BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Korupsi dalam bahasa latin disebut coruptio-corruptus, dalam bahasa Belanda disebut juga corruptie dan dalam bahasa Sansekerta di dalam naskah kuno Negara kertagama tersebut corrupt arti harfiahnya menunjukan kepada perbuatan yang rusak, busuk, bejat, tidak jujur yang disangkut pautkan dengan keuangan.1 Dalam pengertian lain, menurut Vito Tanzi korupsi dapat diartikan sebagai perilaku yang tidak mematuhi prinsip yang dilakukan oleh perorangan di sektor swasta atau pejabat publik. Tindak Pidana Korupsi di Indonesia telah digolongkan sebagai kejahatan yang luar biasa karena tindakan korupsi sudah begitu meluas perkembangannya dan terus meningkat dari tahun ketahun, baik jumlah kasus, kerugian keuangan negara maupun modus operandinya, yang dilakukan secara sistematis dan ruang lingkupnya sudah merambah keseluruh lini kehidupan masyarakat, bahkan Aparat Penegak Hukum yang seharusnya melakukan penegakan hukum terhadap pelaku korupsi justru malah melakukan hal yang sangat tercela, sebagai contoh seorang Aparatur Penegak Hukum menerima hadiah atau janji dengan maksud dan tujuan tertentu sebagaimana yang diatur dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau sering kali 1 terjadi para aparat penegak hukum meminta sejumlah uang dengan maksud untuk merekayasa jalannya persidangan. Korupsi tidak hanya merugikan keuangan negara tetapi juga telah merupakan pelanggaran hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas. 1
Andi hamzah ,Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, (Raja Grafindo Jakarta, Edisi Revisi, 2007),hal 6.
Korupsi telah didefinisikan secara jelas oleh Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 dalam pasal-pasalnya. Berdasarkan pasal-pasal tersebut korupsi dapat diklasifikasikan sebagai berikut: 1. Korupsi yang terkait dengan keuangan negara, yaitu melawan hukum untuk memperkaya diri dan dapat merugikan keuangan negara; menyalahgunakan kewenangan untuk menguntungkan diri sendiri dan dapat merugikan keuangan negara. 2. Korupsi yang terkait dengan suap menyuap, yaitu menyuap Pegawai Negeri; memberi hadiah kepada Pegawai Negeri karena jabatannya Pegawai Negeri menerima suap; menyuap Hakim;menyuap Advokat; Hakim dan Advokat yang menerima suap; Hakim yang menerima suap; Advokat yang menerima suap. 3. Korupsi yang terkait penggelapan dalam jabatan yaitu Pegawai Negeri yang menggelapkan uang atau yang membiarkan penggelapan ; Pegawai Negeri yang memalsukan buku untuk pemeriksaan administrasi; Pegawai Negeri merusakkan bukti; Pegawai Negeri yang membiarkan orang lain merusakkan bukti; Pegawai Negeri yang membantu orang lain merusakkan bukti. 4. Korupsi yang terkait dengan perbuatan pemerasan, yaitu Pegawai Negeri memeras; Pegawai Negeri yang lain. 5. Korupsi yang terkait dengan perbuatan curang, yaitu pemborong berbuat curang; pengawas proyek membiarkan perbuatan curang; rekan TNI/ POLRI berbuat curang; pengawas rekan TNI/ POLRI membiarkan perbuatan curang; penerima barang TNI/ POLRI membiarkan perbuatan curang; Pegawai Negeri menyerobot tanah negara sehingga merugikan orang lain.
6. Korupsi yang terkait dengan benturan kepentingan dalam pengadaan, yaitu Pegawai Negeri turut serta dalam pengadaan yang diurusnya. 7. Korupsi yang terkait dengan gratifikasi yaitu Pegawai Negeri menerima gratfikasi dan tidak lapor KPK.2 Mengenal penggertian korupsi tersebut penting artinya dengan memahami pengertian tersebut, pemberantasan korupsi dapat berjalan dengan efektif seiring dengan kebijakan dan strategi penegakan hukum, sehingga dalam pelaksanaan pembrantasan tindak pidana korupsi dapat ditentukan dan terprogram secara sistematis, dan diharapkan kepada para aparat penegak hukum dalam mengambil kebijakan agar strategi pemberantasan korupsi disuatu sisi tidak hanya memberikan efek jera deterrent effect tetapi disisi lain berfungsi sebagai daya tangkal preventive effect melalui bentuk pencegahan preventive maupun penindakan represive. Masalah penegakan hukum inipun menjadi salah satu agenda dari sejumlah masalah dalam pembangunan nasional sebagai mana dinyatakan dalam bab I sub A Perpres nomor 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahun 2004-2009 sebagai berikut: Masih banyaknya peraturan perundang-undangan yang belum mencerminkan keadilan, kesetaraan dan penghormatan serta perlindungan terhadap hak azasi manusia, masih besarnya tumpang tindih peraturan perundangan di tingkat pusat dan daerah yang menghambat iklim usaha dan pada gilirannya menghambat peningkatan kesehjateraan masyarakat belum ditegakannya hukum secara tegas, adil, dan tidak diskriminatif, secara memihak kepada rakyat kecil serta belum dirasakan putusan Hakim oleh masyarakat sebagai putusan yang adil dan tidak memihak melalui proses yang transparan.3 Hukum pada dasarnya memastikan munculnya aspek-aspek positif dari kemanusiaan dan sekaligus menghambat aspek negatif. Penerapan hukum yang ditaati
2
Diatmiko soemodiharjo, Mencegah dan Memberantas Korupsi Mencermati Dinamikanya di Indonesia, (Prestasi Pustaka Phubliser, Jakarta, cetakaan pertama, 2008), hal 188-189. 3
Chaerudin, Syaiful Ahmad Dinar, Syarif Fadilah, Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi, Refika Aditama, Bandung, 2008 hal 59.
akan menciptakan ketertiban dan memaksimalkan ekspresi potensi masyarakat. Oleh karenanya peraturan perundang-undangan yang baik akan membatasi dan mengatur dan sekaligus memperkuat hak warga negara terlebih lagi dengan pelaksanaan hukum yang transparan dan terbuka yang di suatu sisi akan dapat menekan dampak negatif yang ditimbulkan oleh tindakan dan pada sisi lain dapat menghentikan aktifitas masyarakat. Dalam rangka meningkatkan efektivitas penegakan hukum penyempurnaan kedudukan dan peran badan-badan penegak hukum harus sesuai dengan tugas, fungsi dan peranan serta wewenangnya masing masing dan harus segera di percepat peningkatan kemampuan maupun kinerja yang disertai upaya untuk membina sikap aparat penegak hukum sebagai pengayom abdi negara dan abdi masyarakat yang memiliki keahlian, jujur, tegas, adil, bersih dan berwibawa hal ini perlu dilakukan untuk menepis persepsi masyarakat bahwa belum efektifnya penegakan hukum di Indonesia. Tidak terlepas dari kinerja dan sikap penegak hukum, aparat penegak hukum yang seharusnya dan diharapkan dapat menjalankan tugas secara profesional dan penuh tanggung jawab, malah melakukan serta menyalah gunakan jabatan yang diterapkan sebagai salah satu alat kekuasaan, keadaan ini diperparah lagi dengan banyaknya aparat penegak hukum yang ditemukan terlibat dalam berbagai kasus, dan yang paling menonjol adalah "Judisial corruptions" yang banyak melahirkan mafia peradilan. Harus disadari bahwa peran masing-masing aparat penegak hukum dalam mengemban amanat etika profesi harus disertai tanggung jawab dan kesadaran karena tindakan yang bertentangan dengan etika profesinya akan membawa dampak kepada rasa keadilan kondisi yang tidak kondusif, dalam menjalankan tugas dan jabatan akan
berhadapan dengan ekspektasi masyarakat terhadap tuntutan kemandirian di lingkungan kekuasaan peradilan yang akan menimbulkan sikap skeptis masyarakat dan hilangnya wibawa hukum khususnya terhadap aparat penegak hukum itu sendiri. Dalam mewujudkan suatu negara hukum tidak saja diperlukan norma-norma hukum atau Peraturan Perundang-Undangan sebagai substansi hukum tetapi juga diperlukan lembaga dan penggeraknya sebagai suatu struktur hukum yang didukung oleh perilaku hukum seluruh komponen masyarakat sebagai budaya hukum. Untuk mewujudkan suatu budaya hukum yang baik dan sesuai dengan UndangUndang yang berlaku sehingga dapat memenuhi rasa keadilan kepada masyarakat dibutuhkan kejujuran, keteladanan, serta integritas moral yang berkaitan dengan hukum serta kinerja para aparat penegak hukum yang tidak malu untuk melakukan hal yang benar Baharudin Lopa menulis bahwa: Integritas moral tidak dapat dipisahkan dari budaya malu, seseorang yang bermoral sesuai dengan ajaran islam tidak akan melakukan perbuatan yang tidak terpuji karena malu adalah sebagian dari iman mereka tidak melakukan perbuatan tidak terpuji bukan karena takut ditangkap atau dihukum tetapi karena malu terhadap sesama, terutama malu dan takut kepada Allah. Orang yang seperti inilah yang mampu menjadi tauladan, sedangkan unsur tauladan ini mutlak dimiliki kalangan atas agar dapat dicontoh dan diikuti oleh seluruh jajarannya.4 Fenomena praktik korupsi dan mafia peradilan telah mencoreng wajah hukum di Negara ini dan proses penegakan hukum mengalami pembusukan, dalam menilai dan mendapatkan aparat penegak hukum yang berkualitas, maka perlu digalakkan kembali program eksaminasi internal di lingkungan lembaga peradilan di samping eksaminasi yang dilakukan oleh masyarakat. Hal ini penting karena keberadaan lembaga peradilan sebagai alternatif penyelesaian sengketa saat ini banyak dipersoalkan banyak pihak terutama para pencari keadilan. Pengadilan tidak lagi sebagai lembaga untuk mencari keadilan, tetapi sebagai institusi pertarungan untuk memperebutkan 4
Chaerudin, Syaiful Ahmad Dinar, Syarif Fadilah , Ibid hal 66
kemenangan, ditambah lagi dengan adanya pergeseran budaya hukum masyarakat yang turut memicu tumbuh suburnya mafia peradilan hampir disemua bidang penanganan dan pemeriksaan perkara. Langkah untuk menggembalikan citra, kewibawaan, dan independensi lembaga peradilan serta memutus jaringan kejahatan yang telah mengakar. Masyarakat sudah saatnya diberi peran lebih besar dalam mengawasi kinerja aparatur penegak hukum, fungsi pengawasan fungsioal baik eksternal atau internal pengawasan masyarakat merupakan mitra dalam upaya peningkatan kinerja institusi penegak hukum dalam menjalankan fungsi dan kewenangannya secara transparan dengan kata lain controllable activities of institution (pengendalian kegiatan suatu institusi oleh pihak lain) dengan harapan penyimpangan sekecil apapun akan dapat dihindari. Keberhasilan suatu penegakan hukum amat bergantung kepada keberadaan institusi dari aparat penegak hukum sebagai penggeraknya. Baik buruknya penegakan hukum akan tercermin dari perilaku aparat penegak hukum itu sendiri, aparat penegak hukum tidak saja dituntut harus mampu mewujudkan hukum tetapi dituntut juga harus profesional dan proporsional. Lalu bagaimanakah jika aparat penegak hukum dalam hal ini Jaksa sebagai penggerak keberhasilan penegakan hukum justru melakukan tindakan-tindakan yang tidak terpuji. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang hal ini untuk dijadikan suatu skripsi dengan judul Hukuman Pidana Terhadap Jaksa yang melakukan Tindak Pidana Korupsi.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Peraturan Perundang-Undangan yang mengatur hukuman pidana terhadap Jaksa yang melakukan Tindak Pidana Korupsi ? 2. Apa yang menyebabkan Jaksa melakukan Tindak Pidana Korupsi ? 3. Bagaimana upaya pencegahan dan penanggulangan terhadap Jaksa yang melakukan Tindak Pidana Korupsi ? C. Ruang Lingkup Dalam ruang lingkup ini penulis membatasi seputar masalah pada tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Jaksa dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sebagai aparat penegak hukum. D. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian dari skripsi ini sebagai syarat untuk menyelesaikan program strata satu guna memperoleh gelar sarjana hukum, adapun tujuan lain dari skripsi ini adalah: 1. Untuk mengetahui bagaimana peraturan perundang-undangan yang mengatur hukuman pidana terhadap Jaksa yang melakukan Tindak Pidana Korupsi. 2. Untuk mengetahui penyebab Jaksa melakukan Tindak Pidana Korupsi. 3. Untuk mengetahui upaya pencegahan dan penanggulangan terhadap Jaksa yang melakukan Tindak Pidana Korupsi. E. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai pembelajaran bagi penulis serta untuk mengetahui bagaimana proses penegakan hukum dan hukuman terhadap aparat penegak hukum dalam hal ini Jaksa yang melakukan tindak pidana korupsi. F. Kerangka Teori dan Kerangka Analisis Dalam Undang-Undang Pokok Kejaksaan Nomor 15 tahun 1961 tersebut pada pasal 1 ayat 1 ditentukan bahwa “ Kejaksaan Republik Indonesia selanjutnya disebut
Kejaksaan, ialah alat negara penegak hukum yang terutama bertugas sebagai Penuntut Umum.” Adapun tugas-tugas yang dimaksud dalam pasal 1 tersebut diperinci lagi pada pasal 2 ayat 1 sampai dengan 4 sebagai berikut: 1.
a. Mengadakan penuntutan dalam perkara-perkara pidana pada pengadilan yang berwenang b. Menjalankan putusan dan penetapan hakim pidana
2.
Mengadakan penyidikan lanjutan terhadap kejahatan dan pelanggaaran serta mengawasi dan mengkoordinasikan alat-alat penyidik menurut ketentuan ketentuan dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan lain-lain peraturan Negara.
3.
Mengawasi aliran-aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara.
4.
Melaksanakan tugas-tugas khusus lainnya yang diberikan kepadanya oleh suatu peraturan negara.5 Sedangkan menurut pasal 1 ayat (6 dan 7) KUHAP Jaksa adalah pejabat yang
diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Mengenai tugas yang disebutkan diatas maka untuk kesempurnaan tugas penuntutan, Jaksa perlu sekali mengetahui sejelas-jelasnya semua pekerjaan yang dilakukan dalam perkara pidana dari permulaan sampai kepada akhir yang seluruhnya itu harus dilakukan atas dasar hukum, agar segala tindakan petugas-petugas yang melakukan
penyidikan
adalah
benar-benar
berdasarkan
hukum
di
muka
persidanganlah Jaksa harus mempertanggung jawabkan semua perlakuan terhadap terdakwa dari pertama terdakwa disidik, kemudian diperiksa perkaranya, lalu ditahan 5
Djoko Prakoso, Tugas dan Peranan Jaksa Dalam Pembangunan, (Ghalia Indonesia, Jakarta 1983), hal 25
dan akhirnya tuntutan-tuntutan yang dilakukan oleh Jaksa itu sah dan benar atau sebaliknya sehingga perasaan keadilan masyarakat terpenuhi. Suatu faktor yang sering menjadi penghambat mendekatkan kesadaran diri pada pengabdian tugas yang dapat menghanyutkan aparat penegak hukum semakin jauh dari cita-cita penegakan hukum yang diarahkan oleh KUHAP atau peraturan perundang-undangan adalah penyakit “kecongkakan”. Kecongkakan kekuasaan arrogance of power karena setiap kekuasaan yang tidak disadari makna dan batasanbatasannya akan selalu menggoda pemegangnya untuk berlaku congkak.6 Sebab apabila aparat penegak hukum telah mengidap penyakit congkak, perilaku tindakan mereka: - selalu mengandalkan diri pada titik tolak orientasi kekuasan. Inilah salah satu efek samping penyakit kecongkakan kekuasaan. Pejabat yang bersangkutan akan selalu berorientasi kepada kekuasaan semata-mata serta akan lari dari garis orientasi legalitas. Dia akan menerjang batas-batas wewenang dan kekuasaan yang resmi dan sah sebagaimana yang telah ditentukan dan diberikan oleh Undang-Undang kepadanya. - tindakan mereka semakin tidak netral. Pejabat yang telah dijangkiti penyakit congkak akan melahirkan pejabat penegak hukum yang tidak bersikap netral, tidah steril dan tidak objektip lagi menanganani kasus yang dihadapinya. Menjadikan mereka pejabat penegak hukum yang tak tanggap lagi, tak peka lagi menyimak isyarat kebenaran, keadilan, kemanusiaan dan tanggung jawab serta akan membelakangi tugas rule of law yang hendak ditegakkannya. - kecongkakan akan memanifestasikan sikap kesewenangan. 6
Yahya Harahap, PEMBAHASAN PERMASALAHAN DAN PENERAPAN K.U.H.A.P jilid I , (Pustaka Kartini, Jakarta 1985), Hal 7-8.
Akibat lain dari kecongkakan kekuasaan ialah sikap yang memanifestasikan tindakan kesewenang-wenangan. Kalau begitu pejabat yang sudah dijangkit penyakit congkak, pasti akan akan semakin jauh dari cita-cita yang diamanatkan KUHAP dan Undang-Undang. Dia tidak aspiratip lagi dengan jiwa yang disuarakan KUHAP dan berani melemparkan nilai dan norma yang dirumuskan Undang-Undang. Mereka akan lupa atau sengaja melupakan makna atau hakekat kekuasaan yang hendak dikendalikannya. Kesengajaan melupakan makna kekuasaan yang hendak dikendalikannya tersebut, menyeret mereka kearah pola berfikir”mumpung”.7 Jika di dalam diri aparat penegak hukum khususnya Jaksa masih terdapat gejalagejala sikap prilaku congkak maka tujuan Undang-Undang akan semakin jauh dari yang diharapkan. Lalu bagai manakah aparat penegak hukum dalam hal ini Jaksa sebagai penggerak keberhasilan penegakan hukum justru melakukan tindakantindakan yang tidak terpuji seperti: 1. Pemerasan 2. Negosiasi status 3. Pelepasan tersangka atau terdakwa 4. Pengurangan tuntutan Demikianlah kiranya dapat dipahami pentingnya tindakan-tindakan Jaksa dalam mengurus suatu perkara pidana, dari sejak permulaan perkara itu diungkap, sampai pada akhir pemeriksaan perkara itu, demi kepentingan terwujudnya keadilan hukum pihak-pihak yang bersangkutan, karena posisi dan tugas seorang Jaksa sangatlah berat dan rentan terhadap pelanggaran-pelanggaran.
7
Yahya Harahap, ibid hal 7-8.
Di dalam Pancasila yaitu sila pertama disebutkan“ketuhanan yang maha esa” , yang apabila dikaitkan, aparat penegak hukum yang berlandaskan Pancasila, adalah aparat harus memiliki predikat “manusia yang bertaqwa”kepada tuhan. Bukan karena mereka sebagai orang yang diserahi wewenang dan jabatan serta kekuasaan, tidak lain daripada melaksanakan amanat Tuhan. Dengan taqwa aparat penegak hukum akan cenderung terpanggil memikul tanggung jawab moral dalam mewujudkan keadilan yang dicita-citakan KUHAP dan Undang-Undang, kerelaan memikul tanggung jawab moral dengan ikhlas, akan membina pola prilaku jujur, adil, bijaksana, dan menjauhkan diri dari perbuatan tercela. G. Metode Penelitian 1. Sifat Penelitian Sifat penelitian yang penulis gunakan dalam metode penelitian adalah deskriptif yaitu sebuah penelitian yang ditanyakan oleh responden secara lisan atau tertulis, dan prilaku nyata yang dijadikan kedalam suatu data atau susunan kalimat-kalimat yang bertujuan ingin memberikan gambaran untuk memaparkan suatu gejala atau objek tertentu.8 2. Metode Pendekatan Metode pendekatan yang penulis gunakan adalah study document yaitu berdasarkan putusan Hakim dan Undang-Undang yang berlaku untuk menguraikan dan menjelaskan masalah yang akan dibahas.9 3. Metode Pengumpulan Data
8
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta 2005), hal 32 9
Djoko Prakoso, ibid, hal 17
Metodelogi penelitian yang digunakan dalam pengumpulan data dan informasi untuk penulisan skripsi ini digunakan metode: a. Penelitian Pustaka (library research) Dalam pembuatan skripsi ini adalah dengan menggunakan bahan hukum dari perpustaakan atau yang dikenal dengan penelitian hukum normatif dengan menganalisa, membaca serta mempelajari dokumen seperti laporan-laporan, artikelartikel, buku-buku, dan peraturan atau undang-undang yang ada hubungannya dengan masalah yang ditulis.Bahan-bahan hukum berupa: 1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, seperti: a). KUHP, KUHAP b). Undang-undang No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana korupsi. 2. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti: buku-buku, karya tulis, artikel, dan lain sebagainya. 3. Bahan hukum tertier atau bahan hukum penunjang, yaitu bahan- bahan yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus, internet dan lain-lain. library research ini berguna untuk mempertanggung jawabkan isi dari skripsi ini dan dapat juga dipakai sebagai pegangan untuk memecahkan masalah-masalah yang timbul dalam praktek. b. Penelitian lapangan (field research) Salah satu tehnik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mendatangi langsung objek yang akan diteliti serta memilih satu tempat untuk memperoleh informasi dan data yang diperlukan untuk penulisan skripsi ini, adapun cara yang digunakan adalah wawancara: yaitu melakukan tanya jawab, interview secara
langsung dengan pihak yang berwenang mengenai informasi yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini 4. Analisis Data Analisis terhadap data yang diperoleh dari penelitian pustaka (liblary research) penelitian yang dilakukan di ruang perpustakaan untuk menghimpun dan menganalisis data yang bersumber dari perpustakaan, baik berupa buku-buku, periodikal-periodikal, seperti majalah-majalah ilmiah yang diterbitkan secara berkala, kisah-kisah sejarah, dokumen-dokumen dan materi perpustakaan lainnya, yang dapat dijadikan sumber penyusunan skripsi ini atau penelitian lapangan (field research) yaitu suatu penelitian yang dilakukan di lapangan atau di lokasi penelitian, suatu tempat yang dipilih sebagai lokasi untuk menyelidiki gejala objektif yang dilakukan juga untuk pengumpulan data dalam menyusun skripsi ini, untuk membahas dan menyusun penulisan skripsi ini dilakukan secara kwalitatif yaitu dengan menjabarkan hasil penelitian tersebut ke dalam bentuk kalimat-kalimat.10 H. Sitematika Penulisan Untuk mempermudah pemahaman terhadap isi skripsi ini maka penulisannya dibagi dalam 5 (lima) bab sebagai berikut: BAB I
: Pendahuluan Pada bab ini penulis menguraikan latar belakang penulisan skripsi ini selain itu penulis juga membuat suatu rumusan masalah dari apa yang telah penulis uraikan dalam latar belakang penulisan. Tak lupa dalam pembuatan skripsi dan didalam kerangka teori serta kerangka analisis penulis mempunyai tujuan terhadap penulisan dalam skripsi ini, adalah
10
Abdurrahmat Fathoni, Metodologi Penelitian dan Teknik Penyusunan Skripsi, (Rineka Cipta, Jakarta 2006), hal 95-96
sebagai salah suatu pembelajaran bagi penulis dan metode yang penulis gunakan serta untuk mempermudah pemahaman, penulis membuat sistematika dari penulisan skripsi ini. BAB II
: Tinjauan Peraturan Undang-Undang Yang Mengatur Hukuman Pidana bagi Jaksa yang Melakukan Tindak Pidana Korupsi. Pada bab ini penulis membahas tentang tinjauan-tinjauan umum terhadap Jaksa
seperti perbuatan-perbuatan,
pelanggaran-pelanggaran
yang
dilakukan Jaksa dalam menjalankan tugas dan wewenangnya serta pengaturan tentang hukumannya. BAB III
: Tindak
Pidana
Korupsi
yang
Dilakukan
oleh
Jaksa
Cecep
Sunarto,S.H.dan Burdju Ronni Allan Felix,S.H. dalam perkara Nomor : 2122/PID.B/2006/PN.jak.sel. Pada bab ini penulis akan menganalisis tentang kasus atas nama terdawa Cecep sunarto,S.H. dan Burdju Ronni Allan Felix,S.H. dalam perkara Nomor: 2122/PID.B/2006/PN.Jak.Sel. BAB IV : Analisis tentang hukuman bagi Jaksa yang melakukan Tindak Pidana Korupsi Pada bab ini penulis menganalisis tentang pengaturan umum terhadap Jaksa yang melakukan Tindak Pidana Korupsi dan penyebab Jaksa melakukan Tindak Pidana Korupsi, serta upaya pencegahan dan penanggulangannya. BAB
V : Penutup Pada bab penutup ini diuraikan tentang kesimpulan dan saran dari penulis terhadap hasil yang telah diuraikan dalam skripsi ini.