BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pendidikan adalah milik semua orang, milik tiap-tiap insan yang hakikatnya diberkahi akal dan pikiran. Selain dapat menaikkan harkat dan martabat manusia, pendidikan dilain pihak juga dapat memberikan pengetahuan, keterampilan, dan teknik untuk menyelesaikan berbagai macam persoalan di dunia. Pendidikan juga seringkali menjadi bidang yang dikaji serta dijadikan sasaran implementasi di banyak bidang, salah satunya adalah banyak pendapat yang menyatakan bahwa pendidikan dapat memutuskan rantai kemiskinan di dunia. Oleh karena itu pendidikan sangatlah vital bagi keberlangsungan hidup manusia itu sendiri, baik dalam bernegara, berbangsa dan bermasyarakat. Sejarah panjang Indonesia dalam memperjuangkan hak dalam memperoleh pendidikan di mulai dengan praktek “balas budi” oleh pemerintahan HindiaBelanda, bahkan sampai sekarang pendidikan masih menjadi hal yang harus diperjuangkan oleh mereka yang masih mendapat diskriminasi karena keadaan (Buchori, 2007). Pemberian kesempatan pendidikan tinggi bagi para penyandang difabilitas sendiri di Indonesia telah dimulai sekurang-kurangnya sejak tahun 1960-an, tetapi pemberian kesempatan tersebut hampir tanpa dukungan sistem. Keberhasilan sejumlah kecil penyandang difabilitas dalam menyelesaikan pendidikan tinggi pada masa itu lebih dipengaruhi oleh kegigihan usaha individu penyandang difabilitas dalam mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapinya,
1
upaya advokasi yang dilakukan oleh organisasi-organisasi difabilitas, dan kebijaksanaan personal pejabat lembaga pendidikan tinggi tertentu. Layaknya sebuah perusahaan yang memiliki tanggung jawab sosial (Corporate Social Responsibility/CSR), perguruan tinggi juga memiliki tanggung jawab sosial. Bagi perguruan tinggi, bentuk tanggung jawab sosial tersebut secara formal tersirat dalam Tridharma perguruan tinggi yang ke tiga, yaitu Pengabdian pada Masyarakat (Subagyo, 2014). Sebagai bentuk pengabdiannya kepada masyarakat, perguruan tinggi memiliki posisi untuk menyiapkan masa depan, dengan mendidik generasi baru yang mampu bersaing maka dapat dikatakan pendidikan tinggi adalah ujung tombak dari masa depan. Tertinggal atau majunya suatu negara, sangat bergantung kepada kondisi pendidikannya (Isjoni, 2006). Pemerintah Indonesia mengupayakan penyelenggaraan pendidikan agar dapat berjalan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa. Di dalam kerangka tersebut, pemerintah menyelenggarakan pendidikan dengan memperhatikan perbedaan-perbedaan yang terdapat pada individu-individu. Ditinjau dari konteksnya, warga negara normal (tidak menyandang difabilitas) diberikan akses untuk mengenyam pendidikan, begitu juga dengan warga negara yang tidak normal (penyandang difabilitas) diberikan akses serupa. Hal ini dibuktikan dengan adanya kursus ataupun sekolah yang mempunyai training khusus yang dinamakan dengan Sekolah Luar Biasa (SLB). Seperti sekolah pada umumnya, SLB di Indonesia mempunyai tingkat atau jenjang dari Sekolah Dasar (SD) sampai dengan Sekolah Menengah Atas (SMA).
2
Sedangkan untuk lembaga pendidikan khusus untuk tingkat sekolah tinggi atau universitas masih belum terdapat di Indonesia. Meninjau dari segi peraturan perundang-undangan maka sebagai sebuah negara, Indonesia memiliki Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sebagai acuan pelaksanaan pendidikan dengan salah satu pasalnya yaitu Pasal 31 yang berbunyi “bahwa tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”. Pasal 6 dalam Undang-Undang No.4 tahun 1997 bahkan secara lugas menyebutkan bahwa setiap difabel berhak memperoleh pendidikan pada semua satuan, jalur, jenis dan jenjang pendidikan. Kemudian Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional ikut meguatkan posisi pendidikan bagi semua orang dengan Pasal 5 yang menyebutkan bahwa “setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan”. Komitmen Indonesia untuk pendidikan tidak berhenti hanya di ranah perundang-undangan. Lebih dari itu, demi memberikan akses lebih kepada para difabel yang ingin melanjutkan pendidikannya ke tingkat yang lebih tinggi maka, Indonesia berpegang kepada konvensi yang dilaksanakan pada tanggal 30 Maret 2008, Convention on the Rights of Disabled People atau Konvensi Hak Difabel. Konvensi Hak Difabel yang di selenggarakan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa ini, menyepakati satu suara untuk melindungi hak 650 juta difabel sedunia dengan resolusi No. 61/106. Konvensi tersebut melarang pembatasan hak difabel terhadap akses pendidikan, pekerjaan, dan politik. Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang pengesahan Convention on the Rights of Disabled People turut mengamini hal tersebut.
3
Pada tahun 2012, pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi menjamin tidak adanya perbedaan bagi setiap warga negara Indonesia untuk mendapatkan pendidikan di jenjang pendidikan tinggi. Khusus bagi mahasiswa penyandang difabilitas, pasal 32 menyebutkan bahwa program studi dapat dilaksanakan melalui pendidikan khusus atau pendidikan layanan khusus bagi mahasiswa yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran. Walaupun keberadaan pendidikan inklusif memiliki pijakan hukum yang kuat, tetapi dalam implementasinya masih dihadapkan pada sejumlah kendala. Sebagai contoh, pada level pelaksanaan pendidikan bagi penyandang difabilitas terdapat perbedaan dalam konsep dan model pendidikan para difabel, baik segregatif maupun inklusif. Dari banyaknya perguruan tinggi di Indonesia, baik yang berupa universitas maupun
sekolah
tinggi,
berapa
banyak
sebenarnya
yang
benar-benar
mengakomodasi keberagaman? Sebagai catatan, pendidikan inklusif berbeda dengan pendidikan luar biasa yang kerap di asumsikan masyarakat awam, pendidikan inklusif lebih mengarah kepada “pendidikan untuk semua” dan “peningkatan
mutu
sekolah/kampus”
yang
terintegrasi.
Lembaga
yang
menyelenggarakan sistem ini (inklusif) diharapkan mampu mengakomodasi seluruh kebutuhan proses belajar mengajar dengan sarana dan prasarana yang memadai. Akan tetapi karena terkendala oleh berbagai keterbatasan, maka beberapa perguruan tinggi membuat model kebijakan untuk dapat megakomodir kebutuhan mahasiswa difabel dengan memaksimalkan sarana dan prasarana yang ada. Model kebijakan ini dimaksudkan untuk memaksimalkan sarana prasarana
4
yang ada agar di fungsikan se-efektif dan se-efisien mungkin untuk dapat memberikan pelayanan yang ramah sesuai dengan tujuan pendidikan inklusif. Gambar 1. Jumlah Perguruan Tinggi di Indonesia
Sumber: Pangkalan Data Pendidikan Tinggi Terdapat ribuan perguruan tinggi di Indonesia (Lihat Gambar 1) namun hanya segelintir yang berani mempublikasikan diri sebagai perguruan tinggi inklusi. Salah satunya dan dapat di sebut sebagai pionner pendidikan inklusif di perguruan tinggi adalah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (UIN SUKA) Yogyakarta. UIN SUKA secara mandiri merintis perguruan tinggi yang ramah terhadap difabel. Dimulai kepedulian sejumlah dosen pengajar di UIN SUKA terhadap mahasiswa difabel yang sedang menempuh pendidikan di UIN SUKA kemudian berkembang ke arah pembentukan PSLD (Pusat Studi Layanan Difabel). PSLD ini kemudian berubah nama menjadi PLD (Pusat Layanan Difabel) dikarenakan perubahan struktur organisasi. PLD berfungsi sebagai pusat penelitian tentang isuisu difabilitas dan pemberian layanan bagi penyandang difabilitas di UIN SUKA.
5
Mengikuti jejak UIN SUKA, perguruan tinggi lainpun mulai berbenah, salah satunya adalah Universitas Brawijaya (UB). Berbekal moto education for all untuk memujudkan pendidikan yang adil dan setara, UB memiliki visi untuk memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi penyandang difabilitas dalam mengakses perguruan tinggi. Dalam prakteknya UB menerapkan Seleksi Program Khusus Penyandang Disabilitas (SPKPD) dimana para difabel memiliki ‘pintu’ tersendiri untuk mengakses perguruan tinggi. Hal berbeda di tunjukkan perguruan tinggi yang menganut sistem egaliter, bahkan sejak sebelum dikenalnya pendidikan inklusif. Perguruan tinggi yang menganut sistem egaliter memandang semua calon mahasiswanya sama atau dengan kata lain bersedia menerima penyandang disabiilitas asalkan memenuhi kriteria akademik yang diperlukan. Sebagai contoh, Universitas Gadjah Mada (UGM) dengan skema penerimaan mahasiswa baru yang beragam, memberikan akses yang sama kepada calon mahasiswa difabel selama mampu memenuhi apa yang di persyaratkan, sehingga tak jarang para difabel hanya terdata ketika telah memasuki ruang kuliah. Dalam Implementasinya, pelaksanaan pendidikan bagi penyandang difabilitas baik dalam konsep maupun dalam model pendidikannya memiliki banyak perbedaan, hal ini dikarenakan minimnya sumber daya maupun beragamnya masalah individu difabel yang ditemui. Karena perbedaan tersebut, maka dalam implementasinya
pendidikan
inklusif
menemui
beberapa
hambatan
dan
memerlukan perhatian khusus dalam merumuskan kebijakan yang tepat serta dapat dikelola sebagai bentuk strategi mewujudkan perguruan tinggi ramah dan non-diskriminatif bagi penyandang difabilitas. Singkatnya pendidikan inklusif
6
adalah proses pendidikan formal yang memberikan akses kepada difabel untuk ikut serta dikelas yang sama dengan non-difabel. Mendapatkan materi, evaluasi, ujian dan sarana penunjang perkuliahan lainnya secara adil, yang membuatnya berbeda adalah fasilitas tambahan seperti pendampingan ketika menuju ruang kuliah ataupun materi yang memerlukan penerjemahan lebih lanjut. Sebagai contoh, mahasiswa tuna daksa dan tuna netra akan membutuhkan bantuan untuk menuju ruang kuliah, berbeda dengan kebutuhan tuna rungu yang membutuhkan penerjemah (dengan asumsi dosen pengampu tidak memiliki keahlian bahasa isyarat). Oleh karena itu konsep pendidikan inlusif sampai dengan jenjang Perguruan Tinggi di prakarsai sebagai suatu inovasi dimana mereka para penyandang difabilitas memiliki hak yang sama untuk memperoleh pendidikan. Mengapresiasi
kepedulian
perguruan
tinggi
yang
menyelenggarakan
pendidikan inklusi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (KemenDikBud) bekerjasama dengan Helen Keller Internasional-Indonesia memberikan Inclusive Awards. Inclusive awards adalah penghargaan yang diberikan kepada pihak-pihak yang dinilai telah berjasa dalam mewujudkan penyelenggaraan pendidikan inklusif atau pendidikan anak berkebutuhan khusus di Indonesia. Terdapat beberapa perguruan tinggi yang pernah mendapatkan penghargaan ini, diantaranya UB dan UIN SUKA pada tahun 2013. Menjawab semangat menuju pendidikan inklusi, maka penelitian ini mencoba mengkaji bagaimana kebutuhan-kebutuhan mahasiswa difabel yang dipenuhi oleh lembaga-lembaga pendidikan yang menerapkan sistem inkusi. Selain itu juga, diharapkan dari penelitian ini dapat memberikan gambaran kebijakan di masing-
7
masing
perguruan
tinggi,
mencakup
fasilitas
dan
aksesibilitas
serta
implementasinya di lapangan dan pada akhirnya menghasilkan rumusan best practices implementasi kebijakan bagi suksesi perguruan tinggi inklusif di Indonesia. B. Rumusan Masalah Pendidikan inklusif merupakan hal yang relatif baru, sehingga akan menghadapi berbagai permasalahan dalam pelaksanaannnya. Permasalahan dapat timbul banyak hal, mulai aksesibilitas, penerimaan oleh siswa nondifabel, dosen, karyawan maupun lingkungan pendidikan, sampai dengan proses pembelajaran terhadap materi akademik. Pada ranah implementasi kebijakan, pendidikan inklusif merupakan bidang kajian yang jarang terjamah baik dari segi pendidikan maupun segi kebijakan selain itu juga adanya gap atau ketidaksesuaian harapan antara kelompok sasaran dan pembuat kebijakan yang muncul dapat mempengaruhi keberhasilan dari sebuah kebijakan Oleh karena itu fokus utama yang ingin dituju dalam penelitian ini adalah bagaimana implementasi kebijakan pendidikan inklusif terhadap mahasiswa difabel di perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan inklusif. Untuk memperjelas rumusan masalah, maka peneliti memperdalam masalah utama dengan sub-sub bagian pertanyaan sebagai berikut: 1. Apa saja kebijakan yang diterapkan oleh UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta? 2. Apa saja kebijakan yang diterapkan oleh Universitas Brawijaya Malang? 3. Apa saja kebijakan yang diterapkan oleh Universitas Gadjah Mada? 4. Bagaimana Aksesibilitas dan Fasilitas yang diberikan?
8
5. Bagaimana Implementasinya?, meliputi: a. Gambaran lembaga yang melaksanakan pendidikan inklusi. b. Penerapan content of policy dan content of implementation. c. Interpretasi terhadap lembaga dan kelompok sasaran. C. Tujuan Penelitian Pada dasarnya penelitian implementasi kebijakan dengan sisi pendidikan inklusif masih merupakan ranah “unik”. Keunikan dari kebijakan ini dapat diihat dari sisi implementasinya, dimana kebijakan inklusif lebih bersifat selektif dan bukan bersifat universal. Bersifat selektif karena satu orang sasaran antara lain mahasiswa difabel baik yang tunanetra, tunadaksa dam tunarungu-wicara, maka satu permasalahan yang dihadapi dan satu kebijakan untuk mengatasinya. Adapun
tujuan
penelitian
ini
adalah
untuk
mengetahui
bagaimana
penyelenggaraan/penerapan atau implementasi kebijakan yang dilaksanakan di perguruan tinggi. Dalam menganalisis implementasi pendidikan inklusif di perguruan tinggi, maka penelitian ini melihat aspek : 1. Lembaga pelaksana mencakup; sejarah, visi, misi, struktur dan pelayanan lembaga. 2. Implementasi kebijakan mencakup; Pengaruh content of policy dan content of implementation. 3. Outcome berupa dampak dan penerimaan lingkungan terhadap kebijakan. Dari hasil penelitian tersebut maka akan memunculkan komparasi antara yang satu dengan yang lain, selain itu penelitian ini juga berusaha untuk menemukan praktek terbaik (best practice) dalam penyelenggaran pendidikan inklusif pada
9
level mikro (institusi) sehingga dapat menjadi rekomendasi kepada perguruan tinggi lain yang berniat menyelenggarakan pendidikan inklusi. Dari hasil penelitian ini juga diharapkan munculnya faktor (mencakup aktor, variabel dan relasi) yang mempengaruhi keberhasilan manajemen pendidikan inklusif. Selain itu juga penelitian ini diharapkan memunculkan relasi antara pembuat kebijakan dan sasaran kebijakan dengan skema bottom up, top down atau malah gabungan keduanya. D. Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang di harapkan dari penelitian ini yang secara umum dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan/kontribusi bagi pengembangan teori tentang praktek analisis masalah sosial maupun analisis kebijakan baik berupa kebijakan publik maupun kebijakan sosial kedepannya. Lebih lanjut penelitian ini diharapkan dapat menjadi sebuah pertimbangan untuk penelitian sejenis dan dapat digunakan sebagai titik tolak untuk melaksanakan penelitian serupa dalam lingkup yang lebih luas. 2. Manfaat Praktis a. Bagi Universitas Gadjah Mada Diharapkan dari hasil penelitian ini dapat menambah khasanah keilmuan, secara khususnya dapat menjadi acuan untuk membenahi sistem pedidikan yang ada agar kedepannnya lebih baik lagi.
10
b. Bagi Kalangan Akademisi (Mahasiswa) Diharapkan penelitian ini dapat mengembangkan wawasan intelektual civitas akademika dan secara khusus menjadikan penelitian ini sebagai bentuk referensi penelitian selanjutnya yang lebih baik lagi. c. Bagi Masyarakat Bagi masyarakat diharapkan tumbuhnya harapan yang memotivasi, serta membuka pandangan baru bahwa pendidikan adalah milik semua orang. d. Bagi Pembuat Kebijakan Memberikan sumbangan pemikiran ataupun masukan-masukan bagi pihak yang berwenang dalam merumuskan kebijakan dan program-program yang berkaitan dengan aksesibilitas pendidikan bagi difabel. E. Keaslian Penelitian Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan memberikan konsentrasi sumbangsih keilmuannya dengan sub-sub keilmuan berupa pengembangan masyarakat, kebijakan sosial, CSR (Comunity Social Responsibilty) dan kemiskinan. Peneliti sebagai mahasiswa Strata-2 (S-2) mencoba mengambil konsentrasi kebijakan, tepatnya kebijakan sosial dalam pendidikan kepada kaum minoritas. Sejauh pengetahuan peneliti, tema penelitian ini belum pernah di teliti sebelumnya. Berdasarkan penelusuran, penelitian mengenai implementasi kebijakan pendidikan inklusif terhadap mahasiswa difabel di perguruan tinggi telah banyak dilakukan oleh kalangan akademisi di Indonesia. Untuk membedakan penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya maka penelusuran ini akan mencoba
11
menghimpun penelitian-penelitian terdahulu yang relevan dengan tema penelitian ini. Selanjutnya untuk mempermudah penelusuran maka pencarian rekam jejak keaslian penelitian dilakukan dengan cara seluas mungkin agar tidak terjadi hal yang tidak di inginkan. Pertama-tama penelusuran kepada jurnal, diantarannya adalah terbitan dari International Journal of Educational Development, Jurnal Pemikiran Alternatif Pendidikan, Jurnal Administrasi Publik (JAP) dan lain sebagainya, untuk kategori ini diantaranya adalah oleh I.B. Wirawan dengan jurnal bertema Aksesibilitas Penyandang Cacat di Jawa Timur, Jurnal karya Asyahbuddin dengan judul Difabilitas dan Pendidikan Inklusif: Kemungkinannya di STAIN Purwokerto, Jarot Wahyudi, dkk yang menerbitkan jurnal penelitian agama dengan judul Kebijakan dan Layanan Difabel di Lingkungan UIN Sunan Kalijaga. Dari beberapa judul/penelitian yang telah disebutkan sebelumnya maka tema penelitian mengenai implementasi kebijakan pendidikan inklusif khususnya di Perguruan tinggi dapat dikatan berbeda secara materi maupun lokasinya. Kedua, tulisan akademisi karya akhir mahasiswa baik skripsi, tesis maupun disertasi menjadi fokus penelusuran berikutnya setelah penelusuran dalam bidang jurnal. Skripsi oleh Sumaryanto dengan judul Upaya Pusat Studi Layanan Difabel dalam Membantu Keberhasilan Belajar Mahasiswa Tunanetra di UIN Sunan Kalijaga, Pelaksanaan Pembelajaran Pendekatan Pendidikan Inklusif Terhadap Tunanetra di Jurusan PAI Falkutas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga, buah karya Wido Yufri Ashar, selain itu skripsi karya Masri’ah yang berjudul Pendidikan Inklusif di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (Studi Kasus Pelaksanaan
12
Pembelajaran Studi Keislaman Mahasiswa Tunanetra UIN Sunan Kalijaga). Pengembangan Sekolah Inklusif dan Keberhasilannya dalam Membentuk Sikap Anti Diskriminasi terhadap Difabel oleh Yusuf Budi Kurniawan. Tesis karya Siti Aminah berjudul Aksesibilitas Pendidikan di Pusat Studi dan Layanan Difabel dan Motivasi Belajar Mahasiswa Difabel Netra UIN Sunan Kalijaga, kemudian Ahkmad Sholeh dengan judul Analisis Kebijakan Departemen Agama tentang Demokrasi Pendidikan dalam Konteks Perlakuan Terhadap Penyandang Cacat berlanjut dengan Disertasinya mengenai analisis terhadap tingkat aksesibilitas empat perguruan tinggi negeri di wilayah DIY (UGM, ISI, UNY dan UIN Sunan Kalijaga) terhadap mahasiswa penyandang difabilitas yang kuliah di empat perguruan tinggi tersebut, sayangnya hasil penelitiannya belum di publish. Dari beberapa penelusuran di atas dapat disimpulkan keoriginalan penelitian mengenai implementasi kebijakan pendidikan inklusif khususnya di Perguruan tinggi di Indonesia (Universitas Brawijaya dan UIN Sunan Kalijaga) belum tersentuh oleh akademisi lain dengan tema yang sama. Terakhir tulisan/makalah yang disampaikan secara umum berdasarkan hasil penelusuran: bertemakan Aksesibilitas Lingkungan Fisik Bagi Penyandang Cacat tulisan karya Didi Tarsisi, kemudian tulisan dari Kamal Fuadi dengan judul Membangun Kampus Inklusif, Menuju Kampus Ramah dan Non-Diskriminatif bagi Penyandang Disabilitas yang di muat di harian KOMPAS: Sabtu, 31 Juli 2010. Selanjutnya Pendidikan Inklusif dan Implementasinya di Indonesia oleh Endis Firdaus dosen Universitas Pendidikan Indonesia yang disampaikan pada Seminar Nasional Pendidikan di Universitas Jendral Soedirman Purwokerto 24
13
Januari 2010, kemudian Potret Sekolah Inklusif di Indonesia (Makalah yang disampaikan dalam Seminar Umum “Memilih Sekolah yang Tepat Bagi Anak Berkebutuhan Khusus” pada Pertemuan Nasional Asosiasi Kesehatan Jiwa dan Remaja (AKESWARI) pada tanggal 5 Mei 2011 di Hotel INA Garuda Yogyakarta) Oleh Dra. Sari Rudiyati, M.Pd. Dosen Jurusan PLB FIP UNY. Tulisan Siti Muyassarotul Hafidzoh yang paling baru dengan tema Meningkatkan Pendidikan Kaum Difabel yang dimuat di SUARA KARYA, 29 Juni 2012 menutup penelusuran ini dan semakin menguatkan letak keorisinalitasan penelitian ini ditinjau dari sudut tema, judul, metode maupun lokasi yang menjadi fokus penelitian tesis ini. Sebagian besar tulisan mengenai inklusif masih berorientasi tulisan untuk blog dan bukan merupakan hasil penelitian. Meskipun memiliki bentuk makalahmakalah mengenai peraturan perundang-undangan, maupun kebijakan akan tetapi tidak dipublikasian secara resmi dan hanya diperuntukkan untuk keperluan pribadi. Selain itu juga ada statement-statement oleh tokoh pejabat maupun orang yang memiliki wewenang didalam menentukan kebijakan mengenai perbaikan penyediaan aksesibilitas pendidikan inklusif, akan tetapi hanya sebatas itu tanpa adanya implementasi di lapangan dimana diharapkan ada sumbangsih secara nyata terhadap perkembangan pendidikan inklusif di Indonesia.
14