BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Bangsa Indonesia telah menyadari bahwa pekerjaan merupakan kebutuhan asasi bagi setiap warga negara sebagaimana yang telah diamanatkan dalam Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI 1945) yang menyatakan: Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Amandemen UUD NRI 1945 juga mengatur tentang
ketenagakerjaan sebagaimana yang disebutkan dalam Bab XA tentang Hak Asasi Manusia pada Pasal 28D ayat (2) UUD NRI 1945 yaitu: Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Ketentuan Pasal 28D ayat (2) tersebut berimplikasi pada kewajiban negara untuk memfasilitasi warga negaranya agar dapat memperoleh pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan. Oleh karena itu, perlu adanya perencanaan yang matang di bidang ketenagakerjaan untuk mewujudkan kewajiban negara tersebut. Salah satu langkah yang telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam hal ketenagakerjaan adalah dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketengakerjaan dan juga Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Kedua undangundang tersebut mengatur seluruh hal terkait dengan hukum ketengakerjaan serta cara penyelesaian hubungan industrial di Indonesia, serta untuk
melindungi hak-hak dan kewajiban serta kepentingan para pihak yang terlibat dalam perjanjian kerja serta pihak-pihak yang bersilisih dalam hubungan industrial. Pengusaha maupun pekerja terikat langsung dengan kedua ketentuan undang-undang tersebut. Pada dasarnya pengusaha dan pekerja masingmasing mempunyai kebebasan membuat perjanjian kerja. Hal ini berkaitan dengan dengan asas kebebasan berkontrak, meskipun dalam membuat perjanjian kerja diberlakukannya asas kebebasan berkontrak, namun asas kebebasan berkontrak tersebut dibatasi oleh beberapa hal yaitu; undangundang, kesusialan dan ketertiban umum.1 Dalam praktik ditemukan pengusaha yang membuat perjanjian kerja secara sepihak, tindakan pengusaha dalam membuat perjanjian kerja secara sepihak sebagaimana disebutkan di atas dilakukan mengingat bahwa perjanjian kerja merupakan salah satu jenis perjanjian baku (perjanjian standar), yaitu suatu perjanjian yang dibuat oleh salah satu pihak dalam bentuk tertulis. Artinya bahwa isi dari perjanjian baku tersebut telah ditentukan secara sepihak oleh pihak yang memiliki kedudukan ekonomi yang lebih kuat.2 Dalam konteks perjanjian kerja yang membuat perjanjian baku tersebut adalah pengusaha (perusahaan). Sebagai salah satu jenis perjanjian baku, dalam pembuatan perjanjian kerja pihak pekerja tidak mempunyai kebebasan dalam hal menentukan isi dari pada
1 Agusmidah, 2010, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Dinamika dan Kajian Teori, Ghalia Indonesia, Bogor, hlm. 47. 2 Halim HS, 2007, Perkembangan Hukum Kontrak Diluar KUH Perdata, PT. RahaGrafindo Persada, Jakarta, hlm. 158.
perjanjian kerja tersebut, namun pihak pekerja memiliki hak untuk menerima (menyetujui) atau menolak isi dari perjanjian kerja tersebut. Artinya, apabila pihak pekerja menerimanya, maka pekerja akan menandatangani perjanjian kerja tersebut sebagai bentuk pernyataan kesepakatan, dan juga sebaliknya apabila pekerja menolaknya. Pada dasarnya setiap perjanjian harus didasarkan pada kesepakatan para pihak yang mengadakan perjanjian, termasuk juga perjanjian kerja, di mana pihak perusahaan dan pekerja harus membuat sebuah perjanjian kerja atas dasar kesepakatan bersama. Hal ini sebagaimana yang telah diatur dengan jelas dan tegas dalam Pasal 52 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, yaitu: Pasal 52 (1) Perjanjian kerja dibuat atas dasar: a. kesepakatan kedua belah pihak b. kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum c. adanya pekerjaan yang diperjanjikan d. pekerjaan yang diperjanjian tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sama halnya dengan syarat perjanjian pada umumnya yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, syarat sahnya perjanjian kerja yang disebutkan diatas juga dapat dibatalkan apabila tidak terpenuhinya syarat yang dimaksud dalam Pasal 52 (1) huruf a dan b, sedangkan apabila syarat yang dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) huruf c dan d tidak terpenuhi maka perjanjian kerja tersebut batal demi hukum. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Pasal 52 ayat (2) dan (3) UU Ketenagakerjaan. Akibat hukum dari perjanjian kerja yang sah adalah perjanjian kerja tersebut mengikat para pihak antara pekerja dengan pengusaha (perusahaan).
Hal ini terkait dengan asas pacta sunt servanda yaitu perjanjian yang dibuat oleh para para pihak bersifat mengikat para pihak didalamnya layaknya undang-undang. Ketentuan mengenai mengikatnya suatu perjanjian dapat dilihat dalam rumusan Pasal 1338 KUHPerdata yang menyatakan bahwa: “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Pengertian berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya menunjukkan bahwa undang-undang sendiri mengakui dan menempatkan posisi para pihak dalam perjanjian (kontrak) sejajar dengan pembuat undang-undang.3 Pada saat sekarang ini, perkembangan dunia usaha dari tahun ke tahun semakin kompetitif, perusahaan akan melakukan segala upaya untuk mengembangkan usahanya dan untuk mempertahankan para pekerjanya agar tetap setia pada perusahaan. Perusahaan juga akan melakukan berbagai cara untuk menimalisasi biaya dan untuk mendapatkan keuntungan yang sebesarbesarnya, begitulah prinsip ekonomi yang selama ini lazim digunakan oleh para pelaku usaha. Untuk mempertahankan para pekerjanya agar tetap setia pada satu perusahaan, pihak perusahaan menyiasati berbagai cara agar pekerjanya tidak keluar dari perusahaan tempat ia bekerja, salah satu tindakan yang dilakukan oleh pihak perusahaan terhadap pekerjanya adalah dengan cara malakukan penahanan ijazah asli pekerjanya. Praktik penahanan ijazah pekerja yang dilakukan oleh perusahaan pada dasarnya tidak diatur dalam ketentuan UU Ketenagakerjaan dan KUH Perdata. 3
Agus Yudha Hernoko, 2008, Hukum Perjanjian Azas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial, LaksBang Mediatama, Yogyakarta, hlm. 110.
Artinya, dapat dikatakan bahwa kedua ketentuan peraturan hukum tersebut tidak membolehkan atau melarang pihak perusahaan untuk menahan ijazah pekerjanya. Meskipun pada praktik sekarang ini, banyak perusahaan yang menahan ijazah asli pekerjanya dengan berbagai alasan. Ada yang beralasan bahwa penahanan ijazah dilakukan perusahan untuk menertibkan pekerjanya agar tidak gampang keluar masuk dari pekerjaanya sesuka hati pekerja, dan ada perusahaan yang beralasan penahanan ijazah pekerja sebagai jaminan pekerja karena mengingat tanggungjawab yang tugaskan oleh perusahaan kepada pekerja tersebut cukup berat dan berisiko tinggi (hal ini biasanya terjadi pada perusahaan yang bergerak di bidang lembaga keuangan atau Perbankan). Pada suatu hubungan kerja, posisi tawar pihak pekerja berbeda dengan posisi tawar pihak pengusaha (perusahaan) sebagai pihak pemberi kerja, di mana pihak pekerja merupakan pihak dengan posisi tawar yang rendah (lemah), sedangkan pihak pengusaha memiliki posisi tawar yang lebih tinggi. Dalam situasi seperti ini, pihak pekerja sebagai pihak yang membutuhkan pekerjaan akan menandatangi perjanjian kerja tersebut dengan segala risiko, termasuk juga dengan risiko ijazah ditahan oleh pengusaha (perusahaan). Oleh karena itu, seharusnya penahanan ijazah pekerja oleh pengusaha (perusahaan) dilakukan perusahaan atas kerelaan dari pekerja bukan karena keterpaksaan yang disebabkan oleh posisi tawar pekerja yang rendah (lemah). Perihal penahanan ijazah pekerja oleh pihak perusahaan belum diatur secara jelas dan tegas dalam UU Ketenagakerjaan, namun seharusnya praktik
penahanan ijazah tersebut tidak lazim dan tidak wajar untuk diterapkan dalam suatu hubungan ketenagakerjaan. Sejatinya dalam sebuah hubungan kerja telah adanya kesepakatan kedua belah pihak yang dimuat dalam perjanjian kerja antara pihak pekerja dan pemberi kerja. Dengan adanya perjanjian kerja tersebut seharusnya pihak perusahaan tidak perlu lagi melakukan penahanan ijazah pekerja. Ijazah itu sendiri bukan merupakan surat berharga yang bernilai ekonomis bagi perusahaan, namun bagi pekerja ijazah merupakan dokumen berharga dan dokumen yang sangat penting dalam mencari pekerjaan yang layak (lebih baik) guna menunjang kehidupannya serta kehidupan keluarganya. Pada dasarnya semua kewajiban dan hak para pihak telah termuat dalam perjanjian kerja. Oleh karena itu, dalam menjalankan perjanjian kerja tersebut diberlakukannya asas iktikad baik dari pihak pengusaha (perusahaan) dan pihak pekerja itu sendiri, dalam arti kedua belah pihak saling sadar untuk memenuhi kewajiban masing-masing sebagaimana yang telah disepakati dalam perjanjian kerja tanpa harus adanya penahanan ijazah pekerja oleh perusahaan. Apabila salah satu pihak beritikad tidak baik, dalam arti tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana yang telah diperjanjikan dalam perjanjian kerja, maka cukup menggunakan perjanjian kerja sebagai pedoman dalam menyelesaikannya sebagaimana yang telah diperjanjikan para pihak. Perselisihan penahanan ijazah yang terjadi antara pihak pekerja dengan perusahaan termasuk dalam salah satu jenis perselisihan hubungan industrial, maka dari itu, penyelesaian perselisihannya dapat ditempuh melalui
penyelesaian perselisihan secara bipartit, mediasi, konsiliasi, arbitrase dan pengadilan hubungan industrial. Fokus penulis dalam penelitian ini, yaitu mengenai proses penyelesaian yang dilakukan secara mediasi oleh mediator. Pada tahap proses mediasi mengenai perselisihan penahanan ijazah pekerja oleh perusahaan, mediator selaku pihak yang berwenang untuk menyelesaikan perselisihan tersebut harus menyelesaikan perselisihan tersebut tanpa memihak kepada salah satu pihak, artinya mediator harus bersikap netral di antara kedua belah pihak yang sedang berselisisih. Mediator dalam menyelesaikan perselisihan penahanan ijazah pekerja oleh perusahaan harus terlebih dahulu menawarkan atau menganjurkan kepada para pihak untuk menyelesaikan atau berunding lagi dengan itikad baik antara pihak pekerja dengan pihak perusahaan. Apabila anjuran tersebut ditolak oleh para pihak, maka mediator akan melanjutkan proses penyelesaian perselisihan penahanan ijazah tersebut melalui sidang mediasi yang dilakukan secara musyawarah untuk mufakat. Perlu diingat bahwasanya setiap sebelum sidang mediasi dimulai mediator berkewajiban untuk mennganjurkan kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihannya berdasarkan itikad baik. Salah satu praktik penahanan ijazah pekerja oleh perusahaan yang pernah diselesaikan oleh mediator Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Bantul yaitu penahanan ijazah atas nama Dwi Wahyuni Sari sebagai pekerja di PT. Pelangi Nusa Persada. Praktik penahanan ijazah yang dilakukan oleh PT. Pelangi Nusa Persada telah jelas disebutkan dalam perjanjian kerja waktu tertentu yang telah disepakati oleh pihak Dwi Wahyuni Sari itu sendiri. Pada
awal penandatanganan perjanjian kerja waktu tertentu tersebut pihak pekerja selaku pihak yang terlibat dalam pembuatannya telah menyepakati seluruh klausul yang tertera dalam perjanjian kerja waktu tertentu, termasuk juga klausul mengenai penyerahan ijazah pekerja sebagai jaminan kepada pihak perusahaan, PT. Pelangi Nusa Persada. Perselisihan antara Dwi Wahyuni Dari dengan PT. Pelangi Nusa Persada berawal dari adanya aturan-aturan baru yang dibuat oleh PT. Pelangi Nusa Persada terhadap pekerjanya, termasuk Dwi Wahyuni Sari. Dari adanya aturan-aturan baru tersebut membuat pihak Dwi Wahyuni Dari merasa tidak nyaman lagi untuk melanjutkan pekerjaanya lagi di PT. Pelangi Nusa Persada, hingga akhirnya Dwi Wahyuni Sari memutuskan untuk mengundurkan diri dari pekerjaannya sebelum masa kerjanya di PT. Pelangi Nusa Persada berkahir. Langkah pengunduran diri yang ditempuh oleh Dwi Wahyuni Sari tidak serta merta telah menyelesaikan permasalahannya dengan PT. Pelangi Nusa Persada. Hal ini membuat PT. Pelangi Nusa Persada merasa dirugikan oleh Dwi Wahyuni Sari. Maka dari itu, pihak PT. Pelangi Nusa Persada masih menahan (belum mengembalikan) ijazah Dwi Wahyuni Sari, meskipun Dwi Wahyuni Sari tidak lagi bekerja di PT. Pelangi Nusa Persada. Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik untuk mengkaji lebih lanjut mengenai praktik penahanan ijazah pekerja oleh perusahaan. Maka dari itu, penulisan tesis ini penulis berikan judul Keberadaan Asas Itikad Baik
Dalam Penahanan Ijazah Pekerja Oleh Perusahaan (Studi Kasus di PT. Pelangi Nusa Persada Kabupaten Bantul). B. Rumusan Masalah Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Apakah praktik penahanan ijazah yang dilakukan oleh PT. Pelangi Nusa Persada terhadap pekerjanya telah sesuai dengan asas itikad baik? 2. Apakah Mediator Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Bantul telah mengakomodasikan keberadaan asas itikad baik dalam menyelesaikan perselisihan praktik penahanan ijazah pekerja antara PT. Pelangi Nusa Persada dengan Dwi Wahyuni Sari? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Objektif Berdasarkan pokok masalah seperti yang telah diuraikan di atas, Tujuan obyektif dari penelitian ini adalah: a. Untuk mengetahui dan menganalisis mengenai sesuai atau tidaknya praktik penahanan ijazah pekerja yang dilakukan oleh PT. Pelangi Nusa Persada dengan asas itikad baik. b. Untuk mengetahui dan menganalisis diakomodasikan atau tidaknya itikad baik oleh Mediator Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Bantul dalam menyelesaikan perselisihan penahanan ijazah antara PT. Pelangi Nusa Persada dengan Dwi Wahyuni Sari.
2. Tujuan Subjektif Penelitian ini secara subyektif bertujuan untuk memenuhi syarat kelulusan dan syarat akademis untuk memperoleh gelar Master Hukum, di Program
Pascasarjana
Magister
Ilmu
Hukum,
Klaster
Hukum
Keperdataan, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. D. Manfaat Penelitian Ada beberapa manfaat yang ingin dicapai melalui penelitian ini, antara lain sebagai berikut: 1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi serta sumbangan pemikiran bagi pengembangan dan pengkajian Ilmu Hukum, khususnya di bidang Hukum Keperdataan yang berkaitan dengan permasalahan mengenai keberadaan asas iktikad baik dalam penahanan ijazah pekerja oleh perusahaan. 2. Manfaat Praktis Secara parktis hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan, membantu dan meberikan masukan kepada para pembuat peraturan (undang-undang) agar membuat peraturan mengenai penahanan ijazah pekerja guna menjawab kebutuhan para pekerja yang merasa dirugikan dalam hal ijazahnya ditahan oleh pihak perusahaan. Serta memberikan masukan bagi pengusaha, pekerja dan peneliti yang terlibat dalam hal penahanan ijazah pekerja oleh perusahaan.
E. Keaslian Penelitian Sebelum melakukan penelitian ini, penulis terlebih dahulu melakukan penelusuran kepustakaan di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM) dan dari Internet (google.com). Dari hasil penelusuran tersebut, penulis menemukan beberapa penelitian terkait tentang keberadaan asas itikad baik dan penelitian mengenai penahanan ijazah pekerja oleh perusahaan, yaitu di antaranya sebagai berikut: 1. Tesis yang berjudul Perlindungan “Hukum Bagi Pekerja Yang Ditahan Ijazahnya Oleh Perusahaan (study kasus pada Perusahaan Toko Larid di Jalan KHA. Dahlan Kabupaten Purworejo)”.4 Penelitian ini ditulis oleh Satrio Ageng Rihardi, mahasiswa Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 2015, dengan rumusan masalah sebagai berikut: 1) Apakah pencantuman klausula penahanan ijazah pekerja yang dibuat oleh perusahaan bertentangan dengan asas itikad baik? 2) Bagaimana bentuk perlindungan hukum yang diberikan oleh Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Purworejo terhadap pekerja yang mengalami kerugian akibat ijazahnya ditahan oleh perusahaan? Kesimpulan dari penelitian tersebut, bahwa penerapan isi/klausul perjanjian kerja mengenai penyerahan ijazah pendidikan asli milik pekerja yang ditahan oleh pengusaha tidak dapat serta merta dikatakan telah bertentangan dengan asas itikad baik. Hal ini harus dibuktikan dengan adanya suatu kesepakatan para pihak yang terlibat dalam perjanjian kerja tersebut. 4
Satrio Ageng Rihardi, 2015, Pelindungan Hukum Bagi Pekera Yang Ditahan Ijazahnya Oleh Perusahaan (study kasus pada Perusahaan Toko Laris di Jalan KHA. Dahlam Kabupaten Purworejo), Tesis, Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Perlindungan hukum yang diberikan oleh Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Purworejo khususunya bidang hubungan industrial dan pengawasan tenaga kerja dilakukan dengan perlingungan secara preventif dan represif. 2. Skripsi yang berjudul “Penahanan Ijazah Sebagai Jaminan Kontrak Bagi Karyawan Studi Kasus Swalayan Palma Jaya di Cilacap Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif.”5 Penelitian ini ditulis oleh Dera Reswara Santiaji, mahasiswa fakulras Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, 2015, dengan rumusan masalah sebagai berikut: 1) Bagaimana bentuk kontrak bersyarat dengan jaminan ijazah di Swalayan Palma Jaya? 2) Bagaimana tinjauan hukum Islam dan hukum positif terhadap pelaksanaan perjanjian dengan penahanan ijazah? Kesimpulan dari penelitian tersebut, bentuk kontrak yang digunakan di Swalayan Palma Jaya merupakan kontrak kerja tertulis yang di dalamnya memuat tentang hubungan antara perusahaan dan karyawan mengenai tata cara kerja, hak dan kewajiban serta aturan-aturan yang ada di perusahaan. Perjanjian kerja di Swalayan Palma Jaya ditinjau dari hukum Islam tergolong dalam akad fasid, karena telah mencakup semua syarat-syarat dan rukunrukun sebuah perjanjian, namun syarat keabsahan akad yang tidak terpenuhi yaitu kerelaan kedua belah pihak yang berakad. Sedangkan menurut hukum
5 Dera Aswara Santiaji, 2015, Penahanan Ijazah Sebagai Jaminan Kontrak Kerja Bagi Karyawan Studi Kasus Swalayan Palma Jaya di Cilacap Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif, Skripsi, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
positif, perjanjian kerja di Swalayan Palma Jaya telah sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) dan Pasal 52 UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yang mencakup sebuah syarat sahnya perjanjian, perjanjian kerja yang dibuat oleh Swalayan Palma Jaya adalah sah dan dapat diterima. 3. Tesis yang berjudul “Asas Itikad Baik Dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Penerapannya Pada Tahap Pra Kontrak.”6 Penelitian ini ditulis oleh Adhani Suryaputra, mahasiswa Magister Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011, dengan rumusan masalah sebagai berikut: 1) Bagaimana tahap pra kontrak dalam kerangka hukum perjanjian di Indonesia? 2) Bagaimana penerapan itikad baik pada tahap pra kontrak? 3) Bagaimana bentuk-bentuk dan akibat hukum terhadap ketiadaan itikad baik pada tahap pra kontrak? Kesimpulan dari penelitian tersebut, di Indonesia perkembangan penerapan asas itikad baik dalam hukum perjajian hanya berfokus pada penerapan Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata, di mana ruang lingkupnya masih diletakkan pada pelaksanaan perjanjian saja, dan seolah-olah KUH Perdata belum mengakui keberadaan asas itikad baik pada tahap pra kontrak. Pengakuan itikad baik oleh KUH Perdata sebenarnya tidak hanya sebatas pada tahap pelaksanaan perjanjian saja, tidak berkembangnya ajaran itikad baik 6
Adhari Suryaputra, 2011, Asas Itikad Baik Dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Penerapannya Pada Tahap Pra Kontrak, Tesis, Magister Hukum Ekonomi, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta.
dalam tahap pra kontrak lebih karena hakim tidak hanya menggali dan menafsirkan bentuk-bentuk itikad baik pada tahap pra kontrak. Oleh karena itu, ajaran ini seharusnya masuk dalam revisi KUH Perdata dengan mejelaskan bentuk-bentuk itikad baik pada tahap pra kontrak, yang meliputi kewajiban untuk menjelaskan dan meliputi fakta material, larangan terhadap paksaan dan penyalahgunaan keadaan, serta kewajiban untuk loyal (duty of loyalty) dan menjaga kerahasiaan dalam proses negosiasi (duty of confidentially). Dari ketiga penelitian sebelumnya yang disebutkan di atas, terdapat penelitian yang membahas mengenai penahanan ijazah pekerja oleh perusahaan, namun penelitian tersebut berbeda dengan penelitian yang penulis teliti. Letak perbedaannya adalah dalam hal obyek penelitian, dalam penelitian sebelumnya lebih membahas kepada peran pemerintah yaitu Dinas Ketenagakerjaan setempat dalam memberikan perlindungan hukum bagi pekerja yang ditahan ijazahnya oleh pihak perusahaan, dan penelitian mengenai penahanan ijazah sebagai jaminan kontrak ditinjau menurut hukum Islam dan hukum positif. Pada Penelitian ini, penulis lebih menitikbertakan pada peran mediator dalam proses penyelesaian perselisihan penahanan ijazah pekerja oleh perusahaan, apakah telah mengakomodasikan asas iktikad baik dalam anjuran penyelesaiannya atau tidak. Di dalam penelitian ini telah memenuhi kaedah keaslian penelitian.