BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEWENANGAN PERADILAN UMUM DAN ARBITRASE DALAM MEMERIKSA PERKARA PERDATA
A.
Kewenangan Peradilan Umum Dan Arbitrase Dalam Memeriksa Perkara Perdata Konstitusi Indonesia menegaskan bahwa Indonesia adalah negara yang
berdasarkan atas hukum (rechtsstaat).1 Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan dengan tegas bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum.2 Sebagai konsekuensi dari Indonesia adalah negara hukum, maka semua tindakan yang dilakukan baik oleh penyelenggara negara maupun oleh warga negara harus didasarkan pada ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku. Salah satu ciri khas negara hukum adalah adanya kekuasaan kehakiman (judicial power) yang merdeka.3 Di Indonesia, kekuasaan kehakiman diatur dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman tentang Kekuasaan Kehakiman. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan
1
Penjelasan Umum Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. 3 Z. A. Sangadji, Kompetensi Badan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara, Cetakan Pertama, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hlm. 1. 2
21
22
tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. 4 Badan-badan peradilan dalam 4 (empat) lingkungan peradilan tersebut memiliki kekuasaan yuridiksi menerima, memeriksa, memutus, dan menyelesaikan suatu perkara yang diajukan kepadanya.5 Kekuasaan demikian lazim dikenal dengan sebutan kewenangan mengadili atau kompetensi.6 Sedangkan pengadilan khusus7 adalah pengadilan yang mempunyai kewenangan untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara tertentu yang hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung yang diatur dalam undang-undang. Badan-badan peradilan tersebut mempunyai kewenangan masing-masing dalam menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan suatu perkara. Kompetensi juga dapat disebut yuridiksi, yang di dalam lingkungan kekuasaan kehakiman berarti kewenangan pengadilan untuk mengadili atau pengadilan yang berwenang mengadili sengketa tertentu sesuai dengan ketentuan yang digariskan peraturan perundang-undangan.8 Dalam hal ini, dibedakan menjadi 2 (dua) kewenangan pengadilan, yaitu kompetensi multak atau wewenang absolut dan kompetensi relatif atau wewenang nisbi. Kompetensi mutlak (wewenang asbolut) adalah kewenangan badan peradilan dalam memeriksa dan mengadili mengenai perkara tertentu yang secara mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan peradilan lainnya, baik dalam lingkungan
4
Pasal 18 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Z. A. Sangadji, op.cit., hlm. 2-3. 6 Ibid., hlm. 3. 7 Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. 8 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, hlm. 179. 5
23
peradilan yang sama maupun berbeda.9 Wewenang mutlak ini disebut juga atribusi kekuasaan kehakiman.10 Putusan yang dijatuhkan oleh Pengadilan terhadap suatu perkara yang secara mutlak tidak berwenang memeriksa dan mengadilinya adalah batal demi hukum.11 Sedangkan kompetensi relatif (wewenang nisbi) adalah kewenangan dari badan peradilan sejenis dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara atas dasar letak atau lokasi wilayah hukumnya.12 Menurut Philipus M. Hadjon13, pembagian kompetensi (distributie van rechtsmacht) antara 4 (empat) lingkungan peradilan, dengan tetap berpegang pada prinsip-prinsip yang digariskan oleh Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman jo. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yakni prinsip pertama adalah yang terkandung dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 yaitu, kekuasaan serta acara badan-badan peradilan diatur dengan undang-undang, prinsip kedua adalah bahwa peradilan khusus hanya menangani perkara tertentu yang ditetapkan dengan undang-undang. Dengan kedua prinsip tersebut, kompetensi peradilan umum ditetapkan dengan menggunakan teori
9
Bambang Sutiyoso, Penyelesaian Sengketa Bisnis, Citra Media Hukum, Yogyakarta, 2006, hlm. 11-12. 10 Sri Wardah dan Bambang Sutiyoso, Hukum Acara Perdata Dan Perkembangannya di Indonesia, Cetakan Pertama, Gama Media, Yogyakarta, 2007, hlm. 72. 11 Ibid. 12 Bambang Sutiyoso, Penyelesaian Sengketa Bisnis, op.cit., hlm. 11-12. 13 Philipus M. Hadjon. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Cetakan Pertama, PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1987, hlm. 116.
24
residu, yaitu bidang yang tidak diserahkan kepada peradilan khusus, dengan sendirinya termasuk lingkup kompetensi peradilan umum. Badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer dan lingkungan peradilan tata usaha negara. 14 4 (empat) badan peradilan tersebut, mempunyai kompetensi absolut yang berbeda antara 1 (satu) badan peradilan dengan badan peradilan yang lain. Masing-masing badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung mempunyai kewenangan mengadili sendiri-sendiri, yaitu: 1.
Peradilan Umum berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana dan perdata sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.15
2.
Peradilan Agama berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara antara orang-orang yang beragama Islam sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.16
3.
Peradilan Militer berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana militer sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.17
4.
Peradilan Tata Usaha Negara berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.18 14
Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal 25 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. 16 Pasal 25 ayat (3) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. 17 Pasal 25 ayat (4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. 15
25
Masing-masing lingkungan peradilan tersebut mempunyai bidang yuridiksi tertentu. Diantara 4 (empat) lingkungan badan peradilan tersebut, yang berwenang menyelesaikan sengketa perdata adalah peradilan umum. Selain melalui peradilan umum, menurut Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, penyelesaian sengketa perdata dapat di lakukan melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa. Dalam Pasal 58 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman disebutkan bahwa upaya penyelesaian sengketa perdata dapat dilakukan di luar pengadilan negara melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa.19 Selanjutnya dalam Pasal 61 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman ditentukan bahwa ketentuan mengenai arbitrase dan penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58, Pasal 59, dan Pasal 60 diatur dalam undang-undang.20 Arbitase diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Hukum perdata meliputi semua hukum privat materiil, yaitu segala hukum pokok yang mengatur kepentingan-kepentingan perseorangan.21 Dalam literatur lain disebutkan bahwa hukum perdata adalah seperangkat/ kaidah hukum yang mengatur perbuatan atau hubungan antar manusia/badan hukum perdata untuk kepentingan para pihak sendiri dan pihak-pihak lain yang bersangkutan
18
Pasal 25 ayat (5) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal 58 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. 20 Pasal 61 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. 21 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cetakan Ketujuh Belas, PT. Intermasa, Jakarta, 1983, hlm. 9. 19
26
dengannya, tanpa melibatkan kepentingan publik/ umum/ masyarakat yang lebih luas.22 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau BW (Burgerlijke Wetbook) membagi hukum perdata ke dalam bidang-bidang sebagai berikut:23 1.
Hukum tentang orang (personen recht);
2.
Hukum tentang benda (zaken recht);
3.
Hukum tentang perikatan (verbintenissen recht);
4.
Hukum tentang pembuktian dan kadaluwarsa (van bewijs en verjaring). Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terdiri atas empat buku, yaitu Buku
Pertama yang berjudul Perihal Orang, memuat hukum tentang diri seseorang dan Hukum Kekeluargaan. Buku Kedua yang berjudul Perihal Benda, memuat hukum perbendaan serta Hukum Warisan. Buku Ketiga yang berjudul Perihal Perikatan, memuat hukum kekayaan yang mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang berlaku terhadap orang-orang atau pihak-pihak tertentu. Yang terakhir, Buku Keempat yang berjudul Perihal Pembuktian dan Lewat Waktu (Daluwarsa), memuat perihal alat-alat pembuktian dan akibat-akibat lewat waktu terhadap hubungan-hubungan hukum.
22
Munir Fuady, Konsep Hukum Perdata, Cetakan Kesatu, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2014, hlm. 1. 23 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
27
Berikut akan diuraikan kewenangan peradilan umum dan arbitrase dalam memeriksa perkara perdata: 1.
Kewenangan Peradilan Umum Dalam Memeriksa Perkara Perdata Kekuasaan kehakiman di Indonesia dilakukan oleh sebuah Mahkamah
Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi, untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Kekuasaan Kehakiman di lingkungan Peradilan Umum dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi yang berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi. Pasal 50 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum menyebutkan bahwa Pengadilan Negeri bertugas dan berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata di tingkat pertama.24 Dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 disebutkan bahwa Pengadilan Tinggi bertugas dan berwenang mengadili perkara pidana dan perkara perdata di tingkat banding. 25 Kewenangan Pengadilan Negeri dalam perkara pidana mencakup segala bentuk tindak pidana, kecuali tindak pidana militer yang merupakan kewenangan dari peradilan militer. Sedangkan dalam perkara perdata, Pengadilan Negeri
24 25
Pasal 50 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum. Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum.
28
berwenang menagdili perkara perdata secara umum, kecuali perkara perdata tertentu yang merupakan kewenangan Pengadilan Agama. 2.
Kewenangan Arbitrase Dalam Memeriksa Perkara Perdata Arbitrase diperkenalkan di Indonesia bersamaan dengan diberlakukannya
RV (Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering) pada tahun 1847, karena semula Arbitrase ini diatur dalam ketentuan Pasal 615 s/d 651 Rv.26 Ketentuanketentuan tersebut sekarang ini sudah tidak berlaku lagi dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.27 a.
Pengertian Arbitrase Arbitrase merupakan salah satu metode penyelesaian sengketa.28 Berikut
akan diuraikan beberapa pengertian arbitrase: Pengertian arbitrase menurut Black’s Law Dictionary:29 “Arbitration. The reference of a dispute to an impartial (third) person chosen by the parties to the dispute who agree in advance to abide by the arbitrator’s award issued after hearing at which bothe parties have an opportunity to be heard. An arrangement for taking and abiding by the judgement of selected persons in some disputed matter, instead of carrying it to estabilish tribunals of justice, and is intended to avoid the formalities, the delay, the expense and vexation of ordinary litigation. Arbitration. An alternative dispute resolution system that is agreed to by all parties to a
26
Bambang Sutiyoso, Penyelesaian Sengketa Bisnis, op.cit., hlm. 99. Budy Budiman, Mencari Model Ideal Penyelesaian Sengketa, dikutip dari Ibid. 28 Munir Fuady, Arbitrase Nasional, Cetakan Kesatu, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hlm. 11. 29 BLACK’S, Law Dictionary, dikutip dari Ibid., hlm. 48-49. 27
29
dispute. This system provides for private resolution of a disputes in speedy fashion.”30 Menurut R. Subekti31 arbitrase sebagai penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang hakim atau para hakim yang berdasarkan persetujuan bahwa mereka akan tunduk kepada atau menaati keputusan yang diberikan oleh hakim atau para hakim yang mereka pilih atau tunjuk tersebut. Pengertian arbitrase atau perwasitan menurut M. N. Purwosutjipto32 adalah suatu peradilan perdamaian, dimana para pihak bersepakat agar perselisihan mereka tentang hak pribadi yang dapat mereka kuasai sepenuhnya, diperiksa dan diadili oleh hakim yang tidak memihak, yang ditunjuk oleh para pihak sendiri dan putusannya mengikat bagi kedua belah pihak. Pengertian arbitrase menurut Priyatna Abdurrasyid:33 “Arbitrase adalah salah satu mekanisme alternatif penyelesaian sengketa-aps yang merupakan bentuk tindakan hukum yang diakui oleh undang-undang dimana salah satu pihak atau lebih menyerahkan sengketa – ketidaksefahamannya – ketidak-sepakatannya dengan satu pihak lain atau lebih kepada satu orang (arbiter) atau lebih (arbiter-arbiter-majelis) ahli yang profesional, yang akan bertindak sebagai hakim/peradilan swasta yang akan menerapkan tata cara hukum negara yang berlaku atau menerapkan tata cara hukum perdamaian yang telah disepakati bersama oleh para pihak tersebut terdahulu untuk sampai kepada putusan yang final dan mengikat.” Lebih lanjut Priyatna Abdurrasyid menjelaskan, oleh karena itu dikatakan bahwa arbitrase adalah hukum prosedur dan hukum para pihak (law of procedure
30
ALTSCHUL, Standford M., The Most Important Legal Term You’ll Ever Need To Know, 1994, dikutip dari Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS), Edisi ke-2 (Revisi), Fikahati Aneska, 2011, hlm. 49. 31 R. Subekti, Arbitrase Perdagangan, Cetakan Pertama, Bincaipta, Bandung, 1981, hlm. 1. 32 M. N. Purwosutjipto, Pengertian Pokok-Pokok Hukum Dagang Indonesia, dikutip dari Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hlm. 108. 33 Priyatna Abudurrasyid, loc.cit.
30
dan law of the parties).34 Ini dikarenakan para pihak mempunyai hak untuk menentukan sendiri tata cara apa yang akan diterapkan, wewenang apa yang diberikan kepada arbiter, dan jenis hukum mana yang diterapkan sehubungan dengan sengketa tertentu.35 Abdulkadir Muhammad36 memberikan batasan yang lebih rinci, menurutnya arbitrase adalah badan peradilan swasta di luar lingkungan peradilan umum, yang dikenal khusus dalam dunia perusahaan. Arbitrase adalah peradilan yang dipilih dan ditentukan sendiri secara sukarela oleh pihak-pihak pengusaha yang bersengketa. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan negara merupakan kehendak bebas pihak-pihak. Kehendak bebas ini dapat dituangkan dalam perjanjian tertulis yang mereka buat sebelum atau sesudah terjadi sengketa sesuai dengan asas kebebasan berkontrak dalam hukum perdata. Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yang dimaksud dengan arbitrase adalah:37 cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, pada dasarnya dapat disimpulkan mengenai unsur-unsur dari arbitrase adalah sebagai berikut:38 1)
Cara penyelesaian sengketa secara privat atau di luar pengadilan;
2)
Atas dasar perjanjian tertulis dari para pihak;
3)
Untuk mengantisipasi sengketa yang mungkin terjadi atau yang sudah terjadi; 34
Ibid. Ibid., hlm. 62. 36 Abdulkadir Muhammad, Pengantar Hukum Perusahaan Indonesia, dikutip dari Rachmadi Usman, loc.cit. 37 Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. 38 Bambang Sutiyoso, Penyelesaian Sengketa Bisnis, op.cit., hlm. 102. 35
31
4)
Dengan melibatkan pihak ketiga (arbiter atau wasit) yang berwenang mengambil keputusan;
5)
Sifat putusannya adalah final dan mengikat.
b.
Perjanjian Arbitrase Pasal 1 butir 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 menyatakan bahwa
perjanjian arbitrase adalah kesepakatan (jadi berdasarkan suatu perjanjian) berupa klausul arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis 39 untuk menyerahkan sengketa yang timbul sekarang atau yang akan datang kepada arbitrase. Para pihak telah memufakati secara tertulis bahwa mereka, apabila terjadi perkara mengenai perjanjian yang telah mereka buat, akan memilih jalan penyelesaian sengketa melalui arbitrase dan tidak berperkara di hadapan peradilan umum.40 Jadi dengan adanya klausul arbitrase ini, maka para pihak telah menyetujui tidak menyelesaikan sengketa mereka dengan cara berperkara di muka pengadilan umum.41 Klausul arbitrase ini merupakan hal yang penting karena akan menentukan berlangsungnya suatu arbitrase, bagaimana pelaksanaannya, hukum substantif apa yang berlaku, dan lain-lain.42
39
Sudargo Gautama, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Baru 1999, Cetakan Kesatu, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hlm. 36. 40 Ibid., hlm. 27. 41 Ibid. 42 Gunawan Widjaja, Seri Aspek Hukum Dalam Bisnis: Arbitrase VS. Pengadilan Persoalan Kompetensi (Absolut) Yang Tidak Pernah Selesai, Cetakan Pertama, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008, hlm. 42.
32
Dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dijelaskan bahwa:43 “Arbitrase yang diatur dalam undang-undang ini merupakan cara penyelesaian suatu sengketa di luar peradilan umum yang didasarkan atas perjanjian tertulis dari pihak yang bersengketa. Tetapi tidak semua sengketa dapat diselesaikan melalui arbitrase, melainkan hanya sengketa mengenai hak yang menurut hukum dikuasai sepenuhnya oleh para pihak yang bersengketa atas dasar kata sepakat mereka.” Ditegaskan dalam penjelasan umum tersebut bahwa perjanjian arbitrase harus berdasarkan kata sepakat para pihak. Kompetensi absolut arbitrase secara normatif akan lahir ketika para pihak dalam membuat perjanjian dengan tegas menyatakan bahwa mereka akan menyelesaikan perselisihan mereka melalui forum arbitrase.44 Dengan demikian, pengadilan tidak wewenang untuk mengadili sengketa tersebut. Bentuk perjanjian arbitrase dibagi menjadi dua, yaitu pactum de compromittendo dan akta kompromis. Berikut akan dipaparkan bentuk perjanjian arbitrase tersebut: 1)
Pactum De Compromittendo Secara harafiah, istilah pactum de compromittendo berarti akta kompromis,
tetapi dalam beberapa literatur Indonesia dibedakan antara keduanya. Jadi, perbedaannya
semata-mata
pada
pemakaiannya.
Istilah
pactum
de
compromittendo ditujukan kepada kesepakatan pemilihan arbitrase di antara para
43
Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. 44 Bambang Sutiyoso, Akibat Pemilihan Forum Dalam Kontrak Yang Memuat Klasula Arbitrase, op.cit., hlm. 163, pada tanggal 15 September 2015, pukul 00:43 WIB.
33
pihak yang dilakukan sebelum terjadinya perselisihan.45 Para pihak sebelumnya telah sepakat untuk menyerahkan penyelesaian sengketa atau perselisihannya yang mungkin akan terjadi di kemudian hari kepada lembaga arbitrase. Pactum de compromittendo diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, yang menyatakan bahwa para pihak dapat menyetujui suatu sengketa yang terjadi atau yang akan terjadi antara mereka untuk diselesaikan melalui arbitrase.46 2)
Akta Kompromis Akta kompromis adalah kesepakatan penyelesaian sengketa melalui
arbitrase, dimana kesepakatatan dilakukan setelah sengketa muncul. Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa perbedaan antara pactum de compromittendo dan akta kompromis hanya terletak pada saat pembuatan perjanjian.47 Bila pactum de compromittendo dibuat sebelum perselisihan terjadi, akta kompromis dibuat setelah perjanjian terjadi.48 Perjanjian arbitrase tersebut harus dibuat secara tertulis dalam suatu dokumen yang ditandatangani oleh para pihak sebagaimana ditentukan dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.49
45
Munir Fuady, Arbitrase Nasional, op.cit., hlm. 118. Pasal 7 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. 47 Gunawan Widjaja, Seri Aspek Hukum Dalam Bisnis: Arbitrase VS. Pengadilan Persoalan Kompetensi (Absolut) Yang Tidak Pernah Selesai, op.cit., hlm. 41. 48 Ibid. 49 Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menyebutkan: 46
34
c.
Objek Sengketa Arbitrase Objek sengketa yang menjadi kewenangan arbitrase ditentukan dalam Pasal
5 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Di dalam Pasal tersebut disebutkan: 1)
Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.
2)
Sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian. Objek pemeriksaan sengketa arbitrase adalah memeriksa sengketa
keperdataan, tetapi tidak semua sengketa keperdataan dapat diselesaikan melalui arbitrase, hanya bidang tertentu yang diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UndangUndang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa tidak semua peristiwa hukum yang terjadi dapat diselesaikan melalui arbitrase. Berikut akan diuraikan tentang ruang lingkup sengketa di bidang perdagangan dan apa yang dimaksud dengan hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa:
Persetujuan untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dimuat dalam suatu dokumen yang ditandatangani oleh para pihak.
35
1)
Sengketa di Bidang Perdagangan Tidak ada suatu penjelasan resmi mengenai apa yang dimaksud dengan
ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 199950 mengenai apa yang termasuk dengan ruang lingkup hukum bidang perdagangan. Namun, jika dihubungkan dengan Penjelasan Pasal 66 huruf b Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, yang dimaksud dengan ruang lingkup hukum perdagangan adalah kegiatan-kegiatan antara lain di bidang51 perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal, industri dan hak kekayaan intelektual. 2)
Sengketa Mengenai Hak yang Menurut Hukum dan Peraturan PerundanUndangan Dikuasai Sepenuhnya oleh Pihak yang Bersengketa Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 mengatur bahwa
hanya hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasasi sepenuhnya oleh para pihak yang bersengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase. Jika yang dihadapi adalah masalah mengenai perceraian, penuntutan nafkah oleh salah satu pihak, pembagian harta dan lain-lain hal dalam bidang hukum kekeluargaan, maka permaslahan tersebut tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase. Sudah jelas di sini tidak hanya para pihak yang berwenang, tetapi ada peranan dan pengaruh dari masyarakat serta keluarga yang bersangkutan di dalam permasalahan ini.
50
Gunawan Widjaja, Alternatif Penyelesaian Sengketa, Cetakan Pertama, PT RajaGrafindo, Jakarta, 2001, hlm. 100. 51 Penjelasan Pasal 66 huruf b Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
36
Di dalam RV telah disebut berbagai kemungkinan yang tertutup untuk arbitrase, antara lain berbagai keadaan atau sengketa yang timbul karena hubungan suami istri, hukum kekeluargaan pada umumnya, misalnya perceraian dan pembagian harta warisan dan sebagainya. Sengketa-sengketa tersebut, tidak dapat dimasukkan dalam katagori hak yang menurut hukum dikuasai sepenuhnya oleh para pihak yang bersengketa. 3)
Sengketa Yang Tidak Dapat Diselesaikan Melalui Arbitrase Ditentukan lebih lanjut dalam Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30
Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Altternatif Penyelesaian Sengketa bahwa sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian. Ketentuan Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Altternatif Penyelesaian Sengketa tersebut memberikan perumusan negtif, di mana dikatakan bahwa sengketa-sengketa yang dianggap tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundangundangan tidak dapat diadakan perdamaian52 (dading). Ketentuan mengenai dading tersebut, merupakan pembatasan masalah-masalah yang dimungkinkan untuk diselesaikan menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Ketentuan mengenai perdamaian diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku III Bab Kedelapan belas Pasal 1851 sampai dengan Pasal
52
Ibid.
37
1864. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang dimaksud dengan perdamaian adalah:53 “Suatu perjanjian dengan mana kedua belah pihak, dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang begantung atau pun mencegah timbulnya suatu perkara. Perjanjian tersebut harus dibuat secara tertulis, apabila tidak dibuat secara tertulis, maka perjanjian tersebut tidak sah.” Di dalam suatu perdamaian, harus ada terlebih dahulu suatu perselisihan antara kedua belah pihak. Setelah perselishan muncul, maka terjadi suatu tawar menawar yang pada akhirnya mencapai suatu persetujuan, di mana masingmasing pihak melepaskan bagian dari yang ditawarkan dalam persetujuan tersebut. Dalam Hukum Perseorangan atau Kekeluargaan, tidak boleh dikatakan dading tentang sah atau tidaknya suatu perkawainan, pengesahan seorang anak, sahnya suatu pengakuan sebagai anak. Juga hak-hak ketatanegaraan tidak boleh dimasukkan dalam dading, seperti misalnya hak untuk memilih atau dipilih menjadi anggota badan-badan perwakilan rakyat. Di dalam beberapa pasal Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sendiri ditentukan barang-barang apa yang masing-masing pihak tidak mempunyai kekuasaan, seperti yang ditentukan dalam Pasal 1332 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dalam pasal tersebut ditentukan bahwa hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan sajalah yang dapat menjadi obyek suatu perjanjian. Dengan kata lain, maka barang-barang yang berada di luar perdagangan (buiten handel) seperti jalan-jalan raya, sungai-sungai, pantai laut dan lain sebagainya tidak dapat menjadi obyek dari dading juga.
53
Pasal 1851 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
38
Pasal 1334 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan suatu boedel-warisan, sebagai yang hanya mungkin saja akan ditinggal oleh seorang boedel-warisan, sebagai barang-barang yang tidak dapat dijadikan obyek dari suatu perjanjian, termasuk juga suatu dading. Dinyatakan dalam Pasal 1852 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, bahwa untuk dapat melakukan suatu perdamaian (dading) orang harus mempunyai kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan (beschikken) atas objek-objek yang meliputi dading itu. Dinyatakan pula bahwa para wali dan kuartor tidak dapat membuat suatu kompromi atau dading (perdamaian), jika mereka tidak memperhatikan ketentuan dalam Buku I bab ke-15 dan ke-17 dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Bab ke-15 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengatur soal mereka yang belum dewasa dan perwalian. Bab-17 mengatur soal curatele. Semua ketentuan dalam Bab ini harus diperhatikan oleh seorang wali atau kurator jika melakukan perdamaian. Disebutkan dalam alinea ke-3 dari Pasal 1852 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, bahwa kepala pemerintahan setempat yang bertindak dalam mengkualitasikan mereka itu dan badan-badan umum atau rumah-rumah pemeliharaan piatu (gestichten) tidak dapat melakukan perdamaian tanpa memperhatikan formalitas yang ditentukan oleh undang-undang bagi mereka ini. Dinyatakan lebih lanjut dalam Pasal 1853 Kitab Undang-Undnag Hukum Perdata, bahwa atas perbuatan kepentingan perdata yang didasarkan atau dihasilkan tindak pidana atau pelanggaran tidak dapat dibuat perdamaian. Demikian pula tidak dapat diadakan arbitrase mengenai materi seperti ini.
39
d.
Kewenangan Absolut Arbitrase Kompetensi absolut arbitrase untuk menyelesaikan suatu perkara bergantung
pada perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para pihak.54 Apakah persetujuan yang memuat perjanjian arbitrase, baik dalam bentuk “pactum de compromittendo” atau “akta kompromis”, mengenyampingkan kompetensi pengadilan. Terhadap permasalahan ini berkembang dua aliran, sebagai berikut: 1)
Klausul Arbitrase: Bukan Publik Orde Menurut aliran yang mengajarkan klausul arbitrase bukan publik order atau
bukan kepentingan umum (niet van openbaar orde), klausul arbitrase tidak mutlak menyingkirkan kewenangan Pengadilan untuk memeriksa dan mengadili perkara yang timbul dari perjanjian.55 Meskipun suatu perjanjian terdapat klausul arbitrase, baik yang berbentuk pactum de compromittendo atau akta kompromis, apabila salah satu pihak mengajukan gugatan tentang hal itu kepada Pengadilan maka Pengadilan Negeri tetap berwenang memeriksa dan mengadili sengketa yang timbul dari perjanjian berklausul arbitrase tersebut. Aliran ini memberi hak opsi atau hak pilih bagi para pihak, untuk memlilih apakah sengketa yang timbul diajukan kepada badan arbitrase atau ke Pengadilan. Apabila salah satu pihak telah mengajukan sengketa kepada badan arbitrase, maka
54
Ridwan Khairandy, PT Pulau Intan Cemerlang dan PT Gunung Berlian v Syafei Juremi, et.al, (Putusan Mahkamah Agung N0: Reg. No. 1851/Pdt./1984): Analisis terhadap Kesalahan Pengadilan dalam Penafisran Perjanjian dan Penentuan Kompetensi Absolut Arbitrase, diakses dari http://ridwankhairandy.staff.uii.ac.id/2010/01/20/pt-pulau-intan-cemerlangdan-pt-gunung-berlian-v-syafei-juremi-etal-putusan-mahkamah-agung-no-reg-no-1851pdt1984analisis-terhadap-kesalahan-pengadilan-dalam-penafsiran-perjanjian-dan-p/, pada tanggal 15 September 2015, pukul 09:04 WIB, hlm. 8. 55 M. Yahya Harahap, Arbitrase, Pustaka Kartini, 1991, hlm. 124.
40
mutlak gugur yurisprudensi Pengadilan Negeri untuk menerima, memeriksa dan mengadili sengketa tersebut. Namun apabila salah satu pihak telah mengajukan sengketa kepada Pengadilan Negeri, maka dengan sendirinya gugur kewenangan badan arbitrase untuk memeriksa dan mengadili sengketa tersebut. Demikian pendapat yang paling ekstrim dari aliran yang mengajarkan klausul arbitrase bukan berkapasitas sebagai kepentingan umum (non public order). Klausul arbitrase tidak bersifat absolut menyingkirkan kewenangan badan Pegadilan. Oleh karena itu para pihak tetap memiliki kebebasan untuk mengajukan persengketaan yang timbul kepada Pengadilan Negeri. Pengadilan Negeri berwenang sepenuhnya menerima, memeriksa dan mengadili sepanjang pihak lawan tidak mengajukan eksepsi atau bantahan yang menyatakan bahwa perjanjian telah diikat dengan klausul arbitrase, sehingga kewenangan untuk menyelesaikan persengketaan jatuh ke badan arbitrase. Apabila diajukan eksepsi tentang adanya klausul arbitrase dalam perjanjian, dengan sendirinya menurut hukum, gugur yurisprudensi Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan mengadili sengketa tersebut. Sebaliknya, apabila tidak ada pihak yang tidak mengajukan eksepsi tentang adanya klasul arbitrase, maka dianggap telah melepaskan haknya atas klausul arbitrase yang diperjanjikan. Menurut pendapat ini, supaya klausul arbitrase bisa mempengaruhi kewenangan menyelesaikan sengketa melalui badan arbitrase, klausul arbitrase tersebut harus dipertahankan. Cara mempertahankannya ialah dengan mengajukan eksepsi. Secara formil, eksepsi harus diajukan dalam jawaban pertama oleh pihak tergugat. Apabila eksepsi terhadap klausul arbitrse baru
41
diajukan dalam gugat rekonpensi, secara formil dianggap tidak sah dan tidak memiliki daya. Akibatnya, pihak tergugat dianggap telah melepaskan hak dan kepentingannya atas klausul dimaksud, dan kewenangan mengadili sengketa menjadi yuridiksi Pengadilan Negeri. Aliran ini misalnya secara tersirat dapat dilihat dalam putusan NR 8 Januari 1925, menurut putusan ini,56 adalah sebagai berikut: a)
Suatu klausul arbitrase “niet van openbaar orde” (bukan ketertiban umum).
b)
Sengketa yang timbul dari perjanjian yang memuat klausul arbitrase dapat diajukan ke pengadilan perdata.
c)
Pengadilan tetap berwenang mengadili, sepanjang pihak lawan tidak mengajukan eksepsi akan adanya klausul arbitrase.
d)
Dengan tidak adanya eksepsi diajukan, pihak lawan dianggap telah “melepaskan” haknya atas klausul arbitrase dimaksud.
e)
Eksepsi atau tangkisan klausul arbitrase baru diajukan dalam gugatan rekonpensi, tergugat dianggap telah melepaskan haknya atas klausul arbitrase, dan kewenangan mengadili sengketa sudah jatuh dan tunduk pada yuridiksi pengadilan.
56
Tim Pengkajian Hukum MARI, Penemuan Hukum dan Pemecahan Masalah-Masalah Hukum Dalam Arbitrase 1990, dikutip dari Suyud Margono, ADR dan Arbitrase Penyelesaian Sengketa Bisnis, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2010, hlm. 158.
42
2)
Klausul Arbitrase: Pacta Sunt Sevanda Kata pacta berasal dari kata pactum, yang berarti agreement atau perjanjian.
Dari kata pactum, lahir ungkapan pacta sunt servanda, yang berkembang dan menjadi kaidah hukum yang mengandung makna setiap perjanjian yang sah (legal agreement) mengikat kepada para pihak, oleh karena itu para pihak harus menaatinya.57 Oleh karena itu, setiap persetujuan hanya dapat gugur (ditarik kembali) atas kesepakatan bersama para atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Lebih lanjut dipertegas bahwa semua persetujuan yang dibuat secara sah, berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya, oleh karena itu harus dilaksanakan dengan iktikad baik (good faith).58 Asas pacta sunt servanda secara positif telah dituangkan dalam Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang berintikan: a)
Setiap perjanjian mengikat kepada para pihak;
b)
Kekuatan mengikatnya serupa dengan kekuatan undang-undang; dan
c)
Hanya dapat ditarik kembali atas persetujuan bersama para pihak. Bertitik tolak dari teori prinsip pacta sunt servanda, aliran ini berpendapat,
setiap perjanjian memuat klausl arbitrase: a)
Mengikat secara mutlak kepada para pihak; dan
57 58
M. Yahya Harahap, op.cit., hlm. 128-129. Ibid.
43
b)
Oleh karena itu, kewenangan memeriksa dan memutus sengketa yang timbul, menjadi kewenangan absolut. Jika makna pacta sunt servanda dihubungkan dengan ketentuan Pasal 1388
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, serta dikaitkan dengan perjanjian, terdapat beberapa asas yang sangat esensial untuk diterapkan menentukan kewenangan yuridiksi arbitrase: a)
Setiap perjanjian mengikat kepada para pihak;
b)
Kekuatan mengikatnya serupa dengan kekuatan undang-undang; dan
c)
Hanya dapat ditarik kembali atas kesepakatan bersama para pihak. Klausul arbitrase merupakan persetujuan atau kesepakatan yang dituangkan
para pihak ke dalam perjanjian, oleh karenanya, asas-asas yang terkandung dalam pacta sunt servanda dan Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, berlaku sepenuhnya terhadap perjanjian arbitrase. Acuan penerapannya: a)
Persetujuan arbitrase mengikat secara mutlak kepada para pihak;
b)
Oleh karena itu, apabila timbul persengketaan dari apa yang telah mereka perjanjikan, kewenangan untuk menyelesaikan dan memutus sengketa, mutlak menjadi kewenangan badan arbitrase;
c)
Dengan demikian, pengadilan tidak berwenang memeriksa dan mengadili sengketa secara mutlak;
44
d)
Dan gugurnya klausul arbitrase hanya terjadi apabila secara tegas ditarik kembali atas kesepakatan para pihak; dan
e)
Serta tidak dapat dibenarkan hukum, penarikan secara diam-diam, apalagi penarikan secara speihak atau secara unilateral. Aliran ini berpendirian, sejak para pihak mengadakan perjanjian arbitrase,
maka para pihak secara mutlak telah terikat. Kemutlakan keterikatan kepada perjanjian arbitrase, dengan sendirinya telah mewujudkan kewenangan absolut badan arbitrase untuk menyelesaikan dan memutus sengketa yang timbul dari perjanjian. Gugurnya kewenangan mutlak arbitrase untuk menyelesaikan dan memutus sengketa yang timbul dari perjanjian, hanya dapat dibenarkan apabila para pihak sepakat dan setuju menarik kembali secara tegas perjanjian arbitrase. Maka, sejak para pihak mengikat diri dalam perjanjian arbitrase, sejak itu dengan sendirinya telah lahir kompetensi absolut arbitrase untuk menyelesaikan persengketaan yang timbul dari perjanjian. Oleh karena itu, ada atau tidak ada diajukan eksepsi, Pengadilan harus tunduk kepada ketentuan pasal 134 HIR 59 dan menyatakan diri tidak berwenang mengadili.
59
Pasal 134 HIR berbunyi: “Jika perselisihan itu adalah suatu perkara yang tidak termasuk wewenang pengadilan negeri, maka pada sembarang waktu dalam pemeriksaan perkara itu, boleh diminta supaya hakim mengaku tidak berwenang, dan hakim itu pun, karena jabatannya, wajib pula mengaku tidak berwenang.” (Rv. 132: IR. 136, 190)
45
e.
Putusan Arbitrase Pada prinsipnya putusan arbitrase bersifat final dan mengikat, tidak ada
upaya hukum banding atau kasasi terhadap putusan arbitrase. Putusan arbitrase bersifat final dan mengikat tersebut diatur dalam Pasal 60 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yang berbunyi putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak. Pada Penjelasan Pasal 60 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa disebutkan bahwa putusan arbitrase merupakan putusan final dan dengan demikian tidak dapat diajukan banding, kasasi atau peninjauan kembali. Namun, karena beberapa hal dimungkinkan adanya pembatalan putusan arbitrase. Pembatalan putusan arbitrase hanya dapat dilakukan jika terdapat halhal yang bersifat luar biasa.60 Putusan arbitrase dapat dibatalkan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut:61 1)
Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu dan dinyatakan palsu;
2)
Setelah putusan diambil, ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau
3)
Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa. 60
Bambang Sutiyoso, Hukum Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Gama Media, Yogyakarta, 2008, hlm. 160. 61 Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
46
Upaya pembatalan tersebut bukanlah merupakan banding biasa terhadap suatu putusan arbitrase, pembatalan merupakan suatu upaya hukum yang luar biasa. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pada prinispnya suatu putusan arbitrase adalah putusan tingkat pertama dan terakhir (final dan binding). 3.
Eksekusi Putusan Dalam Perkara Perdata Putusan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim, sebagai pejabat
negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak.62 Sebuah konsep putusan (tertulis) tidak mempunyai kekuatan sebagai putusan sebelum diucapkan di persidangan oleh hakim.63 Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan pada sidang pengadilan yang terbuka untuk umum untuk menyelesaikan atau mengakhiri perkara perdata.64 Sedangkan pengertian putusan perkara perdata menurut Zainuddin Mappong adalah:65 “Suatu kesimpulan hakim yang diperoleh selama memeriksa dan mengadili suatu perkara perdata berdasarkan fakta-fakta yang terjadi di persidangan, kemudian menghubungkan antara fakta-fakta tersebut dengan dalil gugatan serta menentukan dasar hukumnya, baik menurut hukum perdata materiil maupun menurut hukum perdata formil dan selalu harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.”
62
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi Ke Tujuh, Liberty Yogyakarta, Yogyakarta, 2006, hlm. 210. 63 Ibid. 64 Ridwan Syahrani, Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Umum, Pustaka Kartini, Jakarta, 1988, hlm, 83. 65 Zainuddin Mappong, Eksekusi Putusan Serta Merta, Cetakan Kedua, Tunggal Mandiri, Malang, 2014, hlm. 128.
47
Ada 3 (tiga) kekuatan yang melekat pada putusan pengadilan yakni, kekuatan mengikat, kekuatan pembuktian dan kekuatan eksekusi atau untuk jelasnya merupakan kekuatan untuk merealisir putusan berdasarkan kepala putusan yang berbunyi: “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”66 Putusan pengadilan yang dapat dilaksanakan (eksekusi) adalah putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde), yaitu putusan yang sudah tidak mungkin lagi dilawan dengan upaya hukum verzet, banding dan kasasi.67 Semua putusan pengadilan mempunyai kekuatan eksekutorial yaitu kekuatan untuk dilaksanakan secara paksa oleh alat-alat negara.68 Putusan akhir menurut sifat amarnya (diktumnya) dapat dibedakan atas 3 (tiga) macam, yaitu: putusan condemnatoir, putusan constitutief dan putusan declaratoir.69 Putusan condemnatoir adalah putusan yang memuat amar menghukum salah satu pihak yang sedang berperkara.70 Putusan constitutief adalah putusan yang memastikan suatu keadaan hukum, baik yang bersifat meniadakan suatu keadan hukum maupun yang menimbulkan keadaan hukum baru.71 Sedangkan putusan declaratoir adalah yang berisi pernyataan atau penegasan tentang suatu keadaan atau kedudukan hukum semata-mata.72
66
Djazuli Bachar, Eksekusi Putusan Perkara Perdata, Edisi Revisi, Akademika Pressindo, Jakarta, 1995, hlm. 21. 67 Ridwan Syahrani, op.cit., hlm. 105. 68 Ibid. 69 Ibid., hlm. 88. 70 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2015, hlm. 877. 71 Ibid., hlm. 876. 72 Ibid.
48
Hanya putusan pengadilan yang dikutumnya bersifat condemnatoir saja yang memerlukan pelaksanaan secara paksa oleh alat-alat negara. Sedangkan putusan yang dikutumnya bersifat constitutief dan declaratoir tidak memerlukan sarana-sarana untuk melaksanakan putusannya. Hal tersebut disebabkan karena putusan yang dikutumnya bersifat constitutief dan declaratoir tidak memuat adanya hak atas suatu prestasi.73 Pelaksanaan putusan pengadilan tidak lain adalah realisasi daripada apa yang merupakan kewajiban dari pihak yang dikalahkan untuk memenuhi suatu prestasi, yang merupakan hak dari pihak yang dimenangkan, sebagaimana tercantum dalam putusan pengadilan.74 Hukum eksekusi mengatur cara dan syarat-syarat yang dipakai untuk mengeksekusi/menjalankan putusan pengadilan, apabila pihak yang kalah tidak bersedia secara sukarela memenuhi bunyi putusan pengadilan tersebut.75 Dalam HIR/Rbg, eksekusi putusan pengadilan diatur dalam Pasal 196 HIR/207 Rbg dan berikutnya mengenai putusan pengadilan yang menghukum orang untuk membayar uang diatur dalam Pasal 224 Rbg/206 HIR, sedangkan eksekusi putusan pengadilan yang menghukum orang untuk melakukan suatu perbuatan diatur dalam Pasal 225 HIR/259 Rbg. 76
73
Ridwan Syahrani, op.cit.,hlm. 105. Ibid., hlm. 106. 75 Zainuddin Mappong, op.cit., hlm. 135. 76 H. M. Abdurrachman, Hukum Acara Perdata, dikutip dari Ibid. 74
49
Dalam Pasal 54 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman tentang Kekuasaan Kehakiman diatur tentang pelaksanaan putusan pengadilan, yang menyatakan: a.
Pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara pidana dilakukan oleh jaksa;
b.
Pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara perdata dilakukan oleh panitera dan jurusita dipimpin oleh ketua pengadilan negeri putusan pengadilan dilaksankan dengan memperhatikan nilai kemanusiaan dan keadilan. Sedangkan Pasal 55 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman menyatakan:
a.
Ketua pengadilan wajib mengawasi pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
b.
Pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan peraturan.
Asas-asas eksekusi (pelaksanaan putusan):77 a.
Eksekusi (pelaksanaan putusan) dijalankan terhadap putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Inilah salah satu asas atau prinsip yang mesti diperhatikan pada saat hendak
melakukan eksekusi. Dalam Undang-Undang Peradilan Tata Usaha dikatakan, hanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang 77
Moh. Taufik Makarao, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata, Cetakan Pertama, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2004, hlm. 214 - 216.
50
dapat dilaksanakan.78 Akan tetapi terhadap asas tersebut ada pengecualian. Dalam kasus-kasus tertentu, undang-undang memperbolehkan eksekusi terhadap putusan yang belum memperoleh kekuatan hukum tetap, atau pelaksanaan putusan dapat dijalankan pengadilan terhadap bentuk hukum tertentu di luar putusan, sehingga ada kalanya eksekusi bukan merupakan tindakan menjalankan putusan pengadilan, tapi menjalankan pelaksanaan (eksekusi) terhadap bentuk-bentuk hukum yang dipersamakan undang-undang sebagai putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Terhadap pengecualian dimaksud, eksekusi dapat dijalankan sesuai dengan aturan tata cara eksekusi terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Bentuk-bentuk pengecualian yang diatur oleh undang-undang meliputi: 1)
Pelaksanaan putusan lebih dahulu atau uit voerbaar bij voorrad. Pasal 180 ayat (1) HIR atau Pasal 191 ayat (1) Rbg memberi hak kepada
Penggugat untuk mengajukan permintaan agar putusan dapat dijalankan eksekusinya lebih dulu, sekalipun terhadap putusan itu pihak tergugat mengajukan banding atau kasasi. 2)
Pelaksanaan putusan provisi. Pelaksanaan terhadap putusan provisi merupakan pengecualian eksekusi
terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Sebagaimana diketahui, kalimat terakhir Pasal Pasal 180 ayat (1) HIR atau Pasal 191 ayat (1) Rbg mengenal gugat provsi, yakni tuntuan lebih dulu yang bersifat 78
Pasal 115 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
51
sementara mendahului putusan pokok perkara. Apabila hakim mengabulkan gugatan atau tuntutan provisi, maka putusan provisi tersebut dapat dilaksanakan (dieksekusi) sekalipun perkara pokoknya belum diputus. Undang-undang seperti yang diatur Pasal 180 ayat (1) HIR atau Pasal 191 ayat (1) Rbg maupun Pasal 54 Rv, memperbolehkan menjalankan pelaksanaan putusan provisi mendahului pemeriksaan dan putusan pokok perkara. 3)
Akta perdamaian. Bentuk pengecualian ini diatur dalam Pasal 130 HIR atau Pasal 154 Rbg.
Menurut pasal ini, selama persidangan berlangsung, kedua belah pihak yang berperkara dapat berdamai, baik atas anjuran hakim maupun atas inisiatif dan kehendak kedua belah pihak. Apabila tercapai perdamaian dalam persidangan maka hakim membuat akta perdamaian, menghukum kedua belah pihak untuk memenuhi akta perdamaian. Sifat akta perdamaian yang dibuat di persidangan mempunyai kekuatan eksekusi (executorial kracht) seperti putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. 4)
Eksekusi terhadap grose akta. Pengecualian lain yang diatur dalam undang-undang ialah menjalankan
eksekusi terhadap groese akta, baik grose akta hipotik maupun grose akta pengakuan hutang, sebagaimana diatur dalam Pasal 224 HIR atau Pasal 258 Rbg. Menurut pasal ini eksekusi yang dijalankan alan memenuhi isi perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Hal ini jelas merupakan penyimpangan dan pengecualian eksekusi terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap.
52
b.
Eksekusi dijalankan terhadap putusan yang tidak dijalankan secara sukarela. Pada prinsipnya eksekusi sebagai tindakan paksa menjalankan putusan
pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, baru merupakan pilihan hukum apabila pihak yang kalah tidak mau menjalankan atau memenuhi isi putusan secara sukarela. Jika pihak yang kalah bersedia mentaati dan memenuhi putuan secara sukarela, tindakan eksekusi harus disingkirkan. Oleh karena itu harus dibedakan antara menjalankan putusan secara sukrela dengan menjalankan putusan secara eksekusi. c.
Putusan yang dapat dieksekusi adalah putusan yang bersifat condemnatoir Artinya mengandung suatu penghukuman. Putusan-putusan yang amar atau
diktumnya adalah declaratoir
atau konsitutif tidak perlu diekseusi atau
dilaksanakan, karena begitu putusan-putusan yang demikian itu diucapkan, maka keadaan yang dinyatakan sah oleh putusan declaratoir mulai berlaku pada saat itu juga, atau dalam halnya putusan konsitutif, keadaan baru sudah tercipta pada detik itu pula. Putusan condemnatoir bias berupa penghukuman untuk: 1)
Menyerahkan suatu barang;
2)
Mengosongkan sebidang tanah;
3)
Melakakukan suatu perbuatan tertentu;
4)
Menghentikan suatu perbuatan/keadaan;
5)
Membayar sejumlah uang.
53
Dari kelima bentuk putusan condemnatoir, dari huruf a sampai dengan huruf d adalah penghukuman yang berbentuk eksekusi riil, sedangkan huruf e adalah eksekusi pembayaran sejumlah uang. Pada umunya eksekusi riil sangat sederhana hanya meliputi barang tertentu, misalnya barang yang menjadi sengketa adalah sebidang tanah, maka eksekusi riilnya hanya terbatas pada pengosongan dan penyerahan tanah yang menjadi sengketa. Eksekusi riil tidak dapat berkembang terhadap harta tergugat yang lain. Berbeda dengan eksekusi pembayaran sejumlah uang, berlaku asas obyek eksekusi meliputi semua harta debitor, dengan patokan, sampai semua hutang (tagihan) terlunasi. Ini sesuai dengan prinsip hukum perdata yang menentukan semua harta kekayaan debitor memikul beban untuk melunasi hutang kepada kreditor sampai terpenuhi seluruh pembayaran hutang.
B.
Perjanjian Dan Perbuatan Melawan Hukum Dalam Perkara Perdata
1.
Dasar-Dasar Perjanjian
a.
Pengertian Perjanjian Menurut Sri Soedewi Masychoen Sofwan, perjanjian adalah suatu perbuatan
hukum di mana seorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap seorang lain atau lebih.
79
Menurut R. Wirjono Prodjodikoro, suatu perjanjian diartikan sebagai
suatu perbuatan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau
79
A. Qorim Syamsudin Meliala, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Perkembangannya, Cetakan Pertama, Liberty, Yogyakarta, 1985, hlm. 7-8.
Beserta
54
untuk tidak melakukan suatu hal, sedangkan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu. Menurut Subekti, perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Menurut K.R.M.T. Tirtodiningrat, perjanjian adalah suatu perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat di antara dua orang atau lebih untuk menimbulkan akibat-akibat hukum yang diperkenankan oleh UndangUndang. Sedangkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) terjemahan Subekti tidak dipakai istilah perjanjian melainkan yang dipakai adalah persetujuan. Hal ini tidak menjadi persoalan, sebab suatu perjanjian disebut juga persetujuan karena kedua belah pihak setuju untuk melakukan sesuatu.80 Jadi, kedua istilah tersebut mempunyai arti yang sama. Tetapi menurut R. Wirjono Prodjodikoro, perjanjian dan persetujuan adalah berbeda.81 Beliau mengatakan bahwa persetujuan dalam perundang-undangan Hindia Belanda dulu dinamakan overeenkomsten, yaitu suatu kata sepakat antara dua pihak atau lebih mengenai harta benda kekayaan mereka yang bertujuan mengikat kedua belah pihak. Sedangkan, perjanjian adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal, sedangkan pihak yang lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.
80 81
Ibid., hlm. 8. Ibid.
55
Dalam KUHPerdata bukan menggunakan kata perjanjian melainkan persetujuan. Pasal 1313 KUHPerdata mengatakan bahwa suatu persetujuan adalah perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. b.
Syarat Sahnya Perjanjian KUHPerdata menentukan empat syarat yang harus ada pada setiap
perjanjian, sebab dengan dipenuhinya syarat-syarat inilah suatu perjanjian itu berlaku sah.82 Keempat syarat untuk sahnya perjanjian menurut Pasal 1320 KUHPerdata adalah: 1)
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2)
Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3)
Suatu hal tertentu; dan
4)
Suatu sebab yang halal. Dua syarat yang pertama adalah syarat yang menyangkut subjeknya, sedang
dua syarat yang terakhir adalah mengenai objeknya. Suatu perjanjian yang mengandung cacat pada subjeknya, yaitu syarat sepakat mereka yang mengikatkan dirinya dan kecapakan untuk bertindak, tidak selalu menjadikan perjanjian tersebut menjadi batal dengan sendirinya (nietig), tetapi seringkali hanya memberikan kemungkinan untuk dibatalkan (vernietigbaar).83 Sedang, 82
A. Qorim Syamsudin Meliala, op.cit., hlm. 9. J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian: Buku 1, op.cit., hlm. 163. 83
56
perjanjian yang cacat dalam segi objeknya, yaitu mengenai segi suatu hal tertentu atau suatu sebab yang halal, adalah batal demi hukum.84 Berikut penjelasan mengenai keempat syarat tersebut: 1)
Kata Sepakat dari Mereka yang Mengikatkan Dirinya Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya mengandung makna bahwa para
pihak yang membuat perjanjian telah sepakat atau ada persesuaian kemauan atau saling menyetujui kehendak masing-masing, yang dilahirkan oleh para pihak dengan tiada paksaan, kekelirian, dan penipuan.85 Paksaan (dwang), kekelirian (dwaling), dan penipuan (bedrog) merupakan 3 hal yang mengakibatkan kesepakatan tidak sempurna, sebagaimana diatur dalam Pasal 1321 KUHPerdata s.d. 1328 KUHPerdata. 2)
Kecakapan untuk Membuat Perjanjian Cakap (bekwaam) meruapakan syarat umum untuk dapat melakukan
perbautan hukum secara sah, yaitu harus dewasa, sehat akal pikiran, dan tidak dilarang oleh suatu perundang-undangan untuk melakukan sesuatu perbuatan tertentu.86 Dengan kata lain, orang yang tidak cakap tidak memenuhi syarat untuk
84
Ibid., hlm 163-164. Ridwan Syahrani, Seluk Beluk Dan Asas-Asas Hukum Perdata, Edisi Ketiga, Cetakan Kesatu, PT. Alumni, Bandung, 2006, hlm. 205-206. 86 Ibid. hlm. 208. 85
57
membuat perjanjian.87 Adapun orang yang tidak cakap menurut Pasal 1330 KUHPerdata adalah: a)
Orang-orang yang belum dewasa;
b)
Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan;
c)
Orang-orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undangundang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang persetujuan-persetujuan tertentu. Tegasnya, syarat
kecakapan untuk membuat
suatu perjanjian ini
mengandung kesadaran untuk melindungi baik bagi dirinya dan bagi miliknya maupun dalam hubungannya dengan keselamatan keluarganya.88 3)
Suatu Hal Tertentu Pengertian suatu hal tertentu mengarah kepada barang yang menjadi objek
suatu perjanjian.89 Menurut Pasal 1333 KUHPerdata, barang yang menjadi objek suatu pejanjian ini harus tertentu, setidak-tidaknya harus ditentukan jenisnya, sedangkan jumlahnya tidak perlu ditentukan asalkan saja kemudian dapat ditentukan atau diperhitungkan.90 Selanjutnya ditentukan lebih lanjut dalam Pasal 1334 ayat (1) KUHPerdata, yaitu barang-barang yang baru akan ada kemudian hari juga dapat menjadi objek suatu perjanjian.
87
Budiman N.P.D. Sianaga, Hukum Kontrak & Penyelesaian Sengketa Dari Prespektif Sekretaris, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm. 17. 88 Ridwan Syahrani, op.cit., hlm. 209. 89 Budiman N.P.D. Sianaga, op.cit., hlm. 18. 90 Ridwan Syahrani, op.cit., hlm. 209-210.
58
Namun, menurut Pasal 1334 ayat (2) KUHPerdata barang-barang yang akan masuk hak warisan seseorang karena yang lain akan meinggal dunia dilarang dijadikan objek suatu perjanjian, kendatipun hal itu dengan kesepakatan orang yang akan meninggal dunia dan akan meninggalkan barang-barang warisan itu. Adanya larangan ini karena menjadikan barang yang akan diwarisi sebagai objek perjanjian bertentangan dengan kesusilaan.91 Kemudian dalam Pasal 1332 KUHPerdata ditentukan bahwa barang-barang yang dapat dijadikan objek perjanjian hanyalah barang-barang yang dapat diperdagangkan. Lazimnya barang-barang yang dipergunakan untuk kepentingan umum dianggap sebagai barang-barang di luar perdagangan, sehingga tidak bisa dijadikan objek perjanjian.92 4)
Suatu Sebab yang Halal Selanjutnya undang-undang menghendaki untuk sahnya suatu perjanjian
harus ada suatu oorzaak (causa) yang diperbolehkan.93 Secara letterlijk kata oorzaak atau causa berarti sebab, tetapi menurut riwayatnya, yang dimaksudkan dengan kata itu, ialah tujuan, yaitu apa yang dikehendaki oleh kedua pihak dengan mengadakan perjanjian itu.94 Mengenai syarat ini Pasal 1335 KUHPerdata menyatakan bahwa suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan.
91
R. Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Perjanjian, Cetakan Kesebelas, PT. Bale Bandung, Bandung, 1989, hlm. 23. 92 Ridwan Syahrani, op.cit., hlm. 210. 93 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cetakan XXVI, 1994, PT. Intermasa, Jakarta, 1994, hlm. 136. 94 Ibid., hlm. 136-137.
59
Dari apa yang diterangkan di atas, jelaslah bahwa praktis hampir tidak ada perjanjian yang tidak mempunyai causa.95 Suatu causa yang palsu terdapat, jika suatu perjanjian dibuat dengan pura-pura saja, untuk menyembunyikan causa yang sebenrnya yang tidak diperbolehkan.96 Adapun suatu causa yang tidak diperbolehkan ialah yang betentangan dengan undang-undang, kesusilaan atau keterbtiban umum.97 c.
Asas-Asas Dalam Perjanjian
1)
Asas Kebebasan Berkontrak Asas kebebasan berkontrak merupakan tiang sistem hukum perdata,
khususnya untuk hukum perikatan yang diatur dalam Buku III KUHPerdata. Asas kebebasan berkontrak yang dianut hukum Indonesia tidak lepas kaitannya dengan sistem terbuka yang dianut Buku III KUHPerdata yang merupakan hukum pelengkap yang dapat dikesampingkan oleh para pihak dalam membuat kontrak. Dengan asas kebebasan berkontrak, orang dapat menciptakan jenis kontrak baru yang sebelumnya tidak dikenal di dalam perjanjian bernama dan isinya menyimpang dari kontrak bernama yang diatur oleh undang-undang, yakni Buku III KUHPerdata.98
95
Ibid., hlm. 137. Ibid. 97 Ibid 98 J. Satrio, Hukum Perikatan: Perikatan Pada Umumnya, Alumni, Bandung, 1993, hlm. 96
36.
60
Asas kebebasan berkontrak menurut hukum perjanjian Indonesia meliputi ruang lingkup sebagai berikut:99 a)
Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian;
b)
Kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat perjanjian;
c)
Kebebasan untuk menentukan atau memilih causa dari perjanjian yang akan dibuatnya;
d)
Kebebasan untuk menentukan objek perjanjian;
e)
Kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian;
f)
Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang yang bersifat opsional (aanvullend, optional). Asas kebebasan berkontrak (freedom of contract) membuka kesempatan
kepada para pihak yang membuat perjanjian untuk menentukan hal-hal berikut ini: a)
Pilihan hukum (choice of law), dalam hal ini para pihak menentukan sendiri dalam kontrak tentang hukum mana yang berlaku terhadap interpretasi kontrak tersebut;
b)
Pilihan forum (choice of jurisdiction), yakni para pihak menentukan sendiri dalam kontrak tentang pengadilan atau forum mana yang berlaku jika terjadi sengketa di antara para pihak dalam kontrak tersebut;
99
Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, 1993, hlm. 47.
61
c)
Pilihan domisili (choice of domicile), dalam hal ini masing-masing pihak melakukan penunjukan di manakah domisili hukum dari para pihak tersebut.100 Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata mengakui asas kebebasan berkontrak
dengan menyatakan, bahwa semua perjanjian yang dimuat secara sah mengikat para pihak sebagai undang-undang. 2)
Asas Konsensualisme Kontrak atau perjanjian harus didasarkan pada konsensus atau kesepakatan
dari pihak-pihak yang membuat perjanjian.101 Dengan asas konsensualisme, perjanjian dikatakan telah lahir jika ada kata sepakat atau persesuaian kehendak diantara para pihak yang membuat perjanjian tersebut. Berdasarkan asas konsensualisme itu, dianut paham bahwa sumber kewajiban kontraktual adalah bertemunya kehendak (convergence of wills) atau konsensus para pihak yang membuat kontrak.102 3)
Asas Kekuatan Mengikatnya Kontrak Apabila pacta sunt servada dikaitan dengan adanya perjanjian, maka para
pihak yang membuat perjanjian harus melaksanakan perjanjian yang mereka buat.
100
Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dasri Sudut Pandang Hukum Bisnis), dikutip dari Ibid., hlm. 13-14. 101 Ridwan Khairandy, Hukum Kontrak Indonesa dalam Perspektif Perbandingan: Bagian Pertama, Cetakan Pertama, FH UII Press, Yogyakarta, 2013, hlm 90. 102 Ibid., hlm. 28.
62
Menurut asas ini kesepakatan para pihak itu mengikat sebagaimana layaknya undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Dengan adanya konsensus dari para pihak itu, maka kesepakatan itu menimbulkan kekuatan mengikat perjanjian sebagaimana layaknya undangundang (pacta sunt servada).103 Apa yang dinyatakan seseorang dalam suatu hubungan menjadi hukum bagi mereka. Asas inilah yang menjadi kekuatan mengikatnya perjanjian. Ini bukan kewajiban moral, tetapi juga kewajiban hukum yang pelaksanaannya wajib ditaati. 4)
Asas Itikad Baik Pasal 1338 KUHPerdata menyebutkan bahwa semua perjanjian yang dibuat
secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-asalan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Selanjutny, Pasal 1338 KUHPerdata mengatur bahwa suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik. Menurut Ridwan Khairandy, itikad baik di sini bermakna bahwa perjanjian dilaksanakan secara patut dan rasional. Prestasi para pihak di dalam melaksanakan perjanjian harus secara rasional dan patut. 5)
Asas Personalitas Adanya personalitas dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 1340
KUHPerdata. Pasal tersebut menyebutkan bahwa suatu perjanjian hanya berlaku 103
Ridwan Khairandy, Hukum Kontrak Indonesa dalam Perspektif Perbandingan: Bagian Pertama, Cetakan Pertama, op.cit., hlm. 91.
63
antara pihak-pihak yang membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat membawa rugi kepada pihak-pihak ke tiga, tidak dapat pihak-pihak ke toga mendapat manfaat karenanya, selain dalam hal yang diatur dalam Pasal 1317 KUHPerdata. Dengan demkian asas personalitas bermakna bahwa perjanjian hanya berlaku bagi pihakpihak yang membuatnya. d.
Wanprestasi Dalam Perjanjian
1)
Pengertian Wanprestasi Para pihak yang membuat perjanjian wajib melaksanakan kewajiban yang
timbul dari perjanjian tersebut. Kewajiban yang harus dipenuhi oleh para pihak dalam perjanjian disebut sebagai prestasi. Pemenuhan prestasi adalah hakikat dari suatu perjanjian. Kewajiban memenuhi prestasi dari debitor selalu disertai dengan tanggung jawab, artinya debitor mempertaruhkan harta kekayannya sebagai jaminan pemenuhan utangnya kepada kreditor. Dalam melaksanakan prestasi tersebut, ada kalanya debitor tidak dapat melaksanakan prestasi atau kewajibannya. Ada penghalang ketika debitor melaksanakan prestasi dimaksud. Tidak terpenuhinya kewajiban itu ada dua kemungkinan alasannya, yaitu: a)
Karena kesalahan debitor, baik karena kesengajaan maupun karena kelalian;
b)
Karena keadaan memaksa (force majure, overmacht), sesuatu yang terjadi di luar kemampuan debitor, debitor tidak bersalah.
64
Apabila tidak terpenuhinya kewajiban prestasi disebabkan oleh kesalahan debitor, baik karena kesengajaan maupun karena kelalaian, dan kesemuanya itu dapat dipersalahkan kepadanya, maka dikatakan bahwa debitor melakukan wanprestasi. Istilah lain wanprestasi dalam bahasa Indonesia adalah cidera janji atau ingkar janji. Wanprestasi atau cidera janji adalah suatu kondisi di mana debitor tidak melaksanakan kewajiban yang ditentukan di dalam perikatan, khususnya perjanjian (kewajiban kontraktual). Wanprestasi dapat juga terjadi di mana debitor tidak melaksanakan kewajibannya yang ditentukan dalam undang-undang. Wanprestasi dalam hukum perjanjian mempunyai makna yaitu debitor tidak melaksanakan kewajiban prestasinya atau tidak melaksanakan sebagaimana mestinya sehingga kreditor tidak memperoleh apa yang dijanjikan oleh pihak lawan. Adapun pengertian umum wanprestasi adalah pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya. Wanprestasi berasal dari istilah aslinya dalam bahasa Belanda “wanprestatie”. Wan berarti buruk atau jelek dan prestatie berarti kewajiban yang harus dipenuhi oleh debitor dalam setiap perikatan. Jadi, wanprestasi adalah prestasi yang buruk atau jelek. Secara umum artinya tidak memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan dalam perikatan, baik perikatan yang timbul karena perjanjian maupun perikatan yang timbul karena undang-undang.
65
Menurut Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, wanprestasi yaitu hal dimana tidak memenuhi suatu perutangan (perikatan). Wanprestasi memiliki dua macam sifat, yaitu pertama-tama dapat terdiri atas hal bahwa prestasi itu memang dilakukan tetapi tidak secara sepatutnya. Kemudian prestasi itu tidak dilakukan pada waktu yang tepat. Menurut J. Satrio, wanprestasi yaitu kalau debitor tidak memenuhi janjinya atau tidak memenuhi sebagaimana mestinya dan kesemuanya itu dapat dipersalahkan kepadanya. Sementara menurut M. Yahya Harahap, wanprestasi yaitu pelaksanaan kewajibann yang tidak tepat pada waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya. Menurutnya, seorang debitor disebutkan dan berada disebutkan dan berada dalam keadaan wanprestasi apabila dia dalam melakukan pelaksanaan perjanjian telah lalai sehingga terlambat jadual waktu yang ditentukan atau dalam melaksanakan prestasi tidak menurut sepatutnya/selayaknya. Secara spesifik Meijers menyatakan bahwa wanprestasi adalah perbuatan yang tidak melaksanakan kewajiban yang timbul dari perjanjian. Wanprestasi adalah konsep perikatan karena perjanjian. 2)
Bentuk Wanpretasi Wujud wanprestasi menurut J. Satrio adalah:104
a)
Debitor sama sekali tidak berprestasi; 104
122.
J. Satrio, Hukum Perikatan: Perikatan Pada Umumnya, Alumni, Bandung, 1993, hlm.
66
b)
Debitor keliru berprestasi; dan
c)
Debior terlambat berprestasi. Berikut adalah pembahasannya:
a)
Debitor Sama Sekali Tidak Berprestasi Dalam hal ini, debitor sama sekali tidak memberikan prestasi. Hal itu bisa
disebabkan karena debitor memang tidak mau berprestasi atau bisa juga disebabkan karena memang kreditor objektif tidak mungkin berprestasi lagi atau secara subjektif tidak ada gunanya lagi untuk berprestasi. Pada presitiwa yang pertama memang kreditor tidak bisa lagi berprestasi, sekalipun ia mau. b)
Debitor Keliru Berprestasi Di sini debitor memang dalam pemikirannya telah memberikan prestasinya,
tetapi dalam kenyataannya, yang diterima kreditor lain daripada yang diperjanjikan. Kredior membeli bawang putih, ternyata yang dikirim bawang merah. Dalam hal demikian kita tetap beranggapan bahwa debitor tidak berprestasi. Jadi dalam kelompok ini (tidak berpretasi) termasuk pernyerahan yang tidak sebagaimana mestinya dalam arti tidak sesuai dengan yang diperjanjikan. c)
Debitor Terlambat Berprestasi
Di sini debitor berprestasi, objek prestasinya betul, tetapi tidak sebagaimana diperjanjikan. Debitor digolongkan ke dalam kelompok terlambat berprestasi
67
kalau objek prestasinya masih berguna bagi kredior. Orang yang terlambat berprestasi dikatakan dalam keadaan lalai atau mora. 2.
Perbuatan Melawan Hukum Perbuatan melawan hukum adalah suatu bentuk perikatan yang lahir dari
undang-undang sebagai akibat perbuatan manusia yang melanggar hukum, yang diatur dalam KUHPerdata.105 a.
Pengertian Perbuatan Melawan Hukum Pasal 1365 KUH Perdata tidak memberikan pengertian atau makna
perbuatan melawan hukum, tetapi mengatur persyaratan bagi seseorang yang mengajukan gugatan ganti karena perbuatan melawan hukum berdasar ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata.106 Pasal 1365 KUH Perdata menyebutkan:107 setiap perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerugian terhadap orang lain, mewajibkan kepada orang itu karena kesalahannya untuk mengganti kerugian tersebut. Istilah perbuatan melawan hukum di Indonesia merupakan terjemahan dari istilah Belanda yaitu onrechtmatige dad.108 Pada istilah “melawan” itu melekat sifat aktif dan pasif, sifat aktif dari istilah “melawan” tersebut dapat dilihat apabila dengan sengaja melakukan sesuatu perbuatan yang menimbulkan kerugian pada 105
Gunawan Widjaja & Kartini Muljadi, Seri Hukum Perikatan: Perikatan yang Lahir Dari Undang-Undang, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm. 81. 106 Ridwan Khairandy, Hukum Kontrak Indonesa dalam Perspektif Perbandingan: Bagian Pertama, Cetakan Pertama, FH UII Press, Yogyakarta, 2013, hlm. 300. 107 Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 108 Selanjutnya untuk keseragaman penerjemahan lembaga hukum “onrechtmatige dad” tersebut ke dalam Bahasa Indonesia, maka akan digunakan kata-kata “Perbuatan Melawan Hukum”, karena menurut hemat M.A. Moegni Djojodirdjo terejemahan tersebut lebih mendekati makna yang sebenarnya daripada “onrechtmatige dad”.
68
orang lain.109 Sebaliknya kalau dengan sengaja diam saja, sedang sudah mengetahui bahwa ia harus melakukan sesuatu perbuatan untuk tidak merugikan orang lain, maka ia telah “melawan” tanpa harus menggerakan badannya, inilah sifat pasif dari istilah “melawan”.110 Pengertian perbuatan melawan hukum ditemukan didalam doktrin. M. A. Moegni Djojodirdjo mengemukakan definisi perbuatan melawan hukum. Menurut M. A. Moegni Djojodirdjo perbuatan secara luas adalah: “Perbuatan melawan hukum merupakan suatu perbuatan atau kealpaan, yang atau bertentangan dengan hak orang lain atau bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku sendiri atau bertentangan baik dengan kesusilaan, maupun dengan sikap hati-hati yang harus diindahkan dalam pergaulan hidup terhadap orang lain atau benda.” Sedangkan menurut Rosa Agustina, perbuatan melawan hukum adalah: “Perbuatan yang melanggar hak (subjektif) orang lain atau perbuatan (atau tidak berbuat) yang bertentangan dengan kewajiban menurut undang-undang atau bertentangan dengan apa yang menurut hukum tidak tertulis yang seharusnya dijalankan oleh seseorang dalam pergaulannya dengan semua warga masyarakat dengan mengingat adanya alasan pembenar.” b.
Unsur-Unsur Perbuatan Melawan Hukum M. A. Moegni Djojodirdjo mengemukakan empat usnur atau syarat materiel
yang dipenuhi penguggat untuk melakukan gugatan ganti rugi karena perbuatan melawan hukum. Persyaratan tersebut adalah: 1)
Perbuatan tersebut harus merupakan perbuatan melawan hukum; 109
M. A. Moegni Djojodirdjo, Perbuatan Melawan Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1979, hlm.13. 110 Ibid.
69
2)
Kesalahan (schuld);
3)
Kerugian (schade); dan
4)
Hubungan kausal (oorzakelijk verband). J. Satrio menyatakan bahwa unsur-unsur yang tersimpul Pasal 1365 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata adalah sebagai berikut:111 1)
Adanya tindakan/ perbuatan;
2)
Perbuatan itu harus melawan hukum;
3)
Pelakunya memiliki unsur kesalahan;
4)
Perbuatan tersebut menimbulkan kerugian. Secara teortitis, dikatakan bahwa tuntutan ganti kerugian berdasarkan alasan
perbuatan melanggar hukum baru dapat dilakukan apabila memenuhi empat unsur di bawah, yaitu:112 1)
Adanya perbuatan melanggar hukum;
2)
Ada kerugian;
3)
Ada hubungan kausalitas antara kerugian dan perbuatan melanggar hukum;
4)
Ada kesalahan.
111
J. Satrio, Hukum Perikatan: Perikatan Yang Lahir Dari Undang-Undang: Bagian Pertama, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm. 139. 112 Ahmad Miru & Sakka Pati, Hukum Perikatan Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai 1456 BW, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2009, hlm.96-97.
70
Unsur-unsur perbuatan melawan hukum, adalah: 1)
Perbuatan Istilah daad (perbuatan) dalam Pasal 1365 KUH Perdata memiliki segi
positif dan negatif. 113 Segi positif dari daad bermakna berbuat sesuatu, sedangkan segi negatifnya bermakna tidak berbuat sesuatu.114 Seseorang dikatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum jika ia melakukan perbuatan yang melanggar hukum.115 Namun ia juga dapat dikatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum ketika ia mengabaikan kewajiban hukumnya dengan tidak berbuat sesuatu.116 Makna tidak berbuat sesuatu yang terkandung dalam daad pada awalnya tidak sama dengan makna kelalaian.117 Ketentuan mengenai kelalaian diatur dalam Pasal 1366 KUH Perdata, yang berbunyi setiap orang bertanggungjawab, tidak saja untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan oleh kelalaian atau kurang hati-hatinya. Keduanya diatur dalam pasal yang berbeda sehingga kelalaian terpisah dari perbuatan yang diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan mendapat tempat tersendiri.118 Namun setelah Pasal 1365 Kitab Undang-
113
Ridwan Khairandy, op.cit., hlm. 303. M. A. Moegni Djojodirdjo, op.cit., hlm. 26-27. 115 Ridwan Khairandy, loc.cit. 116 Ibid. 117 Ibid., hlm. 304. 118 Ridwan Khairandy, loc.cit. 114
71
Undang Hukum Perdata ditafsirkan secara luas, yaitu dapat bermakna positif dan negatif, kelalaian pun dapat dituntut dengan Pasal 1365 KUH Perdata. 119 2)
Perbuatan Tersebut Harus Melawan Hukum Rumusan mengenai perbuatan melawan hukum menurut Hoge Raad
sebelum tahun 1919 adalah bahwa120onrechamtig is slecht een daad, die inbreuk maakt op eens anders subyectief recht, of die in strijd is met des daders eigen rechtsplicht (melawan hukum adalah sekedar suatu perbuatan yang melanggar hak subyektif orang lain atau yang bertentangan dengan kewajiban hukum dari si pembuat sendiri). Jadi, sebelum tahun 1919 Hoge Raad menafisrkan perbuatan melawan hukum secara sempir yaitu berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang melanggar hak orang lain atau bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku yang telah diatur oleh undang-undang atau dengan perkataan lain, melawan hukum ditafsirkan sebagai melawan undang-undang.121 Pandangan yang demikian ini disebabkan pengaruh dari ajaran Legisme, di mana orang berpendapat tidak ada hukum di luar undang-undang.122 Sehingga orang tidak dapat memberi penafsiran di luar kaidah-kaidah tertulis.123 Ajaran sempit ini berlainan dengan doktrin yang dikemukakan oleh para sarjana pada waktu itu, antara lain Molengraff yang menyatakan bahwa:
119 120
M. A. Moegni Djojodirdjo, op.cit., hlm. 30. R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Cetakan Keenam, Putra A Bardin, 1999,
hlm. 76. 121
R. Setiawan, loc.cit. Ibid. 123 Ibid. 122
72
“Pengertian perbuatan melawan hukum seperti yang disebutkan dalam Pasal 1365 BW tidak hanya meliputi suatu perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, melainkan juga meliputi perbuatanperbuatan yang bertentangan dengan segala sesuatu yang ada di luar undang-undang yaitu, kaidah-kaidah sosial lainnya (onrehmatig sama dengan ombetamelijk). Jadi meliputi kebiasaan sopan santun dan kesusilaan.” Seseorang dikatakan melakukan perbuatan melawan hukum jika dia bertindak secara lain daripada yang diharuskan dalam pergaulan masyarakat mengenai seseorang atau benda.124 Perubahan sikap dan pendapat Hoge Raad mengenai makna melawan hukum berubah pada 1919. Hoge Raad tidak lagi menggunakan penafsiran melawan hukum secara sempit, tetapi Hoge Raad mulai mengikuti penafsiran melawan hukum secara luas. Perbuatan melawan hukum kemudian diartikan tidak hanya mencakup perbuatan yang melanggar kaidah-kaidah tertulis, yakni perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku dan melanggar hak subyektif orang, tetapi perbuatan yang melanggar kaidah yang tidak tertulis.125 Misalnya, kaidah yang mengatur tata susila, kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan hidup dalam masyarakat atau terhadap harta benda warga masyarakat.126
124
Setiawan, , dikutip dari Ridwan Khairandy, op.cit., hlm. 306. hlm. 308. 126 Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum, Cetakan Pertama, Universitas Indonesia Fakultas Hukum Pascasarjana, 2003, hlm. 7-8. 125
73
Dalam makna perbuatan melawan hukum secara luas tersebut, perbuatan melawan hukum memiliki makna: a)
Melanggar hak subyektif orang lain, berarti melanggar wewenang khusus yang diberikan oleh hukum kepada sesorang. Yurisprudensi memberi arti hak subyektif sebagai berikut:
(1)
Hak-hak perorangan seperti kebebasan, kehormatan, nama baik;
(2)
Hak atas harta kekayaan, hak kebendaan dan hak mutlak lainnya. 127
b)
Bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku. Kewajiban hukum diartikan sebagai kewajiban yang berdasarkan hukum, baik tertulis maupun tidak tertulis (termasuk dalam arti ini adalah perbuatan pidana pencurian, penggelapan, penipuan dan pengrusakan).
c)
Bertentangan dengan Kaedah Kesusilaan, yaitu bertentangan dengan normanorma moral, sepanjang dalam kehidupan masyarkat diakui sebagai norma hukum. Utrecht menulis bahwa yang dimaksudkannya dengan kesusilaan ialah semua norma yang ada di dalam kemasyarakatan, yang tidak merupakan hukum, kebiasaan atau agama.
d)
Bertentangan dengan kepatutan yang berlaku dalam lalu lintas masyarakat terhadap diri dan orang lain. Dalam hal ini harus dipertimbangan kepentingan sendiri dan kepentingan orang lain dan mengikuti apa yang menurut masyarakat patut dan layak. Yang termasuk dalam katagori bertentangan dengan kepatutan adalah: 127
Djuhaendah Hasan, Istilah dan Pengertian Perbuatan Melawan Hukum dalam Laporan Akhir Kompendium Bidang Perbuatan Melawan Hukum, dikutip dari Rosa Agustina
74
(1)
Perbuatan yang merugikan orang lain tanpa kepentingan yang layak;
(2)
Perbuaan yang tidak berguna yang menimbulkan bahaya bagi orang lain, yang berdasarkan pemikiran yang normal perlu diperhatikan.
3)
Kesalahan (schud) Menurut J. Satrio kesalahan yang dimaksud dalam Pasal 1365 KUH Perdata
adalah sesuatu yang tercela, yang dapat dipersalahkan, yang berkaitan dengan perilaku dan akibat perilaku si pelaku, yaitu kerugian, perilaku dan kerugian mana dapat dipersalahkan dan karenanya dapat dipertanggung jawabkan. Unsur kesalahan dalam Pasal 1365 KUH Perdata adalah unsur yang harus ada dalam kaitannya dengan tuntutan ganti rugi, bukan dalam rangka untuk menetapkan adanya tindakan melawan hukum.128 4)
Kerugian Dari rumusan Pasal 1365 KUH Perdata di atas jelas terlihat bahwa tujuan
dari aturan tersebut adalah untuk memberikan ganti kerugian. 129 Berbeda dengan ganti kerugian di dalam wanpretasi yang diatur secara jelas dalam Pasal 1243 KUH Perdata, ganti kerugian karena perbuatan melawan hukum tidak diatur secara jelas dalam undnag-undang. Namun penggantian kerugian akibat wanprestasi dapat diterapkan ke dalam perbuatan melawan hukum.130
128
J. Satrio, Hukum Perikatan: Perikatan Yang Lahir Dari Undang-Undang: Bagian Pertama, op.cit., hlm. 221. 129 Suhendro, Tumpang Tindih Pemahaman Wanprestasi & Perbuatan Melawan Hukum Dalam Wacana Akademik dan Praktik Yudisial, Cetakan Pertama, FH UII Press, Yogyakarta, 2014, hlm. 124. 130 M. A. Moegni Djojodirdjo, op.cit., hlm. 77.
75
Prinsip ganti rugi dalam perbuatan melawan hukum ditujukan untuk memulihkan kepada keadaan semula sebelum terjadinya kerugian karena perbuatan melawan hukum (restituio in integrum). Namun demikian, Buku III KUH Perdata tidak menentukan jenis ganti rugi yang dapat dituntut oleh korban kepada pelaku perbuatan melawan hukum. Walaupun Buku III KUH Perdata tidak menentukan ganti rugi yang dapat dituntut kepada pelaku perbuatan melawan hukum, Mahkamah Agung melalui yurisprudensi secara analogi menerapkan ganti rugi karena wanprestasi yang ditentukan Pasal 1243 KUH Perdata ke dalam ganti rugi yang dapat dituntut karena perbuatan melawan hukum. 5)
Hubungan Sebab-Akibat antara Perbuatan dan Kerugian Dalam hukum perdata ajaran kausalitas digunakan untuk menemukan
hubungan kausal antara perbuatan melawan hukum dan kerugian yang ditimbulkan untuk membebankan tanggung jawab kepada pelaku. Hubungan sebab akibat merupakan faktor yang mengkaitkan antara kerugian seseorang dengan perbuatan yang dilakukan oleh orang lain. Dalam menentukan adanya hubungan sebab akibat antara perbuatan dan kerugian, terdapat beberapa teori yang dapat digunakan. Seiring perkembangan jaman, ditemukan kelemahan-kelemahan dari sebuah terori, yang kemudian melahirkan teori-teori baru yang menggantikan teori tersebut. Pada tahun 1960, Koster melahirkan sebuah teori yaitu system dapat dipertanggungjawabkan secara
76
layak (Toerekening naarqr redelijkheid) yang faktor-faktornya adalah sebagai berikut:131 a.
Sifat kejadian yang menjadi dasar tanggung jawab;
b.
Sifat kerugian;
c.
Tingkat kemungkinan timbulnya kerugian yang dapat diduga; dan
d.
Beban yang seimbang bagi pihak yang dibebani kewajiban untuk membayar ganti kerugian dengan memperhatikan kedudukan finansial pihak yang dirugikan.
C.
Badan Peradilan Dan Arbitrase Dalam Prespektif Islam
1.
Badan Peradilan Dalam Prespektif Islam
a.
Pengertian Peradilan Kata peradilan berasal dari akar kata adil, dengan awalan per dan akhiran
an.132 Kata peradilan sebagai terjemahan dari qadha yang artinya memutuskan, melaksanakan, dan menyelesaikan.133 Umumnya kamus tidak membedakan antara peradilan dengan pengadilan. Berikut akan diuraikan arti qadla’ menurut bahasa dan arti qadla’ menurut istilah syari’:
131
Rosa Agustina, op.cit., hlm. 67. A. Basiq Djalil, Peradilan Islam, Cetakan Pertama, Amzah, Jakarta, 2012, hlm. 3. 133 Ahmad Warson Munawir, Al-Munawwir (Kamus Arab-Indonesia), dikutip dari Ibid. 132
77
1)
Arti Qadla’ Menurut Bahasa Kata qadla’ menurut bahasa, memiliki beberapa arti, diantaranya:134
a)
Al Qadla’: Al Faraagh, artinya: putus, selesai. Dalam Islam peradilan disebut qadha yang berati menyelesaikan, seperti
firman Allah:135
“Maka tatkala Zaid putuskan kehendak daripada Zainab itu, Kami kawinkan dia kepadamu.”136 b)
Al Qadla’: Al Adaa’, artinya: menunaikan, membayar. Seperti: qadlaa muhammadun dainahu, artinya: Muhammad telah membayar hutangnya. Seperti firman Allah SWT.:
“Apabila telah ditunaikan shalat maka bertebaranlah kamu di muka bumi.”137
134
Muhammad Salam Madkur, Peradilan Dalam Islam, Cetakan Ketiga, Surabaya, 1988,
hlm.19. 135 136
Ibid. QS. Al-Ahzab (33):37.
78
c)
Al Qadla’: Al Hukmu, artinya: mencegah, menghalang-halangi. Dan dari arti inilah maka qadli-qadli disebut sebagai hakim, karena mencegah terjadinya kedlaliman orang yang mau berbuat dlalim. Kemudian yang dimaksud katakata Hakamal haakimu bi kadzaa adalah Hakim meletakan hak kepada yang punya, sedang al qadla’ dengan arti al hukmu inilah yang dimaksud di sini. Asal kata qadla’ adalah qadlaayun dari fi’il madli qadlaitu, hanya karena
ya’ apabila terletak sesudah alif, di akhir kata, maka diganti dengan Hamzah sehingga menjadi qadlaa’un, jama’nya aqdliyah. Dan qadli menurut bahasa artinya Orang yang memutuskan perkara dan menetapkannya. Sedang yang dimaskud kalimat istaqdlaa fulaan artinya Fulan telah mengangkat seorang qadli untuk menghukumi di antara manusia. Dan sebenarnya, bahwa arti-arti qadla’ itu menurut bahasa, seluruhnya selalu berarti selesai dan sempurnanya sesuatu. 2)
Arti Qadla’ Menurut Istilah Syar’i138 Ahli-ahli Fiqih memberikan definisi qadla’ sebagai berikut: “Qadla’ yaitu
suatu keputusan produk pemerintah.” Atau: “Menyampaikan hukum Syar’i dengan jalan penetapan”, maka kalau dikatakan: qadlal qadli, artinya Hakim telah menetapkan suatu hak kepada yang punya. 137 138
QS. Al-Jumu’ah, (62):10 Muhammad Salam Madkur, op.cit., hlm. 20.
79
Maka berdasarkan definisi (ta’rif) ini jelas, bahwa penetapan itu sifatnya melaksanakan perintah agama dan bukan menciptakannya karena perintah seperti itu tetap diperkirakan adanya, sedang ‘penetapan’ itu sifatnya ‘menetapkan secara lahir’, dan bukannya menetapkan sesuatu yang belum ada. Dan ada yang berpendapat, bahwa qadla’ artinya: “Mencampuri urusan antara makhluk dengan Khaliknya, untuk menyampaikan perintah-perintah-Nya dan hukum-hukum-Nya kepada mereka , dengan perantaraan Al Quran dan As Sunnah”, dan dari pendapat ini, maka timbul pengertian, bahwa qadla’ adalah: “Menyelesaikan sengketa antara dua pihak dengan hukum Allah”. Dan ada juga yang berpendapat, bahwa qadla’ yaitu: “Memutuskan hukum antara manusia dengan benar, dan memutuskan hukum dengan apa yang diturunkan Allah”. 3)
Kata peradilan menurut istilah ahli fiqh adalah:
a)
Lembaga hukum (tempat di mana seseorang mengajukan permohonan keadilan).
b)
Perkataan yang harus dituruti yang diucapkan oleh seseorang yang mempunyai wilayah hukum atau menerangkan hukum agama atas dasar harus mengikutinya. Dari pengertian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa tugas peradilan
adalah menampakan hukum agama, tidak tepat bila dikatakan menetapkan suatu hukum karena hukum Islam (syariat) telah ada sebelum manusia ada, sedangkan
80
hukum umum baru ada setelah manusia ada.139 Dalam hal ini hakim hanya menerapkan hukum yang sudah ada dalam kehidupan, bukan menetapkan sesuatu yang belum ada.140 Di samping itu, seperti yang diungkapkan oleh Ibnu Abidin, ada pula ulama yang berpendapat bahwa peradilan berarti menyelesaikan suatu sengketa dengan hukum Allah. b.
Dasar Hukum Peradilan141
Al-Qadha merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari ajaran Islam, prinsip-prinsip keadilan dalam Islam menjadi landasan pokok pelaksanaan syariat Islam, sebagaimana dinyatakan dalam Al-Quran Surah An-Nisa’ (4): 135:
139
A. Basiq Djalil, loc.cit. Ibid. 141 Muhammad Salam Madkur, op.cit., hlm. 21-22. 140
81
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan”.142 Dasar qadla’ yaitu firman Allah SWT.:
“Hai Dawud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu sebagai khalifah (penguasa) di bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil.”143 Dan firman-Nya:
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah.”144
142 143
QS. An-Nisa (4): 135. QS. Shaad (38): 26.
82
Dan friman-Nya:
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman, hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan.” 145 Dan sabda Rasulullah SAW.: “Apabila hakim berijtihad lalu benar, maka baginya dua pahala, dan apabila ia berijtihad kemudian salah, maka baginya satu pahala.” Dan sabda Rasulullah SAW.: “Tidak boleh dengki kecuali pada dua orang: pada seorang laki-laki yang dianugerahi Allah harta, lalu dia curahkan sampai habis untuk membela kebenaran, dan pada seorang laki-laki yang dianugerahi Allah kebijaksanaan, lalu ia memutus perkara dan beramal dengan bijaksana.” Dan berdasar hadis yang diriwayatkan Sayyidah Aisyah, bahwa Rasulullah SAW. bersabda: “Taukah kamu siapa orang-orang yang lebih dahulu sampai kepada naungan Allah pada hari Kiyamat nanti? Mereka (sahabat) menjawab: Allah dan RasulNya yang lebih mengetahuinya. Ia bersabda: (Yaitu) mereka, yang apabila diberi hak kepadanya maka mereka menerimanya, dan apabila mereka memutuskan 144 145
QS. Al-Maidah (5): 49. QS. An-Nisa’ (4): 65.
83
perkara bagi kaum Muslimin maka mereka bertindak seperti memutuskan perkara terhadap diri mereka sendiri.” Kerangka dasar pelaksanaan Peradilan Islam dalam menangani perkara pernah dilakukan oleh Umar bin Khaththab. Kerangka dasar tersebut termaktub dalam suratnya kepada Abu Musa al-Asy’ari dan menjadi kerangka dasar peradilan dunia modern saat ini. Dari surat Umar tersebut terdapat delapan penggalan dan menjadi kerangka dasar, yaitu: Pertama, “sesungguhnya peradilan itu adalah suatu kewajiban yang ditetapkan oleh Allah SWT dan suatu sunnah Rasul yang wajib diikuti. Maka, pahamilah benar-benar jika ada suatu perkara yang dibentangkan kepadamu dan laksanakanlah jika benar.” Kedua, “sesungguhnya tidaklah berguna pembicaraan tentang kebenaran yang tidak ada pengaruhnya (tidak dapat dijalankan). Persamakanlah kedudukan manusia di dalam majelismu, pandanganmu, dan keputusanmu sehingga orang bangsawan tidak dapat menarik kamu kepada kecurangan dan orang yang lemah pun tidak berputus harapan dari keadilan.” Ketiga, “keterangan berupa bukti atau saksi hendaklah dikemukakan oleh orang yang mendakwa dan sumpah hendaklah dilakukan oleh orang yang mungkin (terdakwa).”
84
Keempat,
“perdamaian
diizinkan
hanya
antara
orang-orang
yang
bersengketa dari kalangan muslim, kecuali perdamaian yang menghalalkan barang yang haram atau mengharamkan barang yang halal.” Perkataan ini berasal dari hadist Nabi Muhammad SAW, sebagai berikut: “Kaum muslim itu wajib mengikuti segala syarat yang mereka buat, kecuali syarat yang mengharamkan barang yang halal atau menghalalkan yang haram.” (HR. at-Tirmidzi) Kelima, “barangsiapa mengaku suatu hak dengan bukti-bukti yang belum terkumpul di tangannya maka berikanlah kepada orang itu yang ditentukan. Jika ia dapat mengemukakan bukti-bukti tersebut berikanlah haknya, dan jika ia tidak sanggup maka selesailah persoalannya. Cara memberikan waktu yang ditentukan itu adalah sebaik-baik penangguhan dan lebih menjelaskan keadaan yang samar.” Keenam, “Tidaklah akan menghalangimu suatu keputusan yang engkau ambil pada suatu hari kemudian engkau meninjau kembali sedang engkau mendapat petunjuk, tidaklah hal itu menghalangimu kembali kepada kebenaran karena kebenaran itu qadim yang tidak dapat dibatalkan oleh sesuatu, dan kembali kepada kebenaran itu adalah lebih baik daripada terus-menerus di dalam kesesatan.” Ketujuh, “kaum muslimin adalah orang-orang yang adil terhadap sesama mereka, kecuali orang yang pernah besumpah palsu atau orang yang pernah dikenakan hukum jilid (dera) atau orang yang tertuduh dalam kesaksiannya karena
85
kerabat. Hanyalah Allah SWT yang menguasai rahasia hati hamba-hambanya dan melindungi mereka dari hukuman-Nya, kecuali ternyata dengan bukti-bukti yang sah atau sumpah.” Kedelapan, “pahamilah dengan benar persoalan yang dipaparkan kepadamu tentang perkara yang tidak terdapat di dalam Al-Quran atau sunnah Nabi, kemudian pergunakanlah qiyas terhadap perkara-perkara tersebut dan cari pula contoh-contohnya, kemudian berpeganglah menurut pandanganmu kepada hal yang terbaik di sisi Allah dan yang terbanyak miripnya kepada yang benar.” c.
Perkara Pidana dan Perdata146 Perkara ada dua macam, yaitu pidana dan perdata. Perkara pidana ialah
perkara yang diajukan ke muka pengadilan yang mendakwa seseorang telah melakukan kejahatan dan menuntutnya agar terdakwa dijatuhi hukuman pidana atas kejahatan yang dilakukannya, seperti membunuh, menodong, mencuri, atau yang lainnya dari bentuk-bentuk kejahatan yang pada umumnya sulit pembuktiannya. Sedangkan perkara perdata ialah perkara yang diajukan ke muka Pengadilan yang mendakwa Tergugat wanprestasi dari perjanjian yang disepakati, seperti jual-beli, usaha patungan dengan perjanjian bagi hasil, sewa-menyewa, gadai, dan lain sebagainya.
146
Ibnu Qayyim AL-Jauziyah, Hukum Acara Peradilan Islam, Cetakan Kedua, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007, hlm. 167-168.
86
d.
Putusan Badan Peradilan
1)
Pengertian Putusan Kata al-ahkam adalah jamak dari kata al-hukm sebagaimana di dalam kamus
al-Qadha. Hukum atau putusan suatu hakim adalah orang yang menjalankan suatu hukum. Kata hukum jamaknya adalah hukkam. Yang dimaksud hukum adalah putusan yang dikeluarkan oleh hakim yang merupakan penetapan hak bagi mahkum lah (pihak yang dimenangkan) dari mahkum ‘alaih (pihak yang dikalahkan). Pembahasan yang dikemukakan adalah menyangkut “penetapan”, yaitu hasil istinbath hakim, baik dengan jalan ijtihad, ittiba’ kepada pendapat mazhab tertentu, atau ia diangkat dengan ketentuan harus memutuskan perkara berdasarkan suatu undang-undang tertentu atau mazhab tertentu. Selanjutnya, patut disebutkan bahwa putusan hakim itu di samping dalam bentuk ucapan, seperti “aku putuskan demikian atau demikian,” ada juga yang dalam bentuk perbuatan (fi’il), seperti mengawinkan seorang anak perempuan yang tidak mempunyai wali maka walinya adalah hakim. Keterlibatan hakim dalam menangani akad pernikahan merupakan putusan dan penetapan. Menurut kitab fiqih, landasan yang harus digunakan sebagai putusan hakim adalah nash-nash dan hukum yang pasti (qath’i tsubut wa ‘adalah) dari Al-Quran dan sunnah, dan hukum-hukum yang telah disepakati oleh ulama (mujma’ ‘alaih), atau hukum-hukum yang telah dikenal dalam agama secara dharuri (pasti). Apabila perkara yang diajukan ke hadapan hakim itu terdapat hukum dalam nash (qath’i dalalah), atau terdapat ketentuan hukum yang telah disepakati oleh ulama,
87
atau ketentuan hukumnya telah diketahui secara dharuri oleh kaum muslim, kemudian hakim memutuskan dengan putusan yang menyalahi hal tersebut maka putusan itu batal dan berhak dibatalkan. Apabila perkara yang diajukan belum ada ketentuan hukum sebagaimana disebutkan di atas, tetapi ada petunjuk persangkaan (zhanni tsubut wad dalalah), atau petunjuk hukumnya dengan persangkaan (zhanni tsubut), atau petunjuk hukumnya persangkaan (zhanni adalah), atau belum ada ketentuan hukum sama sekali, dalam hal seperti ini harus diperhatikan peribadi hakim yang menjatuhkan putusan itu, karena putusan itu akan
berbeda sesuai dengan hakim yang
menjatuhkan putusan itu. Apakah hakim tersebut mutjtahid, muqallil, atau hakim harus memutus perkara berdasarkan undang-undang atau mazhab tertentu atau dibatasi dengan ketentuan-ketentuan tertentu. Apabila yang bersengketa mengajukan perkara ke hadapan hakim, kemudian di putus berdasarkan bukti-bukti yang kebenarannya dipandang secara lahiriah, maka hal demikian dapat menjadikan halalnya suatu hak untuk pihak yang dimenangkan. 2.
Arbitrase Dalam Prespektif Islam Dalam ajaran dan tradisi pemerintahan Islam, penyelesaian sengketa yang
terjadi di antara para pihak bukan hanya menjadi monopoli lembaga peradilan. Karena selain lembaga peradilan (wilayat al-qadha’) sebagai lembaga resmi pemerintah, diakui pula adanya lembaga sukarela, di luar lembaga formal (lembaga peradilan).
88
Menurut Hasbi Ash Shidieqy147, diantara lembaga yang termasuk ke dalam kualifikasi lembaga itu adalah lembaga tahkim (wilayat al-tahkim, pen.). Dalam konteks ini, lembaga tahkim dapat juga disebut dengan media ishlah (arbitrase) karena berfungsi untuk menyelesaikan konflik yang terjadi di antara pihak-pihak, yang dilakukan di luar pengadilan (non-litigasi).148 Pendekatan penyelesaian yang digunakan dalam lembaga tahkim ini sarat dengan nuansa kekeluargaan, sehingga tidak mengenal pihak-pihak dalam posisi menang atau kalah. Karena itu, keberadaan lembaga ini sangat membantu tugas-tugas pengadilan, bahkan dapat menjadi lembaga alternatif.149 Berikut akan diuraikan mengenai pengertian arbitrase dan dasar hukum arbitrase dalam prespektif Islam: a.
Pengertian Arbitrase
1)
Menurut Bahasa Dalam prespektif Islam, arbitrase dapat dipadankan dengan istilah tahkim.
Tahkim sendiri berasal dari kata kerja hakkama. Secara etimologi, tahkim berarti menjadikan seseorang sebagai pencegah suatu sengketa.150 Secara umum, tahkim memiliki pengertian sama dengan arbitrase yang dikenal dewasa ini yakni pengangkatan seseorang atau lebih sebagai wasit oleh dua orang yang berselisih
147
T. M. Hasbi Ash. Shiddieqy, Sedjarah Peradilan Islam, Cetakan Ketiga, Bulan Bintang, Jakarta, 1970, hlm. 59. 148 Oyo Sunaryo Mukhlas, Perkembangan Peradilan Islam: Dari Kahin di Jazirah Arab ke Peradilan Agama di Indonesia, Cetakan Pertama, Ghalia Indonesia, 2011, hlm. 17. 149 Ibid. 150 Liwis Ma’luf, Al Munjid al Lughah wa al-A’lam, dikutip dari Abdul Manan, Hukum Ekonomi Syariah dalam Prespektif Kewenangan Peradilan Agama, Cetakan Pertama, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2012, hlm. 429.
89
atau lebih, guna menyelesaikan perselisihan mereka secara damai, orang yang menyelesaikan disebut dengan “Hakam”.151 Menurut pakar hukum Islam berkebangsaan Irak, Abdul Karim Zaidam, bahwa tahkim adalah pengangkatan atau penunjukkan secara sukarela dari dua orang yang bersengketa
atas seseorang yang mereka
percayai
untuk
menyelesaikan sengketa antara mereka.152 2)
Menurut Ilmu Fiqh Menurut Abu al Ainain fatah Muhammad153, pengertian tahkim menurut
istilah fiqh adalah sebagai bersandarnya dua orang yang bertikai kepada seseorang yang mereka ridhai keputusannya untuk menyelesaikan pertikaian para pihak yang bersengketa. Menurut Satria Effendi M. Zein154, pengertian arbitrase dalam kajian fiqh adalah suatu penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh hakam yang dipilih atau ditunjuk secara sukarela oleh dua orang yang bersengketa untuk mengakhiri sengketa di antara mereka dan dua belah pihak akan menaati penyelesaian oleh hakam atau para hakam yang mereka tunjuk itu.
151
Nurul Hak, Ekonomi Islam Hukum Bisnis Syari’ahMengupas Ekonomi Islam, Bank Islam, Bank Uang dan Bagi Hasil, Wakaf Uang dan Sengketa Ekonomi Syari’ah, Cetakan Pertama, Teras, 2011, hlm. 138. 152 Satria Effendi M. Zein, Arbitrase dalam Syariat Islam, dikutip dari Oyo Sunaryo Mukhlas, loc.cit. 153 Abu al Ainanin Fatah Muhammad, Al Qadha wa al Itsbat fi al Fiqh al Islami, dikutip dari Abdul Manan, op.cit., hlm. 430. 154 Satria Effendi M. Zein, Arbitrase Dalam Syariat Islam, dikutip dari Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah (Life and General): Konsep dan Sistem Operional, Cetakan Pertama, Gema Insani, Jakarta, 2004, hlm. 553-554.
90
3)
Menurut Imam Madzhab
a)
Imam Hanafi Menurut Said Agil Husein al Munawar155 pengertian “tahkim” menurut
kelompok
ahli
hukum
Islam
mazhab
Hanafiyah
adalah
memisahkan
persengketaan atau menetapkan hukum diantara manusia dengan ucapan yang mengikat kedua belah pihak yang bersumber dari pihak yang mempunyai kekuasaan secara umum. b)
Imam Maliki Kelompok Malikiyah, berpendapat bahwa hakikat qadla adalah pemberitaan
terhadap hukum syar’i menurut jalur yang pasti (mengikat) atau sifat hukum yang mewajibkan bagi pelaksanaan hukum Islam walaupun dengan ta’dil atau tajrih tindak untuk kemaslahatan kaum muslimin secara umum.156 c)
Imam Syafi’i Pengertian “tahkim” menurut ahli hukum dari kelompok Syafi’iyah yaitu
memisahkan pertikaian antara pihak yang bertikai atau lebih dengan hukum Allah atau menyatakan dan menetapkan hukum syara’ terhadap suatu peristiwa yang wajib dilaksanakannya.157
155
Said Agil Husein al Munawar, Pelaksanaan Arbitrase di Dunia Islam, Dalam Arbitrase Islam di Indonesia, BAMUI & BMI, Jakarta, 1994, hlm. 48-49. 156 A. Rahmat Rosyadi dan Ngatino, Arbitrase Dalam Prespektif Islam Dan Hukum Positif, Cetakan Pertama, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hlm. 45. 157 Nurul Hak, op.cit., hlm. 138.
91
d)
Imam Hambali Kelompok Hambaliah, berpendapat bahwa penjelasan dan kewajiban serta
penyelesaian persengketaan antara para pihak. 158 b.
Dasar Hukum Arbitrase Keberadaan lembaga arbitrase sangat dianjurkan oleh Allah Swt. dan
Rasulullah Saw. untuk mencapai kesepakatan dalam suatu sengketa berbagai bidang termasuk di dalamnya sengketa bisnis. Hal ini dimaksudkan agar terhindarnya umat dari perselisihan yang dapat memperlemah persatuan dan kesatuan Ukuwah Islamiyah, sehingga perdamaian akan selalu terjaga. Sumber hukum yang mendasari keharusan adanya Lembaga Arbitrase islam, terdapat di dalam Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma’ Ulama.159 1)
Al-Qur’an Al-Qur’an sebagai sumber hukum pertama memberikan petunjuk kepada
manusia apabila terjadi sengketa para pihak, apakah di bidang politik, keluarga, ataupun bisnis terdapat dalam:
158 159
Ibid. Ibid., hlm. 46.
92
a)
Surat Al-Hujarat: ayat 9
“Jika ada dua kelompok orang beriman bertengkar, damaikanlah mereka secepatnya bila salah satu di antaranya berlaku zalim kepada yang lain, tekanlah golongan yang zalim sampai kembali ke jalan Allah. Kalau telah kembali, damaikanlah dengan cara yang adil dan benar. Allah sungguh suka kepada orang-orang yang berlaku adil.” b)
Surat An-Nisa’: ayat 35
93
Dalam Surah An-Nisa’ ayat 35 dijelaskan agar perselisihan suami istri (syiqaq), termasuk istri yang nusyuz diselesaikan secara kekeluargaan. Jika kamu khawatir akan timbul perselisihan, utuslah seorang juru penengah dari keluarga laki-laki dan dari keluarga perempuan. Jika keduanya itu berkehendak damai Allah akan memberikan taufik kepada mereka berdua. Allah sungguh Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal secara tajam. c)
Surat An-Nisa’: ayat 114
“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan pembicaraan rahasia mereka, kecuali orang yang menganjurkan bersedekah, berbuat baik, atau mendamaikan perselisihan orang. Barang siapa yang berbuat demikian dengan maksud mencari rida Allah, Kami akan memberikan kepadanya ganjaran yang sangat besar.”
94
d)
Surat An-Nisa’: ayat 128
Bila seorang wanita takut suaminya nusyuz (memperlakukan tidak baik) atau tidak memperhatikannya, tiada salah untuk mengadakan perdamaian antara mereka. Perdamaian itu jauh lebih baik. Memang jiwa cenderung berlaku kikir. Kalau kamu berbuat baik, dan bertakwa, Allah sungguh Mahatahu akan segala yang kamu lakukan. 2)
As-Sunnah As-Sunnah sebagai sumber hukum Islam kedua telah memberikan
penjelasan bagaimana suatu persengketaan harus segera didamaikan.160 Seperti sabda Rasulullah Saw. sebagai berikut:
160
Ibid., hlm. 47.
95
a)
Riwayat At-Tarmizi, Ibnu Majah, Al-Hakim dan Ibnu Hibban Menyampaikan bahwa Rasulullah Saw. bersabda: “Perjanjian di antara
orang-orang muslim itu boleh, kecuali perjanjian menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal”. Dalam hal ini At-Tirmizi menambahkan bahwa muamalah orang-orang muslim itu berdasarkan syarat-syarat mereka. b)
Riwayat Ahmad, Abu Daud dan An-Nasai Rasulullah bersabda: “Apabila berselisih kedua belah pihak (penjual dan
pembeli) dan tidak ada bukti-bukti di antara mereka keduanya, maka perkataan yang (diterima) ialah yang dikemukakan oleh pemilik barang atau saling mengembalikan (sumpah)”. c)
Riwayat Abu Hanifah Rasulullah bersabda: “Apabila terjadi perselisihan orang yang berjual beli,
maka keterangan yang disampaikan penjual itulah yang dipakai. Karena itu, si pembeli boleh menerimanya dengan rela atau keduanya membatalkan jual beli”. d)
Riwayat Bukhari dan Muslim, warta dari Abu Hurairah r.a Di dalam hadist pun terdapat petunjuk yang memberikan peluang untuk
menyelesaikan konflik tertentu tanpa melalui lembaga peradilan negara. Hadist riwayat Bukhari dan Muslim menceritakan, bahwa Rasulullah bersabda: “Ada seorang laki-laki membeli pekarangan dari seseorang. Orang yang membeli tanah pekarangan tersebut menemukan sebuah guci yang berisikan emas. Kata orang yang membeli pekarangan, ambillah emasmu yang ada pada saya, aku hanya
96
membeli daripadamu tanahnya saja dan tidak membeli emasnya. Jawab orang yang memiliki tanah, aku telah menjual kepadamu tanag dan barang-barang yang terdapat di dalamnya. Kedua orang itu lalu bertahkim (mengangkat arbitrator kepada seseorang). Kata orang yang diangkat menjadi arbitrator, apakah kamu berdua mempunyai anak. Jawab dari salah seorang dari keuda yang bersengketa, “ya”, saya mempunyai seorang anak laki-laki. Dan yang lain menjawab, saya mempunyai seorang anak perempuan. Kata arbitrator lebih lanjut, kawinkanlah anak laki-laki itu dengan anak perempuan itu dan biayailah kedua mempelai dengan emas itu, dan kedua orang tersebut menyedekahkan (sisanya kepada fakir miskin)”. e)
Diriwayatkan oleh An-Nasa’i yang menceritakan bahwa Rasulullah saw. berkata kepada Abu Syureih (yang sering juga dipanggil Abul Hakam) Sesungguhnya hakam itu adalah Allah dan kepada-Nyalah dimintakan
keputusan hukum, mengapa kamu dipanggil Abul Hakam? Lantas Abu Syureih menjawab, “Bahwa sesungguhnya kaumku bila bertengkar akan datang kepadaku meminta penyelesaian, dan kedua belah pihak yang bertengkar tersebut akan rela dengan keputusanku”, mendengar jawaban tersebut lantas Rasulullah memberikan komentar: “alangkah baiknya perbuatanmu itu! apakah kamu punya anak?”, Abu Syureih menjawab, “Ya, saya punya anak, yaitu Syureh, Abdu dan Musallam”, lantas Rasulullah berkata lagi: “Siapa yang paling tua?”, jawab Abu Syureih: “Yang paling tua adalah Syureh”, lantas Rasulullah berkata lagi: “Kalau begitu engkau adalah Abu Syureh”.
97
Kisah singkat tersebut merupakan gambaran bahwa Abu Sureih bukan merupakan hakim resmi/ pemerintah yang bertugas untuk menyelesaikan/ memeriksa/ memutus sengketa-sengketa
yang diajukan kepadanya
oleh
masyarakat di sekitarnya. 3)
Ijma’ Ulama Dasar hukum arbitrase selain bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah,
juga berasal dari ijma’ (konsensus) para ulama dalam menetapkan sesuatu kejadian yang dijadikan dasar hukum.161 Ijma’ Ulama sebagai sumber hukum Islam yang ketiga telah memperkuat tentang adanya Lembaga Arbitrase Islam untuk mengantisipiasi persengketaan dalam berbagai aspek kehidupan. Secara terminologi ijma’ didefinisikan oleh beberapa ahli diantaranya: 162 a)
Al Ghazali Ijma’ yaitu kesepakatan umat Muhammad Saw. secara khusus atas suatu
urusan agama. Definisi ini mengindikasikan bahwa ijma’ tidak dilakukan pada masa Rasulullah Saw., sebab keberadaan Rasulullah sebagai syar’i tidak memerlukan ijma.
161
A. Rahmat Rosyadi dan Ngatino, op.cit., hlm. 20. Agil Bahsoan, Kedudukan Ijma Sebagai Dalil Hukum Terhadap Fatwa Ekonomi Islam Kontemporer Di Indonesia diakses dari http://repository.ung.ac.id/get/simlit_res/1/316/Kedudukan-Ijma-Sebagai-Dalil-Hukum-TerhadapFatwa-Ekonomi-Islam-Kontempoter-di-Indonesia.pdf, pada tanggal 20 Mei 2015, pukul 10:54 WIB. 162
98
b)
Al Amidi Ijma’ adalah kesepakatan ahlul halli wal ‘aqdi atau para ahli yang
berkompoten mengurusi umat dari umat Nabi Muhammad pada suatu masa atau hukum suatu kasus. Sayyidina Umar Ibnul Khothab,163 mengatakan bahwa tolaklah permusuhan hingga mereka berdamai, karena pemutusan perkara melalui pengadilan akan mengembangkan kedengkian di antara mereka.
163
A. Rahmat Rosyadi dan Ngatino, loc.cit.