BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Bagi suatu Negara agraria, tanah mempunyai fungsi yang amat penting untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Indonesia, dengan penduduk yang sebagian besar hidup di sektor petani tentu membutuhkan tanah sebagai lahan untuk tanaman pertanian. Sejarah pertanahan Indonesia adalah sejarah penyimpangan. Ketika di negara-negara barat, pertanian dimulai dengan membagi-bagikan lahan kepada petani, di Indonesia justru sebaliknya, tanah rakyat dirampas untuk di bagi-bagikan kepada pengusaha swasta. Hal ini di awali dengan di berlakukannya undang-undang agraria 1870 yang memberi kebebasan kepada swasta asing dengan hak erfphacht dan konsep domein verklaring, yakni pengusaha swasta asing diberi kesempatan untuk dapat menyewa tanah jangka panjang dan murah. Para kapitalis ini memperoleh hak penguasaan tanah dengan jangka waktu tidak terbatas di lingkungan kota (hak eigendom), hak sewa tanah turun temurun untuk menjalankan usaha (hak erfphacht), hak konsensi maupun hak sewa jangka pendek 1. Paradigma pembangunan yang mengejar pertumbuhan telah membawa kondisi pertanian da pedesaan Indonesia menjadi terpuruk. Padahal pedesaan dan pertanian merupakan dua wilayah vital dalam pembangunan. Dimulai dari bergulirnya revolusi hijau yang justru telah menggadaikan kemandirian dan kedaulatan petani. Saat ini arah pembangunan masih diarahkan semata-mata pada 1
Khudori, Neoliberalisme Menumpas Petani, Yogyakarta: Resist Book, 2004. Hal. 29
Universitas Sumatera Utara
pertumbuhan ekonomi dan peningkatan ekspor. Ujung-ujungnya, kondisi sosial ekonomi menjadi keropos dan negara tidak mampu memenuhi hak sebagian besar rakyatnya untuk hidup layak dan bermartabat 2. Munculnya
berbagai
masalah
tanah
diakibatkan
oleh
ekspansi
perusahaan-perusahaan kapitalis, baik milik asing, pribumi, maupun milik negara. Sengketa tanah yang terjadi merupakan ekspresi dari hukum ekonomi kapitalisme, yaitu akumulasi modal primitif dimana petani kecil di ubah menjadi buruh upahan dan tanah di ubah menjadi modal. Proses ini biasa di tandai dengan manipulasi dan perampasan harta benda melalui kekerasan. Dalam hal ini para pengusaha dengan dibantu oleh orang-orang yang bekerja di pemerintahan melumpuhkan rakyat dengan dalih pembangunan dan kemakmuran rakyat. Akan tetapi semua itu merupakan hasil dari kapitalisme internasional, dan pembangunan hanya di jadikan jargon politik rezim, sebaliknya pemerintah sering melakukan penggusuran-penggusuran lahan hanya untuk kepentingan investasi modal asing atau kroni kekuasaan 3. Rakyat semakin sengsara karena tanah mereka di ambil alih tanpa ada ganti rugi dan kalaupun ada, dibayar dengan harga yang sangat murah sekali. Rakyat tidak berdaya, apalagi ketika mereka menolak untuk menyerahkan tanahnya kepada pemerintah, rakyat di anggap sebagai pembangkang yang tidak mengikuti aturan pemerintah. Dengan latar belakang pola kekuasaan yang militeristik dan birokratik maka rakyat yang membangkang akan dipenjara, di aniaya, dll.
2
Pandangan Sikap Dasar SPI (http://www.fspi.or.id) Mustain, Petani vs Negara, Gerakan Sosial Petani Melawan Hegemoni Negara, Yogyakarta: ArRuzz Media, 2007. Hal. 16 3
Universitas Sumatera Utara
Proses transformasi sosial dan politik di Indonesia yang berlangsung pasca runtuhnya rezim otoritarianisme orde baru ternyata masih meninggalkan sisa-sisa otoritarianisme diberbagai institusi kenegaraan. Proses demokratisasi masih berjalan ditempat. Hal tersebut dapat kita lihat dari berbagai kasus perampasan tanah sepanjang orde baru berkuasa, hingga hari ini belum dapat diselesaikan oleh pemerintah. Bahkan hingga hari ini berbagai bentuk pelanggaran dan perampasan atas hak-hak warga negara masih terus berlangsung. Walaupun berbagai bentuk perundang-undangan yang mensyaratkan terlaksananya demokratisasi dan penegakan hukum telah di dibuat, ternyata tidak menjamin terwujudnya keadilan dan perlindungan terhadap hak-hak petani. Pasca 1998 hingga saat ini, akar masalah ini tak juga berubah. Indonesia masih
dikendalikan
oleh
nekolim
(neokolonialisme-imperialisme)
yakni
penjajahan gaya baru dan terikat pada mekanisme pasar yang berstruktur kapitalistik-neoliberal. Jika dulu penjajahan menggunakan pasukan brsenjata yang secara langsung merepresi rakyat, penjajahan gaya baru menyusup diam-diam dan menindas secara struktural. Jika dulu onderneming-onderneming kolonial merangsek lahan rakyat, pabrik-pabrik perkebunan kolonial, memberangus hakhak kemerdekaan, hak-hak berkumpul, dan hak-hak berserikat, ditekan habishabisan oleh penjajah maka sekarang belum tentu seperti itu. Dulu penjajahan langsung menginfasi daerah-daerah asli benua Asia, Amerika, dan Afrika. Kaum penjajah ini kemudian mengaduk-aduk bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, lalu mengisap hasilnya untuk dialirkan langsung ke negara penjajah. Sekarang penjajahannya sungguh berbeda, karena perkebunanperkebunan raksasa tidaklah masuk dengan cara paksa. Hak-hak rakyat seakan-
Universitas Sumatera Utara
akan ditegakkan, namun pada esensinya bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi kita tetap digunakan untuk kepentingan pemilik kapital. Penjajahan gaya baru tidak terang-terangan, ia tidak dirasakan oleh rakyat. Ia secara ekonomi-politik, sosial dan budaya mempengaruhi pola pikir dan segala sendi kehidupan kita sehari-hari4. Seperti yang terjadi pada saat sekarangpun tanah dimiliki oleh perusahaanperusahaan asing, segelintir konglomerat dan tuan tanah. Tanah di obral melalui perpanjangan tangan bank dunia dan pemerintah (land administration project, LAP), air dijual (UU privatisasi Air No. 7/2004) dan sumber-sumber kekayaan alam yang terkandung dalam tanah Indonesia(UU Penanaman Modal Tahun 2007) 5. Meskipun dalam UUPA diatur hak menguasai negara yang menempatkan negara sebagai personifikasi seluruh rakyat untuk mengatur, menyelenggarakan, peruntukan, mengatur dan menentukan hubungan rakyat dengan tanah, tetapi hanya bersifat hukum publik. Sangat disayangkan pengakuan pemerintah terhadap hak ulayat dan hak atas tanah kepada petani lebih pada law in book, karena palaksanaannya tidak jarang terbentur pada persyaratan diakuinya keberadaan hak itu sendiri yang mengharuskan tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara. Pada tataran praktek pemanfaatan hak-hak petani terhadap tanah, pemerintah melakukan mengambil kepentingan investor dengan pola penguasaan tanah melalui Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Pakai (HP).
4 5
Ibid. Pandangan Sikap Dasar SPI. Dokumen Kongres III, SPI, 2009.
Universitas Sumatera Utara
Dalam praktek penetapan HGU, HGB, HP melalui mekanisme pelepasan hak, justru didahului dengan paksaan dan klaim sepihak dari negara, dengan mengabaikan transparansi, akuntibilitas dan peran serta masyarakat dalam pengambilan keputusan soal alokasi sumber-sumber agraria. Ini disebabkan oleh masih belum berubahnya paradigma kebijakan penguasa yang berorientasi pada invastasi yang menjadikan posisi pemerintah menjadi ambigu. Di satu sisi untuk mewujudkan demokratisasi, penegakan hukum dan keadilan soaial terhadap warga negara, tetapi di sisi lain pemerintah berusaha mempertahankan investasi demi pertumbuhan ekonomi, sehingga aparatur negara tidak bisa mengambil perannya sebagai pelaksana negara yang untuk keadilan kepada petani. Tekanan-tekanan dari luar diperparah dengan sikap aparat pemerintah, militer dan polisi yang mendukung langkah-langkah perusahaan besar di lapangan. Aparat sering kali berhadapan langsung dengan petani demi melindungi kepentingan perusahaan-perusahaan perkebunan. Yang terjadi di lapangan petani harus berhadapan dengan kekuatan bersenjata. Berbagai penindasan dan semakin maraknya perampasan tanah milik rakyat, melahirkan beragam reaksi dari petani. Petani membentuk berbagai macam organisasi-organisasi massa kaum tani sebagai wadah kekuatan untuk mereka bisa merebut kembali tanah yang telah di rampas oleh pengusaha. Bukan hanya di tingkat desa, gerakan-gerakan petani yang muncul lebih luas lagi cakupannya dengan mengusung isu-isu yang lebih kompleks dan mengglobal. Gerakan tani berkembang pesat sebagai keseluruhan melalui taktik tindakan langsung, termasuk pendudukan kantor kongres dan bangunan-bangunan di kotamadya, long march besar-besaran, serta barikade dan blokade jalan. Dalam
Universitas Sumatera Utara
banyak kasus, gerakan tani merupakan kombinasi dari berbagai bentuk perjuangan dari tindakan langsung ke negosiasi dan politik praktis. ”Kohesi” petani datang dari struktur komunitas habitat di pedesaan, pemeliharaan jaringan keluarga yang luas dan ancaman bencana yang di tiupkan oleh kebijakan pasar bebas, serta kampanye-kampanye pengurangan dan pengusiran petani dari tempat tinggalnya. Alasan yang mendorong peneliti untuk memilih tema Kekuatan Politik dan Gerakan Petani sebagai judul penelitian. Yaitu, adanya empati terhadap kondisi dan persoalan yang di hadapi petani yang mengalami berbagai penindasan panjang oleh kuasa dan modal. Meski mayoritas penduduk Indonesia hidup dalam sektor petani , kebijakan negara atas sektor ini ternyata tidak mampu meningkatkan kesejahteraan nasib petani. Petani yang sebagian besar merupakan petani kecil dan tidak memiliki tanah jumlahnya semakin besar, akibat semakin maraknya proses perampasan tanah milik petani oleh kekuatan penguasa dan modal serta intervensi kekuatan pasar ke dalam kehidupan petani 6. Ada dua alasan peneliti dalam memilih SPI sebagai tempat untuk melakukan penelitian. Pertama, SPI lahir dimasa rezim orde baru masih berkuasa. Kelahiran SPI pada masa itu memperlihatkan bahwa perlawanan SPI sudah dimulai dibawah kekuasaan yang otoriter dan represif. Kedua, keterlibatan SPI dalam pergerakan petani ditingkat nasional maupun internasional dimana perjuangan yang dilakukan SPI tidak bersifat lokal serta mengusung isu-isu lokal yang pragmatis semata.
6
Pandangan Organisasi Rakyat Terhadap Reforma Agraria (http://www.fspi.or.id)
Universitas Sumatera Utara
1.2 Perumusan Masalah Penelitian ini memfokuskan perumusan masalah pada: 1. Bagaimana Pola Gerakan Dewan Pengurus Wilayah Serikat Petani Indonesia Sumut Sebagai Sebuah Kekuatan Politik Dalam Memperjuangkan Kasus Sengketa Tanah di Bandar Pasir Mandoge, Asahan? 2. Apa Saja Yang Di Lakukan Oleh Dewan Pengurus Wilayah Serikat Petani Indonesia Sumut Dalam Memperjuangkan Tanah Di Bandar Pasir Mandoge, Asahan?
1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini memiliki tujuan untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik mengenai pola kekuatan dan proses perjuangan kasus tanah dilakukan oleh Serikat Petani Indonesia sebagai organisasi petani.
1.4 Manfaat Penelitian a. penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan bagi penulis dibidang politik khususnya tentang kekuatan dan proses politik. b. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi terhadap perjuangan dan perlawanan masyarakat pedesaan khususnya petani. c. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi bagi gerakan petani untuk merefleksikan dan memperkuat organisasi gerakan.
Universitas Sumatera Utara
1.5. Kerangka Dasar Pemikiran 1.5.1. Kekuatan Politik Kekuatan politik dimanapun di atas dunia selalu mencerminkan masalahmasalah mendalam kesejarahan dan struktural di mana kekuatan-kekuatan politik itu tumbuh, berkembang dan melakukan peranan. Menurut Hannah Arendt Kekuatan (strength) merupakan sifat atau karakter yang di miliki setiap individu. Pada hakikatnya kekuatan berdiri sendiri, namun keberadaan kekuatan dapat dilihat dari relasi antara individu terkait dengan orang lain. Karena itu, kekuatan dapat dipengaruhi. Individu yang sangat kuat pun dapat terpengaruh. Pengaruh yang masuk terkadang
tampak seperti ingin memperkuat individu yang
bersangkutan, namun sesungguhnya memiliki potensi melakukan pengrusakan terhadap kekuatan7. Pada masa orde baru, ketika ideologi developmentalism menjadi pilihan paradigma pembangunan orde baru, ironisnya konsep ini bukan sepenuhnya produk elit negara melainkan hasil kontruksi kekuatan kapital global 8. Sebagai akibatnya, produk-produk kebijakan publik dan program pembangunan yang dihasilkan oleh lembaga-lembaga demokrasi pada masa orde baru tidak lain suara dari para wakil rakyat yang dibawah kontrol dan untuk kepentingan lembaga birokrasi, militer, presiden dan kroni-kroninya. Kekuatan eksekutif birokrasi menjadi representasi kekuatan negara sebagai agen kapitalisme global. Implikasinya , strategi pertumbuhan ekonomi pada masa orde baru dengan prinsip triccle down effect atau menetes kebawah, justru mengalirkan hasil pembangunan
7
Rieke Diah Pitaloka, Kekerasan Negara Menular ke Masyarakat, Yogyakarta: Galang Press, 2004. Hal. 60. 8 Mustain, Petani VS Negara ; Gerakan Sosial Petani Melawan Hegemoni Negara. Yogyakarta: Ar-ruzz Media,2007. Hal. 16.
Universitas Sumatera Utara
itu ke priuk rezim orde baru sendiri. Rakyat yang sudah tertindas oleh represi politik pun menjadi lebih tertindas secara ekonomi politik 9. Penduduk Indonesia yang sebagian besar hidup di sektor pertanian, dengan berlahan sempit dan tidak mempunyai tanah semakin besar jumlahnya. Dengan maraknya proses perampasan tanah maka rakyat semakin miskin dan lemah. Kekuatan yang di miliki oleh pengusaha dengan aparat negara menjadikan rakyat semakin tersingkir dan menderita.
1.5.2. Perubahan Politik dan Kekuatan Rakyat Perubahan politik yang digerakkan oleh berbagai kekuatan rakyat, akhirnya mampu menumbangkan rezim orde baru dengan mewariskan kerusakan politik dan ekonomi negara yang paarah, serta juga mewariskan pemimpin yang berwatakkan mirip orde baru juga dengan tigkat penghambaan kepada kekuatan neoliberalisme yang semakin telanjang. Pada dasarnya perubahan politik belum mampu merubah keadaan seperti yang di inginkan rakyat tani. Seperti yang terlihat dari beberapa hal, dengan kelahiran multi partai, pada dasarnya belum memberikan manfaat secara langsung bagi rakyat, dimana partai sebagai salah satu bentuk kekuatan dan wadah bagi aspirasi rakyat justru didirikan untuk kepentingan tokoh-tokohnya semata dan dalam perjalanannya justru lebih banyak melakukan perdebatan politik untuk kepentingan mereka semata daripada merumuskan agenda menuntaskan persoalan rakyat.
9
Op. Cit. Pandangan Sikap Dasar SPI.
Universitas Sumatera Utara
Pemerintah, parlemen, partai politik serta militer (bahkan orientasi pertahanan masih memfokuskan diri pada musuh dari dalam) di penuhi para pengusaha yang lahir dari tradisi yang di kembangkan oleh orde baru yaitu, monopoli, oligopoli, nepotisme, kolusi dan korupsi. Banyak pengusaha yang menjadi fungsionaris Golkar di masa Orba dan fenomena (kalangan politis, militer, pengusaha) baru, menunjukkan mereka mengincar kursi legislatif dan eksekutif yang berarti pembentukan kapital, akumulasi modal dan pencarian laba tertinggi. Mereka dapat proyek negara dan hutang luar negeri atau modal asing yang berarti melanggengkan ketergantungan lumpan borjuis terhadap borjuis internasional. Meski dengan keadaan tersebut, ada sisi optimisme bahwa perubahan politik saat ini banyak menumbuhkan organisasi rakyat. Kesadaran rakyat semakin meningkat. Aksi massa merupakan cara rakyat
mengemukakan dan
menuntut kepentingannya. Meskipun kelembagaan politik formal masih sepenuhnya di dominasi kekuatan politik yang pro-neoliberal, untuk merebutnya di perlukan suatu jalan rakyat untuk dapat bangkit melawan dan merebut ruangruang politik yang ada. Jalan itu melalui persatuan nasional gerakan rakyat dengan melakukan penguatan dan kapasitas organisasi pokok secara mandiri, serta meningkatkan kualitas dan kuantitas aksi.
1.5.3. Gerakan Sosial Petani Studi tentang gerakan sosial mengalami perkembangan begitu pesat, perkembangan ini di tandai dengan meningkatnya secara kuantitas publikasi dan penelitian tentang gerakan sosial, baik secara kasus ataupun pendalaman teori.
Universitas Sumatera Utara
Studi gerakan sosial telah mengalami perkembangan dengan tidak hanya memfokuskan pada negara-negara maju, akan tetapi juga pada negara-negara dunia ketiga. Gerakan sosial politik sering ditafsirkan sebagai gerakan yang menentang kekuasaan dominan. Pemaknaan ini berangkat dari kenyataan, dalam banyak hal gerakan sosial dan politik berwujud perlawanan, bersifat kontra hegemonik dalam berbagai manifestasinya. Tak dapat disangkal, gerakan sosial politik umumnya digerakkan oleh ideologi perlawanan yang dibutuhkan sebagai pembenaran dan dirumuskan dalam tujuan gerakan dengan maksud agar gerakan tersebut mempunyai landasan dan motivasi yang kuat, serta aspirasi yang tangguh, supaya mampu melawan kekuatan lebih besar yang dihadapi. Dengan kata lain, gerakan sosial politik umumnya menganut ideologi anti-ekstorsi atau ideologi antipemerasan, dan menekankan penolakan tarhadap sistem yang dianggap tidak adil dan menindas. Gerakan sosial politik sering pula diidentikkan dengan radikalisme yang bermakna sebagai gerakan sosial yang menolak secara menyeluruh tertib sosial yang sedang berlaku, dan ditandai kejengkelan moral yang kuat untuk menentang dan bermusuhan dengan kaum yang punya hak-hak istimewa dan berkuasa. Karena itu, salah satu aspek paling menarik dari gerakan-gerakan sosial adalah dimensi politiknya, di mana pada dasarnya semua gerakan tersebut merupakan ekspresi protes terhadap keadaan sosial yang tidak adil atau berbagai kekacauan, termasuk penghisapan dan penindasan oleh mereka yang menggunakan kekuasaan.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Mansour Fakih, ada dua pendekatan dalam memandang teoriteori gerakan sosial. Pertama, pendekatan fungsionalisme yang melihat masyarakat dan pranata sosial sebagai sistem dimana seluruh bagiannya saling bergantung satu sama lain dan bekerjasama guna menciptakan keseimbangan. Pendekatan konflik melihat Kedua,pendekatan konflik yang berakar dalam Marxisme tradisional, yang didasarkan pada pendapat mereka bahwa revolusi adalah suatu kebutuhan yang disebabkan oleh memburuknya hubungan produksi yang memunculkan masa krisis ekonomi, depresi dan kehancuran. 10 Teori konflik pada dasarnya menggunakan tiga asumsi dasar. Pertama, rakyat dianggap memiliki sejumlah kepentingan dasar dimana mereka akan berusaha secara keras untuk memenuhinya. Kedua, kekuasaan adalah inti dari struktur sosial dan ini melahirkan perjuangan untuk mendapatkannya. Ketiga, nilai dan gagasan adalah senjata konflik yang digunakan oleh berbagai kelompok untuk mencapai tujuan masing-masing, ketimbang sebagai alat mempertahankan identitas dan menyatukan tujuan masyarakat. 11 Dalam
mendefenisikan
gerakan
sosial
petani,
pada
umumnya
pendefenisian gerakan sosial oleh para ahli sosiologi telah memiliki pondasi yang kuat, sementara perdebatan dan kontroversi masih terjadi terhadap pendefenisian perkataan ‘petani’ (sebagai pelaku utama gerakan sosial itu sendiri) diantara ahli sejarah dan antropologi. Pendefenisian mengenai petani dan gerakannya yang dianggap memiliki kompetensi adalah yang dilakukan oleh Barrington Moore Jr dan Eric R. Wolf. Keduanya secara kebetulan memiliki banyak persamaan
10
Mansour Fakih, Masyarakat Sipil untuk transformasi sosial; Pergolakan Ideologi LSM Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996. Hal 42-43. 11 Ibid. Hal 43.
Universitas Sumatera Utara
sepanjang pandangan umum dan orientasi mereka terhadap masyarakat, serta beberapa kekokohan mereka masing-masing. Moore menjelaskan bahwa pendefenisian petani tidak mutlak karena batasnya memang kabur pada ujung kenyataan sosial itu sendiri. Menurutnya, kekhususan de facto dalam pemilikan tanah merupakan ciri-ciri pokok yang membedakan seorang petani. Sementara Wolf mendefenisikan petani sebagai penduduk yang secara ekstensial terlibat dalam proses cocok-tanam dan membuat keputusan yang otonom tentang proses cocok-tanam. Kategori itu dengan demikian mencakup penggarapan atau penerima bagi hasil maupun pemilikpenggarap selama mereka ini berada pada posisi pembuat keputusan yang relevan tentang bagaimana pertumbuhan tanaman mereka 12. Terlepas dari pendefenisian petani yang telah dilakukan oleh beberapa ahli, Serikat Petani Indonesia telah menggariskan defenisi petani yang menjadi basis massanya secara jelas dalam Anggaran Rumah Tangganya. Organisasi ini menegaskan bahwa yang disebut dengan petani adalah setiap perempuan maupun laki-laki, yang mengolah tanah secara sendiri-sendiri dan atau secara bersamasama untuk kegiatan pertanian guna menghidupi diri dan keluarganya. Disamping itu, SPI juga mengidentifikasikan petani yang menjadi basis massanya adalah petani perempuan dan petani laki-laki yang berada di wilayah pedesaan, yang berada pada posisi dan kondisi tertindas baik secara politik, ekonomi, sosial dan budaya. Basis massa tersebut meliputi Petani kecil/berlahan sempit, Petani penyewa lahan, Petani bagi hasil, Petani PIR, Petani penumpang lahan, Buruh
12
Landsberger, Henry A. dan YU. G. Alexandrov. 1981. Pergolakan Petani dan Perubahan Sosial, Jakarta : C.V. Rajawali. Halaman 10
Universitas Sumatera Utara
tani, Buruh perkebunan, Masyarakat adat yang hidup dari pertanian dan hasil hutan 13. Untuk melihat penyebab yang melatar belakangi lahirnya gerakan petani, Bates dan Popkin dengan melihat dari perspektif ekonomi-politik menyatakan, bahwa penyebab atas terjadinya pemberontakan para petani tradisional datang dari penetrasi kapitalisme yang imperialistik ke kawasan pedesaan yang dalam banyak kasus melahirkan eksploitasi terhadap para petani oleh para tuan tanah, oleh negara, dan kaum kapitalis 14.
1.5.4. Pandangan klasik terhadap gerakan petani Penindasan terhadap petani dipedesaan telah menghiasi wajah pedesaan sejak dulu hingga sekarang. Setelah feodalisme ditaklukkan dan kehilangan kuasa utama dipedesaan, para penguasa kapitalis dan negara kolonial telah menjadi sumber penindasan baru. Kemerdekaan bangsa Indonesia tidak semerta-merta memberikan kemerdekaan terhadap kaum tani di pedesaan. Pagelaran kekuasaan yang menindas masih terus berjalan dalam bentuk penguasaan oleh negara dan modal. Hingga hari ini masyarakat pedesaan, terutama petani masih dijadikan sebagai objek eksploitasi dan korban dari bias pembangunan industrialisasi perkotaan sebagai penyedia bahan pangan murah bagi masyarakat kota demi stabilitas politik penguasa. Tidak banyak perubahan yang terjadi terhadap kondisi kehidupan petani di pedesaan hingga hari ini. Mayoritas petani di Indonesia merupakan petani
13 14
Anggaran Rumah Tangga SPI, pasal 3-8. Op. cit. Mustain, Hal. 8
Universitas Sumatera Utara
berlahan sempit bahkan tidak bertanah (buruh tani). Tumbuh dan berkembangnya cara produksi kapitalisme senantiasa bermula dengan proses ganda, yakni melepaskan petani dari ikatan dengan tanahnya untuk menjadi sumber buruh upahan dan mengintegrasikan tanah tersebut menjadi modal. Proses akumulasi ganda ini disebut Marx sebagai akumulasi primitif. Ben Fine mendefinisikan akumulasi primitif
bahwa, karena hubungan produksi pra-kapitalis utamanya
bersifat pertanian, para petani yang memiliki alat produksi yang pokok (tanah), maka kapitalisme hanya dapat diciptakan dengan cara melepaskan kepemilikan petani atas tanahnya. Asal usul kapitalisme dimulai dari transformasi hubunganhubungan produksi yang terdapat pada tanah itu. Membebaskan ikatan petani dari tanahnya adalah sumber bagi munculnya buruh upahan, baik untuk tenaga kerja pertanian maupun industri. 15 Dalam bukunya Peasant War in Twentieth Century, Wolf menyimpulkan penyebaran kapitalisme dari Atlantik Utara sebagai pemaksa ekonomi pasar pada masyarakat pra-kapitalis. Kapitalisme telah mengacau balaukan keseimbangan– keseimbangan yang dahulu ada pada masyarakat petani. Petani telah ditransformasi menjadi aktor ekonomi, terlepas dari komitmen sosial yang terdahulu ada pada keluarga dan tetangga
16
. Meluasnya kekuatan pasar hingga
kepedesaan telah meretakkan hubungan eksploitatif antara petani dan tuan tanahnya. Menyebarnya pasar yang sangat eksploitatif tersebut disertai dengan berbagai jalur ekonomi, politik dan pendidikan untuk memunculkan elit baru, baik
15
Noer Fauzi, Memahami Gerakan-gerakan Rakyat Dunia Ketiga,Yogyakarta: Insist Press, 2005. Halaman 138 16 Ibid. Halaman 16
Universitas Sumatera Utara
pedagang, intelektual maupun aktifis politik. Dalam situasi peralihan yang bergejolak tersebut, perlawanan petani mendapatkan momentumnya. Menurut Scott, meluasnya peran negara dalam proses transformasi di pedesaan mengakibatkan dampak yang mendorong munculnya perlawanan petani. Pertama, kesenjangan hubungan antara petani kaya dan miskin. Kesenjangan tersebut memicu perlawanan kaum miskin terhadap hegemoni kaum kaya maupun negara. Kedua, munculnya pembelotan kultural dalam berbagai bentuk, akibat lahirnya kesadaran petani terhadap realitas mereka. Ketiga, terbangunnya senjata gerakan perlawanan menghadapi kaum kaya maupun negara. Senjata yang digunakan khas dengan caranya sendiri, budaya perlawanan khas kaum lemah seperti menghambat, pura-pura menurut, pura-pura tidak tahu, perusakan, berlaku tidak jujur, mencopet, masa bodoh, membuat skandal, membakar, memfitnah, sabotase
yang
mengakhiri
pertentangan
secara
kolektif.
Bentuk-bentuk
perlawanan tersebut sangat sesuai dengan karakteristik petani yang lemah karena tidak banyak membutuhkan koordinasi atau perencanaan 17. Menurut Scott, tujuan sebagian besar perlawanan petani bukanlah secara langsung mengubah sistem dominasi yang mapan, melainkan lebih dimaksudkan sebagai upaya untuk tetap hidup dalam sistem itu. Ada tiga hal yang menurutnya perlu dijelaskan yakni, pertama, tidak ada keharusan bagi perlawanan untuk mengambil bentuk aksi bersama. Kedua, perlawanan merupakan masalah yang sangat pelik. Ketiga, perlawanan simbolis tersebut merupakan bagian yang tak terpisahkan dari perlawanan berdasarkan kelas.
17
Op. Cit. Mustain, Hal. 23
Universitas Sumatera Utara
Bagi Scott masyarakat tradisional mempunyai tertib moral yang sudah lama ada dan tidak dapat dipisahkan dari masalah subsistensi. Tatanan sosial dari kehidupan petani telah menghasilkan sistem jaminan keamanan hidup internal yang secara normatif dapat ditegakkan untuk memenuhi kebutuhan semua masyarakat desa. Kolonialisme telah mengacau balaukan tatanan tersebut dengan melakukan eksploitasi tanpa batas sehingga muncul diferensiasi sosial yang baru, dislokasi agraria, kemerosotan moral kearah individualistis, dan kapitalisme agraria yang rakus, yang mengancam kehidupan petani. Scott menekankan moralitas dan kemarahan petani sebagai respon yang muncul atas hilangnya jaminan keamanan subsistensi minimum. Baginya, pemberontakan petani pada dasarnya bersifat konservatif dan restoratif (mempertahankan dan mengembalikan tatanan yang terdahulu)
18
.
Menurut Scott, kehidupan petani ditandai oleh hubungan moral subsistensi tersebut melahirkan moral ekonomi yang lebih mengutamakan “dahulukan selamat’ dan menjauhkan diri dari garis bahaya. Moralitas inilah yang dijadikan faktor kunci dalam menjelaskan gerakan perlawanan petani. Berdasarkan hasil penelitiannya di Malaysia, Scott menunjukkan bahwa perlawanan sehari-hari merupakan bentuk perlawanan terselubung (perlawanan secara simbolis) bagi petani sebagai reaksi terhadap penindasan sehari-hari yang dilakukan para tuan tanah, sebagai musuh bersama mereka, secara global berdiri sebagai perlawanan terhadap dampak revolusi hijau yang dirasa mengancam kelangsungan hidupnya 19.
18 19
Op. Cit. Noer Fauzi, Hal. 22 Log. Cit. Mustain, Hal. 26
Universitas Sumatera Utara
Berbeda dengan Popkin yang meyakini bahwa masyarakat tradisional tidak kurang eksploitatifnya ketimbang kolonialisme, dan menganggap solidaritas sosial dari pedesaan tradisional tidak pernah ada. Baginya tertib moral tersebut merupakan
ilusi para sarjana
yang
meromantisir
kehidupan pedesaan.
Kolonialisme menyediakan kesempatan yang berbeda untuk berkompetisi. Menghadapi hal itu, para petani mengambil sikap yang berbeda menurut rasionalitasnya. Popkin menyebutkan bahwa para individu mengevaluasi apa yang mungkin diperoleh akibat dari pilihan yang akan diambilnya berdasarkan kecenderungan dan nilai yang dianutnya. Petani menanggapinya dengan perhitungan untung rugi dan penuh cemas-harap, ketika menghadapi tekanan kelembagaan baru yang datang menerpa, yakni kekuatan pasar. Menurutnya gerakan petani bukanlah bersifat restoratif tetapi mencari jalan untuk menjinakkan kapitalisme, lalu bekerja didalam kapitalisme yang telah dijinakkan tersebut
20
.
1.6 Metodologi Penelitian 1.6.1 Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif yang mencoba menggambarkan gerakan petani yang di aktualisasikan oleh Serikat Petani Indonesia dalam memperjuangkan kasus tanah. Penelitian ini merupakan fakta melalui pengumpulan data-data untuk kemudian dipelajari, diolah, dianalisa dan kemudian ditafsirkan yang di sajikan secara deskriptif.
20
Log. Cit. Noer Fauzi, Hal. 23
Universitas Sumatera Utara
1.6.2 Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Serikat Petani Indonesia Sumut dengan basis desa simpang Sei Kopas Kecamatan Bandar Pasir Mandoge, Asahan.
1.6.3 Informan a. Pengurus aktif SPI Sumut. Informan yang dimaksud adalah anggota yang sedang menjabat sebagai pengurus di struktur kepengurusan SPI Sumut. b. Anggota SPI Sumut. Informan yang dimaksud adalah anggota SPI Sumut yang memahami benar sejarah perjalanan dan perkembangan SPI Sumut serta memahami kebijakan-kebijakan dan sikap organisasi. c. Aktifis SPI Sumut. Yang dimaksud adalah aktifis yang terlibat dalam pendirian organisasi massa SPI Sumut, serta terlibat dalam pendampingan, pelatihan dan pengadvokasian SPI Sumut. Aktifis yang dimaksud adalah aktifis Sintesa serta konsulat yang telah di angkat oleh SPI Sumut. 21
1.6.4 Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara: a. Observasi, melalui kegiatan ini peneliti diharapkan mampu mengamati secara langsung bagaimana objek dalam penelitian, sehingga dalam penelitian didapat gambaran mengenai kondisi objek penelitian. b. Studi pustaka, yakni pengumpulan data yang berasal dari buku-buku yang sesuai dengan objek kajian penelitian serta materi-materi yang berkaitan
21
Sintesa merupakan Ornop di Sumatera Utara yang berperan sebagai organisasi pendukung gerakan-gerakan rakyat miskin lintas sektoral (buruh, miskin kota, nelayan), terutama petani, hingga mendorong terbentuknya organisasi massa petani, SPI Sumut.
Universitas Sumatera Utara
dengan permasalahan, terutama permasalahan perlawanan petani secara cultural dan secara politik yang memperjuangkan tanahnya. c. Wawancara, dengan melakukan komunikasi secara langsung untuk mendapatkan
informasi
secara
mendalam
dengan
mengeksplorasi
pertanyaan-pertanyaan pada informan dengan mengacu pada interview guide yang telah dirumuskan peneliti.
1.6.5 Analisa Data Penelitian kualitatif ditandai dengan pengumpulan, pengolahan, analisis dan penafsiran. Data yang telah diperoleh yang terkumpul dalam catatan lapangan, gambar atau foto jika dibutuhkan,dipelajari dan ditelaah. Tahapan selanjutnya adalah reduksi data yaitu pembuatan abstraksi yang merupakan usaha membuat rangkuman yang inti, proses dan pertanyaan-pertanyaan yang perlu dijaga sehingga tetap berada didalam kerangka penelitian.
1.6.6 Sistematika Penulisan Penulisan skripsi ini diawali dengan Bab I sebagai Pendahuluan yang memuat latar belakang dan tujuan penelitian, yang berimplikasi dalam metodologi dan teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian. Dalam bab ini juga diuraikan kerangka dasar pemikiran sebagai perspektif penelitian, dan diakhir bab ini digambarkan sistematika penulisan yang digunakan. Bab kedua merupakan pendiskripsian subjek penelitian beserta aspekaspek yang memiliki relevansi dengan subjek penelitian. Bab ini diawali dengan uraian mengenai kondisi sosial petani dan akar masalahnya, serta penjabaran
Universitas Sumatera Utara
reaksi petani atas kondisi tersebut yang digambarkan sebagai kekuatan politik dalam mempengaruhi proses politik organisasi gerakan petani. Bab ini diakhiri dengan pendiskripsian secara singkat sejarah dan profil Serikat Petani Indonesia Sumatera Utara. Bab ketiga merupakan uraian deskriptif atas penafsiran dan penganalisaan datadata yang diperoleh. Bab keempat berupa uraian yang berusaha menyimpulkan temuan-temuan penelitian yang telah dianalisis pada bab sebelumnya. Bab ini akan diakhiri dengan kritik, saran atau masukan yang memiliki relevansi dengan masalah dan subjek penelitian.
Universitas Sumatera Utara