BAB II URGENSI PIDANA MATI TERHADAP PELAKU KORUPSI DI INDONESIA
A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Korupsi berasal dari bahasa latin, Corruptio-Corrumpere yang artinya busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik atau menyogok. 31 Korupsi menurut Huntington adalah perilaku pejabat publik yang menyimpang dari norma-norma yang diterima oleh masyarakat, dan perilaku menyimpang ini ditujukan dalam rangka memenuhi kepentingan pribadi. Dalam arti yang luas, defenisi korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan publik untuk kepentingan pribadi atau privat yang merugikan publik dengan cara – cara bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku. 32 Arti harfiah dari kata itu ialah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata – kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah. Arti kata korupsi yang telah diterima dalam pembendaharaan kata bahasa Indonesia itu, disimpulkan oleh Poewadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia : ” Korupsi ialah
31
Fockema, S.J. andreae, 1951, rechtsgeleerd handwoordenboek, groningen – djakarta : Bij J. B. wolter Uitgeversmaatschappij N.V sebagaimana dikutip andi Hamzah, 1984, Korupsi di Indonesia masalah dan pemecahannya, Gramedia Pustaka Utama, hlm.7 32 The Role of a National Integrty system in Fighting corruption, Peter langseth et al, the Economic Development Institute of The World Bank, 1997.
Universitas Sumatera Utara
perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya”. 33 Di sisi lain, Indonesia juga telah mengambil langkah maju dalam mendefenisikan tindak pidana korupsi, dalam pasal 2 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2001, Tentang perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, disebutkan bahwa: “setiap orang baik pejabat pemerintah maupun swasta yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).” Dengan demikian, pendekatan yang dapat dilakukan terhadap masalah korupsi bermacam – macam pula, dan artinya sesuai pula dari segi mana kita mendekati masalah itu. Pendekatan sosiologis misalnya, seperti halnya yang dilakukan oleh Syed Hussein alatas dalam bukunya The Sociology of Corruption, akan lain artinya kalau kita melakukan pendekatan normatif ; begitu pula dengan politik ataupun ekonomi. Misalnya Alatas, memasukkan nepotisme sebagai bentuk korupsi, yaitu menempatkan keluarga atau teman pada posisi pemerintahan tanpa memenuhi persyaratan untuk itu. Tentunya hal seperti ini sangat sukar dicari normanya dalam hukum pidana. 34
33
W.J.S Poerwadarminta, 1982, Kamus Umum Bahasa Indonesia, hlm. 524. Dani Krisnawati, Eddy O.S Hiariej, Marcus Priyo Gunarto, Sigid Riyanto dan Supriyadi, 2006, Bunga Rampai Hukum Pidana Khusus, Pena : Ilmu dan Amal, Jakarta, hlm.36 34
Universitas Sumatera Utara
B. Pertanggungjawaban Pidana pada Perkara Tindak Pidana Korupsi Istilah korupsi diartikan sebagai setiap orang baik pejabat pemerintah maupun
swasta
yang
secara
melawan
hukum
melakukan
perbuatan
memperkaya diri sendiri atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. 35 Untuk konteks UU No. 20 Tahun 2001, para koruptor itu bisa juga korporasi ( lembaga yang berbadan hukum maupun lembaga yang bukan berbadan hukum ) atau siapa saja, entah itu pegawai negeri, tentara, masyarakat, pengusaha dan sebagainya asal memenuhi unsurunsur yang terkandung dalam pasal ini. Perbuatan melawan hukum dalam pasal 2 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2001, seharusnya dipahami secara formil maupun secara materil. Secara formil berati perbuatan yang disebut tindak pidana korupsi adalah perbuatan yang melawan/bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, seperti UU No. 8 Tahun 1981, Tentang KUHP, UU No. 20 Tahun 2001, Tentang Revisi Atas UU No. 31 Tahun 1999, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 28 Tahun 1999, Tentang Pelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, PP No. 105 Tahun 2000, tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah, PP No. 109 Tahun 2000, Tentang Kedudukan Keuangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, PP No. 110 Tahun 2000, tentang kedudukan keuangan DPRD, dll.
35
Pasal 2 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Universitas Sumatera Utara
Sedangkan secara materil berarti perbuatan yang disebut tindak pidana korupsi adalah perbuatan yang walaupun tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat di pidana. Perluasan unsur “melawan hukum” ini sangat ditentang oleh sebagian ahli hukum dan sangat berpengaruh dalam proses penegakan hukum sekarang. Alasan dari pihak yang menolak perluasan unsur melawan hukum ini adalah jika unsur “melawan hukum” ini diartikan secara luas, maka pengertian melawan hukum secara materil dalam Hukum pidana diartikan sama dengan pengertian “melawan hukum (Onrechtmatige Daad)” dalam pasal 1365 KUH Perdata dan ini sangat bertentangan dengan asas legalitas yang dalam bahasa Latin, disebut : “Nullum Delictum Nulla Poena Lege Pravie Poenali” yang dalam hukum pidana Indonseia pengertiannya telah diadopsi dan dituangkan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang berbunyi: “suatu perbuatan tidak dapat dihukum/dipidana,
kecuali
berdasarkan
kekuatan
ketentuan
perundang-
undangan yang telah ada”. Alasan dari para pihak yang menolak perluasan unsur “melawan hukum” ini pada dasarnya dapat di terima oleh akal sehat, namun belum tentu bertolak dari suatu pemikiran/akal yang sehat karena perlu diingat juga bahwa Mahkamah Agung (MA) sebenarnya sudah sejak lama mengakui dan
Universitas Sumatera Utara
menerapkan hukum secara materil dalam berbagai perkara tindak pidana korupsi. Bertolak dari realita yang demikian dan fakta yang membuktikan bahwa para pelaku bermasalah dalam kasus korupsi selalu lolos dari jeratan hukum, maka dalam rangka melakukan pendidikan hukum kritis, pada tulisan ini akan dibuat catatan hukum terhadap Pasal 2 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2001, Tentang perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang merupakan pasal utama dalam menjerat para koruptor. Dalam pasal 2 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2001, Tentang perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, disebutkan bahwa: “setiap orang baik pejabat pemerintah maupun swasta yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).” Dari bunyi pasal yang demikian, jelas pasal 2 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2001, menghendaki agar siapa saja yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi, sebagaimana yang diatur dalam pasal 2 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2001, akan dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta) dan paling banyak
Universitas Sumatera Utara
Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Berkaitan dengan sanksi bagi pelaku tindak pidana korupsi dalam pasal 2 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2001, pada pasal 2 ayat (2) UU No. 20 Tahun 2001, Tentang Revisi Atas UU No. 31 Tahun 1999, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juga menegaskan bahwa apabila suatu tindak pidana korupsi dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi, maka para pelaku tersebut dapat di pidana mati. Ancaman hukuman seumur hidup untuk kasus korupsi, sudah dikenal sejak pemberlakuan UU No 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang – Undang yang menggantikannya membawa kemajuan yakni sanksi hukuman mati yang terdapat pada Pasal 2 ayat 2 UU No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999. Pasal 2 dari UU tentang pemberantasan korupsi ini membangun harapan masyarakat terhadap penerapan hukuman mati bagi koruptor, sebagaimana diberlakukan atas kasuskasus narkotika dan terorisme. Pertimbangannya, tindak pidana korupsi telah menimbulkan dampak sosial yang luas. Dengan adanya keterlibatan pejabat publik dan adanya "catatan" dalam ancaman
sanksi maksimal kasus korupsi, bakal tidak mengherankan bila
proses penerapan hukuman maksimal (hukuman mati) pun tidak akan
Universitas Sumatera Utara
"semulus" kasus narkotika dan terorisme. Hukuman mati sebagaimana isi dari Pasal 2 (2) UU No 31/1999 yang menyatakan : "Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu pidana mati dapat dijatuhkan". 36 Berdasarkan penjelasan UU ini, yang dimaksud
"keadaan tertentu"
adalah "apabila tindak pidana korupsi dilakukan pada waktu
negara dalam
keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada
waktu
terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter". Dari keempat keadaan tertentu itu, hanya keadaan krisis ekonomi dan moneter
yang dapat dengan mudah dirasakan. Kendati demikian walau
Indonesia mengalami krisis semacam itu pada 1998 hingga tahun 2000, tidak ada tersangka koruptor yang divonis mati. Dalam UU No. 20 Tahun 2001 jo UU No. 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, batasan keadaan tertentu
merupakan salah satu bagian yang mengalami perubahan.
dalam penjelasannya, batasan tersebut dinyatakan sebagai keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila
tindak
pidana
tersebut
dilakukan
terhadap
dana-dana
yang
diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi. 36
Pasal 2 ayat (2) UU No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Universitas Sumatera Utara
Dengan digunakannya batasan baru "keadaan tertentu" tersebut, ancaman hukuman
mati pun semakin jauh dari realita. Bahkan terhadap
bencana tsunami pun, jika pemerintah menilai peristiwa itu sebagai peristiwa lokal, karena dampak
kerugian yang ditimbulkan tidak merata di hampir
sebagian besar wilayah Indonesia, bila terdapat koruptor, ia akan sulit dijerat dengan pasal tersebut. Hal paling pokok yang akan menghadang penerapan sanksi hukuman mati bagi koruptor adalah UUD19 45 yang secara hierarkis berada di atas UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam Pasal 28 I (1) UUD 45 dinyatakan : ” hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.”
C. Tindak Pidana Korupsi sebagai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Againts Humanity) Di Indonesia praktek korupsi sudah semakin meluas dan bahkan sudah sampai disegala aspek kehidupan, baik itu ditingkat pusat maupun di daerah, korupsi bak kecanduan narkoba yang sulit diberantas karena sudah menjadi kebutuhan yang harus dipenuhi setiap saat dan menjadi jalan hidup oleh koruptor untuk memperoleh harta kekayaan sebanyak-banyaknya tanpa
Universitas Sumatera Utara
mempedulikan lagi yang namanya hukum serta azas kemanusiaan. Perilaku korupsi di Indonesia dalam sejarahnya sudah menjadi kebiasaan (budaya) yang sulit
untuk
diberantas,
karena
banyaknya
permasalahan-permasalahan
diberbagai aspek yang mendukung terjadinya korupsi itu sendiri. Kompleksitas korupsi ini seolah-olah tidak menjadi permasalahan prioritas yang harus diselesaikan secara bersama-sama namun lebih kepada korupsi dijadikan alat bagi penguasa yang mempunyai wewenang dan otoritas untuk memberikan kesempatan serta peluang untuk dirinya sendiri dan kelompoknya (partai) agar korupsi itu ada dibawah tangannya. Ini bisa dilihat dari berbagai indikator misalnya dimulainya dari Peraturan PerUndang-Undangan itu sendiri yang memberikan kelemahankelamahan terjadinya korupsi, itu baru dilihat dari segi peraturannya yang memberikan peluang atau celah serta kesempatan terjadinya korupsi, belum lagi dari sistem yang bobrok yang diperlakukakan oleh lembaga-lembaga negara pada umumnya yang tidak terkontrol dan anehnya orang yang berperilaku baik (sholeh) ketika sudah memasuki sisitem yang bobrok tersebut malah ikut-ikutan masuk ke dalam sistem yang tidak dikehendakinya, jadi orang yang baik, cerdas, profesional, dan mempunyai track record yang bagus tidak menjadi jaminan dia bisa terhindar dari kejahatan korupsi. Korupsi bak seperti lingkaran setan yang sulit untuk keluar karena kerjanya dipengaruhi oleh sistem yang jelek yang dibangun oleh para penguasa yang mempunyai otoritas dan wewenang. Dan yang tidak kalah pentingnya
Universitas Sumatera Utara
terjadinya korupsi itu disebabkan oleh penyalahgunaan kekuasaan tanpa adanya akuntabilitas dan transparansi kepada publik sehingga kekuasaan yang mereka miliki digunakan untuk kepentingan pribadi atau sekelompok golongan tanpa mempedulikan nasib kepentingan rakyat yang semestinya mereka perjuangkan sebagai wakil rakyat (DPR) ataupun para pejuang penegak hukum (Kejaksaan Agung, hakim dan Kepolisian), sebagai konsekuensi dari korupsi itu rakyatlah yang menanggung beban akibat dari para pelaku koruptor, rakyat menjadi miskin, pengangguran bertambah banyak, biaya ekonomi semakin mahal, yang kaya bertambah kaya dan yang miskin bertambah miskin, kesenjangan itu semakin terlihat akibat ulah para koruptor. Tidak salah kalau korupsi itu disebut sebagai kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime), bahkan ia merupakan ancaman terhadap kemanusiaan (crime againts himanity). Kejahatan korupsi adalah sebuah kejahatan kemanusiaan di lingkungan institusi pemerintah. Kejahatan ini dilakukan oleh pejabat pemerintah yang mendapat amanat sebagai wakil rakyat untuk mengayomi hak-hak rakyat. Pada kenyataannya mereka justru tega menyelewengkan hak-hak tersebut demi kepentingannya sendiri dan kelompoknya. Fenomena korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) sebagai bentuk kejahatan yang kita jumpai saat ini tidak jauh beda dengan budaya feodal kerajaan Hanya saja zaman serta dari tata cara kerja dan motif operandinya yang berbeda, namun tetap pada substansi yang sama yaitu menyelewengkan kekayaan rakyat serta eksploitasi hak-hak rakyat kecil dengan kebijakan yang korup.
Universitas Sumatera Utara
Korupsi pada hakekatnya adalah tindakan sabotase ekonomi, sabotase sosial dan sabotase budaya. Para koruptor bukan hanya melecehkan nilai-nilai agama, moralitas dan kemanusiaan, tapi juga menciptakan polarisasi ekonomi, amnesia sosial dan pembusukan kebudayaan sekaligus Korupsi pada gilirannya akan membuahkan kemiskinan secara berlapis-lapis. Tindakan para koruptor telah mengkhianati jutaan rakyat yang ada dalam lumpur kemiskinan. Sehingga tidaklah
keliru
kemanusiaan
kalau
karena
korupsi telah
dinyatakan
menyebabkan
sebagai
kejahatan
timbulnya
terhadap
kemiskinan
dan
kesengsaraan rakyat. Melihat kenyataan seperti ini, kita tidak ragu untuk mengatakan bahwa di negeri ini hukum benar-benar tengah mengalami masalah yang sangat serius. Kepercayaan publik terhadap aparat hukum (polisi, jaksa, hakim dan pasti juga pengacara), nyaris ke tititk yang paling nadir. Bukan tidak ada oknum aparat hukum yang putih. Tapi warna dominan yang tampak dewasa ini memang telah menghitam. Korupsi yang hebat bisa saja terjadi di kalangan wakil rakyat dan para pejabat, mulai dari tingkat ketua RT, lurah, camat, bupati, gubernur sampai yang lebih atas lagi, atau dilakukan oleh aparat birokrasi dari yang paling rendah sampai ke yang paling tinggi. Menurut ulama islam, korupsi merupakan pengkhianatan berat terhadap amanat rakyat, sehingga dapat dikategorikan sebagai kejahatan kemanusiaan. Dilihat dari cara kerja dan dampaknya, keharaman korupsi melebihi dari tindakan pencurian (sariqah) dan perampokan (nahb). Korupsi dalam berbagai
Universitas Sumatera Utara
bentuknya misalnya suap (risywah), mark up (khiyanat), penggelapan (ghulul) dan pemerasan (muksu) adalah penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang demi menguntungkan diri dan kelompoknya serta merugikan negara dan rakyat banyak. Korupsi harus dilihat sebagai suatu bentuk penyalahgunaan kekuasaan, yang bukan hanya menyangkut soal uang semata, namun juga telah menyebabkan hilangnya kesempatan dalam mencapai tujuan bersama, baik secara ekonomi, sosialbudaya dan ekologi, serta diikuti dengan berbagai kekerasan, teror, dan penurunan kualitas kemanusiaan lainnya. 37 Hukumannya adalah ta’zir sesuai dengan berat ringannya kerusakan yang ditimbulkan dan bisa diperberat sampai hukuman mati. 38
D. Argumentasi Pro dan Kontra terhadap pidana mati untuk pelaku korupsi Tidak ada permasalahan hukum yang lebih mendatangkan banyak reaksi dari masyarakat umum selain perdebatan mengenai hukuman mati. Baik di Indonesia maupun di negara-negara lainnya, sejak dahulu permasalahan ini telah membangkitkan respon dari setiap lapisan masyarakat. Hampir 130 negara di dunia telah melakukan penghapusan hukuman dari sudut pandang sosial,
hukum,
dan
agama.
Oleh
karenanya,
permasalahan
ini
telah
37
Korupsi : Kejahatan Moral dan Kemanusiaan, diakses dari situs : http://www.balipost.com/BaliPostcetak/2008/1/29/o2.htm, tanggal 15 Juni 2010. 38 HM. Nasruddin Anshoriy, Jihad Melawan Korupsi, http://www.ombudsmanasahan.org/index.php?option=com_content&task=view&id=399&Itemid=74 tanggal 13 Juni 2010.
Universitas Sumatera Utara
meningkatkan suhu perdebatan hampir di seluruh negara, sehingga menjadi amatlah
penting
untuk
menghadirkan
berbagai
dimensi
signifikansi
sesungguhnya dari perspektif keadilan sosial dan hukum. Kebutuhan untuk menghadirkan permasalahan ini, dalam kerangka yurisprudensi dan realisme yang ada, merupakan salah satu yang harus dilakukan jika semangat masyarakat umum, khususnya para pemerhati hukum, terhadap permasalah sosial memang ingin dilayani dengan sungguh-sungguh. Perdebatan tentang pidana mati sudah cukup lama berlangsung dalam wacana hukum pidana di berbagai belahan dunia. Dari pendekatan historis dan teoritik, pidana mati adalah pengembangan teori absolut dalam ilmu hukum pidana. Teori ini mengajarkan tentang pentingnya efek jera (detterence effect) dalam pemidanaan. Dalam perkembangannya, teori ini mengalami perubahan yang signifikan, pemidanaan tidak lagi ditujukan pada efek jera akan tetapi lebih kepada rehabilitasi terhadap terpidana, yakni dengan mengembalikan terpidana seperti semula agar dapat bersosialisasi dan dapat diterima oleh masyarakat, lalu bagaimana dengan pidana mati itu sendiri. Terhadap pertanyaan mengenai pidana mati terdapat dua arus pemikiran utama, pertama, adalah mereka yang ingin tetap mempertahankannya berdasarkan ketentuan yang berlaku, dan kedua adalah mereka yang menginginkan penghapusan secara keseluruhan. Kecenderungan tren masa kini berada pada posisi penghapusan, tetapi di saat yang bersamaan juga terdapat berbagai pendapat yang ingin mempertahankan adanya pidana mati. Tidaklah
Universitas Sumatera Utara
terdapat keraguan bahwa hampir di seluruh dunia telah berkembang pendapat yang condong pada penghapusan pidana mati. Di Inggris dan beberapa negara bagian Amerika Serikat, hukuman mati telah dihapuskan. Sedangkan di beberapa negara lainnya, hukuman mati telah disimpan rapat-rapat dalam suatu ‘peti es’. Di India, perdebatan serius mengenai penghapusan hukuman mati di India telah berlangsung sangat lama, bahkan sejak jaman Inggris masih berkuasa di wilayah ini, masyarakat India telah mencoba dengan sangat serius untuk menghapuskan pidana mati. Dalam lingkup masyarakat internasional, pengakuan terhadap hukuman mati hampir tidak mempunyai tempat pada masyarakat yang demokratis dan berbudaya. Komisi PBB memberikan tanggapannya sebagai berikut :
“Walaupun hukuman mati belumlah dilarang berdasar hukum internasional, kecenderungan terhadap pelarangan tersebut sangatlah jelas. Diadopsinya Opsional Kedua Kovenan Internasional terhadap Hak Sipil dan Politik tahun 1989 yang bertujuan untuk menghapuskan hukuman mati merupakan pengakuan yang sangat jelas oleh masyarakat internasional terhadap kebutuhan untuk menghilangkan penggunakan pidana mati secara total dan keseluruhan.” Daftar
negara-negara
yang
telah
menghapuskan
hukuman
mati
diharapkan akan bertambah di kemudian hari. Negara-negara anggota Uni Eropa juga diharuskan untuk menghapuskan hukuman mati di dalam hukum nasional mereka. Komisi HAM PBB akhir-akhir ini meminta negara-negara yang masih melaksanakan hukuman mati untuk menerbitkan penangguhan
Universitas Sumatera Utara
eksekusi dengan pertimbangan untuk mengapuskan hukuman mati secara keseluruhan. Dengan berkembangnya konsensus masyarakat internasional yang melawan hukuman mati, beberapa negara retensionis, yaitu negara yang masih menerapkan hukuman mati, menjadi semakin terisolasi akibat komitmennya terhadap hukuman mati. Indonesia, sebagai salah satu negara retensionis, telah meratifikasi
berbagai
instrument
HAM
internasional
seperti
Kovenan
Internasional terhadap Hak Sipil dan Politik, tetapi tidak diikuti dengan penghapusan hukuman mati sebagaimana telah dilakukan oleh banyak negara lainnya, seperti misalnya Afrika Selatan melalui Mahkamah Konstitusinya, dengan suara bulat menyatakan pada tahun 1995 bahwa hukuman mati untuk tindak pidana pembunuhan melanggar Konstitusi Afrika Selatan. Kondisi perdebatan terhadap hukuman mati yang terus berkembang ini, dalil-dalil
teologi
terkadang
menjadi
terlempar
bersama-sama
dengan
argumentasi filosofi, sejarah, politik, yudisial, emosional, dan pendapat pragmatik yang mengakibatkan hasilnya hampir tidak berhujung. Pemahaman yang terkadang tidak dapat disandingkan satu sama lainnya ini membawa tekanan diskusi dan mencapai pembahasan yang cukup sulit. Akhir-akhir ini, pertanyaan mengenai konstitusionalitas hukuman mati di Indonesia untuk pertama kali dimajukan di hadapan Mahkamah Konstitusi (MK), di mana ketentuan pidana mati dianggap bertentangan dengan UUD
Universitas Sumatera Utara
1945 dalam pengertian bahwa hukuman tersebut bertentangan dengan hak untuk hidup yang dijamin oleh Pasal 28I ayat (1) UUD 1945. Perdebatan tentang pidana mati di Indonesia mengemuka menjadi bagian dari diskursus sosial, terutama di bidang ilmu hukum, dengan adanya pengujian konstitusional pidana mati dalam UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, 39 serta pengujian UU No.02/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hukuman Mati. 40 Namun sesungguhnya perdebatan tersebut telah lama ada sebagai bagian dari perkembangan peradaban umat manusia, bersamaan dengan dipraktekkannya pidana mati itu sendiri. Di era modern gerakan menghapus pidana mati menguat pada abad ke-18. Gerakan ini mengkritik pidana mati sebagai bentuk pidana yang tidak manusiawi dan tidak efektif. 41 Walaupun gerakan penghapusan pidana mati sangat gencar dilakukan, masih banyak negara-negara yang mengakui dan menerapkan pidana mati. Saat ini terdapat 68 negara
yang masih menerapkan praktik pidana mati,
termasuk Indonesia.
Sedangkan negara yang menghapuskan pidana mati untuk seluruh jenis kejahatan adalah sebanyak 75 negara. Selain itu, terdapat 14 negara yang menghapuskan pidana mati untuk ketegori kejahatan pidana biasa, 34 negara tidak menerapkan pidana mati walaupun terdapat ketentuan pidana mati. Dengan demikian, perdebatan tentang 39
Putusan No.2-3/PUU-V/2007 mengenai Pengujian UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Putusan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada 23 Oktober 2007. 40 Putusan Nomor 21/PUU-VI/2008 mengenai Pengujian UU No. 02/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hukuman Mati. Putusan ini diucapkan dalam sidang terubka untuk umum pada tanggal 15 Oktober 2008. 41 Efektifitas pidana mati terkait dengan efek penjeraan (deterrence) sebagai salah satu tujuan penghukuman. LIhat, Jeffrey Fagan, “Death and deterrence redux : science, law and causal reasoning on Capital Punishment, Ohio State Journal of Criminal Law, Fall, 2006.
Universitas Sumatera Utara
pidana mati walaupun telah berlangsung lama, masih tetap akan ada dan berlanjut di masa yang akan datang. 42 Dalam konteks Indonesia perdebatan pidana mati memiliki makna tersendiri mengingat posisi Indonesia sebagai negara demokrasi muslim terbesar di dunia. Perubahan hukum yang terjadi di Indonesia akan mempengaruhi negara-negara
berpenduduk muslim lainnya. Jika saja
Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa pidana mati bertentangan dengan konstitusi, yang berarti penghapusan pidana mati, momentum
penting
bagi
penghapusan
pidana
hal itu akan menjadi mati
di
negara-negara
berpenduduk muslim lainnya yang pada umumnya masih menerapkan pidana mati. Dalam hukum positif Indonesia masih terdapat banyak peraturan perundangundangan yang mencantumkan ancaman pidana mati, misalnya dalam Kitab Undang Hukum Pidana (KUHP), UU No. 7/Drt/1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi, UU No. 22 Tahun 1997 tentang Tindak Pidana Narkotik dan Psikotropika, UU No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, UU No. 26 Tahun 2000 tentang Tindak Pidana Terhadap Hak Asasi Manusia, Perpu Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang telah disahkan menjadi UU.
42
Roger Hood, The Death Penalty : A Worldwide Perspective, Third Edition, (New York : Oxford University Press, 2002), hal. 13.
Universitas Sumatera Utara
Dalam penjatuhan pidana terhadap seseorang sangat mungkin terjadi kesalahan oleh hakim, terlebih dalam keadaan penegakan hukum di Indonesia yang masih perlu dipertanyakan. Tampaknya tidak arif kalau kita menyerahkan wewenang yang begitu besar yang menyangkut nyawa seseorang terhadap lembaga peradilan masih korup. Perlu dicatat sepanjang masih ada instrumen hukum yang memberikan ancaman pidana mati, maka sepanjang itu pula penjatuhan pidana mati dan potensi penolakan grasi oleh Presiden sangat terbuka. Oleh sebab itu sebaiknya perjuangan untuk menghapuskan pidana mati harus dibarengi dengan upaya untuk melakukan review terhadap seluruh instrumen hukum yang mencantumkan klausula ancaman pidana mati. Dalam RUU KUHP baru, mengandung pemikiran “reformasi” tentang pidana mati yang menetapkan sebagai (1) “pidana khusus” (2) “pidana mati percobaan” (3) kalau 10 tahun tidak dilaksanakan, maka “otomatis” menjadi seumur hidup. Rumusan KUHP ini sudah cukup terlihat mengakomodir perdebatan tentang pidana mati, ada baiknya hal ini dapat “ditiru” oleh peraturan perundang-undangan yang lain yang mencantumkan ancaman pidana mati. Tampaknya mustahil kita menentang pidana mati sementara peraturan perundang-undangan kita termasuk yang lahir pada era reformasi masih mencantumkan ancaman pidana mati. Perjuangan menegakkan hak asasi manusia tidak boleh bersikap diskriminatif termasuk memperjuangkan hak hidup seorang penjahat kelas berat sekalipun, karena mereka memiliki hak untuk hidup sebagai hak asasi yang paling mendasar.
Universitas Sumatera Utara
Perdebatan mengenai pidana mati juga terkait dengan hak hidup yang dalam instrumen hukum internasional maupun dalam UUD 1945 masuk ke dalam kategori hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Namun demikian, instrumen hukum internasional, khususnya tidak sama sekali melarang pidana mati melainkan membatasi penerapannya. Hal itu dalam konteks Indonesia dikukuhkan dalam Putusan MK No.23/PUU-V/2007 yang menyatakan bahwa di masa yang akan datang perumusan, penerapan, maupun pelaksanaan pidana mati hendaklah memperhatikan empat hal penting. Pertama, pidana mati
bukan lagi merupakan pidana pokok,
melainkan sebagai pidana yang bersifat khusus dan alternatif. Kedua, pidana mati dapat dijatuhkan pada masa percobaan selama sepuluh tahun yang apabila terpidana berkelakuan terpuji dapat diubah dengan pidana penjara seumur hidup atau selama 20 tahun. Ketiga, pidana mati tidak dapat dijatuhkan terhadap anak-anak yang belum dewasa. Keempat, eksekusi pidana mati terhadap perempuan hamil dan seseorang yang sakit jiwa ditangguhkan sampai perempuan hamil tesebut melahirkan dan terpidana yang sakit jiwa tersebut sembuh. Namun demikian, hukum sebagai salah satu bentuk norma masyarakat serta hukum dalam arti keputusan hakim harus dipahami dalam konteks perkembangan kesadaran sejarah masyarakat. Von Savigny menyatakan bahwa hukum adalah bagian dari budaya masyarakat, hukum tidak lahir dari suatu tindakan bebas, tetapi dibangun dan dapat ditemukan dalam jiwa masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
Hukum secara hipotesis dapat dikatakan berasal dari kebiasan dan selanjutnya dibuat melalui suatu aktivitas hukum. 43 Kesadaran sejarah bukan sesuatu yang statis, tetapi senantiasa berkembang seiring dengan perubahan sosial dan munculnya pemikiranpemikiran baru. Hal itu juga akan diikuti dengan perubahan norma hukum Oleh karena itu ada beberapa argumentasi yang menyatakan bahwa belum diterimanya penghapusan pidana mati di Indonesia adalah karena kesadaran sejarah masyarakat Indonesia belum dapat menerima penghapusan pidana ini, pidana mati masih dipahami sebagai sesuatu yang sah secara hukum maupun moral. Kalaupun pidana mati melanggar hak hidup, pelanggaran tersebut dapat dibenarkan sebagai hukuman atas tindak pidana tertentu. Namun, kesadaran sejarah tersebut tentu akan mengalami perubahan seiring dengan perubahan masyarakat Indonesia dan munculnya pemikiran-pemikiran baru yang mendasari upaya penghapusan pidana mati. Pada saat terjadi perubahan kesadaran sejarah masyarakat tentu pidana mati dapat dihapuskan, yang dapat terjadi melalui pembentuk undang-undang maupun hakim karena keduanya dipengaruhi bahkan merupakan refleksi dari kesadaran sejarah masyarakatnya. Pada tahap perkembangan selanjutnya, kontroversi pidana mati di Indonesia mengemuka terkait dengan dikeluarkannya beberapa Keputusan Presiden di tahun
43
M.D.A. Freeman, Lloyd’s Introduction to Juricprudence, Seventh Edition, (London : Sweet & Maxweel Ltd, 2001), hal. 904-905.
Universitas Sumatera Utara
2003 yang menolak permohonan grasi terhadap para terpidana mati yang terlibat dalam tindak pidana narkotika dan pembunuhan. Ada dua wacana yang berhadapan dalam perdebatan tersebut yakni yang setuju terhadap pidana mati dan pihak lain yang tidak setuju terhadap pidana mati. Secara singkat pihak yang setuju berargumentasi bahwa pidana mati masih relevan diterapkan di Indonesia dan masih banyak peraturan perundang-undangan yang mencantumkan ancaman pidana mati dalam hukum posistif Indonesia. Pihak yang tidak setuju menyatakan pidana mati bertentangan dengan hak asasi manusia, dengan mengacu kepada UUD 45 yang mengutip asal 28 A perubahan kedua yang menyatakan “setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya” dengan demikian hak hidup adalah hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Dari perspektif internasional ketentuan mengenai hak asasi manusia yang berkaitan dengan hak hidup dapat ditemukan dalam International Covenant on Civil and Political Right (ICCPR) yang mengatur hak untuk hidup. Pasal 6 ayat (1) ICCPR UU No. 12 Tahun 2005 berbunyi : ” setiap manusia berhak atas hak untuk hidup dan mendapat hak perlindungan hukum dan tiada yang dapat mencabut hak itu.” 44 Selanjutnya Pasal 6 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2005 menyatakan bagi negara yang belum menghapus ketentuan pidana mati, putusan tersebut hanya berlaku pada kejahatan yang termasuk kategori yang serius sesuai hukum yang berlaku saat itu dan 44
Todung Mulya lubis dan Alexander lay, Kontroversi Hukuman Mati, Perbedaan Pendapat Hakim konstitusi, Penerbit Buku kompas, jakarta, 2009. hlm.14
Universitas Sumatera Utara
tak bertentangan dengan kovenan ini. Pidana tersebut hanya dapat merujuk pada putusan final yang diputuskan oleh pengadilan yang kompoten. Jika menggunakan pemidanaan untuk menimbulkan efek jera akan muncul pertanyaan penting, apakah betul dengan adanya pidana mati dapat dikurangi angka kejahatan ?. Ternyata berbagai hasil penelitian menunjukkan tidak ada korelasi positif antara pidana mati dan penurunan angka kejahatan. Bila ada yang berpendapat pidana mati bisa menimbulkan efek jera, hal itu tidak benar. Di Inggris dua ratus tahun yang lalu, para pencopet selalu dipidana mati dengan cara digantung di lapangan terbuka di depan publik. Ironisnya saat pelaksanaan pidana mati tersebut berlangsung para pencopet justru beraksi. 45
E. Urgensi
Pidana
Mati
terhadap
Pelaku
Korupsi
dalam
upaya
pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Terlepas dari setuju atau tidak pemberlakuan pidana mati untuk kasus-kasus korupsi di Indonesia, secara jujur harus diakui bahwa Indonesia adalah salah satu negara terkorup di Asia Pasifik. Oleh karena itu, urgen untuk segera mencari cara untuk memberantas korupsi yang telah merusak tatanan ekonomi dan menyebabkan kemiskinan, apapun itu obatnya termasuk penerapan pidana mati. Hasil survei Political and Economic Risk Consultancy (PERC) 2010 yang memosisikan Indonesia
45
Penghapusan Pidana Mati Menuntut Perubahan Sejumlah Undang-undang , diakses dari situs : http://www.legalitas.org/content/penghapusan-pidana-mati-menuntut-perubahan-sejumlahundangundang, tanggal 9 Juni 2010.
Universitas Sumatera Utara
sebagai negara terkorup di Asia-Pasifik dengan nilai 9,07 semestinya bukan sesuatu yang mengejutkan. Tahun ini peringkat Indonesia pertama (sebelumnya 7,69). Dengan skor 9,07 itu, PERC menyimpulkan bahwa korupsi di Indonesia semakin parah, terjadi di semua lembaga dan semua level. 46 Kesimpulan PERC tersebut bukan dianggap aneh, melainkan hal yang biasa, karena Indonesia memiliki kultur yang aneh. Pejabat negara dan para koruptor tidak ada yang jera. Bahkan, orang yang belum memiliki kesempatan untuk korupsi pun bercita-cita -bila suatu saat ada peluang- akan melakukan hal itu. Budaya seperti itu yang menjadikan penangkapan banyak pejabat, politisi, dan pihak swasta oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak menimbulkan efek jera. Filosofi yang berkembang di kalangan koruptor adalah ditangkap KPK atau penegak hukum yang lain hanya karena sial. Fenomena tersebut sama dengan fenomena tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Banyak kenistaan dan penderitaan yang dialami para tenaga kerja wanita (TKW) di luar negeri. Namun, minat untuk menjadi TKW tidak berkurang, tapi malah bertambah. Lebih jauh, para koruptor berprinsip, kalau toh mereka tertangkap, pikiran di benaknya adalah bagaimana bisa lolos dari jerat hukum. Jika terpaksa belum bisa lolos, setidaknya hukumannya diperingan dan dendanya rendah. Karena itu, mafia hukum tumbuh subur di Indonesia dan pendapatan mereka jauh lebih tinggi daripada gaji resmi penegak hukum. Dan perlu diingat bahwa perilaku tindak pidana korupsi
46
Jabir Al Faruqi, Sempurnalah Korupsi di Indonesia, diakses http://antikorupsi.org/indo/content/view/16577/7/, diakses tanggal 11 Juni 2010.
dari
situs
:
Universitas Sumatera Utara
adalah perilaku yang kalkulatif, artinya tindakan tersebut sudah dipikirkan matangmatang sehingga saat tertangkap tidak akan bangkrut. Ketidaktegasan karakter bangsa Indonesia dalam menghadapi masalahmasalah penting bangsa menjadikan segala masalah diselesaikan di tingkat permukaan saja. Kasus-kasus besar korupsi menjadi sulit dijamah karena ada upayaupaya proteksi dari pemilik kekuasaan. Dengan skor 9,07 dari 10 poin tertinggi, itu bisa dikatakan hampir sempurnalah korupsi di Indonesia, dan kesimpulan PERC ini semakin meyakinkan publik bahwa sia-sia saja pemberantasan korupsi dilakukan, inpres-inpres tentang pemberantasan korupsi menjadi tidak bermakna karena tidak diimplementasikan di lapangan, izin-izin pemeriksaan kepala daerah yang mestinya dikeluarkan presiden hingga kini masih banyak yang tidak tahu rimbanya. Bangsa ini sebaiknya tidak berharap akan berhasil memberantas korupsi apabila kultur yang ada tidak mampu diubah. Berharap agar korupsi bisa diberantas atau jumlahnya ditekan sebenarnya adalah mimpi buruk di siang bolong, sebab bangsa ini semakin hari semakin kehilangan karakternya, awalnya bangsa ini menambatkan harapan pemberantasan korupsi kepada sosok Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dia adalah seorang yang dibesarkan di dunia ketentaraan sehingga memiliki kedisiplinan tinggi, selain itu, sosoknya dianggap relatif bersih jika dibandingkan dengan figur-figur yang lain. 47 Pada tahap awal kepemimpinannya, pemberantasan korupsi lebih beraroma dan bergemuruh jika dibandingkan dengan keterlibatannya dalam korupsi. Namun, 47
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
sejak awal periode kedua memimpin, ternyata aroma dan gurita korupsi semakin menerpa. Puncak pencitraan antikorupsi rontok dari rezim SBY sejak mencuatnya kasus Bank Century. Meskipun kesimpulan akhir sudah disampaikan dalam rapat paripurna DPR, permasalahan itu belum berarti selesai. Permasalahan terus berkembang hingga muncul istilah ''tukar guling'' dan ''barter'' kasus korupsi untuk menyelamatkan masalah-masalah krusial yang lebih besar. Munculnya istilah-istilah tersebut menandakan bahwa bangsa ini tidak malumalu mempertontonkan perilaku korup di depan publik. Itu mencerminkan arah pemberantasan korupsi semakin tidak jelas. Roh dan semangatnya menjadi hilang tanpa bekas. Bila hasil survei PERC yang dirilis baru-baru ini dikontekskan dengan realitas Indonesia akhir-akhir ini, sesungguhnya tidak ada yang dilebih-lebihkan. Korupsi begitu menggurita, mulai pemegang kebijakan hingga implementasi di tingkat yang paling bawah. Sementara gebrakan pembenahan sektor pelayanan publik dengan berbagai inovasi
untuk
memudahkan
dan
mempermurah
biaya
pelayanan
terus
dikampanyekan. Ending-nya adalah bagaimana mengurangi korupsi di sektor pelayanan publik. Namun, semua itu belum benar-benar dirasakan semua lapisan masyarakat, dan inovasi pelayanan publik tersebut belum menyentuh masalahmasalah vital yang dibutuhkan masyarakat, kinerja pelayanan di dunia kepolisian belum beranjak ke arah yang dicita-citakan, dunia kejaksaan dan kehakiman (pengadilan) juga masih jauh dari memadai sebagai tempat mencari keadilan, bahkan perlakuan di lembaga pemasyarakatan juga sarat dengan mafia korupsi.
Universitas Sumatera Utara
Dunia pendidikan kita hancur karena gagal menumbuhkan sikap kejujuran. Ujian negara yang mengejar nilai kuantitatif sering mendorong dunia pendidikan menghalalkan segala cara, yang penting nilainya bagus dan lulus terbanyak. Jadi, yang ujian sekarang itu bukan para siswa melainkan para kepala sekolah, guru, dan orang tua. Itu adalah awal pertumbuhan korupsi di jiwa bangsa Indonesia. Programprogram prorakyat, baik yang disalurkan lewat departemen maupun langsung ke masyarakat, di sana sini mengalami penyunatan yang tidak bisa diatasi lewat penegakan hukum. Semua dilakukan dengan tanpa beban dan rasa berdosa. Sebaliknya, pihak-pihak yang ingin memperbaiki situasi dengan mengurangi tingkat korupsi akan dipinggirkan. Kasus buaya vs cicak menandakan bahwa kelompokkelompok yang ingin memperbaiki situasi akan mengalami kendala, tantangan, dan bahkan ancaman yang serius sehingga eksistensinya sewaktu-waktu bisa terancam. Oleh karena itu, semua penyelenggara negara sepertinya sama-sama mau berjamaah korupsi agar tidak dikeluarkan dari habitatnya. Itulah yang menjadikan korupsi semakin hari malah menggurita di Indonesia. Oleh karena itu, sebagaimana disebutkan di atas, kita sudah berada pada titik yang sangat urgen sebelum hancurnya perekonomian dan kehidupan masyarakat karena korupsi, harus segera dicari jalan keluarnya, termasuk pertimbangan pemberlakuan hukuman mati bagi para pelaku tindak pidana korupsi yang kalau memang bisa memberantas korupsi, karena secara legalitas, pidana mati
tidak
bertentangan dengan undang-undang.
Universitas Sumatera Utara