BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila menempatkan agama pada kedudukan dan peranan yang penting, serta menjadi sasaran dalam pembangunan. Pasal 28E Undang-Undang Dasar 1945 selanjutnya disebut dengan UUD 1945 menyebutkan setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, serta setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaannya. Serta Pasal 29 UUD 1945 menentukan bahwa Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa serta Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. 1 Pasal 18 Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik atau International Covenan on Civil and Political Right (ICCPR) menyatakan; ”Semua orang memiliki hak untuk bebas berpikir, berkeyakinan dan beragama. Hak ini juga mencakup kebebasan untuk mengambil atau memeluk agama atau kepercayaan sesuai pilihannya, dan kebebasan, baik secara individual atau bersama-sama dan di ranah umum maupun privat, untuk menyatakan agama atau kepercayaannya dalam pemujaan, pelaksanaan perintah agama, praktek dan pengajaran”. 2 Pasal 18 kovenan internasional ini telah diratifikasi oleh negara Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International 1
Undang-undang Dasar, Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, 1993. Ketetapan MPR No II/MPR/1978, BP-7 Pusat, Jakarta, hlm. 7. Muh. Yamin memberikan tafsir bahwa Negara yang berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa itu bukanlah negara teokrasi, negara bukanlah negara agama, bukan negara yang berdasarkan pada agama tertentu saja. Lihat Krissantono ED, 1976. Pandangan Presiden Soeharto tentang Pancasila, CSIS, Jakarta, , hlm. 27. 2 Ifdhal Kasim, 2001, “Hak Sipil dan Politik”, Esai-esai pilihan, ELSAM, Jakarta, hlm. 241
1
2
Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik). Bertitik tolak dari hal tersebut di atas, kebebasan beragama dan menjalankan agamanya sepenuhnya dijamin oleh undang-undang. Indonesia memang mengakui dan menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan, namun Indonesia bukanlah negara agama melainkan negara Pancasila. Semua agama dan kepercayaan yang hidup di Indonesia memiliki kedudukan yang sama dan ada jaminan mengenai kebebasan beragama. Agama berkedudukan terhormat disertai berbagai kebijakan pengembangan agama tersebut. Dengan demikian kepentingan agama perlu dilindungi. Berdasarkan pada hal di atas maka pemerintah berusaha melindungi kepentingan agama dalam bentuk peraturan-peraturan. Bentuk usaha pemerintah tersebut tertuang dalam UUD 1945 Pasal 28E dan Pasal 29. Di dalam dua pasal ini tampak jelas mengenai jaminan pemerintah mengenai kebebasan dalam meyakini suatu agama serta dalam menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinannya. Inilah salah satu bentuk pengakuan negara terhadap eksistensi agama sebagai dasar dalam berbangsa dan bernegara. Konstitusi Negara Indonesia yaitu UUD 1945 adalah salah satu instrumen pemenuhan hak asasi manusia yaitu mengatur mengenai perlindungan terhadap kebebasan beragama di Indonesia yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E, Pasal 28I ayat (1) dan (2), Pasal 29 ayat (2). Di samping setiap orang memiliki hak-hak asasi yang harus dilindungi, maka dia juga
3
mengemban kewajiban-kewajiban asasi yang harus dilaksanakan, sebagaimana diatur dalam Pasal 28J ayat (1) dan (2) UUD 1945. 3 Kebebasan memeluk agama atau kepercayaan dan menjalankan ibadah menurut agama atau kepercayaannya itu merupakan kaidah pribadi (forum internum) sedangkan ketertiban dan kedamaian hidup bersama merupakan kaidah antar pribadi (forum eksternum). 4 Dalam kehidupan bermasyarakat sering terjadi perbenturan antara kepentingan kaidah pribadi dengan kaidah antar pribadi yang mengakibatkan terjadinya konflik dalam masyarakat. Oleh karena itulah, dibutuhkan kaidah hukum dalam bentuk peraturan untuk mengatur masyarakat demi terciptanya kesejahteraan dan ketertiban sosial sebab manusia tidak akan dapat hidup hanya dengan kaidah-kaidah pribadi tanpa diatur juga oleh kaidah antar pribadi. Guna memelihara hubungan antara kebebasan beragama dengan ketertiban umum itu, maka negara melakukan pembatasan terhadap tindakan-tindakan yang dianggap menodai atau menghina agama lain yang dapat memicu konflik dalam kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu pemerintah mengeluarkan Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama yang selanjutnya disebut dengan PP No. 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, serta Undang-Undang
3
Pasal pasal ini mewajibkan setiap orang (human obligations) untuk menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, dan dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. 4 Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, 1982, “Perihal Kaidah Hukum”, Penerbit Alumni, Bandung, hlm.16.
4
Nomor 5 Tahun 1965 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden sebagai Undang-Undang Anti Penodaan Agama yang selajutnya disebut dengan UU No. 5 Tahun 1965 tentang Undang-Undang Anti Penodaan Agama. UU No. 1/PNPS/1965 ini pernah di ajukan Uji Materi (Judicial Review) kepada Mahkamah Konstitusi (MK), yang mana permohonan tersebut di tolak oleh MK. Dengan alasan, apabila UU ini dihapuskan maka di kemudian hari seseorang boleh melakukan penodaan agama dan tidak dipidana. Ini bisa menimbulkan main hakim sendiri dan aparat hukum tidak punya pijakan untuk menindak pelanggaran tersebut. Berdasarkan peraturan ini maka terhadap penyalahgunaan dan/atau penodaan agama di Indonesia dapat dilakukan kriminalisasi terhadap perbuatan tersebut. Kriminalisasi diartikan sebagai suatu proses di mana perbuatanperbuatan tertentu yang oleh masyarakat atau golongan-golongan masyarakat dianggap sebagai perbuatan yang dapat dipidana. Jadi, pelanggaran terhadap kaidah tersebut dianggap sebagai tindak pidana dan negara dapat menjatuhkan pidana. Dengan demikian, kepentingan agama yang awalnya merupakan kepentingan pribadi atau kaidah pribadi berubah menjadi kepentingan publik atau kaidah antar pribadi dan lebih jauh lagi menjadi kaidah sosial. Undang-Undang Penodaan Agama ini merupakan instrumen hukum pidana yang berlaku saat ini (ius constitutum) untuk menghukum tindak pidana penodaan agama di Indonesia. Undang-Undang Penodaan Agama ternyata dikritik oleh berbagai pandangan yang menganggap bahwa undang-undang ini sudah tidak
5
efektif lagi diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat sekarang, sehingga masyarakat sering tidak takut melakukan penodaan agama sebagaimana halnya dilakukan Eyang Subur yang menodai agama Islam dengan beristri lebih dari 4, memodifikasi cara shalat Lia Aminuddin alias Lia Eden yang mengaku sebagai nabi, Yusman Roy yang mengajarkan shalat 2 bahasa dan sebagainya. Undang-Undang Penodaan Agama ini sering mengandung kata-kata yang tidak jelas dan sukar didefinisikan, sehingga cenderung terjadi kesalahan pemahaman dan penerapan yang berlebihan atau pemahaman dan penerapan yang kurang efektif. Pasal 1 Undang-Undang Penodaan Agama menyebutkan “Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.” Pasal 1 Undang-Undang Penodaan Agama
menunjukkan bahwa
pemerintah telah masuk ke dalam ranah eksistensi spiritual yang merupakan forum internum, yang artinya pemerintah sebagai pemegang kekuasaan di Indonesia berusaha menyalurkan apa yang menjadi aspirasi rakyat termasuk dalam bidang agama. Menyalurkan dalam hal ini adalah sebagai fasilitator kegiatan-kegiatan keagamaan yang nantinya menjadi sebuah kerukunan beragama. Selain Undang-Undang Penodaan Agama, pemerintah juga mengaturnya di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang selanjutnya di sebut dengan
6
KUHP Pasal 156, 156a dan Pasal 157. Di dalam KUHP tersebut memang tidak ada bab khusus yang mengatur mengenai delik penghinaan agama atau yang lebih dikenal dengan sebutan delik agama. Namun dengan adanya pasal-pasal tersebut telah membuktikan bahwa pemerintah telah mengatur mengenai delik agama ini. Ketentuan pasal-pasal di atas, KUHP sendiri memang mengatur delik agama walaupun pengaturannya masih sederhana, karena belum mencerminkan komponen-komponen dalam suatu agama. Hal yang patut menjadi perhatian dan pencermatan lebih lanjut adalah letak delik agama yang dimasukkan dalam Buku II Bab V KUHP tentang kejahatan terhadap ketertiban umum. Dilihat dari kenyataan ini menunjukkan bahwa seolah-olah apabila mengganggu ketertiban umum saja pasal-pasal tersebut dapat diterapkan. Uraian tersebut maka terlihat jelas bahwa unsur agama dalam kehidupan hukum Indonesia merupakan faktor yang fundamental, maka dapatlah dimengerti apabila agama dijadikan landasan yang kokoh dan kuat dihidupkan dalam delikdelik agama. 5 Pengaturan tentang Tindak Pidana Penodaan Terhadap Agama dan Kehidupan Beragama menurut Muladi 6 merupakan refleksi bahwa Indonesia merupakan ‘Nation State’ yang religius, di mana semua agama (religion) yang diakui sah di Indonesia merupakan kepentingan hukum yang besar yang harus dilindungi dan tidak sekedar merupakan bagian dari ketertiban umum yang mengatur tentang rasa keagamaan atau ketenteraman hidup beragama. Penodaan terhadap suatu agama yang diakui di Indonesia dan ataupun dengan cara lain 5
Oemar Seno Adji, 1981, “Hukum (Acara) Pidana dalam Prospeksi”, cet. 3, Erlangga, Jakarta, hlm. 68 6 Muladi, 2004. “Beberapa Catatan Berkaitan Dengan RUU KUHP Baru”, Makalah Disampaikan pada Seminar Nasional RUU KUHP Nasional Diselenggarakan oleh Universitas Internasional Batam, Batam 17 Januari. hlm. 7.
7
mengganggu kehidupan beragama akan membahayakan kedamaian hidup bermasyarakat dan kesatuan bangsa. 7 Dengan adanya kepentingan hukum yang harus dilindungi tersebut maka sudah sewajarnya delik agama dari tindak pidana penodaan agama menjadi suatu prioritas yang harus dilindungi oleh hukum pidana khususnya dalam rangka pembaharuan KUHP. Namun demikian sebagian kalangan menentang pengaturan oleh hukum pidana khususnya dalam penyusunan KUHP nasional tersebut karena berbagai alasan yang antara lain dinyatakan proteksi terhadap agama tersebut lebih menitik beratkan pada proteksi atas kehormatan agama seharusnya proteksi yang diberikan berupa hak kebebasan untuk memeluk agama. Alasan lain yang dikemukakan juga adalah bertambah banyaknya pasal dalam delik agama pada Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang selanjutnya disebut dengan RUU KUHP akan menjadi overcriminalization. 8 Akibat dari hal ini adalah menurunkan wibawa hukum khususnya dalam menyikapi masalah privat seperti agama. Dalam bentuk lain adalah memberikan beban lebih bagi penegak hukum dalam kasus tindak pidana. Implikasinya penegak hukum kehabisan waktu dan tenaga untuk menegakkan hukum di bidang lainnya seperti korupsi, narkoba, pencucian uang, illegal loging dan sebagainya yang semakin banyak dihadapi bangsa ini. Selain itu juga alasan yang dikemukakan untuk menolak formulasi delik agama dalam RUU KUHP adalah
7
Mardjono Reksodiputro, 1995, “Pembaharuan Hukum Pidana”, Buku Keempat, cet. 1, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, Jakarta, hlm. 95 8 Delapan pasal dalam delik agama pada revisi KUHP sangat terlihat jelas bahwa negara ingin memproteksi kehormatan agama. Agama yang dimaksud adalah agama-agama yang dianut di Indonesia. Artinya, jika terdapat agama-agama yang tidak dianut di Indonesia, maka negara tidak bisa memberikan proteksi. Hal ini disampaikan Direktur Program Hukum dan Legislasi Reform Institute Ifdhal Kasim dalam diskusi "Tinjauan Kritis Pasal Agama dalam rancangan KUHP” yang diselenggarakan The Wahid Institute, di Jakarta Jakarta. Delik Agama Semakin Diperbanyak Menjadi 8 Pasal, http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0609/07/Politikhukum/2936130.htm
8
karena
persoalan
keagamaan
mesti
disisakan
dalam
wilayah
komunitas.
Komunitaslah yang menimbang-nimbang. Tidak mesti semua perkara agama harus masuk dalam delik hukum. 9
Pertimbangan dalam menentukan pentingnya delik agama dalam hukum pidana Indonesia adalah bagaimana mewujudkan rasa keagamaan atau ketenteraman hidup beragama sebagai suatu kepentingan hukum sekaligus kepentingan umum bagi setiap masyarakat yang sudah sepatutnya dilindungi. Hal tersebut berdasar pada kenyataan bahwa Indonesia adalah negara ber-Tuhan dan memiliki filosofi ke-Tuhanan. Perasaan keagamaan pun dianggap sangat tinggi di kalangan orang Indonesia. Pertimbangan yang juga harus diperhatikan adalah bahwa di Indonesia persoalan agama merupakan persoalan yang sangat sensitif dan merupakan salah satu sumbu peledak yang dapat menghancurkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Guna memberikan perlindungan hukum atas adanya kepentingan hukum bagi setiap warga negara tersebut, maka ketentuan tentang delik agama harus diatur dalam RUU KUHP. Oleh karena itu perangkat peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai delik agama harus direkonstruksi dan di reevaluasi kembali sehingga delik agama dapat ditangani secara profesional dan proporsional oleh aparat penegak hukum. Dengan demikian negara Indonesia yang multi agama, multi etnik dan multi ras dapat terhindar dari hal-hal menghancurkan khususnya konflik-konflik antar umat beragama. 10 Berdasarkan uraian di atas maka disimpulkan agama dengan segala perangkatnya merupakan suatu kepentingan hukum yang besar. Untuk itu 9
Kriminalisasi Berlebihan, Koran Jawa Pos Jumat, tanggal 08 Desember 2006. F Sugianto Sulaiman, “Penodaan Agama, Suatu Delik http://us.click.yahoo.com/lMct6A/Vp3LAA/i1hLAA/b0VolB/TM 10
Pidana”,
9
diperlukan pengaturan tindak pidana terhadap agama (offenses against religion), dan tindak pidana yang berkaitan dengan agama (offenses related religion). 11
Kasus-kasus yang berkembang di Indonesia menunjukkan bahwa tujuan pemidanaan yang hendak dicapai melalui undang-undang ini dapat dikatakan belum tercapai. Dengan kata lain, kebijakan hukum pidana yang diterapkan melalui undang-undang ini untuk melindungi kepentingan agama, menanggulangi tindak pidana penodaan agama, dan memenuhi tujuan pemidanaan, sampai saat ini masih menyisakan berbagai persoalan. Majelis Ulama Indonesia (MUI) selaku lembaga pemegang otoritas atas tafsir agama di Indonesia, mengeluarkan fatwa dan daftar aliran kepercayaan yang menodai agama, 12 antara lain Islam Jamaah, Ahmadiyah, Ikrar Sunah (nama salah satu aliran sesat), Qur'an Suci, Sholat Dua Bahasa, dan Lia Eden. 13 Bertitik tolak fatwa MUI dan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Pnps 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, maka aliran sesat secara sederhana dapat diartikan sebagai haluan, pandangan, semangat atau kecenderungan ke arah pengembangan sekte tertentu dalam agama yang menyimpang dari kebenaran. Dengan kata lain dapat diartikan/diidentikkan sebagai paham yang menyimpang pada pokok-pokok ajaran agama, khususnya agama-agama di Indonesia, sehingga dalam istilah yuridisnya dikenal dengan istilah ”aliran terlarang”, bukan ”aliran sesat” yang selama ini dikenal oleh masyarakat secara umum, yang biasanya bermuara pada penodaan agama.
11
Muladi, 1988. “Pembaharuan Hukum Pidana yang Berkualitas di Indonesia”, Majalah MasalahMasalah Hukum, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, No. 2, hlm. 25 12 Jawa Pos, “Pelarangan Al-Qiyadah”, 31 Oktober 2007 hlm. 4. 13 TEMPO Interaktif, Jakarta 02 November 2007 | 23:45 WIB.
10
Puncaknya, selain MUI mengeluarkan 10 fatwa sesat untuk aliran yang dianggap melanggar syariat Islam 14, di antara pemimpin sekte atau aliran yang dituduh sesat seperti Lia Aminuddin, diadili oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan tuduhan melakukan penodaan, penyimpangan agama 15. Nasib sama juga dialami Yusman Roy yang mengajarkan sholat dua bahasa, sehingga yang bersangkutan didakwa melanggar Pasal 156 KUHP dan Pasal 157 KUHP. 16 Kondisi di atas tentu menimbulkan kontroversi, diversi opini di kalangan masyarakat luas, ada yang setuju ada yang tidak setuju terhadap MUI dan pemerintah dalam menghadapi masalah penodaan agama yang melakukan penodaan agama. Artinya, kebijakan hukum pidana 17 sebagai bagian dari kebijakan kriminal yang seharusnya sebagai suatu usaha rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan, 18 di samping secara konseptual, sebagai bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare), 19 namun usaha dan upaya tersebut, seolah-olah masih belum terpenuhi. Indikasinya adalah meningkatnya masalahmasalah kejahatan, 20 dan kekerasan-kekerasan yang berlatar belakang agama dan kepercayaan.
14
http://www.ppi-india.org, 21 September 2005 M. Yuanda Zara, 2007, “Aliran-aliran Sesat di Indonesia”, Banyu Media, Yogyakarta, hlm. 82. 16 A. Yogaswara, Maulana Ahmad jalidu, 2008, “Aliran Sesat dan Nabi-nabi Palsu”, Narasi, Yogyakarta. hlm. 93 17 Hukum pidana difungsikan sebagai sarana untuk menanggulangi kejahatan. Prakteknya, delikdelik agama digunakan untuk menanggulangi aliran sesat. 18 Sudarto, 1996, ”Hukum dan Hukum Pidana”, Alumni, Bandung, hlm. 38. 19 Barda Nawawi Arief, 1994, ”Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana”, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 2. 20 Pada sisi lain, pelaku yang telah divonis sesat merasa hak-hak dasarnya berupa bebas untuk memeluk agama dan keyakinannya tidak dipenuhi oleh undang-undang. 15
11
Pemerintah dan semua pihak seharusnya mencoba mencari solusi yang baik dalam rangka mensintesiskan (membandingkan) antara hak-hak individu (human rights) dan hak-hak komunal (communal rights) dengan tetap menjaga kepentingan politik negara (state policy), dengan kata lain, sepatutnya hukum pidana di satu sisi memproteksi hak-hak individual, dan kepentingan publik tetapi di sisi lain juga memproteksi kepentingan negara. 21 Kenyataan di atas harus disadari sebagai persoalan yang mendasar dan mendesak yang harus dibenahi dalam praktek bernegara dan bermasyarakat di Indonesia. Mendasar, karena menyangkut harkat dan martabat manusia. Mendesak, karena yang dipertaruhkan eksistensi kekinian manusia selain itu tentu saja masa depan kemanusiaan kita. Sebenarnya yang disakiti bukan hanya manusia, tetapi juga Tuhan pencipta manusia. Harkat dan martabat manusia sebagai citra Sang Khalik dilecehkan oleh anak-anak bangsa yang secara de jure mengklaim dirinya sebagai bangsa yang beriman, manusiawi, demokratis dan berkeadilan sosial. Bertitik tolak dari pemikiran di atas, maka penelitian ini bermaksud menganalisis Politik Hukum Pidana dalam Penanggulangan Tindak Pidana Penodaan Agama di Indonesia merupakan reorientasi dan reevaluasi terhadap delik agama dalam rangka pembaharuan hukum pidana Indonesia. Pokok permasalahan difokuskan pada masalah menetapkan dan merumuskan delik
21
Abdul Hakim Garuda Nusantara, 2006, ”Mengkritisi RUU KUHPidana Dalam Perspektif HAM”, Makalah. Dalam Beberapa tulisan Terkait kebijakan Kriminal dalam RUU KUHP. Bahan Bacaan untuk Focus Group Discussion yang diselenggarakan ELSAM, DRSP (Democratic Reform Support Program) dan Aliansi Nasional Reformasi KUHP dengan tema: “Melihat Politik Kodifikasi dalam Rancangan KUHP”. Hotel Ibis Tamrin, Jakarta 28 September, hlm. 47.
12
agama dalam peraturan perundang-undangan sebagai bahan penyempurnaan atau penyusunan kembali kebijakan legislatif yang akan datang.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat dikemukakan rumusan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah kebijakan hukum pidana dalam penanggulangan tindak pidana penodaan agama pada masa sekarang (ius constitutum) oleh pemerintah di Indonesia? 2. Bagaimana kebijakan hukum pidana untuk menanggulangi tindak pidana penodaan agama di masa yang akan datang (ius constituendum) berdasarkan RUU KUHP 2012?
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang masalah dan rumusan masalah yang telah dikemukakan, maka tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Untuk menganalisis kebijakan hukum pidana penanggulangan tindak pidana penodaan agama pada masa sekarang (ius constitutum) oleh pemerintah di Indonesia. 2. Untuk menganalisis kebijakan hukum pidana untuk menanggulangi tindak pidana penodaan agama di masa yang akan datang (ius constituendum) berdasarkan RUU KUHP 2012.
13
D. Keaslian Penelitian Berdasarkan hasil penelusuran studi kepustakaan, belum ditemui penulisan hukum tentang politik hukum pidana dalam penanggulangan tindak pidana penodaan agama di Indonesia. Namun dalam penelusuran studi kepustakaan tersebut, ada beberapa penulisan hukum yang terkait dengan tindak pidana penodaan agama, yaitu: 1. Hasty Putri Sayekti, dari Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, pada tahun 2011 melakukan penelitian dengan judul ”Fungsi Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Kasus Penodaan Agama Melalui Internet”. Pokok permasalahan yang diteliti adalah bagaimana fungsi hukum pidana di dalam menanggulangi kasus penodaan agama melaui internet. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan perbuatan hukum di dunia maya merupakan fenomena yang sangat mengkhawatirkan mengingat tindakan perjudian, penipuan, terorisme, penyebaran informasi destruktif telah menjadi bagian aktifitas pelaku kejahatan di dunia maya. Dunia maya tersebut seperti memiliki dua sisi yang sangat bertolakbelakang. Di satu sisi internet mampu memberikan manfaat dan kemudahan bagi para penggunanya terutama dalam hal informasi dan komunikasi. Namun di sisi lain dampak negatif dan merugikan juga dapat dengan mudah dimanfaatkan oleh para pelaku yang kurang bertanggung jawab. 22 2. Ismuhadi, dari Universitas Sumatera Utara ”Medan”, pada tahun 2008 melakukan penelitian dengan judul ”Analisa Pidana Hukum dan 22
Hasty Putri Sayekti, 2011, ”Fungsi Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Kasus Penodaan Agama Melalui Internet”, Skripsi pada Universitas Islam Indonesia Yogyakarta (tidak dipublikasikan).
14
Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama Di Indonesia”. Pokok permasalahan yang diteliti adalah (1) Apakah faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya Tindak Pidana Penistaan Agama di Indonesia dan bagaimana cara penanggulangannya; (2) Bagaimana Pengaturan Hukum terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama di dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan, pengaturan terhadap tindak pidana penistaan agama diatur dalam KUHP, RUU KUHP, pengaturan lain tentang tindak pidana ini juga ditetapkan oleh lembaga-lembaga seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), serta Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (PAKEM). Usaha penanggulangan yang dapat dilakukan untuk tindak pidana penistaan agama ini adalah dapat dilakukan baik usaha, seperti Para tokoh agama Islam mestilah kembali ke pangkuan umatnya. Saatnya para ulama tidak boleh lagi menyalahkan satu sama lain. Meningkatkan peranan Departemen Agama dengan merespons dengan cepat setiap muncul keresahan tentang penyimpangan akidah di masyarakat serta setiap umat Islam seharusnya lebih membekali diri dengan pemahaman agama yang cukup, selain penahanan terhadap tokohnya, juga pemerintah melakukan pembinaan pada para pengikut aliaran sesat. 23 3. Saiful Abdullah, dari Universitas Diponegoro “Semarang”, pada tahun 2008 melakukan penelitian dengan judul ”Kebijakan Hukum Pidana (Penal) dan Non Hukum Pidana (Non Penal) Dalam Menanggulangi 23
Lihat http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/12134. Selasa 31 Januari 2012 Pukul 13.25 WIB.
15
Aliran Sesat”. Pokok permasalahan yang diteliti adalah (1) Bagaimanakah kebijakan hukum pidana dalam menanggulangi aliran sesat untuk saat ini dan untuk saat yang akan datang; (2) Bagaimanakah kebijakan non penal dalam menanggulangi aliran sesat. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa saat ini maka kebijakan penanggulangan aliran sesat dapat dilakukan dengan menggunakan hukum pidana (penal) dengan menggunakan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) maupun undang-undang di luar KUHP, terutama UU No 1 Pnps 1965. Sedangkan upaya antisipatif di masa yang akan datang dapat dilakukan dengan antisipasi yuridis, yaitu mempersiapkan berbagai peraturan yang bersangkut-paut dengannya. Sedangkan upaya non penal dapat ditempuh dengan melakukan pendekatan agama, budaya/kultural, moral/edukatif sebagai upaya preventif dengan melakukan serangkaian program kegiatan dengan fokus pengkuatan, penanaman nilai budi pekerti yang luhur, etika sosial, serta pemantapan keyakinan terhadap agama melalui pendidikan agama.
Konsepsi
kebijakan
penanggulangan
aliran
sesat
adalah
mengintegrasikan dan mengharmonisasikan kegiatan atau kebijakan non penal dan penal itu ke arah penekanan atau pengurangan faktor-faktor potensial untuk tumbuh dan suburnya aliran sesat di Indonesia. Dengan pendekatan integral inilah diharapkan umat dapat hidup berdampingan secara damai dalam menjalankan agama, keyakinan, ibadah dan kepercayaannya sebagaimana dicantumkan dalam Undang-Undang Dasar 1945.
16
4. Idi Amin, dari Universitas Diponegoro, pada tahun 2007 melakukan penelitian dengan judul “Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Terhadap Penanggulangan Delik Agama Dalam Rangka Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia”. Pokok permasalahan yang diteliti adalah (1) bagaimanakah kebijakan formulasi hukum pidana saat ini dalam upaya penanggulangan delik agama; (2) Bagaimanakah kebijakan formulasi hukum pidana di masa yang akan datang terhadap penanggulangan delik agama dalam rangka pembaharuan hukum pidana di Indonesia. Dari hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa hukum pidana saat ini yang digunakan dalam upaya penanggulangan delik agama adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) namun mengandung beberapa kelemahan pada substansi pengaturannya yaitu delik agama dikategorikan sebagai kejahatan terhadap ketertiban umum dan ada ketidak harmonisan antara status dan penjelasan delik dengan teks atau rumusan delik. Upaya penanggulangan delik agama dalam Konsep KUHP 2005 dirumuskan sebagai tindak pidana terhadap agama dan yang berhubungan dengan agama atau terhadap kehidupan beragama. Formulasi hukum pidana yang akan datang khususnya yang mengatur tentang delik agama seyogyanya dirumuskan dengan mempertimbangkan pengintegrasian delik agama dalam Konsep KUHP 2008 dengan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut: (1) Harmonisasi materi/substansi tindak pidana, (2) Kebijakan
17
formulasi pertanggung-jawaban pidana, dan (3) Kebijakan formulasi sistem pidana dan pemidanaan. 24 Berdasarkan penulisan hukum tersebut di atas, penelitian yang dilakukan oleh penulis apabila diperbandingkan substansi dan pokok bahasannya adalah berbeda dengan penelitian yang telah dilakukan di atas. Tesis ini membahas politik hukum pidana dalam penanggulangan tindak pidana penodaan agama, yang sepanjang pengetahuan penulis belum pernah diteliti. Dengan demikian tesis ini berbeda dengan penulisan-penulisan hukum yang dikemukakan di atas.
E. Manfaat Penelitian 1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmiah bagi ilmu pengetahuan hukum dalam pengembangan hukum pidana, khususnya pemahaman teoritis tentang kejahatan terhadap kepentingan umum yang berkaitan dengan tindak pidana penodaan agama yang dilakukan di masyarakat dan pengkajian terhadap beberapa peraturan hukum pidana yang berlaku saat ini berkaitan dengan upaya penanggulangan delik agama 2. Hasil penelitian yang berfokus pada politik hukum pidana ini diharapkan bisa menjadi bahan pertimbangan dan sumbangan pemikiran, serta dapat memberikan kontribusi dan solusi kongkrit bagi para legislator dalam upaya penanggulangan delik agama di Indonesia. Dengan pendekatan kebijakan hukum pidana yang tetap memperhatikan pendekatan aspek lainnya dalam kesatuan pendekatan sistemik/integral, diharapkan dapat menghasilkan suatu kebijakan formulasi yang dapat menjangkau 24
lihat http://eprints.undip.ac.id/17715/, Selasa 31 Januari 2012 Pukul 13.49 WIB
18
perkembangan bentuk delik agama, khususnya dalam rangka pembaharuan hukum pidana Indonesia dimasa yang akan datang.
F. Sistematika Penulisan Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas dan lengkap tentang halhal yang akan diuraikan dalam penulisan hukum ini, maka penulis akan memberikan sistematika penulisan hukum. Sistematika penulisan hukum ini terdiri dari V bab, beberapa sub bab, termasuk pula daftar pustaka dan lampiran. Adapun sistematika dalam penulisan hukum ini adalah sebagai berikut : BAB I :
PENDAHULUAN Dalam bab ini akan dikemukakan mengenai latar belakang permasalahan, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan hukum.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA Dalam Bab ini akan diuraikan tentang tinjauan pustaka yang menjadi literatur pendukung dalam pembahasan penulisan hukum ini. Tinjauan pustaka dalam penulisan hukum ini meliputi pengertian tindak pidana, unsur-unsur tindak pidana, tindak pidana penodaan agama dan kebijakan hukum pidana penodaan tindak pidana penodaan agama.
BAB III : METODE PENELITIAN Dalam Bab ini diuraikan tentang sifat penelitian, jenis data yang dianalisa, terdiri dari data dokumen data lapangan, cara pengumpulan data yang terdiri dari pengumpulan data pustaka,
19
analisis data yang bersifat deskriptif kualitatif. BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pada bab ini diuraikan mengenai hasil penelitian dan pembahasan yaitu mengenai potilik hukum pidana dalam penanggulangan tindak pidana penodaan agama. BAB V :
PENUTUP Pada bagian penutup memuat pokok-pokok yang menjadi simpulan dan saran. Pokok-pokok simpulan adalah jawaban dari pokok permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini. Pokok-pokok simpulan diuraikan secara padat, ringkas dan spesifik. Pada bagian saran merupakan sumbangan pemikiran terhadap masalah penelitian.