BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Republik Indonesia adalah Negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak asasi manusia.Dalam Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Negara memiliki peraturan yang harus ditegakkan,penegakkan hukum diwujudkan melalui Sistem Peradilan Pidana dengan kebijakan kriminal/penanggulangan kejahatan (Criminal Policy). Penanggulangan kejahatan (Criminal Policy) hingga saat ini hukum pidana menjadi sarana yang sangat penting. 1 Criminal Policy memusatkan diri pada kegiatan pencegahan kejahatan dan penegakkan hukum. W.A. Bonger mengatakan bahwa kejahatan adalah perbuatan yang sangat anti sosial yang memperoleh tantangan dengan sadar dari Negara berupa pemberian penderitaan atau hukuman. 2 Penegakkan hukum pidana berbicara mengenai pelaksanaan sistem hukum dan sistem tindakan pidana yang disebut sebagai hukum Penitensier. Hukum penitensier merupakan sebahagian dari hukum positif,yaitu bahagian yang menentukan sanksi atas pelanggaran,beratnya
sanksi,lamanya
sanksi
itu
dirasakan
oleh
pelanggar. 3
Pelaksanaan hukum penitensier tidak lepas dari hukum pidana yang didalamnya membahas tentang lembaga pemasyarakatan. 1
Suwarto, Individualisasi Pemidanaaan,(Medan :Pustaka Bangsa Press.2013), hal.7 W.A. Bonger, Pengantar Tentang Kriminologi, (Jakarta: PT Pembangunan Ghalia Indonesia, 1981, hal.21. 3 Marlina, Hukum penitensier,(Bandung: PT Refika Aditama,2011), hal.4. 2
Lembaga pemasyarakatan adalah pidana penjara kemudian berubah menjadi konsep Pemasyarakatan yang dianut di Indonesia. Ide sistem pemasyarakatan untuk pertama kalinya dicetuskan oleh Sahardjo di Universitas Indonesia, tanggal 5 juli 1963. 4 Lembaga pemasyarakatan secara konseptual dan historis sangat berbeda dengan sistem kepenjaraan.Asas yang dianut sistem pemasyarakatan menempatkan narapidana sebagai subyek dan dipandang sebagai pribadi dan warga Negara biasa serta dihadapi bukan dengan latar belakang pembalasan tetapi dengan pembinaan dan bimbingan.Perbedaan dua sistem tersebut memberi implikasi perbedaan dalam cara pembinaan dan bimbingan yang dilakukan, di sebabkan pada perbedaan yang dicapai. Roeslan Saleh menegaskan bahwa “jika sebelum ini yang mendapat perhatian adalah hubungan antara masyarakat dan hukum, dan melihat hukum terutama sebagai pernyataan dari hubungan kemasyarakatan yang ada, sekarang perhatian diarahkan juga kepada persoalan seberapa jauhkah hukum itu mampu mempengaruhi hubunganhubungan masyarakat itu sendiri.” 5 Lembaga penjara seharusnya ditinggalkan, dan diganti dengan lembaga pemasyarakatan sebab lembaga pemasyarakatan menjadi semacam lembaga pendidikan atau institusi untuk menjadikan seseorang kembali menjadi lebih baik. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM) terdapat dua jenis sanksi dapat dijatuhkan kepada prajurit apabila terbukti telah melanggar hukum yakni pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok terdiri dari pidana mati, pidana
4
Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, (Jakarta: PT Pradya Paramita, 1968), hal. 96 5 Roeslan Saleh. Beberapa Asas-Asas Hukum Pidana dalam Perspekti Pidanaf. Jakarta. Aksara Baru.1981. hal 9.
penjara, pidana kurungan, pidana tutupan dan pidana tambahan terdiri atas pemecatan dari dinas militer,penurunan pangkat,pencabutan hak-hak tertentu. 6 Hukum Pidana sebagai sistem sanksi negatif memberi sanksi terhadap perbuatan-perbuatan yang tidak dikehendaki oleh masyarakat. Berhubungan dengan pandangan hidup, tata sosial dan moral keagamaan serta kepentingan dari bangsa yang bersangkutan. Hukum pidana suatu bangsa dapat merupakan indikasi dari peradaban bangsa itu. 7 Sejak tahun 1964 sistem pembinaan bagi narapidana khususnya narapidana militer telah berubah secara mendasar yaitu dari sistem kepenjaraan menjadi sistem pemasyarakatan.Begitu pula institusinya yang semula disebut Rumah Penjara menjadi Lembaga Pemasyarakatan berdasarkan Surat Instruksi Kepala Direktorat Pemasyarakatan No.J.H.G.8/506 tanggal 17 Juni 1964. 8 Sistem pemasyarakatan yang dilaksanakan sejak tahun 1964 dengan ditopang oleh Undang-Undang No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Undang-undang pemasyarakatan itu menguatkan usaha-usaha untuk mewujudkan suatu sistem pemasyarakatan
yang
merupakan
tatanan
pembinaan
bagi
warga
Binaan
Pemasyarakatan. Pembinaan diharapkan agar narapidana mampu memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana yang pernah dilakukannya. Kegiatan di lembaga pemasyarakatan (LP) bukan sekedar untuk menghukum atau menjaga narapidana tetapi mencakup proses pembinaan agar warga binaan menyadari kesalahan dan memperbaiki diri serta tidak mengulangi tindak pidana yang pernah dilakukan. Warga
6
E.Y Kanter dan S.R Sianturi. Hukum Pidana Militer Di Indonesia.Jakarta.Alumni AHMPTHM :1981. Hal 66. 7 Sudarto. Hukum dan Hukum Pidana. Bandung,Alumni.1997. Hal. 4. 8 Ibid.Hal.56
binaan di Lembaga Pemasyarakatan kelak bebas dari hukuman,mereka dapat diterima kembali oleh masyarakat dan lingkungannya dan dapat hidup secara wajar seperti sediakala. 9 Ruang lingkup militer TNI merupakan bagian dari masyarakat yang dipersiapkan secara khusus untuk melaksanakan tugas pembelaan Negara dan bangsa. TNI dibatasi undang-undang dan peraturan militer sehingga semua tindak perbuatan yang dijalani haruslah berlandaskan pada undang-undang dan peraturan yang berlaku. Maka TNI dididik dan dilatih untuk mematuhi perintah-perintah ataupun putusan tanpa membantah dan melaksanakannya perintah tersebut. Perbuatan/tindakan dengan dalil atau bentuk apapun yang dilakukan oleh anggota TNI baik secara perorangan maupun kelompok yang melanggarketentuan-ketentuan hukum,norma-norma lainnya yang berlaku dalam kehidupan atau bertentangan dengan undang-undang,peraturan kedinasan,disiplin,tata tertib di lingkungan TNI pada hakekatnya merupakan perbuatan/tindakan yang merusak wibawa,martabat dan nama baik TNI yang apabila perbuatan/tindakan tersebut dibiarkan terus, dapat menimbulkan ketidaktentraman dalam masyarakat dan menghambat pelaksanaan pembangunan dan pembinaan TNI. 10 Norma-norma yang dilanggar anggota TNI pengaturannya terdapat dalam berbagai ketentuan hukum yang berlaku bagi militer yaitu : Wetboek van Militair strafrecht (Staatsblad 1934 Nomor 167 jo UU No.39 Tahun 1947) yang disebut dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM) , Wetboek van 9
C.I. Harsono, Sistem Baru Pembinaan Narapidana, (Jakarta: Djambatan, 1995), hal.2 Toetik Rahayuningsih, Peradilan Militer Di Indonesia Dan Penegakan Hukum Terhadap Pelakunya,(Surabaya : LPPM Universitas Airlangga,2002), hal. 2 10
Krijgstucht (Staatsblad 1934 Nomor 168 jo UU.40 Tahun 1947) yang disebut dengan Kitab Undang-Undang Hukum Disiplin Militer (KUHDM) , UU No.34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI), Peraturan Disiplin Militer dan peraturan-peraturan lainnya. Pelanggaran terhadap berbagai peraturan terkait yang pelakunya anggota TNI dapat diselesaikan melalui sistem peradilan pidana militer sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No.31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. 11 Anggota TNI harus tunduk dan taat terhadap ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku bagi militer yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM), Kitab Undang-Undang Hukum Disiplin Militer (KUHDM), dan Peraturan Disiplin Militer dan peraturan-peraturan lainnya. Peraturan Hukum Militer inilah yang diterapkan kepada semua prajurit TNI yang melakukan suatu tindakan yang merugikan kesatuan, masyarakat umum dan Negara yang tidak terlepas dari peraturan lainnya yang berlaku juga bagi masyarakat umum. Prosedur penanganan pelanggaran dan tindak pidana yang dilakukan oleh anggota TNI dimulai dari tahap penyidikan,tahap penuntutan,kemudian apabila telah memenuhi syarat formal dan syarat materil sesuai ketentuan di dalam Undang-Undang Peradilan Militer. Pemeriksaan dilakukan sesuai dengan proses dalam hukum acara pidana maka hasil persidangan atau Putusan Hakim terdiri dari 3 (tiga) jenis Putusan (Pasal 189 jo), Pasal 190 UUPM sebagai berikut : 1. Terbukti melakukan tindak pidana, terhadap terdakwa dijatuhi pidana. 2. Tidak terbukti melakukan tindak pidana, terhadap terdakwa dibebaskan dari dakwaan. 11
Ibid, hal.3-5.
3. Terbukti melakukan perbuatan tetapi bukan tindak pidana, terhadap terdakwa dilepaskan dari tuntutan hukum. Putusan Pengadilan Militer yang menyatakan terdakwa terbukti melakukan tindak pidana yang didakwakan, seperti tindak pidana narkotika, pencurian, penggelapan, penipuan, pemalsuan, perjudian, pemerkosaan, desersi, insubordinasi (melawan atasan), maka selain itu dijatuhi pidana penjara (pidana pokok) juga putusan hakim dapat sekaligus menjatuhkan pidana tambahan berupa pemecatan dari dinas militer apabila dinilai anggota TNI yang bersangkutan tidak dapat dipertahankan lagi sebagaimana ditentukan dalam pasal 6 a dan b KUHPM, yaitu: a. Pidana-pidana utama: Ke-1, Pidana mati; Ke-2, Pidana penjara; Ke-3, Pidana kurungan; Ke-4, Pidana tutupan b. Pidana-pidana tambahan: Ke-1, Pemecatan dari dinas militer; Ke-2, Penurunan pangkat; Ke-3, Pencabutan hak-hak. Sistem peradilan pidana (criminal justice sistem) terdapat 4 (empat) elemen yang bekerja dalam penegakan hukum yaitu Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan Lembaga Pemasyarakatan. 12 Sistem peradilan pidana militer elemennya lebih dikenal yaitu Atasan yang berhak menghukum (Ankum), Perwira Penyerahan Perkara (Papera), Polisi Militer, Oditur Militer, Hakim Militer, Pemasyarakatan Militer (Masmil) 13 Sistem Pemasyarakatan Militer bertujuan untuk mengembalikan warga binaan Pemasyarakatan (Prajurit TNI) sebagai warga yang baik juga bertujuan untuk 12
Romli Atmasasmita, Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi, (Bandung : Mandar Maju, 1995), hal. 135. 13 Ibid, hal 16
melindungi masyarakat terhadap kemungkinan diulanginya tindak pidana oleh warga binaan Pemasyarakatan (Prajurit TNI), serta merupakan penerapan dan bagian yang tidak terpisahkan dari nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Dalam hal pembinaan narapidana militer dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan Militer tetap berpedoman kepada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (UU
Pemasyarakatan).
Konsep
pembinaan
narapidana
TNI
di
Lembaga
Pemasyarakatan Militer (Masmil) didasarkan kepada konsep-konsep pembinaan dalam sistem Lembaga Pemasyarakatan meskipun Reglemen Penjara Tentara (S.1934-169) yang berdasarkan sistem penjara masih berlaku di lingkungan Lembaga Pemasyarakatan Militer (Masmil). Jenis-jenis pelanggaran seperti tidak taat pada perintah dinas seharihari,terlambat apel, dan lain-lain diselesaikan berdasarkan kebijakan dan peraturan teknis terkait yang dikeluarkan oleh Komandan. Apabila narapidana Militer/TNI dipecat dari kedinasan militer, maka narapidana TNI tersebut dibina di Lembaga Pemasyarakatan Umum (Lapas) bukan di Lembaga Pemasyarakatan Militer (Masmil). Karena tujuan utama Lembaga pemasyarakatan Militer (Masmil) adalah untuk mengembalikan narapidana TNI kembali menjadi berjiwa prajurit sapta marga. 14 Lembaga Pemasyarakatan Militer (Masmil) merupakan salah satu instansi unutk melaksanakan pembinaan terhadap narapidana TNI yang akan melaksanakan pidananya berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dalam wilayah rayonisasi yang telah ditetapkan sehingga setelai selesai menjalani 14
Pasal 256 ayat (3) UU No.31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
pidananya, angota TNI yang dibina tersebut dapat kembali menjadi prajurit yang berjiwa Pancasila dan Saptamarga, menyadari kesalahannya, memperbaiki diri dan tidak mengulangi lagi perbuatan tindak pidana dan siap melaksanakan tugas di kesatuan. 15 Lembaga Pemasyarakatan Militer (Masmil) Medan secara organisasi, personel, keuangan, logistik, dan administrasi berada di bawah Babinkum TNI namun dalam penyelenggaraan fungsi teknis, Lembaga Pemasyarakatan Militer (Masmil) berada di bawah Pusat Pemasyarakatan Militer (Pusmasmil). Penegakan hukum di lingkungan militer merupakan bagian dari subsistem peradilan militer untuk kepentingan penyelenggaraan pertahanan Negara antara lain penyelenggaraan pemasyarakatan militer, sistem pemasyarakatan militer dan pembinaan narapidana militer. Hakekat pidana militer adalah pemidanaan bagi seorang militer, pada dasarnya lebih merupakan suatu tindakan pendidikan atau pembinaan daripada tindakan penjeraan atau pembalasan, selama terpidana akan diaktifkan kembali dalam dinas militer setelah menjalani pidana maupun hukuman. 16 Seorang militer (eks narapidana) yang akan kembali aktif tersebut harus menjadi seorang militer yang baik dan berguna baik karena kesadaran sendiri maupun sebagai hasil tindakan pendidikan ataupun pembinaan yang diterima selama dalam lembaga pemasyarakatan. Narapidana sebagai warga binaan Lembaga Pemasyarakatan Militer, sewaktu menjalani pidana di Lembaga Pemasyarakatan diperhatikan hak asasi sebagai manusia.Perlu dipahami bahwa dengan pidana yang dijalani narapidana itu bukan 15
Akhmad Jumali, “Prosedur Peraturan dan Tata Tertib Pemasyarakatan Militer Medan”. Pusat Pemasyarakatan Militer Medan 2010, (Protap dan Tata Tertib Masmil 2010), hal. 1 16 E.Y Kanter dan S.R Sianturi, Op.Cit. Hal.66
berarti hak-haknya dicabut. Undang-Undang No 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (selanjutnya disebut UU Pemasyarakatan) bahwa salah satu hak narapidana adalah mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi). Pemberian remisi narapidana tidak sepenuhnya menjalani masa hukuman pidananya. Hal tersebut merupakan sebuah hadiah yang diberikan pemerintah kepada para narapidana. Remisi narapidana harus memenuhi beberapa persyaratan, yang intinya mentaati peraturan yang ada di Lembaga Pemasyarakatan. Adanya pemberian remisi menjadikan narapidana berusaha tetap menjaga kelakuannya agar kembali memperoleh remisi selama dalam Lembaga Pemasyarakatan. Pemberian remisi bagi narapidana di Lembaga Pemasyarakatan diatur di dalam beberapa peraturan perundang-undangan antara lain: UU Pemasyarakatan, Keputusan Presiden RI No.174 Tahun 1999 tentang Remisi, Keputusan Presiden No.156 Tahun 1950, Keputusan Presiden No.5 Tahun 1987, Keputusan Presiden No.69 Tahun 1999, Keputusan Menteri Kehakiman dan HAM RI No.M.04-HN.02.01 Tahun 2000 tentang Remisi Tambahan bagi Narapidana dan Anak Didik, Keputusan Menteri Kehakiman dan HAM RI No.M.03-PS.01.04 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pengajuan Permohonan Remisi Bagi Narapidana yang Menjalani Pidana Penjara Seumur Hidup menjadi Pidana Penjara Sementara. Peraturan perundang-undangan tersebut diharapkan pemerintah selalu memperhatikan hak para narapidana untuk mendapatkan remisi yang telah diatur dalam perundang-undangan.Dalam pemberian remisi, pihak yang berwenang tentunya mengetahui perilaku atau perbuatan para narapidana selama menjalani pidana sebagai acuan pemberian remisi yang sesuai
dengan perilaku dan tindakan selama berada di Lembaga Pemasyarakatan Militer (Masmil) Kota Medan. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah : 1. Bagaimana pengaturan sistem pembinaan narapidana militer di Lembaga Pemasyarakatan Militer (Masmil) Kota Medan ? 2. Bagaimana pelaksanaan pemberian remisi terhadap narapidana militer di Lembaga Pemasyarakatan Militer (Masmil) Kota Medan ? 3. Apa faktor pendukung dan penghambat dalam pemberian remisi terhadap narapidana militer di Lembaga Pemasyarakatan Militer (Masmil) Kota Medan? C. Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui prosedur pemberian remisi kepada narapidana militer di Lembaga Pemasyarakatan Militer (Masmil) Kota Medan. 2. Untuk mengetahui sistem pembinaan yang dilakukan oleh Lembaga Pemasyarakatan Militer (Masmil) terhadap Narapidana Militer Kota Medan. 3. Untuk mengetahui fungsi-fungsi dari Lembaga Pemasyarakatan Militer Masmil Medan. 4. Untuk mengetahui apa hak-hak dari narapidana militer di Lembaga Pemasyarakatan Militer Masmil Medan.
5. Untuk mengetahui kendala yang dihadapi dalam pemberian remisi kepada narapidana militer di Lembaga Pemasyarakatan Militer (Masmil) Kota Medan. D. Manfaat Penulisan Dari hasil penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat-manfaat sebagai berikut : D.1 Manfaat Teoritis. Secara teoritis menambah wawasan ilmu pengetahuan tentang prosedur pemberian remisi kepada narapidana Militer di Lembaga Pemasyarakatan Militer (Masmil) Kota Medan dan untuk mengetahui sistem Pembinaan kepada narapidana pelaku tindak pidana, serta untuk mengetahui kendala-kendala yang dihadapi dalam pemberian remisi kepada narapidana militer di Lembaga Pemasyarakatan militer (Masmil) Kota Medan dan memperkaya pengetahuan penulis mengenai ilmu hukum.
D.2 Manfaat Praktis Secara praktis dapat memberikan masukan bagi pemerintah tentang pemberian remisi kepada narapidana militer serta memberikan pemahamanpemahaman mengenai kendala-kendala dalam memberikan remisi kepada militer di Lembaga Pemasyarakatan Militer (Masmil) Kota Medan dan sebagai bahan perbandingan bagi peneliti lain yang akan melakukan penelitian yang sama.
E. Keaslian Penulisan Penelusuran yang telah dilakukan pada perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara tidak ditemukan judul yang sama. Skripsi yang ditulis
oleh penulis ini adalah merupakan hasil buah pikiran penulis ditambah dengan literatur-literatur lain,baik berupa buku-buku milik penulis sendiri maupun bukubuku dari perpustakaan serta sumber-sumber lainnya yang mendukung penulisan skripsi ini. Penulis skripsi ini murni dikerjakan oleh penulis sendiri dengan topik yang penulis bahas dalam skripsi ini belum pernah dibahas oleh orang lain yang dapat dibuktikan berdasarkan data yang ada di Sekretaris Departemen Pidana. Bila ternyata terdapat judul yang sama sebelum skripsi ini dibuat, maka penulis bertanggung jawab sepenuhnya. F. Tinjauan Kepustakaan F.1. Pengertian Remisi Remisi adalah pengurangan masa hukuman yang di dasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. 17 Kepres No. 174 Tahun 1999, remisi merupakan pengurangan masa pidana yang diberikan kepada narapidana dan anak pidana yang berkelakuan baik selama menjalani pidana. Faktor yang menentukan bahwa narapidana dan anak pidana yang menjalani pidana penjara sementara dan pidana kurungan dapat diberikan remisi apabila yang bersangkutan berkelakuan baik selama menjalani pidana. Remisi merupakan salah satu sarana hukum yang penting dalam rangka mewujudkan tujuan sistem pemasyarakatan dan juga Negara Indonesia menjamin kemerdekaan tiap penduduk agar bisa memberikan
17
http://id.shvoong.com/law-and-politics/criminal-law/2170950-pengertianremisi,20februari 2015.
yang seharusnya diberikan kepada terpidana dengan adanya remisi tersebut biar mereka bebas dan diterima oleh masyarakat. Macam-macam remisi di atas juga terdapat remisi khusus tertunda, Pengertian Remisi Khusus Tertunda bahwa pelaksanaan pemberian Remisi Khusus bagi narapidana tersebut tertunda karena yang bersangkutan masih berstatus sebagai terpidana, walaupun surat Keputusan Hakim (Vonis) yang bersangkutan telah mempunyai kekuatan hukum tetap (terpidana maupun Jaksa Penuntut Umum tidak mengajukan upaya hukum berupa Banding atau Kasasi) tetapi Jaksa Penuntut Umum belum menyampaikan surat keputusan Hakim (Vonis) yang bersangkutan kepada pihak Lembaga Pemasyarakatan sehingga status terpidana belum berubah menjadi narapidana atau anak pidana. 18
F.2. Pengertian Narapidana Militer. Narapidana bukan saja obyek melainkan juga sebagai subyek yang tidak berbeda dengan manusia lainnya yang sewaktu-waktu dapat melakukan kesalahan atau kekhilafan yang dapat dikenakan pidana sehingga perlu dilakukan pembinaan terhadap mereka ini. Narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lembaga Permasyarakatan, sedangkan terpidana adalah seseorang yang dipidana berdasarkan keputusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap. Pembinaan adalah upaya untuk mengadakan narapidana agar menyesali perbuatannya dan mengembalikannya menjadi warga masyarakat yang baik, taat kepada hukum, menjungjung tinggi nilai-nilai moral, sosial dan keagam aan sehingga
18
Ibid,
tercapai kehidupan masyarakat yang aman, tertib dan damai. Narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilangnya kemerdekaan. Terpidana itu sendiri seperti yang dimuat dalam Undang-Undang Pemasyarakatan yaitu seseorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Menurut R.A.Koesnoen, pidana penjara adalah pencabutan kemerdekaan, menurut asal-usul kata penjara berasal dari kata “Penjoro” (Bahasa Jawa) yang berarti tobat, jadi penjara berarti dibuat supaya menjadi jera atau tobat. Sebelum bangsa kita mengenal istilah “Penjara” kita mengenal istilah“Bui” atau “Buen” (Bahasa Jawa), yaitu suatu tempat atau bangunan sebagai tempat penyekapan para tahanan, orang-orang hukuman, tempat menahan orang-orang yang disandera, penjudi, pemabuk, gelandangan dan penjahat-penjahat lain. 19 Narapidana juga dikatakan sebagai orang yang tidak menghargai hukum, tidak memperhatikan norma-norma dalam masyarakat hanya mengutamakan kepentingan dirinya sendiri, menurut kemauan emosinya diri-sendiri, yang memperkosa hak hukum orang lain, bertentangan dengan kepantasan dalam masyarakat. Sikap mana menjadi sebab utama terjadinya pelanggaran hukum. Narapidana yang terbukti secara sah telah bersalah melalui putusan pengadilan dan memiliki kekuatan hukum tetap, berarti telah melanggar norma hukum pidana dan wajib dikenakan sanksi yaitu berupa hukuman. Sebagai contoh misalnya sebagai akibat dari suatu pembunuhan atau pencurian dan sebagainya, apabila didasarkan hanya pada hukum perdata akan menimbulkan hak bagi yang menderita terhadap pihak yang berbuat untuk kerugian berupa materi.
19
Koesnoen R.A. Politik Penjara Nasional. Rineka Cipta, Jakarta. 1961. Hal. 27
Dalam ruang lingkup Militer,bahwa pengertian dari Narapidana Militer adalah Prajurit TNI yang sedang menjalani pidana atau hukuman. 20 Prajurit TNI yang melakukan kejahatan atau tindak pidana, setelah dilakukan penyelidikan dan penyidikan, proses penyelesaian perkaranya akan diserahkan kepada Komandannya selaku Perwira Penyerah Perkara (Papera). Oditur Militer dan Oditur Tinggi adalah pejabat yang diberi wewenang untuk bertindak sebagai penuntut umum, sebagai pelaksana putusan atau penetapan pengadilan. Proses penyelesaian selanjutnya akan akan diselesaikan melalui persidangan di Pengadilan Militer. Setelah putusan Hakim Pengadilan Militer dijatuhkan dan prajurit yang bersangkutan tidak melakukan upaya hukum dalam bentuk Banding, Kasasi maupun Peninjauan Kembali (PK), maka putusan Pengadilan Militer telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Pada saat itulah status prajurit TNI beralih menjadi terpidana, selanjutnya pelaksanaan pidananya di Lembaga Pemasyarakatan Militer (Masmil). Narapidana Militer/TNI pada dasarnya adalah prajurit TNI aktif yang belum dipecat atau diakhiri ikatan dinas keprajuritannya. 21Narapidana yang telah melakukan perbuatan-perbuatan tindak pidana tersebut tetap sebagai warga negara yang masih mempunyai hak-hak asasi manusia seperti halnya manusia lain. Hanya saja narapidana sebagai manusia yang telah tersesat di dalam hidupnya harus diberi kesadaran untuk merubah wataknya dari watak penjahat menjadi orang yang baik, yang berguna bagi agama, masyarakat dan negara. Narapidana yang di tempatkan dalam Lembaga Permasyarakatan Militer dan 20
http://www.artileri.org/2013/01/selama-2012-1812-prajurit-tni-jadi-napi.html,17 januari,
21
Ibid,
2013
Rumah Tahanan Negara dididik, dibina baik mentalnya,diberi pendidikan atau penyuluhan berupa hukum, pengetahuan umum, kursus keterampilan, yang diharapkan dengan bekal yang diperoleh selama dalam Lembaga Permasyarakatan atau Rumah Tahanan Negara setelah selesai menjalani hukuman dapat menjadi warga negara yang bertanggung jawab, taat hukum, mandiri, aktif dalam pembangunan dan tidak mengulangi tindak pidana lagi.
F.3. Pengertian Lembaga Pemasyarakatan. 3.1. Lembaga Pemasyarakatan Sistem Pemasyarakatan berawal dari gagasan Sahardjo yang ketika itu menjabat sebagai Menteri Kehakiman Republik Indonesia pada tahun 1964, yang mengatakan bahwa tujuan pidana penjara adalah “Pemasyarakatan” sehingga membuat sebutan yang tadinya “Rumah Penjara” otomatis diganti “Lembaga Pemasyarakatan”. Istilah “Penjara” menjadi “Lembaga Pemasyarakatan” tentu terkandung maksud baik yaitu bahwa pemberian maupun pengayoman narapidana tidak hanya terfokus pada itikad menghukum (Funitif Intend) saja melainkan suatu berorientasi pada tindakan-tindakan yang lebih manusiawi dan disesuaikan dengan kondisi dari narapidana itu. Istilah penjara kendati sangat popular, berkonotasi negatif, tempat orang di kerangkeng.Lembaga Pemasyarakatan adalah istilah yang lebih berkonotasi positif sebagai tempat orang belajar kembali bermasyarakat (resosialisasi) sekaligus tempat orang yang dibina kelak setelah keluar dapat bermasyarakat secara normal.
Lembaga pemasyarakatan dianggap sebagai orang-orang yang pernah menyimpang dan masyarakat dan pada umumnya karena perilaku kejahatannya. Di masyarakat
ada streotipe bahwa
mereka
yang
pernah
masuk
ke
Lembaga
Pemasyarakatan adalah penjahat.Pandangan tersebut tidak seluruhnya benar, sebab ada orang yang tidak bersalah ke Lembaga Pemasyarakatan. Lagi pula kalau pandangan itu dipertahankan (dipelihara) terus, sama artinya masyarakat tidak sependapat bahwa Lembaga Pemasyarakatan itu sebagai tempat pembinaan. Pemasyarakatan menentukan kegiatan untuk melakukan pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan sistem kelembagaan dan cara pembinaaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pembinaan dalam tata cara peradilan pidana. Lembaga Pemasyarakatan adalah suatu lembaga untuk melaksanakan pembinaan narapidana dan anak didik masyarakat yang dahulu juga dikenal sebagai rumah penjara yakni dimana orang-orang yang telah dijatuhi dengan pidana-pidana tertentu oleh hakim, untuk menjalankan pidana mereka. Sahardjo yang beberapa tahun yang lalu menjabat sebagai menteri kehakiman mengatakan bahwa sebutan rumah penjara itu telah diubah menjadi Lembaga Pemasyarakatan dan menjelaskan sebagai pemberian sebutan yang baru kerumah penjara sebagai Lembaga Pemasyarakatan dapat diduga mempunyai hubungan yang erat dengan gagasan beliau untuk menjadikan Lembaga Pemasyarakatan itu bukan saja sebagai tempat untuk semata-mata untuk membina atau mendidik orang terpidana agar mereka itu setelah
selesai menjalankan pidana, mereka mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan di Lembaga Pemasyarakatan nantinya. 22 Sebelum lahirnya UU Pemasyarakatan, peraturan perundang-undangan yang di pakai untuk menyelenggarakan pembinaan bagi narapidana tersebut adalah perundang-undangan yang lama yakni peninggalan dari pemerintahan HindiaBelanda, peraturan-peraturan tersebut antara lain; ordonasi tanggal 10 Desember 1917, staatsblaad tahun 1917 No. 708 yang juga di kenal dengan sebutan Gestichten Reglement yang mulai diberlakukan di Indonesia sejak tanggal 1 Januari 1918. 23 Dengan mendasarkan kepada Falsafah Negara diharapkan pelaksanaan sistem pemasyarakatan tersebut sejalan dengan nila-nilai yang terkandung dalam semua sila dalam Pancasila sehingga tujuan yang hendak dicapai terlaksananya dengan baik dan narapidana pun tidak mengulangi tindak pidana, baik yang masih berada di Lembaga Pemasyarakatan ataupun yang sudah berbaur dengan masyarakat pada umumnya. Sistem pemasyarakatan berfungsi untuk menyiapkan warga binaan pemasyarakatan agar dapat berinteraksi secara sehat dengan masyarakat sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab, hubungan mantan narapidana dengan masyarakat diharapkan dapat pulih kembali seperti sedia kala.
3.2. Sistem Pemasyarakatan Sistem pemasyarakatan merupakan perkembangan dari pelaksanaan sistem kepenjaraan berasaskan pembalasan danpenyiksaan-penyiksaan badan yang tidak 22 23
PAF.Lamintang. Hukum Penitentier Indonesia, Bandung: Armico, 1988. Hal.180 Ibid. Hal. 71
manusiawi dengan harapan agar si terpidana betul-betul merasa tobat dan jera sehingga tidak mengulangi lagi perbuatan-perbuatan yang melanggar hukum.Sistem pemasyarakatan berasaskan pembinaan sesuai dengan Pancasila. Pembinaan bertujuan agar narapidana setelah selesai menjalani masa pidananya tidak akan mengulangi perbuatannya (kejahatan) dan dapat hidup bermasyarakat secara wajar serta ikut berpartisipasi didalam pembangunan. Sistem pemasyarakatan ini diselenggarakan dalam rangka narapidana menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi lagi tindak pidana yang pernah dilakukan.Hal tersebut adalah untuk menyiapkan narapidana agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat. Oleh sebab itu, untuk melaksanakan sistem
pemasyarakatan
dibutuhkan
keikutsertaan
masyarakat
baik
dengan
mengadakan kerja sama dalam pembinaan maupun dengan sikap bersedia menerima kembali narapidana yang telah selesai menjalani pidananya. Sistem pemasyarakatan, pembinaan adalah merupakan suatu sistem, maka pembinaan narapidana mempunyai beberapa komponen yang bekerja saling berkaitan untuk satu tujuan. Komponenkomponen tersebut terdiri dari semua pihak yang terlibat dalam proses pembinaan, seperti narapidana, petugas LAPAS, dan masyarakat yang akan menerima kembali kehadiran narapidana setelah bebas nantinya. Sistem pembinaan pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan asas sesuai dengan Pasal 5 UU Pemasyarakatan, yaitu: a. pengayoman; b. persamaan perlakuan dan pelayanan; c. pendidikan;
d. pembimbingan; e. penghormatan harkat dan martabat manusia; f. kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan; dan g. terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu. Narapidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan dibina dan dididik agar menyesali
perbuatannya
dan
mengembangkannya
menjadi
Warga
Binaan
Pemasyarakatan yang baik dan taat kepada hukum, menjunjung tinggi nilai-nilai moral serta dibina dalam hal kemandirian sebagai bekal hidup dikemudian hari apabila sudah pulang dari Lembaga Pemasyarakatan. G. Metode Penelitian G.1. Jenis Data Data pendukung dalam penelitian ilmiah yang penulis lakukan terdiri atas 2 (dua) jenis data, yakni:
a. Data primer, yaitu data dan informasi yang diperoleh secara langsung melalui wawancara dengan para petugas Lembaga Pemasyarakatan Militer (Masmil) Kota Medan. b. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari kantor wilayah Hukum dan Ham, kantor administrasi Lembaga Pemasyarakatan Militer (Masmil) Kota Medan dalam menjamin terlaksananya asas equal justice before the law pada pemenuhan hak pengurangan masa pidana terhadap warga binaan Lembaga Pemasyarakatan Militer Masmil Medan ataupun dokumen serta literatur dan peraturan perundang – undangan yang berhubungan dengan penelitian ini.
G.2. Cara Pengumpulan Data
Penelitian ini penulis menggunakan teknik pengumpulan data berdasarkan metode penelitian lapangan (field research) dan penelitian kepustakaan (library research).Penelitian lapangan (field research), yaitu penelitian yang dilakukan di lapangan dengan melakukan pengambilan data langsung melalui wawancara dengan aparat pada Lembaga Pemasyarakatan Militer (Masmil) Kota Medan. Selain itu penulis juga akan melakukan wawancara terhadap beberapa Narapidana yang ada pada Lembaga Pemasyarakatan Militer Masmil Medan. Sedangkan Penelitian kepustakaan (library research), yaitu penelitian yang dilakukan untuk memperoleh data skunder yang berhubungan dengan penelitian penulis.
G.3 Lokasi Penelitian. Penelitian yang akan dilakukan dalam rangka menjawab rumusan masalah yang diangkat oleh penulis pada penulisan skripsi ini, dilakukan pada Lembaga Pemasyarakatan Militer (Masmil) tepatnya di belakang kantor KODAM I-BB Kota Medan.
G.4 Analisis Data. Data dianalisis secara kualitatif dengan berpedoman kepada peraturan perundang-undangan. Analisis data dilakukan secara kualitatif yuridis adalah dengan mengadakan penelitian terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan menghubungkan dengan data kenyataan di lapangan sesuai dengan permasalahan penelitian ini. Data yang diperoleh di lapangan diolah dan dianalisis
secara deskriptif, normatif logis, dan sistematis dengan menggunakan metode deduktif dan induktif. Deskriptif artinya data yang diperoleh dari lapangan, digambarkan sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya.Normatif digambarkan untuk menganalisis data dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia khususnya yang berhubungan dengan permasalahan logis yang artinya dalam melakukan analisis tidak boleh bertentangan dengan akal sehat dan ilmu pengetahuan.Metode deduktif artinya peraturan perundang-undangan di Indonesia yang berhubungan dengan permasalahan yang bersifat umum dan dijadikan sebagai pegangan pada data yang diperoleh dari penelitian untuk memperoleh kesimpulan. Metode deduktif yang artinya data yang bersifat khusus yang diperoleh dari penelitian dan ditarik kesimpulan yang bersifat umum.
H. Sistematika Penulisan Skripsi
ini
untuk
mempermudah
ruang
lingkup
yang
dibahas
didalamnya,maka penulis terlebih dahulu akan membuat gambaran isi dari materi yang dibahas. Gambaran isi dimaksudkan untuk mengetahui secara garis besar akan penulisan skripsi ini lebih terarah dan terkosentrasi serta tersusun secara sistematis yang dapat memberikan gambaran secara singkat namun menyeluruh mengenai isi pembahasannya.
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam pendahuluan ini akan dijelaskan tentang latar belakang,rumusan masalah,tujuan penelitian dan manfaat penelitian,keaslian penulisan,tinjauan kepustakaan (pengertian remisi,narapidana militer,lembaga pemasyarakatan), metode penelitian serta sistematika penulisan. BAB II
PENGATURAN SISTEM PEMBINAAN NARAPIDANA MILITER DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN MILITER (MASMIL) KOTA MEDAN Dalam Bab II ini akan dibahas mengenai sejarah berdirinya lembaga pemasyarakatan militer,fungsi dan tugas pokok lembaga pemasyarakatan militer, peran petugas lembaga pemasyarakatan
dalam
proses
pembinaan
narapidana
militer,pengaturan sistem pembinaan narapidana militer, serta sistem
pembinaan
narapidana
militer
di
lembaga
pemasyarakatan militer (Masmil) Kota Medan. BAB III
PELAKSANAAN
PEMBERIAN
REMSI
TERHADAP
MILITER
DI
LEMBAGA
NARAPIDANA
PEMASYARAKATAN
MILITER
(MASMIL)
KOTA
MEDAN Dalam Bab III ini akan dibahas mengenai pengaturan pemberian remisi militer,dan pelaksanaan pemberian remisi terhadap narapidana militer di lembaga pemasyarakatan militer (Masmil) Kota Medan.
BAB IV
FAKTOR
PENDUKUNG
DAN
PENGHAMBAT
PELAKSANAAN PEMBERIAN REMISI MILITER DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN MILITER (MASMIL) KOTA MEDAN Dalam Bab IV ini akan dibahas mengenai faktor pendukung dan penghambat dalam pelaksanaan pemberian remisi militer di lembaga pemasyarakatan militer (Masmil) Kota Medan. BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN Dalam Bab V ini adalah merupakan hasil pembahasan dari keseluruhan skripsi yang dibuat dalam bentuk kesimpulan yang disertai dengan saran-saran penulis.