BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hak-hak asasi manusia (selanjutnya disebut HAM) merupakan hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia, kodrati dan alami sebagai mahluk Tuhan Yang Mahakuasa.1 HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada diri setiap orang, karena statusnya sebagai manusia. Di Indonesia definisi dari HAM dapat dilihat dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang No.39 Tahun 1999 tentang HAM disebutkan bahwa “HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”.2 Hal senada juga dikatakan oleh Plato yang telah meletakkan dasar-dasar hukum bagi perlindungan HAM yang dianggapnya merupakan kewajiban bagi pemerintah suatu negara, ketika ia mengatakan bahwa pemerintah harus mengupayakan
kepentingan
rakyatnya
dan
menjamin
kebebasan
warga
negaranya.3 Hal ini menegaskan bahwa salah satu dari kewajiban negara adalah memenuhi hak-hak asasi warga negaranya, termasuk hak atas kebebasan.4
1
Madja El Muhtaj, 2013, Dimensi-dimensi HAM menguai Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, RajaGrafindo, Jakarta, h. 87. (Selanjutnya disebut Madja El Muhtaj I) 2 Lihat Pasal 1 UU No.39 tahun 1999 tentang HAM. 3 Plato dalam OC Kaligis, 2009, Antologi Tulisan Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, h.2. 4 Ibid.
HAM juga menjadi kajian Hukum HAM internasional. Hukum HAM internasional adalah hukum yang memberikan perlindungan internasional untuk hak-hak asasi dan kebebasan pribadi dan kelompok pribadi atas penyalahgunaan kekuasaan oleh pemerintah dan dalam hal tertentu juga atas kelakuan pribadi, kelompok pribadi dan organisasi swasta lain dan mengusahakan serta menjamin bagi mereka iklim hidup yang sesuai dengan martabat manusia.5 Secara historis HAM sebagaimana yang saat ini dikenal, memiliki riwayat perjuangan panjang. Yamin bahkan melihat rujukannya lebih ke belakang lagi yaitu Magna Carta (1215) dan Habeas Corpus (1676).6 Magna Carta yang memiliki 63 pasal lahir sebagai akibat kesewenang-wenangan Raja John yang memicu pemberontakan kaum bangsawan dan rakyat Inggris.7 Lebih dari empat abad kemudian tepatnya tahun 1967, sebagai reaksi terhadap kesewenangwenangan militer Inggris yang melakukan penangkapan warga, rakyat Inggris melakukan tekanan terhadap Parlemen Inggris agar memproklamirkan dokumen yang bernama Habeas Corpus dimana dokumen yang tidak panjang ini mempunyai dua pasal penting.8 Pasal 2 Habeas Corpus mengatur warga Negara yang rentan terhadap kesewenang-wenangan agar selalu dilindungi.9 Pasal 3
5
Peter Baehr et. al., 2001, Instrumen Internasional Pokok Hak-Hak Asasi Manusia, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, h.14. 6 Marianus kleden, 2009, Hak Asasi Manusia Dalam Masyarakat Komunal, Jakarta, Lamalera, h. 20. 7 Ibid. 8 Ibid. 9 Ibid.
Habeas Corpus mengatur bahwa aparat keamanan hanya boleh bertindak sesuai dengan aturan yang berlaku.10 Perjuangan yang lebih nyata terlihat pula dalam Bill of Rights yang ditandatangani oleh Raja Willem III pada tahun 1689 sebagai hasil dari pergolakan politik yang dahsyat yang biasa disebut the Glorious Revoultion.
11
Glorious Revoultion tidak saja mencerminkan kemenangan parlemen atas raja, akan tetapi juga menggambarkan rentetan kemenangan rakyat dalam pergolakan – pergolakan yang menyertai perjuangan Bill of Rights yang berlangsung tak kurang dari 60 tahun lamanya.12 Perkembangan selanjutnya dari HAM adalah dengan ditanda tanganinya Petition of Rights pada tahun 1628 oleh Raja Charles I.13 Dalam hubungan ini Raja berhadapan dengan utusan rakyat (House of Commons).14 Puncak perkembangan perjuangan HAM tersebut yaitu ketika „Human Rights‟ itu untuk pertama kalinya dirumuskan secara resmi dalam „Declaration of Independence’ Amerika Serikat pada tanggal 4 Juli tahun 1776 yang menyatakan bahwa seluruh umat manusia dikaruniai oleh Tuhan Yang Maha Esa beberapa hak yang tetap dan melekat padanya.15 Perumusan HAM secara resmi kemudian
10
Ibid. Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, 2006, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konsitusi RI, Jakarta, h. 97.(Selanjutnya disebut Jimly Asshiddiqie I) 12 Ibid. 13 Moh.Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 1983, Hukum tata Negara Indonesia, Sinar Bakti, Jakarta, h. 56. 14 Kaelan dan Achmad Zubaidi, Pendidikan Kewarganegaraan, 2012, Paradigma, Jakarta, h.99 15 Ibid. 11
menjadi dasar pokok konstitusi Negara Amerika Serikat tahun 1787, yang mulai berlaku 4 Maret 1789.16 Dalam rangka penegakan terhadap HAM yang mencakup bidang-bidang yang lebih luas itu.17 Franklin Roosevelt, Presiden Amerika pada permulaan abad ke-20 memformulasikan empat macam hak-hak asasi yang kemudian dikenal dengan „The Four Freedom’ itu adalah : (1) Freedom of speech, yaitu kebebasan untuk berbicara dan mengemukakan pendapat. (2) Freedom of Religion, yaitu kebebasan beragama, (3) Freedom from Fear, yaitu kebebasan dari rasa ketakutan, dan (4) Freedom from Want, yaitu kebeasan dari kemelaratan.18 Hal inilah yang kemudian menjadi inspirasi dari Universal Declaration of Human Right 1948 yang dibuat oleh Perserikatan Bangsa-bangsa.19 Universal Declaration of Human Right 1948 (selanjutnya disebut sebagai UDHR) antara lain mencantumkan, bahwa setiap orang mempunyai Hak :20 1. Hidup 2. Kemerdekaan dan keamanan badan 3. Diakui kepribadiannya dan memperoleh pengakuan yang sama dengan orang lain menurut hukum untuk mendapat jaminan hukum dalam perkara pidana, seperti diperiksa di muka umum, dianggap tidak bersalah kecuali ada bukti yang sah 4. Masuk dan keluar wilayah suatu negara 5. Mendapatkan suaka (hak untuk memberi kesempatan kepada suatu Negara dalam memeberikan perlindungan kepada warga negara asing yang melarikan diri) 6. Mendapatkan suatu kebangsaan 7. Mendapatkan hak milik atas benda 16
Ibid, h.101. Ibid. 18 Ibid. 19 Ibid. 20 Boer Mauna, 2011, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan, dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, PT Alumni, Bandung, h. 679. 17
8. Bebas mengutarakan pikiran dan perasaan 9. Bebas memeluk agama 10. Mengeluarkan pendapat 11. Berapat dan berkumpul 12. Mendapat jaminan sosial 13. Mendapatkan pekerjaan 14. Berdagang 15. Mendapatkan pendidikan 16. Turut serta dalam gerakan kebudayaan dalam masyarakat 17. Menikmati kesenian dan turut serta dalam kemajuan keilmuan UDHR walaupun tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, memiliki nilainilai normatif serta seruan moral dan berisikan pernyataan sikap dari negaranegara untuk menjaga dan melindungi nilai-nilai HAM dunia, sehingga memiliki ikatan moral dan merupakan pedoman bagi negara-negara dalam menjalankan kebijakan-kebijakan yang berorientasi pada perlindungan HAM. Nilai-nilai yang digariskan dalam UDHR juga telah dikristalisasikan dalam konstitusi dan undangundang berbagai negara, sehingga dapat dikatakan bahwa UDHR memiliki nilainilai yang hidup, bersifat universal, dan esensial bagi pelaksanaan perlindungan HAM global. UDHR
tersebut
tidak
mengikat
bagi
negara-negara
yang
ikut
menandatanganinya, diharapkan agar negara-negara anggota Persatuan BangsaBangsa (selanjutnya disebut PBB) dapat mencantumkannya dalam Undangundang Dasar masing-masing atau peraturan perundang-undangan lainnya sehingga norma hukum yang terkandung di dalamnya dapat diberlakukan sebagai hukum domestik di masing-masing negara anggota.21
21
Jimly Asshiddiqie I, op.cit, h.349.
Dikukuhkannya naskah UDHR ini, ternyata tidak cukup mampu untuk mencabut akar-akar penindasan disemua negara.22 Karena itu, tidaklah mengherankan apabila PBB terus berupaya mencari beberapa landasan yuridis, dengan maksud agar naskah tersebut dapat mengikat seluruh negara di dunia.23 18 Tahun kemudian, PBB berhasil juga melahirkan Covenant on Economic, Social and Cultural Rights atau Perjanjian tentang hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya (selanjutnya disebut sebagai ICESCR) dan Covenant on Civil and Political Rights atau Perjanjian tentang hak-hak sipil dan politik (selanjutnya disebut sebagai ICCPR).24 Kedua kovenan tersebut dapat dipandang sebagai peraturan pelaksanaan atas naskah UDHR. Secara yuridis meratifikasikan kedua kovenan ini, bukan saja menyebabkan negara-negara anggota terikat secara hukum, akan tetapi juga merupakan sumbangan terhadap perjuangan HAM di dunia.25 Indonesia merupakan negara anggota PBB mempunyai tanggung jawab untuk melaksanakan ketentuan yang tercantum dalam deklarasi tersebut. Demi tegaknya HAM setiap orang maka diatur pula kewajiban dasar manusia, antara lain kewajiban untuk menghormati HAM orang lain dan konsekuensinya setiap orang harus tunduk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain itu juga diatur kewajiban dan tanggung jawab pemerintah untuk menghormati, melindungi, menegakkan serta memajukan HAM tersebut yang diatur dalam
22
Ibid. Ibid . 24 Ibid. 25 Ibid. 23
peraturan perundang-undangan dan hukum internasional yang diterima oleh Negara Republik Indonesia. Melalui Ketetapan MPR No.XVII/1998 tentang HAM dibentuknya Undangundang No.39 Tahun 1999 tentang HAM. Undang-undang 39 Tahun 1999 (selanjutnya disebut UU HAM) tersebut terdiri dari 105 Pasal yang meliputi berbagai macam hukum tentang hak asasi, perlindungan hak asasi hingga pembatasan terhadap kewenangan pemerintah.26 Indonesia telah meratifikasi ICCPR melalui Undang-undang No.11 Tahun 2005 dan ICESCR melalui Undangundang No.12 Tahun 2005.27 Di Indonesia HAM dijunjung tinggi bila melihat kembali sejarah pembentukan Undang-Undang Dasar 1945. Fakta sejarah menunjukkan bahwa Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 telah terlebih dahulu merumuskan HAM dari pada Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia PBB.28 Dimana bahwa Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 beserta pasal-pasalnya disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945, sedangkan UDHR pada tahun 1948.29 Sebagai bagian dari masyarakat Internasional yang menjunjung HAM Indonesia memiliki UU HAM dan Undang-Undang No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Indonesia telah meratifikasi perjanjian-perjanjian internasional lain tentang HAM, sehingga melahirkan konsekuensi bahwa ketentuan-ketentuan yang dikandung dalam perjanjian-perjanjian tersebut telah terinkoporasi dalam 26
Oc Kaligis, op.cit, h.5. Ibid. 28 Kaelan dan Achmad zubaidi, op.cit, h.102. 29 Ibid. 27
sistem hukum nasional Indonesia dan menimbulkan kewajiban bagi Indonesia untuk melaksanakannya dengan sebaik-baiknya.30 Melihat kebakaran hutan dan lahan terjadi di Indonesia setiap tahun dengan luas cakupan dan jumlah titik api yang bervariasi. Bencana asap dari kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Provinsi Sumatera Selatan, Jambi dan Riau pada tahun 2015, bahkan kebakaran hutan di Indonesia pada tahun 2015 semakin menarik perhatian dunia Internasional sebagai isu lingkungan dan ekonomi. Dapat dikatakan melanggar prinsip yang terkandung didalam Deklarasi Rio yang merupakan penindaklanjutan dari Deklarasi Stockholm sebagai cikal bakal dari tumbuh dan perkembangan hukum lingkungan internasional.31 Indonesia merupakan negara pihak dari 113 Negara peserta Konferensi Stockholm 1972.32 Setelah berlangsungnya Deklarasi Stockholm, Pemerintah Republik Indonesia telah mengambil langkah-langkah lebih lanjut di bidang pengelolaan lingkungan hidup dengan menghasilkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup yang kini menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.33 Dampak kebakaran hutan dan lahan yang paling menonjol adalah terjadinya kabut asap yang sangat menggangu kesehatan masyarakat dan sistem transportasi sungai, darat, laut dan udara. Secara sektoral dampak kebakaran ini mencakup
30
Oc Kaligis, op.cit, h.6. Takdir Rahmadi, 2013, Hukum Lingkungan Di Indonesia, RajaGrafindo, Jakarta, h.48. 32 Ibid. 33 Ibid. 31
sektor perhubungan, kesehatan, ekonomi, termasuk citra bangsa di mata negara tetangga dan dunia bahkan sudah mempengaruhi hubungan politik antar negara tetangga. Dalam negeri, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Tjandra Yoga Aditama mengatakan kabut asap bisa berakibat fatal terhadap kesehatan tubuh. Sekalipun memang risiko kematian akibat kabut asap relatif kecil. Tjandra menjelaskan, ada tiga kemungkinan gangguan kesehatan yang bisa muncul dan berakibat fatal bagi penderitanya, salah satunya infeksi saluran pernapasan atas (ISPA)."Infeksi yang memburuk, ISPA, misalnya, yang kemudian memburuk menjadi pneumonia, yang bila tidak tertangani dengan baik dan pada mereka yang rendah daya tahan tubuhnya dapat fatal akibatnya," tuturnya. Dia menambahkan, kemungkinan kedua adalah penyakit paru-paru dan jantung kronis, terutama pada orang lanjut usia. Ketiga, kematian yang timbul bukan karena penyakit, melainkan lantaran kecelakaan akibat kebakaran yang luas, baik langsung karena api kebakaran, kerusakan bangunan, atau asap yang menghalangi pandangan pengendara sehingga menimbulkan kecelakaan.34 Kabut asap yang mengganggu penerbangan membuat Bandara Sultan Syarif Kasiem II Pekanbaru rugi hingga Rp 1,5 miliar, bagaimana tidak Dinas perhubungan mencatat penerbangan yang tertunda (delay) mencapai 201 penerbangan, dialihkan (divert) sebanyak 26 penerbangan, kembali ke bandara 34
Tempo.com, Darurat Kabut Asap Apa Dampaknya Buat Kesehatan, 2015, URL : http://gaya.tempo.co/read/news/2015/09/14/060700293/darurat-kabut-asap-apa-dampaknya-buatkesehatan, diakses pada tanggal 2 Oktober 2015.
asal sebanyak 4 penerbangan, dan 178 dibatalkan. Terganggunya penerbangan tersebut membuat pengusaha merugi miliaran rupiah dan membuat anjloknya perekonomian Riau.35 Permasalahan kabut asap ini menjadi masalah internasional karena kasus ini menimbulkan pencemaran di negara-negara tetangga. Propinsi Riau yang letaknya berdekatan dengan Malaysia dan Singapura menjadi sumber pencemaran bagi kedua negara tersebut. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyatakan angin membawa asap akibat kebakaran hutan dan lahan di Sumatera dan Kalimantan masuk ke Singapura dan sebagian wilayah Serawak, Malaysia.36 Badan Lingkungan Nasional (National Environment Agency) Singapura menyatakan kualitas udara di negeri itu dari tanggal 2 oktober 2015 hingga 3 oktober 2015 telah berada pada kisaran tak sehat. Buruknya udara di Negeri Singa diakibatkan „kiriman‟ asap kebakaran hutan dari Sumatera, Indonesia.37 Dapat dikatakan bahwa Indonesia telah menciderai HAM secara Internasional. Berdasarkan uraian tersebut di atas, penulis tertarik untuk menelusuri HAM yang dilanggar oleh Indonesia dalam bentuk Skripsi dengan Judul “ ANALISIS PELANGGARAN HAM TERHADAP KEBAKARAN HUTAN DI INDONESIA DARI PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL“
35
Tempo.com, Kabut Asap Bandara pekanbaru rugi Rp 15 Miliar, 2015, URL : http://bisnis.tempo.co/read/news/2015/09/22/090702840/kabut-asap-bandara-pekanbaru-rugi-rp-15-miliar, diakses pada tanggal 2 Oktober 2015. 36 Antaranews.com, Kabut Asap Masuki Singapura dan sebagian Malaysia, 2015, URL : http://www.antaranews.com/berita/517630/kabut-asap-masuki-singapura-dan-sebagian-malaysia, diakses pada tanggal 2 Oktober 2015. 37 Cnn Indonesia.com, Singapura sesak dikepung asap kebakaran hutan RI, 2015, URL : http://www.cnnindonesia.com/internasional/20150913102353-106-78374/singapura-sesakdikepung-asap-kebakaran-hutan-ri/, diakses pada tanggal 2 Oktober 2015.
1.2
Rumusan Masalah Dari uraian latar belakang yang dikemukakan di atas, maka dapat ditarik
suatu rumusan masalah sebagai berikut: 1. Hak Asasi Manusia (HAM) apa saja yang dilanggar oleh Indonesia terkait kebakaran hutan di Indonesia ditinjau dari Instrumen HAM Internasional ? 2. Bagaimana pertanggungjawaban Indonesia di Pengadilan Internasional atas pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) terhadap warga negaranya dan
warga negara lain yang terkena dampak dari
kebakaran?
1.3
Ruang Lingkup Masalah Dalam penulisan karya tulis ilmiah, perlu ditegaskan materi yang diatur
didalamnya. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari pembahasan materi yang terlalu melebar dan pada akhirnya menyimpang dari pokok permasalahan yang telah dirumuskan. Karenanya, ruang lingkup masalah yang akan dikaji dalam karya tulis ilmiah ini adalah sebagai berikut : 1. Akan dibahas mengenai bentuk-bentuk pelanggaran HAM yang mengakibatkan kebakaran hutan di Indonesia. Adapun bentuk pelanggaran
yang
dimaksud
adalah
ketentuan-ketentuan
yang
dituangkan di dalam instrumen International Covenant on Civil and Political Right (ICCPR) dan International Covenant on Economic, Social and Cultural Right (ICESCR) dan instrumen yang relevan.
2. Akan dibahas mengenai penyelesaian terhadap pelanggaran HAM oleh Indonesia di pengadilan internasional oleh beberapa pihak yang dirugikan akibat dampak dari kebakaran hutan di Indonesia. 1.4
Tujuan Penelitian Adapun tujuan-tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah
sebagai berikut 1.4.1
Tujuan Umum
Tujuan umum dalam penulisan skripsi ini yaitu : 1. Sebagai pelaksanaan dari Tri Dharma Perguruan Tinggi, khususnya di bidang penulisan ilmiah yang dilakukan oleh mahasiswa. 2. Untuk lebih memahami dan memperdalam pemahaman mengenai pengaturan HAM dalam hukum internasional dan sebagai sumbangan
ilmu
pengetahuan
bagi
masyarakat
tentang
perlindungan HAM dalam hukum internasional. 1.4.2
Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus penulisan skripsi ini, yaitu : 1. Untuk menganalisa pelanggaran-pelanggaran HAM yang telah terjadi diakibatkan kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia. 2. Untuk menganalisis sanksi hukum internasional yang dapat dikenakan kepada Indonesia sebagai akibat dari kelalaian Indonesia melindungi HAM secara universal.
1.5.
Manfaat Penelitian Penulisan skripsi ini diharapkan memberi manfaat sebagai berikut : 1.5.1
Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman mengenai Hukum HAM internasional. Selain itu diharapkan dapat dijadikan referensi tambahan untuk pengembangan Ilmu Hukum secara Umum, khususnya di bidang hukum internasional. 1.5.2
Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini secara praktis diharapkan dapat memberikan sumbangan penelitian sebagai bahan acuan, pertimbangan, perbandingan, dan
penyempurnaan
bagi
penelitian
selanjutnya
dalam
rangka
meningkatkan perhatian di kalangan HAM Internasional dan menjadi pedoman praktek dalam menegakan hukum internasional sehingga negara dan individu selaku subyek hukum internasional dapat menghormati dan ikut menjaga HAM guna mewujudkan perdamaian dunia.
1.6. Landasan Teoritis Dalam skripsi ini penulis menggunakan beberapa landasan teori sebagai dasar untuk mengembangkan informasi yang didapat, diantaranya : 1.
Teori Common Consent dan Teori Pacta Sunt Servada Teori common consent berpendapat bahwa dasar mengikatnya hukum
internasional adalah persetujuan bersama dari negara-negara yang berdaulat untuk mengikatkan diri pada kaidah-kaidah hukum internasional.
Teori Pacta Sunt Servada, Teori ini bertolak dari ajaran Mazhab Wina yang mengembalikan segala sesuatunya kepada suatu kaidah dasar, memang dapat menerangkan secara logis darimana kaidah hukum internasional itu memperoleh kekuatan mengikatnya.38 Asas pacta sunt servanda pada mulanya dikenal di dalam hukum gereja, di adakan hukum gereja itu disebutkan bahwa terjadinya suatu perjanjian apabila ada kesepakatan kedua belah pihak dan dikuatkan dengan sumpah dengan artian mengandung makna bahwa setiap perjanjian yang diadakan oleh kedua belah pihak merupakan perbuatan yang sakral dan dikaitkan dengan unsur keagamaan.39 Dalam perkembangannya asas pacta sunt servada diberi arti pactum, yang berarti sepakat tidak perlu dikuatkan dengan sumpah dan tindakan formalitas lainnya.40 2.
Prinsip Universalitas Hak Asasi Manusia HAM pada prinsipnya bersifat universal, artinya berlaku sama disemua
tempat, baik secara teori maupun praktik.41 Hak asasi manusia yang diformulasikan dalam Deklarasi UDHR diyakini memiliki sifat universal; dimanapun dan kapan saja dapat diberlakukan.42 Deklarasi yang diadopsi pada 10 Desember 1948 ini dielaborasi dalam berbagai perjanjian internasional, yang
38
T.May Rudy, 2002, Hukum Internasional 1, Refika Aditama, Jakarta, h.41. Salim HS, Abdullah, dan Wiwiek Wahyuningsih, 2008, Perancangan Kontrak dan Memorandum Of Understanding, Sinar Grafika, Jakarta, h2. 40 Ibid. 41 Asep Mulyana, Perkembangan Pemikiran HAM, 2015, URL: http://referensi.elsam.or.id/2015/01/perkembangan-pemikiran-ham/, diakses pada tanggal 29 November 2015. 42 Anton Pradjasto, Aplikabilitas Hak Asasi Manusia Secara Universal, 2014, URL: http://referensi.elsam.or.id/2014/12/aplikabilitas-hak-asasi-manusia-secara-universal/, diakses pada tanggal 29 November 2015. 39
kemudian menjadi standar dasar tentang perilaku terutama antara negara terhadap warganya.43 3.
Prinsip Hak Asasi Manuisa yang bersifat Inheren Prinsip ini mengatakan bahwa HAM adalah hak yang melekat di dalam diri
pribadi, dan hak ini merupakan yang paling mendasar bagi setiap individu untuk berdiri dan hidup secara merdeka dalam komunitas-komunitas masyarakat. Dengan arti bahwa sejak lahir, sehingga tidak bisa digugat dengan kepentingan kekuasaan, ambisi dan hasrat.44 4.
Hubungan Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional dengan Hukum Internasional Hukum HAM internasional merupakan salah satu bidang cakupan hukum
internasional publik yang mulai berkembang pada abad 20. Hukum HAM internasional
berkembang
melalui
lahirnya
sejumlah
instrumen
hukum
internasional baik yang bersifat mengikat seperti misalnya ICCPR dan ICESCR maupun yang tidak bersifat mengikat seperti misalnya UDHR. Dalam perkembangannya hukum internasional juga berkembang melalui kiprah sejumlah lembaga HAM internasional. Lembaga-lembaga tersebut dapat dibentuk melalui konvensi, seperti komite-komite HAM ataupun dibentuk sebagai organ suatu organisasi internasional seperti contohnya Dewan HAM PBB (UN Human Rights Council) dan AICHR (Intergovernmental Commission on Human Rights).
43
Ibid. Harifin A. Tumpa, 2010, Peluang Dan Tantangan Eksistensi Pengadilan HAM di Indonesia, Prenada Media, Jakarta, h.1. 44
5.
Teori hak-hak alami (natural rights) Teori ini berpandangan bahwa HAM adalah hak yang dimiliki seluruh umat
manusia pada segala waktu dan tempat berdasarkan takdirnya sebagai manusia (human rights are rights that belong to all human being at all times and in all places by virtue of being born as human beings).45 6.
Teori Kehendak Negara (Voluntaris) Teori ini menyatakan bahwa mengikatnya hukum internasional bukan karena
kehendak negara-negara secara sendiri-sendiri, melainkan karena kehendak negara secara bersama-sama atas dasar kepentingan bersama negara-negara. Berdasarkan teori voluntaris disebutkan bahwa kekuatan mengikat suatu hukum internasional itu terbatas pada kehendak negara yang bersangkutan dan negara tersebut tidak dapat melepaskan dirinya secara sepihak dari perjanjian internasional yang telah dibuatnya dikarenakan kehendak negara itu adalah juga kehendak bersama dari negara-negara peserta lain.46 7.
Prinsip kedaulatan dan tanggung jawab negara (sovereignty and state responsibility ) Prinsip sovereignty and state responsibility ini dirumuskan dalam Prinsip ke-
2 Deklarasi Rio yang lengkapnya berbunyi :47 States have, in accordance with the Charter of the United Nations and the principles of international law, the sovereign right to exploit their own resources pursuant to their own environmental and development policies, and the responsibility to ensure that activites within their jurisdiction or control do not
45
Madja El Muhtaj I, op.cit, h. 5. Wagiman, 2012, Hukum Pengungsi Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, h.24. 47 Lihat Principle 2 Rio Declaration on Environment and Development. 46
cause damage to the environment of other states or of areas beyond the limits of national jurisdiction.
Prinsip kedaulatan dan tanggung jawab negara mengandung makna, bahwa tiap negara diakui kedaulatannya untuk memanfaatkan sumber daya alam dan lingkungan hidup yang berada dalam batas-batas territorial atau yurisdiksi negara yang bersangkutan.48 Kedaulatan atau hak pemanfaatan itu harus disertai dengan tanggung jawab, yaitu pemanfaatan itu tidak boleh menimbulkan kerugian terhadap negara-negara lain atau wilayah-wilayah di luar batas yurisdiksi Negara itu.49 8.
Yurisdiksi Negara Kata yurisdiksi (jurisdiction) berasal dari kata yurisdictio. Kata yurisdictio
berasal dari dua kata yaitu kata Yuris dan Diction. Yuris berarti kepunyaan hukum atau kepunyaan menurut hukum. Adapun Dictio berarti ucapan, sabda atau sebutan. Dengan demikian dilihat dari asal katanya Nampak bahwa yurisdiksi berkaitan dengan masalah hukum, kepunyaan menurut hukum atau kewenangan menurut hukum.50 Yurisdiksi negara dalam hukum Internasional merupakan Hak dari suatu negara untuk mengatur dan mempengaruhi dengan langkah-langkah atau tindakan yang bersifat legislatif, yudikatif dan eksekutif atas hak-hak individu, milik atau
48
Takdir Rahmadi, op.cit, h.14. Ibid. 50 Isma Haneen, Yurisdiksi Negara Dalam Hukum Internasional, URL : http://ishmaalhamid.blogspot.co.id/2013/05/yurisdiksi-negara-dalam-hukum.html, diakses pada tanggal 24 Maret 2016. 49
harta kekayaannya, perilaku-perilaku atau peristiwa-peristiwa yang tidak sematamata merupakan masalah dalam negeri.51
1.7.
Metode Penelitian Salah satu cara yang dapat ditempuh untuk mendapatkan kebenaran adalah
dengan penelitian secara ilmiah, hal tersebut berarti suatu metode yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa permasalahan dengan jalan menganalisanya dan dengan mengadakan pemeriksaan yang mendalam untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas masalah-masalah yang timbul.52 Untuk dapat dinyatakan sebagai skripsi, maka diperlukan suatu metodologi yang tentunya bertujuan untuk mengadakan pendekatan atau penyelidikan ilmiah yang bersahaja. Adapun metodologi penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi adalah sebagai berikut : 1.7.1
Jenis Penelitian Tulisan ini merupakan penelitian hukum normatif atau penelitian hukum
doktriner karena penelitian ini dilakukan dan ditujukan hanya pada peraturan– peraturan yang tertulis atau bahan–bahan hukum yang lain disebabkan penelitian ini lebih banyak dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan, yang termasuk pada data sekunder meliputi buku–
51
Hadi R Purnama, Yurisdiksi Negara, URL : https://am8ara.wordpress.com/2012/05/01/yurisdiksi-negara/, diakses pada tanggal 24 Maret 2016. 52 Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2013, Pedoman Pendidikan Fakultas hukum Universitas Udayana, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, h.74.
buku, buku–buku harian, surat–surat pribadi dan dokumen–dokumen resmi dari pemerintah.53 1.7.2
Jenis Pendekatan
Dalam penelitian Hukum terdapat beberapa jenis pendekatan, antara lain : 1. Pendekatan Kasus (The Case Approach). 2. Pendekatan perundang-undangan (The statutory approach). 3. Pendekatan Fakta (the fact approachi). 4. Pendekatan analisis konsep hukum (analytical and conceptual approach). 5. Pendekatan Frasa (word and phrase approach). 6. Pendekatan Sejarah (Historical Approach). Pendekatan yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah : 1. Pendekatan Perundang-undangan (the statutory approach) 2. Pendekatan Kasus (The Case Approach)
1.7.3
Sumber Bahan Hukum
Sumber bahan hukum dalam suatu penelitian yang bersifat normatif, haruslah berdasar pada studi bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.54 Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penulisan skripsi ini menggunakan tiga sumber bahan hukum primer dan sumber bahan hukum sekunder.
53
Philips Dillah dan Suratman, 2013, Metode Penelitian Hukum, Alfabeta, Jakarta, Hal.51. Hadin Muhjad, 2012, Penelitian Hukum Indonesia Kontemporer, Genta Publishing, Jogjakarta.H.51. 54
1. Sumber bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang digunakan sifatnya mengikat terutama berpusat pada peraturan perundang-undangan. Bahan hukum primer yang digunakan, yaitu :
Universal Declaration of Human Rights 1948 (Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia).
International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik).
Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya).
Rio Declaration on Environment and Development (Deklarasi Rio tentang Lingkungan Hidup dan Pembangunan).
Statute of The International Court Of Justice (Statuta International Court of Justice).
2. Sumber bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti, rancangan Undang-undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, dan seterusnya.55 3. Bahan Hukum Tersier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder; contohnya adalah kamus, ensiklopedia, indeks kumulatif, dan seterusnya.56
55 56
Soerjono Soekanto, 2013, Penelitian Hukum Normatif, RajaGrafindo, Jakarta. h. 13. Ibid.
1.7.4
Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan bahan-bahan hukum yang dipergunakan dalam penulisan ini adalah teknik studi dokumen. Studi Dokumen merupakan suatu langkah awal dari setiap penelitian hukum.57 Teknik studi dokumen dilakukan dengan mengumpulkan bahwan hukum terhadap sumber kepustakaan yang sesuai dan berhubungan dengan permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini. Pengumpulan bahan-bahan hukum dalam penulisan skripsi ini diperoleh melalui : 1. Pengumpulan
bahan
hukum
primer
dilakukan
dengan
cara
mengumpulkan peraturan yang berkaitan dengan masalah dibahas dalam skripsi ini. 2. Pengumpulan bahan hukum sekunder dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan.
1.7.5
Teknik Analisis Bahan Hukum
Adapun teknik analisis pada karya ilmiah ini, yaitu setelah bahan hukum terkumpul kemudian dianalisis menggunakan teknik deskripsi yaitu dengan memaparkan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dengan dibantu bahan hukum tersier.58
57
Zainal Asikin, 2008, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, h.68. Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, cetakan I, Pustaka Pelajar Yogyakarta, h.153. 58