BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Perum Perhutani adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang diberi
tugas dan wewenang untuk menyelenggarakan kegiatan pengelolaan hutan seluas 2,4 juta Ha di hutan negara yang berada di Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Jawa Barat, dan Provinsi Banten, kecuali hutan konservasi, berdasarkan prinsip pengelolaan hutan lestari dan prinsip tata kelola perusahaan yang baik. (PP Nomor 72 Tahun 2010). Sifat usaha dari Perhutani adalah menyediakan pelayanan bagi kemanfaatan umum dan sekaligus memupuk keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan dan kelestarian sumber daya hutan. Maksud dan tujuan Perhutani dalam PP Nomor 72 Tahun 2010 adalah adalah menyelenggarakan usaha yang bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang berhubungan dengan Pengelolaan Hutan dan hasil hutan yang berkualitas dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat berdasarkan prinsip Pengelolaan Hutan lestari dan prinsip tata kelola perusahaan yang baik. Pengelolaan hutan Jawa bersinggungan dengan jutaan orang yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan. Di Jawa, berdasarkan data Perum Pehutani, total desa hutan yang terdapat di wilayah kerja Perhutani mencapai sekitar 5.595 desa
1
2
dengan jumlah penduduk sekitar 28 juta jiwa, dimana sekitar 75 persen masih menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian (Yuwono dan Putro, 2008). Sejak Orde Baru, pemerintahan lebih mengutamakan sentra-sentra pertumbuhan di pusat-pusat kota. Akibatnya, pembangunan tumbuh tidak merata dan desa hutan yang secara geografis berada jauh dari pusat pertumbuhan, menjadi terabaikan, atau setidaknya berada dalam posisi yang kurang tersentuh pembangunan. Pembangunan yang tidak merata akan berujung pada tidak meratanya pertumbuhan ekonomi yang masih terpusat di wilayah tertentu dan melibatkan orang-orang tertentu saja sehingga menciptakan kemiskinan di daerah tertinggal. Menurut data Sensus Ekonomi Nasional tahun 2002 (BPS, 2002), dari total penduduk Jawa persentase penduduk miskin di Jawa mencapai 19, 6 persen, dan sebagian besar dari mereka tinggal di desa-desa sekitar hutan. Penduduk yang tinggal berdekatan dengan hutan atau berada di tengah hutan sering memanfaatkan berbagai hasil hutan untuk kebutuhan hidupnya. Selain mengolah lahan hutan dengan ditanami tanaman pertanian, masyarakat terbiasa mengambil kayu bakar dan rumput sebagai makanan ternaknya. Dengan kepemilikan lahan pertanian yang sangat minim (hanya sekitar 0,2 hektar/KK petani), dan banyaknya petani gurem serta buruh tani mengakibatkan meningkatnya tekanan penduduk terhadap kawasan hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari (Yuwono dan Putro, 2008). Kerusakan hutan yang terjadi akibat penjarahan hutan pada tahun 19982000 menyadarkan Perhutani bahwa hutan di Jawa tidak akan lestari jika hanya dikelola secara sentralistik oleh Perhutani saja, melainkan juga harus melibatkan
3
masyarakat yang selama ini banyak diabaikan. Program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) yang dicanangkan oleh Perum Perhutani melalui SK Nomor 136/KPTS/DIR/2001 membuka kesempatan bagi masyarakat desa hutan untuk terlibat aktif dalam pengelolaan hutan. Perhutani dituntut untuk memberikan perhatian yang besar terhadap masalah sosial ekonomi masyarakat, terutama masyarakat desa hutan. Interaksi antara masyarakat dengan hutan tidak mungkin lagi untuk dipisahkan. Oleh karena itu, pendekatan yang dilakukan dalam pengelolaan hutan dengan memperhatikan keberlanjutan ekosistem hutan dan peduli dengan masyarakat miskin sekitar hutan. Dalam perkembangannya PHBM mengalami perubahan pada tahun 2007 dengan SK 268/KPTS/DIR/2007. Melalui PHBM, Perhutani bekerjasama dengan masyarakat desa hutan dan pihak-pihak lainnya melaksanakan kegiatan pengelolaan hutan. Perhutani mencatat sejak tahun 2005 sampai tahun 2010, terdapat 5.054 desa hutan atau sekitar 94% dari total desa hutan di Pulau Jawa dan Madura bekerjasama melalui program PHBM (Perhutani, 2011). Luas hutan yang dikerjasamakan menjadi hutan pangkuan desa mencapai 2.250.172 Ha melibatkan lebih kurang 5.456.986 KK tergabung dalam 5.237 Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) dan 746 Koperasi Desa Hutan (Perhutani, 2011). Menurut SK 136/KPTS/DIR/2001, Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat adalah suatu sistem pengelolaan sumberdaya hutan yang dilakukan bersama oleh Perum Perhutani dan masyarakat desa hutan, atau Perum Perhutani dan masyarakat desa hutan dengan pihak yang berkepentingan (stakeholder) dengan jiwa berbagi, sehingga kepentingan bersama untuk
4
mencapai keberlanjutan fungsi dan manfaat sumberdaya hutan dapat diwujudkan secara optimal dan proposional. Berdasarkan SK 268/KPTS/DIR/2007, jiwa PHBM Plus adalah mengelola sumberdaya hutan secara bersama, berdaya, dan berbagi dengan semua pihak yang berkepentingan (stakeholders) atas dasar fleksibilitas dan karakteristik usaha serta kondisi sosial/kultural masyarakat setempat. Melalui PHBM Perum Perhutani menyatakan akan berkontribusi dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat desa hutan dalam tujuan PHBM terkait pengentasan kemiskinan. Peningkatan kesejahteraan masyarakat dilakukan dengan mendukung peningkatan Indeks Pembangunan manusia (IPM) yang meliputi peningkatan daya beli, pendidikan dan kesehatan. Melalui PHBM Perhutani berjanji membuka akses yang lebih luas bagi masyarakat desa hutan sehingga mereka bisa berdaya secara ekonomi dan terentas dari kemiskinan. Konsep inti dari PHBM pada: 1) keterlibatan pengguna hutan dan kelompoknya dalam kegiatan hutan, 2) akses dan kepentingan pengguna dan kelompok mereka akhirnya dapat diperoleh. Dalam program PHBM, masyarakat desa hutan diwajibkan untuk membentuk kelompok yang sah di tingkat desa, biasanya disebut LMDH. Kelompok masyarakat berhak mengelola hutan dalam perjanjian dan berhak mendapatkan beberapa manfaat ekonomi (Maryudi & Krott, 2012). Selain mendapatkan akses untuk mengelola lahan hutan dengan tanaman pertanian, para pengguna hutan dan kelompoknya dijanjikan untuk mendapatkan bagi hasil yang berasal dari penjualan produk utama hutan. Menurut Maryudi & Krott (2012) manfaat ekonomi yang bisa diambil oleh pengguna hutan antara lain
5
akses untuk menanam tanaman pangan di lahan hutan, hasil hutan non-kayu, upah dari pekerjaan di kegiatan kehutanan, dan bagi hasil dari penjualan produk utama hutan. PHBM dengan jiwa berbagi mewujudkannya dalam berbagi hasil hutan kayu antara perusahaan dengan kelompok masyarakat desa hutan dengan pihak yang berkepentingan didasarkan pada nilai dan proporsi faktor produksi yang dikontribusikan oleh masing-masing pihak. Dalam rangka mewujudkan jiwa berbagi, untuk menumbuhkan rasa memiliki,
meningkatkan peran dan
tanggungjawab bersama antara Perhutani dengan masyarakat desa hutan serta pihak yang berkepentingan terhadap keberlanjutan fungsi dan manfaat sumberdaya hutan, Perhutani menetapkan peraturan berbagi hasil hutan kayu. Keputusan Direksi PT. Perhutani tentang peraturan berbagi hasil hutan kayu tercantum dalam SK 001/KPTS/DIR/2002 tentang Pedoman Berbagi Hasil Hutan Kayu. Pada SK tersebut tercantum hasil hutan kayu yang menjadi obyek berbagi dan proporsi hak kelompok masyarakat desa hutan terhadap hasil hutan kayu. Dalam PHBM di hutan jati, bagi hasil sebanyak 25% yang dijanjikan akan diberikan kepada kelompok pengguna hutan, yang kemudian mengalokasikan uang tersebut untuk mendorong pembangunan ekonomi lokal dan meningkatkan kesejahteraan rakyat (Maryudi & Krott, 2012). Adapun mereka menikmati bagi hasil tersebut tergantung pada kondisi hutan dan distribusi uang di dalam kelompok. Apabila dana bagi hasilnya terbatas biasanya digunakan untuk kepentingan bersama seperti membangun fasilitas kantor karena akan sangat tidak berarti bila dibagikan kepada seluruh anggota kelompok. Meskipun menerima
6
dana bagi hasil yang besar belum menjamin dapat dinikmati secara langsung oleh semua anggota kelompok. Ada pihak-pihak yang ikut menikmati seperti pengurus dan aparat desa. Hal tersebut menjadikan tujuan meningkatkan hidup masyaraka desa hutan kurang terwujud. Adanya bagi hasil menjadi daya tarik bagi masyarakat desa hutan untuk turut serta dan menambah pendapatan.
1.2
Rumusan Masalah Salah satu tujuan yang ingin dicapai dalam kehutanan sosial adalah upaya
mengentaskan kemiskinan masyarakat sekitar hutan dengan meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat (Maryudi et.al., 2012). Salah satu cara meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan dengan dibukanya akses terhadap hutan kepada masyarakat melalui program PHBM. Masyarakat yang dimaksud disini dibatasi pada masyarakat anggota LMDH. Oleh karena itu perlu dilakukan kajian tingkat hak dan akses masyarakat terhadap hutan untuk mengetahui sejauh mana pencapaian tujuan kehutanan sosial di atas.
1.3
Tujuan Penelitian Mengetahui tingkat hak dan akses masyarakat sekitar hutan sebelum dan
sesudah program PHBM.