BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang Istilah pailit dapat dijumpai dalam perbendaharaan Bahasa Belanda, Perancis, Latin dan Inggris. Dalam bahasa Perancis, istilah failite artinya pemogokan atau kemacetan dalam kemacetan dalam melakukan pembayaraan. Orang yang mogok atau macet atau berhenti membayar utangnya disebut dengan le faili. Didalam Bahasa Belanda dipergunakan istilah failit yang mempunyai arti ganda yaitu sebagai sifat. Sedangkan dalam Bahasa Inggris dipergunakan istilah to fail, dan di dalam Bahasa Latin dipergunakan istilah failire. 5 Di negara-negara yang berbahasa Inggris, pengertian pailit dan kepailitan dipergunakan istilah bankrupt dan bankrupycy. Terhadap perusahaan-perusahaan debitor yang berada dalam keadaan tidak membayar utang-utangnya disebut dengan insolvensi. 6 Pailit merupakan suatu keadaan dimana suatu debitor tidak mampu untuk melakukan pembayaran-pembayaran terhadap utang-utang dari para kreditornya. Keadaan tidak mampu membayar lazimnya disebabkan karena kesulitan kondisi keuangan (financial distress) dari usaha debitor yang telah mengalami kemunduran. Sedangkan kepailitan merupakan putusan pengadilan yang mengakibatkan sita umum atas seluruh kekayaan debitor pailit, baik yang telah ada maupun yang akan ada dikemudian hari. Pengurusan dan pemberesan kepailitan dilakukan oleh Kurator 5 6
Sunarmi, Hukum Kepailitan, (Medan: USU Press, 2009), hal. 20. Ibid, hal. 20.
Universitas Sumatera Utara
dibawah pengawasan Hakim Pengawas dengan tujuan utama menggunakan hasil penjualan harta kekayaan tersebut secara proposional (prorate parte) dan sesuai dengan stuktur kreditor. 7 Pada tanggal 20 April 1998 Pemerintah telah menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Tentang Kepailitan yang kemudian telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menjadi Undang-Undang, yaitu UU No. 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang tentang Kepailitan tanggal 9 september 1998 . Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 bukanlah mengganti peraturan kepailitan yang berlaku, yaitu Failitssement Verordering Staatblad Tahun 1905 No. 217 juncto Staatblads Tahun 1906 No. 308., tetapi sekedar mengubah dan menambah. Dengan diundangkannya Perpu No. 1 Tahun 1998 tersebut, yang kemudian disahkan oleh DPR dengan mengundangkan Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 tersebut. Akhirnya pengajuan permohonan-permohonan pernyataan pailit mulai mengalir ke Pengadilan Niaga dan bermunculan lah berbagai putusan pengadilan mengenai perkara kepailitan. Tujuan utama kepailitan adalah untuk melakukan pembagian antara para kreditur atas kekayaan debitur oleh Kurator. Kepailitan dimaksudkan untuk menghindari terjadinya sitaan terpisah atau eksekusi terpisah oleh kreditur dan
7
M.Hadi Subhan, Hukum kepailitan : Prinsip, Norma dan Praktik Di Peradilan, (Jakarta kencana Prenada Media Group, 2008), hal. 1.
Universitas Sumatera Utara
menggantikannya dengan mengadakan sitaan bersama sehingga kekayaan debitur dapat dibagikan kepada semua kreditor sesuai dengan hak masing-masing. Lembaga kepailitan pada dasarnya merupakan suatu lembaga yang memberikan suatu solusi terhadap para pihak apabila debitur dalam keadaan berhenti membayar lembaga kepailitan pada dasarnya mempunyai dua fungsi sekaligus yaitu: 8 1. Kepailitan sebagai lembaga pemberi jaminan kepada kreditur bahwa debitur tidak akan berbuat curang. Dan tetap bertanggung jawab terhadap semua hutang-hutangnya kepada semua kreditor. 2. Kepailitan sebagai lembambaga yang juga memberi perlindungan kepada kreditur terhadap kemungkinan eksekusi masal oleh krediturnya. Jadi keberadaan ketentuan tentang kepailitan baik sebagai suatu lembaga atau sebagai suatu upaya hukum khusus merupakan satu rangkain konsep yang taat asas sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata. Akibat hukum pernyataan pailit, mengakibatkan debitur demi hukum kehilangan hak untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang dimasukkan dalam kepailitan, terhitung sejak pernyataan putusan kepailitan. Dengan ditiadakannya hak debitur secara hukum untuk mengurus kekayaanya, maka oleh Undang-Undang kepailitan ditetapkan bahwa terhitung sejak tanggal putusan pernyataan pailit ditetapkan, Kurator berwenang melaksanakan tugas pengurus dan atau pemberesan atas harta pailit, meskipun terhadap putusan tersebut diajukan kasasi atau Peninjauan Kembali. Kurator tersebut ditunjuk bersamaan dengan Hakim Pengawas pada saat putusan pernyataan pailit dibacakan. Dengan demikian jelaslah, bahwa akibat hukum bagi debitur setelah dinyatakan pailit adalah ia tidak boleh lagi mengurus harta kekayaan atau perusahaan 8
Rahayu Hartini, Hukum Kepailitan (Malang: UMM Press,2008), hal, 15
Universitas Sumatera Utara
debitur pailit tersebut adalah Kurator. Untuk mencegah dan mengawasi tugas seorang Kurator, pengadilan menunjuk seorang Hakim Pengawas, yang mengawasi perjalanan proses kepailitan. Indonesia telah lama memiliki peraturan Perundang-Undangan yang mengatur mengenai masalah kepailitan. Namun, berbeda pada pelaksanaanya, masalah kepailitan belum terlalu banyak muncul ke permukaan. Berbeda pada waktu terjadinya krisis moneter pada Tahun 1997 yang melanda Indonesia. Pada saat krisis moneter melanda Indonesia, International Monetary Fund (IMF) sebagai pihak yang dimintakan bantuan keuangannya oleh Pemerintah Indonesia mensyaratkan untuk mengubah peraturan kepailitan. Pada peraturan kepailitan disebutkan mengenai tujuan dari kepailitan, yaitu untuk mempergunakan harta kekayaan milik debitur yang diperkirakan sudah tidak cukup untuk membayar seluruh utang-utangnya secara adil merata dan berimbang yang dilaksanakan oleh Kurator dan dibawah pengawasan seorang Hakim Pengawas. 9 Dalam kondisi krisis seperti yang dialami oleh Indonesia pada saat itu bila persyaratan insolvensi di terapkan maka akan sulit untuk membuat debitur Indonesia dinyatakan pailit. Logika adalah krisis moneter sebenarnya tidak membuat debitor Indonesia dalam keadaan insolven karena kehilangan pangsa pasar (market share) atau pendapatan dalam bentuk rupiah. Krisis moneter menyebabkan debitor tidak lagi mampu membayar utang karena adanya perbedaan kurs yang mengakibatkan utang 9
http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:sQY3mmkb7VAJ:www.docstoc.co m/docs/86814174/wewenang-hakim-dalam- kepailitan, terakhir diakses tanggal 20 Agustus 2011, hal. 13.
Universitas Sumatera Utara
dalam mata uang asing tidak terbayarkan dengan pendapatan dalam mata uang rupiah. Menghadapi kesulitan finansial yang dihadapi oleh kreditor dalam membayar utangnya, maka bagaimanapun kaidah hukum tidak mungkin dilepaskan dari hal-hal yang seyogyanya diaturnya tadi telah berubah sedemikian rupa, tentu saja dituntut perubahan hukum untuk menyesuaikan diri agar hukum masih efektif dalam pengaturannya. 10 Hukum positif (peraturan Perundang-Undangan) merupakan repsentasi kedaulatan rakyat yang mempunyai legitimasi sebagai hukum yang mengikat. Oleh sebab itu, hakim tidak boleh mengambil putusan yang bertentangan dan menyimpang dari apa yang telah diatur oleh hukum positif dan hakim tidak dapat menggali hukum apabila hukum tersebut telah diatur dalam hukum positif. Keadilan semacam ini adalah keadilan dalam arti legalitas, yang berhubungan bukan dengan isi tata hukum positif melainkan dengan penerapannya. 11 Dalam kasus kepailitan yang pernah terjadi, Kurator tidak sepenuhnya bebas dalam melakukan pengurusan dan pemberesan harta pailit. Kurator senantiasa berada dibawah pengawasan Hakim Pengawas. Tugas Hakim Pengawas adalah mengawasi pengurusan dan pemberesan harta pailit yang menjadi tugas Kurator (yang dilakukan oleh Kurator). Hakim Pengawas menilai sejauh manakah pelaksanaan tugas pengurusan dan pemberesan harta pailit yang dilaksanakan oleh Kurator dapat dipertanggung jawabkan kepada debitur dan kreditur. Dalam kondisi inilah 10
Achmad Ali, Menguat Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosois Dan Sosiologis), (Jakarta: Toko Gunung Agung Tbk, 2002, hal. 14. 11 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
diperlukan peran Hakim Pengawas oleh karenanya Kurator menyampaikan laporan kepada Hakim Pengawas mengenai keadaan harta pailit dan pelaksanaan tugasnya setiap tiga bulan. 12 Mengingat beratnya tugas yang diemban oleh Kurator dalam melakukan pengurusan dan pemberesan harta pailit, maka seorang Kurator harus selalu berhubungan dengan Hakim Pengawas untuk melakukan konsultasi atau sekedar mendapat masukan. Hal ini dilakukan untuk mencapai tujuan keberhasilan dari suatu pernyataan pailit, karenanya Hakim Pengawas dan Kurator harus saling berhubungan sebagai mitra kerja. 13 Dalam melaksanakan tugas, baik Hakim Pengawas maupun Kurator harus sama-sama saling mengetahui tugas keduanya, sehingga keduanya saling memahami kapankah harus berhubungan. Kerja sama yang harmonis sangat diperlukan, terlebih dahulu apabila menemui debitur atau kreditur yang kurang mendukung kelancaran penyelesaian perkara. Kenyataan di lapangan, meskipun komunikasi Hakim Pengawas dan Kurator kurang lancar, Hakim Pengawas seringkali ragu untuk secara tegas dan langsung membantu tugas Kurator, misalnya menindak debitor yang tidak kooperatif. 14 Hubungan Kurator dan Hakim Pengawas layaknya bersifat kolegial. Keduanya harus bekerja sama dalam penanganan perkara. Memang Kurator harus meminta persetujuan Hakim Pengawas dalam beberapa hal, hal ini kadang disalah
12
Imran Nating, Peran Dan Tanggung Jawab Kurator Dalam Pengurusan Dan Pemberesan Harta Pailit, (Jakarta: raja grafindo persada, 2004 ), hal. 102. 13 Ibid, hal. 102. 14 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
artikan sebagai hubungan sub ordinasi. Tugas Hakim Pengawas ini adalah mengawasi pengurusan dan pemberesan harta pailit seperti yang diatur dalam lampiran Pasal 63 UUK 1998 jo Pasal 65 UUK 2004, dan sebelum memutuskan sesuatu yang ada sangkut pautnya dengan pengurusan dan pemberesan harta pailit, Pengadilan Niaga wajib mendengar nasehat terlebih dahulu dari Hakim Pengawas. 15 Selain itu juga berwenang untuk mendengar saksi-saksi dan memerintahkan para ahli untuk menyelidikinya. Para saksi ini akan dipanggil oleh Hakim Pengawas, dan apabila ada yang tidak datang menghadap atau menolak memberikan kesaksiannya, maka bagi mereka berlaku ketentuan Hukum Acara Perdata (lihat Pasal 140, 141, 148, HIR atau Pasal 166, 167, dan 176 Rbg) yaitu : 16 1. Saksi dihukum untuk membayar segala biaya yang telah dikeluarkan untuk pemanggilan saksi-saksi tersebut. 2. Ia harus dipangil sekali lagi atas biaya sendiri. 3. Saksi dibawa polisi menghadap pengadilan untuk memenuhi kewajibannya. 4. Apabila seseorang saksi datang di persidangan tetapi enggan memberi keterangan, memerintahkan supaya saksi ditahan dalam penjara dengan biaya dari pihak itu, sampai saksi bersedia memenuhi kewajibannya (Pasal 65 ayat (3) UUK). Atas permintaan yang berkepentingan, ketua pengadilan boleh merintahkan supaya saksi ditahan dalam penjara dengan biaya dari pihak itu, sampai saksi bersedia memenuhi kewajibannya (Pasal 65 ayat (3) UUK). Apabila saksi mempunyai tempat kedudukan hukum di luar hukum pengadilan yang menetapkan putusan pernyataan pailit, Hakim Pengawas dapat melimpahkan mendengarkan keterangan saksi kepada
15 16
Ibid, hal. 126. Ibid, hal.127.
Universitas Sumatera Utara
pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi tempat kedudukannya hukum saksi (Pasal 67 ayat (4) UUK 2004). Dari tugas-tugas dan kewenangannya Hakim Pengawas tersebut diatas, barangkali secara ringkas dapat disimpulkan sebagai berikut : 17 1. Memimpin rapat vertifikasi. 2. Mengawasi tindakan dari Kurator dalam melaksanakan tugasnya , memberi nasehat dan peringatan kepada Kurator atas pelaksanaan tugas tersebut . 3. Menyetujui atau menolak daftar-daftar tagihan yang di ajukan oleh para kreditur . 4. Meneruskan tagihan-tagiahan yang tidak diselesaikannya dalam rapat verifikasi kepada hakim Pengadilan Niaga yang memutus perkara itu. 5. Mendengar saksi-saksi dan para ahli atas segala hal yang berkaitan dengan kepailitan (misalnya tentang keadaan budel, prilaku pailit dan sebagainaya). 6. Memberikan izin atau menolak permohonan si pailit untuk berpergian (meninggalkan tempat) kediamannya. Pentingnya tugas Hakim Pengawas dalam pemberesan harta pailit, maka penelitian ini membahas mengenai bentuk pelaksanaan dari peranan Hakim Pengawas pada pelaksaan putusan pailit, kesesuaian antara ketentuan Undang-Undang dengan penerapan tugas dan kewenangan Hakim Pengawas, kedudukan hakim pemgawas terhadap Majelis Hakim pemeriksa, pemutus perkara dan bagaimana bentuk pertanggung jawaban Hakim Pengawas setelah menyelesaikan tugas dan wewenang sebagai Hakim Pengawas. Pelaksanaan putusan Pengadilan Niaga memerlukan peran dari Hakim Pengawas dan Kurator. Pada proses berperkara pada Pengadilan Niaga, proses pengajuan perkara berbentuk permohonan bukan gugatan. Namun, untuk putusan
17
Rahayu Hartini, Hukum Kepailitan, (Malang: UMM Press, 2008), hal. 127.
Universitas Sumatera Utara
yang dikeluarkan atas permohonan tersebut adalah putusan dan bukan penetapan. Putusan Pengadilan Niaga terdiri dari dua macam yaitu putusan atas permohonan pernyataan pailit dan putusan permohonan penundaan pembayaran utang. Pada Undang-Undang kepailitan yang berlaku pada saat ini, pengaturan mengenai tugas dan wewenang dari Hakim Pengawas telah diatur dalam beberapa Pasal, walaupun tidak terletak pada suatu bagian yang khusus dan tersebar pada beberapa bagian dalam Undang-Undang kepailitan. Pengangkatan Hakim Pengawas dan Kurator dimaksudkan sebagai pelaksana dari putusan pailit yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim dalam perkara permohonan pernyataan pailit. Permasalahan dalam tesis ini adalah mengenai peranan dan sejauh mana pelaksanaan tugas Hakim Pengawas dapat dipertanggung jawabkan, serta kendala yang dihadapi. Undang-Undang kepailitan mengatur bahwa Hakim Pengawas bertanggung jawab dalam mengatasi pengurusan dan pemberesan harta pailit yang dilaksanakan Kurator agar tidak menyalahgunakan kewenangannya. Hakim Pengawas dituntut memiliki kemampuan dan kecermatan serta integritas moral yang tangguh dalam memahami tugas dan kewenangannya, selain dapat membina hubungan kerjasama yang baik dengan semua pihak dalam proses kepailitan pasca putusan. Tanggung jawab Hakim Pengawas hanya sebatas tugas dan wewenang yang diatur dalam UUK serta terhadap ketetapan-ketetapan yang dibuatnya sedangkan kesalahan atau kelalaian yang dilakukan Kurator yang dapat merugikan harta pailit tetap jadi tanggung jawab Kurator.
Universitas Sumatera Utara
Namun dalam pelaksanaan tugasnya Hakim Pengawas tidak didukung dengan sarana dan prasarana yang memadai. Hendaknya pada UUK yang akan datang pengaturan mengenai Hakim Pengawas disusun dengan batasan yang jelas termasuk dengan menyesuaikannya dengan tahap-tahap dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit, serta jika perlu adanya sanksi bagi Hakim Pengawas memiliki andil yang besar dalam penyelesaian kepailitan pasca putusan secara adil cepat, terbuka, dan efektif guna melindungi kepentingan debitur pailit, para kreditur dan pihak lain yang terkait. Permasalahan yang ada bahwa di dalam Undang-Undang kepailitan tersebut, tidak ada satu pun Pasal yang mengatur mengenai masalah pertangung jawaban dari pelaksanaan tugas dan wewenang Hakim Pengawas. Melalui penulisan ini, dapat diketahui mengenai peranan Hakim Pengawas pada pelaksanaan suatu putusan pailit Pengadilan Niaga, dan bagaimana bentuk pelaksanaan dari tugas dan wewenang Hakim Pengawas tersebut.
B. Perumusan masalah Sejalan dengan hal-hal tersebut diatas, maka rumusan permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana akibat hukum putusan pailit terhadap harta kekayaan debitur ? 2. Bagaimana tugas dan kewenangan Hakim Pengawas dalam kepailitan ? 3. Bagaimana hambatan Hakim Pengawas setelah putusan pailit ?
Universitas Sumatera Utara
C. Tujuan penelitian 1. Untuk mengetahui akibat hukum putusan pailit terhadap harta kekayaan debitur. 2. Untuk mengetahui tugas dan kewenangan Hakim Pengawas dalam kepailitan. 3. Untuk mengetahui hambatan Hakim Pengawas setelah putusan pailit. D. Manfaat penelitian Penelitian ini memiliki manfaat teoritis dan praktis. Adapun kedua manfaat tersebut adalah sebagai berikut : 1. Secara teoritis Mamfaat penelitian ini yang bersifat teoritis diharapkan bahwa hasil penelitian ini dapat menyumbangkan pemikiran di bidang hukum dalam hal peranan Hakim Pengawas dalam pemberesan harta pailit. Penelitian ini juga dapat dijadikan sebagai langkah awal bagi pengembangan dan penelitian yang lebih lanjut. 2. Secara praktis Manfaat penelitian yang bersifat praktis, hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai bahan masukan bagi kalangan masyarakat khususnya bagi pelaku bisnis, penelitian ini di harapkan membawa manfaat berupa pengetahuan yang akurat tentang penyelesaian utang piutang melaui lembaga kepailitan, sehingga dapat dipertimbangkan jalur hukum mana yang akan di tempuh apakah melalui pengadilan negeri dengan alasan wan prestasi atau melalui Pengadilan
Universitas Sumatera Utara
Niaga dengan tuntutan agar debitornya dinyatakan pailit dalam menyelesaikan utang piutang antara debitor dan kreditor. Selain itu, hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan doktrin hukum bagi perkembangan ilmu hukum di Indonesia khususnya kepailitan. E. Keaslian Penelitian Berdasarkan informasi dan penelusuran yang dilakukan oleh peneliti terhadap hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan di lingkungan Universitas Sumatera Utara, maka diketahui bahwa belum ada penelitian yang serupa dengan apa yang menjadi dan ruang lingkup penelitian ini, yaitu mengenai peranan Hakim Pengawas terhadap pemberesan harta pailit. Oleh karena itu penulis berkeyakinan bahwa penelitian yang penulis lakukan ini jelas dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah, karena senantiasa memperhatikan ketentuan-ketentuan atau etika penelitian yang harus dijunjung tinggi bagi peneliti atau akademisi. F. Kerangka Teori Dan Kerangka Konsepsional 1. Kerangka teori Kerangka teori merupakan pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis, mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang dapat dijadikan sebagai bahan perbandingan, pandangan teoritis, yang mungkin ia setujui atau pun tidak di setujuinya dan ini merupakan masukan eksternal bagi pembaca. 18
18
Solly Lubis, Filsafat Ilmu Dan Penelitian, (Bandung : Mandar Maju, 1994), hal. 80.
Universitas Sumatera Utara
Di dalam penelitian diperlukan adanya kerangka teoritis sebagaimana yang dikemukakan oleh Ronny H. Soemitro bahwa untuk memberikan landasan yang mantap pada umumnya setiap penelitian haruslah selalu disertai dengan pemikiranpemikiran teoritis. 19 Kerangka teori merupakan kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis, si penulis mengenai suatu kasus ataupun permasalahan (problem), yang bagi si pembaca menjadi bahan perbandingan, pasangan teoritis, yang mungkin ia setujui ataupun
tidak disetujuinya dan ini merupakan masukan eksternal bagi
pembaca. 20 Menurut Kaelan M,S landasan teori pada suatu penelitian merupakan dasardasar operasional penelitian. Landasan teori dalam suatu penelitian adalah bersifat strategis artinya memberikan realisasi pelaksanaan penelitian. 21 Oleh sebab itu, kerangka teoritis bagi suatu penelitian mempunyai kegunaan sebagai berikut : a. Teori tersebut berguna untuk mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta yang hendak diselidiki atau di uji kebenarannya. b. Teori sangat berguna dalam mengembangkan sistem klasifikasi fakta, membina struktur konsep-konsep serta mengembangkan definisi-definisi. c. Teori biasanya merupakan suatu ikhtiar dari pada hal-hal yang diteliti.
19
Ronny H. Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Penerbit Ghalia, 1982), hal.
37. 20
M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hal. 80. Kaelan M.S, Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat (Paradigma Bagi Pengembangan Penelitian Indiplisiner Bidang Filsafat, Budaya, Sosial, Semiotika, Sastra, Hukum, Dan Seni), (Yogyakarta: Paradigma, 2005), hal. 239. 21
Universitas Sumatera Utara
d. Teori memberikan kemungkinan pada prediksinya fakta mendatang, oleh karena telah diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan mungkin faktor-faktor tersebut akan timbul lagi pada masa-masa mendatang. 22 Apabila di tinjau secara teoritis, lahirnya Undang–Undang Kepailitan dan PKPU, adalah sebagai konsekwensi dari keadaan krisis ekonomi dan moneter di Indonesia yang pada akhirnya juga menimbulkan krisis sosial dan politik dimana terjadi euphoria reformasi segala bidang, maka untuk mengantisipasi adanya kecenderungan dunia usaha yang bangkrut pemerintah menertibkan Undang–Undang Kepailitan menjadi suatu daerah hukum positif dalam sistem Perundang–Undangan di Indonesia. Dalam kepailitan seluruh harta benda debitor di peruntukan bagi pembayaran tagihan–tagihan kreditor maka jika harta bendanya itu tidak mencukupi untuk memenuhi kewajiban atas semua tanggungan itu, tentu harta benda itu harus dibagi di antara para kreditor menurut perbandingan tagihan mereka masing – masing. 23 Pembagian harta kekayaan pailit ini dimaksudkan untuk menjamin kepentingan para kreditor. Hukum yang memberikan perlindungan terhadap kreditor dari kreditor lainnya berupaya mencegah salah satu kreditor memperoleh lebih banyak dari kreditor lainnya dalam pembagian harta kekayaan, sedangkan perlindungan dari kreditor yang tidak jujur diperoleh dengan mewajibkan debitor mengungkap secara penuh maupun secara priodik. Sementara itu, apabila debitor berada dalam keadaan
22 23
Soerjono soekanto, pengantar penelitian hukum (Jakarta : UI Press, 1986), hal. 21. Martiman Prodjomidjojo, Proses kepailitan (Bandung : Mandar Maju, 1999), hal. 2.
Universitas Sumatera Utara
susah dapat ditolong maka debitor dimungkinkan untuk dapat di keluarkan secara terhormat dari permasalahan utangnya. 24 Andrew Keay dan Michael Murray meninjau hukum kepailitan dari sifatnya sebagai hukum yang memaksa dan berlaku secara kolektif yaitu : “ A Collective process in that individual creditors are not able to enfoce their debts independently of the other creditors. 25 Dalam kepailitan dan PKPU, Hakim Pengawas memiliki peranan yang sangat penting dalam kepailitan. Peranan itu mulai berlaku setelah diucapkan putusan pernyataan pailit. Hakim Pengawas mengawasi pekerjaan Kurator dalam rangka melakukan tugas pengurusan dan pemberesan. Tindakan pengawasan yang dilakukan Hakim Pengawas dituangkan dalam bentuk penetapan atau berita acara rapat. Penetapan tersebut bersifat final and biding dan dapat dilaksanakan terlebih dahulu, kecuali Undang–Undang menentukan lain. Penetapan tersebut sebagai dasar Kurator dalam menjalankan tugas–tugasnya mengurus dan membebaskan harta debitor pailit. 26 Dalam pemberesan dan pengurusan harta pailit, sebaiknya Hakim Pengawas mengawasi pengurusan dan pemberesan harta pailit secara arif, bijaksana dan cermat. Dalam artian tidaklah boleh merugikan salah satu pihak, apakah itu debitor atau kreditor dalam pemberesan dan pengurusan harta pailit. Teori mengenai keadilan 24
Zulkarnain Sitompul, Pola Penyelesaian Utang Tantangan Bagi Pemaharuan UU Kepailitan, Makalah disampaikan dalam lokakarya Mengenai Tantangan Perubahan UU Kepailitan, Medan 7 Desember 2001, Kerjasama FH UI, Pascasarjana USU dan University of sout Carolina. 25 Andrew Keay and Michael Murray, Insolvenci : Personal corporate Law & Practice, (Sadney: Law Book Company, 2002), hal. 5. 26 Sunarmi, Hukum Kepailitan, (Medan: USU Press, 2009), hal. 108.
Universitas Sumatera Utara
sangatlah sinkron dengan penulisan tesis ini. Dengan adanya rasa keadilan yang dikedepankan, maka Hakim Pengawas dapat menjalankan tugas tidak berat sebelah, sehingga tidak akan merugikan salah satu pihak. Teori mengenai keadilan ini menurut Aristoteles ialah perlakuan yang sama bagi mereka yang sederajat di depan hukum, tetap menjadi urusan tatanan politik untuk menentukan siapa yang harus diperlakukan sama atau sebaliknya. 27 Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo, dalam pembuatan hukum fungsinya sebagai pengatur kehidupan bersama manusia, oleh karena itu hukum harus melibatkan aktifitas dengan kualitas yang berbeda-beda. Pembuatan hukum merupakan awal dari bergulirnya proses pengaturan tersebut, ia merupakan momentum yang dimiliki keadaan tanpa hukum dengan keadaan yang diatur oleh hukum. Dia juga mengatakan hukum sebagai perwujudan nilai-nilai yang mengandung arti, bahwa kehadirannya adalah untuk melindungi dan memajukan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. 28 Teori keadilan melahirkan teori kemanfaatan, Teori hukum tentang kemanfaatan yang berasal dari Jeremy Bentham yang menerapkan salah satu prinsip dari aliran utilitarianisme ke dalam lingkungan hukum, yaitu: manusia akan bertindak untuk mendapatkan kebahagiaan yang sebesar-besarnya dan mengurangi penderitaan. Bentham selanjutnya berpendapat bahwa pembentuk undang-undang hendaknya
27
Lawrence. M. Friedman, American Law an Introduction, Terjemahan Wisma Bhakti, (Jakarta: PT. Tata Nusa, 2001), hal. 4. 28 Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum : Perkembangan, Metode dan Pilihan Hukum, (Surakarta: Universitas Muhamadyah, 2004), hal. 60.
Universitas Sumatera Utara
dapat melahirkan undang-undang yang dapat mencerminkan keadilan bagi semua individu. Dengan berpegang pada prinsip tersebut di atas, perundangan itu hendaknya dapat memberikan kebahagiaan yang terbesar bagi sebagian besar masyarakat (the greates happiness for the greatest number). 29 Jadi yang diutamakan dalam teori Jeremy Bentham adalah mewujudkan kebahagian yang sebesar-besarnya. karena teori kemanfaatan merupakan rasionalisme dari keadilan, bila keadilan telah tercapai otomatis akan memberikan manfaat bagi para pihak. Dalam hal kewenangan Hakim Pengawas diharapkan dapat memberikan kemanfaatan baik bagi kreditur maupun debitur itu dalam hal pemberesan dan pengurusan harta pailit dalam kepailitan. Dengan demikian jelas mengapa sejak berabad-abad telah ada peraturan kepailitan, karena dirasakan perlu untuk mengatur hak-hak dan kewajiban debitor yang tidak dapat membayar utang-utangnya serta hak-hak dan kewajiban para kreditor. Dari kesimpulan ini dapat dipahami mengapa masalah kepailitan selalu di hubungkan dengan kepentingan para kreditor, khususnya tentang tata cara dan hak kreditor untuk memperoleh kembali pembayaran piutangnya dari seorang debitor yang dinyatakan pailit. Dari uraian tersebut tergambar sangatlah bahwa Hakim Pengawas memiliki andil yang cukup besar dalam pemberesan dan pengurusan harta pailit dalam kepailitan.
29
Lili Rasjidi, Ira Tania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, (Bandung: Mandar Maju, 2002),
hal. 61.
Universitas Sumatera Utara
R. Soekardono menyebutkan bahwa kepailitan adalah penyitaan umum atas harta kekayaan si pailit bagi kepentingan semua penagihnya, dalam artian secara kolektif memaksimalkan kesejateraan kelompok, 30sehingga teori yang dikemukakan oleh thomas H. Jackson dan Robert E. Scott mengenai teori “creditor’bargain” sangat berkenaan dengan penulisan tesis ini. Thomas H. Jackson dan Robert E. Scott dalam teori “creditor’s”bargain yang menyatakan bahwa tujuan utama dari kepailitan untuk memaksimalkan kesejahteraan kelompok secara bersama-sama. 31 Dimana teori ini kemudian dikenal dengan teori creditor wealth maximization yang merupakan teori yang paling menonjol dan paling banyak di anut dalam hukum kepailitan. Jackson merumuskan hukum kepailitan dari perspektif ekonomi sebagai “An Acillary, Pararel System Of Debt – Collection Law”, sedangkan keadaan pailit adalah suatu cara melaksanakan suatu putusan tentang apa yang akan dilakukan terhadap harta debitor. 32Bagaimana pun para kreditor akan setuju kepada sistem kolektif kecuali jika ada suatu sistem yang mengikat semua kreditor lain. Untuk mengijinkan debitor membuat perjanjian dengan kreditor lain yang akan memilih ke luar dari pada kerangka penyelesaian. Hal ini akan menghancurkan keuntungan suatu proses kolektif. Landasan teori pada suatu penelitian adalah merupakan dasar-dasar operasional penelitian.
30
Sunarmi, Ibid., hal. 21. Thomas H. Jackson Dan Robert E. Scott, On The Nature Of Bankruptcy ; An Essay On Bankruptcy Sharing And The Creditor’s Bargain, 75, VA, L, REV, 155, (1989), hal. 1. 32 Thomas H. Jackson, The Logic And Limits Of Bangruptcy Law , (United States: Harvard University, 1986). hal. 3-4. 31
Universitas Sumatera Utara
Hal-hal yang telah diuraikan di atas maka dapat menjawab permasalahan yang diajukan dipergunakan pendekatan dengan kerangka teori. Kerangka berfikir menjadi konsep keadilan dan perlindungan yang seimbang terhadap kepentingan kreditor dan debitor dalam hukum kepailitan sebagai paradigma filosofis. Selanjutnya paradigma yang bersifat konstan ini di interaksikan dengan potensi yang yang dimiliki Indonesia dan perkembangan situasi dan kondisi yang berupa kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam hukum kepailitan baik dari segi subtansi maupun dalam praktek serta kondisi perdagangan nasional dan global. 2. Kerangka konsepsional Dalam penelitian ini untuk menemukan atau mendapatkan pengertian atau penafsiran dalam tesis ini, maka berikut ini adalah definisi operasional sebagai batasan tentang objek yang diteliti: a. Kepailitan adalah suatu sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya di lakukannya oleh Kurator di bawah pengawasan sebagai mana diatur dalam Undang-Undang ini. 33 Selain itu kepailitan berati segala hal yang berhubungan dengan “pailit”, maka kita akan menemui pengertian kepailitan dalam Pasal 1 butir UUK yang berbunyi sebagai berikut : kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator dibawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
33
Pasal 1 Ayat (1) UU No. 37. Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Universitas Sumatera Utara
Pasal 1 butir 1 ini secara tegas menyatakan bahwa “kepailitan adalah sita umum, bukan sita individual”, karena itu disyaratkan dalam UUK bahwa untuk mengajukan permohonan pailit harus memiliki 2 (dua) atau lebih kreditor. Seorang kreditor yang hanya memiliki 1 (satu) kreditor tidak dapat dinyatakan pailit karena hal ini melanggar prinsip sita. Apabila hanya satu kreditor maka yang berlaku adalah sita individual, dan penuntutannya melalui gatan perdata biasa, bukan melalui permohonan pailit. 34 b. Kreditor adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau Undang-Undang yang dapat di tagih di muka pengadilan. 35 c. Debitor adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau UndangUndang yang dapat di tagih di muka pengadilan. 36 d. Utang adalah kewajiban yang dinyatakan dalam atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang uang rupiah atau asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontiniu, yang timbul karena perjanjian atau Undang-Undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitor. 37
34
Sunarmi, Op. Cit, hal. 29 Pasal 1 Ayat (2) UU No. 37. Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. 36 Pasal 1 Ayat (3) UU No. 37. Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. 37 Pasal 1 Ayat (6) UU No. 37. Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. 35
Universitas Sumatera Utara
e. Kurator adalah balai harta peninggalan atau perseorangan yang diangkat oleh pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta debitor pailit di bawah pengawas sesuai dengan Undang-Undang. 38 f. Hakim Pengawas adalah hakim yang di tunjuk oleh pengadilan dalam putusan pailit atau putusan penundaan kewajiban pembayaran utang. 39 g. Pemberesan harta pailit adalah jika dalam rapat pencocokan piutang tidak ditawarkan rencana perdamaian, rencana perdamaian tidak diterima, atau pengesahan perdamaian telah ditolak berdasarkan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, demi hukum harta pailit berada dalam keadaan insolven. 40 G. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif, yaitu dengan mengkaji/menganalisis data sekunder yang berupa bahan-bahan primer dan bahan hukum sekunder dengan memahami hukum sebagai seperangkat peraturan atau norma-norma positif di dalam sistem PerundangUndangan yang mengatur mengenai kehidupan manusia. 41
38
Pasal 1 Ayat (5) UU No. 37. Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. 39 Pasal 1 Ayat (8) UU No. 37. Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. 40 Pasal 178 UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan. 41 Soerjono Soekanto Dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2009), hal. 14.
Universitas Sumatera Utara
Penelitian hukum normatif merupakan penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka. Penelitian hukum normatif atau kepustakaan ini mencakup: 42 1. Penelitian terhadap asas-asas hukum . 2. Penelitian terhadap sistematika hukum. 3. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal. 4. Perbandingan hukum. 5. Sejarah hukum. Penelitian hukum normatif dapat disebut juga sebagai penelitian hukum yang meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma. 43 Penelitian normatif selalu mengambil isu dari hukum sebagai sistem norma yang digunakan untuk memberikan justifikasi preskriptif tentang suatu peristiwa hukum. Penelitian dilakukan dengan maksud memberikan argumentasi hukum sebagai dasar penentu apakah suatu peristiwa sudah benar atau salah serta bagaimana sebaiknya peristiwa itu menurut hukum. 44 Adapun data yang digunakan dalam menyusun penulisan ini diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research), sebagai suatu teknik pengumpulan data dengan memanfaatkan berbagai literatur berupa aspek-aspek hukum di Indonesia, peraturan perundang-undangan, buku-buku, karya ilmiah, bahan kuliah, putusan pengadilan, serta sumber data sekunder lain yang dibahas oleh penulis. Digunakan
42
Ibid. hal. 14. Mukti fajar nur dewata, uianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, (yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal. 34. 44 Op. Cit., hal. 36. 43
Universitas Sumatera Utara
pendekatan yuridis normatif karena masalah yang diteliti berkisar mengenai keterkaitan peraturan. Metode yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif yang merupakan prosedur penelitian untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya. 45 Logika keilmuan yang juga dalam penelitian hukum normatif dibangun berdasarkan disipin ilmiah dan cara-cara kerja ilmu hukum normatif, yaitu ilmu hukum yang objeknya hukumnya itu sendiri.
1. Sifat Penelitian Penelitian ini bersifat Setelah data terkumpul dan dirasa telah cukup lengkap, maka tahap selanjutnya adalah mengolah dan menganalisis data. Teknik analisis data yang dipakai adalah teknik analisis kualitatif, dimana setelah semua data terkumpul, maka dilakukan pengolahan, penganalisisan dan pengkonstruksian data secara menyeluruh, sistematis dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data. Selanjutnya semua data diseleksi dan diolah, kemudian dianalisis secara deskriptif. 46 Analisis data merupakan suatu proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema. Data yang diperoleh dari hasil penelitian ini dikumpulkan dan kemudian diedit dengan mengelompokan, menyusun secara sistematis, dan analisis secara kualitatif
45
Jhonny ibrahim, Teori Dan Metodologi Penelitian Normatif, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007), hal. 57. 46 M. Syamsudin, Operasionalisasi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), hal. 133.
Universitas Sumatera Utara
selanjutnya dilakukan penarikan kesimpulan dengan menggunakan logika berfikir deduktif ke induktif. 47 2. Metode Pendekatan Metode pendekatan kualitatif yang digunakan adalah pendekatan aspek-aspek hukum yang di Indonesia atau aspek Perundang-Undangan (statue approach). Pendekatan kualitatif adalah suatu proses penelitian dan pemahaman yang berdasarkan pada metodologi yang menyelidiki suatu fenomena sosial dan masalah manusia. Penelitian ini mengunakan pendekatan tersebut karena yang akan diteliti adalah berbagai aspek hukum dan aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian. Analisa hukum hukum yang dihasilkan oleh suatu penelitian hukum normatif yang menggunakan pendekatan aspek-aspek hukum di Indonesia dan Perundang-Undangan, akan menghasilkan penelitian yang akurat. Serta digunakan juga pendekatan konseptual yang beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrindoktrin yang bekembang didalam ilmu hukum akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang di hadapi. Pemahaman akan pandanganpandangan dan doktrin-doktrin tersebut merupakan sandaran bagi peneliti dalam membangun suatu argumentasi hukum dalam memecahkan isu yang di hadapi. Pendekatan tersebut melakukan pengkajian dari segi aspek-aspek hukum di Indonesia
47
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum (Suatu Pengantar), (Jakarta: P.T. Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 114-115.
Universitas Sumatera Utara
dan peraturan Perundang-Undangan berdasarkan konsep-konsep hukum dan asas-asas hukum. 3. Sumber Data Sumber-sumber data dalam penelitian dapat dibedakan menjadi sumbersumber penelitian yang berupa bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder, yang digunakan dalam penelitian ini. Data dalam penelitian ini diperoleh dengan cara mengumpulkan data primer dan data sekunder. a. Data sekunder 48, data yang di kumpulkan melalui studi pustaka dengan mempelajari : 1. Bahan Hukum Primer, yaitu peraturan Perundang-Undangan di bidang hukum kepailitan yaitu Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang, dan KUH Perdata. 2. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai hukum primer, seperti hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan pakar hukum serta bahan dokumen-dokumen lainya yang berkaitan dengan Peranan Hakim Pengawas Dalam Pemberesan Harta Pailit Dalam Kepailitan. 3. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder,
48
Penelitian Normatif Data Sekunder Sebagai Sumber/Bahan Informasi Dapat Merupakan Bahan Hukum Primer, Bahan Hukum Sekunder Dan Bahan Hukum Tertier. Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), hal. 14.
Universitas Sumatera Utara
seperti kamus umum, kamus hukum, jurnal atau surat kabar sepanjang memuat informasi yang relevan dengan materi penelitian ini. 49 4. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang akan di gunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan cara studi kepustakaan dilakukan untuk mengumpulkan data sekunder melalui pengkajian terhadap, peraturan, peraturan Perundang-Undangan, literatur, tulisan-tulisan pakar hukum, bahan kuliah, dan putusan-putusan pengadilan yang berkaitan dengan penelitian ini. 5. Analis Data Pengolahan, analisis dan konstruksi data penelitian hukum normatif dapat dilakukan dengan cara menganalisis terhadap kaidah hukum dan kemudian mengkonstruksi dengan cara memasukkan pasal-pasal keadaan kategori-kategori atas dasar pengertian-pengertian dasar dari sistem hukum tersebut. Data yang diperoleh melalui studi kepustakaan, peraturan Perundang-Undangan, putusan-putusan, pengadilan dan menganalisis berdasarkan metode kualitatif, yaitu dengan melakukan. 50: a. Menemukan konsep-konsep yang terkandung dalam bahan-bahan hukum (konseptualisasi) yang dilakukan dengan cara memberikan interpretasi terhadap bahan hukum tersebut.
49
Soerjono Soekanto Dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1985), hal. 23. 50 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Grafindo, 2006), hal. 225.
Universitas Sumatera Utara
b. Mengelompokan konsep-konsep hukum Indonesia atau peraturanperaturan yang sejenis atau berkaitan dengan asas legalitas. c. Menjelaskan dan menguraikan hubungan diantara berbagai kategori atau peraturan Perundang-Undangan, kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif, sehingga mengungkapkan hasil yang di harapkan dan kesimpulan atas pemasalahan.
Universitas Sumatera Utara