ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Korupsi berasal dari bahasa latin corruptio atau corruptus yang berasal dari kata corrumpere. Menurut Black’s Law Dictionary, corruption the act of doing something with an intent to give some advantage inconsistent with official duty and the rights of others; a fiduciary’s or officials’s use of a station or office to procure some benefit either personally or for someone else, contrary to the rights of others1. Kamus Besar Bahasa Indonesia menterjemahkan korupsi sebagai penyelewenangan atau penggelapan (uang Negara atau perusahaan) untuk kepentingan pribadi atau orang lain.2 KUHP telah mengatur tentang Korupsi pada Buku II Bab XXVII, dikenal dengan istilah “kejahatan jabatan”, karena pada masa lalu korupsi sering diidentikkan dengan pejabat atau pgawai negeri yang telah menyalahgunakan keuangan negara, namun dalam perkembangannya saat ini masalah korupsi juga telah melibatkan anggota legislatif, yudikatif, para banker, konglomerat serta korporasi, bentuknya berupa pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sangat merugikan keuangan negara dan perekonomian negara, menghambat pembangunan nasional, menghambat
1
Bryan A.Garner, Black’s Law Dictionary Ninth Edition, West Publishing & Co. United States of America, 2009,h. 397. 2
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,1989, h. 462. 1 TESIS
PENJATUHAN SANKSI PIDANA .....
KUSUFI ESTI RIDLIANI
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
2
pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi sehingga tindak pidana korupsi digolongkan sebagai kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crimes), yang pemberantasannya memerlukan peraturan yang luar biasa pula (extra legal instrument). Kejahatan korupsi masuk dalam kategori white collar crime dan telah diperkenalkan dalam kriminologi oleh Edwin Hardin Sutherland (1883-1950) dalam pidato bersejarahnya yang dipresentasikan "...at the thirty-fourth annual meeting of the American Sociological Society ini Philadelphia on 27 December 1939", “white collar crime is a crime committed by a person of respectability and high social status in course of his occupation”3, semenjak itu banyak pakar hukum maupun kriminologi mengembangkan konsep kejahatan korporasi (corporate crime). Ederhertz (1970) mendefinisikan white colar crime sebagai tindakan ilegal atau serangkaian tindakan ilegal yang dilakukan dengan cara-cara nonfisik dan dengan penyembunyian atau tipu muslihat, untuk memperoleh uang atau harta benda dan untuk memperoleh manfaat perorangan dalam dunia usaha, white colar crime terdiri atas dua tipe yaitu okupasional dan badan hukum. Kejahatan okupasional dilakukan sebagian besar oleh individu-individu sehubungan dengan okupasional mereka.4
3
Edwin H. Sutherland, White Collar Crime (new York: The dyden Press, 1942), h. 9. 4
Clinard & Quiney, 1973, yang dikutip oleh Sodjono D, Anatomi Kejahatan Korporasi di Indonesia, Seminar Nasional Kejahatan Korporasi, FH-UNDIP, Semarang, 23-24 Nopember.
TESIS
PENJATUHAN SANKSI PIDANA .....
KUSUFI ESTI RIDLIANI
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
3
Mengingat tindak pidana korupsi tersebut dampaknya sangat luas dan semakin berkembang bentuk-bentuk perbuatan yang digolongkan sebagai tindak pidana korupsi, oleh karenanya dibuatlah aturan pidana khusus yang berada diluar hukum pidana umum yang didalamnya mengandung penyimpangan dari hukum pidana umum baik dari segi hukum pidana materiil maupun formil. Perkembangan aturan tindak pidana korupsi di Indonesia diawali dengan lahirnya Undang-undang Nomor 74 tahun 1957 jo Undang-undang nomor 79 tahun 1957 selanjutnya diperbarui dengan Undang-undang Nomor 24 Prp Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, kemudian diperbarui lagi dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, karena tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat dan terjadinya praktik-praktik korupsi, kolusi dan nepotisme yang melibatkan penyelenggaran Negara dengan para pengusaha kemudian MPR menetapkan Tap.MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme, salah satunya menetapkan agar diatur lebih lanjut dengan undangundang tentang upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, kemudian ditetapkanlah Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang menyatakan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tidak berlaku lagi. Akan tetapi Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 dianggap kurang menjamin kepastian hukum karena belum adanya keseragaman penafsiran hukum dan untuk lebih memberikan perlindungan
TESIS
PENJATUHAN SANKSI PIDANA .....
KUSUFI ESTI RIDLIANI
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
4
terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat serta perlakuan secara adil dalam memberantas tindak pidana ekonomi maka disempurnakanlah Undangundang Nomor 31 Tahun 1999 dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Penyempurnaan undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi tersebut ternyata belum memadai, karena belum adanya kerja sama internasional dalam masalah pengembalian hasil tindak pidana korupsi, kuatnya
keinginan
pemerintah
untuk
melakukan
pencegahan
dan
pemberantasan tindak pidana korupsi yang tidak lagi merupakan masalah local melainkan merupakan fenomena transnasional yang mempengaruhi seluruh masyarakat dan perekonomian, sehingga diperlukan pencegahan dan pemberantasan secara nasional maupun internasional, dilakukan pemerintah dengan turut meratifikasi Konvensi Anti-Korupsi tahun 2003 ke dalam Undang-undang Nomor 7 tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Conventions Against Corruptions 2003. Dengan adanya aturan pidana khusus tersebut, berdasarkan pasal 63 ayat (2) KUHP “Jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang diterapkan”, maka terhadap pelaku tindak pidana korupsi berlaku Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
TESIS
PENJATUHAN SANKSI PIDANA .....
KUSUFI ESTI RIDLIANI
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
5
Latar belakang penulisan tesis ini, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai aturan pidana umum mengenal adanya pidana minimum umum dan maksimum khusus. Mengenai lamanya pidana penjara diatur dalam pasal 12 KUHP sebagai berikut ; Ayat (1) Ayat (2)
Ayat (3)
Ayat (4)
: Hukuman penjara itu lamanya seumur hidup atau sementara. : Lamanya hukuman penjara sementara itu sekurangkurangnya satu hari dan selama-lamanya lima belas tahun secara berturut-turut. : Hukuman penjara itu dapat dijatuhkan selama-lamanya dua puluh tahun secara berturut-turut, di dalam hal-hal dimana kejahatan yang telah dilakukan itu diancam dengan hukuman mati, hukuman penjara seumur hidup dan hukuman penjara sementara sesuai dengan pilihan hakim dan di dalam hal yang menyebabkan hukumannya diperberat karena adanya gabungan kejahatan-kejahatan atau pengulangan dari kejahatan atau yang ditentukan dalam pasal 52, sehingga hukuman penjara yang diancamkan itu menjadi lebih dari lima belas tahun. : Hukuman penjara itu sekali-kali tidak boleh melebihi waktu dua puluh tahun.
Berdasar pasal diatas dapat ditarik kesimpulan pidana minimum umum yakni pidana penjara selama 1 (satu) hari dan maksimum umum 15 (lima belas) tahun berturut-turut. Yang dimaksud 1 (satu) hari adalah dua puluh empat jam (pasal 1 angka 31 KUHAP). Akan tetapi Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengatur adanya pidana minimum khusus yang berbeda-beda dan tersebar dalam 30 (tiga puluh) pasal diantaranya minimum khusus meliputi minimum khusus pidana penjara 1 (satu) tahun atau 2 (dua) tahun atau 3 (tiga) tahun atau 4 (empat) tahun. Jadi
TESIS
PENJATUHAN SANKSI PIDANA .....
KUSUFI ESTI RIDLIANI
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
6
secara normatif terdapat perbedaan prinsip yang dianut dalam KUHP dengan Undang-undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi perihal pedoman penjatuhan pidana minimum khusus. Pengaturan pidana minimum khusus ini sangat penting karena beragamnya bentuk tindak pidana korupsi yang diputuskan oleh lembagalembaga peradilan, yang secara hakiki berbeda kualitasnya tetapi masyarakat menghendaki adanya peraturan obyektif yang menentukan standart minimal penjatuhan pidana terhadap perbuatan korupsi yang dirasa sangat merugikan masyarakat dan Negara, dengan maksud untuk membatasi gerak penegak hukum khususnya hakim maupun jaksa dalam proses penjatuhan pidana, terbatas antara minimum khusus dan maksimum khusus saja, sehingga diharapkan dapat mencegah adanya disparitas penanganan perkara yang dirasa tidak adil dalam menjatuhkan pidana. UU No.31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 mengatur bentuk pidana pokok yakni hukuman badan meliputi pidana mati, pidana seumur hidup, pidana penjara serta denda. Dalam tindak pidana khusus, penuntut umum dapat menuntut dua pidana pokok sekaligus yakni hukuman badan dan denda, demikian pula hakim diperbolehkan memutus untuk menghukum dua pidana pokok yakni hukuman badan dan denda, dengan maksud hukuman tersebut bersifat memberatkan pelaku supaya pemidanaan dapat menimbulkan efek jera. Hal ini sejalan dengan pokok pikiran penjatuhan pidana dalam pasal 52 KUHP yang rumusan pasalnya memasukkan kriteria pejabat sebagai pelaku tindak pidana yang
TESIS
PENJATUHAN SANKSI PIDANA .....
KUSUFI ESTI RIDLIANI
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
7
melakukan perbuatan pidana melanggar kewajiban khusus dari jabatannya atau pada waktu melakukan perbuatan pidana memakai kekuasaan, kesempatan atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatannya, sebagai alasan pemberat pidana yang membolehkan untuk menambahkan sepertiga dari ancaman pidana pokok. Ditetapkannya pidana minimum khusus dalam UU No.31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 yakni minimal selama 1 (satu) tahun, memungkinkan hakim menjatuhkan pidana penjara selama 1 (satu) tahun. Namun penjatuhan pidana penjara selama 1 (satu) tahun untuk tindak pidana umum dan tindak pidana korupsi yang merupakan extraordinary crime, tentu saja memiliki bobot yang berbeda, seharusnya dalam penerapannya diperlukan pedoman pelaksanaan pidana minimum khusus, senada dengan pendapat Aminal Umam : “Tidak adanya formulasi tentang aturan/pedoman pemidanaan dalam undang-undang khusus di luar KUHP yang mencantumkan pidana khusus dalam rumusan deliknya akan menimbulkan permasalahan dalam penerapannya. Setidaknya ketika hakim yang mengadili perkara pidana khusus tersebut dihadapkan pada banyaknya faktor-faktor yang meringankan pidana tersebut.5
Mengingat Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 2001 mengatur tentang perkara-perkara hukum yang perlu mendapat perhatian pengadilan menyebutkan bahwa terhadap perkara-perkara tertentu khususnya tindak pidana korupsi hendaknya hakim menganut satu pendirian yang sama dalam
5
Aminal Umam, Penerapan Pidana Minimum Khusus, Varia Peradilan Tahun XXV No.295 Juni 2010, IKAHI, Jakarta, 2010, H. 16.
TESIS
PENJATUHAN SANKSI PIDANA .....
KUSUFI ESTI RIDLIANI
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
8
memberantas sampai keakar-akarnya dengan melaksanakan aturan hukum tertulis yang ada untuk itu. Berkaitan dengan penjatuhan pidana dibawah minimum khusus dalam tindak pidana korupsi, penulis menemukan putusan peninjauan kembali Mahkamah Agung No.91 PK/Pid.Sus/2009 tanggal 11 Agustus 2011 terpidana nama lengkap RASID, SH bin H. ABDULLAH, dengan putusan pada pokoknya sebagai berikut : 1. Terpidana RASID, SH bin H. ABDULLAH terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah atas dakwaan kesatu subsidair dan dakwaan kedua melakukan tindak pidana “KORUPSI YANG DILAKUKAN SECARA BERLANJUT”; 2. Menjatuhkan pidana kepada Terpidana oleh karena itu dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun dan denda sebesar Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 5 (lima) bulan;
Bahwa Terpidana RASID, SH bin H. ABDULLAH sebelumnya didakwa oleh Jaksa/Penuntut Umum dengan dakwaan kesatu primair pasal 2 (1) jo pasal 18 ayat (1) huruf b UU RI No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 64 KUHP subsidair pasal 3 jo pasal 18 ayat (1) huruf b UU RI No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 64 KUHP atau kedua pasal 12 huruf a UU RI No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU RI No. 31 Tahun 1999 tentang
TESIS
PENJATUHAN SANKSI PIDANA .....
KUSUFI ESTI RIDLIANI
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
9
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 18 ayat (1) huruf b UU RI No. 31Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 64 KUHP. Berdasar putusan peninjauan kembali tersebut diatas, Terpidana RASID, SH BIN H. ABDULLAH diputuskan bersalah atas dakwaan kesatu subsidair dan dakwaan kedua artinya perbuatan terdakwa memenuhi rumusan pasal 3 jo pasal 18 ayat (1) huruf b UU RI No. 31 Tahun 1999 jo pasal 64 KUHP dan pasal 12 huruf a UU RI No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU RI No. 31 Tahun 1999 jo pasal 18 ayat (1) huruf b UU RI No. 31Tahun 1999 jo pasal 64 KUHP. Pidana pokok yang dikenakan yakni pasal 3 UU RI No. 31 Tahun 1999 dan pasal 12 huruf a UU RI No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU RI No. 31 Tahun 1999. Ancaman pidana untuk pasal 3 UU RI No. 31 Tahun 1999 yakni pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah), sedangkan ancaman pidana untuk pasal 12 huruf a UU RI No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU RI No. 31 Tahun 1999 yakni pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.200.000.000,(dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,- (satu milyar rupiah). Perbedaan ancaman pidana minimum khusus dan maksimum khusus pasal yang dipersalahkan terhadap terpidana yakni pasal 3 antara 1 (satu)
TESIS
PENJATUHAN SANKSI PIDANA .....
KUSUFI ESTI RIDLIANI
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
10
tahun sampai dengan 20 (dua puluh) tahun sedangkan pasal 12 huruf a antara 4 (empat) tahun sampai dengan 20 (dua puluh) tahun. Penulis berpendapat bahwa putusan pidana penjara yang dijatuhkan terhadap terpidana tersebut bersifat kumulatif akan tetapi KUHP dalam pasal 63 sampai dengan pasal 70 yang mengatur mengenai “gabungan perbuatanperbuatan yang dapat dihukum” tidak mengenal pidana kumulatif yang mutlak untuk perbarengan tindak pidana, sehingga berapapun lamanya tindak pidana yang dijatuhkan tidak boleh melebihi 20 (dua puluh) tahun penjara, sebagaimana dalam aturan umum mengenai pidana pasal 12 ayat (3) KUHP. Hal ini tidak menjadi persoalan karena maksimum khusus pidana penjara yang dapat dikenakan berdasar ketentuan pasal 3 UU RI No. 31 tahun 1999 maupun pasal 12 huruf a UU RI No. 20 tahun 2001 adalah sama yakni selama 20 (dua puluh) tahun. Oleh karenanya ketentuan KUHP di pasal 65 yang mengatur mengenai maksimum pidana yang dijatuhkan dalam hal perbarengan beberapa perbuatan yang dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan, maksimum pidana yang dijatuhkan ialah jumlah maksimum pidana yang diancamkan terhadap perbuatan itu, tetapi tidak boleh lebih dari maksimum pidana terberat ditambah sepertiga, seolah tidak berlaku. Yang menjadi permasalahan adalah adanya perbedaan minimum khusus antara pasal 3 UU RI No. 31 Tahun 1999 dan pasal 12 huruf a UU RI No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU RI No. 31 Tahun 1999, mana yang akan dijadikan pedoman bagi hakim dalam menjatuhkan putusan, karena meskipun sudah banyak undang-undang
TESIS
PENJATUHAN SANKSI PIDANA .....
KUSUFI ESTI RIDLIANI
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
11
di luar KUHP salah satunya Undang-undang Tindak Pidana Korupsi yang mencantumkan ancaman pidana minimum khusus tetapi sampai saat ini belum ada pedoman pelaksanaan pidana minimum khusus. Oleh karena pidana yang dikenakan terhadap terdakwa bersifat kumulatif, maka penulis tidak sependapat dengan putusan Mahkamah Agung perihal lamanya penjatuhan pidana dan denda yakni pidana penjara selama 2 (dua) tahun dan denda sebesar Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 5 (lima) bulan. Berdasar pada putusan peninjauan kembali dalam perkara tindak pidana korupsi tersebut diatas, penulis yang berprofesi sebagai Jaksa/Penuntut Umum pada bidang tindak pidana khusus di Kejaksaan Negeri Bekasi tertarik untuk mendalami masalah penjatuhan sanksi pidana dibawah pidana minimum khusus dalam perkara tindak pidana korupsi, karena UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 tahun 2001 sebagai lex specialist dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi telah secara tegas mengatur tentang minimum pidana penjara maupun pidana denda akan tetapi dalam prakteknya masih terdapat putusan yang menjatuhkan pidana kurang dari ketentuan
minimum tersebut. Putusan
yang demikian
menimbulkan pertentangan antara Asas Legalitas sebagaimana tercermin di dalam pasal 1 ayat (1) KUHP jo pasal 3 KUHAP dan Adagium La Bouche De La Loi bahwa hakim bukan corong undang-undang melainkan corong keadilan.
TESIS
PENJATUHAN SANKSI PIDANA .....
KUSUFI ESTI RIDLIANI
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
12
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut diatas, maka penulis tesis ini akan menganalisis pokok-pokok permasalahan sebagai berikut: 1. Alasan yang digunakan Mahkamah Agung untuk menjatuhkan pidana dibawah minimum khusus (dalam perkara No.91 PK/Pid.Sus/2009 tanggal 11 Agustus 2011). 2. Akibat hukum putusan Mahkamah Agung yang dijatuhkan dibawah minimum khusus.
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penulisan tesis yang berjudul “penjatuhan sanksi pidana dibawah minimum khusus dalam perkara tindak pidana korupsi” adalah sebagai berikut: 1. Menjelaskan kepada pembaca tentang alasan yang digunakan Mahkamah Agung untuk menjatuhkan pidana dibawah minimum khusus (dalam perkara No.91 PK/Pid.Sus/2009 tanggal 11 Agustus 2011). 2. Menjelaskan kepada pembaca tentang akibat hukum dari putusan Makhamah Agung yang dijatuhkan dibawah minimum khusus.
1.4
Manfaat Penelitian Manfaat penulisan tesis yang berjudul “penjatuhan sanksi pidana dibawah minimum khusus dalam perkara tindak pidana korupsi” ini bagi para pembaca adalah untuk :
TESIS
PENJATUHAN SANKSI PIDANA .....
KUSUFI ESTI RIDLIANI
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
13
1. Mengetahui tentang alasan yang digunakan Mahkamah Agung untuk menjatuhkan pidana dibawah minimum khusus (dalam perkara No.91 PK/Pid.Sus/2009 tanggal 11 Agustus 2011). 2. Mengetahui tentang akibat hukum dari putusan Makhamah Agung yang dijatuhkan dibawah minimum khusus. 3. Menghasilkan sumbangan pemikiran mengenai perlunya pengaturan pelaksanaan pidana minimum khusus dalam perkara tindak pidana korupsi di Indonesia.
1.5 Tinjauan Pustaka a. Pidana berasal dari bahasa Belanda “straf” atau hukuman, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi II cetakan IX, pidana adalah hukum kejahatan (hukum untuk perkara kejahatan/kriminal).6 Sedangkan R. Soesilo menyebut pidana dengan istilah “hukuman” ialah suatu perasaan yang tidak enak (sengsara) yang dijatuhkan oleh hakim dengan ponis kepada orang yang telah melanggar undang-undang hukum pidana.7 b. Tujuan pemidanaan yakni untuk menjaga keseimbangan individu dengan kepentingan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan bersama, sehingga
berkembang
teori-teori
pemidanaan
diantaranya
teori
pembalasan, teori tujuan serta teori gabungan. Dalam teori pembalasan, 6
Departeman Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi I Cetakan IX, Balai Pustaka, Jakarta, 1997, h. 360. 7
R. Soesilo, KUHP Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politea, Bogor, 1996, h. 35.
TESIS
PENJATUHAN SANKSI PIDANA .....
KUSUFI ESTI RIDLIANI
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
14
pemidanaan adalah upaya Negara untuk menjatuhkan pidana kepada penjahat karena melakukan penyerangan pada hak dan kepentingan hukum yang dilindungi8. Sedangkan teori tujuan memandang pidana dijatuhkan bukan karena orang berbuat jahat melainkan supaya orang jangan melakukan kejahatan sehingga ketertiban di dalam masyarakat dapat tercipta.9 Lain halnya dengan teori gabungan yang dipelopori oleh Gustav Radbuch dalam Teori Prioritas Baku, yang pada pokoknya menyatakan bahwa ide dasar hukum merupakan tujuan hukum secara bersama-sama yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian.10 Sejalan dengan pandangan Muladi dengan retributifisme teleologis yang menganjurkan untuk mengintegrasikan beberapa fungsi sekaligus dan bersifat utilitarian misalnya rencana pemidanaan harus meliputi pencegahan dan rehabilitasi, pidana dan pemidanaan terhadap pelaku tindak
pidana
dapat
mengasimilasi
kembali
narapidana
dalam
masyarakat. c. Sanksi, secara umum diartikan sebagai alat pemaksa agar seseorang mentaati norma-norma yang berlaku11. Sedangkan dalam konteks hukum, sanksi adalah hukuman yang dijatuhkan oleh pengadilan, sanksi yang 8
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, PT. Raja Grafindo, Jakarta,
h.15. 9
Ibid. Hlm.16.
10
Ibid.Hlm.217.
11
E.Y Kanter dan S.R Sianturi, Azas-Azas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya, Srotia Grafika, Jakarta, 2002, h.29.
TESIS
PENJATUHAN SANKSI PIDANA .....
KUSUFI ESTI RIDLIANI
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
15
berupa hukum pidana merupakan sanksi negative yang membedakan antara sanksi hukum pidana dengan sanksi-sanksi hukum lainnya. Sanksi pidana dalam pasal 10 KUHP, pidana terdiri atas: a) pidana pokok :
1. pidana mati; 2. pidana penjara; 3. pidana
kurungan; 4. pidana denda; 5. pidana tutupan b) pidana tambahan : 1. pencabutan hak-hak tertentu; 2. perampasan barang-barang tertentu; 3. pengumuman putusan hakim.12 d.
Pengaturan pidana minimum khusus dikenal dalam ilmu pengetahuan hukum pidana sebagaimana dikemukakan Barda Nawawi Arief bahwa sistem pidana minimum khusus, dikenakan khusus pada delik-delik tertentu yang dipandang sangat merugikan, membahayakan atau meresahkan masyarakat serta delik-delik yang dikualifisir atau diperberat oleh akibatnya.13
e. Penjatuhan Pidana adalah hal yang berhubungan dengan pernyataan hakim dalam memutuskan perkara dan menjatuhkan hukuman.14 f. Tindak pidana korupsi adalah tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999. Terkait 12
Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1988, h.17. 13
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, h.128. 14
TESIS
http://id.wiktionary.org
PENJATUHAN SANKSI PIDANA .....
KUSUFI ESTI RIDLIANI
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
16
dengan proses penegakan hukum dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi agar penjatuhan sanksi pidana dapat menimbulkan efek jera maka penjatuhan sanksi pidana dibawah minimum khusus terhadap satu perkara pidana yang dikwalifikasikan sebagai perbuatan berlanjut dari beberapa ketentuan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi perlu dikaji dan ditelaah.
1.6 Metode Penelitian a. Tipe Penelitian Penulisan tesis ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach), yaitu dengan melakukan penelaahan undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan penjatuhan pidana minimum khusus. Penulis juga melakukan penulisan dengan pendekatan kasus (case approach). Penulis melakukan pendekatan kasus karena permasalahan dalam tesis ini mengacu pada putusan peninjauan kembali Mahkamah Agung yang menjatuhkan pidana dibawah minimum khusus dalam putusan No.91 PK/Pid.Sus/2009 tanggal 11 Agustus 2011, terpidana nama lengkap RASID, SH bin H. ABDULLAH dinyatakan bersalah melakuan tindak pidana korupsi yakni pasal 3 jo pasal 18 ayat (1) huruf b UU RI No. 31 Tahun 1999 jo pasal 64 KUHP dan pasal 12 huruf a UU RI No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU RI No. 31 Tahun 1999 jo pasal 18 ayat (1) huruf b UU RI No. 31Tahun 1999 jo pasal 64 KUHP, dengan pidana penjara selama 2 (dua)
TESIS
PENJATUHAN SANKSI PIDANA .....
KUSUFI ESTI RIDLIANI
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
17
tahun dan denda sebesar Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah). Oleh karena itu perlu dilakukan pengkajian mengenai ratio decidendi yaitu alasan-alasan hukum yang digunakan oleh hakim untuk sampai pada putusannya15, karena pendekatan kasus bukan merujuk kepada diktum putusan melainkan merujuk kepada ratio decidenci.16 Untuk melengkapi penulisan tesis ini, penulis juga melakukan pendekatan konsep (concept approach).
b. Bahan Hukum b.1. Bahan Hukum Primer Merupakan bahan hukum yang sifatnya mengikat, berupa (a) Norma Dasar atau Kaidah Dasar yaitu Pembukaan UUD 1945; (b) Peraturan Dasar : Batang Tubuh UUD 1945, Ketetapan-Ketetapan MPR; (c) Peraturan
Perundang-undangan
yaitu:
Undang-undang,
Peraturan
Pemerintah, Keputusan Presiden, dan peraturan lainnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi; (d) Yurisprudensi yang ada relevansinya dengan penulisan dan penelitian ini. b.2. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti jurnal-jurnal tentang tindak pidana korupsi, buku-buku hukum, makalah, lokakarya, seminar, 15
Prof.Dr. Peter Mahmud Marzuki,SH.,MS.,LL.M, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2011, h.119. 16
TESIS
Ibid
PENJATUHAN SANKSI PIDANA .....
KUSUFI ESTI RIDLIANI
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
18
simposium, diskusi, dan hasil-hasil penelitian, majalah/koran, media internet serta putusan-putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, yang ada hubungannya dengan obyek penelitian ini. b.3. Bahan Hukum Tersier Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum penunjang untuk memperjelas atau memberikan kelengkapan informasi tentang bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder seperti kamus hukum, kamus besar bahasa Indonesia, kamus bahasa Inggris-Indonesia, dan lainlain. c. Prosedur Pengumpulan Bahan Hukum Prosedur pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam tesis ini adalah metode studi pustaka yang dilakukan untuk mendapatkan bahan hukum primer dan sekunder serta tersier. Bahan hukum primer adalah semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan judul yang dibahas. Sedangkan bahan hukum Sekunder berupa literature, majalah, maupun informasi baik dari media elektronika maupun cetak yang mendukung penulisan tesis ini. Bahan – bahan yang telah dikumpulkan ini kemudian diolah melalui seleksi dan klasifikasi untuk menentukan sesuai atau tidaknya bahan tersebut dengan pokok bahasan yang dianalisis dalam bahan tesis ini.
TESIS
PENJATUHAN SANKSI PIDANA .....
KUSUFI ESTI RIDLIANI
ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
19
1.7 Pertanggungjawaban Sistematika Tesis ini terdiri dari 4 bab, dan untuk mempermudah serta memperjelas materi yang terangkum didalamnya, maka penulis akan membaginya sebagai berikut: Bab I merupakan pendahuluan yang memuat latar belakang dan rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian dan kemudian diakhiri dengan pertanggung jawaban sistematika. Bab II tentang sistem pemidanaan dalam KUHP dan sistem pemidanaan diluar KUHP khususnya dalam UU No.31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001. Bab III tentang penerapan pidana minimum khusus dalam beberapa putusan Mahkamah Agung. Bab IV merupakan penutup yang mengakhiri seluruh rangkaian uraian dan pembahasan masalah. Bab ini berisi kesimpulan dari jawaban atas permasalahan dan saran.
TESIS
PENJATUHAN SANKSI PIDANA .....
KUSUFI ESTI RIDLIANI