BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara etimologis atau menurut ilmu bahasa, korupsi berasal dari bahasa latin yakni corruptio atau corruptus, dan dalam bahasa latin yang lebih tua dipakai istilah corrumpere. Dari bahasa latin itulah turun ke berbagai bahasa bangsa-bangsa di Eropa, seperti Inggris : coruption, corruptr; Perancis : Corruption; dan Belanda : corruptie atau korruptie, yang kemudian turun ke dalam bahasa Indonesia menjadi korupsi. Arti harafiah dari kata korupsi adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidak jujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian. 1 Secara sosiologi, korupsi merupakan tindakan disosialisasi, yaitu suatu tindakan yang tidak memperdulikan hubungan-hubungan dalam sistem sosial. Mengabaikan keperdulian sosial merupakan salah satu ciri korupsi pelaku tidak peduli terhadap hak-hak orang lain, yang dipentingkan adalah hak individunya dapat terpenuhi, meskipun harus mengorbankan kepentingan orang lain. Dalam cara pandang sosiologi maka korupsi di Indonesia dapat dibagi dalam tiga model. Pertama, Corruption by need, artinya kondisi yang membuat orang harus korupsi. Apabila tidak korupsi atau melakukan penyimpangan, maka pelaku korupsi tersebut tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Kedua corruption by greed, artinya korupsi yang memang karena keserakahan/ketamakan, sekalipun secara ekonomi pelaku krupsi tersebut cukup, 1
Andi Hamzah, (I) Korupsi di Indonesia, Masalah dan Pemecahannya, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1991, hal 7.
Universitas Sumatera Utara
tetapi tetap saja melakukan perbuatan korupsi. Ketiga, corruption by chance, artinya korupsi terjadi karena adanya kesempatan dan niat. 2 Susan Rose-Ackerman mendefenisikan korupsi sebagai penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi. Hubungan pemberi-penerima jasa di sektor publik membuka peluang untuk melakukan perbuatan korupsi. Defenisi ini memberikan pengertian begitu saja tanpa memisahkan perbedaan antara peran umum dengan peran pribadi seorang pelaku. Artinya tidak jelas kapan seorang pejabat melakukan perbuatan tersebut dalam kapasitasnya sebagai pejabat publik dan kapan sebagai pribadi. Di sektor swasta, kebiasaan memberi hadiah berlaku umum dan juga sangat dihargai, dan tampaknya lumrah untuk memberi pekerjaan dan kontrak kepada teman atau keluarga. Pada umumnya tidak ada yang merasa aneh untuk berlaku serupa di masyarakat umum. Dalam kenyataanya, bagi kebanyakan orang, perbedaan tajam antara dunia umum dan dunia pribadi merupakan sesuatu yang aneh, sekalipun demikian penduduk di negara berkembang, membuat perbedaan yang jelas antara tingkah laku apa yang dapat diterima dan apa yang ditolak berdasarkan norma budaya mereka sendiri. 3 Penggambaran korupsi oleh Rose-Ackerman seperti itu lebih menekankan pada aspek budaya.
2
KPHA. Tjandra Sridjaja Pradjonggo, Sifat Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, Jakarta Lawyer Club, Jakarta, 2010,hal 5. 3 Susan Rose-Ackerman, Diterjemahkan Oleh Toenggoel P. Siagian, Korupsi Pemerintah, Sebab Akibat dan Reformasi, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2006, hal 127.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut, defenisi korupsi dapat dipandang dari berbagai aspek, bergantung pada disiplin ilmu yang dipergunakan. 4 Demikian pula dalam perspektif hukum, korupsi merupakan konsep hukum yang secara defenitif
diatur
dalam
Undang-Undang
Nomor
31
Tahun
1999,
tentang
pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (PTPK). Korupsi telah menjadi masalah dunia, bukan semata-mata masalah di negara berkembang seperti Indonesia, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa selanjutnya akan disingkat PBB, memandang perlu untuk mengadopsi, “United Nation Convention Against Corruption”, selanjutnya disingkat UNCAC, melalui resolusi 58/4, tanggal 31 Oktober 2003, yang kemudian pada tanggal 10 Januari 2005 ditandatangani oleh 116 negara, dan 15 negara telah meratifikasi dan salah satu negara tersebut adalah Indonesia yang telah meratifikasinya melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006, tentang pengesahan United Nation Convetion Against Corruption (UNCAC), 2003, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tersebut diundangkan atau disahkan pada tanggal 18 April 2006. PBB menyebutkan berbagai alasan atas prakarsa yang akhirnya melahirkan UNCAC, termasuk timbulnya kesadaran dunia bahwa praktek-praktek korupsi meruntuhkan seluruh bangsa ke dalam kemiskinan dan krisis sosial. Tidak berlebihan apabila PBB menyebutnya sebagai “Multi Dimensional Challenge” atau tantangan 4
SuyatNo, Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2005, hal 16.
Universitas Sumatera Utara
Multi Dimensi, baik hak asasi manusia selanjutnya disingkat HAM, demokrasi, peraturan hukum atau rule of law, pembangunan yang berkelanjutan atau sustainable development pasar, keamanan, maupun kualitas kehidupan. Dalam konteks tersebut UNCAC menawarkan bantuan kepada negara-negara penandatangan untuk memberantas korupsi dalam perspektif mereka melalui modifikasi kerjasama dan asistensi. Dalam compendium of internation legal instruments on corruption, ditegaskan bahwa UNCAC menawarkan seperangkat pendekatan yang konprehnsif untuk menghadapi korupsi. Konvensional dapat dibagi kedalam meta-provinsi diantaranya yaitu : 1. Kebijakan pencegahan dan penataan ulang pelayanan publik sebagai cara dalam menciptakan transparansi dan pemerintahan yang bersih dan baik. 2. Menghukum berat pelaku tindak pidana korupsi sebagai suatu kejahatan luar biasa. 3. Kerjasama internasional dalam menangkap pelaku tindak pidana korupsi. 4. Penyitaan asset pelaku tindak pidana korupsi. 5 Korupsi merupakan perbuatan yang sangat merugikan keuangan negara dan menyengsarakan
masyarakat
sekaligus
pula
dapat
menghambat
jalannya
pembangunan nasional. Oleh karena itu korupsi digolongkan sebagai suatu kejahatan luar biasa yang perlu dikikis habis, diantaranya dengan cara memaksimalkan daya kerja dan daya paksa dari peraturan Perundang-Undangan yang ada, baik melalui penegakan hukum pidana, maupun melalui penegakan hukum perdata. Korupsi adalah setiap perbuatan untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara. 5
Adil Surowidjojo, Konvensi PBB, Tentang Penanganan Tindak Pidana Korupsi dan Pencegahannya, Pelita Ilmu, Jakarta, 2009, hal29.
Universitas Sumatera Utara
Pengadaan barang dan jasa umumnya menyangkut jumlah uang yang besar, sehingga pengadaan barang dan jasa adalah yang selalu berpeluang besar untuk dijadikan lahan korupsi di Indonesia. 6 Kasus wisma atlet, hambalang merupakan contoh nyata bahwa pengadaan barang dan jasa pemerintah menjadi lahan subur tindak pidana korupsi tidak hanya pada tingkat pejabat menegah kebawah, tapi juga mengakibatkan pejabat tinggi negara, etika politik dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia. Meskipun Undang-Undang anti korupsi Nomor 31 Tahun 1999 Juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, sudah lama diberlakukan namun tetap saja tindak pidana korupsi belum dapat diberantas bahkan cenderung meningkat dari Tahun keTahun baik secara kualitas maupun kuantitas. Persentase korupsi pada pengadaan barang dan jasa hampir mencapai 60% pengeluaran belanja negara yang digunakan untuk pengadaan barang dan jasa sebagai gambaran APBN Tahun Anggaran 2010, dana untuk pengadaan barang dan jasa mencapai 189 Triliun. Angka tersebut tidak termasuk dana yang dikelola BUMN, kontraktor kemitraan dan belum mencakup anggaran pemerintah daerah. Hasil kajian pemerintah Indonesia yang bekerja sama dengan Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia yang berjudul Country Procurement Assesment Report (CPAR) Tahun 2010, menyebutkan 10% sampai dengan 50% pengadaan barang dan jasa mengalami kebocoran baik di tingkat
6
Budi Raharjo, Praktek Pelaksanaan tender Pengadaan Barang dan Jasa dan Pengawasannya, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hal 18.
Universitas Sumatera Utara
pusat maupun di tingkat daerah. Kajian ini memperkuat dugaan bahwa pengadaan barang dan jasa adalah sasaran empuk para koruptor. 7 Penyelenggaraan pengadaan barang dan jasa yang tidak sesuai prosedur akan berdampak pada kerugian yang akan ditanggung oleh masyarakat, termasuk rendahnya kuantitas pelayanan yang diterima dari pemerintah. Ada beberapa langkah yang sebaiknya dilakukan dalam rangka menyehatkan praktek pengadaan barang dan jasa, baik oleh pihak pemerintah maupun masyarakat sipil. 1.
Memperkuat dasar hukum pengadaan barang dan jasa, status hukum pengadaan barang dan jasa dalam bentuk keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang pedoman pelaksanaan pengadaan barang dan jasa yang kemudian disempurnakan lewat Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2006 tentang perubahan keempat Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 serta diubah lagi melalui Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010. Walaupun pada Keppres dan Perpres telah memuat sejumlah klausul yang cukup reformatif, tetapi klausul-klausul tersebut tidak terimplementasi dengan baik.
2.
Peningkatan kapasitas (capacity building) bagi para kontraktor lokal. Peran ini dapat diemban oleh pemerintah dan asosiasi pemisahan pengadaan barang dan jasa lewat berbagai program pelatihan dan sosialisasi mengenai kompetensi teknik dan manajemen. Selama ini asosiasi hanya berfungsi sebagai tempat bagi pengusaha barang dan jasa untuk bagi-bagi proyek, kepedulian asosiasi dalam
7
ADB Project Relations Aktivities In Support of Government’s Anticorruption Effortd Tool Kit, Anti Korupsi Bidang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintrah, hal 4.
Universitas Sumatera Utara
meningkatkan kapasitas anggota merupakan bentuk keberpihakan yang nyata dalam rangka mempertahankan eksistensi perusahaan barang dan jasa dalam jangka panjang. Bahkan asosiasi dapat menerangkan aturan mengenai sistem punishment dan reward bagi tingkat prestasi atau kegagalan tertentu dalam melaksanakan pekerjaan. 3.
Proses perencanaan pengadaan di lakukan secara profesional, dan sebaiknya sesuai dengan rencana strategis dari dokumen perencanaan pembangunan yang telah ditetapkan. Proses perencanaan kadang-kadang telah menjadi permulaan selama ini adalah perencanaan dilakukan pada eksekutif. Setelah tiba dilegislatif di mulailah “deal deal” terbatas, terutama pada panitera anggaran dan seluruh rencana bisa berubah. Maka dimulailah praktek penggelembungan anggaran, perencanaan pengadaan yang diarahkan, dan direkayasa pemaketan kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN). Sebagai contoh dan sudah menjadi rahasia umum. Jika kontraktor dan pengusaha kadang-kadang juga anggota DPRD yang mempunyai jaringan portai di Panitia Anggaran (Panggar) DPR melakukan lobi-lobi Intensif dalam rangka mendapatkan proyek, tentu dengan komisi tertentu (kasus percobaan proyek di DPRD).
4.
Masyarakat menggiatkan diri pada aksi peniup peluit (whistel blower) atau walchdog. Karena masyarakatlah yang menjadi user dari hasil pekerjaan yang dilaksanakan, maka secara moral masyarakat dituntut kepeduliannya untuk melakukan pengawasan. Pendekatan pengawasan tentunya harus berbasis
Universitas Sumatera Utara
masyarakat di lokasi proyek pengadaan barang dan jasa. Pemerintah dituntut memberi akses yang luas kepada masyarakat dalam memperoleh informasi mengenai proyek. Bahkan sebelum proyek dilaksanakan sebaiknya pemerintah memberi sosialisasi mengenai proyek yang akan dilaksanakan, sehingga masyarakat sendiri menjadi safe quarding bagi keberhasilan proyek pengadan barang dan jasa. 8 Pendekatan lainnya adanya lembaga-lembaga pemantau yang diinisiasi masyarakat sipil. Lembaga pemantau pengadaan barang dan jasa yang telah berdiri pada level nasional (Indonesia Procurement watch) sebaliknya diikuti inisiasinya pada level provinsi maupun kabupaten/kota. Lembaga ini haruslah terdiri dari pribadi-pribadi yang memiliki kompetensi integritas dan track record yang memadai karena jika tidak, lembaga ini hanya akan terbeli oleh pihak-pihak tertentu yang mempunyai kepentingan pada proses pengadaan barang dan jasa, baik itu dari pemerintah, DPR/DPRD, maupun pihak pengusaha. Pasal 1 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang pengadaan barang dan jasa berbunyi : “Pengadaan barang dan jasa pemerintah yang selanjutnya disebut dengan pengadaan barang/jasa adalah kegiatan untuk memperoleh barang/jasa oleh kementerian/lembaga/satuan kerja perangkat daerah/institusi lainnya yang prosesnya dimulai dari perencanaan kebutuhan sampai diselesaikannya seluruh kegiatan untuk memperoleh barang/jasa”.
8
Ronny Hariyanto, Prosestender Pengadaan Barang Dan PengawasannyaOleh Masyarakat, Pustaka harapan, Jakarta, 2010, hal 19.
Jasa
Serta
Upaya
Universitas Sumatera Utara
Selanjutnya Pasal 1 ayat (2) Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang pengadaan barang dan jasa berbunyi : “Kementrian/lembaga/satuan kerja perangkat daerah/institusi lainnya, yang selanjutnya disebut K/L/D/I adalah instansi/institusi yang menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Pasal 1 ayat (3) Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 berbunyi, “Pengguna barang/jasa adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan barang dan/atau jasa untuk negara/daerah di masing-masing K/L/D/I. selanjutnya Pasal 1 ayat (12) Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 berbunyi, “Penyedia barang/jasa adalah badan usaha atau orang perseorangan yang menyediakan barang/pekerjaan konstruksi/jasa konsultasi/jasa lainnya. Pada pengadaan barang/jasa dikenal istilah pelelangan umum sebagai salah satu metode yang digunakan untuk memiliki penyedia barang/pekerjaan konstruksi/jasa lainnya untuk semua pekerjaan yang dapat diikuti oleh semua penyedia barang/jasa lainnya untuk semua pekerjaan konstruksi/jasa lainnya yang memiliki syarat, sedangkan pelelangan terbatas adalah metode pemilihan penyedia pekerjaan konstruksi untuk pekerjaan konstruksi dengan jumlah penyedia yang mampu melaksanakan diyakini terbatas untuk pekerjaan yang kompleks. Pelelangan sederhana adalah metode pemilihan penyedia barang/jasa lainnya untuk pekerjaan yang bernilai paling tinggi Rp 200.000.000 (dua ratus juta rupiah). Pemilihan Langsung (PL) adalah metode pemilihan penyedia pekerjaan konstruksi untuk pekerjaan yang dapat diikuti oleh semua penyedia jasa konstruksi yang memenuhi syarat. Seleksi sederhana adalah metode pemilihan penyedia jasa
Universitas Sumatera Utara
konstruksi untuk jasa konstruksi yang bernilai paling tinggi Rp 200.000.000 (dua ratus juta rupiah). Pasal 2 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang pengadaan barang/jasa pemerintah ruang lingkupnya meliputi : a.
Pengadaan barang/jasa di lingkungan K/L/D/I yang pembiayaannya baik sebagian atau seluruhnya bersumber dari APBN/APBD.
b.
Pengadaan barang/jasa untuk investasi di lingkungan bank Indonesia, Badan Hukum Milik Negara dan Badan Usaha Milik Negara/badan Usaha Milik Daerah yang pembayarannya sebagian atau seluruhnya dibebankan pada APBN/APBD. Pasal 2 ayat (2) Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 berbunyi,
“Pengadaan barang/jasa yang dananya bersumber dari APBN (APBD) sebagaimana di maksud pada ayat (1), mencakup pengadaan barang/jasa yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari pinjaman atau hibah dalam negeri yang diterima oleh pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah. Ketentuan pengadaan barang / jasa yang dananya baik sebagian atau seluruhnya berasal dari pinjaman/hibah Luar Negeri (PHLN) berpedoman pada ketentuan yang terdapat dalam peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang pengadaan barang/jasa pemerintah ini. Pasal 3 Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang pengadaan barang / jasa berbunyi, “Pelaksanaan Pengadaan barang/jasa dilakukan melalui, a. swa kelola, b. pemilihan penyedia barang/jasa. Pasal 4 Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 berbunyi, “Pengadaan barang/jasa pemerintah meliputi, a. barang, b. pekerjaan konstruksi, c. jasa konsultasi, d. jasa lainnya. Pengadaan barang dan jasa menerapkan
Universitas Sumatera Utara
prinsip-prinsip sebagai berikut: a. efisien, b. efektif, c. transparan, d. terbuka, e.bersaing, f. adil/tidak diskriminatif dan g. akuntabel. 9 Pasal 12 ayat (2) Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang pengadaan barang/jasa pemerintah berbunyi, “Persyaratan sebagaimana dimaksud pada Pasal 12ayat (1) huruf c, d, f, h dan huruf i Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang pengadaan barang/jasa pemerintah dikecualikan bagi penyedia barang/jasa proyek perorangan. Pengadaan barang/jasa proyek fasilitas pembangunan prasarana dan sarana dasar pemukiman berbasis masyarakat oleh CV Prawira Jaya sebagai rekanan di Dinas Tata Ruang dan Pemukiman (Tarukim) Pemerintah Kota (Pemko) Binjai yang dimulai pada Tahun 2009 juga tidak terlepas dari indikasi korupsi. Dinas Tata Ruang dan Pemukiman (Tarukim) Kota Binjai melalui kantor Dinas Pekerjaan Umum (PU) Kota Binjai melakukan pelelangan pengadaan barang/jasa proyek fasilitas pembangunan prasarana dan sarana dasar pemukiman berbasis masyarakat untuk kecamatan Binjai Utara dan Kecamatan Binjai Selatan dengan nilai penggunaan anggaran yang ditampung di dalam APBD Kota Binjai Tahun 2009 sebesar Rp 900.000.000 (sembilan ratus juta rupiah) pada masing-masing kecamatan tersebut. Pada tanggal 12Januari 2009 Pejabat Pengguna Anggaran pada kantor Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Kota Binjai mengangkat Zainal Arifin selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan mengangkat Panitia pengadaan/pelelangan pada
9
Pasal 5 Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang / Jasa Pemerintah.
Universitas Sumatera Utara
proyek tersebut, dan kemudian pada tanggal 16 februari 2009, proyek fasilitas pembangunan prasarana dan sarana dasar pemukiman berbasis masyarakat untuk kecamatan Binjai Utara dan Kecamatan Binjai Selatan diumumkan oleh panitia pelelangan. Pada tanggal 24 Maret 2009 melalui surat keputusan Pejabat Komitmen (PPK) Nomor : 050-63/SK/PPK/APBD/Tarukim/2009 ditetapkan CV Prawira Jaya sebagai pemenang lelang dan dengan demikian berhak menjadi penyedia barang/jasa pada proyek fasilitas pembangunan prasarana dan sarana dasar pemukiman berbasis masyarakat untuk kecamatan Binjai Utara dengan anggaran biaya yang disetujui sebesar Rp 851.500.000 (delapan ratus lima puluh satu juta lima ratus ribu rupiah).
10
Kemudian pada tanggal 25 Maret 2009, dibuat surat perjanjian pekerjaan oleh PPK Zainal Arifin dengan Direktur CV. Prawira Jaya Sentot Prawiradirdja untuk proyek fasilitas pembangunan Prosa Binjai Selatan dengan anggaran 851.300.000 (delapan ratus lima puluh satu juta tiga ratus ribu rupiah) melalui surat keputusan PPK Nomor 050-61/SK/PPK/APBD/Tarukim/2009 tanggal 24 Maret 2009 menetapkan CV Lancang Kuning sebagai pemenang lelang dan berhak menjadi penyedia barang/jasa Surat Perjanjian Kerjasama dibuat oleh PPK, Zainal Arifin dengan Direktur CV Lancang Kuning, Haris Syahputra Nasution. Bertitik tolak dari latar belakang tersebut, menarik untuk diketahui dan diteliti lebih jauh mengenai apakah ada indikasi korupsi yang dilakukan pada proyek fasilitas pembangunan prasarana dan sarana dasar pemukiman berbasis masyarakat yang
10
Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pada Pengadilan Negeri Medan Nomor 05/PID.Sus.K/2011/PN.MDN, hal 10.
Universitas Sumatera Utara
dilakukan oleh CV. Prawira Jaya melalui Direkturnya Sentot Prawiradirdja baik secara bersama-sama maupun secara sendiri sesuai prosedur hukum yang telah ditetapkan dalam pengadaan barang/jasa berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Nomor 31 Tahun 1999 Juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, dan Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP).
B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraikan latar belakang tersebut di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang perlu dibahas sebagai berikut : 1.
Bagaimanakah bentuk-bentuk tindak pidana korupsi dalam praktek pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah ?
2.
Bagaimanakah tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pihak CV pada pengadaan barang/jasa pemerintah di Kota Binjai ?
3.
Siapa saja yang bisa dimintai pertanggung jawaban dalam pengadaan barang/jasa pemerintah menurut Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 ?
C. Tujuan Penelitian Mengacu pada judul dan permasalahan dalam penelitian, maka dapat dikemukakan bahwa tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.
Untuk mengetahui bentuk-bentuk tindak pidana korupsi yang sering terjadi secara umum dalam praktek penyelenggaraan pengadaan barang/jasa pemerintah.
Universitas Sumatera Utara
2.
Untuk mengetahui bentuk tindak pidana korupsi yang yang dilakukan oleh pihak CV dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah di Kota Binjai.
3.
Untuk mengetahui siapa saja yang dapat dimintai pertanggung jawaban dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah menurut Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 ?
D. Manfaat Penelitian Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.
Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbang saran dalam ilmu hukum pada umumnya dan hukum pidana pada khususnya terutama mengenai masalah pengadaan barang/jasa pemerintah dikaitkan dengan tindak pidana korupsi yang sering terjadi dalam penyelenggaraan literatur dalam memperkaya khazanah dan kepustakaan serta perkembangan ilmu hukum pidana khusus tentang korupsi dalam penyelenggaraan pengadaan barang/jasa pemerintah.
2.
Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat menjawab permasalahan dalam penelitian ini sehingga dapat memberikan solusi terhadap permasalahan dalam penelitian ini. Disamping itu tujuan penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada masyarakat pada umumnya dan kepada para rekanan proyek pengadaan barang/jasa pemerintah pada khususnya, agar mengetahui dan memahami prosedur hukum yang berlaku dalam pengadaan barang/jasa pemerintah.
Universitas Sumatera Utara
E. Keaslian Penelitian Berdasarkan hasil penelusuran sementara dan pemeriksaan yang telah penulis lakukan baik di kepustakaan penulis karya ilmiah Magister Hukum maupun di Magister KeNotariatan Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, dan sejauh yang diketahui tidak ditemukan judul yang sama dengan judul penelitian ini. Adapun judul penelitian yang pernah dilakukan oleh peneliti terdahulu adalah : Judul penelitian ini adalah: 1.
Arina Rasitah (NIM : 037005003) dengan judul “Analisis Tentang Tindak Pidana Korupsi dalam Penyalahgunaan Wewenang Pengadaan Barang/Jasa di PTPN II Medan.
2.
Budi Prakarsa (NIM : 107005007) dengan judul “Analisis Yuridis Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Sebagai Salah Satu Pertimbangan yang Meringankan Hukuman dalam Tindak Pidana Korupsi. Pembahasan kedua penelitian tersebut di atas dari segi substansi permasalahan
yang dibahas berbeda dengan penelitian ini. Oleh karena itu, penelitian adalah asli adanya, artinya secara akademika penelitian ini dapat dipertanggung jawabkan kemurniannya, karena belum ada yang melakukan penelitian yang sama dengan judul penelitian ini.
Universitas Sumatera Utara
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1.
Kerangka Teori Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori,
thesis mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi dasar perbandingan, pegangang teoritis. 11 Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan pedoman/petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang diamati. 12 Negara Indonesia adalah negara hukum (rechtstaats), bukan negara kekuasaan (machtstaats), maka setiap tindak pidana yang terjadi seharusnya diproses sesuai hukum yang berlaku. Hukum dipandang sebagai satu-satunya saranan bagi penyelesaian terhadap suatu tindak pidana. Dalam alenia keempat pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengandung konsep tujuan negara baik secara khusus maupun secara umum. Secara khusus tujuan negara untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa sedangkan secara umum adalah untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Menurut Lawrence M. Friedman, hukum sebagai suatu sistem atau sub sistem dari sistem kemasyarakatan akan berperan secara baik jika instrumen pelaksanaanya dilengkapi dengan kewenangan-kewenangan di bidang penegakan hukum, maka sistem hukum tersebut tersusun dari beberapa sub sistem yang mencakup, struktur
11 12
M. Solly Lubis. Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, hal 80. SoerjoNo Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1996, hal 39.
Universitas Sumatera Utara
hukum (structure), substansi hukum (substance) dan budaya hukum (legal culture). Ketiga unsur sistem hukum ini yang nantinya sangat menentukan apakah suatu sistem hukum berjalan atau tidak. Susbstansi hukum biasanya terdiri dari peraturan Perundang-Undangan, sedangkan struktur hukum adalah aparat, sarana dan peraturan hukum. Budaya hukum adalah berupa perilaku dari anggota masyarakat itu sendiri. 13 Cara lain menggambarkan 3 (tiga) unsur hukum itu adalah dengan mengibaratkan “Struktur hukum sebagai mesin”. Substansi hukum adalah apa yang dihasilkan atau dikerjakan oleh mesin itu. Budaya hukum adalah apa saja atau siapa saja yang memutuskan untuk menghidupkan dan mematikan mesin itu serta memutuskan bagaimana mesin itu digunakan. 14 a.
Teori Pertanggung Jawaban Dalam hukum pidana Indonesia dikenal istilah Tiada Hukuman Tanpa
Kesalahan
(geen
straf
zonder
schuld)
yang
merupakan
dasar
dari
pertanggungjawaban hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana. Istilah Tiada Hukuman Tanpa Kesalahan tersebut memiliki ratio hukum bahwa barang siapa yang melakukan kesalahan di dalam hukum pidanawajib mempertanggungjawabkan kesalahannya tersebut di depan hukum dengan ancaman penjatuhan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana tersebut. Perkataan “Barang siapa dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menunjuk kepada subjek pelaku tindak
13
M.Hatta, Beberapa Masalah Penegakan Hukum Pidana Umum dan Pidana Khusus,Liberti, Yogyakarta, 2009, hal 1. 14 Lawrence M. Friedman, Americn Law An Introduction, sebagaimana diterjemahkan oleh Wisnu Basuki, PT. Tata Nusa, Jakarta 1984, hal 8.
Universitas Sumatera Utara
pidana. Subjek pelaku tindak pidana yang dimaksud dalam rumusan tersebut dapat berupa orang perseorangan dan/atau kelompok orang baik yang tergabung dalam suatu organisasi tertentu yang bertindak sebagai pengurus maupun pimpinan ataupun kelompok orang yang tidak tergabung dalam suatu organisasi tertentu. Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh suatu organisasi perusahaan baik berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum, maka pertanggungjawaban sanksi pidananya dibebankan kepada orang dalam organisasi perusahaan tersebut yang memberikan perintah sehingga mengakibatkan terjadinya tindak pidana, maupun orang yang bertindak sebagai pemimpin didalam organisasi perusahaan tersebut. Pertanggungjawaban tindak pidana yang dilakukan oleh suatu organisasi perusahaan dapat pula dibebankan kepada orang yang memberikan perintah sehingga mengakibatkan terjadinya tindak pidana dan juga pemimpin dari organisasi perusahaan tersebut secara bersama-sama. Dalam berbagai perumusan tindak pidana dalam KUHP selalu tercantum unsur sengaja (dolus) dan unsur kealpaan/kelalaian (culpa) yang mengandung arti bahwa pertanggungjawaban pidan dalam KUHP menganut prinsip pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan (liability based on fault) atau asas culpabilitas. 15 Berdasarkan asas kesalahan dalam hukum pidana maka dalam pertranggungjawaban pidana tidak dimungkinkan adanya pertanggungjawaban mutlak (strict liability/absolute liability), walaupun ada pendapat bahwa strict liability tidak selalu berarti sama dengan absolute liability. Secara teoritis sebenarnya 15
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakkan Hukum Dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penangggulangan Kejahatan, Kencana Prenada Media, Jakarta, 2008, hal 111.
Universitas Sumatera Utara
dimungkinkan adanya penyimpangan terhadap asas kesalahan dengan menggunakan prinsip/ajaran strict liability atau “vicarious liability”, terlebih memang tidak mudah membuktikan
adanya
kesalahan
pada
delik-delik
yang
dilakukan
oleh
korporasi/badan hukum. Dari penjelasan tersebut di atas maka yang dapat dimintai pertanggung jawaban adalah person atau orang baik secara pribadi maupun secara bersama-sama dalam suatu korporasi/badan hukum yang memberi perintah sehingga terjadi tindak pidana atau orang yang bertindak sebagai pemimpin dari korporasi/badan hukum tersebut atau kedua-duanya. Untuk dapat meminta pertanggung jawaban orang atas perbuatan pidana yang telah ia lakukan maka dibutuhkan bukti-bukti yang otentik, yang dapat membuktikan bahwa orang tersebut memang benar telah melakukan suatu tindak pidana. Hukum pembuktian yang kita anut sekarang, sistem pembuktian dapat diberi batasan sebagai suatu kebulatan atau keseluruhan yang saling kait mengait dan berhubungan satu dengan lain yang terpissahkan dan menjadi suatu kesatuan yang utuh. Sistem pembuktian terutama tentang alat-alat bukti apa yang boleh digunakan untuk membuktikan, cara bagaimana alat bukti itu boleh dipergunakan, dan nilai kekuatan dari alat-alat bukti tersebut serta standar/criteria yang menjadi ukuran dalam mengambil kesimpulan tentang terbuktinya sesuatu (objek) yang dibuktikan. Sistem pembuktian adalah merupakan ketentuan tentang bagaimana cara dalam membuktikan dan sandaran dalam menarik kesimpulan tentang terbuktinya apa yang dibuktikan. Pengertian sistem pembuktian yang mengandung isi yang demikian,
Universitas Sumatera Utara
dapat pula disebut dengan teori atau ajaran pembuktian. Ada beberapa sistem pembuktian yang telah dikenal dalam doktrin hukum pidana, yaitu : 1.
Sistem Keyakinan Belaka (Conviction in Time) Menurut sistem ini, hakim dapat menyatakan telah terbukti kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana yang didakwakan dengan didasarkan pada keyakinan saja, dan tidak perlu mempertimbangkan dari mana (alat bukti) dia memperoleh dan alasan-alasan
yang dipergunakan serta bagaimana caranya dalam
membentuk keyakinan tersebut. Juga tidak perlu mempertimbangkan apakah keyakinan yang dibentuknya itu logis atau tidak logis. Bekerjanya sistem ini benar-benar bergantung kepada hati nurani hakim. Sistem ini mengandung kelemahan yang besar. Sebagaimana manusia biasa hakim bisa salah keyakinan yang telah dibentuknya, berhubung tidak ada criteria, alat-alat bukti tertentu yang harus dipergunakan dan syarat serta cara-cara hakim dalam membentuk keyakinannya itu. Pada sistem ini terbuka peluang yang besar untuk terjadi praktik penegakan hukum sewenang-wenang, dengan bertumpu pada alasan hakim telah yakin. Walaupun mengandung kelemahan yang besar, sistem ini pernah berlaku di Indonesia zaman Hindia Belanda dahulu, yakni pada Pengadilan Distric dan Pengadilan Kabupaten. 16 Pengadilan Distric adalah pengadilan sipil dan criminal tingkat pertama untuk orang-orang bangsa Indonesia. Berada pada tiap-tiap distrik di Jawa dan Madura berdasarkan
16
WirjoNo Prodjodikoro, Hukum Acara Pidana di Indonesia, Penerbit Sumur Bandung, Bandung, 1985, hal 110.
Universitas Sumatera Utara
Reglement op de Rechterlijke Organisatie en het Beleid de Justitie ini Nederlandsch Indie (Pasal 77-80 RO). Pengadilan Kabupaten yang disebut juga dengan Regentschapsgerecht (Pasal 81-85 RO) adalah pengadilan tingkat bandingnya. 17 2.
Sistem Keyakinan dengan Alasan Logis (laconviction in Raisonne) Sistem ini lebih maju sedikit daripada sistem yang pertama, walaupun kedua sistem dalam hal menarik hasil pembuktian tetap didasarkan pada keyakinan. Lebih maju, karena dalam sistemn yang kedua ini dalam hal membentuk dan menggunakan keyakinan hakim untuk menarik kesimpulan tentang terbuktinya kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana, didasarkan pada alasan-alasan yang logis. Walaupun alasan-alasan itu dengan menggunakan alat-alat bukti baik yang ada disebutkan dalam UU maupun diluar UU. Dalam sistem ini, walaupun UU menyebut dan menyediakan alat-alat bukti, tetapi dalam hal menggunakannya dan menaruh kekuatan alat-alat bukti tersebut terserah pada pertimbangan hakim dalam hal membentuk keyakinannya tersebut, asalkan alasan-alasan yang dipergunakan dalam pertimbangannya logis. Artinya alasan yang digunakannya dalam hal membentuk keyakinan hakim masuk akal, artinya dapat diterima oleh akal orang pada umumnya. Sistem ini kadang disebut dengan sistem pembuktian keyakinan bebas (vrije bewjstheorie) karena dalam membentuk keyakinannya hakim bebas menggunakan alat-alat
17
R. Tresna, Peradilan di Indonesia Dari Abad ke Abad, Penerbit Pradnya Paraminta, Jakarta, 1978, hal 60-61.
Universitas Sumatera Utara
bukti dan menyebutkan alasan-alasan dari keyakinan yang diperolehnya dari alatalat bukti tersebut. 3.
Sistem Pembuktian Melalui Undang-Undang (Posistief Wettlijk Bewijstheorie) Sistem pembuktian ini disebut dengan sistem menurut Undang-Undang secara positif. Maksudnya, adalah dalam hal membuktikan kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana didasarkan semata-mata pada alat-alat bukti serta caracara mempergunakannya yang telah ditentukan terlebih dahulu dalam UndangUndang. Dalam hal membuktikan telah sesuai dengan apa yang telah ditentukan terlebih dahulu dalam Undang-Undang, baik mengenai alat-alat buktinya maupun cara-cara mempergunakannyamaka hakim harus menarik kesimpulan bahwa kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana telah terbukti. Keyakinan hakim sama sekali tidak penting dan bukan menjadi bahan yang boleh dipertimbangkan dalam hal menarik kesimpulan tentang kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana. Jadi, sistem ini adalah sistem yang berlawanan dengan sistem pembuktian berdasarkan keyakinan semata-mata. Sistem pembuktian ini hanya sesuai dengan hukum acara pidana khususnya dalam hal pemeriksaan yang bersifat inkuisitor (inquisitoir) seperti yang pernah dianut dahulu di benua Eropa. 18 Sistem pembuktian demikian pada saat ini sudah tidak ada penganut lagi, 19 karena bertentangan dengan hak-hak asasi manusia, yang ada pada zaman
18
WirjoNo Prodjodikoro, Op Cit, hal 111.
Universitas Sumatera Utara
sekarang sangat diperhatikan dalam hal pemeriksaan tersangka atau terdakwa oleh negara. Juga karena sistem ini sama sekali mengabaikan perasaan nurani hakim. 4.
Sistem Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Terbatas (negatief Wettelijk Bewijstheorie) Menurut sistem ini, dalam hal membuktikan kesalahan terdakwa melakukan tindak
pidana
yang didakwakan
kepadanya,
hakim tidak
sepenuhnya
mengandalkan alat-alat bukti serta dengan cara-cara yang ditentukan oleh Undang-Undang. Itu tidak cukup, tetapi harus disertai pula keyakinan bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana. Keyakinan yang dibentuk ini haruslah didasarkan atas fakta-fakta yang diperoleh dari alat bukti yang ditentukan dalam Undang-Undang. Jadi, untuk menarik kesimpulan dari kegiatan pembuktian didasarkan pada 2 (dua) hal, yaitu alat-alat bukti dan keyakinan yang merupakan kesatuan tidak sipisahkan, yang tidak berdiri sendiri-sendiri. Disebut degan sistem menurut UU, karena dalam membuktikan harus menurut ketentuan UU baik alat-alat bukti yang dipergunakan maupun cara mempergunakannya serta syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk menyatakan tentang terbuktinya kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana yang didakwakan. Disebut dengan terbatas, karena dalam melakukan pembuktian untuk menarik kesimpulan tentang terbuktinya kesalahan terdakwa melakukan
19
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hal
247.
Universitas Sumatera Utara
tindak pidana disamping dengan menggunakan alat-alat bukti yang sah menurut UU juga menggunakan alat-alat bukti yang sah menurut UU juga dibatasi/diperlukan pula keyakinan hakim. Artinya, bila ketiadaan keyakinan hakim tidak boleh menyatakan sesuatu (objek) yang dibuktikan sebagai terbukti, walaupun alat bukti yang dipergunakan telah memenuhi syarat minimal bukti. Hukum pembuktian dalam hukum acara pidana kita sejak berlakunya Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) dahulu dan kini KUHAP adalah menganut sistem ini secara konsekuen. Pasal 294 ayat (1) HIR merumuskan bahwa : “Tidak seorangpun boleh dikenakan hukuman, selain jika hakim mendapat keyakinan dengan alat bukti yang sah, bahwa benar telah terjadi perbuatan yang boleh dihukum dan bahwa orang yang dituduh itulah yang salah tentang perbuatan itu”. 20 Intinya, sistem pembuktian dalam Pasal 294 HIR itu diadopsi dengan penyempurnaan kedalam Pasal 183 KUHAP yang rumusannya adalah : “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Rumusan Pasal 183 KUHAP dapat dinilai lebih sempurna, karena telah menentukan batas yang lebih tegas bagi hakim dalam usaha membuktikan kesalahan terdakwa untuk menjatuhkan pidana. Lebih tegas karena ditentukan batas minimum pembuktian, yakni harus menggunakan setidak-tidaknya dua alat bukti yang sah dari yang disebutkan dalam UU. Sedangkan dalam Pasal 294 ayat 20
R. Tresna, Komentar HIR, Penerbit Pradnya Paraminta, Jakarta, 2000, hal 237.
Universitas Sumatera Utara
(2) HIR syarat setidak-tidaknya dengan 2 (dua) alat bukti sebagaimana dalam Pasal 183 KUHAP tidak disebutkan secara tegas. Hal ini menandakan bahwa sistem pembuktian negatif dalam KUHAP lebih baik dan lebih menjamin kepastian hukum. Pasal 294 ayat (2) HIR tidak secara tegas menentukan minimal dua alat bukti yang harus dipergunakan satu alat bukti juga tercermin dari Pasal 308 HIR, bahwa pengakuan terdakwa saja tanpa adanya fakta-fakta lain pendukungnya dalam sidang tidak cukup untuk dijadikan bukti. Fakta-fakta pendukung yang diperoleh dalam sidang tentu saja diperoleh dari alat bukti selain pengakuan. Dalam sistem menurut Undang-Undang secara terbatas atau disebut dengan sistem Undang-Undang secara negatif sebagai intinya, yang dirumuskan dalam Pasal 183, dapatlah disimpulkan pokok-pokoknya, yaitu : a. Tujuan akhir pembuktian untuk memutus perkara pidana, yang jika memenuhi syarat pembuktian dapat menjatuhkan pidana; b. Standar/syarat tentang hasil pembuktian untuk menjatuhkan pidana. Salah satu tujuan hukum adalah memberi kemanfaatan bagi orang lain. Hal ini didasarkan pada konsep pemikiran Utilities. Penganut aliran Utilities menganggap bahwa tujuan hukum adalah semata-mata memberikan pemanfaatan atau kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi sebanyak-banyaknya warga masyarakat (the greatest happiness for the greatest number). Jeremy Bentham berpendapat adanya negara dan hukum semata-mata hanya demi manfaat sejati, yaitu kebahagiaan mayoritas rakyat. Menurut Max Weber Guru
Universitas Sumatera Utara
Besar Universitas Kekaisaran Jerman pada sistem hukum rasional yang memberikan panduan adalah hukum itu sendiri. Kaidah hukum ada yang berwujud sebagai peraturan-peraturan tertulis, keputusan-keputusan pengadilan maupun keputusankeputusan lembaga-lembaga pemasyarakatan 21 Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), tindak pidana dapat dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu kejahatan dan pelanggaran yang memuat perincian berbagai jenis tindak pidana yang terdapat dalam buku II dan buku III KUHP. Tujuannya adalah guna melindungi kepentingan hukum yang dilanggar. Kepentingan hukum pada dasarnya dapat dirinci dalam 3 (tiga) jenis yaitu : 1.
Kepentingan hukum perorangan.
2.
Kepentingan hukum masyarakat.
3.
Kepentingan hukum negara. 22 Pengkajian tentang penegakan hukum pidana atau criminal law enforcement
sebagai bagian dari criminal policy atau kebijakan penanggulangan kejahatan. Dalam penanggulangan kejahatan dibutuhkan dua sarana, yakni menggunakan penal atau sanksi pidana dan menggunakan sarana non penal yaitu penanggulangan kejahatan tanpa menggunakan sanksi pidana (penal). Penegakan hukum mempunyai sasaran agar orang taat hukum. Ketaatan masyarakat terhadap hukum disebabkan tiga hal, yakni : (1) takut berbuat dosa; (2) takut karena kekuasaan dari pihak penguasa
21
SoerjoNo Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002,
hal 3. 22
Rusli Muhammad, Potret Lembaga Pengadilan Indonesia (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2006), hal 9.
Universitas Sumatera Utara
berkaitan dengan sifat hukum yang bersifat inperatif; (3) takut karena malu berbuat jahat. 23 Kehadiran hukum dalam pergaulan hidup di negara Pancasila ini tidak sekedar menunjukkan pada dunia luar bahwa negara ini berdasarkan atas hukum, melainkan adanya kesadaran akan fungsi-fungsi yang dimiliki oleh hukum itusendiri. Sejalan dengan itu Baharuddin Lopa memberikan gambaran berbagai fungsi hukum tersebut yaitu : 1.
Hukum sebagai alat perubahan sosial as a tool of social engineering). Jadi hukum adalah kekuatan untuk mengubah masyarakat (shange agent).
2.
Hukum juga berfungsi sebagai alat untuk mengecek benar tidaknya sesuatu tingkah laku (as a tool of justification).
3.
Hukum berfungsi pula sebagai (as a tool of social control). Yaitu mengontrol pemikiran dan langkah-langkah kita agar kita selalu terpelihara tidak melakukan perbuatan yang melanggar hukum. 24 Pengadilan diberi wewenang untuk membuat Norma hukum substanstif yang
dianggapnya memuaskan, patut atau adil bagi kasus konkrit. Oleh sebab itu, pengadilan berfungsi sebagai organ pembuat Undang-Undang. Dalam menjatuhkan sanksi, pengadilan selalu bertindak sebagai organ pembuat Undang-Undang karena pengadilan melahirkan hukum.
23
Siswantoro Sonarso, 2004, Penegakan Hukum Dalam Kajian Sosiologis, Jakarta, Raja Grafindo Persada, hal 142. 24 Baharuddin Lopa, Permasalahan Pembinaan dan penegakan Hukum di Indonesia, Jakarta : Bulan Bintang, 1987, hal 32.
Universitas Sumatera Utara
Dalam hukum pidana ada beberapa alasan yang dapat dijadikan dasar bagi hakim untuk tidak menjatuhkan hukuman/pidana kepada para pelaku atau terdakwa yang diajukan ke pengadilan karena melakukan suatu tindak pidana. Alasan-alasan tersebut dinamakan alasan penghapus pidana. Alasan-alasan penghapus pidana ini adalah alasan-alasan yang memungkinkan orang yang melakukan perbuatan yang sebenarnya telah memenuhi unsur delik, tetapi tidak dipidana. 25 b. Teori Pemidanaan Asas pemidanaan di dalam hukum Pidana dikenal dengan istilah nullum delicthum sine praevea lege pionale yang artinya tidak satu perbuatanpun yang dapat dihukum melainkan harus berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan yang ada terlebih dahulu sebelum perbuatan itu dilakukan. Asas ini dikenal dengan nama asas legalitas dalam hukum pidana yang terkjandung didalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang berbunyi, “Suatu perbuatan tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan ketentuan-ketentuan Perundang-Undangan pidana yang telah ada”. Pada pokoknya, Herbert L. Packer mengemukakan ada 4 teori yang berusaha memberikan pembenaran pidana (Justification for criminal punishment), yaitu : 1.
Retribution Oandangan ini didasarkan atas gagasan bahwa terhadap kejahatan dapat dibenarkan untuk dipidana, sebab manusia bertanggung jawab atas perbuatannya.
25
H.M Hamdan, Op Cit, hal 1.
Universitas Sumatera Utara
Untuk itu, pelaku harus menerima ganjaran yang selayaknya. Pandangan ini dibagi dua yaitu : a. Teori Pembalasan (revengre theory); pidana dianggap sebagai pembalasan mutlak
atas
perbuatan
jahat
yang
telah
dilakukan
atas
dasar
pertanggungjawaban penuh dari individu pelakunya, dilaksanakan misalnya melalui lembaga lex talionis dimana penganiayaan terhadap mata dibalas secara setimpal dengan pidana atas mata yang serupa, mati dibalas mati, dan seterusnya. b. Teori penderitaan dan penebusan dosa. Dalam teori ini pembalasan dilakukan dengan cara membuat sipelaku kejahatan mengalami penderitaan tertentu sehingga ia merasa terbebas dari perasaan bersalah dan berdosa. 2.
Utilitarian Prevention : Deterrence Pandangan ini dapat dianggap sebagai reaksi terhadap pandangan klasik yang bersifat retributif. Pandangan ini melihat punishment sebagai sarana untuk mencegah atau mengurani kejahatan. Menurut pandangan tersebut bahwa pemindahan sebagai tindakan sah apabila terbukti bahwa dijatuhkannya pidana penderitaan itu memang menimbulkan akibat lebih baik daripada tidak dijatuhkannya pidana, khususnya dalam rangka menimbulkan efek pencegahan terhadap pihak-pihak terkait. 26 Terdapat dua versi tentang pencegahan yaitu pencegahan umum dan pencegahan khusus. Pencegahan umum didasarkan pada asumsi bahwa pemidanaan pelaku 26
Marlina, Hukum Penitensier, Medan : Aditama, 2011, hal 78.
Universitas Sumatera Utara
tindak pidana secara individu akan menjadi contoh bagi individu yang lain sehingga mereka tidak akan berbuat tindak pidana yang sama. Pencegahan umum ini menggunakan pengaruh pemidanaan untuk ditujukan kepada masyarakat umum, artinya pencegahan tindak pidana ingin dicapai melalui pemidanaan dengan mempengaruhi tingkah laku anggota masyarakat agar tidak melakukan tindak pidana melalui pembentukan Undang-Undang yang bersifat represif terhadap tindak pidana tertentu. Sedangkan pencegahan khusus didasarkan pada asumsi bahwa pemidanaan pelaku tindak pidana akan menimbulkan efek jera kepada pelaku untuk tidak mengulangi tindak pidananya di masa yang akan datang. Pencegahan khusus ini mengarahkan secara langsung pengaruh pemidanaan kepada pribadi terpidana agar tidak melakukan tindak pidana lagi dengan menghukum terpidana selama lamanya di penjara. 3.
Special Deterence atau Intimidation Menurut pandangan ini, efek pencegahan dari pidana yang dijatuhkan diharap tidak setelah pemidanaan dilakukan (after the fact inhibition) sehingga terpidana tidak lagi melakukan kejahatan serupa di masa datang, karena, teori ini dapat juga disebut sebagai teori penjeraan, yang bermaksud agar sipelanggar menjadi jera. Teori ini memandang bahwa pemidanaan itu merupakan sasaran untuk mengintimidasi mental si terpidana merasa jera untuk melakukan perbuatan pidana lagi.
Universitas Sumatera Utara
4.
Behaviour Prevention : In Capacitation Menurut pandangan ini pidana dilihat sebagai suatu yang harus dilakukan agar yang bersangkutan tak dapat lagi melakukan atau meneruskan perbuatan anti sosial yang dilakukannya, artinya dengan dijatuhkannya pidana maka yang bersangkutan tidak lagi berada dalam kapasitas untuk melakukan kejahatan. Robert D Pursley menggunakan istilah isolation. Menurutnya masyarakat juga menganut gagasan bahwa pelanggar harus diisolasi dari anggota yang sah agar tidak mengotori masyarakat.
5.
Behaviour Prevention : Rehabilitation Pandangan rehabilitation mengatakan bahwa pemidanaan dilakukan untuk memudahkan
dilakukannya
pemberian
pemidanaan
itu
sendiri
guna
merehabilitasikan si terpidana sehingga ia dapat merubah kepribadiannya, agar dapat diharapkan menjadi orang baik yang taat pada hukum di kemudian hari. 27 2.
Landasan Konsepsi Konsep adalah defenisi operasional dari berbagai istilah yang dipergunakan
dalam tulisan ini. Oleh karena itu kebutuhan untuk membentuk konsep merupakan salah satu dari hal-hal yang dirasakan pentingnya dalam hukum. Konsep adalah suatu konstruksi mental, yaitu sesuatu yang dihasilkan oleh suatu proses yang berjalan dalam pikiran penelitian untuk keperluan analisis. 28 Kerangka konsepsional
27 28
Marlina, Hukum Pentensier, Medan :Aditama, 2011, hal 78, Op Cit Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta. hal 79.
Universitas Sumatera Utara
mengunkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum. 29 Konsep merupakan salah satu bagian penting dari sebuah teori. Dalam suatu penelitian konsepsi dapat diartikan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang konkrit yang disebut dengan defenisi operasional (operational definition). 30 Pentingnya defenisi operasional adalah untuk menhindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai.oleh karena itu dalam penelitian ini dirumuskan kerangka konsepsi sebagai berikut : 1.
Tindak pidana korupsi adalah suatu perbuatan melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Dalam ketentuan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Juncto Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi disebutkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana yang luar biasa (extra ordinary measures). Oleh karena itu sebagai tindak pidana luar biasa maka digunakan Undang-Undang khusus yang bersifat Lex Specialis. Untuk penindakan tindak pidana korupsi selain dilakukan oleh institusi kepolisian dan kejaksaan juga dilakukan oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), dan untuk mengadili pelaku tindak pidana korupsi maka dibentuk pula pengadilan khusus yakni pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor).
29
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tayangan Singkat, Raja Grafinbdo Persada, Jakarta, 1995, hal 7. 30 Lexyt Moelong, Metode penelitian Kuantitatif , Remaja Rosdakarya,Bandung, 2002, hal 101.
Universitas Sumatera Utara
2.
Kerugian negara adalah harta atau kekayaan negara yang tercantum haknya untuk dikembalikan ke negara melalui jaksa pengacara negara (JPN). Harta atau kekayaan negara termasuk segala hak-hak negara yang dapat dinilai dengan uang, benda-benda lain yang bergerak maupun tidak bergerak yang dapat diformulasikan dalam bentuk anggaran pendapatan belanja negara (APBN) dan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD), serta termasuk pula pendapatan negara bukan pajak (PNBP). 31
3.
Pengadaan barang dan jasa adalah kegiatan untuk memperoleh barang/jasa yang prosesnya dimulai dari perencanaan kebutuhan sampai diselesaikannya seluruh kegiatan untuk memperoleh barang/jasa.
4.
Proyek fasilitas pembangunan prasarana dan sarana dasar pemukimanj berbasis masyarakat adalah suatu proyek pembangunan prasarana dan sarana dasar pemukiman berupa pembuatan dan pengaspalan jalan, pembuatan selokan/parit, saluran air pembuangan di kawasan pemukiman kecamatan Binjai Selatan yang dilakukan CV Prawira Jaya Selaku penyedia barang/jasa untuk Pemko Binjai selaku pengguna barang/jasa.
5.
Putusan pengadilan merupakan output suatu proses peradilan di sidang pengadilan yang meliputi proses pemeriksaan saksi-saksi, pemeriksaan terdakwa,
31
Marwan Efendi, Kejaksaan Republik Indonesia, Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005, hal 165.
Universitas Sumatera Utara
pemeriksaan barang bukti, ketika proses pembuktian dinyatakan selesai oleh hakim, tiba saatnya hakim mengambil keputusan. 32
G. Metode Penelitian 1.
Sifat dan jenis Penelitian Sifat penelitian ini adalah deskriftif analitis, dimana penelitian ini
memaparkan dan menganalisa permasalahan yang ada, serta mencari solusi yang tepat untuk menjawab permasalahan tersebut. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum Normatif (yuridis Normatif), dengan cara mengkaji berbagai aspek hukum, dari segi ketentuan Perundang-Undangan yang berlaku mengenai tindak pidana korupsi dalam pengadaan barang/jasa pemerintah. Pada umumnya dan proyek fasilitas pembangunan prasarana dan sarana dasar pemukiman berbasis masyarakat oleh CV Prawira Jaya Pada pemko Binjai pada khususnya. Penelitian ini juga didasarkan kepada buku-buku, jurnal dan karya ilmiah lainnya yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi dalam pengadaan barang/jasa pemerintah sebagaimana tersebut di atas. Sifat dari penelitian ini adalah deskriptif analisis. Bersifat deskriptif maksudnya dari penelitian ini diharapkan diperoleh gambaran secara rinci dan sistematis tentang permasalahan yang akan diteliti. Analisis dimaksudkan berdasarkan gambaran, fakta yang diperoleh akan dilakukan analisis secara cermat bagaimana menjawab permasalahan dengan mengajukan solusi yang baik dan dapat menjadi jawaban dari permasalahan tersebut.
32
Andi Hamzah, Terminologi Hukum Pidana, Jakarta, Sinar Grafika, hal 121.
Universitas Sumatera Utara
2.
Teknik dan Alat Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini, dilakukan dengan cara
penelitian kepustakaan (library research). Dalam studi kepustakaan (library research) alat pengumpulan data yang digunakan yaitu dengan menggunakan studi dokumen,
untuk
memperoleh
bahan
hukum
sekunder,
dengan
membaca,
mempelajari, meneliti, mengidentifikasi dan menganalisa data sekunder yang berkaitan dengan penelitian ini. 3.
Analisis Data Analisa data merupakan suatu proses mengorganisasikan dan mengurutkan
data ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat dikemukakan tema dan dapat dirumuskan suatu hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data. 33 Di dalam penelitian hukum normatif, maka analisis data pada hakekatnya berarti kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis. Sistematisasi berarti, membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis tersebut, untuk memudahkan pekerjaan analisis dan konstruksi. 34 Sebelum analisis dilakukan terlebih dahulu diadakan pemeriksaan dan evaluasi terhadap semua data yang dikumpulkan (primer dan sekunder) untuk mengetahui
validitasnya.
disistematisasikan
33 34
sehingga
Setelah
itu
menghasilkan
keseluruhan
data
klasifikasi
yang
tersebut selaras
akan dengan
Ronny Hutajulu, Metode Penelitian Hukum Normatif, Media Ilmu, Jakarta, 2006, hal 59. Herianto Widodo. Metode penelitian Karya Ilmiah, Citra Aditya Bakti,Bandung, 2009, hal
26.
Universitas Sumatera Utara
permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini dengan tujuan untuk memperoleh jawaban baik pula. 35 Analisis data dilakukan secara kualitatif, artinya menguraikan secara lugas kenyataan-kenyataan yang terungkap dari data yang diperoleh. Penarikan kesimpulan dilakukan dengan menggunakan logika berpikir deduktif dan induktif.
35
Heru Lukman, Teknik Penelitian Hukum Normatif. Media Persada, Jakarta, 2009, hal 14.
Universitas Sumatera Utara