BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pendidikan merupakan kebutuhan dasar yang penting dan utama dalam kehidupan kita. Pendidikan juga merupakan hak asasi manusia yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945, Amandemen Bab X A Hak Asasi Manusia Pasal 28C yang berbunyi : ―Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia‖. Dan UUD 1945 Amandemen Bab XIII Pendidikan Dan Kebudayaan Pasal 31, ayat 1-5 yang berbunyi : ―(1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan; (2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya; (3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan Undang-Undang; (4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional; (5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia‖. Oleh karena itu, hak setiap anak bangsa untuk mengenyam pendidikan tidak dapat dihalangi oleh siapapun.
Akses masyarakat terhadap pendidikan
merupakan amanah yang harus dilakukan bangsa Indonesia sesuai dengan tujuan
1
negara Indonesia yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan salah satu komponen terpenting dalam meningkatkan kualitas hidup manusia, dalam Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menyampaikan kinerja pendidikan yaitu gabungan angka partisipasi kasar (APK) jenjang pendidikan dasar sampai dengan pendidikan tinggi dan angka melek aksara digunakan sebagai variabel dalam menghitung Indeks Pembangunan Manusia (IPM) bersama-sama dengan variabel kesehatan dan ekonomi. Oleh karena itu pembangunan pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global. Pembangunan pendidikan nasional yang akan dilakukan dalam kurun waktu 2004 – 2009 telah mempertimbangkan kesepakatan-kesepakatan internasional seperti Pendidikan Untuk Semua (Education For All), Konvensi Hak Anak (Convention on the right of child) dan Millenium Development Goals (MDGs) serta World Summit on Sustainable Development yang secara jelas menekankan pentingnya pendidikan sebagai salah satu cara untuk penanggulangan kemiskinan, peningkatan keadilan dan kesetaraan gender, pemahaman nilai-nilai budaya dan multikulturalisme, serta peningkatan keadilan sosial. Pendidikan merupakan investasi yang sangat mempengaruhi kualitas kehidupan manusia di masa depan. Dengan pendidikan manusia bisa dilatih dalam ketrampilan maupun kecerdasan untuk menghadapi masalah-masalah kehidupan
2
yang semakin kompleks. Indikator yang penting dalam menilai sumber daya manusia adalah pendidikan, artinya semakin baik taraf pendidikan maka semakin baik pula sumber daya manusia tersebut. Dengan pendidikan orang yang bodoh atau tidak tahu bisa menjadi pintar, artinya dengan pendidikan terjadi proses transfer knowledge. Oleh karena itu pendidikan adalah suatu proses yang sangat penting dalam peningkatan sumber daya manusia. Dalam Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2013, Buku I – Bab V Prioritas Pembangunan Nasional, sektor pendidikan merupakan prioritas kedua setelah Reformasi Birokrasi Dan Tata Kelola. Dalam rangka meningkatkan akses pendidikan yang terjangkau, berkualitas, relevan dan efisien, beberapa permasalahan yang masih harus diselesaikan antara lain: (i) masih belum meratanya kesempatan memperoleh pendidikan; (ii) masih rendahnya kualitas, relevansi, dan daya saing pendidikan; (iii) masih rendahnya profesionalitas guru dan belum meratanya distribusi guru; (iv) masih terbatasnya kualitas sarana dan prasarana pendidikan; (v) belum optimalnya pendidikan karakter bangsa; (vi) belum efektifnya manajemen dan tatakelola pendidikan; dan (vii) belum terwujudnya pembiayaan pendidikan yang berkeadilan. Dari permasalahan tersebut pemerintah mengambil arah kebijakan pendidikan yang mengacu pada : 1. Peningkatan kualitas wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun yang merata; 2. Peningkatan akses, kualitas dan relevansi pendidikan menengah universal; 3. Peningkatan kualitas, referensi dan daya saing pendidikan tinggi; 4. Peningkatan profesionalisme dan pemerataan distribusi guru dan tenaga kependidikan; 5. Peningkatan akses dan kualitas pendidikan anak usia dini
3
(PAUD), pendidikan nonformal dan pendidikan informal; 6. Peningkatan kualitas pendidikan agama dan keagamaan; 7. Pemantapan pelaksanaan sistem pendidikan nasional; 8. Peningkatan efisiensi dan efektivitas manajemen pelayanan pendidikan; 9. Penguatan tata kelola pendidikan; dan 10. Peningkatan pendidikan karakter. Sedangkan tujuan pendidikan adalah menanamkan pengetahuan / pengertian, pendapat dan konsep-konsep, Mengubah sikap dan persepsi, menanamkan tingkah laku / kebiasaan yang baru (Soekidjo Notoatmodjo. 2003 : 68). Jalur Pendidikan menurut UU RI No. 20 Tahun 2003, jalur pendidikan dibagi menjadi tiga jalur, yaitu pertama Jalur Formal, meliputi : Pendidikan Dasar (Pendidikan dasar berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah atau bentuk lain yang sederajat serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs) atau bentuk lain yang sederajat; Pendidikan Menengah (Pendidikan menengah terdiri atas pendidikan menengah umum dan pendidikan menengah jurusan, seperti : SMA, MA, SMK, MAN atau bentuk lain yang sederajat; Pendidikan Tinggi (Pendidikan tinggi dapat berbentuk akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut dan universitas), kedua Jalur Nonformal dan ketiga adalah Jalur Informal. Pendidikan sebagai bentuk suatu layanan publik hendaknya perlu mendapat perhatian dari pemerintah karena pendidikan merupakan salah satu public goods. Pemerintah berperan dalam menyediakan layanan ini khususnya penyediaan kesempatan belajar bagi seluruh warga negara.
4
Sehingga pendidikan sebagai usaha yang disengaja untuk membangun manusia menjadi manusia yang mandiri untuk kemudian menyatu dengan masyarakat. Mandiri di sini berarti memiliki pengetahuan, kecakapan dan ketrampilan yang diperlukan dalam kehidupan. Sedangkan menyatu adalah mampu menjadi warga masyarakat dan warganegara dengan mengetahui hak dan kewajiban. Gambaran pendidikan di Kota Yogyakarta ataupun di kota-kota di Indonesia tidaklah jauh berbeda. Bagi orang-orang yang mampu dalam ekonomi, tidaklah sulit untuk mendapatkan akses atau layanan pendidikan yang berkualitas. Siswa mampu secara ekonomi mempunyai sarana ataupun pendanaan yang mendukung untuk memperloleh pendidikan yang berkualitas. Berbeda dengan orang miskin, Siswa miskin akan mendahulukan kebutuhan pokok (makan, sandang dan papan) terlebih dahulu sebelum pendidikan. Ketidakmampuan orang miskin ini untuk mengakses pendidikan mengakibatkan rata-rata orang miskin tidak memiliki kepandaian ataupun ketrampilan, sehingga orang miskin tidak mampu untuk meningkatkan taraf hidup. Mereka melihat bahwa pendidikan di sekolah-sekolah sangatlah mahal. Kondisi ini mengakibatkan ketidakberdayaan masyarakat miskin untuk memperoleh pendidikan yang maksimal. Sebagai salah satu kebutuhan dasar dan merupakan barang publik (public good), pendidikan seharusnya dapat dijangkau oleh seluruh masyarakat. Oleh karena itu, layanan pendidikan membutuhkan jaminan dari negara/pemerintah. Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28C dan pasal 31, sudah cukup sebagai landasan bagi pemerintah untuk wajib menyelenggarakan pendidikan yang
5
berkualitas kepada semua warga negara tanpa terkecuali. Namun realitanya masih banyak masyarakat miskin yang belum bisa mengakses pelayanan pendidikan seperti yang diharapkan. Usaha pemerataan pendidikan saat ini belum bisa diimbangi dengan peningkatan mutu pendidikan. Masalah pendidikan dan kemiskinan ibarat menjadi suatu siklus yang sulit untuk di cari jalan keluarnya. Adanya pendidikan menjadi jalan untuk mengatasi kemiskinan, namun di sisi lain kemiskinan menyebabkan mutu pendidikan rendah dan sulitnya mengakses pendidikan bagi orang miskin, disinilah peran pemerintah dibutuhkan. Tingkat kemiskinan di DIY pada tahun 2012 menduduki peringkat tertinggi se-Jawa atau lebih jauh lebih tinggi dari DKI Jakarta, Banten dan Jawa Tengah. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) DIY seperti yang dimuat pada Harian Kedaulatan Rakyat (12 Januari 2013: 19) Daerah Istimewa Yogyakarta pada akhir tahun 2012 lalu mencapai 15,88%. Jumlah ini memang menurun dari Maret 2012 yang mencapai 16,05%, namun jumlah itu tetap tertinggi di Pulau Jawa. Sedangkan gambaran pemegang KMS 2012 tercatat 17.018 KK dengan 44.530 jiwa pemegang KMS. Sementara itu di tahun 2013 diprediksi akan naik 25 % menjadi 21.299 KK dengan 68.188 jiwa pemegang KMS, peningkatan ini diakibatkan adanya sasaran jaminan perlindungan sosial yang diperluas. Warga yang rentan miskin yang selama ini hanya bisa mengakses surat keterangan tidak mampu, akan dimasukkan sebagai pemegang Kartu Menuju Sejahtera (KMS).
6
Dengan pelaksanaan otonomi daerah yang termasuk didalamnya desentralisasi pada bidang pendidikan, pemerintah daerah harus berfikir keras untuk bisa membuat atau mengambil keputusan terhadap kebijakan pendidikan di daerah. Banyak program pemerintah di bidang pendidikan, antara lain wajib belajar 9 tahun yang digratiskan mulai tahun 2005. Program ini didukung penyediaan dana secara terpadu yang bersumber dari APBN dan APBD. BOS diberikan dalam rangka memberikan jaminan pendidikan dasar mulai dari SD sampai dengan SMPT negeri. Program pendidikan pemerintah Kota Yogyakarta dalam Perda Kota Yogyakarta Nomor 5 tahun 2008, tentang Sistem Penyelenggaraan Pendidikan, bertujuan menyelenggarakan pendidikan daerah yang keberlangsungan
proses
pendidikan.
Sistem
ini
berusaha menjamin
juga
bertujuan
untuk
mengembangkan potensi perserta didik di daerah, agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia dan berbudi pekerti luhur, sehat, berilmu, cakap, kreatif, berbudaya, mandiri, percaya diri, dan menjadi warga masyarakat yang demokratis serta bertanggungjawab. (Initiatives of Governance Innovation:4). Tantangan terbesar dalam pembangunan Indonesia dalam rangka mencapai tujuan UUD adalah “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Kemudian, diterjemahkan bagaimana membangun kebijakan pendidikan di daerah yang baik, dalam kontek Kebijakan
Pendidikan
Nasional
(UU
no.
20/2003)
dengan
Kebijakan
Desentralisasi (UU No. 32/2004). Terobosan kebijakan publik tentang
7
pembangunan pendidikan di daerah, kemudian bisa dipahami sebagai daerah mampu mengembangkan kebijakan pendidikan secara mandiri. Penyelenggaraan jaminan pendidikan daerah merupakan salah satu jawaban kepedulian pemerintah di Kota Yogyakarta untuk memberikan akses pendidikan bagi semua warganya, terutama warga miskin. Terjaminnya warga miskin harapannya bisa membantu warga miskin untuk bisa mengakses pendidikan. Oleh karena itu, semenjak tahun 2007 Pemerintah Kota Yogyakarta mencoba untuk menyelenggarakan adanya jaminan pendidikan di Kota Yogyakarta yang disebut dengan Jaminan Pendidikan Daerah atau JPD. Jaminan Pendidikan Daerah ini diselenggarakan dibawah koordinasi Unit Pelaksana Teknis Jaminan Pendidikan Daerah (UPT JPD) Kota Yogyakarta. Jaminan Pendidikan Daerah mulai muncul atas inisiatif Eksekutif yaitu H. Herry Zudianto (Wali Kota Yogyakarta periode 2001-2006 dan Periode 20062011). Menurut laporan Initiatives of Governance Innovation (IGI), warga Kota Yogyakarta yang termasuk dalam keluarga menuju sejahtera (KMS) mendapatkan JPD dari Pemerintah Kota Yogyakarta. Pemberian JPD diatur dalam Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 35 Tahun 2007 tentang Pedoman Pemberian Jaminan Pendidikan Daerah, dan selanjutnya diatur dalam Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 19 Tahun 2008 tentang Pedoman Pemberian Jaminan Pendidikan Daerah, Peraturan Walikota Yogyakarta
Nomor 4 Tahun 2009
tentang Pedoman Pemberian Jaminan Pendidikan Daerah, dan yang terbaru diatur dalam Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 19 Tahun 2010 tentang Pedoman Pemberian Jaminan Pendidikan Daerah. Kebijakan JPD ini dimaksudkan untuk
8
peningkatan kesempatan memperoleh pendidikan bagi penduduk Daerah dan penuntasan Wajib Belajar 12 (dua belas) tahun. Alasan pokok mengapa Kota Yogyakarta menggulirkan program ini adalah: pertama, sebagai kota pendidikan masih banyak terdapat anak yang putus sekolah. Kedua, rendahnya kesempatan peserta didik dari keluarga miskin untuk bisa mengakses pedidikan yang berkualitas / bermutu. Ketiga, Visi Pemerintah Kota,
memberikan
kesempatan
seluas-luasnya
kepada
masyarakat
agar
memperoleh layanan pendidikan yang bermutu dalam rangka penuntasan Wajib belajar 12 tahun. Kelompok sasaran program JPD adalah semua peserta didik yang merupakan penduduk Kota Yogyakarta pemegang kartu KMS dan Peserta didik yang akan dan/ sedang menempuh pendidikan pada jenjang pendidikan TK/RA/TKLB, SD/MI/SDLB, SMP/MTs/SMPLB, SMA/MA/SMALB dan SMK. Pelaksanaan Pemberian JPD meliputi empat azas yaitu : Objektif, artinya bahwa penentuan sasaran penerimaan Jaminan Pendidikan Daerah harus memenuhi ketentuan; Transparan, artinya pelaksanaan Pemberian Jaminan Pendidikan Daerah bersifat terbuka dan dapat diketahui oleh masyarakat termasuk orangtua peserta didik; Akuntabel, artinya pelaksanaan pemberian Jaminan Pendidikan Daerah dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat, baik prosedur maupun hasilnya; Tidak diskriminatif, artinya setiap anak usia sekolah dari keluarga pemegang KMS dapat memperoleh Jaminan Pendidikan Daerah tanpa membedakan suku, agama dan golongan.
9
Permasalahan pada proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) cukup banyak, seperti yang diberitakan Harian Kedaulatan Rakyat (24 Juni 2013; p.15), tingkat persaingan untuk melanjutkan
ke sekolah negeri dipastikan akan
berlangsung kian sengit karena peserta membludak. Berdasarkan pendataan, pemegang KMS yang akan melanjutkan ke jenjang SMP negeri mencapai 2.265 siswa. Sementara kuota yang diberikan
hanya 863 kursi. Sedangkan untuk
melanjutkan jenjang SMA/SMK negeri mencapai 2.068 siswa yang akan memperebutkan 133 kursi SMA dan 909 kursi SMK. Disamping itu pula, menurut hasil pemantauan Forum Pemantau Independen (Forpi) Kota Yogyakarta selama proses pendataan siswa KMS di Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta, masih ditemui ketidaktepatan sasaran program, ini ditujukkan dengan gaya hidup siswa KMS yang tergolong mewah sehingga semestinya tidak layak memegang KMS. Antara lain memiliki sepeda motor yang bagus serta alat komunikasi (HP) canggih. Disamping itu pula, informasi yang menyatakan bahwa peserta didik dari program JPD tidak bisa mengikuti proses proses belajar mengajar (PBM) di sekolah favorit, seperti yang ditulis oleh Satyananda (2012), yang menyatakan : ―Sekolah menerima calon peserta didik baru dari golongan KMS dengan nilai berapa pun. Akibatnya, rata-rata siswa KMS yang mendaftar memiliki nilai yang jauh di bawah standar sekolah. Hal tersebut yang kemudian menimbulkan berbagai fenomena terkait daya saing siswa KMS. Keluhan terkait prestasi dan daya saing siswa KMS bermunculan. Guru merasa kesulitan untuk mengajar karena kemampuan dasar siswa KMS yang rata-rata jauh di bawah siswa reguler lainnya. Belum lagi dengan motivasi rendah yang kemudian diikuti dengan perilaku membolos, tidur di kelas, mengabaikan tugas, dsb‖.
10
Dari hasil wawancara dengan salah satu warga masyarakat, Agung (5 Juni 2013) yang akan menyekolahkan putrinya pada sekolah negeri, dia mengatakan : ―Sekarang harus tambah jeli memilih sekolah, kalo dahulu cukup melihat sekolah itu favorit atau tidak, lulusannya nilainya baik atau tidak, nilai anak kita bisa masuk atau tidak...tapi sekarang harus melihat berapa jumlah murid yang dari program Jaminan Pendidikan Daerah itu...‖ Hal ini merupakan temuan-temuan awal yang menarik. Dari satu sisi pemerintah dalam upayanya memberikan kesempatan bagi masyarakat miskin untuk mengenyam pendidikan pada sekolah-sekolah favorit, tetapi pada sisi yang lain program JPD membawa akibat pada animo masyarakat untuk menyekolahkan putra-putrinya akan melihat seberapa besar jumlah siswa JPD di sekolah tersebut. Permasalahan lainnya adalah ketika calon siswa KMS dan orang tua siswa memilih sekolah, seperti disampaikan oleh Kepala Unit Pelaksana Teknis Jaminan Pendidikan Daerah Dra. Suryatmi (7 Mei 2013), beliau menjelaskan : ―Sering terjadi masalah pada proses PBM, ketika calon siswa maupun orang tua siswa mendaftarkan anaknya di sekolah-sekolah favorit tanpa mempertimbangkan kemampuan akademik calon siswa KMS sendiri. Akibatnya siswa akan mendapatkan kesulitan dalam mengikuti pelajaran yang diberikan di sekolah yang bersangkutan. Sehingga ketika siswa KMS memilih sekolah harus hati-hati dengan melihat kemampuan dan peluang diterima.‖ Menurut Pemerintah Kota Yogyakarta, Program Jaminan Pendidikan Daerah dianggap penting diselenggarakan karena nilai kebermanfaatan bagi keluarga miskin untuk mengenyam pendidikan lebih terjamin. Seperti hasil wawancara dengan Kepala UPT JPD Yogyakarta Dra. Suryatmi (5 Juni 2013), beliau menyampaikan sebagai berikut : ―Program ini sudah digulirkan sejak tahun 2007, Pemerintah Kota melihat penting program JPD ini karena masyarakat miskin bisa
11
mengenyam pendidikan secara gratis. Banyak pendapat yang menyatakan bahwa program ini sangat membawa hasil yang baik dengan semakin rendahnya angka putus sekolah, tetapi ada pula yang menyatakan bahwa dengan program ini muncul banyak masalah seperti ketidaktepatan penggunaan data KMS, tidak tepat sasaran maupun dampak lain seperti munculnya kecemburuan sosial.‖ Selanjutnya, beliau menyatakan : ―Patut disayangkan bahwa pelaksana program Jaminan Pendidikan Daerah ini yaitu Unit Pelaksana Teknis belum melakukan monitoring dan evaluasi berkenaan dengan program ini. Sehingga tidak diketahui secara pasti informasi yang berhubungan dengan kemajuan atau hasil yang diraih. Demikian pula tidak adanya informasi tentang penilaian secara obyektif dan sistematis berkaitan dengan pelaksanaan program JPD maupun hasil dari program. Disamping itu pula UPT JPD merasa tidak berkepentingan untuk melakukan monitoring dan evaluasi karena hanya sebagai lembaga pelaksana program.‖ Melihat realitas yang terjadi di lapangan, perlu adanya evaluasi berkenaan dengan program JPD ini. Evaluasi program JPD ini merupakan instrumen penting untuk mengetahui apakah rencana program JPD tersebut dapat mencapai sasaran atau mewujudkan tujuan dari program ini yaitu penuntasan wajib belajar 12 Tahun. Sesuai petunjuk teknis Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Kota Yogyakarta, seluruh sekolah akan mendapatkan porsi siswa dari peserta program JPD. Dinas Pendidikan kota akan membagi kuota bagi siswa program JPD pada masing-masing sekolah. Data daya tampung perserta didik dari jenjang SMA Negeri dapat dilihat pada tabel 1 berikut :
12
Tabel 1. Daya tampung Peserta Didik Baru pada SMA di Kota Yogyakarta
No
Nama Sekolah
Daya Tampung
Kuota Program JPD
SMA NEGERI 1 8 288 SMA NEGERI 2 9 288 SMA NEGERI 3 7 224 SMA NEGERI 4 12 192 SMA NEGERI 5 13 256 SMA NEGERI 6 14 256 SMA NEGERI 7 18 256 SMA NEGERI 8 9 256 SMA NEGERI 9 11 192 SMA NEGERI 10 12 160 SMA NEGERI 11 20 288 TOTAL: 133 2.656 Sumber : Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta 2013
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Kuota Pendudu k Daerah 194 193 150 122 166 165 161 170 124 100 182 1.727
Kuota Penduduk Luar Daerah 86 86 67 58 77 77 77 77 57 48 86 796
Dari tabel tersebut, pembagian kuota bagi peserta program JPD berbedabeda satu sekolah dengan sekolah lainnya. Dalam penelitian ini, peneliti mengkategorikan jumlah kuota siswa program JPD menjadi tiga kategori yaitu rendah, dari interval 7-11 meliputi SMAN 1, SMAN 2, SMAN 3, SMAN 8, SMAN 9; kategori sedang, dari interval 12-16 meliputi SMAN 4, SMAN 5, SMAN 6, SMAN 10; dan kategori tinggi, dari interval 17-20 meliputi SMAN 7, SMAN 11. Dari masing-masing kategori tersebut akan diambil sampel satu sekolah, yaitu : SMAN 1, SMAN 4, SMAN 11. Lebih jelasnya dapat disajikan dalam tabel berikut ini :
13
Tabel 2. Kategori Kuota Siswa Program JPD SMA Negeri Kota Yogyakarta No. Jenis Kategori 1. Rendah
2. 3.
Sedang
Interval 7-11
12-16
Tinggi 17-20 Sumber : Data diolah
Sekolah SMAN 1, SMAN 2, SMAN 3, SMAN 8, SMAN 9 SMAN 4, SMAN 5, SMAN 6, SMAN 10 SMAN 7, SMAN 11
Sample SMAN 1
SMAN 4 SMAN 11
Sekolah ini mendapatkan kuota program JPD yang berbeda-bada menurut kategori. Lokus ini menarik untuk dievaluasi lebih lanjut untuk melihat sejauh mana implementasi program JPD. Hasil dari evaluasi, diharapkan nantinya akan menghasilkan informasi yang mendukung perbaikan pelaksanaan program JPD. Tidak hanya melihat pada aspek kuantitatif (jumlah peserta didik yang bisa sekolah sampai 12 Tahun) tetapi pada aspek kualitatif (implementasi program, peningkatan mutu peserta didik). Menurut data Dinas Pendidikan dan Olah Raga Daerah Istimewa Yogyakarta, Angka Putus Sekolah (APS) di kota Yogyakarta, pada jenjang SMA terjadi peningkatan anak putus sekolah yang cukup memprihatinkan dari tahun 2008 sampai dengan 2011. Data tersebut dapat ditunjukkan sebagai berikut : Tabel 3. Angka Putus Sekolah (APS) di Kota Yogyakarta No. 1. 2. 3.
TAHUN 2008-2009 2009-2010 SD/MI 13 siswa 24 siswa SMP/MTs 23 siswa 17 siswa SMA/MA/SMK 12 siswa 24 siswa 48 siswa 65 siswa TOTAL Sumber : Data dokumen Dispora DIY Jenjang
2010-2011 24 siswa 17 siswa 83 siswa 124 siswa
14
Data tersebut memperkuat peneliti untuk melihat sejauhmana pelaksanaan program JPD pada jenjang Sekolah Menengah Atas di Kota Yogyakarta. B. Rumusan Masalah Kebijakan
JPD
merupakan
bentuk
kepedulian
Pemerintah
Kota
Yogyakarta dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat Kota Yogyakarta, khususnya pada masyarakat miskin dengan memberikan jaminan pembiyaan pendidikan kepada siswa miskin. Program JPD yang terselenggara sejak tahun 2007 perlu mendapat kajian-kajian ilmiah untuk perbaikan dan kelangsungan program ini. Sekolah sebagai satuan pendidikan tentunya memiliki standar dalam mendidik anak didiknya. Standar Nasional Pendidikan merupakan standar yang harus dipenuhi satuan pendidikan untuk mendapatkan kualitas lulusan yang mempunyai kompetensi standar. Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana implementasi kebijakan JPD di SMA Negeri Kota Yogyakarta?, Apakah Standar Nasional Pendidikan sebagai pedoman kebijakan pendidikan dapat mewujudkan tujuan dari program JPD?. 2. Hambatan apa yang ditemui dalam implementasi kebijakan program JPD?, kemudian usaha apa saja yang telah dilakukan dalam mengatasi hambatan tersebut?. C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian evaluasi Implementasi Kebijakan Jaminan Pendidikan Daerah (JPD) antara lain dimaksudkan :
15
1. Mengetahui bagaimana proses implementasi JPD dan mengetahui bagaimana Standar Nasional Pendidikan sebagai pedoman kebijakan pendidikan dapat mewujudkan tujuan dari program JPD. 2. Mengetahui hambatan-hambatan yang bekenaan dengan implementasi kebijakan JPD
di SMA Negeri Kota Yogyakarta, dan
untuk
mengetahui usaha apa saja yang telah dilakukan dalam mengatasi hambatan tersebut. D. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini, adalah : 1. Hasil penelitian bisa dipergunakan untuk bahan informasi dalam perbaikan implementasi kebijakan Jaminan Pendidikan Daerah. 2. Hasil penelitian bisa dipakai sebagai bahan atau sumber rujukan untuk penelitian selanjutnya. 3. Penelitian ini diharapkan dapat menambah bahan diskusi, terutama bagi para peneliti pada persoalan yang menyangkut kebijakan jaminan sosial khususnya pada bidang pendidikan. E. Keaslian Penelitian Penelitian mengenai Jaminan Pendidikan relatif telah banyak dilakukan.
Berdasarkan
penelitian-penelitian
sebelumya
mengenai
program JPD, dapat disampaikan sebagai berikut :
16
Tabel 4. Penelitian terdahulu mengenai Jaminan Pedidikan Peneliti/ Journal Rochmat Wahab (2008)
Kuswinarti (2009)
Arum Darmawati (2011)
Uraian/Hasil Melakukan penelitian tentang Opini masyarakat mengenai Kartu Menuju Sejahtera (KMS) dan Dampaknya bagi masyarakat. Penelitian ini menjelaskan berbagai macam pendapat dari masyarakat mengenai penggunaan kartu KMS sebagai intrumen diberbagai program seperti JPD dan berbagai dampak penggunaan kartu KMS. Penelitiannya yang berjudul The Performance Of Indonesian Basic Education and The Japanese Experience, mencoba menganalisis dengan membandingkan kinerja pendidikan dasar Indonesia khususnya di Kota Yogyakarta dan pengalaman Jepang. Penelitian ini menghasilkan Penerapan kebijakan nasional program (BOS) atau program dana operasional sekolah, yang didukung oleh kebijakan pemerintah daerah tentang Biaya Operasional Sekolah Daerah (BOSDA) atau dana operasional sekolah lokal dan Jaminan Pendidikan Daerah (JPD) atau jaminan pendidikan lokal, Biaya Operasional Sekolah di Yogyakarta menghasilkan manfaat yang signifikan dalam layanan pendidikan dasar. Namun, berbagai reformasi formulasi masih diperlukan dalam rangka mengoptimalkan manfaat potensial di masa depan. Meneliti mengenai Evaluasi Program Beasiswa Kartu Menuju Sejahtera Terhadap Prestasi Belajar Siswa di SMA Negeri Kota Yogyakarta, penelitian ini berfokus pada tinggi rendahnya motivasi dan prestasi belajar siswa penerima program JPD.
Ashari dan Meneliti tentang Jaminan Pendidikan Daerah Bagi Pemegang KMS Kota Yogyakarta yang tergabung dalam Asmawati Initiatives for Governance Innovation, UGM Yogyakarta. (2012) Penelitian ini menganalisis tentang dampak positif dan negatif program JPD di Kota Yogyakarta.
Fajar Sidik Penelitian ini lebih melihat pada proses pelayanan Pendidikan Bagi Keluarga Miskin KMS Melalui Program (2013) Jaminan Pendidikan Daerah JPD. Meliputi akses, bias, cakupan, dan ketepatan layanan.
Metode/Model Deskriptif Kualititatif
Deskriptif Kualititatif dengan membandingkan kebijakan yang ada di Jepang dan di Indonesia
Pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Model evaluasi kesenjangan (discrepancy model of evaluation) oleh Provus. Kualitatif, dengan metode pengumpulan data wawancara, dan data sekunder seperti dari sumber penelitian Bappeda Kota Yogyakarta, 2011 Deskriptif Kualititatif
Sumber : peneliti dari kajian literatur Dari beberapa penelitian tersebut, peneliti berinisiatif untuk melakukan analisis lebih mendalam tentang implementasi kebijakan JPD
17
pada tingkat SMA Negeri Kota Yogyakarta. Penelitian ini akan melihat lebih mendalam mengenai implementasi program JPD disesuaikan dengan Standar Nasional Pendidikan (SNP), serta melihat hambatan dan usaha sekolah dalam pelaksanaan program JPD ini. Penelitian ini berbeda dengan penelitian yang sudah dilakukan, yang membedakan dengan studistudi lainya adalah pendekatannya dalam menganalisis implementasi dengan suatu model yang dikembangkan oleh Stufflebeam yaitu context, input, process dan product (CIPP). Dari sudut pandang ini diharapkan akan didapatkan analisis yang lebih lengkap, sehingga dapat dijelaskan mulai dari konteks, input, proses hingga output program dalam suatu sekolah. Jelas bahwa penelitian ini penting untuk dilakukan dan belum pernah di teliti dan dikaji. Penelitian ini menjadi penting karena studi ini akan mendalami kontek kebijakan, input, proses dan produk dari kebijakan JPD. Penggunaan Standar Nasional Pendidikan sebagai garis panduan digunakan peneliti dalam melihat sejauh mana pelaksanaan pada sekolah khususnya SMA Negeri Kota Yogyakarta dalam mengupayakan peserta didik dari program JPD ini dapat mencapai harapan dan keinginan stakeholder mencapai peningkatan mutu dan tuntas wajib belajar 12 tahun. Penelitian ini diharapkan akan memberikan kontribusi perbaikan untuk pelaksanaan program JPD maupun program jaminan serupa.
18
Penggunaan model CIPP yang dikembangkan oleh Stufflebeam telah banyak digunakan dalam penelitian-penelitian lain di dunia. Stufflebeam (2003) mengatakan: ―The model has been employed throughout the U.S. and around the world in short-term and long-term investigations—both small and large. Applications have spanned various disciplines and service areas, including education, housing and community development, transportation safety, and military personnel review systems.‖ Model CIPP ini telah digunakan di seluruh Amerika Serikat dan di seluruh dunia dalam jangka pendek dan jangka panjang. Model ini mampu melakukan penyelidikan baik kecil dan besar. Aplikasi model CIPP meliputi berbagai disiplin ilmu dan bidang jasa, termasuk pendidikan, perumahan dan masyarakat pengembangan, keselamatan transportasi, dan meninjau personil sistem militer. Banyak penelitian baik dalam bentuk desertasi maupun penelitian lain yang menggunakan model CIPP sebagai landasan ataupun kerangka pikir sebagai alat analisis karena dinilai model ini dapat memberikan gambaran yang komprehensif tentang suatu kebijakan maupun program, beberapa penelitian dapat terlihat pada tabel berikut :
19
Tabel 5. Journal dan Penelitian dengan penggunaan model CIPP Journal/ Penelitian Taylor (2012)
Bachenheimer (2011)
Roybal (2011)
Duvall (2011)
Uraian/Hasil A Longitudinal Evaluation Study of a Science Professional Development Program for K-12 Teachers. Sebuah evaluasi program pengembangan profesional sains untuk guru dilakukan dengan menggunakan model evaluasi CIPP . Program ini difokuskan pada reformasi pendidikan. Program pengembangan profesional berbasis penelitian program pengembangan profesional yang efektif. Hasil menunjukkan bahwa model pengembangan profesional yang dipelajari menghasilkan peningkatan self-efficacy untuk guru sains yang berpartisipasi dalam program ini. Peningkatan diri kemanjuran telah terbukti positif mempengaruhi prestasi belajar siswa. Kesimpulan program ini memiliki efek positif pada prestasi siswa melalui guru yang berpartisipasi dalam program pengembangan profesional. A Management-Based CIPP Evaluation Of A Northern New Jersey School District‟S Digital Backpack Program. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi program Digital Backpack (tas komputer bergulir yang diberikan guru kelas yang berisi alat-alat digital portabel) di Sekolah New Jersey Distrik Utara menggunakan model Berbasis CIPP Evaluasi Manajemen sebagai kerangka kerja. Observasi kelas menunjukkan hasil bahwa tingkat berpartisipasi guru teknologi yang terintegrasi ke dalam kelas dalam berbagai cara, banyak yang memberikan kontribusi terhadap tingginya tingkat keterlibatan siswa. Hasil penelitian lainnya adalah peluang guru untuk menciptakan kreativitas bagi siswa dengan menggunakan teknologi. A Summative Program Evaluation of a Comprehensive 9th Grade Transition Program. Melakukan penelitian tentang Evaluasi Program Sumatif dari Program Kelas Transisi terutama bagi siswa minoritas yang tinggal di masyarakat yang kurang beruntung secara ekonomi. Penelitian ini menggunakan Model Stufflebeam CIPP Evaluasi Program untuk menentukan konteks , input, proses , dan produk dari program tersebut. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa hubungan, komunikasi , dan keberhasilan siswa adalah faktor kunci dalam pelaksanaan program transisi. Proses implementasi menyebabkan perubahan keterbukaan dan rasa hormat, pada gilirannya menciptakan pergeseran budaya menuju pembelajaran organisasi. An Examination Of Facilitated Mentoring On School Performance Within An Urban Middle School. Penelitian tentang Kinerja Bimbingan Pada Sekolah Menengah. Evaluasi program ini menggunakan Model (CIPP) untuk secara komprehensif mengevaluasi dampak dari program mentoring di sekolah menengah. Metode campuran, serta triangulasi, digunakan untuk memastikan temuan yang diperoleh dari penelitian ini akan didukung secara substansial. Penelitian ini dilaksanakan dalam sebuah sekolah menengah di distrik perkotaan di Southwest. Penelitian ini dipandu oleh 18 pertanyaan yang dikategorikan dalam refleksi dari empat komponen dari model CIPP. Temuan menunjukkan bahwa Proyek Mentoring berperan penting dalam (a) meningkatkan siswa, kinerja
20
Richardson (2012)
Wen-Wei Ho (2010)
Boonchutima (2013)
akademik dalam seni bahasa Inggris dan matematika, (b) meningkatkan kehadiran siswa dan (c) mengurangi frekuensi siswa yang berperilaku tidak pantas di sekolah. An Examination of School Re-enrollment Procedures for Juvenile Offenders Re-entering Urban School Districts in Southern New England: Implications for School Leaders. Penelitian tentang Pemeriksaan Prosedur pendaftaran Sekolah Juvenile sebuah Sekolah di Distrik Perkotaan Southern New England. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi persepsi efektivitas proses pendaftaran ulang sekolah untuk menentukan unsur-unsur yang perlu ditingkatkan atau menghindarkan dari pelanggar sekolah menengah di perkotaan. Model evaluasi Stufflebeam (CIPP ) yang digunakan sebagai kerangka kerja untuk studi (Stufflebeam & Shinkfield , 2007). Temuan kualitatif dari wawancara menunjukkan tidak ada metode pendaftaran ulang sistematis untuk mengukur dan mengevaluasi hasil akademik, sosial, dan perilaku dari semua mantan pelaku remaja. Temuan kuantitatif didapatkan bahwa persepsi, struktur dan proses diperlukan untuk mendorong suksesnya pendaftaran ulang sekolah. Penelitian yang berjudul Evaluation of the Suicide Prevention Program in Kaohsiung City, Taiwan, Using the CIPP Evaluation Model, adalah Evaluasi Program Pencegahan Bunuh Diri di Kota Kaohsiung, Taiwan, Menggunakan CIPP Evaluation Model mempunyai tujuan untuk mengevaluasi efektivitas Kaohsiung dengan Pusat Pencegahan Bunuh Diri (KSPC) Kota Kaohsiung, Taiwan. Peneliti menggunakan Model evaluasi CIPP untuk mengevaluasi program pencegahan bunuh diri di Kaohsiung. Empat model evaluasi yang diterapkan untuk mengevaluasi KSPC : evaluasi konteks latar belakang, evaluasi masukan dari pusat sumber daya, evaluasi proses kegiatan proyek pencegahan bunuh diri, dan evaluasi produk dari penetapan tujuan proyek. Evaluasi konteks mengungkapkan bahwa tugas KSPC adalah mengurangi kematian. Evaluasi masukan menilai efisiensi tenaga kerja dan hibah didukung oleh Departemen Taiwan Kesehatan dan Biro Pemerintah Kota Kaohsiung tentang Kesehatan. Dalam proses evaluasi, strategi pencegahan bunuh diri dari KSPC, merupakan modifikasi dari versi Strategi Pencegahan Nasional Bunuh Diri Australia. Dalam evaluasi produk, empat tujuan utama dievaluasi : (1) tingkat bunuh diri di Kaohsiung, (2) kasus bunuh diri yang dilaporkan, (3) sambungan krisis panggilan (line telphon), dan (4) adanya telepon konseling. Evaluation Of Public Health Communication Performance By Stufflebeam‘s Cipp Model: A Case Study Of Thailand‘s Department Of Disease Control, merupakan penelitian mengenai Evaluasi Kesehatan Masyarakat berbasis Kinerja Komunikasi dengan Model CIPP: Studi Kasus Departemen Pengendalian Penyakit Thailand. Tujuannya adalah untuk mengetahui efektivitas dari Kinerja komunikasi Departemen Pengendalian Penyakit Thailand. Model CIPP Daniel Stufflebeam yang diterapkan sebagai kerangka evaluasi. Hasil dari penelitian ini sangat berguna, memberikan wawasan tentang organisasi kinerja komunikasi saat ini. Organisasi yang sangat birokratis, menyebabkan kaku serta struktur organisasi tidak jelas, memiliki dampak negatif pada komunikasi operasi organisasi dan proses perlu segera diperbaiki.
21
Bostic (2013)
McBride (2012)
Corina (2013)
Sinclair (2012)
Evaluation of the Implementation of Professional Learning Communities and the Impact on Student Achievement. Penelitian dilakukan untuk mengevaluasi pelaksanaan komunitas belajar professional dan dampak pada siswa berprestasi di sekolah pinggiran kota di North Carolina. Sebuah evaluasi program kuantitatif dan kualitatif dilakukan dengan menggunakan model evaluasi CIPP untuk menentukan tingkat pelaksanaan pembelajaran profesional masyarakat dan apakah pelaksanaan telah berdampak pada siswa berprestasi sesuai dengan keadaan akhir hasil tes. Model evaluasi CIPP digunakan sebagai proses yang sistematis dalam mengevaluasi konteks, input, proses dan produk dari program untuk menentukan efektivitas program tersebut. Berdasarkan temuan penelitian ini, komunitas belajar jelas merupakan bagian dari budaya daerah ini. Positive Behavior Support CIPP Evaluation. Penelitian yang berjudul Positive Behavior Support CIPP Evaluation, menggunakan pendekatan evaluasi CIPP untuk menyelidiki implementasi dan dampak dari SchoolWide Positive Behavior Support (SWPBS) di empat sekolah dasar . Evaluasi ini menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut : konteks: Mengapa sekolah menerapkan SWPBS, Apa masalah perilaku siswa yang hadir pada awal penelitian, Apa tingkat masalah perilaku siswa dalam setiap sekolah tahun sebelum pelaksanaan SWPBS; Input : Apa pelatihan yang diberikan kepada staf di masing-masing sekolah; Sumber daya ( keuangan dan manusia ) apa yang diberikan kepada masing-masing sekolah; proses : Apa tingkat kesetiaan/konsistensi pelaksanaan SWPBS; Bagaimana sekolah menerapkan SWPBS; produk : Apakah perilaku siswa berubah setelah pelaksanaan SWPBS; Apakah ada perubahan prestasi akademik setelah pelaksanaan SWPBS. Hasil menunjukkan bahwa sekolah-sekolah yang menerapkan SWPBS dengan konsisten memiliki perbaikan dalam iklim sekolah dan pengurangan perilaku mahasiswa masalah . Data menunjukkan bahwa sekolah-sekolah yang menerapkan SWPBS dengan konsisten mengalami peningkatan prestasi akademik . The Effectiveness Of A New Music Education Program In Cyprus. Tujuan dari penelitiannya adalah untuk mengevaluasi program pendidikan musik, yang digunakan oleh pendidik musik agar cocok untuk mengajarkan pendidikan musik anak usia dini (6-8th). Model yang digunakan adalah metodologi Stufflebeam (1971), CIPP(Context Input - Process - Product). Evaluasi CIPP adalah suatu kerangka kerja yang komprehensif untuk membimbing evaluasi program, proyek, personel, produk, lembaga, dan sistem. Penelitian difokuskan pada perbaikan program, dan memberikan umpan balik efektivitas secara keseluruhan dan manfaat dari program ini. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa program pendidikan tersebut sukses sebagai media untuk belajar pendidikan musik anak usia dini. Program ini memungkinkan anak-anak untuk mengembangkan pengetahuan dan keterampilan dengan mendengarkan, melakukan, dan mengekspresikan emosi mereka dengan musik. Utilizing Stufflebeam‘s CIPP Model to Evaluate an Adult Degree Completion Program. Penelitian ini memanfaatkan Model CIPP Stufflebeam untuk Mengevaluasi Program Penyelesaian Gelar. Tujuannya adalah untuk memeriksa program penyelesaian gelar di sebuah
22
perguruan tinggi seni swasta melalui penggunaan model CIPP Stufflebeam. Berdasarkan temuan evaluasi program, program penyelesaian gelar dapat berfungsi secara efektif. Namun, peneliti menentukan tiga rekomendasi utama untuk dipertimbangkan berdasarkan hasil evaluasi termasuk : fokus pada peningkatan fleksibilitas metode penyampaian kelas, tetap memperhatikan kebutuhan peserta didik melalui kurikulum dan kursus pengajaran, dan menyediakan lebih banyak dukungan bagi para siswa. Quality in Early Childhood Programs: Reflections from Program LEE (2004) Evaluation Practices adalah penelitian tentang evaluasi kualitas dalam Program Anak Usia Dini. Studi ini menyelidiki bagaimana evaluasi program telah memberikan kontribusi terhadap kualitas program anak usia dini dan apakah kondisi sosial dan budaya telah mempengaruhi program ini. Kesimpulan dari penelitian ini adalah evaluasi program anak usia dini harus didasarkan pada pemahaman mendalam tentang proses program yang dinamis dan perspektif yang beragam dari stakeholder tentang kualitas program tersebut. Serrano, Dkk. Design of a Basic System of Indicators for Monitoring and Evaluating Spanish Cooperation‘s Culture and Development Strategy merupakan (2012) penelitian yang bertujuan untuk menjelaskan proses dilaksanakannya Pemantauan Dasar dan Sistem Evaluasi Budaya dan Strategi Pengembangan Kerjasama di Spanyol. Metodologi untuk mengembangkan sistem indikator didasarkan pada dua aspek yang saling terkait yaitu: a Logical Framework Approach (LFA) atau Pendekatan Kerangka Logis dan CIPP (Konteks, Input, Process, Product) . Model evaluasi CIPP (Stufflebeam) dipandang sebagai proses dirancang untuk mendefinisikan, memperoleh, dan memberikan informasi yang berguna untuk mengevaluasi, menilai, dan proses yang menghasilkan informasi yang layak dan karena itu berguna yang akan memungkinkan kita untuk mengambil keputusan yang tepat. Hasil akhir yang dicapai adalah sebuah sistem yang terdiri dari total 80 indikator, yang mencakup semua bidang strategis dan prioritas tindakan. Vukovic, dkk. The training of civil servants in the Slovene state administration: issues in introducing training evaluation merupakan suatu penelitian terhadap para (2008) Pegawai Negeri Sipil di Slovenian khususnya pada bidang administrasi. Dilatarbelakangi reformasi administrasi negara di Slovenia sejak pemisahan negara dari Yugoslavia pada tahun 1991. Para PNS harus menyesuaikan diri dengan sejumlah besar perubahan dalam waktu yang sangat singkat. Tantangan terhadap perubahan ini hanya dapat dipenuhi oleh PNS yang berkualitas tinggi yang terus-menerus memperbarui kualifikasi mereka. Oleh karena itu pelatihan layanan yang sistematis sangat penting untuk menjaga pegawai sipil yang kompeten. Dengan pendekatan sistem, model yang digunakan adalah model CIPP (Stufflebeam, 2002). CIPP berfokus pada pendekatan keputusan evaluasi dan menekankan penyediaan informasi sistematis untuk pengelolaan program dan operasi. Dalam pendekatan ini, informasi dipandang sebagai yang paling berharga untuk membantu manajer untuk membuat keputusan yang lebih
23
May and Pal (1999)
baik. Penelitian menilai bahwa karakteristik demografi berpengaruh populasi PNS sejumlah 414 responden. Hasil lainnya menunjukkan bahwa pengaruh posisi hirarkis mempengaruhi, meskipun manajer PNS kurang terlibat dalam evaluasi seperti yang diharapkan. Data empiris juga menunjukkan bahwa mayoritas karyawan bersedia berpartisipasi dalam evaluasi pelatihan. Good Fences Make Good Neighbours Policy Evaluation and Policy Analysis – Exploring the Differences merupakan penelitian Evaluasi Kebijakan dan Analisis Kebijakan dengan menjelajahi perbedaan. Penelitian ini mencoba untuk membangun dimensi politik evaluasi yang telah mengaburkan perbedaan antara analisis kebijakan dan evaluation. May dan Pal berpendapat bahwa evaluasi dan analisis kebijakan memang berbeda menurut definisi, fungsi dan metodologi tetapi kebijakan tidak ada konflik tentang pentingnya akan konteks politik dan nilai-nilai untuk evaluasi atau analisis kebijakan. Evaluasi cenderung untuk mengadopsi sikap analis yang didesak untuk membuat rekomendasi tentang pilihan-pilihan kebijakan dalam lingkup sempit dalam menjawab pertanyaan evaluasi, tanpa memperhatikan informasi yang konstektual. Penelitian ini membandingkan evaluasi dan analisis kebijakan, kebijakan dari segi konsep, metode penelitian, batasan masalah dan penyajian data dan argumentasi. Model CIPP mengusulkan bahwa isi evaluasi pada tujuan , desain , proses pelaksanaan dan hasil dari obyek evaluasi (Stufflebeam et al., 1971) . Sebagai evaluasi tersebut berfokus atas jasa dan nilai komponen sasaran . Penelitian ini menghasilkan adanya ketegangan yang nyata antara analisis dan evaluasi kebijakan, serta beberapa tumpang tindih, dan sementara evaluasi tentu tidak bisa disarikan dari nilai-nilai dan konteks politik. Mereka menemukan adanya kegagalan untuk menghormati dan mengakui batas-batas diantara keduanya yang cenderung merugikan antara analisis kebijakan dan evaluasi.
F. Sistematika Penulisan Tesis Sistematika penulisan tesis ini merupakan uraian alur tesis dari awal sampai akhir, dengan menyertakan argumen yang jelas dan valid, logis. Sistematika tesis tersaji sebagai berikut : 1. BAB I : PENDAHULUAN Pada bab ini dijelaskan secara logis tentang latar belakang masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian serta sistematika penulisan tesis.
24
2. BAB II : LANDASAN TEORI Pada bab ini diuraikan secara sistematis mengenai landasan teori tema penelitian ini yang menjadi dasar dalam menjawab permasalahan penelitian.
Landasan teori tersebut meliputi kebijakan pendidikan
merupakan salah satu kebijakan publik, aksesibilitas jaminan sosial pendidikan, monitoring dan evaluasi, evaluasi kebijakan pendidikan, fungsi evaluasi kebijakan pendidikan, model evaluasi kebijakan pendidikan, konsepsi kebijakan jaminan pendidikan, dan ditutup dengan alur kerangka pikir yang digunakan dalam tesis ini. 3. BAB III : METODE PENELITIAN Pada bab ini akan membahas secara ringkas tentang beberapa hal yang berkaitan dengan metode yang digunakan dalam penelitian, seperti pendekatan penelitian, jenis penelitian, lokus dan fokus penelitian, metode pengumpulan data, sumber-sumber data, serta teknik analisis data. Hal ini sangat penting, karena dengan pemilihan metode yang tepat
akan
mendapatkan
hasil
yang
baik,
yaitu
menjawab
permasalahan dalam rumusan masalah yang telah ditetapkan sebelumnya. 4. BAB IV : HASIL PENELITIAN Pada bab ini akan membahas tentang evaluasi implementasi kebijakan pemerintah Kota Yogyakarta tentang Jaminan Pendidikan Daerah (JPD) di SMA Negeri Kota Yogyakarta. Dalam melihat implementasi program ini, akan menggunakan jenis penelitian evaluasi program
25
CIPP yaitu model yang dikembangkan oleh Daniel L. Stufflebeam meliputi empat aspek yaitu meliputi context, input, process dan product
evaluation
(Zhang,
dkk.
2011:64-66).
Konteks,
menggambarkan sejauhmana SNP pada SMA dapat dilaksanakan dengan baik, kemudian melihat kesesuaian pelaksanaan kebijakan JPD di
SMA Negeri Kota Yogyakarta antara permintaan/keinginan
sekolah, pemerintah, dan warga masyarakat khususnya orang tua dan peserta didik dari program JPD. Input, sebagai cara melihat seberapa besar pemanfaaatan sumber daya yang dimiliki atau sumber daya yang harus ada dalam rangka pencapaian tujuan, yaitu kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan dan pembiayaan. Proses, menggambarkan sejauhmana proses pelaksanaan program JPD terutama pada komponen proses yaitu pada aspek standar isi, proses dan penilaian. Produk, dimaksudkan untuk mendeskripsikan komponen yang berhubungan dengan hasil akhir atau output dari implementasi program JPD, yaitu tuntasnya wajib belajar 12 tahun bagi anak usia sekolah dari keluarga miskin dengan tercapainya Standar Nasional Pendidikan. 5. BAB V : REFLEKSI TEORI TERHADAP HASIL PENELITIAN Pada bab ini akan dibahas keterkaitan antara teori yang berhubungan dengan pelaksanaan kebijakan, disamping itu dari teori tersebut dibandingkan dengan temuan-temuan yang di lapangan sehingga diharapkan menghasilkan informasi yang penting dalam kerangka
26
perbaikan kebijakan JPD. Pembahasan pada bab ini meliputi refleksi teoritik dan faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi. 6. BAB VI : KESIMPULAN DAN IMPLIKASI DAN SARAN Pada bab ini akan disimpulkan dari hasil penelitian dan tesis yang sudah dikaji dalam pembahasan sebelumnya.
27