BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ARBITRASE A. Defenisi, Sejarah dan Perkembangan Arbitrase di Indonesia Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.12 Kata arbitrase berasal dari kata arbitrare (Latin), arbitrage (Belanda), arbitration (Inggris), schiedspruch (Jerman), dan arbitrage (Perancis), yang berarti kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan atau damai oleh arbiter arau wasit.13 Arbiter sebagai pihak ketiga yang menengahi menjalankan tugasnya dan menyelesaikan sengketa dengan cara memberikan putusan. Dalam hal ini arbiter harus berada di posisi netral dan tidak memihak kepada salah satu pihak yang bersengketa. Selain dari itu yang paling esensi adalah ”indepensi” dari arbiter dalam melaksanakan tugasnya, sehingga dapat diperoleh suatu putusan yang “adil” dan “cepat” bagi para pihak yang berbeda pendapat, berselisih paham maupun bersengketa. 14 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, arbitrase mempunyai arti sebagai usaha perantara dalam meleraikan sengketa.15
12 Undang‐Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa Alternatif, pasal 1 angka 1 13 Rachmadi Usman, Op.Cit, hlm.1 14 Gunawan Widjaja, Ahmad Yani, Op.Cit, hlm.70 15 Umar Sandi, “Arbitrase”, artikel, http://umarzandi.blogspot.com/2011/02/arbitrase.html , diakses 9 Februari 2014
Universitas Sumatera Utara
Dari pengertian yang diberikan oleh Undang-Undang No. 30 tahun 1999 serta Kamus Besar Bahasa Indonesia tersebut, dapatlah ditarik beberapa unsur penting dari arbitrase, yaitu: 1. Cara penyelesaian sengketa secara privat atau di luar pengadilan 2. Atas dasar perjanjian tertulis dari para pihak 3. Untuk mengantisipasi sengketa yang mungkin terjadi atau yang sudah terjadi 4. Dengan melibatkan pihak ketiga (arbiter atau wasit) yang berwenang mengambil keputusan. 5. Sifat putusannya adalah final dan mengikat. Penjelasan secara etimologi ini menekankan tentang keberadaan pihak ketiga yang memiliki tugas untuk menengahi kedua belah pihak yang sedang menghadapi sengketa dan memberikan jalan keluar bagi penyelesaian sengketa tersebut. Pihak ketiga ini berperan sebagai jembatan bagi para pihak dalam menyelesaikan sengketanya dimana pihak ketiga ini dapat memberikan putusan yang sifatnya final dan mengikat yang diharapkan dapat menemukan kesepakatan serta memberikan kepuasan terhadap para pihak. Secara terminologi, defenisi atau pengertian arbitrase menurut berbagai pihak serta ahli hukum adalah: Frank Elkoury dan Edna Elkoury dalam bukunya How Arbitration Works mengartikan “arbitrase adalah suatu proses yang mudah atau simple yang dipilih oleh para pihak secara sukarela yang ingin agar perkaranya diputus oleh juru pisah yang netral sesuai dengan pilihan mereka dimana keputusan mereka berdasarkan
Universitas Sumatera Utara
dalil-dalil dalam perkara tersebut. Para pihak setuju sejak semula untuk menerima putusan tersebut secara final dan mengikat.”16 Gary Goodpaster mengatakan bahwa “arbitration is the private adjudication of dispute parties, anticipating possible dispute or experiencing an actual dispute, agree to submit their dispute to a decision maker they in some fashion select.” 17 (arbitrase adalah suatu penyelesaian secara pribadi oleh para pihak sengketa untuk mengantisipasi kemungkinan sengketa yang akan terjadi atau sengketa yang sedang terjadi, para pihak setuju untuk menyerahkan sengketa mereka kepada seorang pengambil keputusan yang akan memberikan beberapa macam pilihan). Dalam pengertian tersebut Gary Goodpaster memberikan pendapatnya bahwa arbitrase tidak hanya diperjanjikan untuk menyelesaikan sengketa yang sedang terjadi dan dialami oleh para pihak, tetapi juga sebagai langkah yang diambil untuk mengantisipasi masalah yang akan terjadi dikemudian hari antara para pihak. Sementara itu menurut R. Subekti “arbitrase adalah penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang hakim atau para hakim berdasarkan persetujuan bahwa para pihak akan tunduk pada atau menaati keputusan yang diberikan oleh hakim atau para hakim yang mereka pilih atau tunjuk tersebut.”18
16 M. Husseyn Umar, Supriyani Kardono, Hukum dan Lembaga Arbitrase di Indonesia (Jakarta, Komponen Hukum Ekonomi Elips Project, 1995) hlm.2 17 Rachmadi Usman, Op.Cit, hlm.2 18 Ibid, hlm.2
Universitas Sumatera Utara
Disini Subekti menekankan bahwa keputusan yang diambil oleh hakim atau arbiter dalam penyelesaian sengketa harus ditaati oleh pihak yang bersengketa. Mereka harus tunduk dan terikat kepada hasil keputusan tersebut. Secara lebih terperinci, Abdulkadir Muhammad juga memberikan pengertian “arbitrase adalah badan peradilan umum, yang dikenal khusus dalam dunia perusahaan. Arbitrase adalah peradilan yang dipilih dan ditentukan sendiri secara sukarela oleh pihak-pihak pengusaha yang bersengketa. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan negara merupakan kehendak bebas pihak-pihak. Kehendak bebas ini dapat dituangkan dalam perjanjian tertulis yang mereka buat sebelum atau sesudah terjadi sengketa sesuai dengan asas kebebasan berkontrak dalam hukum perdata.”19 Abdulkadir Muhammad menyatakan bahwa arbitrase adalah suatu bagian dari peradilan umum yang memang telah dikenal secara khusus dalam dunia perusahaan untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi di perusahaan. Arbitrase ini merupakan cara penyelesaian sengketa yang dipilih sendiri berdasarkan kehendak bebas dari pihak yang bersengketa berdasarkan perjanjian yang telah mereka buat secara tertulis baik sebelum ataupun sesudah terjadinya sengketa berdasarkan asas kebebasan berkontrak yang telah diatur dalam hukum perdata. Batasan arbitrase menurut Sudargo Gautama “arbitrase adalah cara-cara penyelesaian hakim partikulir yang tidak terikat dengan berbagai formalitas, cepat
19 Abdulkadir Muhammad, Pengantar Hukum Perusahaan Indonesia, (Bandung, PT Citra Aditya Bakti, 1993) hlm.276
Universitas Sumatera Utara
dalam memberikan keputusan, karena dalam instansi terakhir serta mengikat, yang mudah untuk dilaksanakan karena akan ditaati para pihak.”20 Pernyataan Sudargo Gautama ini memberikan pengertian bahwa arbitrase dilakukan dengan tidak sedikitpun terikat dengan berbagai formalitas seperti yang dilakukan oleh pengadilan, keputusan yang diambil untuk menyelesaikan sengketa dilakukan secara cepat dan mudah serta mengikat dan harus ditaati oleh para pihak yang bersengketa. Dalam Black Law Dicitionary dikatakan “Arbitration is the reference of a dispute to an impartial (third) person chosen by the parties to the dispute who agree in advance to abide by arbitrator’s award issue after hearing at which both parties have and opportunity to be head. An arrangement for taking and abiding by the judgement of selected persons in some dispute matter, instead of carrying it to establish tribunal of justice, an is intended to avoid the formalities, the delay, the expense and taxation of ordinary litigation.” 21 (Arbitrase adalah suatu referensi terhadap penyelesaian sengketa yang dialihkan kepada orang ketiga yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa yang telah disetujui sebelumnya di awal perjanjian untuk mematuhi apa yang diputuskan arbiter setelah arbiter mendengar kesempatan kedua belah pihak menyampaikan pendapatnya. Pengaturan ini termasuk untuk menerima dan mematuhi keputusan orang ketiga yang dipilih tersebut dalam menyelesaikan sengketa, tidak membawa sengketa ke pengadilan,
20 Sudargo Gautama, Indonesia dan Arbitrase Internasional, dalam buku Rachmadi Usman, hlm.3 21 Tommi Ricky Rosandy, “Pengantar Hukum Arbitrase di Indonesia”, artikel, http://tommirrosandy.wordpress.com/2011/03/14/pengantar‐hukum‐arbitrase‐di‐indonesia/ , diakses 9 Februari 2014
Universitas Sumatera Utara
yang dimaksudkan untuk menghindari formalitas, penundaan, biaya dan perpajakan litigasi biasa). Black Law Dicitionary menekankan bahwa penggunaan arbitrase adalah untuk mencegah masuknya sengketa ke pengadilan untuk menghindari segala macam bentuk formalitas di pengadilan yang memakan waktu yang lama dan biaya yang tidak sedikit pula. Z. Azikin Kusumah Atmadja dalam ceramahnya yang berjudul Enforcement Of Foreign Arbital Awards, pada seminar yang diadakan oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia bersama dengan International Chamber of Commerce tanggal 13 September 1978 di Jakarta, mengartikan arbitrase sebagai “arbitration is the business community’s self regulatory practise of dispute settlement.” 22 (arbitrase adalah praktik regulasi diri yang dilakukan komunitas bisnis terhadap penyelesaian sengketa). Dari beberapa defenisi-defenisi yang telah disebutkan, antara satu sama lain tidaklah terlalu berbeda. Dalam pengertian yang lebih sederhana, arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa di luar peradilan yang penyelesaiannya diadakan berdasarkan perjanjian yang telah dibuat oleh pihak yang bersengketa dengan bantuan pihak ketiga yang berhak mengambil keputusan terhadap sengketa tersebut. Pihak ketiga atau arbiter tersebut dipilih dan ditentukan oleh para pihak yang bersengketa, dan sudah seharusnya arbiter memiliki kemampuan dan keahlian dalam bidang tertentu dan dapat bertindak secara netral.
22 Rachmadi Usman, Op.Cit, hlm.3
Universitas Sumatera Utara
Pada prinsipnya siapa saja dapat menjadi arbiter asal emmpunyai keahlian yang diharapkan untuk menyelesaikan sengketa yang sedang terjadi. Seorang arbiter bisa seorang ahli hukum, bisa juga seorang ahli bidang tertentu.23 Yang dapat ditunjuk atau diangkat sebagai arbiter harus memnuhi syaratsyarat sebagai berikut: -
Cakap melakukan tindakan hukum
-
Berumur paling rendah 35 tahun
-
Tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua dengan salah satu pihak bersengketa
-
Tidak mempunyai kepentingan finansial atau kepentingan lain atas putusan arbitrase
-
Memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif di bidangnya paling sedikit 15 tahun.24 Hakim, jaksa, panitera dan pejabat-pejabat peradilan lainnya tidak dapat
ditunjuk atau diangkat sebagai arbiter.25 Tidak diperbolehkannya orang-orang atau pejabat-pejabat yang disebut dalam ayat itu menjadi arbiter, adalah agar terjamin adanya pemeriksaan dan pemberian putusan oleh arbiter secara objektif. Mengenai jumlah arbiter, bisa seorang saja yang merupakan arbiter tunggal, atau bisa beberapa orang yang merupakan majelis arbitrase yang akan bertugas menyelesaikan sengketa melalui arbitrase, hal ini sesuai dengan
23 Munir Fuady, Op.Cit, hlm.67 24 Undang‐Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa Alternatif, Pasal 12 ayat 1 25 Ibid. Pasal 12 ayat 2
Universitas Sumatera Utara
ketentuan yang disebutkan dalam Pasal1 angka 7 Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 yang menyebutkan “arbiter adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa atau yang ditunjuk oleh Pengadilan Negeri atau oleh lembaga arbitrase, untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase.” Dari kalimat “seorang atau lebih” tersebut maka dapat diambil suatu kesimpulan pokok mengenai jumlah arbiter yang diperbolehkan sesuai ketentuan yang berlaku. Sweet and Maxwell dalam bukunya International Arbitration Law Review mengemukakan dalam menentukan berapa orang kah yang sebaiknya menjadi arbiter dalam satu kasus, apakah tiga orang ataukah cukup satu orang, beberapa faktor dibawah ini patut dipertimbangkan. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut: a. jumlah yang dipersengketakan b. kompleksitas klaim c. nasionalitas dari para pihak d. kebiasaan dagang yang relevan atau bisnis atau profesi yang terlibat dalam sengketa e. ketersediaan arbiter yang layak f. tingkat urgensi dari kasus yang bersangkutan26
26 Munir fuady, Op.Cit. hlm.68
Universitas Sumatera Utara
Pengangkatan arbiter dapat dilakukan dengan penunjukan oleh para pihak, penunjukan oleh hakim, dan penunjukan oleh lembaga arbitrase. Cara pertama dengan penunjukan oleh para pihak dilakukan melalui pembuatan pactum de compromittendo ataupun akta kompromis. Perjanjian tersebut harus memuat ketentuan mengenai tata cara pengangkatan arbiter yang akan bertugas untuk menyelesaikan sengketa para pihak tersebut. Yang penting untuk diingat, walaupun arbiter ditunjuk dalam jumlah lebih dari satu orang atau lazimnya disebut majelis arbiter, jumlahnya haruslah ganjil. Tata cara dengan penunjukan langsung oleh para pihak ini adalah yang paling baik dikarenakan para pihak telah menyepakati dari awal mengenai arbiter yang akan menyelesaikan sengketa mereka. Dengan cara ini, proses pengangkata arbiter adan pembentukan majelis arbiter akan lebih mulus, sehingga fungsi dan kewenangan pemeriksaan dan penyelesaian persengketaan, mungkin akan lebih cepat diselesaikan.27 Namun jika tidak terjadi kesepakan antara para pihak dalam pemilihan atau penunjukan arbiter, maka para pihak dapat meminta bantuan kepada hakim atau ketua Pengadilan Negeri untuk menunjuk arbiter yang akan menyelesaikan sengketa mereka. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang tertera pada Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 yang berbunyi “Dalam hal para pihak tidak dapat mencapai kesepakatan mengenai pemilihan arbiter atau tidak ada ketentuan yang dibuat mengenai pengangkatan arbiter, Ketua pengadilan Negeri menunjuk arbiter atau majelis arbitrase”.
27 M. Yahya Harahap, Arbitrase, (Jakarta, Pustaka Kartini, 1991) hlm.160
Universitas Sumatera Utara
Dasar hakim atau ketua Pengadilan Negeri dalam menunjuk arbiter ini adalah berdasarkan permohonan kedua belah pihak ataupun salah satu pihak dengan menceritakan serta menjelaskan tentang tidak tercapainya kesepakatan antara para pihak mengenai pemilihan atau penunjukan arbiter tersebut. Penjelasan yang diberikan oleh para pihak ini berfungsi sebagai acuan atau dasar untuk mencampuri hal mengenai penunjukan arbiter yang memang merupakan wewenang dari pihak yang bersengketa. Sweet dan Maxwell dalam bukunya International Arbitration Law Review mengemukakan, apabila arbiter dipilih oleh lembaga arbitrase, maka dalam memilih arbiternya sebaiknya beberapa hal berikut ini akan menjadi pertimbangan, yaitu: -
Sifat dan hakikat dari sengketa
-
Ketersediaan dari arbiter
-
Identitas dari para pihak
-
Independesi dari arbiter
-
Syarat pengangkatan dalam kontrak arbitrase
-
Saran-saran yang diberikan oleh para pihak28 Seorang yang telah dipilih atau ditunjuk untuk menyelesaikan suatu
sengketa dapat menerima ataupun menolak penunjukannya tersebut. Penerimaan ataupun penolakannya tersebut wajib diberitahukan kepada para pihak secara tertulis paling lambat 14 (empat belas) hari sejak tanggal penunjukkannya sesuai dengan yang tertera dalam Pasal 16 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 28 Munir Fuady, Op.Cit, hlm.74
Universitas Sumatera Utara
1999. Jika ia menerima, maka arbiter tersebut tidak dapat mengundurkan dirinya dari tugasnya sebagai arbiter ketika sengketa belum selesai. Hal ini telah ditekankan pada Pasal 19 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, namun terdapat pengecualian jika para pihak setuju dan mengijinkan pengunduran diri arbiter tersebut setelah didahului dengan pengajuan permohonan secara tertulis. Dalam rangka menjalankan tugasnya, Arbiter harus netral, independen, adil serta bebas dari benturan kepentingan dan afiliasi dengan salah satu pihak yang bersengketa atau dengan masalah yang menjadi sengketa. 29 Untuk sukses menjalankan tugasnya tersebut, sudah sepatutnya arbiter tersebut adalah orang yang profesional di bidangnya. Sesuai ketentuan yang berlaku bahwa putusan arbitrase yang dikeluarkan oleh arbiter diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri. Penyerahan dan pendaftaran tersebut dilaksanakan dengan cara melakukan pencatatan dan penandatanganan pada bagian akhir atau dipinggir putusan oleh Panitera Pengadilan Negerti dan arbiter atau kuasanya yang menyerahkan, dan selanjutnya catatan tersebut menjadi akta pendaftaran. Pencatatan ini menjadi satu-satunya dasar bagi pelaksanaan putusan arbitrase tersebut.30 Seorang arbiter tidak dapat dimintai pertanggungjawaban hukum atas apapun yang dilakukannya selama proses penyelesaian sengketa berlangsung selama yang diperbuatnya tersebut adalah sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan sesuai dengan ketentuan yang mengatur tentang penjalanan fungsi arbiter.
29 Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia, Arbiter/Mediator, artikel, http://www.bapmi.org/in/arbitrators_requirements.php diakses 9 Februari 2014 30 Gunawan Widjaja, Ahmad Yani, Op.Cit. hlm. 102
Universitas Sumatera Utara
Namun, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 ternyata memberikan kemungkinan kepada para pihak untuk menuntut ganti kerugian dan penggantian biaya yang dikeluarkannya serta menuntut tanggung jawab hukum lainnya dari arbiter, seperti tertera di dalam Pasal 18, 19, 20, 21, 22, dan 56. Berbicara tentang arbitrase, tidaklah sempurna jika tidak mengupas tentang sejarah perkembangannya. Sejarah perkembangan arbitrase sangat panjang dikarenakan arbitrase telah lama dikenal dalam peraturan perundangundangan sejak mulai berlakunya Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering (Rv). Sebagai kita ketahui pada waktu pemerintahan Hindia Belanda masih menguasai Indonesia, penduduk Indonesia dibagi beberapa golongan yang mendasari adalah pasal 131 dan 163 Indische Staatsregeling disingkat IS, berdasarkan IS tersebut ditetapkan bahwa bagi golongan Eropa dan bagi mereka yang disamakan berlaku hukum Barat. Sedangkan bagi golongan Bumi Putra berlaku hukum adatnya masing-masing, tetapi dapat juga berlaku hukum barat jika ada kepentingan sosial yang dibutuhkan. Bagi golongan Cina dan Timur Asing lainnya sejak tahun 1925 telah ditetapkan bahwa bagi mereka berlaku hukum Barat dengan beberapa pengecualian. Karena adanya beberapa perbedaan hukum tersebut, konsekuensinya adalah ada pula perbedaan badan-badan peradilan berikut hukum acaranya. Peradilan untuk golongan Eropa dan mereka yang disamakan kedudukannya dengan golongan tersebut adalah Raad Van Justitie dan Residentie-gerecht sebagai peradilan sehari-hari. Hukum acara yang dipergunakan adalah hukum
Universitas Sumatera Utara
acara yang termuat dalam Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering yang disingkat B. RV atau RV. Untuk golongan bumi putra dan mereka yang disamakan kedudukannya dengan golongan tersebut adalah Landraad sebagai peradilan sehari-hari dan beberapa peradilan lainnya seperti peradilan kabupaten, peradilan daerah dan sebagainya. Hukum acara yang dipergunakan adalah termuat dalam Herziene Inlandsch Reglement disebut HIR, sedangkan untuk daerah pulau Jawa dan Madura diatur menjadi satu dengan Rechtsreglement Buitengeswesten atau Rbg. Tata peradilan pada waktu Zaman Hindia Belanda diataur sebagai berikut : a. Untuk pulau Jawa dan Madura berlaku peraturan organisasi Peradilan dan kebijakan kehakiman di Hindia Belanda (Reglement op de Rechterlijke Organisatie en het Beleid der Justitie disingkat R.O). b. Untuk Luar pulau Jawa dan Madura berlaku peradilan daerah seberang laut (Rechtsreglemetn Buitengewesten / Rbg). Sedangkan dasar hukum berlakunya Arbitrase pada zaman kolonial Belanda ini adalah pasal 377 HIR dan pasal 705 RBG yang berbunyi : “Jika orang Indonesia dan orang Timur Asing menghendaki perselisihan mereka diputuskan oleh juru pisah maka mereka wajib mentaati peraturan pengadilan perkara yang berlaku bagi bangsa Eropa”.31 Jadi pasal ini jelas memberi kemungkinan bagi pihak-pihak yang bersengketa untuk menyelesaikannya diluar pengadilan. Namun demikian HIR maupun Rbg tidak membuat aturan tentang arbitrase. Untuk mengisi kekosongan
31 R. Soesilo, RIB/HIR Dengan Penjelasan (Bogor, Politeia, 1970) hlm.255
Universitas Sumatera Utara
tersebut, pasal 337 HIR, 705 Rbg langsung menunjuk aturan pasal-pasal yang terdapat dalam Reglement hukum Acara Perdata (Reglement opde Burgerlijke disingkat Rv. S 1847-52 jo 1849- 63).32 Dengan mengacu kepada adanya politik hukum yang membedakan tiga kelompok tersebut diatas, bagi golongan Bumi Putera, hukum perdata material yang berlaku pada dasarnya diterapkan hukum adat. Pengadilannya tunduk pada pengadilan Landraad sebagai peradilan tingkat pertama. Hukum acara yang dipergunakan adalah HIR untuk daerah pulau Jawa dan Madura dan Rbg untuk derah luar pulau Jawa dan Madura (tanah seberang). Bagi golongan Timur Asing dan Eropa, Hukum perdata Materil yang berlaku adalah Burgerlijk Wetboek / BW (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) dan Wetboek van Kophandel / WvK (Kitab Undang Undang Hukum Dagang). Hukum acaranya adalah Reglement Acara Perdata (RV).33 Pada zaman Hindia Belanda, arbitrase dipergunakan oleh para pedagang baik sebagai eksportir mauapun importir dan pengusaha lainnya. Pada waktu itu ada tiga badan arbitrase tetap yang dibentuk oleh pemerintah Belanda yaitu : -
Badan arbitrase bagai badan Ekspor hasil bumi Indonesia
-
Badan arbitrase tentang kebakaran
-
Badan arbitrase bagi asuransi kecelakaan.34 Pada waktu jepang masuk mengantikan kedudukan penjajahan belanda,
peradilan Raad Van Justitie dan residen tiegerecht dihapuskan. Jepang membentuk satu macam peradilan yang berlaku bagi semua orang yang diberi
32 Gunawan Widjaja, Ahmad Yani, Op.Cit, hlm.12 33 Ibid. hlm.14 34 http://poetra‐arbitrase.blogspot.com/ , artikel, diakses 9 Februari 2014
Universitas Sumatera Utara
nama (Tiboo Hooin). Badan peradilan ini merupakan lanjutan dari Landraad. Hukum acaranya tetap mengacu kepada HIR dan Rbg.35 Mengenai berlakunya arbitrase ini, pemerintah Jepang mengeluarkan Peraturan Pemerintah Balatentara Jepang yang menentukan bahwa “semua badanbadan pemerintahan dan kekuasaan hukum dan undang-udang dari pemerintah dahulu (Pemerintah Hindia Belanda) tetap diakui sah buat sementara asal tidak bertentangan dengan aturan pemerintah militer Jepang.36 Kemudian untuk mencegah kevakuman hukum, pada waktu indonesia merdeka diberlakukanlah aturan peralihan UUD 1945 tertanggal 18 Agustus 1945 yang menyatakan : “Segala Badan Negara dan peraturan yang ada langsung berlaku, selama belum ada yang baru menurut UUD ini” Pada tanggal 10 Oktober 1945 Presiden juga telah pengeluarkan peraturan Nomor 2 yang dalam pasal (1) menyatakan : Segala Badan-badan Negara dan peraturan-peraturan yang ada sampai berdirinya Negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 selama belum diadakan yang baru menurut UUD masih berlaku, asal saja tidak bertentangan dengan Undang Undang Dasar tersebut”. Maka demikianlah pada waktu itu, untuk penyelesaian sengketa melalui Arbitrase tetap berlaku ketentuan HIR, Rbg dan Rv. Mengenai badan peradilannya dibeberapa bagian RI yang dikuasai Belanda sebagai pengganti peradilan zaman Jepang, diadakan landrechter untuk semua orang sebagai peradilan sehari-hari dan Appelraad sebagai peradilan dalam perkara perdata tingkat kedua. Selanjutnya pada waktu terjadinya Republik Indonesia Serikat,
35 Gunawan Widjaja, Ahmad Yani, Op.Cit. hlm.15 36 Ibid. hlm.16
Universitas Sumatera Utara
landrechter ini manjadi Pengadilan Negeri sedangkan Appelraad menjadi Pengadilan Tinggi, sesuai ketentuan yang berlaku didaerah-daerah yang tidak pernah dikuasai oleh Pemerintah Belanda.37 Ketika berlakunya Undang Undang Darurat Nomor 1 tahun 1951 Tanggal 14 Januari 1951, maka pada dasarnya diseluruh indonesia hanya ada semacam badan peradilan yaitu pengadilan negeri sebagai pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tinggi sebagai pengadilan tingkat kedua atau manding dan Mahkamah Agung sebagai pengadilan tingkat kasasi, namun diluar itu masih dikenal pangadilan Adat dan Swapraja. Pada zaman Republik Indonesia Serikat, menurut konstitusi yang berlaku saat itu (konstitusi Republik Indonesia Serikat), dalam pasal 192 konstitusi RIS tersebut dinyatakan bahwa : a. Peraturan-peraturan, Undang Undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha yang sudah ada pada saat konstitusi ini mulai berlaku (menurut Pasal 197 konstitusi RIS pada saat pemulihan kedaulatan, yaitu pada tanggal 27 Desember 1949) tetap berlaku dengan tidak berubah sebagai peraturanperaturan dan ketentan-ketentuan RIS sendiri, selama ada sekedar peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan itu tidak dicabut, ditambah atau diubah oleh undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha atas kuasa konstitusi ini. b. Pelanjutan peraturan-peraturan undang-undang dan ketentuan-ketentan tata usaha yang sudah ada sebagai diterangkan dalam ayat 1 hanya berlaku, 37 Ibid. hlm.16
Universitas Sumatera Utara
sekedar
peraturan-peraturan
dan
ketentuan-ketentuan
ini
tidak
bertentangan dengan ketentuan Piagam Pemulihan Kedaulatan Status UNI, Persetujuan peralihan ataupun persetujuan-persetujuan yang lain yang berhubungan dengan pemulihan kedaulatan dan sekedar peraturanperaturan dan ketentuan-ketentuan konstitusi ini tidak memerlukan peraturan-peraturan undang-undang atau tindakan menjalankan.38 Selanjutnya jika kita lihat ketentuan dalam Undang-Undang Dasar Sementara 1950 pasal 142 menyatakan bahwa : ‘Peraturan undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha yang sudah ada pada tanggal 17 agustus tahun 1950 tetap berlaku dengan dengan tidak berubah bagi peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan RI sendiri, selama peraturan-peraturan dan ketentuanketentuan ini tidak dicabut, ditambah atau di ubah oleh undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha atas kuasa Undang-Undang Dasar ini”. Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa semua peraturanperaturan yang sudah ada sejak zaman penjajahan Hindia Belanda dulu selama belum diubah, ditambah atau diganti masih tetap berlaku. Jadi ketentuan arbitrase yang diatur dalam Rv juga masih tetap berlaku. Keadaan ini masih terus berlanjut sampai dikeluarkannya Undang-undang nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.39
38 Ibid. hlm.17 39 Ibid hlm.18
Universitas Sumatera Utara
Dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, maka kedudukan dan kewenangan dari arbitrase di Indonesia sudah semakin jelas dan kuat.40 Dari penjelasan yang tadi diatas dapat ditarik sebuah kesimpulan yang menyatakan bahwa semua peraturan-peraturan yang sudah ada pada masa penjajahan Hindia Belanda dulu selama belum dirubah, ditambah atau diganti masih tetap berlaku. Jadi ketentuan tentang arbitrase yang diatur dalam Rv juga tetap berlaku. Dan secara Institusional sejarah perkembangan arbitrase di Indonesia mendapatkan momentumnya pada tahun 1977 dengan terbentuknya Badan Arbitrase Nasional pada tanggal 13 Desember 1977 Keadaan ini terus berlanjut sampai dikeluarkannya Undang Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang merupakan pondasi bagi Penyelesaian Sengketa Alternatif Non Litigasi. 41 Dalam perkembangannya, saat ini arbitrase telah banyak digunakan khususnya para pelaku usaha yang lebih memilih arbitrase sebagai alternatif penyelesaian sengketa dikarenakan lebih efisien dalam segitu waktu, usaha, serta kerahasiaannya dibanding dengan menyelesaikan sengketa menggunakan jalur litigasi yakni melalui peradilan umum. Di satu segi, pelaksanaan arbitrase juga membantu dalam mengurangi laju sengketa yang masuk ke pengadilan.
40 Munir Fuady, Op.Cit, hlm.30 41 http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30034/3/Chapter%20II.pdf , diakses 10 Februari 2014
Universitas Sumatera Utara
B. Unsur, Objek serta Jenis Arbitrase a. Unsur Arbitrase Seperti yang telah diketahui sebelumnya, bahwa arbitrase adalah suatu cara penyelesaian sengketa secara non-litigasi atau di luar peradilan yang di dasari atas adanya perjanjian yang dibuat secara tertulis oleh para pihak baik sebelum ataupun sesudah terjadinya sengketa. Dari defenisi atau pengertian tersebut dapat diambil suatu bagian unsurunsur dari arbitrase secara umum, yaitu meliputi : a. penyelesaian sengketa b. di luar peradilan umum c. berdasarkan perjanjian tertulis42 Telah jelas bahwa pada poin c dikatakan bahwa unsur dari arbitrase adalah berdasarkan perjanjian tertulis. Sebagaimana tertera di dalam pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 bahwa “perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa”. Dengan adanya perjanjian arbitrase ini, berarti meniadakan hak para pihak yang bersengketa untu mengajukan gugatan terhadap penyelesaian sengketa ke Pengadilan Negeri. Dikarenakan suatu perjanjian arbitrase dapat dibuat sebelum ataupun sesudah terjadinya sengketa, maka bentuk klausula arbitrase pun dapat dibagi
42 Eddy Leks, http://eddyleks.blog.kontan.co.id/2013/01/07/arbitrase‐sebagai‐alternatif‐ penyelesaian‐sengketa‐bisnis/ , artikel, diakses 10 Februari 2014
Universitas Sumatera Utara
menjadi dua bentuk yaitu klausula yang berbentuk pactum de compromittendo dan klausula yang berbentuk akta kompromis. Klausula yang berbentuk pactum de compromittendo dibuat oleh para pihak dalam perjanjiannya sebelum timbulnya sengketa. Dalam hal ini para pihak menyetujui atau menyepakati untuk menyelesaikan sengketa yang mungkin akan timbul atau terjadi dikemudian hari melalui arbitrase kepada lembaga arbitrase ataupun arbitrase ad-hoc. Pengaturan bentuk klausula pactum de compromittendo ini dapat dijumpai dalam pasal 27 Undang-Undang nomor 30 Tahun 1999, yang menyatakan bahwa, “para pihak dapat menyetujui suatu sengketa yang terjadi atau yang akan terjadi antara mereka untuk diselesaikan melalui arbitrase”. Sebelumnya diatur dalam pasal 615 ayat (3) Rv yang menentukan “bahwa diperkenankan mengikat diri satu sama lain, untuk menyerahkan sengketa-sengketa yang mungkin timbul di kemudian hari, kepada pemutusan seorang atau beberapa orang wasit. Juga dijumpai dalam pasal II ayat (2) Konvensi New York 1958 yang antara lain menentukan “......the parties undertake to submit to arbitration all or any differences....which may arise between them.....”43 Suatu perjanjian arbitrase tidak dapat dibatalkan dikarenakan oleh hal-hal sebagai berikut : a. meninggalnya salah satu pihak b. bangkrutnya salah satu pihak c. novasi (pembaruan utang)
43 Rachmadi Usman, Op.Cit, hlm.24
Universitas Sumatera Utara
d. insolvensi atau keadaan tidak mampu membayar dari salah satu pihak e. pewarisan f. berlakunya syarat-syarat hapusnya perikatan pokok g. bilamana pelaksanaan perjanjian tersebut dialihtugaskan pada pihak ketiga dengan persetujuan pihak yang melakukan perjanjian arbitrase tersebut h. berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok44 Bentuk klausula lain adalah akta kompromis. Klausula ini dibuat setelah timbul atau terjadinya sengketa. Pada perjanjian pokok yang telah dibuat sebelumnya, para pihak belum mencantumkan klausula arbitrase, lalu setelah terjadinya sengketa maka para pihak sepakat untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi diantara mereka melalui arbitrase. Perjanjian mengenai hal tersebut dibuat secara tersendiri serta terpisah dari perjanjian pokok yang mana di dalamnya tertera mengenai penyerahan penyelesaian sengketa secara arbitrase. Disimpulkan dari pasal 9 Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 bahwa pembuatan suatu akta kompromis dapat diancam batal demi hukum jika tidak memenuhi persyaratan sebagai berikut : a. pemilihan penyelesaian sengketa melalui arbitrase oleh para pihak dilakukan setelah sengketa terjadi b. persetujuan mengenai tata cara penyelesaian sengketa harus dibuat secara tertulis, tidak boleh diperjanjikan secara lisan
44 Undang‐Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa Alternatif pasal 10
Universitas Sumatera Utara
c. harus ditandatangani oleh para pihak. Jika para pihak tidak dapat menandatangani perjanjian tersebut maka perjanjian tersebut dibuat dalam bentuk akta notaris. d. Isi dari perjanjian harus memuat masalah yang dipersengketakan, nama lengkap dan tempat tinggal para pihak, nama lengkap dan tempat tinggal arbiter atau majelis arbiter, tempat arbiter atau majelis arbiter akan mengambil
keputusan,
nama
lengkap
sekretaris,
jangka
waktu
penyelesaian sengketa, pernyataan kesediaan arbiter serta pernyataan kesediaan para pihak untuk menanggung segala biaya yang dibutuhkan untuk penyelesaian sengketa. Secara umum, klausula arbitrase akan mencakup : 1. Komitmen/kesepakatan para pihak untuk melaksanakan arbitrase 2. Ruang lingkup arbitrase 3. Apakah arbitrase akan berbentuk arbitrase institusional atau ad.hoc. apabila memlikih bentuk ad.hoc, maka klausula tersebut merinci metode penunjukan arbiter atau majelis arbitrase 4. Aturan prosedural yang berlaku 5. Tempat dan bahasa yang digunakan dalam arbitrase 6. Pilihan hukum substantif yang berlaku bagi arbitrase 7. Klausula-klausula stabilitasi dan hak kekebalan (imunitas).45 Menilik penjelasan yang telah diuraikan diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa unsur perjanjian tertulis tersebut merupakan ciri khas penyelesaian
45 Gary Goodpaster, Felix O. Soebagjo, Fatmah Jatim, Arbitrase di Indonesia:Beberapa Contoh Kasus dan Pelaksanaan dalam Praktik, (Jakarta, Ghalia Indonesia, 1995) hlm.25
Universitas Sumatera Utara
sengketa melalui arbitrase. Karena tanpa adanya perjanjian tertulis yang dibuat antara para pihak yang bersengketa, penyelesaian sengketa tidak dapat diselesaikan melalui jalan arbitrase. Berbicara tentang perjanjian, maka pembuatan perjanjian atau klausula arbitrase juga tunduk pada aturan yang tertera di dalam hukum perjanjian pada Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jadi, sah atau tidaknya perjanjian arbitrase tidak terlepas dari syarat-syarat sahnya suatu perjanjian yang diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata.46 b. Objek Arbitrase Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, objek memiliki arti hal, perkara, atau orang yg menjadi pokok pembicaraan. Berdasarkan pengertian objek tersebut, dapat ditarik suatu pemahaman bahwa yang menjadi objek arbitrase adalah hal-hal yang dibahas dalam arbitrase atau hal-hal yang dapat diselesaikan melalui jalan arbitrase. Objek perjanjian arbitrase (sengketa yang akan diselesaikan di luar pengadilan melalui lembaga arbitrase dan atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa lainnya) menurut Pasal 5 ayat (1) UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, hanyalah sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundangundangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.
46 http://ilmuhukumuin‐suka.blogspot.com/2013/12/macam‐macam‐perjanjian‐arbitrase‐ dan.html , artikel, diakses 10 Februari 2014
Universitas Sumatera Utara
Adapun kegiatan dalam bidang perdagangan itu antara lain: perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal, industri dan hak milik intelektual. Sementara itu Pasal 5 ayat (2) UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, memberikan perumusan negatif bahwa sengketa-sengketa yang dianggap tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian sebagaimana diatur dalam KUH Perdata Buku III bab kedelapan belas Pasal 1851 s/d 1854.47 b. Jenis Arbitrase Pada bagian ini akan dibicarakan mengenai jenis-jenis arbitrase, dimana hal ini berarti menyangkut masalah lembaga yang akan menangani jalannya arbitrase. Untuk tinjauan terhadap lembaga arbitrase ini dilakukan pendekatan melalui ketentuan yang tercantum didalam Rv dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999. Jenis arbitrase yang akan dibahas ini merupakan jenis arbitrase yang kewenangan serta eksistensi nya diakui sebagai lembaga untuk memriksa, menangani serta memberikan putusan terhadap sengketa yang terjadi antara pihakpihak yang telah melakukan perjanjian. Berdasarkan terkoordinasi dan tidak terkoordinasinya arbitrase oleh suatu lembaga, maka jenis arbitrase terbagi menjadi dua, yaitu : 1. Arbitrase ad-hoc 2. Arbitrase institusional
47 BPK, Arbitrase. http://jdih.bpk.go.id/wp‐content/uploads/2011/03/Arbitrase.pdf , artikel, diakses 11 Februari 2014
Universitas Sumatera Utara
Arbitrase ad-hoc atau disebut juga arbitrase volunter adalah arbitrase yang dibentuk khusus untuk menyelesaikan atau memutus perselisihan tertentu. Arbitrase ini bersifat insidental dan jangka waktunya tertentu sampai sengketa itu diputuskan.48 Arbitrase ad-hoc ini dibentuk setelah suatu sengketa terjadi. Arbitrase ini tidak terikat dengan salah satu badan arbitrase, jadi dapat dikatakan bahwa arbitrase ini tidak memiliki aturan ketentuan sendiri mengenai tata cara pelaksanaan pemeriksaan sengketa maupun pangikatan arbiternya. Dalam hal ini arbitrase ad-hoc tunduk sepenuhnya mengikuti aturan tata cara yang ditentukan dalam perundang-undangan.49 Lain halnya dengan arbitrase institusional, adalah arbitrase yang melembaga yang didirikan dan melekatpada suatu badan (body) atau lembaga (institution)
tertentu.
Sifatnya
permanen
dan
sengaja
dibentuk
guna
menyelesaikan sengketa yang terjadi sebagai akibat pelasanaan perjanjian. Setelah selesai memutus sengketa, arbitrase institusional tidak berakhir. Pada umumnya, arbitrase institusional memiliki prosedur dan atta cara pemeriksaan sengketa tersendiri. Arbiternya ditentukan dan diangkat oleh lembaga arbitrase institusional sendiri.50 Akibat kesulitan yang dialami para pihak dalam melakukan negosiasi dan menetapkan aturan-aturan prosedural dari arbitrase serta dalam merencanakan metode-metode pemilihan arbiter yang dapat diterima kedua belah pihak, para
48 Gunawan Widjaja, Ahmad Yani, Op.Cit. hlm.55 49 M. Yahya Harahap, Op.Cit. hlm.150 50 Rachmadi Usman, Op.Cit. hlm.29
Universitas Sumatera Utara
pihak sering kali memilih jalan penyelesaian sengketa melalui arbitrase institusional.51 Arbitrase institusional tersebut menyediakan jasa administrasi arbitrase, yang meliputi pengawasan proses arbitrase, aturan-aturan prosedural sebagai pedoman bagi para pihak dan pengangkatan para arbiter.52 Karena arbitrase institusional sangat mendukung pelaksanaan arbitrase, para pihak yang bersengketa dapat dan sering kali sepakat menggunakan jasa-jasa lembaga arbitrase atau arbitrase institusional. Aturan-aturan umum tentang kebebasan dan otonomi para pihak juga diterapkan, bahkan para pihak yang menggunakan lembaga arbitrase dapat menyesuaikan proses arbitrase mereka.53 Ada beberapa lembaga arbitrase institusional yang menyediakan jasa arbitrase, diantaranya bersifat Internasional dan yang bersifat Nasional. Yang bersifat Internasional misalnya : -
The International Centre for Setlement of Investment Dispute (ICSID), didirikan oleh World Bank. Diratifikasi melalui Undang-Undang nomor 5 Tahun 1968.
-
Court of Arbitration of The International Chamber of Commerce (ICC), bertempat di Paris.
-
United Nation Commisson on International Trade Law (UNCITRAL), didirikan pada tanggal 21 Juni 1985.
51 Gary Goodpaster, Felix O. Soebagjo, Fatmah Jatim, Op.Cit. hlm 25 52 Ibid. hlm.26 53 Ibid. hlm.27
Universitas Sumatera Utara
Sedangkan lembaga arbitrase yang bersifat Nasional antara lain : -
Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI)
-
Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) Dalam bagian ini sedikit akan dibahas tentang Badan Arbitrase Nasional
Indonesia (BANI) sebagai sebuah lembaga arbitrase institusional dalam lingkup Nasional yang bertujuan untuk memberikan penyelesaian sengketa yang timbul mengenai permasalahan perdagangan, industri, keuangan, baik yang bersifat nasional maupun yang bersifat internasional secara adil dan cepat. Badan Arbitrase Nasional Indonesia ini berdiri pada tanggal 3 Desember 1977 atas prakarsa Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia sebagai sarana kepercayaan para pengusaha Indonesia termasuk pengusaha perdagangan bagi kelancaran usahanya, untuk waktu yang tidak ditentukan lamanya, berkedudukan di Jakarta dan mempunyai cabang-cabangnya di tempat-tempat lain di Indonesia yang dianggap perlu setelah diadakan mufakat dengan Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia. Prakarsa KADIN dalam pendirian Badan Arbitrase Nasional Indonesia karena diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan Industri yang antara lain menyatakan bahwa dalam rangka pembinaan pengusaha Indonesia, Kamar Dagang dan Industri dapat melakukan antara lain jasa-jasa baik dalam bentuk pemberian surat keterangan, penengahan, arbitrase, dan rekomendasi mengenai usaha pengusaha Indonesia, termasuk legalisasi suratsurat yang diperlukan bagi kelancaran usahanya.54
54 Gunawan Widjaja, Ahmad Yani, Op.Cit. hlm.104
Universitas Sumatera Utara
Jadi walaupun Badan Arbitrase Nasional Indonesia ini memiliki sifat, ruang lingkup keberadaan serta hanya meliputi kawasan Indonesia, namun bukan berarti Badan Arbitrase Nasional Indonesia ini hanya dapat menyelesaikan sengketa nasional saja, tetapi juga dapat menyelesaikan sengketa yang bebobot internasional, asalkan hal tersebut diajukan atau diminta serta disepakati oleh para pihak. Badan Arbitrase Nasional Indonesia terdiri dari susunan seorang Ketua, seorang Wakil Ketua, beberapa orang anggota tetap, beberapa orang anggota tidak tetap, dan sebuah sekretariat yang dipimpin oleh seorang sekretaris. Ketua, Wakil Ketua, anggota, dan sekretariat tersebut diangkat dan diberhentikan atas pengusulan Badan Arbitrase Nasional Indonesia oleh Kamar Dagang dan Industri Indonesia. Untuk pertama kali mereka diangkat atas pengusulan Team Inti Pendiri BANI. Jangka waktu pemangkuan jabatan tersebut adalah untuk waktu lima tahun, setelah mana mereka dapat diangkat kembali. Ketua, Wakil Ketua, dan para anggota tetap merupakan pengurus
(Board of Managing Directors) Badan
Arbitrase Nasional Indonesia.55 C. Kelebihan dan Kekurangan Arbitrase 1. Kelebihan Arbitrase Arbitrase sebagai salah satu bentuk penyelesaian sengketa mempunyai kelebihan-kelebihan sehingga dipilih atau digunakan oleh pihak-pihak yang sedang berada atau mengalami sengketa.
55 Ibid. hlm.105
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan penjelasan umum yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, pada umumnya lembaga arbitrase mempunyai kelebihan dibandingkan dengan lembaga peradilan. Kelebihan tersebut antara lain : a. Dijamin kerahasiaan sengketa para pihak b. Dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif c. Para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan, pengalaman, serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur, dan adil d. Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase e. Putusan arbiter merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan melalui tata cara (prosedur) sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan. HMN Purwosutjipto juga mengemukakan kelebihan-kelebihan peradilan wasit (arbitrase) yaitu : 1. Penyelesaian sengketa dapat dilaksanakan dengan cepat 2. Para
wasit
terdiri
dari
orang-orang
ahli
dalam
bidang
yang
dipersengketakan, yang diharapkan mampu membuat putusan yang memuaskan para pihak 3. Putusan akan lebih sesuai dengan perasaan keadilan para pihak 4. Putusan peradilan wasit dirahasiakan, sehingga umum tidak mengetahui tentang kelemahan-kelemahan perusahaan yang bersangkutan. Sifat
Universitas Sumatera Utara
rahasia pada putusan perwasitan inilah yang dikehendaki oleh para pengusaha.56 Michael B. Metzger mengemukakan pendapat keuntungan penyelesaian sengketa melalui arbitrase adalah “As compared with the court system, the main advantages clained for arbitration are :
1. Quicker resolution of disputes (penyelesaian sengketa secara cepat) 2. Lower costs in time and money to the parties (biaya yang rendah) 3. The availability of professional who are often expert in the subject matter of dispute” (kemampuan para pihak yang ahli dalam sengketa).57 Menurut Prof. Subekti, bahwa bagi dunia perdagangan atau bisnis, penyelesaian sengketa lewat arbitrase atau perwasitan, mempunyai beberapa keuntungan yaitu bahwa dapat dilakukan dengan cepat, oleh para ahli, dan secara rahasia. Gary Goodpaster, Felix O. Soebagjo, Fatmah Jatim, dalam “Tinjauan terhadap Arbitrase Dagang Secara Umum dan Arbitrase Dagang Indonesia” menyebutkan keuntungan arbitrase yang menyebabkan arbitrase disebut di pilih dalam menyelesaikan sengketa, yaitu : a. Kebebasan, kepercayaan, dan keamanan b. Keahlian c. Cepat, dan hemat biaya 56 Budhy Budiman, “Mencari Model Ideal penyelesaian Sengketa, Kajian Terhadap Praktik Peradilan Perdata Dan undang‐Undang Nomor 30 Tahun 1999”, dalam http://jdih.bpk.go.id/wp‐ content/uploads/2011/03/Arbitrase.pdf diakses 15 Februari 2014 57 http://fikrimuhammad17.blogspot.com/2011/03/arbitrase.html , artikel, diakses 15 Februari 2014
Universitas Sumatera Utara
d. Bersifat rahasia e. Bersifat non-preseden f. Kepekaan arbiter pelaksanaan keputusan g. Kecenderungan yang modern Hampir sama dengan hal tersebut, Sudargo Gautama juga menyebutkan alasan arbitrase digunakan sebagai metode penyelesaian sengketa dalam bukunya yang berjudul “Arbitrase Dagang Internasional” adalah : a. Dihindarkannya publisitas b. Tidak banyak formalitas c. Bantuan pengadilan hanya pada taraf eksekusi d. Baik untuk pedagang-pedagang bonafide e. Ada jaminan dari perkumpulan-perkumpulan pengusaha f. Lebih murah dan cepat Dari berbagai pendapat yang dikemukakan ahli-ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa kelebihan atau keunggulan arbitrase adalah sebagai berikut : Pertama, para pihak mempunyai kebebasan dalam menentukan pilihan hukum, proses serta tempat penyelenggaraan arbitrase, dan tidak terikat dalam bentuk formal peradilan seperti hal nya di dalam proses litigasi. Fleksibilitas arbitrase ini menjadi daya tarik yang sangat besar karena para pihak yang besengketa dapat dengan langsung membahas hal-hal yang menjadi persengketaan mereka tanpa perlu diwakili oleh kuasa hukum seperti beracara di pengadilan. Kedua, pada umumnya arbitrase dilakukan secara tertutup atau bersifat rahasia. Dalam hal ini pemeriksaan ataupun penyelesaian sengketa hanya dihadiri
Universitas Sumatera Utara
oleh para pihak yang bersengketa saja. Artinya tidak ada pihak lain yang mengetahui permasalahan-permasalahan yang menjadi sengketa sengketa para pihak seperti hal nya penyelesaian sengketa melalui litigasi sehingga kegiatan usaha tidak menjadi terganggu. Hal ini juga menjadi dasar sehingga para pihak memilih arbitrase, karena mereka tidak menginginkan masalah yang dihadapi diketahui oleh orang lain ataupun dipublikasikan kepada media. Ketiga, pihak yang bersengketa dapat memilih sendiri arbiter atau orang yang ahli untuk menyelesaikan sengketa mereka. Hal ini dimaksudkan agar orang yang ahli tersebut dengan ilmunya dapat memberikan putusan yang cepat dan adil serta dapat dipertanggungjawabkan sesuai pengetahuan yang dimilikinya terhadap sengketa yang tengah dihadapi para pihak. Keempat, arbitrase merupakan proses penyelesaian sengketa yang tidak memakan banyak waktu dan dilaksanakan dengan biaya yang murah dibandingkan dengan proses berperkara di pengadilan atau litigasi. 2. Kelemahan Arbitrase Sebagai salah satu cara penyelesaian sengketa, arbitrase tidak hanya memiliki kelebihan-kelebihan namun juga memiliki kelemahan-kelemahan yang perlu diketahui oleh pengguna metode arbitrase. Kelemahannya terletak pada masih sulitnya upaya eksekusi dari suatu putusan arbitrase, padahal pengaturan untuk eksekusi putusan arbitrase nasional maupun internasional sudah cukup jelas, ini khususnya terjadi di Indonesia dari praktek arbitrase yang sudah berjalan selama ini. Selain itu, di negara-negara tertentu proses peradilan dapat lebih cepat dari pada proses arbitrase.
Universitas Sumatera Utara
Beberapa kelemahan arbitrase yang lainnya adalah : 1. Arbitrase belum dikenal secara luas, baik oleh masyarakat awam, maupun masyarakat bisnis, bahkan oleh masyarakat akademis sendiri. Sebagai contoh masyarakat masih banyak yang belum mengetahui keberadaan dan kiprah dari lembaga-lembaga seperti BANI. 2. Masyarakat belum menaruh kepercayaan yang memadai, sehingga enggan memasukkan perkaranya kepada lembaga-lembaga arbitrase. Hal ini dapat dilihat dari sedikitnya perkara yang diajukan dan diselesaikan melalui lembaga-lembaga arbitrase yang ada. 3. Lembaga Arbitrase tidak mempunyai daya paksa atau kewenangan melakukan eksekusi putusannya. 4. Kurangnya kepatuhan para pihak terhadap hasil-hasil penyelesaian yang dicapai dalam Arbitrase, sehingga mereka seringkali mengingkari dengan berbagai cara, baik dengan teknik mengulur-ulur waktu, perlawanan, gugatan pembatalan dan sebagainya. 5. Kurangnya para pihak memegang etika bisnis. Sebagai suatu mekanisme extra judicial, arbitrase hanya dapat bertumpu di atas etika bisnis, seperti kejujuran dan kewajaran.58 D. Faktor-Faktor yang Mendorong Para Pihak Memberdayakan Arbitrase dalam Menyelesaikan Sengketa Penyelesaian sengketa yang dilakukan atau dipilih para pihak melalui suatu metode penyelesaian sengketa yaitu arbitrase menjadi sebuah realita yang saat ini
58 http://jdih.bpk.go.id/wp‐content/uploads/2011/03/Arbitrase.pdf , artikel, diakses 15 Februari 2014
Universitas Sumatera Utara
berkembang di masyarakat. Masyarakat yang pada umumnya mempunyai hubungan sosial yang multiplex, cenderung menjunjung tinggi mufakat atau kompromi. Masyarakat juga memikirkan kelanjutan hubungan sosial kedepannya setelah terjadi sebuah sengketa. Dimana hal-hal yang mereka inginkan menyangkut hubungan baik dan kompromistis tersebut tidak bisa mereka dapatkan melalui sebuah penyelesaian sengketa yang terstruktur melalui cara litigasi atau penyelesaian sengketa di pengadilan. Dalam sebuah negara yang sistem hukum dan pemerintahannya korup dan lembaga peradilannya dapat dengan mudah dibeli oleh pihak yang memiliki kekuatan finansial atau kekuatan politik, cara-cara negosiasi dan mediasi tidak akan berjalan efektif karena pihak yang kuat merasa yakin bahwa dengan cara dan dalam forum apa pun dapat memenangkan sengketa. 59 Penyelesaian sengketa menggunakan pengadilan telah terbukti banyak menimbulkan ketidakpuasan pada pihak-pihak yang bersengketa maupun masyarakat luas. Ketidakpuasan masyarakat dilontarkan dalam bentuk pandangan sinis, mencemooh, dan menghujat terhadap kinerja pengadilan karena dianggap tidak memanusiakan pihak-pihak yang bersengketa, menjauhkan pihak-pihak bersengketa dari keadilan, tempat terjadinya perdagangan putusan hakim, dan lain-lain hujatan yang ditujukan kepada lembaga peradilan. 60 Seperti hal nya dengan negosiasi dan mediasi, arbitrase lebih dipilih karena para pihak cenderung tidak mempercayai lembaga pengadilan tersebut.
59 Albert K. Fiadjoe, Akternative Disputs Resolution, dalam Skripsi Fanny Dwi Lestari, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2013 60 http://andukot.files.wordpress.com/2010/05/jurisdiksi‐arbitrase.pdf , artikel, diakses 16 Februari 2014
Universitas Sumatera Utara
Para pihak yang bersengketa tidak memiliki kemampuan untuk mengetahui siapa yang menang ataupun kalah dalam suatu proses penyelesaian sengketa litigasi, para pihak akan mengeluarkan biaya yang banyak selama proses penyelsaian perkara. Melalui arbitrase, biaya besar yang dikeluarkan para pihak tersebut dapat diminimalisir sehingga para pihak pun lebih memilih arbitrase daripada proses penyelesaian secara litigasi. Dengan kata lain, penyelesaian sengketa melalui arbitrase merupakan cara yang efektif dari segi finansial karena biayanya yang terjangkau. Sama halnya dengan biaya, para pihak juga tidak ingin membuang waktu hanya untuk berperkara di pengadilan saja, masih banyak kepentingan dan urusan lain yang harus mereka selesaikan disamping sengketa yang tengah mereka hadapi. Agar penyelesaian sengketa menjadi lebih hemat waktu, para pihak sengketa tertarik untuk memilih penyelesaian sengketa melalui arbitrase. Selain putusan bisa di dapat dengan cepat, putusan arbitrase ini bersifat final dan tidak dapat diajukan banding, kasasi, ataupun peninjauan kembali. Tidak sama dengan negosiasi dan mediasi yang memiliki kemungkinan tidak berhasil,
arbitrase pasti akan menghasilkan suatu keputusan terhadap
sengketa yang terjadi, karen arbiter memiliki wewenang untuk hal tersebut bahkan dalam hal ketidakhadiran pihak termohon sekalipun. Hal ini juga mnjadi nilai lebih bagi arbitrase sebagai metode penyelesaian sengketa. Faktor lain yang mendorong para pihak sengketa melakukan arbitrase adalah karena arbitrase memberikan kebebasan yang sebesar-besarnya kepada para pihak dalam menentukan arbiter, pilihan hukum, proses, serta tempat
Universitas Sumatera Utara
penyelenggaraan arbitrase. Namun tetap pada akhirnya para pihak ini tetap harus tunduk dan patuh terhadap putusan arbitrase yang mengikat mereka tersebut. Dari faktor-faktor yang telah diurasikan diatas, dapat dilihat dengan jelas dan dapat ditarik kesimpulan bahwa arbitrase merupakan salah satu cara penyelesaian sengketa diluar pengadilan yang memiliki manfaat serta kemudahankemudahan yang sangat besar sehingga mendorong para pihak sengketa untuk memilih serta memberdayakan arbitrase dalam menyelesaikan sengketa.
Universitas Sumatera Utara