BAB I PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Masyarakat Batak Toba merupakan kelompok kesatuan sosial dari bagian subsuku masyarakat suku Batakyang berada di daerah Sumatera Utara, khususnya sebagai asal lahirnya yang kemudian menyebar ke berbagai daerah. Masyarakat Batak Toba tinggal di sekitar Danau Toba dan bagian selatan Danau Toba, yang setelah pemekaran berada di daerah Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Toba Samosir, dan Kabupaten Samosir (Nainggolan, 2012). Mata pencaharian masyarakat Batak Toba pada umumnya hidup dari bidang pertanian. Berabad-abad lamanya mengusahakan pertanian sawah dengan pengairan terpadu. Masyarakat Batak Toba bertempat tinggal di lembah-lembah sekitar Danau Toba. Kondisi geografis lembah membuat masyarakat Batak Toba hidup dalam ruang yang terbatas dan terisolasi, hal ini membuat masyarakat Batak Toba hidup dalam ikatan keluarga yang kuat. Keterbatasan wilayah membuat masyarakat Batak Toba memilih jalan untuk bermigrasi ke wilayah lainnya, dimana tujuan tempat migrasi mereka adalah daerah-daerah sub-suku Batak lain. Migrasi ini pun berjalan perlahanlahan. Migrasi bagi orang Batak Toba adalah mekanisme untuk mendirikan kelompok marga (clan) yang baru dan sarana untuk mengurangi kepadatan penduduk (Nainggolan, 2012). Dalam sejarah perkembangannya, sistem masyarakat Batak Toba awalnya merupakan sistem federasiBius atauterdiri dari kumpulanBius. Bius adalah paguyuban yang otonom dalam bentuk Dewan Bius (paguyuban desa-adat) dan jajaran pemerintahan. Pemerintah Dewan Bius terdiri dari kepala-kepala adat dari keturunan
langsung pendiri (pionir) atas persetujuan warga. Meujuk pada pengertian modern, sistem ini adalah sebuah negara mini yang demokratis, dimana hukum dan kepemimpinan dipegang secara kolektif. Dewan Bius merupakan pengayom hukum adat yang berdiri diatas masyarakat, namun dalam prakteknya mereka tetap tunduk pada hukum adat yang berlaku (Situmorang, 2004). Dalam sistem kebudayaan masyarakat Batak Toba terdapat aturan-aturan yang secara kompleks mengatur bagaimana manusia bertingkah laku dalam kehidupan sehari-hari baik itu aturan secara tertulis maupun lisan yang berasal dari leluhur mereka. Aturan-aturan tersebut meliputi sistem kepercayaan (keTuhanan), sistem kekerabatan, sistem sosial, sistem mata pencaharian, sistem perkawinan, adat-istiadat, dan lain sebagainya yang dijalankan secara turun-temurun dari leluhur masyarakat Batak Toba yang kemudian diteruskan hingga saat ini. Masyarakat Batak Toba pada generasi masa kini meneruskan dan menjalankan sistem-sistem yang sudah adasejak dahulu tersebut dan kemudian secara universal memiliki harapan untuk meneruskan sistem tersebut kepada generasi selanjutnya dengan menyelaraskan sistem daripada kebudayaan yang masyarakat Batak Toba miliki dimanapun mereka berdomisili serta menyesuaikannya dengan keadaan yang selalu berkembang dan berubah. Namun perubahan-perubahan pola pelaksanaan sistem-sistem kebudayaan yang dilakukan tersebut tetap dalam makna yang sama sesuai harapan para leluhur menggagas sistem-sistem tersebut dahulunya dalam kebudayaan masyarakat Batak Toba. Dalam penelitian ini penulis mengangkat sebuah wilayah yang didiami oleh masyarakat Batak Toba yang merupakan suatu wilayah migrasi yang menjadi wilayah masyarakat Batak Toba dalammemulai sebuah kehidupan yang baruuntuk tinggal dan meneruskan keturunan (clan), yakni wilayah Parapat. Parapat merupakan sebuah
kelurahanyang terdapat di wilayah kecamatanGirsang Sipangan Bolon, Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara. Parapat merupakan daerah yang terbentuk pada zaman kerajaan dan tepatnya pada zaman dinasti Raja-Raja marga Sinaga Bonor Tiang Di Tonga, dengan sistem kebudayaan Batak Toba yang ada pada saat itu bagi para masyarakatnya. Parapat yang dahulunya mayoritas wilayah galung/hauma (ladang/persawahan), dimana Parapat pertama kali menjadi suatu wilayah tempat tinggal yang rapi dengan berbagai sistem kehidupannya dimulai sejak dari kepemimpinan Raja Parapat yakni Guru Manasem Sinaga (Raja Hatoguan). Ketika menganalisis masyarakat Parapat, berarti melihat secara luas sistem kebudayaan yang membentuk karakter masyarakat Parapat dalam bertingkah laku dalam kehidupan mereka sehari-hari.Salah satu unsur kehidupan dalam kebudayaan Batak Toba yang ada di Parapat terlihat lewat sistem kekerabatannya yakni “Dalihan Na Tolu”. Sistem Dalihan Na Tolu pada kebudayaan masyarakat Parapat ini dahulunya di bawa dari sistem kebudayaan mereka di daerah Urat-Samosir, yang kemudian diterapkan didaerah simalungun yakni di daerah Parapat secara turuntemurun sampai generasi ke XV-XVIII saat ini. Dasar hubungan sosial masyarakat Batak Toba sehari-hari ialah struktur sosial Dalihan Na Tolu (Simanjuntak, 2009).Dalihan Na Tolu dalam masyarakat Batak Toba sering dinamai dengan istilah partuturan, maksudnya ialah hubungan kekeluargaan di antara ketiga unsur Dalihan Na Tolu. Dalihan Na Tolu menjadi kerangka yang meliputi hubungan-hubungan kerabat darah dan hubungan perkawinan yang mempertalikan satu kelompok.Dalihan Na Tolu ditentukan dengan adanya tiga kedudukan fungsional sebagai suatu konstruksi sosial yang terdiri dari tiga hal yang
menjadi dasar bersama.Sesuai dengan adanya tiga unsur itu maka macam hubungan kekeluargaan pun ada tiga, yaitu: 1. Hula-hula, 2. Dongan Sabutuha, 3. Boru. Hubungan dengan pihak hula-hula (pihak paman/tulang) sering disebut dengan bunyi “somba marhula-hula” atau ketaatan/rasa hormat pihak laki-laki terhadap keluarga laki-laki dari pihak ibu merupakan strata tertinggi dalam budaya sistem kekerabatan pada adat-istiadat masyarakat Batak Toba. Hubungan dengan pihak dongan sabutuha (satu marga) sering disebut dengan bunyi “manat mardongan tubu”atau sistem kekerabatan yang mengatur tata cara hubungan pihak laki-laki dengan pihak laki-laki yang memiliki marga yang sama dan juga satu keturunan. Hubungan dengan pihak boru (pihak dari saudara perempuan) sering disebut dengan bunyi “elek marboru” merupakan suatutata cara sistem kekerabatan yang mengatur bagaimana hubungan pihak laki-laki terhadap saudara perempuannya dan begitu juga aturan dalam hubungan saudara perempuan terhadap saudara laki-lakinya.Dengan demikian, dasar fundamental hubungan sosial orang Batak Toba adalah marga.Sistem hubungan ditentukan dalam struktur Dalihan Na Tolu (Simanjuntak, 2009). Masyarakat Batak Tobahidup dengan memegang teguh budaya dengan berlandaskan Ketuhanan sejak dahulunya dengan diperantarai oleh agama maupun kepercayaan tradisional yang mereka anut. Namun, saat ini masyarakat Batak sudah menganut berbagai agama yang berbeda satu sama lain, namun walaupun agama yang mereka anut berbeda-beda mereka tetap memiliki satu konsep dalam perkumpulanperkumpulan marga lingkup kecilnya, seperti yang penulis lihat diwilayah Parapat,
masyarakat Batak Toba berkumpul berlandaskan kesamaan marga lewat arisan lembaga perkumpulan atau dengan istilah “Punguan” sektor marga-marga. Namun walaupun mereka berbeda agama satu-sama lainnya, mereka tetap satu secara konsep budaya. Keragaman agama yang ada pada masyarakat Batak Toba itu sendiri dapat dilihat dalam perjalanan mulai masuknya agama ke Indonesia memiliki waktu maupun kronologi yang sangat panjang dengan diawali dari kepercayaan/religi tradisional, yang kemudian beralih dengan masuknya ajaran agama yang bersifat modern dan berlingkup global. Seperti masuknya interaksi ajaran agama HinduBudha ke Indonesia dan terkhususnya pada masyarakat Batak Toba yang kemudian memeluk agama baru seperti Islam dan Kristen dengan melewati sejarah yang cukup panjang. Berdasarkan catatan sejarah, menyatakan bahwa awal masuknya agama Islam ke tanah Batak diawali dengan berlangsungnya Perang Paderi. Pasukan kaum Paderi bukan hanya berperang melawan kaum adat dan Belanda, melainkan juga menyerang Tanah Batak Selatan, Mandailing, tahun 1816 – 1820 dan kemudian meng-Islamkan Tanah Batak selatan dengan kekerasan senjata, bahkan di beberapa tempat dengan tindakan yang sangat kejam. Agama Islam yang masuk ke Mandailing dinamakan oleh masyarakat sebagai Silom Bonjol (Islam Bonjol), hal ini dikarenakan para penyerbunya datang dari Bonjol (okahutabarat.wordpress.com/2009/02/27/sejarahagama-di-tanah-batak/). Melalui sejarah panjang masuknya ajaran islam ke tanah Batak, ajaran Islam kemudian menyebar keseluruh tanah Batak melalui interaksi, termasuk wilayahwilayah masyarakat Batak Toba saat ini.Dalam perkembangannya, masyarakat Batak
Toba kemudian harus berhadapan dengan gelombang besar kolonialisme yang secara bertahap mulai merembes ke tanah Sumatera. Pada tahun 1850, misi Zending mulai masuk dan secara perlahan mendesak sistem adat masyarakat Toba. Bagi kaum Zending, masyarakat Toba adalah orang-orang pemuja Begu/roh orang mati. Sistem adat yang berlaku di sana dipandang sebagai salah satu kekafiran yang sebaiknya dihilangkan (Situmorang, 2004). Walaupun demikian,seperti yang penulis lihat dalam kenyataannya masih banyak masyarakat Batak Toba dibeberapa daerah pedesaan bahkan di kota besar contohnya seperti Pematangsiantar dan Medan yang masih tetap mempertahankan konsep asli religi Masyarakat Batak Toba melalui sebuah ajaran sistem kepercayaan yang dinamakan “Parbaringin”. Masyarakat Batak Toba dahulunya mempunyai konsepsi bahwa alam semesta beserta isinya diciptakan oleh “Debata Mula Jadi Na Bolon” (Tuhan/Pencipta Maha Besar) yang memiliki keyakinan bahwa adanya yang lebih tinggi dari manusia dan bertempat tinggal diatas langit ke tujuh yang menciptakan segala sesuatu yang ada di dunia/alam semesta ini dan termasuk menciptakan manusia pertama kali. Terkait mengenai keragaman agama yang di anut oleh masyarakat suku Batak Toba, dapat terlihat bahwa agama itu sendiri merupakan sebuah wadah spiritual yang dimaknai dengan berbagai cara dalam kepercayaan Berketuhanan Yang Maha Esa. Sehingga hal tersebut membuat warna dalam kehidupan manusia, khususnya bagi warna keragaman agama yang dimiliki oleh masyarakat suku Batak Toba dalam berkehidupan sehari-harinya. Secara etimologi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), agama adalah sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada
Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya. Emile Durkheim juga mengatakan bahwa agama adalah suatu sistem yang terpadu yang terdiri atas kepercayaan dan praktik yang berhubungan dengan hal yang suci(http://id.wikipedia.org/wiki/agama).Kajian teologis mempelajari agama sebagai ajaran yang harus diamalkan. Sebagai ajaran yang harus diikuti dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, yang dipelajari tentu kepercayaan, norma, hukum akhlak, dan kecenderungan rohaniah yang harus dimiliki seseorang yang menganut agama. Maka kajian ilmu agama ditujukan kepada bagaimana seharusnya atau dengan istilah das sollen (Agus, 2003). Pengertian dan defenisi agama secara sosiologis melihat agama dalam kehidupan manusianya, mengkaji agama sebagai fenomena sosial, melihat agama dalam kenyataan kehidupan manusia atau masyarakat, seperti sebagai perilaku keyakinan, dan jenis perasaan yang ditimbulkan (Agus, 2003). Menurut E. B. Tylor dalam buku perintisnyaPrimitive Culture, agama dapat diartikan sebagai kepercayaan terhadap adanya wujud-wujud spiritual. Geertz juga mendefinisikan agama sebagai sistem lambang yang berfungsi menegakkan berbagai perasaan dan motivasi yang kuat, berjangkauan luas dan abadi pada manusia dengan merumuskan berbagai konsep mengenai keteraturan umum eksistensi, dan dengan menyelubungi konsepsikonsepsi ini dengan sejenis tuangan faktualitas sehingga perasaan-perasaan dan motivasi-motivasi itu secara unik tampak realistik (Scharf, 2004). Auguste Comte (1798-1858) memahami agama sebagai jawaban dari cara berfikir manusia dan masyarakat yang cenderung mencari jawaban absolut dari berbagai masalah alam dan kehidupan (Agus, 2003). Emile Durkheim (1885-1917), seorang sosiolog Perancis, berusaha memahami perilaku beragama dari sudut pandang sosiologis. Durkheim memberikan defenisi
terhadap agama sebagai, “kepercayaan dan amalan-amalan yang menyatukan anggotanya dalam suatu komunitas moral yang dinamakan dengan gereja. Agama juga suatu sistem kepercayaan dan amalan yang terpadu dan berhubungan dengan halhal yang sakral (sacred),
yang terpisah dari kegiatan biasa dan terlarang”.Yang
diungkap Durkheim adalah tujuan atau peran agama dalam masyarakat, yaitu yang menyatukan anggotanya dalam suatu komunitas (Agus, 2003). Menurut sumber data hasil statistik pada tahun 2010 yang penulis peroleh bahwa di daerah Sumatra Utara terdapat tujuh etnik yang terbilang signifikan jumlahnya yakni etnik Batak, etnik Jawa, etnik Melayu, etnik Nias, etnik Tionghoa, etnik Minang dan etnik Aceh. Etnik Batak sendiri yang paling banyak jumlahnya, terdapat sebanyak 46.35 persen beragama Islam, sementara sebanyak 47.30 persen menganut agama Kristen dan 6.25 persen menganut agama Katolik. Sedangkan sisanya sebanyak 0.08 persen terdiri dari agama Hindu, Budha, Khonghucu dan lainnya. Ini menunjukkan di Sumatra Utara bahwa etnik Batak penganut agama Islam dan agama Kristen tampak berimbang(http://akhirmh.blogspot.com/2013/01/etnikbatak-di-sumatra-utara4635.html). Sedangkan agama yang dianut oleh masyarakat dengan jumlah penduduk sekitar 830.986 jiwa di Kabupaten Simalungun di era kepemimpinan Pemerintahan Kabupaten Simalungun periode 2010-2015 adalah sebagai berikut ;Islam (56,6 %), Kristen (37,1 %), Katolik (6,1 %), Buddha (0,06 %), Hindu (0,05 %), dan sisa-sisanya adalah agama-agama lain agama kepercayaan masyarakat lokal yang ada di seluruh wilayah Simalungun (http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Simalungun). Dari data tersebut dapat kita menganalisa sejauh mana masyarakat hidup berdampingan dan bertahan dengan toleransinya yang melahirhan suatu kondisi
terjadinya integrasi masyarakat Batak yang berbeda agama, khususnya masyarakat Batak Toba di Sumatera Utara yang hidup secara berdampingan satu sama lainnya atau terintegrasi. Secara sosiologis, integrasi sosial merupakan proses penyesuaian unsur-unsur yang berbeda dalam masyarakat sehingga menjadi satu kesatuan. Unsurunsur yang berbeda tersebut meliputi ras, etnis, agama, bahasa, kebiasaan, sistem nilai dan lain sebagainya(sosiologikita166.blogspot.com/2012/12/integrasi-sosial.html). Masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk yang mempunyai keanekaragaman atau pluralitas budaya yang luas banyaknya, terutama pluralitas atas dasar agama, kesukuan, kedaerahan, adat istiadat dan tradisi sosial setempat. Pluralisme horizontal ialah pengelompokan masyarakat majemuk yang lebih banyak dilihat oleh ikatan-ikatan primordial seperti ikatan kekerabatan, daerah, asal, bahasa, agama, ras dan suku bangsa. Primordialisme inilah yang merupakan pengikat asli suatu masyarakat majemuk, dan atas dasar itulah pengelompokan dalam masyarakat majemuk tumbuh dan berkembang. Masyarakat majemuk mempunyai potensi konflik yang dapat mengarah kepada disintegrasi. Disintegrasi terjadi bila masing-masing kelompok
dalam
masyarakat
menggunakan
budaya mereka
sendiri
dalam
berkomunikasi. Tidak adanya komunikasi berarti tidak adanya hubungan di antara mereka, dan pembaruan untuk menuju ke arah persatuan merupakan sesuatu yang mustahil akan terwujud. Akibat dari kondisi yang demikian dalam masyarakat majemuk akan mudah memuncul konflik (http://jaltux.blogspot.com/2013/02/potensikonflik-dalam-masyarakat majemuk.html). Dalam penelitian ini, Primordial yang dimaksud adalah unsur agama yang beragam dianut oleh masyarakat Batak Toba. Berdasarkan penjelasan diatas mengenai potensi konfllik pada masyarakat majemuk yang disebabkan oleh adanya kemajemukan ikatan-ikatan, salah satunya oleh agama. Diantara unnsur-unsur upacara
keagamaan tersebut ada yang dianggap penting sekali dalam satu agama, tetapi tidak dikenal dalam agama lainnya, dan demikian
juga sebaliknya (Koentjaraningrat,
2009).Maka oleh karena itu terdapat banyak hal yang ingin dilihat oleh peneliti sejauh mana unsur budaya dapat menjadi media pemersatu/integrasi yang meredam/katup pengaman terjadinya potensi konflik di masyarakat Batak Toba yang berbeda agama. Maka melalui sistem kekerabatan yang ada pada masyarakat Batak Toba tersebut penulis tertarik untuk melihat dan meneliti sistemDalihan Na Toluyang dimiliki oleh masyarakat Batak Toba.Penulis ingin melihat bagaimana perbedaan agama pada masyarakat Batak Toba di wilayah parapat, Kecamatan Girsang Sipangan Bolon, Kabupaten Simalungun dapat berinteraksi satu samalainnya dalam balutan sistem Dalihan Na Tolu. Dalam penelitian inijuga penulis ingin melihat seperti apa peran Dalihan Na Toluyang menjadi penghubung komunikasi mereka dapat menjadi jembatan
katup pengaman dari potensi konflik atas perbedaan agama pada
masyarakat Batak toba itu sendiri. 1.2.
Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan maka peneliti merumuskan masalah sebagai berikut : 1. Apa makna dan Pengertian Dalihan Na Tolu bagi masyarakat Batak Toba yang berada di wilayah Sidabariba-Parapat, Kecamatan Girsang Sipangan Bolon? 2. Bagaimana fungsiDalihan Na Tolumenjadi katup pengaman bagi potensi konflik terhadap perbedaan agama dalam masyarakat Batak Toba yang berada di wilayah Sidabariba-Parapat, Kecamatan Girsang Sipangan Bolon ?
1.3.
Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui dan menjelaskan mengenaimakna dan pengertian Dalihan Na Tolubagi masyarakat Batak Toba yang berada di wilayah SidabaribaParapat, Kecamatan Girsang Sipangan Bolon, Kabupaten Simalungun. 2. Untuk mengetahui dan menjelaskan mengenai fungsi budaya Batak Toba melalui aplikasi Dalihan Na Tolu sebagai katup pengaman bagi potensi konflik dalam masyarakat Batak Toba yang berbeda agama di wilayah Sidabariba-Parapat,
Kecamatan
Girsang
Sipangan
bolon,
Kabupaten
Simalungun. 1.3.2. Manfaat Penelitian Adapun yang menjadi manfaat penelitian ini adalah : 1. Manfaat teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya wawasan dan menjadi literatur bahan pedoman budaya bagi kalangan muda khususnya yang berasal ataupun yang berdomisili
dari daerah Sidabariba-Parapat, karena sangat
minimnya penelitian dan hasil karya ilmiah mengenai daerah Parapat. 2. Manfaat praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi penulis berupa fakta-fakta di lapangan dalam meningkatkan daya, kritis dan analisis penulis sehingga memperoleh pengetahuan tambahan dari penulis tersebut.Serta memberikan manfaat bagi penyedia jasa percetakan.