan RUPSLB 18 Maret 2005 sehingga Para Penguggat kehilangan pengendalian dalam Turut Tergugat I Perubahan prosentase kepemilikan saham Para Penguggat di Turut Tergugat I yang terdilusi sebesar 75% sehingga Para Penguggat kehilangan pengendalian dalam Turut Tergugat I. 5) Hubungan Sebab-Akibat antara Perbuatan dan Kerugian Tergugat II menutup akses atau memblokir hasil RUPSLB Turut Tergugat I sehingga Tidak terdaftarkannya RUPSLB 17 Maret 2005 yang semakin mengukuhkan RUPSLB 18 Maret 2005 sehingga Para Penguggat kehilangan pengendalian dalam Turut Tergugat. Perubahan prosentase kepemilikan saham Para
123
Penguggat di Turut Tergugat I yang terdilusi sebesar 75% sehingga Para Pneguggat kehilangan pengendalian dalam Turut Tergugat I.
2.
Ruang Lingkup Klausul Arbitrase
a.
Ruang lingkup klausul arbitrase yang terdapat dalam Investment Agreement tertanggal 23 Agustus 2002 dan Supplemental Agreement tertanggal 7 Februari 2003 Pada tanggal 23 Agustus 2002 telah ditandatangani Investment Agreement
antara seluruh pemegang saham Turut Tergugat I yang pada waktu itu adalah Para Penguggat beserta M. Jarman dan Niken Wijayanti, dengan Tergugat I sebagai Investor, dan dengan Turut Tergugat I serta suatu Supplemental Agreement yang merupakan perjanjian tambahan atas Investment Agreement, yang ditandatangani pada tanggal 7 Februari 2003 dan ditandatangani oleh pihak yang sama. Dalam Investment Agreement disepakati bahwa Tergugat I setuju untuk menyediakan dana bagi Turut Tergugat I hingga sejumlah USD 55,000,000 dengan alokasi: 1)
Hingga sejumlah USD 25,000,000.00 untuk mengambil bagian saham mayoritas di Turut Tergugat I (hingga maksimum sebesar 75% dari seluruh modal saham yang ditempatkan dan disetor di Turut Tergugat I) sesuai syarat-
124
syarat dan ketentuan-ketentuan share subscription agreement yang akan ditandatangani oleh dan antara Turut Tergugat I, Para pemegang saham eksisting Turut Tergugat I dan Tergugat I; 2)
Hingga USD 30,000,000.00 untuk pembiayaan kembali/pengambilalihan dan restrukturisasi hutang-hutang TPI”. Selanjutnya dalam Pasal 3.1 Investment Agreement mengatur point tentang
pengeluaran/penerbitan saham yang menyebutkan: “Dengan tunduk kepada share subscription agreement, Investor (Tergugat I) akan mendapatkan saham yang akan diterbitkan oleh Turut Tergugat I sebesar 75% (bagian awal saham yang akan dimiliki oleh Investor/Tergugat I) dari total seluruh saham yang diterbitkan oleh Turut Tergugat I yang akan diterbitkan kemudian dengan dasar dilusi penuh saham-saham (saham yang dikeluarkan).” Dan
berdasarkan
Supplmental
Agreement
apabila
pembiayaan
dan
restrukturisasi yang dilakukan melebihi nilai maksimal tersebut dan membutuhkan dana lebih dari USD 55,000,000 maka hal tersebut menjadi tanggung jawab para pemegang saham Turut Tergugat I pada waktu itu temasuk Para Penguggat, melalui penjualan aset miliknya. Berdasarkan Investment Agreement, Tergugat I diberikan hak atas 75% saham Turut Tergugat I dengan cara penerbitan saham baru/dilusi atas penyelesaian-penyelesaian utang Turut Tergugat I. Para pihak dalam Investment Agreement dan Supplemental Agreement menyepakati ketentuan mengenai pilihan forum7 pada Pasal 13 Investment Agreement
7
Pilihan forum yaitu para pihak menentukan sendiri dalam kontrak tentang pengadilan atau forum mana yang berlaku jika terjadi sengketa di antara para pihak dalam kontrak tersebut.
125
dan Pasal 6 Supplmental Agreement. Dalam Pasal 6 Supplmental Agreement dinyatakan secara tegas mengikuti ketentuan Pasal 13 Investment Agreement. Dalam Pasal 13 Investment Agreement disebutkan: “13.2 Segala sengketa yang timbul antara para pihak yang berasal dari atau terkait dengan perjanjian ini, termasuk namun tidak terbatas pada, pertanyaan apapun terkait dengan penafsiran, keabsahan pelaksanaan, keefektifan dan pemutusan hak atau kewajiban dari pihak manapun, akan diselesaikan melalui musyawarah. 13.3 Apabila sengketa tersebut tidak dapat diselesaikan secara musyawarah, maka harus diselesaikan secara eksklusif dan mengikat melalui arbitrase di Jakarta sesuai dengan ketentuan Badan Arbitrase Nasional Indonesia. 13.4 Pasal 13 ini merupakan suatu klasula arbitrase yang tercakup dalam perngertian pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (12 Agustus 1999) dan tidak dapat dicabut serta mengikat para pihak untuk menyampaikan sengketa kepada arbitrase yang final dan mengikat sesuai dengan hukum dan ketentuan-ketentuan yang diatur di perjanjian ini.” Berdasarkan Pasal 13 Investment Agreement tersebut, maka segala sengketa yang timbul antara Para Pihak yang berasal dari atau terkait dengan perjanjian ini, termasuk namun tidak terbatas pada pertanyaan apapun terkait dengan penafsiran, keabsahan pelaksanaan, keefektifan dan pemutusan hak atau kewajiban dari pihak manapun, akan diselesaikan melalui musyawarah dan apabila sengketa tersebut tidak dapat diselesaikan melalui musyawarah, maka harus diselesaikan secara eksklusif dan mengikat melalui arbitrase di Jakarta sesuai dengan ketentuan Badan Arbitrase Nasional Indonesia.
126
Isi klausul arbitrase adalah mengenai hal-hal yang boleh dicantumkan dalam perjanjian arbitrase.8 Pada prinsipnya, klausul arbitrase tidak boleh melampaui isi perjanjian pokok. Maksudnya, isi klausul arbitrase harus mengenai masalah penyelesaian perselisihan yang relevan dengan pokok perjanjian. Klausul arbitrase tidak boleh menyimpang dari perjanjian pokok. Klausul arbitrase tidak boleh memuat masalah penyelesaian perselisihan yang tidak ada sangkut pautnya dengan isi perjanjian pokok. Jika isi perjanjian berkenaan dengan transaksi jual beli, klausul arbitrase hanya boleh berisi hal-hal yang berkenaan dengan penyelesaian perjanjian tekstil. Yang diperkenankan tercantum dalam persetujuan arbitarse hanya sepanjang kesepakatan untuk menyerahkan penyelesaian perselisihan yang mungkin timbul atau yang telah timbul dari perjanjian pokok. Para pihak dapat merumuskan isi klausul arbitrase secara umum. Isi klausul arbitrase yang bersifat umum dapat dirumuskan secara ringkas, cukup mencantumkan kalimat segala perselisihan yang timbul antara para pihak, sepakat diselesaikan dan diputus oleh arbitrase. Klausul ini meliputi segala jenis perselisihan yang timbul dari perjanjian pokok. Para pihak juga dapat merumuskan isi klausul arbitrase secara terperinci. Klausul arbitrase yang dirumuskan secara terperinci bisa dalam bentuk terinci sekali secara menyeluruh ataupun terinci mengenai pokok-pokoknya saja (terperinci seperlunya). Suatu perjanjian arbitrase disebut memuat klausul yang terinci sekali 8
M. Yahya Harahap, Arbitrase, Cetakan Pertama, Pustaka Kartini, 1991, hlm 105.
127
atau mendetail, apabila rumusannya mencantumkan semua aspek perjanjian. Rumusan yang mengandung semua asepek perjanjian pokok, apabila klausul merinci mulai dari masalah perselisihan yang akan timbul tentang keabsahan perjanjian, arti perjanjian, hak-hak dan kewajiban (liability) para pihak dalam pemenuhan perjanjian. Menurut M. Yahya Harahap, klausul arbitrase yang paling berdaya guna ialah klausul yang rincian rumusannya bersifat moderasi. Klausul yang seperti ini, hanya merumuskan rincian pokok-pokok saja. Rincian hanya seperlunya didasarkan kaitannya dengan ruang lingkup perjanjian pokok. Hal-hal pokok yang menjadi perselisihan dalam suatu perjanjian saja yang dirinci dalam klausul. M. Yahya Harahap merinci pokok-pokok utama yang sering menjadi perselisihan dalam setiap perjanjian (agreement) antara lain:9 a)
Perbedaan penafsiran (disputes) mengenai pelaksanaan perjanjian. Didalamnya bisa termasuk kontraversi pendapat (contraversy), kesalahan pengertian (misunderstanding), dan ketidak sepakatan (disagreement);
b)
Pelanggaran perjanjian (break of contract), kedalamnya termasuk sah atau tidaknya perjanjian, dan berlaku atau tidaknya perjanjian;
c)
Pengakhiran perjanjian (termination of contract);
d)
Klaim (claim) mengenai tuntutan ganti rugi atas wanprestasi atau perbuatan melawan hukum. 9
Ibid., hlm. 108.
128
Arbitrase berwenang untuk memeriksa dan memutus sepanjang perselisihan yang ditentukan dalam klausul. Bila klausul menjelaskan kesepakatan semua jenis perselisihan diperiksa dan diputus arbitrase, berarti arbitrase berwenang untuk memeriksa dan memutus perselisihan apa saja yang timbul dari perjanjian. Sebaliknya, jika klausul hanya menentukan jenis perselisihan tertentu, sepanjang itu juga kewenangan arbitrase unutuk memeriksa dan memutus. Berdasarkan isi klausul arbitrase yang terdapat dalam Investment Agreement dan Supplemental Agreement, maka arbitrase berwenang memeriksa dan mengadili segala sengketa yang timbul antara Para Pihak yang berasal dari atau terkait dengan perjanjian ini, termasuk namun tidak terbatas pada pertanyaan apapun terkait dengan penafsiran, keabsahan pelaksanaan, keefektifan dan pemutusan hak atau kewajiban dari pihak manapun. b.
Kewenangan arbitrase mengadili perkara perbuatan melawan hukum
1)
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Pengertian arbitrase menurut Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Arbitrase dan
APS adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.10 Dari ketentuan tersebut diketahui bahwa sengketa yang dapat
10
Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
129
diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa keperdataan yang telah didasarkan pada perjanjian arbitrase. Dalam hukum perdata materiil sengketa hukum dapat berupa wanprestasi, perbuatan melawan hukum, atau perbuatan yang menimbulkan kerugian pada orang lain tapi tidak termasuk perbuatan melawan hukum yaitu berupa penyalahgunaan keadaan.11 Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (selanjutnya disebut “Undang-Undang Arbitrase dan APS”), tidak mengatur secara khusus tentang apakah arbitrase berwenang memeriksa dan mengadili sengketa perbuatan melawan hukum, atau hanya berwenang memeriksa dan mengadili sengketa wanprestasi. Namun, Undang-Undang Arbitrase dan APS memberikan batasan-batasan tentang sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase. Arbitrase berwenang memeriksa dan mengadili sengketa keperdataan, tetapi, tidak semua sengketa keperdataan dapat diselesaikan melalui arbitrase, hanya bidang tertentu yang disebutkan dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yaitu hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.12 Dalam Penjelasan Pasal 5 ayat (1)
11
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1993, hlm.
12
Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa:
2.
130
Undang-Undang Arbitrase dan APS tidak memberikan penjelasan apa yang termasuk dalam bidang perdagangan. Namun, jika dihubungkan dengan Penjelasan Pasal 66 Undang-Undang Arbitrase dan APS, yang termasuk dalam ruang lingkup bidang perdagangan adalah kegiatan-kegiatan antara lain dibidang perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal, industri, dan hak kekyaan intelektual.13 Dalam Undang-Undang Arbitrase dan APS juga tidak dijelaskan lebih lanjut mengenai apa yang dimaksud dengan hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. Konsep mengenai hak sendiri menurut hukum digambarkan sebagai berikut: “Hukum melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingannya tersebut. Pengalokasian kekuasaan ini dilakukan secara terukur, dalam arti ditentukan keluasan dan kedalamannya. Kekuasaan yang demikian itulah yang disebut hak. Dengan demikian, tidak setiap kekuasaan dalam masyarakat itu bisa disebut hak, melainkan kekuasaan tertentu saja, yaitu yang diberikan hukum kepada sesorang.”14
“Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.” 13 Penjelasan Pasal 66 Huruf B: “Yang dimaksud dengan "ruang lingkup hukum perdagangan" adalah kegiatan-kegiatan antara lain di bidang : - perniagaan; - perbankan; - keuangan; - penanaman modal; - industri; - hak kekayaan intelektual.” 14 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Cetakan Kedelapan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2014, hlm. 53-54.
131
Izin atau kekuasaan yang diberikan hukum itu disebut hak atau wewenang. 15 Dalam buku yang berjudul “Inleiding tot de studie van het Nederlands Recht”, L.J. van Apeldoorn mengatakan bahwa hak ialah hukum yang dihubungkan dengan seorang manusia atau subyek hukum tertentu dan dengan demikian menjelma menjadi suatu kekuasaan dari suatu hak apabila hukum mulai bergerak. 16 Misalnya menurut hukum si A berhak atas suatu ganti-rugi.17 Penguasaan adalah hubungan yang nyata antara seseorang dengan barang yang ada dalam kekuasaannya. Hukum harus memutuskan apakah seseorang akan diberikan pengakuan dan perlindungan terhadap pengusaan atas suatu barang, perlindungan tersebut berupa melindungi dari ganguan orang-orang lain. Hukum mempunyai kekuasaan untuk memberikan penliaian tersebut, dengan demikian maka hukum dapat mengajukan persyaratan sendiri, yaitu pertimbangan yang didasarkan pada tujuan dan kepentingan hukum. Dinilai dari sudut pertimbangan yang demikian itu, penguasaan penuh atas suatu barang bisa saja tidak diterima dan oleh karena itu tidak memperoleh pengakuan dan perlindungan hukum. Sebaliknya, karena pertimbangan-pertimbangan yang demikian itu pula, penguasaan yang dari pendapat dan penalaran umum dipandang tidak sempurna, oleh hukum bisa diakui dan dilindungi. Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Arbitrase dan APS mensyaratkan bahwa sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang
15
C.S.T. Kansil, Lo.Cit., hlm. 120. Ibid. 17 Ibid. 16
132
perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundangundangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. Selanjutnya, menurut Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Arbitrase dan APS ditentukan bahwa sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian. Ketentuan mengenai perdamaian diatur dalam Buku III Bab Kedelapan Belas Pasal 1851 sampai dengan Pasal 1864 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut “KUHPerdata”). Perdamaian menurut Pasal 1851 KUHPerdata adalah: “Suatu perjanjian dengan mana kedua belah pihak, dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang begantung atau pun mencegah timbulnya suatu perkara. Perjanjian tersebut harus dibuat secara tertulis, apabila tidak dibuat secara tertulis, maka perjanjian tersebut tidak sah.” Dalam Pasal 1852 KUHPerdata disebutkan bahwa untuk mengadakan suatu perdamaian diperlukan bahwa seseorang mempunyai kekuasaan untuk melepaskan haknya atas hal-hal yang termaktub di dalam perdamaian itu. Dengan menggunakan penafsiran argumentum a contrario18, maka kompetensi arbitrase adalah sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dapat diadakan perdamaian. Sepanjang 18
Penafsiran a contrario (menurut pengingkaran) adalah: “Suatu cara menafsirkan undang-undang yang didasarkan pada perlawanan pengertian antara soal yang dihadapi dan soal yang diatur dalam suatu pasal undang-undang. Dengan berdasarkan perlawanan pengertian (pengingkaran) itu ditarik kesimpulan, bahwa soal yang dihadapi itu tidak diliputi oleh pasal yang termaksud atau dengan kata lain berada di luar pasal tersebut.”
133
penyelesaian sengketa perdagangan dan hak tersebut dapat diadakan perdamaian, maka penyelesaiannya oleh para pihak dapat diserahkan kepada lembaga arbitrase. 19 Pasal 3 Undang-Undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menyebutkan bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase. Ini berarti bahwa setiap perjanjian yang telah mencantumkan klausul arbitrase atau suatu perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para pihak menghapuskan kewenangan dari Pengadilan Negeri untuk menyelesaikan setiap sengketa yang timbul dari perjanjian yang memuat klausul arbitrase tersebut. Adanya suatu perjanjian arbitrase tersebut juga meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa yang termuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan Negeri20 karena para pihak telah terikat untuk menyelesaikan sengketa tersebut di arbitrase. Pengadilan Negeri juga wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitase, kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam Undang-Undang Arbitrase dan APS.21
19
Bambang Sutiyoso, Hukum Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Cetakan Pertama, Gama Media, Yogyakarta, 2008, hlm. 116. 20 Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menyebutkan: “Adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan Negeri.” 21 Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menyebutkan: “Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitase, kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam Undang-undang ini.”
134
Sumber hukum lain selain undang-undang (statute) adalah kebiasaan (costum), keputusan-keputusan hakim (jurisprudentie), traktat (treaty), dan pendapat sarjana hukum (doktrin). 2)
Kebiasaan Di dalam Petunjuk Mahkamah Agung berkaitan dengan persoalan teknis
yudisial yang telah dirumuskan dalam Rakernas Mahkamah Agung di Denpasar September 2005, Mahkamah Agung meminta kepada kepada para Hakim dan semua jajaran pengadilan untuk melaksanakan petunjuk-petunjuk yang telah diberikan tersebut untuk memecahkan persoalan serupa yang dihadapi. Hal ini dimaksudkan agar tercipta adanya unified legal frame dan unified legal opinion22, dan dengan demikian diharapkan ada suatu kepastian hukum. Salah satu petunjuk yang dirumuskan dalam Petunjuk Mahkamah Agung tersebut adalah:23 Pengadilan Negeri/Umum tidak berwenang untuk mengadili suatu perkara yang para pihaknya terikat dalam perjanjian arbitrase, walaupun hal tersebut didasarkan pada gugatan perbuatan melawan hukum. Kedudukan Petunjuk Mahkamah Agung di dalam pelaksanaan praktik peradilan di Indonesia adalah Petunjuk Mahkamah Agung tersebut haruslah tetap ditaati oleh jajaran peradilan yang berada di bawahnya. 24 Hal tersebut sesuai dengan Pasal 32 ayat (4) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung jo. 22
Unified legal frame dan unified legal opinion adalah keseragaman penerapan hukum. Mahkamah Agung RI, Petunjuk Mahkamah Agung tentang Tehnis Yudisial dan Manajemen Peradilan, 2005. 24 Hasil wawancara dengan Sri Muryanto selaku Hakim Utama Pengadilan Tinggi Yogyakarta, (Yogyakarta, Kamis, 22 Oktober 2015). 23
135
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahakamh Agung, yang menyatakan bahwa Mahkamah Agung berwenang memberi petunjuk, teguran, atau peringatan kepada pengadilan di semua badan peradilan yang berada di bawahnya. Menurut Sri Muryanto selaku Hakim di Pengadilan Negeri Yogyakarta, perkara Nomor 238 PK/Pdt/2014 sifatnya kasusitis, karena selama ini kasus semacam ini belum menjadi yurisprudensi tetap. Yang dimaksud dengan yurisprudensi tetap adalah keputusan Hakim yang terjadi karena rangkaian keputusan serupa dan yang menjadi dasar bagi pengadilan (standard-arresten) untuk mengambil keputusan. 3)
Keptusan-keputusan Hakim
a)
Putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) atas Perkara Nomor 296/II/ARB-BANI-2009 Antara PT. Istana Noodle House (Penyewa) dan PT. Plaza Indonesia Realty,
Tbk., (Pemberi Sewa) telah menandatangani Lease Agreement Number LAR1241/25/07/L.1113 dan Lease Condition Number LAR-1241/25/07/L.1113 masingmasing tertanggal 25 Juli 2007. Pada tanggal 23 Juli 2008, Penyewa menerima surat Nomor L048/BM-PISCNII/2008 dari Pemberi Sewa, yang pada intinya berisi bahwa Pemberi Sewa meminta izin kepada Penyewa untuk memasuki lahan sewa yang
136
ditempati oleh Penyewa pada Kamis tanggal 24 Juni 2008, untuk melakukan pekerjaan penggantian Water Meter & Gas Meter dari yang semula bersistem analog menjadi sistem digital. Pekerjaan tersebut dilaksanakan oleh PT. Jaga Citra Inti sebagai kontraktor Pemberi Kerja. Pada pukul 22.00 WIB tanggal September 2008, telah terjadi ledakan yang mengakibatkan kerusakan parah atas lahan yang disewa oleh Penyewa. Karena adanya kerusakan akibat ledakan tersebut, Penyewa terpaksa berhenti beroprasi selama 88 (delapan puluh delapan) hari terhitung sejak 19 September 2008 sampai dengan 15 Desember 2008 untuk proses renovasi. Semua biaya renovasi dan perbaikan atas kerusakan property telah diasuransikan oleh Penyewa dan oleh karenanya asuransi Penyewa telah melakukan pertanggungan atas kerusakan property milik Penyewa. Selama masa renovasi tersebut, Pemberi Sewa telah membebaskan Penyewa atas kewjiban untuk membayar Biaya Sewa, Services Charge, dan biaya utilitas lainnya yang berada di tempat yang disewakan. Selama proses renovasi tersebut, Penyewa merasa mengalami kerugian materiil berupa kerugian atas biayabiaya tetap (fixed cost) yang tetap harus dibayar oleh Penyewa walaupun rumah makan terpaksa ditutup selama 88 (delapan puluh delapan) hari, adalah sebesar Rp 1.847.225.815,- (satu milyar delapan ratus empat puluh juta dua ratus dua puluh lima ribu delapan ratus lima belas rupiah) dna keuntungan yang dapat diharapkan (opportunity loss) sebesar Rp 614.263.362,- (enam ratus empat belas juta dua ratus
137
enam puluh tiga ribu tiga ratus enam puluh dua rupiah), serta kerugian immateriil menuntut ganti rugi sebesar Rp 2.500.000.000,- (dua miliar lima ratus juta rupiah). Selanjutnya, karena tidak terjadi kesepakatan dalam penyelesaian permasalahan tersebut, Penyewa mengajukan sengketa perbuatan melawan hukum kepada BANI. Pengajuan tersebut didasarkan pada ketentuan Pasal 21 ayat (2) Perjanjian Sewa Nomor LAR-1241/25/07/07/L1113 tertanggal 25 Juli 2007 yang dibuat dan diadakan oleh dan antara Pemohon (Penyewa) dan Termohon (Pemberi Sewa) yang menyebutkan: “Setiap ketidaksepakatan atau perselisihan yang tidak dapat diselesaikan secara baik-baik oleh dan antara para pihak, akan, kecuali jika ditentukan lain dalam Kontrak Sewa ini, diserahkan kepada Dewan- Arbitrase yang dibentuk berdasarkan peraturan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) dan ketentuan dari bagian 21.” Terhadap perkara tersebut, Majelis BANI pada pokoknya memutuskan mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian dan menyatakan perbuatan Termohon (Pemberi Sewa) sebagaimana perbuatan itu dilakukan oleh PT. Jaga Citra Inti sebagai kontraktor yang diangkat dan ditugasi oleh Termohon sebagai perbuatan melawan hukum. Majelis BANI juga menghukum Termohon untuk membayar ganti rugi kepada Pemohon (Penyewa) yang merupakan penggantian atas biaya-biaya tetap (fixed cost) yang telah dikeluarkan oleh Pemohon selama jangka waktu 88 (delapan puluh delapan) hari karena kegiatan usahanya terhenti sebagai akibat dilakukannya renovasi atas tempat/ruangan yang disewa oleh Pemohon dari Termohon.
138
Dalam pertimbangannya, Majelis BANI pada pokoknya menyebutkan bahwa sengketa antara Pemohon dan Termohon adalah sengketa yang menyangkut perjanjian yang dibuat oleh kedua belah pihak, yaitu Perjanjian Sewa Menyewa Lease Agreement Number LAR-1241/25/07/07/L1113 dan Lease Conditions Number LAR1241/25/07/07/L1113. Pemohon mendasarkan tuntutan ganti rugi tersebut pada Lease Agreement/Lease Conditions, sehingga Termohon harus bertanggung jawab atas perbuatan PT. Jaga Citra Inti yang ditugasi/dipekerjakan oleh Termohon yang menimbulkan kerugian bagi Pemohon. b)
Putusan Nomor 640/Pdt.G.2013/PN.Jak.Sel. PT. Lebong Tandai (Penguggat) adalah pemegang saham dalam PT. Avocet
Bolaang Mongondow yang memiliki First Right Of Refusal yaitu hak untuk mendapatkan penawaran terlebih daulu atas saham yang dijual dan Penguggat berniat menggunakannya untuk membeli saham dan semua aset Avocet Mining PLC, namun ditengah jalan di saat sedang dalam proses jual beli dengan Avocet Mining PLC ternyata telah ditelikung oleh PT. J. Ressources Nusantara (Tergugat III). Hak First Right Of Refusal Penguggat telah dilanggar. Pada tanggal 6 September 2012, PT. J. Ressources Bolaang Mongondow (Tergugat I) mengundang Penguggat untuk menghadiri RUPSLB yang diadakan pada tanggal 21 September 2012 dengan agenda antara lain:
139
(1)
Untuk mempertimbangkan dan menyetujui pembebanan jaminan atas harta kekayaan Perseroan kepada PT. Bank CIMB Niaga Tbk sebagai agen untuk kepentingann para kreditur yang dijamin, sebagaimana disyaratkan berdasarkan Pasal 102 ayat (1) Undang-undang No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas;
(2)
Untuk mempertimbangkan dan menyetujui penjaminan atas saham-saham Tergugat III pada Perseroan kepada PT. Bank CIMB Niaga Tbk; dan
(3)
Untuk mempertimbangkan dan menyetujui pengesampingan hak untuk memesan/membeli saham terlebih dahulu (preemptive right) dan hak untuk menolak terlebih dahulu (right of first refusal) dan setiap hak lain dari Para Pemegang Saham Perseroan yang diatur dalam anggaran dasar perseroan yang dapat menghalangi eksekusi perjanjian gadai saham dan surat kuasa yang terkait dengan saham-saham Tergugat III pada Perseroan.” Selanjutnya pada tanggal 5 Juni 2013, Tergugat I kembali mengundang
Penguggat untuk menghadiri RUPSLB yang diadakan pada tanggal 20 Juni 2013 dengan agenda antara lain: “Persetujuan untuk menjaminkan atau mengagungkan atau membebani dengan hak jaminan kebendaan sebagian besar atau seluruh aset/harta kekayaan Perseroan kepada Para Kreditornya, termasuk namun tidak terbatas pada jaminan atau agunan atau hak jaminan kebendaan lainnya atas harta kekayaan lain, baik bergerak mapun tidak bergerak milik Perseroan, yang dilakukan dalam rangka pembiayaan atau perolehan pinjaman atau hutang dari pihak ketiga yang diberikan atau diperoleh Perseroan.”
140
Tindakan Tergugai I dan Tergugat III yang meminta persetujuan Penguggat untuk menjaminkan atau mengagunkan sebagian besar atau seluruh aset/harta kekayaan Perseroan sebagaimana disebut di atas, sangatlah tidak etis karena Tergugat II tahu bahwa pada saat ini masih ada sengketa kepemilikan saham antara Penguggat dengan Tergugat III yang hingga saat ini masih dalam proses peradilan dan belum mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Tindakan tersebut semakin menambah banyak perbuatan melawan hukum yang telah dilakukan Para Tergugat terhadap Penguggat. Selanjutnya Penguggat mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum kepada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Terhadap gugatan Penguggat tersebut, Para Tergugat mengajukan eksepsi kompetensi absolut. Pada pokoknya Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tidak memiliki kewenangan untuk mengadili perkara ini karena First Right Of Refusal yang didalilkan oleh Penguggat diatur dalam Joint Venture Agreement yang memuat klausul arbitrase. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, melalui Putusan Nomor 640/Pdt.G.2013/PN.Jak.Sel. menyatakan menerima eksepsi dari Para Tergugat dan menyatakan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tidak berwenang untuk memeriksa dan mengadili
perkara
tersebut.
Dalam
pertimbangannya, Majelis
Hakim
menyebutkan bahwa setelah memperlajari materi gugatan Penguggat, eksepsi kompetensi absolut serta bukti Para Tergugat dan Penguggat tersebut ternyata berawal dari adanya hubungan hukum, yaitu berupa adanya perjanjian kerja sama
141
yang timbul berdasarkan New Contract of Work Joint Venture Agreement tanggal 30 Juni 1994, sebagaimana diubah dengan Novation and Amandement Agreement tanggal 31 Januari 2002 dan Amandement No. 1 To “Contract of Work” Joint Venture Agreement tanggal 27 Februari 2004. Dalam perjanjian tersebut terdapat klausul arbitrase. Para pihak sepakat mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan perjanjian jika terjadi sengketa akan diselesaikan melalui arbitrase di hadapan International Chamber of Commerce, maka Pengadilan Negeri tidak mempunyai kewenangan untuk memeriksa dan mengadili perkara a quo. 4)
Pendapat Sarjana Hukum Menurut M. Yahya Harahap, klausul arbitrase yang paling berdaya guna ialah
klausul yang hanya merumuskan rincian pokok-pokok saja. Rincian hanya seperlunya didasarkan kaitannya dengan ruang lingkup perjanjian pokok. Hal-hal pokok yang menjadi perselisihan dalam suatu perjanjian saja yang dirinci dalam klausul arbitrase. Pokok-pokok utama yang sering menjadi perselisihan dalam setiap perjanjian (agreement) menurut M. Yahya Harahap adalah sebagai berikut: a)
Perbedaan penafsiran (disputes) mengenai pelaksanaan perjanjian. Di dalamnya bisa termasuk kontroversi pendapat (contraversy), kesalahan pengertian (misunderstanding), dan ketidak sepakatan (disagreement);
142
b)
Pelanggaran perjanjian (break of contract), kedalamnya termasuk sah atau tidaknya perjanjian, dan berlaku atau tidaknya perjanjian;
c)
Pengakhiran perjanjian (termination of contract);
d)
Klaim (claim) mengenai tuntutan ganti rugi atas wanprestasi atau perbuatan melawan hukum. Berdasarkan pendapat M. Yahya Harahap tersebut di atas, klaim (claim)
mengenai tuntutan ganti rugi atas perbuatan melawan hukum dapat dimasukkan ke dalam klausul arbitrase, sepanjang berkaitan dengan ruang lingkup perjanjian pokoknya. Hal tersebut sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Tata Wijayanta. Tata Wijayanta menyebutkan25 bahwa untuk menentukan arbitrase berwenang memeriksa dan mengadili sengketa perbuatan melawan hukum, harus diteliti dari kasus per kasus. Tata Wijayanta memberikan gambaran kasus mengenai sengketa perbuatan melawan hukum yang dapat diperiksa melalui arbitrase. Kasus tersebut bermula dari adanya perjanjian asuransi berklausul arbitrase antara pihak Tertanggung dan Penanggung. Di dalam polis asuransi disepakati bahwa apabila obyek asuransi yang berupa mobil dilempar batu, maka Tertanggung akan mendapatkan klaim asuransi. Bahwa pelemparan batu tersebut adalah suatu perbuatan melawan hukum. Dengan demikian, apabila mobil milik Tertanggung dilempar batu oleh pihak lain dan
25
Hasil wawancara dengan Tata Wijayantia selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, (Yogyakarta, Kamis, 22 Oktober 2015).
143
Penanggung tidak mencairkan klaim sebagaimana telah disepakati oleh kedua belah pihak, maka terjadi sengketa atas tuntutan ganti rugi perbuatan melawan hukum. Sengketa perbuatan melawan hukum yang demikian menjadi kewenangan arbitrase untuk memeriksa dan mengadilinya. Menurut Johansjah, apakah suatu perjanjian harus melalui arbitrase lalu bisa diadili di Pengadilan Negeri yaitu tergantung dari konteks yang diadili, apabila konteksnya menyangkut apa yang diperjanjikan sudah pasti harus arbitrase terlebih dahulu, tetapi sekarang gugatannya mengenai perbuatan melawan hukum, disinilah yang harus dilihat konteksnya antara perjanjian itu dengan perbuatan melawan hukum. Menurut Ridwan Khairandy, berkaitan dengan kemungkinan suatu perjanjian yang memuat klausul arbitrase diselesaikan juga di pengadilan umum, sangat bergantung pada kualifikasi fakta dari kasus yang ada. Jika kasus yang bersangkutan berkaitan dengan sengketa kontraktual, maka kasus yang bersangkutan diselesaikan oleh forum yang telah dipilih para pihak dalam klausul arbitrase dimaksud. Namun, apabila kasus yang ada walaupun ada kaitannya, tetapi bukan perselisihan kontraktual, misalnya sengketa badan hukumnya atau perbuatan melawan hukum yang tidak tercakup dalam klausul arbitrase tersebut, dapat saja diselesaikan oleh pengadilan umum.
144
3.
Pertimbangan Putusan Peninjauan Kembali Nomor 238 PK/Pdt/2014 Sudah Tepat Sehingga Yang Berwenang Mengadili Perkara A Quo Adalah Badan Peradilan Umum (Pengadilan Negeri) Investment Agreement adalah perjanjian investasi yang terjadi antara Para
Penguggat, Tergugat I, dan juga Turut Tergugat I. Perjanjian tersebut pada pokoknya mengatur bahwa Tergugat I akan melakukan pembiayaan dan restrukturisasi utangutang Turut Tergugat I dengan nilai maksimal USD 55,000,000,00. Selanjutnya, berdasarkan Supplemental Agreement yaitu perjanjian tambahan atas Investment Agreement, mengatur bahwa apabila pembiayaan dan restrukturisasi yang dilakukan melebihi nilai maksimal tersebut dan membutuhkan dana lebih dari USD 55,000,000,00 maka hal tersebut menjadi tanggung jawab para pemegang saham Turut Tergugat I yang pada waktu itu adalah Para Penguggat beserta M. Jarman dan Niken Wijayanti. Dalam Investment Agreement terdapat klausul arbitrase yang mengikat Para Penggugat, Tergugat I, dan juga Turut Tergugat I. Klausul arbitrase sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 13 Investment Agreement berbunyi bahwa apabila segala sengketa yang timbul diantara para pihak yang berasal dari atau terkait dengan Investment Agreement, termasuk namun tidak terbatas pada, pertanyaan apapun terkait dengan penafsiran, keabsahan pelaksanaan, keefektifan dan pemutusan hak atau kewajiban dari pihak manapun, tidak dapat diselesaikan secara musyawarah,
145
maka harus diselesaikan melalui arbitrase di Jakarta sesuai dengan ketentuan Badan Arbitrase Nasional Indonesia. Namun demikian, gugatan perbuatan melawan hukum yang diajukan Para Penguggat terhadap Tergugat I dan Tergugat II, dan juga Turut Tergugat I pada pokoknya adalah tentang: a.
RUPSLB Turut Tergugat I pada tanggal 17 Maret 2005 yang dilaksanakan oleh Para Penguggat apakah telah sesuai dengan aturan yang berlaku, yaitu UndangUndang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas dan Anggaran Dasar Turut Tergugat I;
b.
RUPSLB Turut Tergugat I pada tanggal 18 Maret 2005 yang dilaksanakan oleh Tergugat I apalah telah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas dan Anggaran Dasar Turut Tergugat I, berikut surat kuasa tertanggal 3 Juni 2002 dan RUPS-RUPS lanjutannya apakah telah sesuai dengan aturan yang berlaku; dan
c.
Pelaporan hasil RUPSLB Turut Tergugat I pada tanggal 17 Maret 2005 melalui Sisminbakum pada Turut Tergugat VI apakah telah sesuai dengan prosedur yang berlaku. Esensi permasalahan dalam gugatan perbuatan melawan hukum yang diajukan
Para Penguggat adalah sengketa mengenai RUPSLB, sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas dan Anggaran Dasar Perseroan. Para Penguggat
146
tidak mendasarkan gugatan pada pasal-pasal dalam Investment Agreement maupun Supplemental Agreement. Dalam gugatan perbuatan melawan hukum juga tidak ada pasal dalam Investment Agreement dan Supplemental Agreement yang dirujuk. Sengketa dalam perkara a quo adalah tentang perbuatan melawan hukum Tergugat I yang melaksanakan RUPSLB Turut Tergugat I tanggal 18 Maret 2005. Pelaksanaan RUPSLB tersebut tidak memenuhi prosedur sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas dan Anggaran Dasar Turut Tergugat I. Tergugat I menghadiri RUPLB tersebut dengan menggunakan surat kuasa tertanggal 3 Juni 2003 yang telah dicabut oleh Para Penguggat, dan pencabutan surat kuasa multak tersebut adalah sah menurut Majelis Hakim. Sehingga panggilan rapat yang hanya ditujukan kepada Tergugat I sebagai kausa dari Para Penguggat adalah tidak sah. Selain sengketa perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Tergugat I dalam RUPSLB tanggal 18 Maret 2005, sengketa dalam perkara a quo juga tentang perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Tergugat II dan Tergugat I dalam hal menutup akses atau memblokir hasil RUPSLB Turut Tergugat I tanggal 17 Maret 2005. Perbuatan penutupan akses atau pemblokiran hasil RUPSLB Turut Tergugat I tersebut adalah merupakan perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang dan kewajiban Tergugat II dan Tergugat I karena tidak berdasarkan perintah yang berwenang, yaitu Dirjen Administrasi Hukum Umum Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
147
Tindakan yang dilakukan oleh Tergugat I yang melaksanakan RUPSLB 18 Maret 2005 dan Tergugat II yang menutup akses atau memblokir hasil RUPSLB 17 Maret 2005 adalah tindakan di luar perjanjian Investment Agreement dan Supplemental Agreement yang mengandung klausul arbitrase. Perbuatan Para Tergugat tersebut adalah perbuatan yang termasuk dalam ruang lingkup perbuatan melawan hukum yang berada di luar perjanjian yang berklausul arbitrase. Majelis Hakim Pengadilan Tingkat Pertama juga telah mempertimbangkan tentang adanya Investment Agreement dan Supplemental Agreement yang mengikat Para Penguggat, Tergugat I, dan Turut Tergugat I. Penguggat I telah mengirim surat/bernegosiasi dengan Tergugat I melakukan penawaran untuk membeli kembali utang-utang Turut Tergugat I dan group Citra. Dengan demikian telah terjadi penawaran harga pembelian kembali utang-utang Turut Tergugat I. Pada saat belum tercapainya kesepakatan, pada tanggal 18 Maret 2005, Tergugat I melaksanakan RUPSLB yang pada pokoknya merealisasikan Investment Agreement untuk membuat keputusan tentang penyelesaian transaksi antara Penguggat I pribadi dengan Tergugat I. Dalam RUPSLB tersebut, Tergugat I mengkonversi tagihan Tergugat I kepada Turut Tergugat I menjadi setoran saham Tergugat I pada Turut Tergugat I. Erman Radjagukguk menyebutkan bahwa yang boleh dilaksankaan adalah peningkatan saham, akan tetapi konvesri utang dari hasil peningkatan saham tidak ada dalam pemberian kuasa dan tidak boleh dilaksanakan.
148
Dalam Burgelijk Weetbook (BW) segala acara pemindahan hak milik harus secara tegas, tidak boleh secar umum, yang boleh secara umum tentang kepengurusan. Pada dasarnya gugatan Para Penggugat adalah merupakan gugatan perbuatan melawan hukum dan bukan gugatan tentang wanprestasi terhadap Investment Agreement maupun Supplmental Agreement. Gugatan Para Penguggat pada pokoknya berkaitan dengan perbuatan melawan hukum Tergugat I melaksanakan RUPSLB tanggal 18 Maret 2005 dan tentang penutupan/pemblokiran data, sehingga keputusan RUPSB tanggal 17 Maret 2005 gagal untuk diproses. Sengketa dalam perkara a quo juga melibatkan para pihak di luar perjanjian Investment Agreement. Perjanjian tersebut hanya mengikat Para Penguggat, Tergugat I, dan juga Turut Tergugat I. Sedangkan, Tergugat II dan juga Turut Tergugat lainnya adalah pihak di luar perjanjian yang dikut digugat dalam perkara a quo. Majelis Hakim menyebutkan bahwa sengketa tersebut bukan merupakan sengketa mengenai hak berdasarkan Investment Agreement karena terdapat pihak yang tidak terikat dengan Investment Agreement ikut digugat sehingga tidak termasuk pada ketentuan yang diatur dalam Investment Agreement. Adanya pihak di luar perjanjian yang berklausul arbitrase ikut digugat, tidak berarti bahwa pelibatan pihak di luar perjanjian tersebut menghilangkan kewenangan arbitrase untuk memeriksa dan mengadili sengketa tersebut. Pelibatan pihak di luar perjanjian tersebut bermakna bahwa sengketa dalam perkara a quo tidak berasal atau berbeda dari perjanjian Investment Agreement yang berklausul arbitrase.
149
Dengan demikian, perkara perbuatan melawan hukum yang diadili oleh badan peradilan umum tersebut adalah perkara di luar perjanjian Investment Agreement yang berklausul arbitrase. Sehingga, badan peradilan umum tidak melanggar ketentuan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Arbitrase dan APS yang menyebutkan bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase. Badan peradilan umum juga tidak melanggar ketentuan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 11 Undang-Undang Arbitrase dan APS yang menyebutkan bahwa adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan Negeri, dan Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan Undang-undang ini. Menurut Penulis, pertimbangan Majelis Hakim dalam putusan peninjuan kembali Nomor 238/PK/2014 sudah tepat. Sehingga, Pengadilan Negeri berwenang memeriksa dan mengadili perkara perbuatan melawan hukum tersebut.
150
B.
Eksekusi Putusan Nomor 238 PK/Pdt/2014 dan Putusan BANI atas Perkara Nomor 547/XI/ARB-BANI/2013 Tercapai kesepakatan antara PT. Berkah Karya Bersama dengan Siti Hardiyanti
Rukmana, PT. Tridan Satriaputra Indonesa, PT. Citra Lamtaro Gung Persada, Yayasan Purna Bhakti Pertiwi, Niken Wijayanti, Mohamamd Jarman, dan juga PT. Cipta Televisi Pendidikan Indonesia dalam Investment Agreement. Adapun kewajiban dari PT. Berkah Karya Bersama saat itu adalah diwajibkan untuk melaksanakan pembiayaan dan restrukturisasi utang-utang PT. Cipta Televisi Pendidikan Indonesia dengan batas pengeluaran sampai dengan USD 55,000,000 dan untuk itu PT. Berkah Karya Bersama berhak atas 75% (tujuh puluh lima persen) saham penyertaan pada PT. Cipta Televisi Pendidikan Indonesia melalui pengeluaran saham baru. Setelah PT. Berkah Karya Bersama memulai menjalankan Investment Agreement, PT. Berkah Karya Bersama menemukan bahwa utang PT. Cipta Televisi Pendidikan Indonesia telah dipegang oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dan harus diselesaikan beserta utang grup dari Siti Hardiyanti Rukmana (yaitu utang penyelesaian utang debitor grup dan utang penyelesaian kewajiban pemegang saham). Hal ini dikarenakan katentuan single obligor concept dimana penyelesaian utang harus diselesaikan secara satu bundle dan tidak dapat dipecahpecah. Saat itu PT. Cipta Televisi Pendidikan Indonesia juga memiliki utang pajak
151
dan membutuhkan berbagai alat dan program untuk menyehatkan kembali PT. Cipta Televisi Pendidikan Indonesia. Oleh karena adanya perubahan ini, maka dibuatlah Supplemental Agreement yang memberikan batasan kewajiban PT. Berkah Karya Bersama hanya sampai dengan USD 55,000,000 sedangkan selebihnya merupakan kewajiban pemegang saham lama/terdahulu dari PT. Cipta Televisi Pendidikan Indonesia, yaitu Siti Hardiyanti Rukmana, PT. Tridan Satriaputra Indonesa, PT. Citra Lamtaro Gung Persada, Yayasan Purna Bhakti Pertiwi, Niken Wijayanti, Mohamamd Jarman. Sebagai jaminan kepastian hukum bagi PT. Berkah Karya Bersama yang akan menanamkan modalnya untuk pembiayaan dan restrukturisasi utang-utang PT. Cipta Televisi Pendidikan Indonesia, maka Siti Hardiyanti Rukmana, PT. Tridan Satriaputra Indonesa, PT. Citra Lamtaro Gung Persada, Yayasan Purna Bhakti Pertiwi, Niken Wijayanti, Mohamamd Jarman menerbitkan surat kuasa tertanggal 7 Februari 2003 dan surat kuasa tertanggal 3 Juni 2003 yang tidak dapat ditarik kembali (irrevocable of power if attorney) untuk pelaksanaan Invetment Agreement dan Supplemental Agreement. Adapun surat kuasa tersebut dibuat untuk melaksanakan Investment Agreement dan Supplemental Agreement yang diantaranya memberikan kuasa kepada PT. Berkah Karya Bersama untuk meminta diadakannya RUPS PT. Cipta Televisi Pendidikan Indonesia, menghadiri RUPS PT. Cipta Televisi Pendidikan Indonesia,
152
mengubah direksi dan dewan komisaris PT. Cipta Televisi Pendidikan Indonesia, mengubah Anggaran Dasar PT. Cipta Televisi Pendidikan Indonesia, menambah modal PT. Cipta Televisi Pendidikan Indonesia dan melakukan hal lainnya. Kewajiban-kewajiban restrukturisasi PT. Berkah Karya Bersama dilakukan dengan cara: a.
Penyelesaian Utang PUDG (Penyelesaian Utang Debitor Grup) kepada BPPN;
b.
Penyelsaian Utang PKPS (Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham) Bank Yama kepada BPPN;
c.
Penyelesaian Utang Pajak;
d.
Pemasukan Alat dan Program; dan
e.
Penyelesaian Utang Convertible Bonds. Pada akhir tahun 2005, PT. Berkah Karya Bersama terkejut mengetahui bahwa
Siti Hardiyanti Rukmana, PT. Tridan Satriaputra Indonesa, PT. Citra Lamtaro Gung Persada, Yayasan Purna Bhakti Pertiwi, Niken Wijayanti, Mohamamd Jarman telah melanggar kewajibannya dalam Investment Agreement dan Supplemental Agreement untuk mengeluarkan 75% (tujuh puluh lima persen) saham di PT. Cipta Televisi Pendidikan Indonesia. Selanjutnya, pada bulan November 2013, PT. Berkah Karya Bersama selaku Pemohon telah mengajukan Permohonan Arbitrase terhadap Siti Hardiyanti Rukmana, PT. Tridan Satriaputra Indonesa, PT. Citra Lamtaro Gung Persada,
153
Yayasan Purna Bhakti Pertiwi, Niken Wijayanti, Mohamamd Jarman selaku Para Termohon, dan PT. Cipta Televisi Pendidikan Indonesia selaku Turut Termohon. Permohonan Arbitrase tersebut diajukan sehubungan dengan wanprestasi/cidera janji yang dilakukan oleh Para termohon terhadap Investment Agreement tertanggal 23 Agustus 2002 dan Supplemental Agreement tertanggal 7 Februari 2003. Adapun wanprestasi yang telah dilakukan oleh Para Termohon adalah sebagai berikut: 1.
Para Termohon mengingkari kewajibannya dengan mengklaim telah mencabut surat kuasa khusus tertanggal 3 Juni 2003; dan
2.
Para Termohon mengingkari kewajibannya dengan melakukan RUPSLB tertanggal 17 Maret 2005 yang secara tegas bahwa Para termohon tidak ingin mengeluarkan 75% (tujuh puluh lima persen) saham di Turut Termohon kepada Pemohon. Pada tanggal 12 Desember 2014, Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI)
menjatuhkan putusan atas perkara nomor 547/XI/ARB-BANI/2013, yaitu atas sengketa wanprestasi/cidera janji tersebut. Dalam putusan tersebut, Majelis Arbitrase menyatakan menghukum Para Termohon untuk membayar semua utangnya kepada Pemohon sebesar Rp 510.000.000.000,- (lima ratus sepuluh miliar rupiah). Para pihak yang membuat perjanjian wajib melaksanakan kewajiban yang timbul dari perjanjian tersebut. Perstasi adalah kewajiban yang harus dipenuhi
154
seorang debitor. Di dalam suatu perjanjian, prestasi adalah kewajiban kontraktual (contractual obligation). Kewajiban kontraktual tersebut dapat berasal dari: a.
Kewajiban yang ditentukan peraturan perundang-undangan;
b.
Kewajiban yang diperjanjikan para pihak dalam perjanjian; dan
c.
Kewajiban yang diharuskan oleh kepautusan dan kebiasaan. Pemenuhan prestasi adalah hakikat dari suatu perjanjian. Kewajiban memenuhi
prestasi dari debitor selalu disertai dengan tanggung jawab, artinya debitor mempertaruhkan harta kekayaannya sebagai jaminan pemenuhan utangnya kepada kreditor. Dalam melaksanakan prestasi tersebut, ada kalanya debitor tidak dapat melaksanakan prestasi atau kewajibannya. Ada penghalang ketika debitor melaksanakan prestasi dimaksud. Tidak terpenuhinya kewajiban itu ada dua kemungkinan alasannya yaitu karena kesalahan debitor, baik karena kesengajaan maupun karena kelalaian dan karena keadaan memaksa (force majeure, overmacht), sesuatu yang terjadi di luar kemampuan debitor, debitor tidak bersalah. Apabila tidak terpenuhinya kewajiban prestasi disebabkan oleh kesalahan debitor, baik karena kesengajaan maupun karena kelalaian, dan kesemuanya itu dapat dipersalahkan kepadanya, maka dikatakan bahwa debitor melakukan wanprestasi. Istilah lain dari wanprestasi dalam bahasa Indonesia adalah cidera janji atau ingkar janji.
155
Wanprestasi atau cidera janji adalah suatu kondisi dimana debitor tidak melaksanakan kewajiban yang ditentukan didalam perikatan, khususnya perjanjian (kewajiban kontraktual). Wanprestasi dalam hukum perjanjian mempunyai makna yaitu debitor tidak melaksanakan kewajiban prestasinya atau tidak melaksanakannya sebagaimana mestinya sehingga kreditor tidak memperoleh apa yang diinginkan oleh pihak lawan. Dari Pasal 1276 KUHPerdata dapat disimpulkan apabila seorang kreditor yang menderita kerugian karena debitor melakukan wanprestasi, kreditor memiliki alternatif untuk melakukan upaya hukum atau hak meminta pelaksanaan perjanjian, atau meminta ganti rugi, atau meminta pelaksanaan perjanjian sekaligus meminta ganti rugi, atau dalam perjanjian timbal balik, dapat meminta pembatalan perjanjian sekaligus meminta ganti rugi. Ganti rugi yang dapat dituntut oleh kreditor disini berdasarkan Pasal 1234 KUHPerdata dapat berupa biaya-biaya yang telah dikeluarkan kreditor, rugi, atau bunga. Biaya yang dimaksud adalah semua pengeluaran atau ongkos yang telah secara riil dikeluarkan oleh pihak dalam perjanjian. Kemudian yang dimaksud rugi disini adalah kerugian yang secara nyata diderita menimpa harta benda kreditor. Kerugian terhadap harta benda tersebut terjadi akibat kelalaian debitor. Adapun yang dimaksud dengan bunga adalah kerugian terhadap hilangnya keuntungan yang diharapkan (windstderving) andai debitor tidak wanprestasi.
156
Dalam putusan BANI tersebut di atas, Majelis BANI menyatakan menghukum Para Termohon untuk membayar semua utangnya kepada Pemohon sebesar Rp 510.000.000.000,- (lima ratus sepuluh miliar rupiah). Utang sebagaimana yang dimaksud dalam putusan arbitrase tersebut timbul karena adanya Perjanjian Investasi atau Investment Agreement diantara para pihak dalam perjanjian tersebut. Jika di dalam Putusan Nomor 238 PK/Pdt/2014 yang diselesaikan oleh badan peradilan umum adalah kasus yang dikualifikasikan sebagai perbuatan melawan hukum berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata, maka di dalam Putusan BANI atas perkara nomor 547/XI/ARB-BANI/2013 yang diselesaikan dihadapan BANI adalah kasus yang dikualifikasikan sebagai wanprestasi/cidera janji berdasar Pasal 1267 KUHPerdata. Badan peradilan umum mengadili sengketa dalam perkara perbuatan melawan hukum dan bukan sengketa mengenai hak berdasarkan Investment Agreement tertanggal 23 Agustus 2002 yang berklausul arbitrase. Sehingga, Pengadilan Negeri berwenang memeriksa dan mengadili sengketa tersebut. Selanjutnya, BANI mengadili sengketa dalam perkara wanprestasi, yaitu sengketa mengenai hak berdasarkan Investment Agreement. Dengan demikian, kedua lembaga peradilan tersebut berwenang memeriksa dan mengadili sengketa yang diajukan kepadanya, karena perkara yang diajukan kepada badan peradilan umum dan BANI adalah berbeda, tidak memiliki objek pemeriksaan yang sama. Maka, kedua putusan tersebut dapat dieksekusi.