BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Hak untuk hidup adalah hak asasi yang paling dasar bagi seluruh manusia. Hak hidup merupakan bagian dari hak asasi yang memiliki sifat tidak dapat ditawar lagi (non derogable rights). Artinya, hak ini mutlak harus dimiliki setiap orang, karena tanpa adanya hak untuk hidup, maka tidak ada hak-hak asasi lainnya. Hak tersebut juga menandakan setiap orang memiliki hak untuk hidup dan tidak ada orang lain yang berhak untuk mengambil hak hidupnya.Salah satu contoh penghilangan hak hidup tanpa alas hak adalah pembunuhan melalui aksi teror. Aksi teror jelas telah melecehkan nilai kemanusiaan, martabat, dan norma agama. Teror juga telah menunjukan gerakannya sebagai tragedi atas hak asasi manusia.
1
Bahwa tindak pidana terorisme yang selama ini terjadi telah mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat serta merupakan ancaman serius terhadap kedaulatan negara, sehingga pencegahan dan pemberantasan tindak pidana terorisme perlu dilakukan secara berencana dan berkesinambungan guna memelihara kehidupan yang aman, damai, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Aksi
1
Sriyanto dan Desiree Zuraidah, Modul Instrumen HAM Nasional: Hak Untuk Hidup, Hak Berkeluarga dan Melanjutkan Keturunan Serta Hak Mengembangkan Diri (Jakarta: Departemen Hukum dan HAM RI, Direktorat Jenderal Perlindungan HAM, 2001).
Universitas Sumatera Utara
terorisme yang terjadi di Indonesia hingga dewasa ini nampaknya juga belum bisa teratasi secara tuntas. Inilah salah satu permasalahan yang sedang dihadapi pemerintah saat ini, kenyataannya sampai sekarang para pelaku aksi terror belum bisa semuanya ditangkap bahkan sekarang aksi teror tidak hanya terjadi dikotakota besar melainkan sudah masuk kedaerah-daerah. Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban serta merupakan salah satu ancaman serius terhadap kedaulatan setiap negara karena terorisme sudah merupakan kejahatan yang bersifat internasional yang menimbulkan bahaya terhadap keamanan, perdamaian dunia serta merugikan kesejahteraan masyarakat sehingga perlu dilakukan pemberantasan secara berencana dan berkesinambungan sehingga hak asasi orang banyak dapat dilindungi dan dijunjung tinggi. Pernyataan tersebut sejalan dengan tujuan bangsa Indonesia yang terdapat dalam Undang-undang Dasar 1945 yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Aksi terorisme di Indonesia mencuat ke permukaan setelah terjadinya Bom Bali I pada 12 Oktober 2002, Peristiwa ini tepatnya terjadi di Sari Club dan Peddy’s Club, Kuta, Bali. 2 Sebelumnya, tercatat juga beberapa aksi teror di Indonesia antara lain kasus Bom Istiqlal pada 19 April 1999, Bom Malam Natal pada 24 Desember 2000 yang terjadi di dua puluh tiga gereja, Bom di Bursa Efek
2
http://www.riaupos.com/berita.php?act=full&id=4339&kat=9
Universitas Sumatera Utara
Jakarta pada September 2000, serta penyanderaan dan pendudukan perusahaan Mobil Oil oleh Gerakan Aceh Merdeka pada tahun yang sama. 3 Indonesia sebagai negara hukum (rechtstaat) memiliki kewajiban untuk melindungi harkat dan martabat manusia. Demikian pula dalam hal perlindungan warga negara dari tindakan terorisme. Salah satu bentuk perlindungan negara terhadap warganya dari tindakan atau aksi terorisme adalah melalui penegakan hukum, termasuk di dalamnya upaya menciptakan produk hukum yang sesuai. Upaya ini diwujudkan pemerintah dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002, yang kemudian disetujui oleh DPR menjadi Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Diperlukannya undang-undang ini karena pemerintah menyadari tindak pidana terorisme merupakan suatu tindak pidana yang luar biasa (extraordinary crime), sehingga membutuhkan penanganan yang luar biasa juga (extraordinary measures). Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 ini selain mengatur aspek materil juga mengatur aspek formil. Sehingga, undang-undang ini merupakan undang-undang khusus (lex specialis) dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Dengan adanya undang-undang ini diharapkan penyelesaian perkara pidana yang terkait dengan terorisme dari aspek materil maupun formil dapat segera dilakukan. Pada sebuah proses penyelesaian perkara pidana, proses pembuktian merupakan suatu proses pencarian kebenaran materiil atas suatu peristiwa pidana. 3
“Bom Bali Rencananya untuk Memperingati Setahun Bom WTC”, http://www.kompas.com/kompas-cetak/0308/22/nasional/505322.htm, diakses 7 November 20
Universitas Sumatera Utara
Hal ini berbeda jika dibandingkan proses penyelesaian perkara perdata yang merupakan proses pencarian kebenaran formil. Proses pembuktian sendiri merupakan bagian terpenting dari keseluruhan proses pemeriksaan persidangan. Hukum acara pidana di dalam bidang pembuktian mengenal adanya Alat Bukti dan Barang Bukti, di mana keduanya dipergunakan di dalam persidangan untuk membuktikan tindak pidana yang didakwakan terhadap terdakwa. Alat bukti yang sah untuk diajukan di depan persidangan, seperti yang diatur Pasal 184 Undangundang Nomor 8 tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah: 4 a. keterangan saksi b. keterangan ahli c. surat d. petunjuk e. keterangan terdakwa Pada perkembangannya, alat bukti sebagaimana yang diatur dalam KUHAP tidak lagi dapat mengakomodir perkembangan teknologi informasi, hal ini menimbulkan permasalahan baru. Salah satu masalah yang muncul akibat perkembangan teknologi informasi adalah lahirnya suatu bentuk kejahatan baru yang sering disebut dengan cybercrime, dalam istilah yang digunakan oleh Barda Nawawi Arief disebut dengan tindak pidana mayantara. Secara garis besar cybercrime terdiri dari dua jenis, yaitu kejahatan yang menggunakan teknologi
4
Undang-Undang Nomor 8 LN Nomor 76 Tahun 1981, tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Pasal 184
Universitas Sumatera Utara
informasi (TI) sebagai fasilitas dan kejahatan yang menjadikan sistem dan fasilitas teknologi informasi sebagai sasaran. Tentu saja upaya penegakan hukum tidak boleh berhenti dengan ketidakadaan hukum yang mengatur penggunaan barang bukti maupun alat bukti berupa informasi elektronik di dalam penyelesaian suatu peristiwa hukum. Selain itu, proses mengajukan dan proses pembuktian alat bukti yang berupa data digital perlu pembahasan tersendiri mengingat alat bukti dalam bentuk informasi elektronik ini serta berkas acara pemeriksaan telah melalui proses digitalisasi dengan proses pengetikan (typing), pemeriksaan (editing) dan penyimpanan (storing) dengan menggunakan komputer. Namun, hasilnya tetap saja dicetak di atas kertas (printing process). Dengan demikian, diperlukan kejelasan bagaimana mengajukan dan melakukan proses pembuktian terhadap alat bukti yang berupa data digital. Proses pembuktian suatu alat bukti yang berupa data digital ini juga menyangkut aspek validasi data digital yang dijadikan alat bukti tersebut. Aspek lain terkait adalah masalah menghadirkan alat bukti tersebut, apakah dihadirkan
cukup dengan perangkat lunaknya (software) atau harus dengan perangkat kerasnya (hardware). Uraian dari latar belakang tersebut, menyimpulkan penulis untuk mengetahui lebih jelas mengenai tingkat perkembangan terorisme yang terjadi di masyarakat saat ini, dapat dikatakan kejahatan terorisme telah berkembang dalam kuantitas maupun kualitas perbuatannya. Berdasarkan kenyataan mengenai pentingnya penerapan hasil bukti forensik dalam mengungkapkan suatu kasus terorisme pada tahap penyidikan sebagaimana terurai diatas, hal tersebut
Universitas Sumatera Utara
melatarbelakangi penulis untuk mengangkatnya menjadi topik pembahasan dalam penulisan skripsi dengan judul ”TINJAUAN YURIDIS PERANAN BUKTI FORENSIK DAN LAPORAN INTELEJEN PADA TAHAP PENYIDIKAN TINDAK PIDANA TERORISME DI KOTA MEDAN.” B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang, maka peneliti mengidentifikasikan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana peranan bukti forensik dan laporan intelejen dalam mengungkap tindak pidana terorisme pada tahap penyidikan ditinjau dari Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)? 2. Peranan Kepolisian Resort kota Medan (Unit Jatanras) dalam mengumpulkan informasi dan keterangan lain guna melengkapi pembuktian yang terkait tindak pidana terorisme? C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Tujuan yang hendak dicapai dengan diadakannya penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Mengkaji dan memahami secara jelas mengenai peranan bukti forensik dalam mengungkap tindak pidana terorisme pada tahap
Universitas Sumatera Utara
penyidikan ditinjau dari UU No.15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan UU No.8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
b. Mengetahui tentang Peranan Kepolisian Resort kota Medan (Unit Jatanras) dalam mengumpulkan informasi dan keterangan lain guna melengkapi pembuktian yang terkait tindak pidana terorisme. 2. Manfaat Penelitian Diharapkan karya akhir ini dapat bermanfaat dengan optimal, baik secara akademis maupun praktis. Adapun penelitian ini memiliki manfaat sebagai berikut : a. Manfaat Akademis Penelitian ini ditujukan untuk menambah pengetahuan dibidang hukum khususnya hukum pidana baik untuk kalangan mahasiswa sendiri atau para akademisi sebagai bibit unggul yang akan menjadi kalangan yang berguna dan menjadi generasi penerus bangsa di masa yang akan datang. b. Manfaat Praktis Diharapkan pula melalui penulisaan skripsi ini dapat bermanfaat nantinya bagi para penegak hukum dalam upaya memberikan proses
peradilan
yang
baik
dan
tepat,
sehingga
tidak
mengakibatkan kerugian bagi para pihak yang mencari keadilan dan dapat memberikan rasa keadilan yang sebesar-besarnya di tengah masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
D. Keaslian Penulisan Penulisan skripsi ini adalah murni dan benar – benar berasal dari pemikiran penulis dan pertanyaan - pertanyaan yang timbul dari dalam diri penulis bahwa terhadap judul diperlukannya suatu pembahasan yang lebih dalam, keaslian penulisan ini dapat dibuktikan karena sebelum penulisan ini berlangsung penulis telah melakukan pengecekan terhadap judul ini terlebih dahulu ke Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara apakah mengenai judul ini telah dibahas sebelumnya atau tidak, hasil dari pengecekkan tersebut adalah penulis telah mendapatkan persetujuan dari pihak perpustakaan dan jurusan bahwasanya judul ini dapat dilanjutkan penulisannya.
E. Tinjauan Kepustakaan 1. Definisi Terorisme Terorisme adalah The use or threat of violance to intimidate or cause panic, esp. as a means of affecting political conduct. 5 Terjemahan bebasnya adalah, penggunaan atau upaya kekerasan untuk mengintimidasi atau menyebabkan kepanikan, khususnya dengan membawa dampak politik. Tindak Pidana Terorisme adalah, segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini. Teror atau Terorisme tidak selalu identik dengan kekerasan. Terorisme adalah puncak aksi kekerasan, (terrorism is the apex of violence). Bisa saja kekerasan terjadi tanpa teror, tetapi tidak ada teror tanpa kekerasan. Terorisme tidak sama dengan 5
http://www.thefreedictionary.com/terror
Universitas Sumatera Utara
intimidasi atau sabotase. Sasaran intimidasi dan sabotase umumnya langsung, sedangkan terorisme tidak. Korban tindakan Terorisme seringkali adalah orang yang tidak bersalah. Kaum teroris bermaksud ingin menciptakan sensasi agar masyarakat luas memperhatikan apa yang mereka perjuangkan. Tindakan teror tidaklah sama dengan vandalisme, yang motifnya merusak benda-benda fisik. Teror berbeda pula dengan mafia. Tindakan mafia menekankan omerta, tutup mulut, sebagai sumpah. Omerta merupakan bentuk ekstrem loyalitas dan solidaritas kelompok dalam menghadapi pihak lain, terutama penguasa. Berbeda dengan Yakuza atau mafia Cosa Nostra yang menekankan kode omerta, kaum teroris modern justru seringkali mengeluarkan pernyataan dan tuntutan. Mereka ingin menarik perhatian masyarakat luas dan memanfaatkan media massa untuk menyuarakan pesan perjuangannya. 6 Sejauh ini belum ada batasan yang baku untuk mendefinisikan apa yang dimaksud dengan Terorisme. Menurut Prof. M. Cherif Bassiouni, ahli Hukum Pidana Internasional, bahwatidak mudah untuk mengadakan suatu pengertian yang identik yang dapat diterima secarauniversal sehingga sulit mengadakan pengawasan atas makna Terorisme tersebut. Sedangkanmenurut Prof. Brian Jenkins, Phd., Terorisme merupakan
6
http://id.wikipedia.org/wiki/Definisi_terorisme
Universitas Sumatera Utara
pandangan yang subjektif, hal manadidasarkan atas siapa yang memberikan batasan pada saat dan kondisi tetentu. 7 Belum tercapainya kesepakatan mengenai apa pengertian terorisme tersebut, tidak menjadikan terorisme dibiarkan lepas dari jangkauan hukum. Usaha memberantas Terorisme tersebut telah dilakukan sejak menjelang pertengahan abad ke-20. Pada tahun 1937 lahir Konvensi Pencegahan dan Penghukuman Terorisme (Convention for The Prevention and Suppression of Terrorism), dimana Konvensi ini mengartikan terorisme sebagai Crimes against State. Melalui European Convention on The Supression of Terrorism (ECST) tahun 1977 di Eropa, makna Terorisme mengalami suatu pergeseran dan perluasan paradigma, yaitu sebagai suatu perbuatan yang semula dikategorikan sebagai Crimes against State (termasuk pembunuhan dan percobaan pembunuhan Kepala Negara atau anggota keluarganya), menjadi Crimes against Humanity, dimana yang menjadi korban adalah masyarakat sipil. Crimes against Humanity masuk kategori Gross Violation of Human Rights (Pelanggaran HAM Berat) yang dilakukan sebagai bagian yang meluas/sistematik yang diketahui bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, lebih diarahkan pada jiwa-jiwa orang tidak bersalah (Public by innocent), sebagaimana terjadi di Bali. 8
7
http://definisi-pengertian.blogspot.com/2009/12/definisi-dan-pengertian-terorisme_31.html
8
http://activis.wordpress.com/2009/10/23/sejarah-tentang-terorisme/
Universitas Sumatera Utara
Pasal 3 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang berbunyi, “Setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan dan keselamatan sebagai individu.” Dengan adanya rasa takut dan cemas yang melanda warga masyarakat yang diakibatkan oleh terorisme, maka para teroris telah merampas hak asasi orang lain tentang rasa aman. Di sini kita bisa melihat bahwa sasaran utama terorisme bukan lagi sekadar kejahatan terhadap negara atau kelompok atau individu, melainkan kejahatan terhadap HAM. Terorisme disebut banyak orang sebagai sebuah kejahatan yang extraordinary, karenanya terorisme pun harus diperlakukan secara extraordinary. 9 Namun, apakah cukup manusiawi apabila penanganan terhadap kasus terorisme harus dilakukan dengan memperlakukan para tersangka teroris secara tidak manusiawi? Ataukah justru sebaliknya, masyarakat akan merasa sangat puas ketika melihat aparat keamanan berhasil ‘menghabisi’ para tersangka teroris?
2. Terorisme dalam Perspektif Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Di Indonesia, berdasarkan undang-undang pemberantasan tindak pidana terorisme, seseorang yang dicurigai sebagai anggota terorisme, polisi hanya berkenan menahan selama tujuh hari tanpa surat perintah penahanan. Ini masih terlalu ringan bilamana dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia atau Singapura. 9
http://www.docstoc.com/docs/48436101/PENEGAKAN-HUKUM-DAN-HAK-ASASIMANUSIA-DALAM-PEMBERANTASAN-TERORISME
Universitas Sumatera Utara
Di
Malaysia
dan
Singapura
misalnya,
pelaku
terorisme
diperlakukan dengan sangat ketat. Untuk pelaku terorisme diberlakukan prosedur hukum yang tidak biasanya seperti pada kejatahan-kejahatan biasa. Umpamanya, untuk penangkapan, polisi tidak perlu menggunakan surat perintah penangkapan maupun surat perintah penahanan. Begitu pula tenggang waktu penahanan serta lamanya penahanan. Semuanya dilakukan secara ekstra ketat, sehingga adakalanya si pelaku diperlakukan di luar sistem due process of law. Tidak heran pelaku terorisme ditahan hingga bertahun-tahun tanpa proses. Secara hukum positif, Indonesia pun mengenal pembatasan hakhak yang relatif itu sebagaimana diatur di dalam UU No 3 Drt Tahun 1959 mengenai keadaan bahaya atau public emergency. Sekalipun demikian, walaupun hak-hak absolut non derogable rights seperti right to life tetap harus pula dijunjung tinggi, tetapi juga social rights tidak boleh terabaikan sebagai bagian dari pemeliharaan generasi. 10
Menyadari hal ini dan lebih didasarkan pada peraturan yang ada saat ini yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) belum mengatur secara khusus serta tidak cukup memadai untuk memberantas Tindak Pidana Terorisme, Pemerintah Indonesia merasa perlu untuk membentuk Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yaitu dengan menyusun Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang 10
http://www.docstoc.com/docs/48436101/PENEGAKAN-HUKUM-DAN-HAK-ASASIMANUSIA-DALAM-PEMBERANTASAN-TERORISME
Universitas Sumatera Utara
(Perpu) nomor 1 tahun 2002, yang pada tanggal 4 April 2003 disahkan menjadi Undang-Undang dengan nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Keberadaan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme di samping KUHP dan UndangUndang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), merupakan Hukum Pidana Khusus. Hal ini memang dimungkinkan, mengingat bahwa ketentuan Hukum Pidana yang bersifat khusus, dapat tercipta karena adanya proses kriminalisasi atas suatu perbuatan tertentu di dalam masyarakat. Karena pengaruh perkembangan zaman, terjadi perubahan pandangan dalam masyarakat. Sesuatu yang mulanya dianggap bukan sebagai Tindak Pidana, karena perubahan pandangan dan norma di masyarakat, menjadi termasuk Tindak Pidana dan diatur dalam suatu perundang-undangan Hukum Pidana. Undang-Undang yang ada dianggap tidak memadai lagi terhadap perubahan norma dan perkembangan teknologi dalam suatu masyarakat, sedangkan untuk perubahan Undang-Undang yang telah ada dianggap memakan banyak waktu. Suatu keadaan yang mendesak sehingga dianggap perlu diciptakan suatu peraturan khusus untuk segera menanganinya. Adanya suatu perbuatan yang khusus dimana apabila dipergunakan proses yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada akan mengalami kesulitan dalam pembuktian.
Universitas Sumatera Utara
Kriminalisasi Tindak Pidana Terorisme sebagai bagian dari perkembangan hukum pidana dapat dilakukan melalui banyak cara, seperti: 11 a. Melalui sistem evolusi berupa amandemen terhadap pasal-pasal KUHP. b. Melalui sistem global melalui pengaturan yang lengkap di luar KUHP termasuk kekhususan hukum acaranya. c. Sistem kompromi dalam bentuk memasukkan bab baru dalam KUHP tentang kejahatan terorisme. Akan tetapi tidak berarti bahwa dengan adanya hal yang khusus dalam kejahatan terhadap keamanan negara berarti penegak hukum mempunyai wewenang yang lebih atau tanpa batas semata-mata untuk memudahkan pembuktian bahwa seseorang telah melakukan suatu kejahatan terhadap keamanan negara, akan tetapi penyimpangan tersebut adalah sehubungan dengan kepentingan yang lebih besar lagi yaitu keamanan negara yang harus dilindungi. Demikian pula susunan bab-bab yang ada dalam peraturan khusus tersebut harus merupakan suatu tatanan yang utuh. Selain ketentuan tersebut, Pasal 103 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menyebutkan bahwa semua aturan termasuk asas yang terdapat dalam buku I Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) berlaku pula bagi peraturan pidana di luar Kitab Undang-Undang
11
http://www.scribd.com/doc/41074702/Terorisme-Di-Indonesia
Universitas Sumatera Utara
Hukum Pidana (KUHP) selama peraturan di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tersebut tidak mengatur lain.
3. Terorisme dan Alat Bukti Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Dalam
hukum acara pidana
Indonesia (KUHAP),
sistem
administrasi peradilan pidana sangatlah tidak memadai apabila ketentuan ini diterapkan untuk pelaku terorisme karena penahanan berdasarkan Pasal 21 KUHAP, ketentuan ini sangatlah mudah dan biasa-biasa saja untuk sebuah kejahatan luar biasa seperti terorisme. Oleh sebab itulah, sangat dimungkinkan aparat penegak hukum (khususnya aparat kepolisian) menyimpang dari prinsip-prinsip tentang due process of law, atau equality before the law yang terdapat dalam ICCPR (International Covenant on Civil and Political Rights) yang sudah diratifikasi oleh Indonesia. Pembatasan terhadap prinsip-prinsip tersebut dapat dilakukan karena undang-undang pun mengenal apa yang disebut derogable rights, hak-hak yang bersifat relatif. 12 Sebagai Undang-Undang khusus, berarti Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 mengatur secara materiil dan formil sekaligus, sehingga terdapat pengecualian dari asas yang secara umum diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)/Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) (lex specialis derogat lex generalis). Keberlakuan 12
http://advokathandal.wordpress.com/perlindungan-hak-asasi-tersangkaterdakwa-dalampemberantasan-terorisme-di-indonesia/
Universitas Sumatera Utara
lex specialis derogat lex generalis, harus memenuhi criteria bahwa pengecualian terhadap Undang-Undang yang bersifat umum, dilakukan oleh peraturan yang setingkat dengan dirinya, yaitu Undang-Undang. Pasal-pasal KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) tentang pembuktian dalam acara pemeriksaan biasa diatur didalam Pasal 183 sampai 202 KUHAP. Pasal 183 KUHAP yang menyatakan Hakim tidak boleh menjatuhkan Pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya ada dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana telah terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Dengan suatu alat bukti saja umpamanya dengan keterangan dari seorang saksi, tidaklah diperoleh bukti yang sah, akan tetapi haruslah dengan keterangan beberapa alat bukti. Dengan demikian maka kata-kata “alat-alat bukti yang sah” mempunyai kekuatan dan arti yang sama dengan “bukti yang sah”. Selain dengan bukti yang demikian diperlukan juga keyakinan hakim yang harus di peroleh atau ditimbulkan dari dari alat-alat bukti yang sah. Sedangkan yang dimaksud dengan alat-alat bukti yang sah adalah sebagaimana yang diterangkan di dalam Pasal 184 KUHAP sebagai berikut : a. Keterangan saksi; b. Keterangan ahli; c. Surat; d. Petunjuk;
Universitas Sumatera Utara
e. Keterangan terdakwa.
Seperti diketahui bahwa didalam pembuktian tidaklah mungkin dan dapat tercapai kebenaran mutlak (absolut). Bahwa semua pengetahuan kita hanya bersifat relatif, yang didasarkan pada pengalaman, penglihatan, dan pemikiran tentang sesuatu yang selalu tidak pasti benar. Jika diharuskan adanya syarat kebenaran mutlak untuk dapat menghukum seseorang, maka sebagian besar dari pelaku tindak pidana tidaklah dapat di hukum, pastilah dapat mengharapkan bebas dari penjatuhan pidana. Satusatunya yang dapat diisyaratkan dan yang sekarang dilakukan adalah adanya suatu kemungkinan besar bahwa terdakwa telah bersalah melakukan perbuatan-perbuatan yang telah di dakwakan sedangkan ketidaksalahannya walaupun selalu ada kemungkinan merupakan suatu hal yang tidak dapat diterima.
Jika hakim atas dasar alat-alat bukti yang selalu yakin bahwa menurut pengalaman dan keadaan telah dapat diterima, bahwa suatu tindak pidana benar-benar telah terjadi dan terdakwalah dalam hal tersebut yang bersalah (guilty), maka terdapatlah bukti yang sempurna, yaitu bukti yang sah dan meyakinkan. 13 Dan dalam hal pembuktian pidana kita mengenal istilah yang berbunyi : “Tidak dipidana tanpa kesalahan”. Dalam bahasa Belanda :“Geen straf zonder schuld” disinilah letak pelunya pembuktian
13
http://arisirawan.wordpress.com/2010/02/18/peranan-barang-bukti-dalam-pembuktian-perkarapidana-menurut-pasal-183-k-u-h-a-p/
Universitas Sumatera Utara
tersebut apakah seseorang benar-benar bersalah menurut apa yang diatur dalam Undang-undang yang ditujukan kepadanya.
Dalam hal tersebut dapatlah disimpulkan bahwa suatu pembuktian haruslah dianggap tidak lengkap, jika keyakinan hakim didasarkan atas alat-alat bukti yang tidak mencukupi. Umpamanya dengan keterangan dari seorang saksi saja ataupun karena keyakinan tentang tindak pidana itu sendiri tidak ada. Maka haruslah ketentuan yang menjadi keharusan didalam Pasal 183 KUHAP tersebut terpenuhi keduanya. Hakim tidak boleh memperoleh keyakinan tersebut dari macam-macam keadaan yang diketahui dari luar persidangan. Tetapi haruslah memperoleh dari bukti yaitu dari alat-alat bukti yang sah dan adanya tambahan dari keterangan barang bukti yang terdapat di dalam persidangan, sesuai dengan syaratsyarat yang di tentukan Undang-undang, umpama dalam hal terdakwa tidak mengakui dari atau dengan kesaksian sekurang-kurangnya dua orang saksi yang telah di sumpah dengan sah dimuka pengadilan.
4. Pengertian Fungsi Intelejen dan Definisi Laporan Intelejen Intelejen merupakan pilar penting bagi kelangsungan hidup suatu pemerintahan, rejim, dan Negara, atau siapaun juga yang mewarisi mahkota sebagai “yang berdaulat” (the sovereign). Di Negara pasca kolonial atau otoriter, fungsi intelejen yang dilakukan oleh dinas polisi rahasia, agen rahasia dan/atau mata – mata (spies) merupakan instrument yang lebih berpihak kepada kekuasaan dari pada rakyat. Di Negara
Universitas Sumatera Utara
demokrasi, termasuk Amerika Serikat, etos intelejen mungkin saja berpihak kepada pelayanan publik namun realitas politik birokrasi acapkali menyebabkan intelejen berpihak kepada kepentingan politik. Kegiatan-kegiatan intelijen negara di tataran strategik, operasional dan taktis dilakukan oleh banyak lembaga yang diberi mandat oleh negara untuk menjalankan fungsi intelijen. Seluruh lembaga yang menjalankan fungsi intelijen harus bergabung dalam suatu mekanisme koordinasi terpadu antar elemen komunitas intelijen nasional. Komunitas intelijen nasional terdiri dari lima tipe organisasi: 14 a. Intelijen nasional yang menjalankan fungsi-fungsi intelijen untuk mengantisipasi ancaman keamanan dalam negeri yang hanya terdiri dari satu organisasi yaitu Badan Intelijen Negara (BIN); b. Intelijen kriminal dan yustisia yang dilakukan oleh intelijen kepolisian, intelijen bea cukai, intelijen imigrasi, serta intelijen kejaksaan.; c. Intelijen pertahanan dan luar negeri yang menjalankan fungsi intelijen strategik untuk mengatasi ancaman keamanan yang bersifat eksternal yang hanya terdiri dari satu organisasi yaitu Badan Intelijen Strategis (BIS) yang berada di bawah Departemen Pertahanan; 14
http://www.propatria.or.id/loaddown/Paper%20Diskusi/Rationale,%20Hakikat%20dan%20Pengat uran%20Fungsi%20Intelijen%20-%20Kusnanto%20Anggoro.pdf
Universitas Sumatera Utara
d. Intelijen-intelijen tempur yang melekat pada satuan-satuan tempur yang diwakili oleh asisten-asisten intel di Mabes TNI dan angkatan; dan e. Lembaga-lembaga pemerintahan yang fungsinya dan atau terkait dengan masalah-masalah keamanan nasional seperti Lembaga Sandi Negara, Badan SAR Nasional, Badan Narkotika Nasional, Badan Meteriologi dan Geofisika , Badan Pusat Statistik (BPS), lembaga-lembaga yang menjalankan fungsi
pengintaian
dan
pengindraan
(Surveillance
and
reconnaissance), Lembaga Elektronika Nasional, Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional, serta Badan Tenaga Atom Nasional. Dalam perkembangannya fungsi peringatan dini dan perkiraan akhirnya menjadi fungsi intelijen. Meletakkan fungsi ini kepada intelijen bukan hasil suatu proses akademik dan intelektual tetapi lebih kepada hasil pengalaman sejarah dan kecenderungan manusia untuk menghindar dari beban berat ketika peristiwa besar itu terjadi. Apa pun prosesnya, nampaknya harus sepakat bahwa fungsi peringatan dini dan perkiraan menjadi fungsi intelijen dan intelijen harus siap menaggung beban dan konsekuennya. Dalam kalimat yang lebih arif dirumuskan bahwa fungs iintelijen nadalah menyampaikan fakta-fakta dan meyakinkan para pengambil keputusan.
F. Metode Penelitian
Universitas Sumatera Utara
Metode penelitian adalah suatu proses yang menjelaskan tentang cara pelaksanaan kegiatan penelitian mencakup cara pengumpulan data, alat yang digunakan, dan cara analisis data. 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan oleh penulis adalah metode penelitian Deskriptif
Analisis,
yaitu
metode
penelitian
yang
bertujuan
menggambarkan dan menganalisis fakta yang terjadi apa adanya dan dikaitkan dengan teori hukum, dan pelaksanaanya yang menyangkut dengan permasalahan yang diteliti. 2. Sumber Data Adapun sumber data yang digunakan dalam penelitian ini ádalah: 15 a. Bahan Hukum Primer, yaitu perundang-undangan nasional, yang berkaitan erat dengan variabel penelitian, berupa: UndangUndang Dasar 1945, Undang-Undang Hukum Acara Perdata, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan yang
menberikan
penjelasan mengenai bahan-bahan primer dan dapat membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer, seperti hasil karya ilmiah, hasil penelitian serta biografi hukum. c. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti Artikel, Koran, dan lain-lain. 15
Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia pada Akhir Abad Ke-20, Alumni Bandung, 2006,hlm.134
Universitas Sumatera Utara
3. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan adalah: a. Penelitian Kepustakaan (Library Research) Menurut Soerjono Soekanto, Penelitian Kepustakaan yaitu: “Penelitian terhadap data sekunder, yang dengan teratur dan sistematis menyelenggarakan pengumpulan dan pengolahan bahan pustaka untuk disajikan dalam bentuk layanan yang bersifat edukatif, informatif dan rekreatif kepada masyarakat.”16 b. Penelitian Lapangan (Field Research) Penelitian ini dilakukan dengan cara mengambil data yang ada hubungannya dengan judul penelitian yang diperoleh dari instansi Pemerintah Daerah yang bersangkutan, dan melakukan wawancara dengan pihak yang terkait, kemudian disusun secara sistematis untuk dianalisis, yang kemudian diambil kesimpulan secara ilmiah yang dapat dipertanggung jawabkan. 4. Analisis Data Pada tahap selanjutnya, setelah memperoleh data dan mengolah data tersebut, maka dilanjutkan dengan menganalisis data yang diperoleh baik dari bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder dan membahas permasalahannya. Dengan penganalisaan data primer dan data sekunder secara kualitatif dari sudut pandang ilmu hukum. Data primer
16
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, PT.Raja Grafindo Persada Jakarta, 2001. hlm. 42
Universitas Sumatera Utara
dan data sekunder yang diperoleh dari penelitian telah disusun dengan teratur dan sistematis, kemudian dianalisa untuk mendapatkan suatu kesimpulan
G.
Sistematika Penulisan Bab I, Pendahuluan. Pada bab ini dijelaskan tentang latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian dan sistematikan penulisan juga di uraikan dalam bab ini. Bab II, Menjelaskan dan menguraikan bagaimana tinjauan tentang Tinjauan Yuridis bukti forensik dan Laporan Intelejen dalam mengungkap tindak pidana terorisme pada tahap penyidikan mengenai Sebelum berlakunya UU No.15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan tindak Pidana terorisme, Dalam Undang-undang No.8 Tahun 1981 tentang KUHAP, Sistem Pembuktian, Beban Pembuktian, Alat Bukti Dalam Undangundang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Terorisme , Dasar Hukum Laporan Intelejen dan Laporan Intelejen yang dapat dijadikan bukti permulaan Bab III, menjelaskan dan menguraikan bagaimana Peranan Kepolisian Resort kota Medan (Unit Jatanras) dalam mengumpulkan informasi dan keterangan lain guna melengkapi pembuktian yang terkait tindak pidana terorisme berupa Tinjauan Polresta Medan dan susunan fungsi unit jatanras, Kegiatan yang dilakukan dalam upaya mengumpulkan alat bukti,
Universitas Sumatera Utara
Jaringan Intelejen dan pemberdayaan masyarakat dan Kendala yang dihadapi Polresta Medan dalam mengumpulkan alat bukti terkait tindak pidana Terorisme. Bab IV, Penutup. pada bab ini dijelaskan tentang kesimpulan dan saran
Universitas Sumatera Utara