BAB I Pendahuluan
Dalam bab pendahuluan ini akan menguraikan ketertarikan peneliti dengan isu penelitian, fokus penelitian, tujuan penelitian, pisau bedah yang akan peneliti gunakan, metodologi penelitian, serta metode analisis data.
1.1
Latar Belakang Industri merupakan penerapan cara-cara yang kompleks dan canggih terhadap produksi dalam kegiatan ekonomi untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas produksi. Industri modern yang kita kenal saat ini berasal dari revolusi industri yang berlangsung pada abad ke 18. Industri berasal dari bahasa latin industria yakni keterampilan dan penuh sumber daya (Soekanto, 1987 : 2). Industri senatiasa menjadi alat pemuas kebutuhan manusia. Dalam industri dikenal tiga macam pekerja. Pertama, kaum buruh berkualifikasi atau profesional, yakni mereka yang mempunyai suatu keahlian tertentu. Kedua, kaum buruh semi berkualifikasi atau berspesialisasi (mereka melakukan suatu pekerjaan khusus). Ketiga, kaum buruh kerja tangan biasa (Polak, 1966 : 18). Jenis pekerja yang terlibat dalam sebuah industri bergantung pada mesin dan alat produksi yang digunakan industri tersebut. Seperti gambaran mekanisasi diatas, pekerja terampil akan kurang di butuhkan karena tenaga tidak terampil pun sudah bisa diajarkan untuk mengoperasikan mesin. Sedangakan industri yang tidak menggunakan mesin canggih serta menggunakan alat sederhana cenderung membutuhkan pekerja terampil yang
terbiasa menggunakan alat produksi yang ada. Apa lagi bila industri tersebut memproduksi barang non masal dan bernilai seni, maka peran perkerja terampil menjadi amat penting. Salah satu industri yang memiliki karakteristik seperti diatas adalah industri kerajinan. Di Indonesia yang memiliki banyak suku dan budaya tentu memiliki industri kerajinan yang khas dari setiap daerahnya. Misalnya industri batik tradisional. Batik yang diproduksi secara tradisional pada awalnya dikerjakan secara rumahan. Keluarga menjadi motor utama industri rumahan. Keahlian membuat batik diwariskan secara turun-temurun baik dalam anggota keluarga maupun pekerja dari luar anggota keluarga. Lambat laun industri ini mulai terbuka dengan pekerja dari sekitar rumah produksi. Pembatik inilah tenaga kerja terampil yang dimaksud. Tenaga kerja terampil yang punya jam terbang tinggi. Peran mereka sangat sulit untuk digantikan oleh pekerja biasa. Bahkan untuk tiga jenis batik, keahlian pekerja tidak bisa disamakan. Berdasarkan teknik pembuatannya ada tiga macam kain batik. Yakni batik tulis, batik cap dan batik lukis. Batik tulis menggunakan canting sebagai media menuangkan cairan malam pada kain. Untuk batik lukis, media bahan, proses dan pewarnaannya mirip sekali dengan proses pembuatan batik tulis. Carian malam langsung dilukiskan pada kain putih menggunakan canting ataupun kuas. Terkadang pembatik juga terlebih dahulu membuat sketsa diatas kain menggunakan pensil. Meningat sulitnya proses pembuatan batik tulis dan lukis harganya sangat mahal. Batik cap sedikit lebih murah dari pada batik tulis. Batik ini dibuat dengan cara dicap. Yakni cetakan cap dengan motif tertentu ukuran 15 cm x 20 cm dicelupkan ke cairan malam panas lalu dicapkan pada kain putih hingga seluruh permukaan kain terutup
merata dengan rapi. Pembatik yang ahli dalam batik cap adalah laki-laki karena dibutuhkan tenaga yang tak sedikit untuk mengangkat cetakan cap yang berat dan panas. Berat cetakan beragam mulai dari satu kilogram, dua kilogram bahkan ada yang beratnya mencapai empat kilogram. Ada kerumitan proses dibalik cantiknya warna kain batik cap. Batik yang telah di cap, harus dihilangkan cairan malam yang telah mengeras dengan cara mengerok. Bagian yang malamnya dihilangakan bukan sembarangan melainkan bagian tertentu sesuai motif dan perencanaan pewarnaan. Selanjutnya kain dicuci dengan merendamnya terlebih dahulu dalam cairan kimia. Kemudian menyikatknya dengan sapu lidi hingga kedua sisi motif yang dikerok terkelupas sampai terlihat putih bersih. Setelah itu barulah kain dicelup dalam cairan warna. Proses ini bisa dilakukan berulang kali hingga warna yang dihasilkan sempurna dan bermacam-macam. Kain direbus kembali untuk menghilangkan sisa malam pada yang belum dikerok. Setelah dijemur dan disetrika barulah kain batik ini siap untuk dijual. Di sebuah industri rumahan batik jalan Tirtodipuran Kota Yogyakarta, proses pengerokan itu dilakukan oleh ibu-ibu. Mereka melakukannya tidak di rumah produksi melainkan dirumah mereka sendiri. Kain yang sudah di cap oleh bapak-bapak ditempat juragan, lalu di bawa kerumah buruh kerok di Kasihan Bantul dengan menggunakan sepeda ontel dengan menempuh jarak empat kilometer. Bagi sepeda ontel tua empat kilometer bukan lah jarak yang dekat untuk membawa beban belasan lembar kain batik setengah jadi. Belum lagi kondisi cuaca yang akhir-akhir ini sulit ditebak. Panas menyengat dan hujan pun sudah menjadi sahabat para perempuan tangguh ini. Tidak ramahnya pengendara kendaraan bermotor sepanjang rute juragan-
rumah buruh turut menguji kesabaran dan kehati-hatian mereka. Meski begitu senyum tak penah hilang dari wajah mereka saat berpapasan dengan pengguna jalan lain. Di Kasihan Bantul tepatnya di kampung Menayu Lor dusun Jeblog beberapa ibuibu bekerja sebagai buruh kerok. Dua orang bertugas mengambil kain yang telah dicap di tempat juragan. Sedangkan yang lain menunggu dirumah pengambil tadi. Ditangan buruh kerok inilah proses kerok dan cuci (remukan) dilakukan. Rumitnya motif batik membuat buruh harus bekerja ekstra hati-hati. Karena malam yang dikerok harus sesuai perencanaan pewarnaan bukan sembarang motif dan tidak boleh melukai malam dimotif lain yang tidak ingin dikerok. Proses kerok dilakukan dengan menggunakan potongan blek (kaleng) seperti penggaris yang dilengkungkan. Sisi yang melengkung sebelumnya diasah terlebih dahulu agar tajam. Kehati-hatian sangat diperlukan karena jika pelan-pelan maka motif yang dikerok tak bersih sempurna sedangkan jika terlalu kuat selain bisa mengenai motif disebelahnya kain juga bisa sobek. Apabila kain sobek maka si buruh harus bersedia membeli kain tersebut. Tahap berikutnya, kain yang sudah selesai dikerok dicuci, dimulai dengan merendamkannya pada larutan kimia kostik. Setelah 30 menit, kain dibentangkan disebidang lantai, disikat dengan sapu lidi hingga malam disisi kain satunya yang belum dikerok terkelupas. Jika telah bersih kain kemudian dibilas dan dijemur. Setelah kain kering, kain dicek satu persatu. Terkahir kain ini di kembalikan ke juragan untuk proses selanjutnya. Sistem kerja buruh ini termasuk kedalam sistem produksi Putting Out System. Yakni sebuah sisitem yang pelaksanaan produksinya dilakukan tidak dalam industri itu tetapi dibawa keluar dan biasa dikerjakan dalam rumah tangga yang melibatkan anggota
rumah tangga. Maka buruh yang bekerja dengan sistem ini bukan dinamakan buruh biasa melainkan buruh putting out. Buruh kerok batik cap yang bekerja dengan sistem puttingout di industri rumahan batik “Sidomulyo” Tirtodipuran Yogyakarta ini selanjutnya akan disebut sebagai buruh kerok. Upah pengerjaan untuk tiap kain terhitung murah belum lagi itu akan terkena potongan bila kain hasil kerok dan remuk tak sempurna, bahkan tak dibayar bila jumlah keruskan banyak. Denda akan diberlakukan bila kain sobek. Pengerjaan remuk menggunakan larutan kimia caustik yang limbahnya menjadi resiko bagi buruh. Potensi kecelakaan saat membawa kain dengan sepeda juga menghantui buruh ini. Meski upahnya rendah dan banyak resiko kerja yang harus ditanggung, buruh tetap bertahan demi melanjutkan hidup. Lantas bagaimana strategi buruh untuk bertahan hidup. Oleh karenanya perlu dilakukannya penelitian secara mendalam, mendetail dan komprefensif dalam kerangka sosiologis guna mengkaji hal-hal yang menarik peneliti seperti yang telah disebutkan diatas.
1.2
Rumusan Masalah Dari pemaparan diatas peneliti menarik kesimpulan untuk fokus penelitiannya, yakni: Bagaimana strategi buruh kerok untuk bertahan hidup?
1.3
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1.3.1 Mendeskripsikan secara mendalam dan menjelaskan tentang strategi buruh kerok untuk bertahan hidup?
1.3.2 Memahami kehidupan keseharian buruh kerok sehingga dapat mengungkap bagaimana strategi buruh kerok untuk bertahan hidup.
1.4
Manfaat Penelitian 1.4.1 Memperoleh gambaran sosiologis sekaligus memberi wacana mengenai kehidupan buruh kerok batik cap yang bekerja dengan sistem putting-out di industri rumahan batik “Sidomulyo” Titrtodipuran Yogyakarta. 1.4.2 Memberikan sumbangsih secara akademis karena belum banyak penelitian tentang buruh kerok batik cap.
1.5 Kerangka Teoritis 1.5.1 Startegi Bertahan Hidup Berabagai motif bekerja yang sebelumnya dijelaskan menunjukan bahwa individu memiliki kecerundungan untuk memenuhi tuntutan kebutuhan hidupnya agar hidupnya dapat terus berjalan (survive). Maka dari itu masing-masing individu memiliki strategi bertahan hidup yang berbeda-beda dengan sumber daya yang berbeda-beda pula. Strategi bertahan hidup atau coping strategies merupakan cara untuk mengatasi kesulitan hidup. Resmi Setia mengutip penjelasan Erik Snel dan Richard Staring dalam buku Poverty, Migration and Coping Strategies : an Indtroduktion, mereka berdua sepakat bahwa strategi bertahan hidup merupakan rangkaian tindakan yang dipilih secara sadar oleh individu dan rumah tangga yang miskin secra sosial ekonomi (Setia, 2005 : 6).
Individu yang melakukan strategi ini berusaha untuk menambah penghasilan lewat pemanfaatan sumber-sumber lain ataupun mengurangi pengeluaran. Cara individu menyusun strategi dipengaruhi oleh posisi individu atau kelompok dalam struktur masyarakat, sistem kepercayaan, dan jaringan sosial yang dipilih, termasuk keahian dalam memobilisasi sumber daya yang ada, tingkat keterampilan, kepemilikan aset, jenis pekerjaan, status gender dan motivasi pribadi (Setia, 2005 : 6). Kepercayaan dari orang lain atas jaringan dan sumberdaya yang dimiliki turut membantu individu dalam menyusun strategi bertahan hidup. Dalam menyusun strategi individu tidak hanya menggunakan satu strategi. Snel dan Staring menjelaskan bahwa ada kecerendungan pelaku-pelaku atau rumah tangga untuk memiliki pemasukan dari berbagai sumber daya yang berbeda, karena pemasukan tunggal terbukti tidak memadai untuk menyokong kebutuhan hidupnya (Setia, 2005 : 7). Perpaduan strategi-strategi itu disebut sebagai multiple strategies.
1.5.2 Berbagai
motif
yang
melatarbelakangi
seseorang
untuk
bekerja
mempertahankan hidupnya Motif utama karyawan bekerja biasanya kebutuhan ekonomi yang mendesak diman berkaitan langsung dengan kelangsungan hidupnya. Kebutuhan ini dibuat semakin mendesak oleh fakta bahwa si karyawan itu tidak punya cara lain untuk mendapat nafkah selain melalui pabrik itu (Schneider, 1986 : 49). Mencari nafkah menjadi alasan utama seseorang bekerja dan merupakan reward yang paling diharapkan. Reward atau ganjaran yang buruh dapat bermacammacam, apapun yang bernilai positif dan didapat dari orang lain masuk dalam
kategori reward (Rachmad, 2008 : 189). Upah digunakan pekerja untuk menafkahi diri dan keluarganya bertahan hidup. Alasan ekonomi, memenuhi kebutuhan anak, mengatasi kebosanan dirumah, berteman, senang dengan pekerjaan tersebut dan mengejar status adalah beberapa alasan orang bekerja untuk pertama kali (Parker, 1985 : 50). Jumlah dan usia anakanak dalam keluarga serta status sosial ekonomi suami menjadi faktor bekerjanya wanita yang telah menikah (Schneider, 1986 : 528). Manusia termotifasi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, terutama kebutuhan yang amat mendesak atau kebutuhan dasar agar dapat mempaertahankan hidupnya. Seseorang terus berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya mulai yang paling dasar hingga yang sekedar untuk memuaskan diri dengan bekerja. Maslow merumuskan lima tingkatan kebutuhan hidup manusia, yaitu : a.
Physiological Needs. Kebutuhan fisiologis yang merupakan kebutuhan paling mendasar atau basic human needs, seperti udara, makan, minum, air, tidur dan lain sebagainya.
b.
Safety and scurity needs. Kebutuhan akan rasa aman seperti pada keamanan psikologi, keamanan kerja, kemanan kesehatan, keamanan keluarga sumber daya.
c.
The Love and Belonging Needs. Manusia membutuhkan rasa dimiliki dan diterima, apakah datang dari kelompok sosial yang luas (kelompok, kantor, perkumpulan keagamaan, organisasi profesional, tim olahraga, geng, dan lainlain.) atau koneksi sosial yang kecil (anggota keluarga, pasangan, mentor, teman kuliah, sahabat karib).
d.
The Esteem Needs.
Menurut Maslow, semua manusia membutuhkan
penghargaan, menghargai diri sendiri, dan juga menghargai orang lain. Orang perlu melibatkan diri untuk mendapatkan pengakuan dan mempunyai kegiatan atau kontribusi kepada orang lain dan juga nilai diri, baik di dalam pekerjaan ataupun hobi. Tingkatan penghargaan yang lebih rendah terkait dengan unsurunsur ketenaran, rasa hormat dan kemuliaan. Tingkatan yang lebih tinggi mengikat pada konsep kepercayaan diri, kompetensi, dan prestasi. e.
Self Actualization Needs. Aktualisasi diri adalah kebutuhan naluriah manusia untuk memanfaatkan kemampuan mereka yang unik dan berusaha menjadi yang terbaik. Dengan bekerja seseorang secara langsung memenuhi lima kebutuhan
tersebut. Ia memperoleh gaji dan membelanjakannya untuk kebutuhan dasarnya, maka Physiological Needs terpenuhi. Secara psikologis seseorang akan merasa lebih tenang bila memperoleh penghasilan tetap tiap bulannya dan memenuhi kebutuhan ekonominya. Rasa tenang ini tergolong dalam Safety and scurity needs. Bekerja juga membuat seseorang merasa dihargai oleh lingkungan sosialnya, pengakuan dari lingkungan sosial atas kinerjanya merupakan penghargaan penting bagi diri seseorang diman itu menyangkut harga dirinya. Karenanya kebutuhan akan The Love and Belonging Needs dan The Esteem Needs dapat terpenuhi. Bila seseorang serius dengan pekerjaannya dan amat mencintai pekerjaannya maka ia akan memanfaatkan kesempatan kerja itu untuk menjadi yang terbaik. Bila itu terjadi maka Self Actualization Needs juga akan terpenuhi.
1.5.3 Macam sistem produksi dalam industri serta kelebihan dan kekurangan sistem putting-out Industri mempunyai banyak sistem produksi antara lain sistem gilda, sistem putting-out dan pabrik. Sistem gilda merupakan sistem produksi pertama dalam industri. Setelah sistem ini berjalan cukup lama kapitalis merasa bahwa sistem gilda memiliki kekurangan. Kekurangan sistem gilda yakni tidak memadai dan terlalu mahal untuk memenuhi kebutuhan akan komoditi. Padahal permintaan terus meningkat
dan
gilda
tetap
mempertahankan
nilai
tradisionalnya
yaitu
mempertahankan besar gaji dan kualitas serta membatasi jumlah pekerja dalam pabriknya (Schneider, 1986 : 41). Untuk mengatasinya pengusaha membuat sistem kerja baru yakni sistem putting-out. Sistem ini mempunyai banyak nama antara lain putting out system, cottage industry, domestic system dan perindustrian rakyat (Schneider, 1986 : 41). Dalam sistem ini kapitalis menempuh dua cara dengan kekuasaannya atas gildagilda, yakni mengubah para pengerajin menjadi pekerja gajian, dan mencari pekerja diluar sistem gilda. Ketika ia mencari alternatif tenaga kerja, biasanya ia berpaling ke pedesaan. Petani yang terhimpit kebutuhan ekonomi tertarik pada sistem ini. Putting-out muncul pada abad ke 13 pada industri wol di Inggris, tetapi perkembangan terbesar terjadi anatara pertengahan abad ke 15 dan pertengahan abad ke 18, jadi sistem ini berdampingan dengan sistem gilda dan sistem pabrik (Schneider, 1986 : 41). Pekerja putting-out sistem biasanya memiliki perkakas sendiri hal ini terjadi di mana-mana, perkakas tersebut sederhana dan tidak mahal. Akan tetapi terkadang
juragan menyediakan perkakas kepada pekerja dan dalam hal ini si pekerja sama sekali dipisahkan dari sarana produksi. Terlepas dari apakah juragan memiliki perkakas produksi atau tidak, juragan selalu menyediakan bahan mentah dan memiliki seluruh barang jadinya. Tidak seperti karyawan penuh (journeyman) atau magang, pekerja puttingout sistem tidak terikat peraturan seperti sistem gilda. Kewajiban juragan dan pekerja terhadap satu sama lain hanyalah sekedar pemberian upah dan penyerahan barang jadi. Kontrol dilakukan dengan hutang dan buruh diusahakan untuk tidak memiliki perkakas melainkan juragan yang menyewakan perkakas. Itu merupakan trik dari pengusaha tersebut agar buruh menjadi bergantung sepenuhnya pada mereka. Pekerjaan lebih sering dilakukan di rumah dan menjadi urusan keluarga. Misalnya pekerjaan menenun di rumah penenun, istri dan anak prempuan memintal benang, anak laki-laki menyisiri wol, sedangkan bapak bekerja pada perkakas tenun. Hubungan sosial dalam putting out system cenderung mirip dengan hubungan sosial keluarga petani desa. Keluarga seperti menjadi setengah petani dan setengah buruh (Schneider, 1986 : 43). Lambat laun sistem putting-out mengarah pada eksploitasi wanita dan anakanak. Seperti yang terjadi di New York bagian timur di abad ke 17 (ibid). Kerugian putting out ada pada buruh, buruh dibayar berdasarkan jumlah barang yang dibuat atau yang dikerjakan bukan berdasarkan jumlah tenaga yang mengerjakannya, padahal bagian produksi dilakukan bersama-sama dalam keluarga. Ditengah permintaan barang yang terus meningkat dan diikuti oleh permintaan kualitas oleh konsumen, sistem putting-out justru lama kelamaan
merugikan juragan.
Menurut si juragan yang menggunakan putting out sistem,
sistem ini sangat tidak efisien karena sulit mengawasi pekerjaan para pekerja yang terpencar-pencar. Mereka merugi karena pemborosan dan penyelewengan. Karenanya kapitalis ini membuat sistem baru. Sistem itu ialah sistem pabrik. Sistem yang muncul dipertengahan abad ke 18 ini memiliki banyak kelebihan. Pertama, menigkatkan produksi. Kedua, memperbaiki kualitas dan daya tahan barang-barang yang diproduksi. Ketiga, menggantikan tenaga manusia, yaitu dengan menggantikan tenaga terampil dengan para tenaga kerja tidak terampil. Keempat, mengurangi biaya produksi dan meningkatkan keuntungan. Keuntungan ini siap diinvestasikan ke usaha lain. Kapitalis menjalankan proses produksi bukan dengan membeli atau menggaji tenaga kerja. Melainkan dengan tenaga kerja dibeli berdasarkan harga yang ditentukan oleh hukum penawaran dan permintaan, yakni jumlah tenaga kerja yang ditawarkan untuk dijual dan dibutuhkan si pengusaha secara bersama-sama menentukan besaran gaji. Pengusaha hanya bertanggung jawab atas pemberian gaji, selesai. Hal-hal diluar itu pengusaha tidak bertanggung jawab (Schneider, 1986 : 47). Keserakahan dan kelicikan kapitalis berlanjut hingga munculnya jubah baru sistem ini, yaitu sistem kerja outsourcing yang sekarang kita kenal. Outsourcing atau sistem alih daya merupakan sistem kerja dimana pemborongan pekerjaan dilakukan melalui perusahaan pemborong. Tenaga kerja direkrut dan dikontrak oleh sebuah perusahaan penyedia jasa untuk dipekerjakan di perusahaan lain yang membutuhkan jasa. Dengan menejemen terpisah serta kelengkapan kerja yang terpisah pula. Di perusahaan lain ini pekerja tidak
ditempatkan berdasarkan jenjang karir seperti operator telepon, tenaga kebersihan dan berkembang hingga ke kegiatan produksi perusahaan. Perusahaan yang menggunakan tenaga kerja outsourcing tidak perlu repot menyediakan fasilitas maupun tunjangan makan, asuransi kesehatan dan sebagainya karena itu meupakan tanggung jawab perusahaan penyedia jasa (perusahaan induk buruh) yang mengontrak mereka. Perusahaan induk ini juga memotong gaji buruh. Banyak buruh yang tidak tahu berapa besar potongan upah yang dikenakan perusahaan induk, tak ada tranparansi dalam pemberian besaran gaji. Buruh sangat terikat dengan kontrak kerja pada perusahaan penyedia jasa, bila perusahaan pengguna jasa tidak lagi membutuhkan jasa buruh, maka buruh dapat di PHK. Artinya masa kerja kadangkala tidak sesuai dengan perjanjian dikontrak.
1.5.4 Dominasi Kapitalis atas Proletar : Eksploitasi Dari berbagai sistem produksi yang telah dikekmukakan sebelumnya, diketahui bebrapa hal tentang hubungan antara buruh dan majikan. Perubahan sistem produksi tersebut merupakan bentuk evolusi sistem ekonomi kapitalis yang diterapkan kedalam sistem produksi. Maksimalisasi keuntungan oleh pemilik perusahaan dengan menekan biaya produksi membuat tenaga buruh tereklpoitasi. Berikut penjelasan bagimana buruh dapat tereksploitasi. Buruh begitu bergantung dengan pemilik peusahaan karena, buruh merupakan para pekerja yang menjual tenaga kerja mereka dan tidak memiliki alat produksi yang Marx sebut sebagai kaum “proletariat”. Jadilah upah hasil menjual tenaga menjadi satu-satunya sumber untuk memenuhi kebutuhan. Upah yang amat berharga bagi proletar ini berasal dari majikan yang memiliki alat produksi atau
kapital. Kapital (modal) adalah uang yang menghasilkan uang yang lebih banyak lagi. Maka majikan ini dinamakan “kapitalis”. Ketergantungan itu Marx anggap sebuah ironi, Marx seperti yang dikutip dari tulisan Ritzer menjelaskan bahwa sebagai seorang buruh bebas, buruh dapat menjual tenaga kerjanya sebagai komoditasnya sendiri, dan disisi lain dia tidak mempunyai komoditas lain untuk dijual, kekurangan segala sesuatu yang diperlukan untuk mewujudkan tenaga kerjanya” (Ritzer, 2012 : 100). Selain ironi itu, Marx percaya bahwa para pekerja harus menerima syaratsyarat yang ditawarkan para kapitalis kepada mereka meski hal itu merugikannya, karena para pekerja tidak lagi menghasilkan kebutuhan-kebutuhan mereka sendiri. Hubungan antara majikan kapitalis dan buruh sangat bersifat ekonomis, sama sekali terlepas dari pengaruh ikatan sosial ekonomi yang bersifat manusiawi dan lunak (Johnson, 1986 : 143). Hubungan kapitalis dan proletar merupakan hubungan kekuasaan : yang satu berkuasa atas yang lain (Magnis, 2000 : 115). Hubungan yang pada hakikatnya merupakan hubungan penghisapan atau eksploitasi (Dwi, 2005 : 37). Akibatnya, pekerja menjadi suatu komoditi dalam pasaran tenaga kerja yang tugasnya membantu kapitalis memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Sang kapitalis membayar para pekerja lebih sedikit dari nilai yang dihasilkan para pekerja dan menyimpan sisanya untuk dirinya sendiri. Kecurangan seperti itu menghasilkan konsep Marx mengenai nilai surplus, yang didefinisikan sebagai perbedaan antara nilai produk ketika dijual dan nilai unsur-unsur yang dihabiskan dalam pembuatan produk itu (termasuk tenaga kerja sang pekerja).
Buruh mampu memproduksikan nilai tukar lebih banyak dari pada yang diminta untuk mempertahankan nilai tukarnya itu. Artinya, seorang pekerja mampu memproduksi jumlah komoditi dengan nilai tukar yang jauh lebih besar daripada nilai tukar makanan, pakaian, perumahan dan lain-lain yang perlu untuk mmepertahankan hidup dan untuk memperoleh tenaga kerja yang lebih banyak lagi. Tambahan atau kelebihan dari prasyarat kelangsungan hidup buruh dan pemulihan tenaganya kembali merupakan “nilai surplus”. Jika dengan bekerja selama enam jam buruh mampu menghasilkan nilai tukar kebutuhan hidupnya dan keluarga, padahal jam kerjanya enam jam, maka sisa nilai tukar enam jam itu merupakan nilai surplus. Kapitalislah yang menekmati nilai surplus tersebut. Buruh tidak dapat menarik keuntungan kecuali untuk memenuhi kebutuhan fisik mereka saja. Nilai surplus digunakan para kapitalis untuk memperluas perusahaan. Nilai surplus bukan hanya konsep ekonomi. Nilai surplus seperti modal adalah suatu relasi sosial khusus dan suatu bentuk dominasi, karena tenaga kerja adalah sumber nyata nilai surplus. Oleh karena itu, Marx seperti yang dikutip dari Ritzer menganggap tingkat nilai surplus adalah suatu ungkapan saksama untuk derajat eksploitasi tenaga kerja oleh modal, atau eksploitasi pekerja oleh sang kapitalis (Ritzer, 2012 : 101). Iming-iming ekspansi bisnis, para kapitalis ketagihan mengumpulkan nilai surplus. Kondisi itu menuju apa yang di sebut Marx sebagai akumulasi ekspansi dimana para kapitalis berusaha mengeksploitasi para pekerja sebanyak mungkin. Bagi Marx seperti yang dikutip dari Ritzer, tendensi terus-menerus modal ialah memaksa biaya tenaga kerja kembali menuju nol (Ritzer, 2012 : 102). Ketingkat
dimana pekerja hanya dapat sekedar mempertahankan hidup dengan bekerja dalam jumlah jam sebanyak mungkin. Karena penawaran dari tenaga kerja manusia melebihi permintaan kapitalis, maka hukum permintaan dan penawaran dalam ekonomi menjamin bahwa upah buruh akan tetap serendah mungkin. Upah baru akan diberikan agak tinggi sekedar menarik kaum buruh untuk menjual tenaga kerja mereka. Namun kaum buruh hampir tidak memiliki alat produksi, jadi satu-satunya pilihan mereka adalah menawarkan tenaga mereka dengan upah yang ditentukan oleh majikan kapitalis itu supaya dapat bertahan hidup (Johnson, 1986 : 143). Eksploitasi itu tidak begitu terlihat sebagai masalah kekuasaan dan lebih banyak sebagai masalah grafik dan perhitungan ekonomi. Selanjutnya, pemaksaan jarang berupa paksaan yang terang-terangan dan malah berupa kebutuhan pekerja itu sendiri (Ritzer, 2012 : 100). Terjabaklah buruh yang lemah dalam jebakan eksploitasi kapitalis.
1.6
Studi Penelitian Terdahulu Berikut ini adalah beberapa penelitian yang berhubungan dengan penelitian yang telah dilakukan beberapa peneliti : 1.6.1 Strategi Bertahan Hidup dan Modal Sosial Buruh Pabrik : Kajian Sejarah Kehidupan Empat Orang Buruh Pabrik di Desa Sukapura Jakarta Utara Skripsi Reza Rahman El-Hakim mahasiswa Sosilogi UGM ini dipilih sebagai tinjauan pustaka karena memiliki cukup banyak kesamaan dengan penelitian ini. Antara lain subjek penelitian sama-sama buruh, salah satu objeknya adalah sejarah
kehidupan buruh serta pendekatan penelitian juga memiliki kemiripan yaitu Oral History. Reza tinggal bersama seorang narasumbernya selama satu bulan agar berada dekat dengan lingkungan tiga buruh lainnya. Ada tiga hal yang Reza teliti adalah bagaimana strategi buruh untuk bertahan hidup, bagaimana modal sosial terbentuk sehingga berperan dalam membantu buruh bertahan hidup, serta apakah pembentukan modal sosial itu melampaui nilai dan norma yang berlaku dalam kehidupan buruh. Metode pengumpulan data yang Reza gunakan sama dengan yang peneliti gunakan yakni, wawancara mendalam, observasi serta studi literatur. Wawancara ia lakukan sebanyak dua kali untuk setiap buruh. Perbedaannya skripsi Strategi Bertahan Hidup dan Modal Sosial Buruh Pabrik dengan penelitian ini yaitu, pertama, buruh pada skripsi Reza merupakan buruh pabrik sedangkan buruh yang menjadi subjek penelitian ini merupakan buruh putting-out. Kedua, pendekatan yang Reza gunakan ialah oral history sedangkan penelti menggunakan life history walaupun sedikit berbeda pendekatan-pendekatan ini sama-sama melihat sejarah kehidupan. Ketiga, bila Reza ingin mengetahui tentang strategi bertahan serta modal sosial, berbeda dengan penliti yang ingin tahu tentang alasan bruh bertahan dengan profesinya.
1.6.2 Peran Budaya Usaha Pada Paguyuban Batik Sekar Nitik, Kembangsongo, Trimulyo, Jetis, Bantul, Yogyakarta
Penelitian untuk skripsi ini dipilih sebagai tunjauan pustaka karena samasama berkaitan dengan batik asli Jogja yang notabene merupakan hasil budaya masyarakatnya serta dirasa lebih memiliki kedekatan lokasi karena penelitian tersebut dan penelitian Buruh Kerok Batik Cap Sidomulyo sama-sama berada di DIY. Rianti Septiana sang penulis menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif untuk mencari tahu bagaimana peran budaya usaha dalam perkembangan Paguyuban Batik Sekar Nitik. Rianti menggunakan wawancara serta observasi sebagai metode untuk mengumpulkan data. Cara Rianti menentukan narasumber yaitu dengan cara purposive. Rianti juga membahas faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kemadegan paguyuabn Batik sekar Nitik. Hasil penelitian menunjukan bahwa budaya usaha yakni aspek kerja keras, aspek perilaku, aspek keyakinan dan nilai-nilai sangat berperan dalam perkembangan paguyuban Batik Sekar Nitik. Jika Rianti lebih fokus pada Paguyuban Batiknya maka berbeda dengan peneliti yang fokus pada buruh batiknya yaitu buruh kerok batik. Objek penelitian Rianti dan peneleti juga berbeda. Objek penelitian Rianti adalah peranan budaya dalam paguyuban sedangkan peneliti objeknya adalah alasan buruh bertahan dengan profesinya.
1.7
Metodologi Penelitian 1.7.1 Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan peneliti adalah penelitian kualitatif. Menurut Gorman & Clayton (Santana, 2007:28), penulis kualitatif melaporkan meaning of events dari apa yang diamati penulis. Laporannya berisi amatan berbagai kejadian dan interaksi yang diamati langsung penulis dari tempat kejadian. Penulis teribat secara partisipatif di dalam observasinya. Ia berada dan
hadir dalam kejadian
tersebut. Karakter penelitian kualitatif : a. Sumber data didapat dari setting natural, melalui observasi, wawancara bebas, menghubungkan langsung dengan situasi subyek penelitian. b. Peneliti menjadi instrumen kunci dalam mendapatkan data. c. Data sangat deskriptif dituangkan dengan rinci dan dalam, fokus pada objek, kualitas data dan informasi tinggi. d. Penelitian kualitatif mementingkan proses dan produk, latar belakang perbuatan, memahami perilaku manusia dalam konteks yang lebih luas. Menggambarkan dan menginterpretasi objek sesuai dengan apa adanya. Metode kualitatif merupakan metode yang digunakan untuk mengungkap dan memahami sesuatu dibalik suatu fenomena sosial dalam masyarakat. Secara garis besar ada dua tujuan penelitian kualitatif yaitu, menggambarkan dan mengungkapkan (to describe and explore) dan menggambarkan dan menjelaskan (to describe and explain).
1.7.2 Pendekatan Penelitian Untuk mempermudah analisis peneliti menggunakan pendekatan life history. Metode life history atau yang juga dikenal dengan metode pengalaman pribadi terfokus pada empat arah secara bersamaan. “Batin dan lahir” (iward & outward) dan “maju dan mundur” (backward & forward). Istilah “batin” (inward) mengandung arti kondisi internal berupa perasaan, harapan, reaksi estetis, sikap moral, dan seterusnya. Istilah “lahir” (outward) berarti kondisi-kondisi eksisitensial manusia; lingkungan yang oleh E.M Brunner (1986) disebut sebgai “realitas”. Sedangkan istilah backward dan forward mengacu pada temporalitas masa lalu, masa kini, dan masa depan (Denzin, 2009 : 576) Ujung tombak life history adalah data pengalaman individu. Data tersebut berisi keterangan mengenai apa yang dialami oleh individu-individu tertentu sebagai warga dari suatu masyarakat yang sedang menjadi objek penelitian berupa reaksi, tanggapan, dan pengelihatan para warga terhadap suatu masalah yang dihadapi. Kegunaan data ini salah satunya untuk mendapat gambaran detail tentang pengalaman individu, misalnya masalah kemiskinan. Berikut alur penelitian yang akan dilewati peneliti dengan pendekatan life history sesuai yang dipaparkan Koentjaraningrat dalam bukunya Metode-metode Penelitian Masyarakat pada bab metode penggunaan data pengalaman individu : a.
Memilih beberapa keluarga dalam populasi subyek.
b.
Beberapa keluarga yang sudah dipilih diobservasi dan diwawancarai.
c.
Dari beberapa diantara keluarga tadi diseleksi lagi untuk diwawancarai mengenai pengalaman hidup mereka secara kronologis.
d.
Mereka juga diwawancarai mengenai peristiwa-peristiwa tertentu dan selama satu dua minggu diwawancarai untuk mengkonstruksi kejadian-kejadian hari kemarin.
e.
Dari mereka dikumpulkan sebanyak mungkin data dan dokumen biografis.
f.
Hasil wawancara dari recorder ditranskripsi/diterjemahkan.
g.
Seluruh data disusun secara kronologis dan diredaksi
h.
Dimana perlu diadakan wawancara ulang untuk mengisi lowongan-lowongan dalam data dan keterangan yang terlupakan.
i.
Redaksi terkahir dilakukan sekalian dengan prsiapan naskah life history untuk dipublikasi Dengan metode ini diharapkan temuan-temuan empiris dapat dideskripsikan
secara lebih rinci, lebih jelas dan mendalam, terutama berbagai hal yang berkaitan dengan strategi buruh untuk bertahan hidup. 1.7.3 Lokasi dan Setting Penelitian 1.7.3.1 Lokasi Penelitian Lokasi penelitian berada di dua wilayah yakni wilayah Kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul. Kota Yogyakarta dipilih berdasarkan beberapa pertimbangan, antara lain : 1) Merupakan salah satu penghasil Batik ternama di Indonesia sejak dulu. 2) Masih terdapat banyak industri batik disana, salah satunya industri batik “Sidomulyo” yang berada di jalan Tirtodipuran Yogyakarta. 3) Jalan Tirtodipuran yang masih berada di
kawasan Prawirotaman sejak dahulu termashur sebagai sentra industri batik di Kota Yogyakarta. 4) Mudah dijangkau oleh peneliti. Sedangkan kabupaten Bantul dipilih karena merupakan lokasi tinggal buruh kerok batik cap yang bekerja di industri batik “Sidomulyo”. Tepatnya di kampung Menayu Lor dusun Jeblog kecamatan Kasihan Bantul. Rute pengambilan kain batik cap dari rumah industri di Kota Yogyakarta menuju rumah buruh di Kasihan Kabupaten Bantul juga tak luput dari perhatian peneliti.
1.7.3.2 Setting Penelitian Buruh mengerjakan kegiatan kerok malam bukan di rumah industri batik Sidomulyo tetapi di kediaman mereka masing-masing di Kampung Menayu Lor, Dusun Jeblog, Kecamatan Kasihan Bantul. Kampung Menayu Lor, kampung dimana delapan buruh kerok bermukim merupakan perkampungan asri, dengan perpaduan rumah modern, semi modern dan rumah jaman dahulu. Delapan buruh yang tergabung dalam tiga kelompok kerja dan juga tergabung dalam tiga keluarga memiliki tempat mengerok dan meremuk sendiri-sendiri. Tempat mengerok keluarga pertama adalah pelataran belakang rumah yang beratapkan seng, dekat kandang ternak dan kebun merupakan tempat bekerja buruh kerok ini. Tempat mengerok keluarga buruh kedua berada di halaman rumah yang sekaligus kebun milik tetangga. Sedangkan keluarga ketiga mengerok di teras rumah yang berhadapan
langsung dengan jalan kampung. Untuk meremuk kain alias mencuci kain, hanya dua keluarga yang melakukannya. Kedua tempat meremuk yaitu kebun belakang rumah dan di bibir kali Widuri.
1.7.4 Subjek Penelitian Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode penentuan subjek purposif snowball. Purposif yakni dengan sengaja memilih subjek berdasarkan alasan-alasan diketahuinya sifat-sifat sampel (Sukharmat, 1989 :101). Metode Snowball yakni subjek yang dipilih berkembang mengikuti informasi yang disampaikan oleh subjek yang pernah diteliti sebelumnya, atau bisa pula subjek merupakan rekomendasi dari subyek yang pernah diteliti sebelumnya. Kedua metode ini penting untuk mencek dan ricek informasi yang telah didapat dari informan satu ke informan lain. Dalam penelitian ini individu sekaligus subyek tersebut ialah delapan buruh kerok batik yang bekerja di industri batik “Sidomulyo” Tirtodipuran Yogyakarta. Delapan buruh ini tergabung kedalam tiga kelompok kerja dan tiga keluarga. Dalam keluarga buruh pertama terdapat tiga anggota keluarganya yang bekerja sebagai buruh kerok yaitu Giyanti, Margowiyono, dan Sutani. Dalam keluarga buruh kedua terdapat dua anggota keluarganya yang berprofesi sebagai buruh kerok. Mereka adalah Tukirah dan Ponirah. Sedangkan didalam keluarga buruh ketiga ada tiga anggotanya yang bekerja sebagai buruh kerok. Ketiganya adalah Salimah, Wasinem dan Paiman. 1.7.5 Jenis dan Sumber Data
Sumber data yang digunakan peneliti ada dua, yakni sumber data primer dan sekunder. Sumber data primer atau sumber data utama diperoleh dari penelitian lapangan berupa field note dan rekaman wawancara mendalam dengan informan, profil riwayat hidup, catatan lapangan dari observasi serta dokumentasi lapangan. Data wawancara terbuka terdiri dari kutipan langsung dari orang tentang pengalaman, opini, perasaan, dan pengetahuannya (Quinn, 2006 : 1). Data observasi terdiri dari deskripsi mendalam mengenai suatu kegiatan dan perilaku para peserta kegiatan. Sedangkan sumber data sekunder didapat dari buku-buku, jurnal atau penelitian sebelumnya yang mempunyai kemiripan tema dan juga internet.
1.7.6 Metode Pengumpulan Data 1.7.6.1 Observasi Tidak Berperanserta Observasi ini ditujukan untuk mengamati cara buruh menjalankan sistem putting-out dengan fokus lokasi rumah juragan dan rumah buruh. Antara lain, peneliti mengamati jam datang buruh ke rumah juragan, jam ia pulang, hari apa saja buruh ke rumah juragan, mengamati jumlah kain dan barang apa saja yang buruh bawa serta situasi, kondisi jalan yang buruh lewati dari rumahnya menuju rumah juragan serta siapa saja yang keluar masuk rumah juragan. Observasi di sekitar rumah juragan dilakukan dari tanggal 24-30 Januari 2014 pada pukul delapan hingga sebelas siang. Di rumah buruh, peneliti mengamati kondisi rumah buruh, lingkungan sekitarnya, interaksi sosial antar anggota keluarga dan tetangga buruh.
1.7.6.2 Observasi Berperanserta Observasi berperan serta dilakukan setelah peneliti memperkenalkan diri pada subjek penelitian. Observasi ini dilakukan agar peneliti bisa memahami dan memperoleh jawaban langsung atas alasan buruh bertahan dengan profesinya. Karena berada sangat dekat dengan subjek peneliti bisa merasakan situasi sosial, suasana yang dialami oleh subjek secara lengkap, mengetahui sikap, tingkah laku dan perasaan yang paling dalam dari subjek penelitian. Berikut beberapa hal dimana peneliti turut ambil peran dalam kerja dan kehidupan keluarga buruh. Membantu buruh menjemur kain saat proses remukan sebanyak lima kali, ikut kesawah serta menyiram tanaman, bermain bersama cucu-cucu buruh, makan siang bersama keluarga buruh, mengobrol bersama tetangga buruh hingga membantu buruh memberi makan ayam dan mengkap ayam peliharaan buruh. Observasi berperanserta dilakukan sebanyak dua puluh kali. Keluarga buruh pertama diamati sebanyak sembilan kali dengan periode tidak menentu mulai Januari-September 2014. Untuk keluarga buruh kedua peneliti melakukan observasi berperan serta sebanyak tujuh kali dengan frekuensi tatap muka yang juga tidak ajeg mulai dari Juni hingga September 2014. Sedangkan keluarga buruh ketiga diobservasi secara berperanserta sebanyak empat kali mulai dari akhir Juni hingga September 2014. Karena lokasi rumah buruh saling bedekatan, dalam satu hari peneliti bisa mengamati dua keluarga sekaligus.
Alat bantu yang peneliti gunakan saat observasi baik observasi yang tidak berperan serta dan observasi yang berperanserta adalah kamera. Foto yang diambil saat observasi membantu mempelajari hasil observasi lebih seksama. Hal itu dikarenakan mungkin ada sesuatu yang luput dari perhatian peneliti saat observasi dan hal itu diingatkan oleh foto. Foto juga berguna dalam “mencatat” hal-hal seperti wajah orang, tempat tinggal dan lingkungan alam dari suatu masyarakat (Koentjaraningrat, 1989 : 122).
1.7.6.3 Wawancara Mendalam Wawancara ini dilakukan secara intensif dan berulang-ulang dengan maksud mendapatkan gambaran lengkap tentang alasan buruh bertahan pada profesinya sebagai buruh kerok. Wawancara mendalam yang dilakukan menggunakan beberapa ragam wawancara yang dikombinasikan sesuai situasi dan kondisi tertentu yang dihadapi peneliti, yakni wawancara tertutup, wawancara terbuka, wawancara terstruktur dan wawancara riwayat secara lisan. Wawancara tertutup dimana subjek tidak mengetahui kalau sedang diwawancarai dilakukan pada buruh kerok, beberapa anggota keluarganya, serta karyawan koperasi batik PBBI. Wawancara ini dilakukan secara spontan tanpa panduan mengikuti kodisi dan topik perbincangan pada saat itu namun tetap mengarah pada keingintahuan peneliti tentang bagaimana kondisi keluarga, sistem kerja dan upah dan tentunya alasan buruh bertahan. Untuk Karyawan koperasi PBBI, wawancara diujukan untuk
memperoleh data tentang jumlah juragan batik di sekitar Kota Yogyakarta bagian selatan. Sedangkan wawancara terbuka dimana subjek menyadari dan tahu tujuan dari wawancara dilakukan pada juragan dan buruh kerok. Pada wawancara terbuka peneliti menggunakan interview guide (lihat interview guide pada lampiran) dengan kata lain peneliti menggabungkan teknik wawancara terbuka dengan wawancara terstruktur. Penggabungan itu ditunjukan ditujukan untuk menngecek dan ricek informasi sebelumnya yag telah didapat dari obervasi, observasi berperan serta dan wawancara tertutup. Pada 28 Mei 2014 peneliti mewawancarai pengurus harian Sidomulyo ibu Kun Maryati. Untuk buruh kerok wawancara dilakukan per kelompok kerja. Kelompok kerja pertama dengan anggota Giyanti, Margo dan Sutani diwawancarai sebanyak dua kali yaitu tanggal 26 Agustus 2014 dan 6 September 2014. Kelompok kerja kedua dengan anggota Tukirah dan Ponirah diwawancarai secara terbuka sebanyak satu kali pada 6 Sepetember 2014. Sedangkan kelompok kerja ketiga dengan anggota Salimah, Wasinem dan Paiman diwawancarai sebanyak satu kali pada 7 September 2014. Wawancara riwayat secara lisan yang ditujukan untuk mendapat profil yang lengkap dari subjek penelitian, berupa riwayat hidupnya, pengalaman, pekerjaanya dan kehidupan kesehariannya ini dilakukan pada buruh kerok. Delapan buruh diminta untuk menceritakan kisah hidupnya masing-masing satu kali. Peneliti meminta Margowiyono menceritakan kisah hidupnya pada
6 Juni 2014. Giyanti, Sutani dan Ponirah menceritakan riwayat hidupnya pada 9 Juni 2014. Tukirah menceritakan pengalaman dihidupnya pada 12 Juni 2014. Paiman dan Wasinem diwawancarai tentang kisah hidupnya pada 25 Juni 2014. Terakhir Salimah diwawancarai terkait sejarah hidupnya pada 21 Agustus 2014. Selain mencatat langsung poin-poin penjelasan narasumber, dalam wawancara peneliti menggunakan alat bantu recorder atau perekam suara. Perekam suara membantu peneliti dalam menuliskan kembali hasil wawancara agar tak ada penejelasan narasumber yang terlupakan.
1.8
Metode Analisis Data Metode yang dipakai adalah deskriptif analisis. Peneliti menganalisis berdasarkan hasil observasi, pengamatan terlibat, serta wawancara mendalam yang dijadikan sebagai data utama. Kemudian peneliti mencoba menafsirkan dan memaknai data tersebut dengan menggunakan kerangka teori yang telah ditentukan sebelumnya. Dimana makna dari data merupakan klimaks dari penelitian ini. Cara yang peneliti pilih untuk menyajikan pengalaman hidup buruh kerok yaitu dengan penulisan kisah keluarga. Dalam proses penuturan pengalaman terdapat reaksireflektif antara menghidupkan, menyampaikan, mengisahkan ulang, dan menghidupkan kembali sebuah kisah perjalanan hidup (life history) (Denzin, 2009 : 578). Kisah keluarga ini menonjolkan profil informan, keseharian, serta fakta dalam dan lebih menjelaskan halhal yang tidak dipertontonkan subjek penelitian kepada orang luar.