BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Memuji, terutama di Indonesia, sudah menjadi kebiasaan. Menurut Holmes (1986:485), pujian adalah tindak tutur yang secara eksplisit atau implisit menjelaskan nilai yang baik kepada orang lain selain pembicara, biasanya orang tersebut ditandai dengan beberapa kecakapan yang secara positif dihargai oleh pembicara dan pendengar. Secara lengkap, pujian didefinisikan Holmes sebagai berikut. A compliment is a speech act which explicitly and implicitly attributes credit to someone other than the speaker usually the person addressed, for some “good” (possession, characteristic, skill, etc.) which is positively valued by the speaker and the hearer. Selain sebagai tindak tutur, pujian didefinisikan Eckert dan McConnell-Ginet (2003:145) sebagai apresiasi positif pada orang lain yang disampaikan untuk suatu hal atau tindakan, baik secara eksplisit maupun implisit. Menurut Herbert (1990:202), pujian berisi pernyataan yang cenderung diambil dari kepedulian, misalnya, penampilan pribadi (terutama pakaian dan rambut), barang (baru), dan hasil keterampilan atau usaha. Pujian membuat pendengar merasa baik dan membatasi kemungkinan pendengar akan menyalahartikan maksud pembicara untuk menawarkan solidaritas dan niat baik. Sisi lain dari pujian adalah kekaguman, penghargaan, dan pemuliaan. Oleh karena itu, KBBI (2015:1112) mendefinisikan memuji adalah melahirkan kekaguman dan penghargaan kepada sesuatu (yang dianggap baik, indah, gagah
1
2
berani,
dan
sebagainya);
memuliakan
(nama
Tuhan
dan
sebagainya).
Poerwadarminta (1976:772) mendefinisikan pujian adalah (pernyataan) heran dan penghargaan kepada kebaikan (keunggulan dan sebagainya) sesuatu, sedangkan memuji adalah 1) melahirkan keheranan dan penghargaan kepada sesuatu (yang dianggap baik, indah, gagah, berani, dan sebagainya); 2) memuliakan (nama Tuhan dan sebagainya). Selain itu, Badudu dan Zain (1994:1098) mendefinisikan pujian adalah pernyataan yang memuji dan sangat menghargai, sedangkan memuji adalah 1) memuja; 2) menyatakan penghargaan yang tinggi atas kelebihan atau prestasi orang lain; 3) menyanjung, menghormati secara berlebihan. Dalam penelitian ini, pujian yang dimaksud adalah apresiasi positif terhadap suatu hal baik yang dimiliki oleh orang lain, baik secara eksplisit maupun implisit, seperti penampilan, karakteristik, kecerdasan, keahlian, dan kepemilikan. Holmes menegaskan bahwa pujian umumnya dianggap sebagai paradigma strategi kesopanan positif (via Mills, 2003:219). Kesopanan yang positif menunjukkan kedekatan dan afiliasi (Mills, 2003:59). Oleh karena itu, memuji dengan tepat dapat membuat dua orang atau lebih menjadi karib, seperti idiom keep someone at arm’s length. Keep someone at arm’s length berarti ‘menjaga seseorang untuk menjadi karib sehingga menghindari bahaya sosial dan psikologis’ (Lakoff, 1987:448). Tujuan utama memuji adalah membuat mitra tutur merasa senang dan merasa lebih dihargai. Jika mitra tutur merasa dihargai, maka penutur dan mitra tutur akan menjadi dekat dan harmonis. Tidak jarang pujian digunakan untuk berbasa-basi. Ada pujian yang digunakan untuk mengungkapkan rasa kagum.
3
Akan tetapi, ada juga pujian yang diberikan karena maksud tertentu, misalnya, pujian yang digunakan untuk mempengaruhi atau membuat lawan tutur melakukan sesuatu. Bahkan, adapula yang menggunakan pujian untuk menyindir. Bentuk bahasa yang digunakan oleh laki-laki dan perempuan berbeda – untuk derajat yang berbeda– pada semua masyarakat tutur (Holmes, 2013:159). Berikut adalah contoh pujian yang diberikan oleh laki-laki (L) dan perempuan (P). (1) (2) (3) (4)
Kamu cantik. (L) Kamu cantik, perawatannya apa? (P) Mukak kamu cantik lho. Selain cantik kamu bisanya apa? (L) Bisa gak wajahnya gak usah cantik, manis, dan imut gitu? Lama-lama saya minder deket kamu. Hahaha. Gak deh bercanda. (P) (konteks: memberikan pujian pada teman yang cantik)
Pada data (1), pujian yang diberikan penutur pada mitra tutur murni sebagai pujian karena kecantikan mitra tutur. Pada data (2), pujian yang diberikan penutur digunakan untuk mengetahui cara mitra tutur agar dapat terlihat cantik. Pada data (3), penutur memberikan pujian pada kecantikan mitra tutur, tetapi penutur juga memberikan sindiran pada mitra tutur. Pada data (4), penutur memberikan pujian dengan bertanya pada mitra tutur dan meminta mitra tutur untuk mengurangi kecantikannya karena membuat penutur merasa minder. Dari keempat data di atas dapat diketahui bahwa pujian tidak hanya digunakan untuk memuji. Selain itu, pujian yang diberikan oleh laki-laki yang kebanyakan bergender maskulin dan perempuan yang kebanyakan bergender feminin cenderung berbeda. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data pujian oleh gender maskulin dan feminin. Manusia juga berpikir dan berbicara secara metaforis. Sebuah konsep dapat menjadi beberapa konsep lain dan setiap orang dapat memiliki konsep yang
4
berbeda mengenai suatu konsep. Oleh karena itu, pujian dapat menjadi beberapa konsep lain dan setiap orang dapat memiliki konsep yang berbeda mengenai pujian. Berdasarkan uraian di atas, peneliti melihat beberapa hal yang dapat dikaji, antara lain pemilihan kata antara gender maskulin dan feminin, referen dan pola pujian yang digunakan gender maskulin dan feminin, dan skema pikiran dalam memberi pujian.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, terdapat tiga masalah yang dirumuskan sebagai berikut. a. Apa saja bentuk pujian dalam bahasa Indonesia? b. Bagaimana referen dan pola pujian gender maskulin dan feminin? c. Bagaimana skema pikiran dalam memberi pujian?
1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas dapat ditentukan tiga tujuan penelitian, yaitu sebagai berikut. a. Mengidentifikasi bentuk pujian yang diberikan dalam bahasa Indonesia. b. Mendeskripsikan referen dan pola pujian yang diberikan oleh gender maskulin dan feminin. c. Mendeskripsikan skema pikiran dalam memberi pujian.
5
1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat pada kajian sosiolinguistik dan linguistik kognitif. Analisis sosiolinguistik mengkaji mengenai perbedaan pujian yang digunakan antara gender maskulin dan feminin, baik pemilihan kata, referen, maupun pola pujian. Analisis linguistik kognitif mengkaji mengenai metafora konseptual mengenai pujian.
1.5 Ruang Lingkup Pada penelitian ini, peneliti berfokus pada segala hal yang berhubungan dengan pujian yang diperoleh dari kuesioner, baik kata maupun kalimat, khususnya pujian yang menggunakan bahasa Indonesia. Pujian yang akan diteliti dibatasi pada pujian yang dilakukan oleh remaja berusia 17 sampai dengan 25 tahun dengan jumlah responden 51 orang, 23 laki-laki dan 28 perempuan. Penelitian dibatasi pada kata yang menunjukkan pujian, referen yang diberi pujian, pola yang digunakan, dan skema pikiran yang digunakan pemuji.
1.6 Tinjauan Pustaka Pustaka
yang
dijadikan
sebagai
tinjauan
adalah
penelitian
yang
menggunakan sosiolonguistik mengenai gender dan linguistik kognitif mengenai metafora konseptual sebagai teori kajiannya. Penelitian tersebut antara lain adalah sebagai berikut. Sari (2013) dalam skripsi yang berjudul “Gender Based Differences Compliment and Compliment Response Behavior in American Talk Show The
6
Oprah Winfrey Show” membahas perilaku dalam pemberian pujian berdasarkan perbedaan gender yang terdapat di acara The Oprah Winfrey Show. Selain itu, penelitian tersebut juga membahas tanggapan terhadap pujian yang diberikan oleh para pengisi acara talk show. Sampel diambil dari seluruh peserta pengisi acara (pembawa acara, bintang tamu, penonton), baik pria maupun wanita. Data diperoleh dari sepuluh video acara The Oprah Winfrey Show yang diambil secara acak. Dari penelitian tersebut dapat diketahui bahwa wanita lebih sering memberikan pujian pada lawan jenis. Wanita dan pria cenderung memberikan pujian secara eksplisit serta menggunakan bermacam strategi dalam menanggapi pujian yang diterima. Kinanti (2014) dalam tesis yang berjudul “Memuji dan Merespon Pujian dalam Bahasa Indonesia (Studi Kasus di Lingkungan Mahasiswa dan Acara Hiburan Televisi)” mengkaji pujian dan respon pujian dalam bahasa Indonesia di lingkungan mahasiswa dan acara hiburan televisi dengan deskripsi kualitatif. Pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan sosiopragmatik. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui realisasi strategi kesopanan memuji dalam bahasa Indonesia, realisasi strategi kesopanan merespon pujian dalam bahasa Indonesia, dan variabel-variabel sosial yang mempengaruhi pemilihan bentuk tuturan memuji dan merespon pujian dalam bahasa Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pujian dan respon pujian dalam bahasa Indonesia menggunakan jenis kalimat deklaratif, interogatif, imperatif, dan eksklamatif. Tuturan merespon pujian di kalangan mahasiswa dan acara hiburan televisi mengalami pergeseran, yaitu adanya respon menerima pujian dan mengucapkan terima kasih.
7
Diana dan Andreani (2012) dalam skripsinya yang berjudul “Gender Differences in Responding to Compliments in Indonesian: A Case Study of University Students” membahas pengaruh perbedaan gender dalam menanggapi pujian. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui pengaruh perbedaan jenis kelamin dalam menanggapi pujian, mengetahui tipe pujian yang banyak digunakan laki-laki dan perempuan. Penelitian dibuat dengan menggunakan metode kualitatif untuk menganalisis hasil rekaman. Dari hasil analisis data diketahui bahwa terdapat perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam menanggapi pujian karena perbedaan ide, tujuan, dan cara bicara. Laki-laki cenderung membenarkan pujian yang dirasa kurang cukup (praise upgrade), sedangkan perempuan cenderung memberi pujian kembali lawan tutur (return). Rachmania (2010) dalam skripsinya yang berjudul “Ungkapan Emosi Kemarahan dan Kesedihan Remaja Laki-laki dan Perempuan melalui Status Facebook” membahas ungkapan emosi kemarahan dan emosi kesedihan remaja laki-laki dan perempuan melalui status facebook yang berhubungan dengan stereotipe gender. Penelitian tersebut bertujuan untuk mendeskripsikan ungkapan emosi kemarahan dan kesedihan remaja melalui status facebook, membandingkan ungkapan yang ditulis laki-laki dan perempuan, dan melihat pengaruh stereotipe pada laki-laki dan perempuan dalam menulis ungkapan emosi kemarahan dan kesedihan. Teori yang digunakan adalah teori sosiolinguistik, gender, dan psikologi. Harawati (2013) dalam skripsinya yang berjudul “Ungkapan Kemarahan Laki-laki dan Perempuan dalam Bahasa Indonesia: Kajian Sosiopragmatik”
8
membahas pemaparan ungkapan kemarahan laki-laki dan perempuan dalam bahasa Indonesia yang menyangkut identifikasi bentuk tuturan dan referen ungkapan kemarahan, peristiwa tutur kemarahan, dan faktor pemengaruh munculnya ungkapan kemarahan. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan sosiopragmatik. Sumber data dalam penelitian ini adalah video-video Ups Salah yang diunduh dari laman youtube periode 14 November 2012 sampai 27 Maret 2013. Metode analisis yang digunakan adalah metode agih dan metode padan. Metode agih dengan teknik bagi unsur langsung digunakan untuk menganalisis bentuk tuturan ungkapan kemarahan. Metode padan referensial digunakan untuk menganalisis referen ungkapan kemarahan, sedangkan metode padan pragmatis digunakan untuk menganalisis peristiwa tutur dan faktor pemengaruh kekasaran dalam ungkapan kemarahan laki-laki dan perempuan. Dari hasil penelitian diketahui bahwa perempuan lebih banyak menggunakan ekspresi verbal dalam mengungkapkan kemarahan daripada laki-laki. Melalui struktur ungkapan kemarahan, dapat diketahui bahwa perempuan adalah tipe pembicara yang talkactive dan ungkapan kemarahan yang muncul dapat berbeda-beda karena pengaruh konteks dan karakter masing-masing penutur. Nirmala (2012) dalam disertasinya yang berjudul “Metafora dalam Wacana Surat Pembaca di Surat Kabar Harian Berbahasa Indonesia: Tinjauan Linguistik Kognitif” membahas metafora yang diformulasikan dari ungkapan yang digunakan penulis surat pembaca. Ungkapan tersebut merepresentasikan pikiran, perasaan, serta pengalaman yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Penelitian
9
tersebut bertujuan untuk mengkaji metafora dari segi bentuk, jenis, sistem konsep, dan
fungsinya
untuk
mendapatkan
kaidah
yang
berhubungan
dengan
pembentukan ungkapan metaforis dan sistem pemaknaan serta sikap penuturnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa frase nomina dan verba
mendominasi
ungkapan metaforis, yang didukung oleh bentuk dasar nomina dan kata bentukan verba karena afiksasi dan deafiksasi. Menurut jenisnya, keuniversalan dan kespesifikan ditunjukkan oleh konsep ranah target dan sumber karena pengalaman inderawi, pengalaman fisik, pemanfaatan ruang, gerak, waktu, dan teknologis. Menurut sistem konsepnya, metafora memiliki tiga lapis makna, yaitu: literal, metaforis, dan literer. Rahmawati (2015) dalam tesisnya yang berjudul “Metafora Konseptual Language dalam Bahasa Inggris” membahas metafora konseptual language yang diproduksi oleh penutur bahasa Inggris. Penelitian tersebut menjawab permasalahan tentang realisasi language sebagai ranah sasaran, ranah sumber yang terbentuk, dan korespondensi metaforisnya. Teori yang digunakan adalah teori linguistik kognitif, metafora konseptual, dan analisis komponensial makna. Penelitian menunjukkan bahwa konsep language dianggap sebagai sebuah konsep yang memiliki cakupan luas. Language juga dianggap sebagai kata yang fleksibel dan kaya fitur semantik. Language cenderung bersifat aktif, powerful, dan bermanfaat dalam kognisi penuturnya. Jadi, metafora dapat digunakan sebagai media untuk melihat kognisi penutur mengenai suatu konsep melalui tuturan yang diproduksi.
10
Rahardjo (2009) dalam skripsinya yang berjudul “Metafora Pengungkapan Cinta pada Pantun Melayu” membahas metafora pengungkapan cinta pada pantun Melayu yang diambil dari subbab “Cinta yang Berjaya” pada buku yang berjudul Kumpulan Pantun Melayu. Hasil dari penelitian adalah bentuk-bentuk metafora pengungkapan cinta pada pantun Melayu; ranah-ranah yang digunakan untuk mengkonseptualisasikan cinta; hubungan pemetaan konseptual antarranah tersebut. Salim (2015) dalam skripsinya yang berjudul “Metafora Konseptual dalam Buletin Mocopat Syafa’at” membahas suatu ranah konseptual yang membangun ranah konseptual lain dan sebaliknya dilihat dari ekspresi kebahasaan berupa metafora. Selain itu, penelitian tersebut juga membahas makna pada ekspresi kebahasaan berupa metafora yang dianggap bukan makna sebenarnya. Hal tersebut menandai bahwa metafora mengalami suatu proses yang menyebabkan munculnya struktur makna. Dari analisis data dapat diketahui bahwa suatu ranah konseptual tidak hanya membangun satu ranah konseptual lain secara khusus, tetapi juga dapat membangun ranah-ranah konseptual yang lain, begitu pula sebaliknya. Munculnya makna baru pada metafora terjadi akibat proses integrasi konseptual yang berupa jaringan bidang tunggal, jaringan bidang ganda, dan multiple blending. Azhar (2013) dalam skripsinya yang berjudul “Metafora Konseptual ‘ARGUMENT IS WAR’ dalam Berita Bisnis pada Surat Kabar Berbahasa Inggris: Kajian Semantis” membahas data metafora ARGUMENT IS WAR dalam berita bisnis yang berbentuk offensive, defensive, dan neutral berdasarkan kategori
11
“metafora offence dan defense”. Penulis menggunakan metode deskriptif-analitis. Penulis menganalisis pemetaan struktur metafora dan makna metaforis. Dari penelitian tersebut dapat diketahui bahwa dalam berita bisnis yang sering muncul adalah kategori offensive. Sholihah (2015) dalam skripsinya yang berjudul “Metaphors in World Cup 2014 Brazil from The Jakarta Post” membahas metafora pada berita Piala Dunia 2014 yang diterbitkan oleh The Jakarta Post. Dari penelitian ditemukan lima belas ekspresi linguistik yang membentuk lima metafora konseptual. Tiga metafora struktural diklasifikasikan ke dalam metafora struktural, satu metafora konseptual diklasifikasikan ke dalam metafora orientasional dan satu metafora konseptual diklasifikasikan ke dalam metafora ontologi. Di antara tiga jenis metafora tersebut, metafora struktural merupakan jenis metafora konseptual yang paling sering digunakan oleh The Jakarta Post. Dari beberapa penelitian di atas, belum ditemukan kajian mengenai pujian laki-laki dan perempuan terkait dengan bentuk, referen, pola, dan skema pikiran. Oleh karena itu, peneliti akan mengidentifikasikan bentuk-bentuk yang digunakan dalam pujian, mendeskripsikan pola dalam memberi pujian antara gender maskulin dan feminin, serta mendeskripsikan skema pikiran mengenai pujian.
1.7 Landasan Teori Pujian adalah tindak tutur yang secara eksplisit atau implisit menjelaskan nilai yang baik kepada orang lain selain pembicara, biasanya orang tersebut ditandai dengan beberapa kecakapan yang secara positif dihargai oleh pembicara
12
dan pendengar (Holmes, 1986:485). Jadi, pujian dapat diberikan dalam bentuk eksplisit atau implisit. Selain itu, berdasarkan satuan gramatik, bentuk bahasa dapat berupa wacana, kalimat, klausa, frasa, kata, dan morfem (Ramlan, 2005:21). Berdasarkan jumlah klausa yang digunakan, kalimat dapat dibagi menjadi dua, yaitu kalimat tunggal dan kalimat majemuk. Kalimat juga dapat dianalisis berdasarkan modus yang digunakan, yaitu deklaratif, interogatif, imperatif, dan ekslamatif. Selain menganalisis pujian berdasarkan satuan gramatik, pujian juga dapat dianalisis berdasarkan ragam situasi dan tindak tuturnya. Martin Joos dalam artikelnya yang berjudul “The Isolation of Style” membagi tingkat formalitas dalam berbicara menjadi lima ragam, yaitu ragam beku, ragam formal, ragam konsultatif, ragam santai, dan ragam akrab (dalam Fishman, 1972:188). Tindak tutur dapat dibedakan menjadi tindak tutur langsung, tindak tutur tidak langsung, tindak tutur literal, dan tindak tutur tidak literal. Bila tindak tutur langsung dan tindak tutur tidak langsung disinggungkan dengan tindak tutur literal dan tindak tutur tidak literal, akan didapatkan tidak tutur langsung literal, tindak tutur tidak langsung literal, tindak tutur langsung tidak literal, dan tindak tutur tidak langsung tidak literal. Penelitian ini menggunakan analisis sosiolinguistik mengenai teori bahasa dan gender serta analisis linguistik kognitif mengenai teori metafora konseptual. Sosiolinguistik dapat mengacu pada pemakaian kebahasaan dan menganalisis ke dalam ilmu-ilmu lain yang menyangkut kehidupan sosial atau mengacu pada data kemasyarakatan dan menganalisis ke dalam linguistik. Dua ragam bahasa yang berbeda dalam satu bahasa dikaitkan dengan gejala sosial seperti perbedaan jenis
13
kelamin sehingga dapat disimpulkan. Selain itu, penelitian dapat pula dilakukan dengan memilah masyarakat berdasarkan jenis kelamin menjadi pria dan wanita, kemudian menganalisis bahasa yang digunakan oleh pria dan wanita (Sumarsono dan Martana, 2002:3). Bentuk bahasa yang digunakan oleh laki-laki dan perempuan berbeda –untuk derajat yang berbeda– pada semua masyarakat tutur (Holmes, 2013:159). Perempuan dikatakan berbahasa lebih sopan dibandingkan laki-laki. Selain itu, laki-laki dan perempuan menekankan fungsi tutur yang berbeda. Pujian adalah apresiasi positif pada orang lain yang disampaikan untuk suatu hal atau tindakan, baik secara eksplisit maupun implisit (Eckert dan McConnell-Ginet, 2003:145). Menurut penelitian, sejumlah masyarakat tutur pria berbeda dengan wanita. Keragaman bahasa berdasarkan jenis kelamin timbul karena bahasa sebagai gejala sosial erat hubungannya dengan sikap sosial. Secara sosial, pria dan wanita berbeda karena masyarakat mengharapkan pola tingkah laku yang berbeda. Secara umum dapat dikatakan sikap kebahasaan wanita cenderung mendua. Ada semacam kontroversi atau pertentangan sikap. Wanita ternyata lebih konservatif daripada pria (Sumarsono dan Martana, 2004:98—126). Perbedaan-perbedaan fonologis di antara tuturan laki-laki dan perempuan telah dicatat dalam berbagai bahasa. Pada tataran morfologi dan kosa kata, perempuan memiliki kosa kata mereka sendiri untuk menekankan efek tertentu pada kata-kata dan ekspresi. Ada pengaruh perbedaan jenis kelamin dalam pemilihan kata di berbagai bahasa. Bahasa-bahasa yang berbeda telah menentukan berbagai bentuk untuk digunakan oleh laki-laki dan perempuan (Wardhaugh,
14
2015:313). Herbert menemukan bahwa wanita lebih menyukai bentuk personal (pujian dengan fokus orang pertama atau kedua), sedangkan laki-laki lebih menyukai bentuk yang tidak personal (orang ketiga). Pujian yang diberikan oleh perempuan untuk perempuan berbeda dengan pujian yang diberikan oleh laki-laki kepada laki-laki, baik dalam nada maupun topik. Perempuan cenderung memberikan pujian pada penampilan, sedangkan laki-laki lebih memilih untuk memberikan pujian pada harta atau keterampilan (via Coates, 2013:99). Holmes lebih menggunakan istilah gender daripada jenis kelamin karena jenis kelamin mengacu pada kategori yang dibedakan oleh karakteristik biologis sedangkan gender lebih tepat untuk membedakan orang atas dasar perilaku soaial budaya masyarakat, termasuk tuturan. Pembahasan gender yang dilakukan Holmes berfokus terutama pada kontras antara fitur yang diamati secara empiris dari tuturan laki-laki dan perempuan. Namun, konsep gender memungkinkan untuk menggambarkan perilaku maskulin dan feminin dalam hal skala bukan kategori penuh. Jadi, fitur yang terkait dengan tuturan laki-laki dan perempuan dapat dipikirkan sebagai sumber bahasa untuk membangun diri sebagai relatif feminin atau relatif maskulin (Holmes, 2013:159). Oleh karena itu, dalam penelitian ini digunakan istilah maskulin dan feminin. Temuan Linguistik Kognitif menunjukkan bahwa metafora ada di manamana dalam kehidupan sehari-hari, tidak hanya dalam bahasa, tetapi juga dalam pikiran dan tindakan. Secara mendasar, sistem konseptual manusia bersifat metaforis (Lakoff dan Johnson, 1980:3). Manusia hidup dalam rimba metafora, satu sama lain berbicara menggunakan metafora, berpikir menggunakan metafora,
15
dan bertindak menggunakan metafora. Metafora konseptual adalah setiap satuan yang memiliki konsep yang dipetakan dengan satuan ekspresi kebahasaan yang lain yang memiliki satu konsep lain. Metafora konseptual menempatkan diri dalam satu ranah sumber (source domain) di satu pihak dan dalam satu ranah sasaran (target domain) di lain pihak (Arimi, 2015:126). Jadi, KATA (X) ADALAH KATA (Y) atau KONSEP (X) ADALAH KONSEP (Y). (X) merupakan sasaran yang ingin dipahami, sedangkan (Y) sumber sebagai ranah untuk memahami (Arimi, 2015:127).
1.8 Data dan Metode Penelitian ini dilakukan melalui tiga tahap, yaitu pengumpulan data, analisis data, dan pemaparan hasil analisis data. Pengumpulan data dilakukan dengan cara mengumpulkan data-data menggunakan kuesioner. Peneliti menggunakan metode pancing
dengan
pendekatan
pseudo-natural.
Pendekatan
pseudo-natural
memperoleh data terutama melalui bermain peran. Peneliti memberikan suatu situasi melalui ringkasan tertulis atau narasi. Kemudian, pembahan diperintahkan untuk membayangkan berada pada situasi tersebut dan diminta untuk mengatakan apa pun yang sesuai (Asher, 1994:3256). Oleh karena itu, kuesioner yang dibagikan berupa narasi singkat. Kemudian, pembahan diminta membayangkan berada pada situasi tersebut dan memberikan komentarnya. Komentar yang diperoleh kemudian dipilah berdasarkan kata atau kalimat yang berisi pujian. Dengan
menggunakan
kuesioner,
peneliti
dimungkinkan
untuk
mengendalikan variabel tertentu (misalnya, usia pembahan, situasi, dan lain lain)
16
dan dengan cepat mengumpulkan data dalam jumlah yang besar tanpa memerlukan transkripsi (Golato, 2005:13). Peneliti juga tidak menunggu lama untuk mendapatkan data pujian. Dalam penelitian ini, peneliti mengendalikan pembahan untuk memberikan data yang berisi pujian. Jika pembahan yang tidak memberikan pujian (diam), maka data dikesampingkan. Data yang diberikan oleh pembahan adalah data lisan, tetapi data dituliskan (diisikan) dalam kuesioner seperti yang dilisankan oleh pembahan karena memiliki ciri-ciri ragam lisan, seperti menggunakan bahasa Indonesia nonformal, interjeksi (ah, wah), dan ekspresi tertawa (hehe, haha). Dengan demikian, data tulis yang dianalisis dapat disejajarkan dengan tuturan. Data dianalisis menggunakan metode padan dan metode agih. Metode padan adalah metode analisis data yang alat penentunya berada di luar, terlepas, dan tidak menjadi bagian dari bahasa (langue) yang bersangkutan atau diteliti (Sudaryanto via Kesuma, 2007:49). Metode padan yang digunakan adalah metode padan referensial dengan teknik pilah unsur penentu. Metode padan referensial adalah metode padan yang alat penentunya berupa referen bahasa. Metode padan referensial digunakan untuk menentukan identitas satuan kebahasaan menurut referen yang ditunjuk (Kesuma, 2007:50). Teknik pilah unsur penentu adalah teknik analisis data dengan cara memilah-milah satuan kebahasaan yang dianalisis dengan alat penentu yang berupa daya pilah yang bersifat mental yang dimiliki oleh penelitinya (Sudaryanto via Kesuma, 2007:53). Oleh karena itu, teknik pilah unsur penentu daya pilah referensial digunakan untuk mengetahui referen yang diacu oleh gender maskulin dan feminin dalam memberikan pujian.
17
Metode agih adalah metode analisis yang alat penentunya ada di dalam dan merupakan bagian dari bahasa yang diteliti (Sudaryanto via Kesuma, 2007:57). Metode agih yang digunakan adalah teknik baca markah dan teknik bagi unsur langsung. Teknik baca markah adalah teknik analisis data dengan cara “membaca pemarkah” dalam suatu konstruksi (Kesuma, 2007:70). Teknik baca markah digunakan untuk mengetahui kata yang menjadi pemarkah pujian. Teknik bagi unsur langsung adalah teknik analisis data dengan cara membagi suatu konstruksi menjadi beberapa bagian atau unsur dan bagian-bagian atau unsur-unsur itu dipandang sebagai bagian atau unsur yang langsung membentuk konstruksi yang dimaksud. Alat penentu teknik bagi unsur langsung adalah intuisi kebahasaan peneliti terhadap bahasa yang diteliti (Sudaryanto via Kesuma, 2007:58). Oleh karena itu, teknik bagi unsur langsung digunakan untuk menganalisis pola kalimat gender maskulin dan feminin dalam memberikan pujian. Pemaparan hasil analisis data ini disajikan secara formal dan informal.
1.9 Sistematika Penyajian Penelitian ini terdiri dari lima bab. Bab pertama berisi pengantar yang terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, ruang lingkup, tinjauan pustaka, landasan teori, data dan metode, dan sistematika penyajian. Bab kedua berisi pembahasan mengenai bentuk pujian. Bab ketiga berisi pembahasan mengenai referen dan pola pujian yang digunakan gender maskulin dan feminin. Bab keempat berisi pembahasan mengenai skema pikiran yang digunakan dalam memberikan pujian. Bab kelima berisi penutup yang terdiri
18
dari kesimpulan dan saran. Penomoran data dalam penelitian ini digunakan angka (1) dan seterusnya. Pada bab selanjutnya, penomoran dilakukan dengan mengulang angka (1) dan seterusnya.