BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Layanan bimbingan dan konseling (BK) merupakan bagian yang terintegral dari program pendidikan di sekolah. Bukti pengakuan tersebut dengan dicantumkannya layanan guidance and counseling pada kurikulum tahun 1975. Pengakuan tersebut mempertegas bahwa layanan bimbingan dan konseling merupakan layanan yang harus diselenggarakan dalam rangka menunjang proses dan tujuan pendidikan yang harus diperoleh oleh semua peserta didik dalam rangka merencanakan masa depannya. Namun pada kenyataannya, posisi layanan BK masih berada di bawah layanan pendidikan lainnya. Hal ini menunjukan bahwa sampai saat ini layanan BK berada pada posisi tawar yang rendah. Keadaan ini disebabkan karena kegiatan layanan BK sangat khas, bersifat intangible, sehingga dampaknya dirasakan secara langsung oleh semua lapisan. Berbeda dengan hasil kegiatan layanan instruksional dan administratif yang saat itu juga dirasakan oleh semua masyarakat yang ada di dunia pendidikan. Kondisi lain dari hasil studi pendahuluan melalui wawancara di beberapa sekolah di Kota Bandung (pada bulan Maret 2010 dan Februari 2011), bahwa layanan BK dirasakan antara ada dan tiada. Artinya layanan BK memiliki ruangan untuk memberikan layanan, diberikan jam masuk kelas, bahkan personel yang banyak, namun siswa tidak merasakan adanya peran dan fungsi layanan BK itu sendiri. Terkadang layanan BK dilaksanakan sebagai pemenuh syarat pelaksanaan kegiatan pendidikan di sekolah. Selain itu, personil yang kurang profesional 1
2
membuat layanan BK tidak tepat sasaran karena tidak memahami akan peran dan fungsi BK itu sendiri. Posisi layanan BK yang kurang menguntungkan ini bila dibiarkan akan membuat layanan BK terus terpuruk. Di satu sisi, eksistensi BK memiliki legalitas yang telah diakui secara formal, siswa memerlukan layanan BK untuk perencanaan masa depannya. Namun di sisi lain, secara nyata pengakuan seluruh lapisan masyarakat pendidikan dan pemanfaatan layanan oleh siswa belum dimanfaatkan seoptimal mungkin. Kondisi ini sejalan dengan hasil temuan penelitian yang dilakukan Kartadinata (1999: 415). ...”guidance and counseling in the school was implemented as merely administrative work; there were gaps beetween students aspiration or expectations and service provide by school conselor”. Pernyataan temuan ini diperkuat oleh temuan Yusuf, et. al. (2008) tentang problematika layanan BK di SMA baik negeri maupun swasta di Kota Bandung yang menemukan terdapat lima kesenjangan anatara harapan dan kenyataan layanan yang dialami siswa. Kelima temuan tersersebut yaitu: (1) peralatan yang tidak menarik (85,36%); (2) ruang BK yang tidak nyaman (69,81%); (3) guru BK tidak memahami perasaan yang sedang dialami siswa (58,02%); (4) guru BK yang tidak memberikan pelayanan saat dirinya sedang sibuk (63,21%); (5) guru BK tidak memberikan jadwal pasti kapan layanan akan diberikan (72,64%). Kondisi kesenjangan antara kenyataan di lapangan dalam pelaksanaan layanan BK di SMA tersebut memerlukan sebuah upaya strategis untuk meningkatkan mutu serta citra layanan BK. Pada gilirannya, diharapkan BK
3
dapat memperoleh posisi yang sama bahkan lebih tinggi dibanding dua layanan pendidikan lainnya dan dampaknya dapat dirasakan secara nyata oleh siswa. Layanan BK merupakan salah satu bagian integral dari pendidikan itu sendiri. Dengan demikian perkembangan layanan BK dipengaruhi pula oleh perkembangan dunia pendidikan. Indonesia sebagai negara yang terus berkembang terus berupaya untuk menciptakan pendidikan yang berkualitas. Hal ini senada dengan yang dikatakan oleh Direktur Prosesi Pendidikan Kemendiknas, Achmad Dasuki (Prihandiyoko, 2010) bahwa isu utama dalam pengembangan pendidikan berkelanjutan adalah kualitas pendidikan. Kualitas merupakan jantungnya pendidikan. Kualitas akan menunjukkan cara siswa belajar, sebaik apa mereka belajar, dan keuntungan apa yang akan mereka peroleh dari pendidikan. Salah satu upaya strategis yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas layanan BK di sekolah antara lain dengan menganalisis kepuasan siswa (sebagai salah satu pengguna jasa) atas layanan yang diterimanya. Kondisi ini ditegaskan oleh Gaspersz (1997:16) bahwa ”...pemahaman terhadap suara pelanggan merupakan prasyarat untuk meningkatkan mutu terus-menerus guna mencapai kepuasan total pelanggan”. Suara pelanggan itu antara lain tampak dalam kebutuhan, keinginan, ekspektasi, dan tingkat kepuasan pelanggan atas satu layanan. Merujuk pada pemikiran dan kondisi tersebut, karena produk layanan BK berupa jasa, maka untuk menganalisis kualitas layanan BK yaitu dengan menganalisis kepuasan siswa, karena siswa merupakan salah satu stakeholders yang mendapatkan jasa layanan BK.
4
Melihat kondisi yang telah dipaparkan, langkah pertama yang perlu ditempuh dalam rangka peningkatan mutu layanan BK yang berkelanjutan yaitu melalui pengembangan model Service Quality (ServQual) untuk meningkatkan kualitas layanan Bimbingan dan Konseling. Atas dasar kepentingan itu, melalui kajian penelitian ini diharapkan tersusunnya model service quality yang baku untuk meningkatkan kualitas layanan BK serta feasibilitas adaptasi model ServQual untuk keperluan pengukuran mutu layanan BK.
B. Batasan dan Rumusan Masalah Perkembangan zaman yang semakin hari semakin pesat, khususnya perdagangan bebas di area Asia Tenggara dan Cina (ACFTA) yang telah di mulai pada awal tahun 2010 membuat produk (baik barang maupun jasa) yang ditawarkan pada pasar global dapat berasal dari mana saja tanpa mengenal hambatan yang berarti. Segala proteksi yang dapat menghambat mekanisme kerja pasar bebas kini telah dihapuskan. Kunci persaingan dalam pasar global adalah kualitas total yang mencakup kualitas produk, harga, pelayanan, ketepatan, dan moral guna memberikan kepuasan terus-menerus kepada pelanggan sehingga terciptanya loyalitas pelanggan (Gaspersz, 1997). Imbas pasar bebas beserta segala konsekuensinya juga akan merambah pada dunia pendidikan, termasuk di dalamnya layanan BK di SMA, yang berdasarkan penelitian terakhir Yusuf et. al. (2009) masih menghadapi berbagai permasalahan termasuk masalah utamanya yang terletak pada mutu layanan.
5
Untuk membangun kualitas total, berdasarkan berbagai studi pustaka yang mendalam, Gaspersz (1997) merumuskan tujuh kebiasaan pokok yang harus dibangun dalam diri setiap pelaku kegiatan yang selanjutnya ditransformasikan dalam praktik yang disebut dengan Total Quality Management (TQM). Ketujuh kebiasaan pokok yang dimaksud adalah: (1) memahami kebutuhan pelanggan melalui rangkaian rantai proses bernilai tambah; (2) menetapkan sistem pengukuran performasi kualitas; (3) menetapkan sistem pengendalian proses; (4) menetapkan sistem perbaikan yang berkelanjutan; (5) menetapkan sistem balajar terus menerus melalui pendidikan dan pelatihan; (6) membangun tim kerja sama dan partisipasi total; dan (7) menetapkan pengendalian manajemen yang mampu menciptakan sinergi dari keenam kebiasaan kualitas. Melihat batasan masalah yang berlandasan TQM, penelitian ini memfokuskan pada ketujuh kebiasaan pokok TQM. Salah satu metode ilmiah yang komprehensif dengan fokus utama pada pelayanan produk dan jasa adalah model Service Quality atau yang lebih dikenal dengan sebutan ServQual (Parasuraman, et. al., 1991). Selanjutnya Berry & Parasuraman (Parasuraman, et. al., 1993), mengungkapkan bahwa dalam ServQual terdapat lima faktor dominan atau penentu mutu layanan jasa, yang pada akhirnya menjadi penentu tingkat kepuasan. Berdasarkan banyak penelitian, model ServQual direkomendasikan dan terbukti secara ilmiah cocok untuk mengatur kualitas pelayanan jasa yang sekaligus penentu mutu pelayanan jasa (Shahin, 2007). Karena itu, penelitian ini menghasilkan model ServQual baku
6
untuk meningkatkan kualitas layanan BK dan alat ukur kualitas layanan BK berdasarkan ServQual. Merujuk pada uraian di atas, maka secara operasional, masalah penelitian dijabarkan ke dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut. 1. Bagaimana gambaran kualitas layanan BK di SMAN 18 Bandung melalui penggunaan alat ukur kualitas layanan BK berbasarkan Service Quality? 2. Bagaimana efektivitas model Service Quality untuk meningkatkan kualitas layanan BK di SMAN 18 Bandung?
C. Tujuan Penelitian Terdapat dua tujuan umum penelitian, yaitu menghasilkan model Service Quality yang baku untuk meningkatkan kualitas layanan bimbingan dan konseling serta tersusunnya alat ukur kualitas layanan BK berdasarkan ServQual untuk mengukur layanan bimbingan dan konseling. Secara khusus tujuan penelitian adalah menemukan hal-hal berikut: (1) memperoleh gambaran kualitas layanan BK di SMAN 18 Bandung melalui penggunaan alat ukur kualitas layanan BK berbasarkan Service Quality, dan (2) mengetahui keefektifan model Service Quality untuk meningkatkan kualitas layanan BK di SMAN 18 Bandung.
D. Asumsi Penelitian didasari atas beberapa anggapan dasar sebagai berikut.
7
1. Pemahaman
terhadap
suara
pelanggan
merupakan
prasyarat
untuk
peningkatan kualitas terus-menerus guna mencapai kepuasan total pelanggan (Gaspersz, 1997:16). 2. A comprehensive school counseling program will focus on that all students, helps all students achieve succes in school and develop into contributing members of our society. (Bowers & Hatch, 2002) 3. Kepuasan siswa merupakan perwujudan kualitas mutu pelayanan jasa BK. Kepuasan siswa dapat terwujud diawali dengan memahami aspirasi (keinginan) dan kebutuhan siswa secara objektif. 4. Layanan BK yang berkualitas adalah layanan yang mampu mewujudkan kualitas mutu dan kepuasan siswa guna membantu siswa dalam kesuksesan di sekolah dan pengembangan pribadi sebagai makhluk sosial.
E. Hipotesis Berdasarkan tujuan dan asumsi penelitian, terdapat hipotesis utama dan hipotesis turunan yang akan diuji dalam penelitian ini. Hipotesis utama yang akan diuji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : “Model service quality dapat meningkatan kualitas layanan BK pada dimensi Expectation, Performance, dan Importance” Hipotesis statistiknya sebagai berikut: Ho : µ 1 = µ 2
H1 : µ
1
≠ µ2
Sedangkan hipotesis turunan yang akan diuji adalah:
8
1. “Model service quality dapat meningkatan kualitas layanan BK pada dimensi Expectation” 2. “Model service quality dapat meningkatan kualitas layanan BK pada dimensi Performance” 3. “Model service quality dapat meningkatan kualitas layanan BK pada dimensi Importance” Sebagai bahan pertimbangan uji hipotesis, hipotesis utama diterima apabila seluruh hipotesis turunan diterima. Apabila salah satu hipotesis turunan ditolak, maka hipotesis utama ditolak.
F. Metode Penelitian Dalam penelitian ini, pendekatan kuantitatif dan kualitatif digunakan secara bersama-sama. Menurut Cresswell (2002), terdapat tiga model kualitatifkuantitatif, yaitu two-phase design, dominant-less dominant design, dan mixed method design sequence. Dalam penelitian ini dipilih mixed method design sequence karena pendekatan kuantitatif dan pendekatan kualitatif digunakan secara terpadu dan saling mendukung. Pendekatan kuantitatif digunakan untuk mengkaji dinamika kepuasan siswa terhadap layanan BK dan keefektifan model service quality dalam meningkatkan kualitas layanan BK. Sementara itu, pendekatan kualitatif digunakan untuk mengetahui validitas rasional model Service Quality hipotetik. Pada tataran teknis dilakukan langkah sebagai berikut: metode analisis deskriptif, metode partisipatif kolaboratif, dan metode quasi eksperimen.
9
Sesuai dengan fokus, permasalahan, dan tujuan penelitian, metode penelitian ini menggunakan eksperimen semu (quasi experiment). Metode quasi eksperimen dengan pre-test and post-test control group design dilaksanakan dalam uji lapangan model hipotetik untuk memperoleh gambaran tentang efektivitas model Service Quality dalam meningkatkan kualitas layanan bimbingan dan konseling (Sugiono, 2006: 118). Metode analisis deskriptif dilaksanakan untuk menjelaskan secara sistematis, faktual, akurat, tentang fakta-fakta dan sifat-sifat yang terkait dengan substansi penelitian. Dalam hal ini dilakukan untuk menganalisis kecenderungan kepuasan siswa terhadap layanan BK, faktor penyebab kepuasan siswa atas pelayanan BK. Metode partisipatif kolaboratif dalam proses uji kelayakan model Service Quality hipotetik dalam meningkatkan kualitas layanan bimbingan dan konseling. Uji kelayakan model dilaksanakan dengan uji rasional, uji keterbacaan, uji kepraktisan, dan uji coba terbatas. Uji rasional melibatkan dua orang pakar bimbingan dan konseling, uji keterbacaan dan uji kepraktisan dilaksanakan dengan melibatkan beberapa orang konselor SMA.
G. Lokasi dan Sampel Penelitian Penelitian ini menguji efektivitas model Service Quality untuk meningkatkan kualitas layanan bimbingan dan konseling. Lokasi penelitian dilakukan di SMAN 18 Bandung.
10
Pada tahap pengembangan dan validasi model hipotetik subjeknya adalah pakar bimbingan dan konseling berjumlah dua orang. Subjek penelitian adalah siswa kelas dua yang ditentukan secara random dengan teknik simple random sampling (penentuan sampel secara acak). Alasan memilih siswa kelas dua berdasarkan asumsi bahwa mereka telah memahami lingkungan sekolah dan pelayanan yang diberikan selama duduk di kelas satu. Sedangkan yang menjadi subjek intervensi model service quality adalah konselor/ guru BK yang dipilih berdasarkan latar belakang pendidikan.