1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Globalisasi pada dasarnya bermula dari awal abad ke 20, yakni pada saat revolusi transportasi dan elektronika mulai memperluas dan mempercepat perdagangan antar bangsa. Disamping pertambahan dan kecepatan lalu lintas barang dan jasa, berkembang pula secara cepat globalisasi gagasan modern seperti negara, konstitusi, nasionalisme, kapitalisme, demokrasi, sekularisme, juga industri dan perusahaan media massa.1 Dengan makin meningkatnya perkembangan teknologi informasi yang menembus batas-batas geografis negara, diharapkan bangsa-bangsa akan menjadi lebih menyatu dalam mendorong bangsa tersebut mengidentifikasikan diri dengan cara-cara yang baru.2 Globalisasi membawa dua akibat atau makna. Di satu sisi melahirkan “dunia tanpa batas”, menimbulkan keunggulan kompetitif, di mana faktor-faktor lintas benua seperti teknologi, pendidikan, manajemen, disamping modal semakin menampilkan peranannya. Di sisi lain globalisasi membangkitkan reaksi balik atau countertrend. Selain terdapat hal positif yang bisa dimanfaatkan oleh setiap bangsa, khususnya di bidang teknologi, juga menyimpan kerawanan yang tentu saja sangat membahayakan dengan munculnya tindak pidana di dunia maya yang telah menjadi realitas masyarakat dunia.3
1
Abdul Wahid, 2005, Kejahatan Mayantara Cyber Crime, Refika Aditama, Bandung, hlm. 3. Ibid., hlm. 5. 3 Ibid., hlm. 12. 2
2
International Telecommunication Union (ITU), badan khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang bertanggung jawab untuk masalah yang berkaitan dengan teknologi komunikasi dan informasi, merilis statistik bahwa pada 2015 secara global terdapat 3,2 miliar orang yang bisa mengakses internet, dua milyar di antaranya berada di negara-negara berkembang. Dalam 15 tahun terakhir, teknologi informasi dan komunikasi telah tumbuh dalam cara yang belum pernah terjadi sebelumnya, penetrasi internet global berkembang tujuh kali lipat dari 6,5 persen menjadi 43 persen.4 Era digital di dunia perbankan tidak terhindarkan lagi dan Indonesia diramalkan akan mengalami transformasi besar di seluruh aspek sosial dan ekonomi, termasuk di dalamnya industri jasa keuangan khususnya perbankan. Dengan mengandalkan infrastruktur dan teknologi informasi yang sudah ada seperti perangkat berbasis internet, digital banking akan mampu mengurangi biaya operasional bank.5 Penyalahgunaan teknologi informasi seperti internet telah merambah kehidupan masyarakat sehingga menjadi masalah hukum pidana. Teknologi informasi dimanfaatkan untuk melakukan tindak pidana yang dikenal dengan nama “cyber crime” atau “tindak pidana dunia maya”. Tindak pidana ini merupakan tipologi tindak pidana baru yang membutuhkan pencegahan dan pemberantasan. 6
4
Redaksi, “Pengguna Internet Dunia Meningkat”, Koran Tempo, 29 Oktober 2015, hlm. 2. Romualdus San Udika, “Adu Langkah dengan Penjahat Siber”, Majalah Bloomberg Businessweek, 04 Oktober 2015, hlm. 15. 6 Teguh Sulistia, 2011, Hukum Pidana Horizon Baru Pasca Reformasi, RajaGrafindoPersada, Jakarta, hlm.125. 5
3
Semua perangkat yang terhubung ke internet, seperti personal computer, server, peralatan jaringan, perangkat mobile, dengan cepat menjadi korban “attack surface” yang jumlahnya terus meningkat. Serangan terhadap sistem komputer (cyberattack) merupakan masalah serius. Cyberattack dilakukan oleh pelaku profesional dan jumlahnya terus meningkat begitu juga dengan kecanggihan dan tingkat kerusakan yang ditimbulkan. Laporan McAfee serta Center for Strategic and International Studies menunjukkan biaya cybercrime yang menyerang sebuah perusahaan di Amerika Serikat diperkirakan mencapai $100 miliar per tahun, ditambah biaya tambahan global tahunan yang besarnya lebih dari $500 miliar.7 Pada dasarnya cybercrime meliputi semua tindak pidana yang berkenaan dengan sistem informasi, sistem informasi (information system) itu sendiri, serta sistem komunikasi yang merupakan sarana untuk penyampaian/pertukaran informasi kepada pihak lainnya (transmitter/originator to reciptient).8 Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan, Muliaman D Hadad menyatakan bahwa globalisasi dan perkembangan sektor keuangan yang pesat didukung makin berkembangnya teknologi informasi. Pentingnya penanganan tindak pidana perbankan berbasis teknologi sangat diperlukan untuk menghindari dampak pada risiko operasional yang dapat mempengaruhi penilaian pihak-pihak
7
8
Hugh Aston, “Know Yourself, Know Your Enemy;Menangkal Berbagai Jenis Gangguan Sistem Komputer”, Majalah Bloomberg Businessweek, 04 Oktober 2015, hlm. 5. McAfee adalah perusahaan perangkat lunak antivirus dan keamanan komputer yang berpusat di Santa Clara, California. Didik M. Arief Mansur dan Elisataris Ghultom, 2005, Cyber Law-Aspek Hukum Teknologi Informasi, Refika Aditama, Bandung, hlm.10.
4
independen di dunia internasional. Laporan Security Threat disebutkan bahwa Indonesia dianggap menjadi negara paling berisiko untuk mengalami cyber crime.9 Berdasarkan Convention on Cybercrime pada tahun 2001 di Budapest, menyebutkan tindak pidana teknologi informasi yang pertama ialah illegal access atau akses ilegal terhadap sistem dan perangkat internet. Menurut Convention on Cybercrime, illegal access atau akses ilegal merupakan perbuatan mengakses atau memasuki sebagian atau seluruh bagian dari sistem komputer tanpa izin. Seiring dengan kemajuan teknologi komunikasi, transportasi dan keterbukaan ekonomi serta kondisi politik, tindak pidana diakui telah bertransformasi
dari
sekedar
masalah
lokal/nasional
menjadi
masalah
internasional.10 Kegiatan cyber tidak lagi sederhana karena dibatasi oleh teritori suatu negara, yang mudah diakses kapan pun dan dari mana pun.11 Contoh tindak pidana akses ilegal adalah pada tanggal 23 Oktober 2015 tim terpadu Kejaksaan Agung dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), telah melakukan penangkapan terhadap Dimitar Nikolav Iliev seorang warga negara asing yang diduga melakukan tindak pidana perbankan dengan menggunakan teknologi baru. Dimitar Nikolav Iliev telah melakukan tindak pidana pada 1.568 kartu nasabah bank dengan kerugian 15 miliar euro atau sekitar Rp. 24 triliun.
9
10 11
Fitriya, “Hadapi Pasar Bebas ASEAN OJK Siapkan Strategi Tangani Cyber CrimePerbankan”,www.ipotnews.com/m/article.php?jdl=Hadapi_Pasar_Bebas_ASEAN_OJK_ Siapkan_trategi_Tangani_Cyber_Crime_Perbankan&level2=newsandopini&id=2878421&im g=level1_topnews_5&urlI, diakses 07 November 2015, Jam 0.33 Wib. Perusahaan keamanan internet Symantec mengeluarkan statistik mengenai kejahatan internet yang disebut dengan Security Threat. Retno Kusumastuti, “Saat Hubungan Semakin Erat. As the Relationship Becomes Closer”, Majalah Requisitoire, Volume 26 Tahun 2012, hlm. 31. Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 Tentang informasi Dan Transaksi Elektronik (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4843)
5
Komplotan tersebut menjadi buronan Europol karena menimbulkan kerugian sangat besar bagi korbannya di berbagai negara di Eropa. Pelaku membobol rekening para korban dengan menggunakan kartu Anjungan Tunai Mandiri (ATM) yang telah digandakan serta memasukkan kode rahasia yang didapatkan melalui alat skimmer. Menurut Wakil Jaksa Agung saat itu Andhi Nirwanto pelaku diduga melakukan beberapa tindak pidana salah satunya transfer informasi dan uang dengan menggunakan elektronik serta dapat dikenakan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.12 Permasalahan yurisdiksi hukum menjadi poin penting di dalam cyber crime khususnya mengenai tindak pidana akses ilegal, karena di dalam dunia virtual tempat dilakukan tindak pidana internet tidak terbatas pada teritorial suatu bangsa dan negara, sehingga cyber crime dapat digolongkan sebagai transnasional crime atau tindak pidana lintas batas negara. Jasa keuangan khususnya perbankan sering menjadi sasaran tindak pidana teknologi informasi khususnya tindak pidana akses ilegal terhadap sistem komputer. Contohnya ialah Syamsir Alamsyah yang melakukan transaksi pembayaran secara berulang kali di Hotel Grand Victoria Samarinda dengan cara pelaku menggunakan Debit Bank Negara Indonesia Card melalui mesin EDC (electronic data capture) yang dipasang pada merchant Hotel Grand Victoria secara off line sehingga data transaksi tidak terlihat. Pembobolan Bank BNI tersebut menyebabkan kerugian sebesar kurang lebih 4 milyar. Perkara tersebut terbukti
12
Redaksi,”Pembobol Rekening WNA di Bali Dibawa dari Serbia”, Kompas, 24 Oktober 2015, hlm. 4.
6
dengan Pasal 30 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.13 Perusahaan telekomunikasi besar juga menjadi sasaran dari tindak pidana teknologi informasi. Contoh perkaranya yaitu Ahmad Hanafi Alias Ifan dengan menggunakan peralatan PC (Personal Computer) rakitan, harddisk eksternal, modem dan laptop melalui jaringan internet berhasil masuk ke dalam beberapa server internal PT. Telkomsel untuk kemudian dapat terhubung pada server URP (Universal Recharge Platform) PT. Telkomsel sehingga pelaku dapat mengambil keutungan, yang mengakibatkan kerugian kurang lebih 11 milyar. Perkara tersebut terbukti dengan Pasal 30 ayat (1), (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yaitu akses ilegal dengan mengakses sistem komputer dengan tanpa hak atau melawan hukum.14 Teknologi yang tergolong baru di Indonesia mengenai keuangan digital berupa uang elektronik (digital cash) pun tidak luput dari tindak pidana teknologi informasi. Contohnya adalah Abd Rahman Saleh alias Upik berhasil memasuki sistem keamanan jaringan dari jasa keuangan digital yaitu T-Cash, uang senilai 72 juta dikirimkan ke rekening milik pelaku secara bertahap. Pelaku dapat ditangkap pada Maret 2015 di Kota Gorontalo.15 Contoh-contoh perkara tindak pidana di atas mempunyai beberapa kesamaan yaitu tindak pidana tersebut merupakan tindak pidana akses ilegal yang
13 14 15
Putusan PN No. 52/Pid.B/2011/PN.Smda, tanggal 28 Maret 2011. Putusan PN No. 133/Pid.B/2012/PN.Pwk, tanggal 15 Oktober 2012. Tro,“Rp.72JutaMasukRekeningBertahap”, http://www.gorontalopost.com/2015/10/20/rp-72juta-masuk-rekening-bertahap/diakses pada tanggal 24 November 2015, Jam 23.30 Wib.
7
menggunakan berbagai modus operandi, pengaturan tindak pidananya terdapat dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Persamaan yang lain ialah menggunakan alat bukti elektronik sebagai alat bukti utama dalam proses pembuktiannya. Alat bukti elektronik sebagai alat bukti lain dipertegas dalam Pasal 44 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang mengatur bahwa Informasi atau Dokumen Elektronik adalah alat bukti lain, yaitu alat bukti yang sah serta dapat diajukan ke pengadilan tetapi terlepas dari Pasal 184 Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang mengatur secara limitatif mengenai alat bukti. Dalam penyelesaian tindak pidana di bidang teknologi informasi, kondisi yang paperless (tidak menggunakan kertas) ini menimbulkan masalah dalam pembuktian mengenai informasi yang diproses, disimpan, atau dikirim secara elektronik. Informasi atau Dokumen Elektronik yang mudah diubah sering menimbulkan pertanyaan hukum mengenai keotentikan informasi atau dokumen yang dimaksud16. Keabsahan alat bukti elektronik di Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik terdapat dalam Pasal 6 yang menyebutkan : ....Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan.
16
Josua Sitompul, 2012, Cyberspace Cybercrimes Cyberlaw Tinjauan Aspek Hukum Pidana, Tatanusa, Jakarta, hlm.262.
8
Unsur “dijamin keutuhannya” menjadi penting dalam proses pembuktian mengingat Penjelasan Umum Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik menyatakan bahwa informasi elektronik ternyata sangat rentan untuk diubah, disadap, dipalsukan, dan dikirim ke berbagai penjuru dunia dalam waktu hitungan detik. Dengan demikian, dampak yang diakibatkannya pun bisa kompleks dan rumit.17 Menurut O. C. Kaligis yang menyatakan bahwa belum ada hukum positif Indonesia yang mengatur secara detail, komprehensif serta seragam mengenai keabsahan alat bukti elektronik yang dijamin keutuhannya, sehingga menyebabkan di dalam proses persidangan terjadi perbedaan pendapat dari keterangan ahli mengenai terjaminnya keutuhan alat bukti elektronik tersebut.18 Dalam
Peraturan
Pemerintah
Nomor
82
Tahun
2012
tentang
Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik tidak ditemukan pembahasan mengenai terjaminnya keutuhan bukti elektronik serta keabsahan dari alat bukti elektronik. Multi tafsir akibat dari pemaknaan unsur “dijamin keutuhannya” yang berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik bisa berpengaruh terhadap keyakinan hakim dalam menilai dari keabsahan alat bukti elektronik tersebut. Oleh karena itu, proses pembuktian dengan menggunakan alat bukti elektronik tersebut menjadi penting karena dalam tindak pidana di bidang teknologi informasi atau cyber crime khususnya tindak pidana akses ilegal yang menggunakan dokumen elektronik atau informasi elektronik sebagai pembuktian. Bertitik tolak dari latar belakang masalah di atas, 17
Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 Tentang informasi Dan Transaksi Elektronik (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4843) 18 O.C.Kaligis, 2012, Penerapan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Dalam Prakteknya, Yarsif Watampone, Jakarta, hlm. 297.
9
perlu diadakan penelitian yang lebih komprehensif dan mendalam berupa tesis dengan judul “Keabsahan Alat Bukti Elektronik Dalam Perkara Tindak Pidana Akses Ilegal”.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, dapat diajukan rumusan permasalahan sebagai berikut : 1.
Bagaimanakah menentukan keabsahan alat bukti elektronik dalam pembuktian perkara tindak pidana akses ilegal ?
2.
Bagaimanakah seharusnya konsep keabsahan alat bukti elektronik dalam pembuktian perkara tindak pidana akses ilegal di masa mendatang ?
C. Tujuan Penelitian Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini berdasarkan permasalahan di atas adalah : 1.
Mengetahui parameter yang digunakan untuk menentukan keabsahan alat bukti elektronik dalam pembuktian.
2.
Mengkaji pengaturan keabsahan alat bukti elektronik dalam pembuktian perkara tindak pidana akses ilegal di masa mendatang.
10
D. Manfaat Penelitian 1.
Kegunaan Akademis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi dunia akademis serta secara teoritis, yaitu memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan hukum pidana pada umumnya dan peraturan perundangundangan mengenai informasi dan transaksi elektronik pada khususnya.
2.
Kegunaan Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, kegunaan serta kontribusi secara praktis bagi pihak pemegang kepentingan (stake holder) pada penanganan alat bukti elektronik. Penegak hukum seperti penyidik, penuntut umum dan hakim dapat mengetahui secara pasti mengenai kedudukan serta keabsahan alat bukti elektronik dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system) demi menyamakan persepsi hukum agar tercapainya tujuan hukum.
E. Keaslian Penelitian Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan, peneliti menemukan 2 (dua) penelitian yang sejenis, salah satunya pada Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Penelitian tersebut dilakukan oleh Raden Rachmat Herwannuri pada tahun 2010 dengan judul Tinjauan Yuridis Carding Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik.19
19
Raden Rachmat Herwannuri, 2010, “Tinjauan Yuridis Carding Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik”, Tesis, Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
11
Perumusan Masalah : 1. Bagaimana KUHP, Undang-Undang No 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi dan Undang-Undang No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik mengatur tindak pidana carding dalam cybercrime? 2. Upaya-upaya apa yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah yang terkait dalam proses pembuktian masalah carding dalam cybercrime tersebut? Kesimpulan : 1.
Keberadaan teknologi informasi disamping memberi harapan di masa depan juga melahirkan kecemasan-kecemasan baru dengan munculnya bentuk kejahatan baru (cyber crime) yang lebih canggih. Carding merupakan suatu bentuk kejahatan dengan cara mencuri dan menipu suatu website e-commercial untuk mendapatkan produk yang ditawarkan. Berbagai cara dilakukan carder untuk mendapatkan kartu kredit dari situs komersial. Meskipun tidak menyebutkan secara eksplisit mengenai kejahatan komputer, perundangundangan nasional dapat diterapkan dengan menggunakan penafsiran ekstensif. Pelaku kejahatan carding dapat dipidana jika pelaku memenuhi delik yang tercantum dalam Pasal 167 KUHP dan Pasal 22 Undang-Undang No 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, dapat digunakan untuk akses ilegal terhadap jaringan sistem telekomunikasi atau jaringan internet serta Pasal 38, Pasal 40 dan Pasal 42 yang masih berkaitan dengan kejahatan carding. Undang-Undang ITE merupakan salah satu upaya penting dalam pengakuan transaksi elektronik dan dokumen elektronik dalam kerangka hukum perikatan dan hukum pembuktian, sehingga kepastian hukum transaksi elektronik dapat
12
terjamin.
Diklasifikasikannya
tindakan-tindakan
yang
terjamin
dan
diklasifikasikannya tindakan-tindakan yang termasuk kualifikasi pelanggaran hukum terakhir penyalahgunaan TI disertai sanksi pidananya termasuk untuk tindakan carding, hacking dan cracking. Untuk masalah tindak pidana carding hal ini disebutkan dalam Pasal 30 dan 31 Undang-Undang ITE. 2.
Kekurangan dalam undang-undang yang pernah ada sebelumnya, yaitu KUHP dan Undang-Undang Telekomunikasi diakomodasikan ke dalam UndangUndang No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dimana sistem informasi yang merupakan penerapan teknologi informasi yang berbasis jaringan telekomunikasi dan media elektronik, yang berfungsi merancang, memproses, menganalisa, menampilkan, dan mengirimkan atau menyebarkan
informasi
elektronik.
Pemerintah
seharusnya
memulai
penyusunan regulasi terkait dengan tindak pidana siber (Cyber Crime), mengingat masih ada tindak-tindak pidana yang tidak tercakup dalam UU ITE tetapi tercakup dalam instrumen Hukum Internasional di bidang tindak pidana siber, misalnya menyangkut tindak pidana pornografi, deufamation, atau perjudian maya. Kejahatan yang menggunakan hi-tech, jangkauannya sangat luas serta pelaku rata-rata mempunyai intelektualitas yang tinggi dan mempunyai komunitas tersendiri, sehingga untuk pembuktiannya memerlukan penyidik yang mengerti bidang tersebut. Berdasarkan penelitian tersebut di atas, peneliti menemukan beberapa perbedaan dengan penelitian yang akan peneliti lakukan, yaitu :
13
a.
Peneliti membahas mengenai tindak pidana akses ilegal dimana carding termasuk ke dalam tindak pidana akses ilegal. Cakupan penelitian yang dilakukan oleh peneliti lebih luas karena tidak hanya membahas khusus carding tetapi segala aspek pidana mengenai akses ilegal terhadap sistem elektronik.
b.
Peneliti bukan hanya membahas mengenai tindak pidana akses ilegal dalam sistem peradilan tetapi peneliti juga mengkhususkan kepada penerapan alat bukti elektronik mengenai keabsahan serta keutuhan dari alat bukti elektronik tersebut. Penelitian berikutnya adalah penelitian yang sejenis yaitu penelitian yang
dilakukan oleh Marissa Amalina Shari Harahap pada tahun 2012 pada Fakultas Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia, dengan judul Analisis Penerapan Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Dalam Tindak Pidana Siber.20 Perumusan Masalah : 1.
Bagaimana penyelesaian tindak pidana siber di Indonesia menurut UndangUndang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik?
2.
Apakah ketentuan pidana pada Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik merupakan ketentuan yang mampu mengikuti perkembangan tindak pidana siber?
20
Marissa Amalina Shari Harahap, 2012, “Analisis Penerapan Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Dalam Tindak Pidana Siber”, Tesis, Fakultas Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia, Depok.
14
3.
Kendala apa sajakah yang dapat dijumpai dalam menegakkan Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dalam pemberantasan tindak pidana siber?
Kesimpulan : 1.
Beberapa masalah yang memerlukan perhatian lebih lanjut antara lain pembahasan tentang telekomunikasi global, sistem pengamanan komunikasi elektronik, perbandingan Undang-undang tentang Informasi dan Elektronik. Sedangkan faktor-faktor penghambat juga merupakan masalah karena keterkaitan antara satu dan lainnya, faktor penghambat itu antara lain masalah peraturan perundang-undangan, penegak hukum, dan masyarakatnya itu sendiri sebagai sasaran penerapan dan penegakan hukum.
2.
Masih banyaknya kelemahan atau kekurangan pada Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang perlu ditinjau kembali terhadap pasal-pasal yang diundangkan untuk dilengkapi atau disesuaikan ataupun diubah dengan aturan hukum di bidang Informasi dan Transaksi Elektronik agar tidak menimbulkan berbagai celah hukum di dalamnya.
3.
Terkait dengan semakin canggihnya modus tindak pidana siber yang berkembang pesat, para pembuat undang-undang dan penegak hukum belum melakukan perubahan sama sekali kualitas dan kuantitas undang-undang ini justru cenderung menuai pro dan kontra dianggap tidak dapat menurunkan tingkat kejahatan tindak pidana siber secara signifikan sehingga memunculkan
15
tudingan bahwa undang-undang ini tidak berjalan secara efektif terutama dari aspek pidananya. Berdasarkan penelitian tersebut di atas, peneliti menemukan beberapa perbedaan dengan penelitian yang akan peneliti lakukan, yaitu : a.
Penelitian tersebut tidak membahas secara spesifik mengenai tindak pidana cyber crime nya, bahwa di dalam tindak pidana cyber crime terdapat banyak jenis dan macamnya. Oleh sebab itu peneliti lebih mengkhususkan penelitian mengenai tindak pidana akses ilegal atau hacking terhadap sistem elektronik.
b.
Peneliti bukan hanya membahas mengenai tindak pidana cyber crime yang berdasarkan Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, tetapi mengenai penerapan alat bukti elektronik di dalam proses sistem peradilan.