BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pajak merupakan sumber pendapatan negara yang sangat penting bagi pelaksanaan pembangunan nasional serta menjadi unsur utama untuk menunjang kegiatan perekonomian dalam menggerakkan roda pemerintahan dan sebagai penyedia fasilitas umum bagi masyarakat, sehingga diharapkan pajak dapat meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Penerimaan pajak hingga saat ini terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Berdasarkan informasi Badan Pusat Statistik (BPS), realisasi penerimaan pajak di Indonesia pada tahun 2010 mencapai Rp. 723.307 milyar dan terus mengalami peningkatan hingga tahun 2014 yang mencapai Rp. 1.310.219 milyar atau meningkat sebesar 81,14% selama lima tahun terakhir. Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pembayaran pajak merupakan perwujudan dari kewajiban kenegaraan dan peran serta wajib pajak untuk secara langsung dan bersama-sama
melaksanakan kewajiban perpajakan untuk
pembiayaan negara dan pembangunan nasional (Kemenkeu, 2011). Meskipun dalam realisasinya pajak mengalami peningkatan, namun dalam pencapaian target APBN setiap tahunnya tidak pernah tercapai. Adapun penyebab 1 http://digilib.mercubuana.ac.id/
2
salah satunya adalah kesadaran wajib pajak yang masih kurang dicermati oleh wajib pajak. Tidak sedikit wajib pajak terutama badan usaha yang melakukan penghindaran pajak baik secara legal (tax avoidance) bahkan ilegal atau penggelapan pajak (tax evasion). Perpajakan bersama-sama dengan instrumen kebijakan pemerintahan lainnya juga merupakan sarana untuk mencapai suatu standar ekonomi seperti stabilitas harga, kesempatan kerja penuh, pertumbuhan ekonomi yang layak, pengendalian yang tepat atas aktivitas swasta terhadap pengaruh lingkungan, dan tingkat yang sesuai bagi cadangan moneter internasional. Hal ini sesuai dengan fungsi pajak yaitu sebagai fungsi budgetair dan fungsi regurelend. Fungsi budgetair yaitu suatu fungsi dimana pajak digunakan sebagai alat untuk memasukkan dana secara optimal ke kas negara berdasarkan Undang-Undang Perpajakan yang berlaku. Berdasarkan kepentingan ini, pemerintah membutuhkan dana untuk membiayai berbagai kepentingan. Fungsi regulerend yaitu pajak digunakan oleh pemerintah untuk mencapai tujuan tertentu. Contohnya, untuk mendorong ekspor produk Indonesia dipasaran dunia, pemerintah mengenakan tarif pajak untuk ekspor sebesar 0% dan mengenakan tarif pajak yang tinggi terhadap barang-barang mewah untuk mengurangi gaya hidup konsumtif (Resmi, 2014). Dalam pelaksanaannya wajib pajak dan pemerintah memiliki kepentingan yang berbeda terkait dengan pembayaran pajak. Wajib pajak cenderung untuk mengurangi jumlah pembayaran pajak,
sedangkan pemerintah berusaha
meningkatkan penerimaan pajak. Bagi wajib pajak khususnya perusahaan atau
http://digilib.mercubuana.ac.id/
3
badan usaha, pajak merupakan salah satu beban utama yang akan mengurangi laba bersih, sedangkan peningkatan pajak dari sisi pemerintah, penerimaan pajak sebagai sumber keuangan negara yaitu sebagai sumber dana yang diperuntukkan bagi pembiayaan pengeluaran-pengeluaran pemerintah (Waluyo, 2010). Dengan demikian peranan pajak bagi negara menjadi sangat dominan dalam menunjang jalannya roda pemerintahan dan pembangunan nasional. Pajak merupakan sumber pendanaan bagi negara, tetapi bagi perusahaan, pajak akan dihitung sebagai beban yang dapat mengurangi laba bersih suatu perusahaan. Dalam meminimumkan jumlah pajak yang harus dibayarkan, perusahaan melakukan manajemen pajak. Tujuan dilakukannya manajemen pajak adalah menerapkan peraturan perpajakan secara benar dan usaha efisiensi untuk mencapai laba dan likuiditas yang seharusnya (Suandy, 2011). Adanya
perbedaan kepentingan
tersebut
menyebabkan timbulnya
perlawanan pajak. Menurut Waluyo (2010) perlawanan terhadap pajak dibedakan menjadi perlawanan pasif dan perlawanan aktif. Perlawanan pasif berupa hambatan yang mempersulit pemungutan pajak dan mempunyai hubungan erat dengan struktur ekonomi, sedangkan perlawanan aktif adalah semua usaha dan perbuatan secara langsung ditujukan kepada pemerintah (fiskus) dengan tujuan menghindari pajak. Di Indonesia, usaha-usaha untuk mengoptimalkan penerimaan sektor pajak bukan tanpa kendala. Salah satu kendala dalam rangka optimalisasi penerimaan pajak adalah adanya penghindaran pajak (Tax Avoidance), bahkan tidak sedikit
http://digilib.mercubuana.ac.id/
4
perusahaan yang melakukan penghindaran pajak (Budiman dan Setiyono, 2012). Dalam sudut pandang perencanaan pajak, penghindaran pajak (tax avoidance) yang dilakukan oleh wajib pajak adalah sah dan secara yuridis sehingga tidak bisa ditetapkan sebagai pengenaan pajak. Penghindaran pajak (tax avoidance) adalah perbuatan legal yang masih dalam ruang lingkup perpajakan dan sama sekali tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Menurut
Hanlon
(2010)
mendefinisikan
tax
avoidance
sebagai
pengurangan pajak eksplisit, dimana tax avoidance juga merupakan rangkaian aktivitas perencanaan pajak. Juga dapat disimpulkan bahwa penghindaran pajak (tax avoidance) sebagai suatu usaha untuk meminimalisasikan beban pajak seminimal mungkin secara legal, dengan cara penggunaan alternatif-alternatif yang riil dan dapat diterima oleh fiskus. Untuk meminimalisasikan beban pajak dapat dilakukan dengan berbagai cara, mulai dari yang masih berada di bingkai peraturan perpajakan sampai dengan yang melanggar peraturan perpajakan. Penghindaran pajak (tax avoidance) ini dilakukan perusahaan disebabkan karena pajak bagi perusahaan merupakan beban yang akan mengurangi laba bersih suatu perusahaan. Oleh karena itu perusahaan harus melakukan penghindaran pajak (tax avoidance), agar beban pajak yang akan dibayarkan suatu perusahaan tidak terlalu tinggi. Adanya berbagai kasus dalam bidang perpajakan yang terjadi di Indonesia dimuat diberita online (http://www.merdeka.com) pada tanggal 17 Agustus 2013. Mantan Menteri Keuangan Agus Martowardojo sebelum melepas jabatannya mengatakan, ada ribuan perusahaan multinasional yang tidak menjalankan kewajibannya kepada negara. Agus Marto menyebut
http://digilib.mercubuana.ac.id/
5
hampir 4.000 perusahaan tidak membayar pajaknya selama tujuh tahun. Di Indonesia, peningkatan pembayaran royalti ke perusahaan induk (parent company) berpotensi mengurangi PPh badan yang harus dibayar perusahaan. Pada awal tahun 2013 Indonesia dikejutkan dengan putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung yang telah memberikan vonis kepada 14 perusahaan Asian Agri Grup (AAG), hal ini diakibatkan terungkapnya penghindaran pajak yang dilakukan oleh Asian Agri Group. Penghindaran pajak yang dilakukan oleh Asian Agri Group adalah dengan melakukan transfer pricing. Dengan cara menjual produk minyak sawit mentah (Crude Palm Oil) PT AAG ke perusahaan afiliasi di luar negeri dengan harga dibawah harga pasar, dan kemudian dijual kembali ke pembeli riil dengan harga tinggi, maka beban pajak di dalam negeri bisa ditekan. Selain itu, rekanan PT AAG sebagian besar adalah perusahaan fiktif. Penggelapan pajak yang dilakukan oleh PT AAG diperkirakan telah merugikan negara sejumlah Rp. 1,3 triliun (Ortax.org & Tempo.com,2013). Dari sudut pandang pemerintah, wajib pajak diharapkan melaksanakan kewajiban perpajakan semaksimal mungkin, dengan begitu penerimaan negara dari sektor pajak akan bertambah dan sebaliknya jika pajak yang dibayarkan oleh wajib pajak lebih kecil dari yang seharusnya mereka bayar, maka pendapatan negara dari sektor pajak akan berkurang. Namun, dari sisi pengusaha atau wajib pajak, pajak merupakan salah satu faktor pengurang pendapatan atau penghasilan dan apabila pajak yang dibayar lebih besar dari jumlah yang semestinya, maka akan mengalami kerugian, karena salah satu tujuan pengusaha adalah memaksimalkan kesejahteraan pemegang saham atau investor dengan cara
http://digilib.mercubuana.ac.id/
6
memaksimalkan nilai perusahaan dengan cara memperoleh laba maksimum. Oleh sebab itu, di dalam melaksanakan kewajiban perpajakan sangat dibutuhkan manajemen perpajakan yang baik. Good Corporate Governance (GCG) merupakan salah satu pilar dari sistem ekonomi pasar. Ini berkaitan erat dengan kepercayaan baik terhadap perusahaan yang melaksanakannya maupun terhadap iklim usaha di suatu negara. Penerapan Good Corporate Governance mendorong terciptanya persaingan yang sehat dan iklim usaha yang kondusif. O leh karena itu diterapkannya Good Corporate Governance oleh perusahaan-perusahaan di Indonesia sangat penting untuk menunjang pertumbuhan dan stabilitas ekonomi yang berkesinambungan. Penerapan Good Corporate Governance juga diharapkan dapat menunjang upaya pemerintah dalam menegakkan Good Corporate Governance pada umumnya di Indonesia. Terdapat beberapa manfaat apabila perusahaan menerapkan Good Corporate Governance, yang jelas karena perusahaan semakin tertata rapi maka kinerja perusahaan akan semakin meningkat dan dengan menerapkan GCG maka diharapkan dapat mengurangi adanya penyalahgunaan wewenang (Puspita, 2012). Masalahnya adalah adanya suatu perusahaan yang telah menerapkan GCG secara baik, tetapi perusahaan tersebut masih mengalami pembobolan yang dilakukan oleh pihak luar bekerjasama dengan pihak dalam perusahaan, masalah tersebut menyangkut dua hal yaitu masalah corporate governance dan pengendalian intern. Hal ini dikarenakan masalah GCG menekankan hubungan pada berbagai pihak terutama pada tingkatan strategic, sedangkan kasus terjadinya pembobolan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
7
merupakan indikasi adanya pengendalian intern yang lemah, pengendalian intern tersebut terjadi pada tingkat operasional. Kestabilan dunia bisnis menggambarkan beberapa fenomena tentang lemahnya penerapan good corporate governance, seperti Badan Pemeriksa Keuangan yang menemukan dan memutuskan adanya pelanggaran kepatuhan pada PT Jamsostek atas laporan keuangan 2011 dengan nilai di atas Rp 7 triliun. Hal tersebut terungkap dalam makalah presentasi Bahrullah Akbar, anggota VII Badan Pemeriksa Keuangan dalam diskusi Indonesia Menuju Era Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Bahrullah mengatakan ada beberapa temuan BPK atas laporan keuangan 2011 Jamsostek yang menyimpang dari aturan. Pertama, Jamsostek membentuk Dana Pengembangan Program Jaminan Hari Tua (JHT) sebesar Rp 7,24 triliun yang tidak sesuai dengan Peraturan Pemerintah 22/2004. Kedua, Jamsostek kehilangan potensi iuran karena terdapat penerapan tarif program yang tidak sesuai dengan ketentuan. Pada laporan keuangan 2011, potensi penerimaan Jamsostek yang hilang mencapai Rp 36,5 milyar karena tidak menerapkan tarif jaminan kecelakaan kerja sesuai ketentuan. Akibat dari kehilangan potensi iuran tersebut, maka negara mengalami kerugian dalam bidang pajak. Kasus penyimpangan laporan keuangan 2011 dan ketidakefektifan dalam kinerja Jamsostek ini haruslah segera diselesaikan tentunya dengan cara pembenahan tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance). Peristiwa ini diakibatkan karena kurang baiknya sistem good corporate governance. Badan Pangawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-
http://digilib.mercubuana.ac.id/
8
LK) juga harus dapat menjaga kestabilan tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance) sehingga tercipta aktivitas pasar modal yang jujur, transparan, aman, dan sesuai dengan undang- undang hukum yang berlaku. (bisnis.com, 2012). Return on Assets (ROA) merupakan salah satu pendekatan yang dapat mencerminkan profitabilitas suatu perusahaan. Pendekatan ROA menunjukkan besarnya laba yang diperoleh perusahaan dengan menggunakan total aset yang dimilikinya. ROA juga memperhitungkan kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba yang terlepas dari pendanaan. Semakin tinggi rasio ini, semakin baik perfoma perusahaan dengan menggunakan aset dalam memperoleh laba bersih. Tingkat profitabilitas perusahaan berpengaruh negatif dengan tarif pajak efektif karena semakin efisien perusahaan, maka perusahaan akan membayar pajak yang lebih sedikit sehingga tarif pajak efektif perusahaan tersebut menjadi lebih rendah. Perusahaan dengan tingkat efisiensi yang tinggi dan memiliki pendapatan tinggi cenderung menghadapi beban pajak yang rendah. Rendahnya beban pajak dikarenakan perusahaan dengan pendapatan yang tinggi berhasil memanfaatkan keuntungan dari adanya insentif pajak dan pengurang pajak yang lain. Adapun fakta mengenai return on asset (ROA) yang dapat mempengaruhi pengenaan pajak terjadi dalam kasus penghindaran pajak oleh perusahaan properti di Indonesia. Ditjen pajak menemukan adanya modus yang digunakan oleh perusahaan atau perseorangan, yang berkaitan dengan ROA adalah penggunaan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
9
harga dibawah harga jual sebenarnya dalam menghitung dasar pengenaan pajak (DPP) dan tidak melaporkan seluruh hasil penjualannya. PT Adaro Indonesia menjual batu bara bermutu tinggi kepada PT Coaltrade Service International di Singapura dengan harga yang tidak wajar (tidak sesuai dengan harga batu bara pasaran internasional). Batu bara tersebut dijual dibawah harga yaitu sebesar US$ 26 per ton, sedangkan harga pasarnya adalah sebesar US$ 48 per ton. Dalam penjualan tersebut terdapat selisih yang cukup besar yaitu sebesar US$ 22. Oleh sebab itu negara mengalami kerugian terkait pajak, karena adanya penjualan dibawah harga yang sebenarnya (harga pasar)(www.pajak.go.id, 2013). Aktivitas penghindaran pajak yang dilakukan oleh manajemen suatu perusahaan dilakukan semata- mata untuk memanimalisasi kewajiban pajak perusahaan. Karena tindakan penghindaran pajak ini dianggap legal, membuat perusahaan memiliki kecenderungan untuk melakukan berbagai cara agar dapat mengurangi besaran laba yang dilaporkan pada laporan keuangan, sehingga besar pajaknya pun nantinya juga akan berkurang. Namun kegiatan penghindaran pajak yang dilakukan perusahaan dapat menjerumuskan perusahaan itu sendiri jika mereka tidak cermat dalam melakukan perencanaan pajak mereka. Modal asing yang ditenggarai melakukan penghindaran pajak dengan melaporkan rugi dalam waktu 5 tahun berturut-turut dan tidak membayar pajak (Budiman dan Setiyono, 2012).
http://digilib.mercubuana.ac.id/
10
Leverage merupakan rasio yang mengukur kemampuan utang baik jangka panjang maupun jangka pendek membiayai aktiva perusahaan (Kurniasih dan Sari, 2013). Leverage (struktur utang) juga merupakan rasio yang menunjukkan besarnya utang yang dimiliki perusahaan untuk membiayai aktivitas operasinya. Penambahan jumlah utang akan mengakibatkan munculnya beban bunga yang harus dibayar oleh perusahaan. Komponen beban bunga akan mengurangi laba sebelum kena pajak perusahaan, sehingga beban pajak yang harus dibayar perusahaan akan menjadi berkurang. Perusahaan besar lebih cenderung memanfaatkan sumber daya yang dimilikinya daripada menggunakan pembiayaan yang berasal dari utang. Perusahaan besar akan menjadi sorotan pemerintah, sehingga akan menimbulkan kecenderungan bagi para manajer perusahaan untuk berlaku agresif atau patuh (Maria dan Kurniasih, 2013). Semakin besar ukuran perusahaan, maka perusahaa akan lebih mempertimbangkan risiko dalam hal mengelola beban pajaknya. Perusahaan yang termasuk dalam perusahaan besar cenderung memiliki sumber daya yang lebih besar dibandingkan perusahaan yang memiliki skala lebih kecil untuk melakukan pengelolaan pajak. Jakarta, Kompas.com – Sebuah perusahaan yang bergerak di bidang jasa kesehatan terafiliasi perusahaan di Singapura, yakni PT RNI diputuskan oleh Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jakarta Khusus sebagai salah satu perusahaan yang menghindari pajak. Perusahaan tersebut melakukan upayaupaya penghindaran pajak, padahal memiliki aktivitas cukup banyak di Indonesia yakni di Jakarta, Solo, Semarang dan Surabaya. Menteri Keuangan Bambang PS
http://digilib.mercubuana.ac.id/
11
Brodjonegoro memastikan perusahaan-perusahaan yang nakal dan tidak tertib kewajiban pajak, seperti PT RNI ini, akan dikenakan sanksi hukum. Modus yang umum dilakukan adalah perusahaan atau perseorangan datang ke suatu wilayah negara bukan untuk kepentingan pekerjaan,
misalnya wisata. Bambang
menuturkan, para pelancong asing ini terikat persyaratan tidak boleh bekerja atau mendapatkan penghasilan dari negara tujuan. Akan tetapi Bambang mengatakan, yang banyak terjadi di Indonesia khususnya di ibu kota adalah para pelancong membuka praktik entah itu jasa kesehatan, kecantikan dan sebagainya. Mereka barangkali menyewa apartemen atau rumah untuk memberikan layanan kepada pelanggan. Tentunya pasien pelanggan itu datang dengan membayar jasa dari si ahlinya atau dokternya maupun obat-obatan atau kosmetik. Mungkin kalau dari kesehatan atau yang lain, mungkin perlu dicek ijinnya. Tapi yang pasti dari Kemenkeu khususnya DJP, jelas kegiatan ini tidak akan masuk dalam kategori perusahaan yang akan membayar pajak. Dia lebih jauh menyampaikan, PT RNI adalah salah satu contoh dari kegiatan yang dimaksud. Secara badan usaha, PT RNI sudah terdaftar sebagai perseroan terbatas. Namun dari segi permodalan, perusahaan tersebut menggantungkan hidup dari utang afiliasi. Artinya, pemilik di Singapura memberikan pinjaman kepada RNI di Indonesia. Jadi pemiliknya tidak menanam modal, tetapi memberikan seolah-olah seperti utang, dimana ketika utang itu bunganya dibayarkan dianggap sebagai dividen oleh si pemilik di Singapura. Lantaran modalnya dimasukkan sebagai utang – mengurangi pajak – perusahaan ini praktis bisa terhindar dari kewajiban.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
12
Apalagi kata Bambang, jika dalam laporan keuangannya tercatat kerugian demikian besar. Praktis tidak ada pajak yang masuk ke kas negara. Dalam laporan keuangan PT RNI 2014, tercatat utang sebesar Rp 20,4 miliar. Sementara omzet perusahaan hanya Rp 2,178 miliar. Belum lagi ada kerugian ditahan pada laporan tahun yang sama senilai Rp 26,12 miliar. Jadi intinya dari segi laporan keuangan ini sudah tidak logis. Modus lain juga yang terbukti dilakukan oleh PT RNI yaitu memanfaatkan Peraturan Pemerintah 46/2013 tentang Pajak Penghasilan khusus UMKM, dengan tarif PPh final 1 persen. Memang kata Bambang, omzet PT RNI dibawah Rp 4,8 miliar per tahun. Terakhir dua pemegang saham PT RNI berkewarganegaraan Indonesia tidak melaporkan SPT pajak secara benar sejak 2007-2015. Adapun dua pemegang saham, yang merupakan orang Singapura juga tidak membayarkan pajak penghasilannya, padahal memiliki usaha di Indonesia Konservatisme merupakan alasan yang dimiliki oleh seorang akuntan maupun manajer yang mensyaratkan tingkat tinjauan yang lebih detail dan lebih cermat untuk mengakui laba (good news in earnings) dibandingkan mengakui rugi (bad news in earnings) (Prena, 2012). Salah satu faktor yang sangat menentukan tingkat konservatisme dalam pelaporan keuangan suatu perusahaan adalah komitmen manajemen dan pihak internal perusahaan dalam memberikan informasi yang transparan, akurat dan tidak menyesatkan bagi investornya (Baharudin dan Wijayanti, 2011). Laporan keuangan yang disusun tersebut secara tidak langsung dipengaruhi oleh konsep konservatisme (Octomegah, 2012), karena konservatisme adalah praktik untuk mengurangi earnings.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
13
Faktor lain yang mempengaruhi konservatisme akuntansi adalah tingkat kesulitan keuangan perusahaan. Tingkat kesulitan keuangan perusahaan adalah suatu keadaan perusahaan yang tidak dapat memenuhi kewajibannya. Kesulitan keuangan dimulai ketika perusahaan tidak dapat memenuhi jadwal pembayaran atau ketika proyeksi arus kas mengindikasi bahwa perusahaan tersebut tidak dapat memenuhi kewajibannya. Dikutip dari Indonesiafinancetoday.com – September, 2012 – PT Bakrie & Brothers Tbk (BNBR) mengakui terjadi kesalahan dalam pencatatan laporan keuangan tahun 2010. Kesalahan tersebut terjadi karena perseroan tidak merinci transaksi yang dilakukan PT Petromine, salah satu anak usaha dari perusahaan Bakrie & Brothers, dengan PT AKR Corporindo Tbk (AKRA) senilai Rp 1,37 triliun. Ketidaksingkronan pencatatan ini terjadi setelah ditemukan dalam laporan keuangan tahunan 2010 AKR Corporindo yang menyebutkan transaksi pembelian bahan bakar senilai Rp 1,37 triliun dari Petromine. Ini tercatat sebagai pendapatan dalam neraca AKR Corporindo. Sementara dalam laporan keuangan tahunan Bakrie & Brothers hanya tercatat beban lain- lain yang nilainya mencapai Rp 8,6 triliun.Akibat adanya kesalahan tersebut, maka negara mengalami kerugian terkait pajak. Karena PT Bakrie & Brothers tidak melaporkan transaksi senilai Rp 1,37 triliun tersebut. Oleh sebab itu, Bursa memberikan sanksi Rp 500 juta, dan Bapepam-LK memberikan sanksi Rp 1 miliar atas kesalahan tersebut. Tax Avoidance masih menjadi perbincangan mengingat banyak faktor yang dapat mempengaruhinya. Beberapa peneliti membuktikan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi tax avoidance, Pranata dan Herawati (2015)
http://digilib.mercubuana.ac.id/
14
menemukan bahwa corporate governance (yang diproksikan oleh kepemilikan institusional) berpengaruh siginifikan terhadap tax avoidance. Hal tersebut dikarenakan semakin tinggi kepemilikan institusional, maka semakin tinggi pula jumlah beban pajak yang harus dibayarkan oleh perusahaan. Hal ini dikarenakan semakin kecil kemungkinan praktik penghindaran pajak yang dilakukan oleh perusahaan. Berbeda dengan Fadhillah (2014) yang menemukan bahwa Kepemilikan Institusional tidak berpengaruh terhadap tax avoidance. Faktor lainnya yang berpengaruh terhadap tax avoidance adalah return on asset dan leverage (Herawati dkk, 2014). Semakin tinggi nilai ROA maka semakin tinggi nilai laba bersih perusahaan dan profitabilitasnya. Perusahaan yang memiliki tingkat profitabilitas
yang tinggi memiliki kesempatan untuk
memposisikan diri dalam tax avoidance yang mengurangi jumlah beban perpajakan. Demikian juga dengan leverage mempunyai peranan yang penting dalam pendanaan utang bagi perusahaan yang mengakibatkan biaya bunga timbul dari utang tersebut sehingga berpengaruh terhadap beban pajak perusahaan. Semakin tinggi nilai dari rasio leverage, berarti semakin tinggi jumlah pendanaan dari utang pihak ketiga yang digunakan perusahaan dan semakin tinggi pula biaya bunga yang timbul dari utang tersebut. Biaya bunga yang semakin tinggi akan memberikan pengaruh berkurangnya beban pajak perusahaan. Semakin tinggi nilai utang perusahaan maka nilai CETR perusahaan akan semakin rendah.Akan tetapi berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Marfu’ah (2015) dan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
15
Sukharta (2014), dimana hasil penelitiannya adalah return on asset dan leverage tidak berpengaruh terhadap tax avoidance. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah penulis menambahkan variabel konservatisme akuntansi. Variabel ini masih sangat jarang digunakan sehingga penulis tertarik untuk meneliti pengaruh konservatisme akuntansi terhadap tax avoidance. Tresno dkk (2012) menemukan bahwa konservatisme tidak berpengaruh terhadap tax avoidance karena penggunaan konservatisme akuntansi digunakan oleh pemerintah untuk memaksimalkan pendapatan pajak. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Dewi, Luh Putu Kusuma, dkk (2014) menunjukkan bahwa konservatisme akuntansi berpengaruh terhadap tax avoidance.Hal ini menunjukkan bahwa apabila suatu perusahaan dikategorikan sebagai perusahaan yang besar, maka perusahaan akan menerapkan akuntansi yang konservatif. Perusahaan yang besar akan dihadapkan pada biaya politis yang tinggi, sehingga untuk mengurangi biaya politis tersebut perusahaan lebih menggunakan prinsip akuntansi yang konservatif atau pernyataan laba yang disajikan tidak berlebihan. Biaya politis yang dimaksud mencakup pajak. Penulis menggunakan beberapa variabel penelitian dari : 1) Fadhillah (2014), variabel yang digunakan adalah kepemilikan institusional (X1). 2) Marfu’ah (2015), variabel yang digunakan adalah return on asset (X2)
http://digilib.mercubuana.ac.id/
16
3) Darmawan
dan
Sukharta
(2014),
variabel
yangdigunakan
adalahleverage (X3), dan 4) Tresno, dkk (2012), variabel yang digunakan adalah konservatisme akuntansi (X4) Berdasarkan uraian latar belakang yang telah disebutkan diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Corporate Governance, Return On Asset, Leverage dan Konservatisme Akuntansi terhadap Tax Avoidance”. B. Rumusan Masalah Berdasarkan dari latar belakang diatas maka rumusan masalahnya yaitu : 1. Apakah Corporate Governance berpengaruh terhadap Tax Avoidance? 2. Apakah Return On Assets (ROA) berpengaruh terhadap Tax Avoidance? 3. Apakah Leverage berpengaruh terhadap Tax Avoidance? 4. Apakah
Konservatisme
Akuntansi
berpengaruh
terhadap
Tax
Avoidance? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang diatas, tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Untuk menganalisis pengaruh Corporate Governance terhadap Tax Avoidance. 2. Untuk menganalisis pengaruh Return On Assets (ROA) terhadap Tax Avoidance.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
17
3. Untuk menganalisis pengaruh Leverage terhadap Tax Avoidance. 4. Untuk menganalisis pengaruh Konservatisme Akuntansi terhadap Tax Avoidance. D. Kontribusi Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah : a. Kontribusi Praktik atau Kebijakan 1. Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai penambah informasi atau masukan bagi masyarakat dan pihak-pihak yang berwenang mengenai tax avoidance serta pentingnya membayar pajak sehingga menjadikan perpajakan di Indonesia lebih optimal dalam upaya pencapaiannya. 2. Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan bagi masyarakat mengenai penghindaran pajak secara legal oleh perusahaan di Indonesia. Selain itu penelitian ini juga berguna untuk membandingkan penelitian terdahulu dengan praktik yang telah berjalan saat ini. b. Kontribusi Akademik 1. Penelitian ini mencoba memberikan bukti empiris mengenai faktorfaktor yang berpengaruh terhadap tax avoidance. 2. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat dipergunakan oleh pihakpihak lain yang berkepentingan, baik sebagai referensi maupun sebagai bahan pengetahuan bagi peneliti selanjutnya.
http://digilib.mercubuana.ac.id/