BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Pada abad ke-19 hingga abad ke-20, mayoritas masyarakat Prancis menganut agama Katolik. Pada tahun 1976 tercatat 83% penduduk beragama Katolik. Penganut agama lainnya, seperti Yahudi dan Protestan termasuk dalam kaum minoritas. Gereja Katolik memiliki pengaruh terhadap negara dan sekolah, namun pada abad ke-20 (9 desember 1905) gereja dan negara dipisahkan (Lequin, 1984:174). Meskipun begitu, sejak abad ke-19 hingga abad ke-20 tradisi keagamaan didominasi oleh gereja Katolik. Oleh karena itu, Masyarakat Prancis pada abad ke-20 masih dipengaruhi oleh nilai agama Katolik dan norma bourgeois1 yang ketat mematuhi aturan moral. Di sisi lain, pada awal abad ke-20, sejak tahun 1900 kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat. Filsafat dan konsep psikologi asing banyak yang masuk dan mempengaruhi pemikiran masyarakat pada saat itu, terutama peneliti psikologi dan sastra. Akibat dari perkembangan konsep psikologi, moral dan metafisika yang telah berlaku dipermasalahkan kembali. Pada abad ini, di dunia sastra bermunculan gagasan baru menurut opini masing-masing dari kalangan sastrawan, tidak ada yang bersikap netral dan objektif. Maurice Barrès, Paul Bourget membela tata masyarakat, tradisi moral dan agama, sedangkan Anatole France, Romain Rolland menuntut 1
Bourgeois adalah warga kota yang memiliki kedudukan istimewa atau golongan rakyat berharta ( Arifin & Soemargono, 1999: 110). 1
reformasi dalam kebebasan. Beberapa pengarang menulis karyanya berdasarkan kenyataan pada masa itu. Mereka mengungkapkan masalah yang dihadapi manusia pada saat itu, salah satunnya tentang moralitas (Husen, 2001:149-150). Moral merupakan sistem nilai berupa kumpulan aturan, baik lisan atau tertulis. Ajaran moral terbentuk oleh tradisi, adat dan ideologi dari suatu kelompok. Nilai moral sendiri biasanya diajarkan secara turun-temurun dan setiap tempat memiliki nilai yang berbeda. Kata moral mengacu kepada baik-buruknya manusia sebagai manusia (Magnis-Suseno, 1987: 18-19). Oleh karena itu, moral menjadi tolok ukur dalam menentukan baik dan buruk tindakan seseorang. Salah satu karya sastra yang mengangkat tema moralitas di Prancis pada abad ke20 adalah L’immoraliste (1902). Novel ini bercerita tentang tokoh Michelyang kehidupannya berubah setelah pengalaman sekaratnya. Setelah kejadian itu, Michel memutuskan untuk melepas ajaran agama, orang tua, guru dan buku yang dahulu mengikatnya. Kehidupan Michel sebelumnya, dihabiskan dengan membaca buku dan melakukan penelitian. Michel merupakan anak tunggal yang patuh dan sangat menyayangi ayahnya. Michel tinggal berdua dengan ayahnya yang seorang ateis dan arkeolog. Ibunya meninggal sejak dia berusia 15 tahun dan mewarisi ajaran agama Protestan kepada Michel. Novel L’immoraliste(1902) adalah salah satu karya André Gide. Dia merupakan salah satu penulis kenamaan di Prancis yang lahir di Paris pada 22 November 1869
2
dan juga merupakan setengah paysanne2 dan setengah bourgeois3. Ayahnya Paul Gide, seorang Katolik dan profesor dari Fakultas Hukum di Universitas Paris. Ibunya bernama Juliette Rondeaux seorang Protestan (Martin, 1963:18). Ayahnya meninggal ketika ia masih muda. Setelah kematian ayahnya, ia tumbuh dikelilingi perempuan (ibu dan saudara-saudara perempuannya) yang menerapkan ajaran Protestan. Gide menempuh pendidikannya di école Alsacienne, tapi menurutnya sekolah memiliki terlalu banyak aturan sehingga kehidupannya terasa monoton. Minatnya dalam agama juga dipengaruhi oleh lingkungan keluarganya yang menganut Protestan. Semangat keingintahuannya terhadap agama kemudian hilang ketika ia menginjak usia 20 tahun. André Gide menerbitkan buku pertamanya Les Cahiers d’André Walter pada tahun 1891. Tahun 1893, Gide pergi ke Tunisia dengan tujuan untuk mengobati penyakit tuberkulosisnya. Di sana, dia bertemu Oscar Wilde dan menjalin kisah cinta dengannya. Setelah sembuh dari penyakitnya, dia seperti menemukan gairah hidupnya lagi. Sepulangnya ke Perancis ibunya meninggal dunia, dan kemudian diamenikahi sepupunya, Madelein Rondeaux. Pernikahannya dengan Madelein tidak menghentikan kisah cintanya bersama Oscar Wilde (Husen, 2001:162-163). André Gide membagi karyanya menjadi tiga jenis yaitu recit, sotie, dan roman. Recit adalah cerita pendek yang menceritakan tentang moral atau kisah sentimental dengan menggunakan satu atau dua tokoh utama, seperti L’immoraliste (1902),
2
Paysanne adalah petani atau orang desa. ( Arifin & Soemargono, 1999: 775). Bourgeois adalah warga kota yang memiliki kedudukan istimewa atau golongan rakyat berharta( Arifin & Soemargono, 1999: 110). 3
3
Isabelle, La Symphonie Pastorale (1919), La Porte Etroite (1909). Adapun Sotie, yang menurut Gide merupakan recit yang bebas dan lucu, menceritakan tentang manusia dan perilakunya dalam menjalani hidup. Karyanya yang digolongkan sotie adalah Paludes, Les Caves du Vatican (1914), La Prométhée Mal Enchainé. Satusatunya karya miliknya yang ia golongkan sebagai roman adalah Les FauxMonnayeurs
(Lagarde
&
Michard,
1960:259-272).
Karya-karyanya
sering
menampilkan pergolakan batin tokoh dalam membuat keputusan di dalam hidupnya. Seperti kebimbangan memilih antara hidup berpetualangan atau hidup lurus, kenikmatan
atau
pengorbanan.
Tokoh
Michel
dalam
L’immoraliste
yang
menghanyutkan diri dalam kenikmatan badaniah berbanding dengan tokoh Alissa dalam La Porte Étroite yang menolak kebahagiaan duniawi dan mendambakan kebahagiaan akhirat dengan menjalani hidup dengan aturan agama yang ketat. Pada Les Caves du Vatican tokoh Lafcadio ditampilkan sebagai orang yang urakan dan memperolok aturan-aturan dalam masyarakat berbeda dengan tokoh agama yang bijaksana serata penuh semangat hidup melawan godaan dalam La Symphonie Pastorale. Karyanya sering menampilkan cerita psikologis dengan analisis yang mendalam dan transparan. Terkadang ia memanfaatkan dirinya sendiri sebagai objek penelitian, ia sering menggunakan catatan hariannya sebagai inspirasi, seperti salah satu karyanya L’immoraliste. Meskipun begitu, karya-karya Gide selalu menuai kritik dari kalangan masyarakat. Karyanya mengangkat hal-hal yang dianggap tabu dan aneh pada saat itu, seperti homoseksual dan sensualitas (Husen, 2001:164-165).
4
Meskipun ide-ide Gide banyak menuai kritik, karyanya tetap mendapatkan tempat di hati para pembaca. Hal ini ditunjukkan dengan prestasinya yang mendapatkan Prix Nobel pada tahun 1947 (Husen, 2001:165). Selain ide yang tertuang disetiap tulisannya yang menarik dan cemerlang, Gide juga pandai mengemas cerita menjadi menarik untuk dibaca. Pengemasan cerita yang menarik ditampilkan oleh Gide di dalam karyanya L’immoraliste. Cerita ini diawali dengan surat tokoh “Aku” yang ditujukan kepada saudara laki-lakinya. Isi surat itu bercerita tentang pertemuan tokoh Aku dengan tiga sahabatnya di kediaman seorang sahabatnya yang bernama Michel. Kemudian, Aku menceritakan kisah hidup sahabatnya, Michel. Cerita di dalam novel berlanjut dengan bayangan kenangan si Aku ketika Michel menceritakan kisah hidupnya kepada tiga sahabatnya. Cerita di dalam novel terkesan Michel sendiri yang menceritakan kisahnya. Michel memulai ceritanya dari pernikahannya yang dijodohkan oleh ayahnya. Dia menceritakan kehidupan sosialnya yang tidak memiliki banyak teman dan tidak mengenal kehidupannya sendiri. Michel selalu mengabaikan lingkungannya dan dirinya sendiri. Setelah menikah Michel melakukan perjalanan ke Tunisia bersama istrinya, Marceline. Kondisi kesehatan Michel memburuk dalam perjalanannya, hingga dia hampir bersentuhan dengan kematian. Setelah kejadian tersebut Michel merasa jika hidupnya sangat menarik. Dia merasa harus menemukan penemuan-penemuan baru di dalam hidupnya. Michel merasa terlahir kembali dan ingin menjadi manusia baru (Nouvel Être).
5
«Ce fut dès lors celui que je prétendis découvrir : l’être authentique, le « vieil homme », celui dont ne voulait plus l’Évangile ; celui que tout, autour de moi, livres, maîtres, parents, et que moi-même avions tâché d’abord de supprimer. (…)Mon seul effort, effort constant alors, était donc de systématiquement honnir ou supprimer tout ce que je croyais ne devoir qu’à mon instruction passée et à ma première morale.»(Gide, 1902 : 62-64) “ Sejak itu, hal inilah yang ingin aku temukan; manusia yang otentik, yang murni, yang tidak ingin lagi bertindak sesuai doktrin kristus. Sebagai permulaan, aku berusaha menghapus semua yang ada di sekelilingku termasuk buku-buku, guru-guru, orang tua dan bahkan diriku sendiri.(…) Salah satu usahaku, usaha yang mantap tentunya, ialah secara sistematis menghapus segala aturan dan moral yang dahulu aku yakini.”
Kutipan di atas adalah pernyataan Michel dalam upayanya menjadi manusia baru. Michel memutuskan untuk melepas ajaran yang dahulu mengikatnya, dan semua yang ada di sekelilingnya. Dengan begitulah dia menjalani hidupnya dengan pandangan hidup yang baru. Di dalam novel ini, Gide menggambarkan kehidupan awal tokohnya dengan penanaman moral yang diperoleh dari ibunya yang merupakan, seorang penganut Protestan, sedangkan ayahnya adalah seorang peneliti. Kemudian Gide menggambarkan penghapusan aturan dan moral tokoh, sehingga tokoh membentuk karakter baru yang pada saat itu dianggap melanggar moral.
1.2 Rumusan Masalah Pada abad ke-20, norma-norma yang berlaku di masyarakat dipengaruhi oleh ajaran agama Katolik yang ketat. Pada abad yang sama, akibat dari kemajuan pada bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, banyak ilmu filsafat dan konsep psikologi
6
asing yang masuk ke Prancis. Ilmu-ilmu tersebut mempengaruhi para peneliti dan para sastrawan, sehingga konsep-konsep filsafat, psikologi, dan moral yang sudah ada dipertanyakan kembali. André Gide merupakan salah satu pengarang yang menuai kritik dari masyarakat karena karya-karyanya yang dianggap mengangkat hal tabu dan aneh. Dalam karyanya L’immoraliste, dituliskan penolakan-penolakan terhadap ajaran moral yang berlaku di lingkungan masyarakat pada saat itu. Sementara itu, mayoritas masyarakat pada saat itu menganut agama Katolik, yang memiliki aturan yang ketat. Dari rumusan masalah di atas munculah dua pertanyaan sebagai berikut: 1. Mengapa isu moral yang dianggap tabu dan aneh dipertanyakan oleh Gide? 2. Bagaimana penolakan terhadap nilai moral yang berlaku di masyarakat pada novel L’immoraliste?
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bentuk-bentuk perlawanan terhadap nilai moral yang berlaku di masyarakat pada novel L’immoraliste dan mengetahui pandangan pengarang tentang isu moral yang pada awal abad ke-20 dianggap tabu dan aneh.
7
1.4 Tinjauan Pustaka Beberapa penelitian yang menggunakan karya André Gide sudah dilakukan oleh Cicilia Novita (2002) dengan judul Aspek Religius Novel La Porte Etroite Karya André Gide. Cicilia membahas tentang keterjalinan unsur cerita dalam La Porte Étroit sehingga menghasilkan satu kesatuan yang utuh dengan menggunakan teori struktural dan menjelaskan aspek-aspek religius yang terdapat di dalam novel tersebut. Penelitian karya sastra yang mengusung tema moral oleh mahasiswa jurusan sastra Prancis antara lain; Yuliana Nur Afifah (2000). Dengan judul skripsi Ajaran Moral Dongeng Histoires Ou Contes Du temps Passé Karya Charles Perrault. Skripsiini memaparkan bahwa dongeng merupakan salah satu sarana pendidikan moral yang baik bagi anak. Melalui dongeng ini anak-anak diperkenalkan dengan kehidupan dewasa yang identik dengan tanggung jawab dan keseimbangan. Pada tahun 2005, Prapto Wicaksono Widi Nugroho
membuat skripsi yang
berjudul Ajaran Moral Dalam La Peste Karya Albert Camus Tinjauan Semiotik. Analisis
ini
menggunakan
tinjauan
semiotika
dari
Roland
Barthes,
dan
mengungkapkan bahwa novel La Peste mengandung nilai moral universal yang mengangkat harkat dan martabat manusia. Selanjutnya pada tahun 2011, Pupu Purwaningsih membuat skripsi dengan judul Pesan Moral Dalam Sastra Anak Les Recrés Du Petit Nicholas Karya GoscinnySempe. Skripsi ini menggunakan analisis struktural yang mengungkapkan ajaran-
8
ajaran moral yang terkandung di dalam 15 cerita pendek pada buku anak-anak tersebut. Skripsi lain yang mengusung tema moral dilakukan oleh Raspriatma Caesar Sinukarto (2011). Judul dari skripsi ini adalah Nilai- Nilai Moral Dalam Film Yamakasi Des Temps Modernes Analisis Struktural. Analisis ini menjelaskan ajaranajaran moral dalam film tersebut dengan menggunakan analisis unsur intrinsik di dalam ceritanya. Ditemukan pula skripsi yang berjudul Unsur Moralitas Dalam Pandangan Dunia André Malraux (Tinjauan Strukturalisme Genetik Novel La Voie Royale). Skripsi ini dibuat oleh Putu Julien Harta Garcia (2012). Skripsi ini mengungkapkan homologi antara kelainan seksual yang berupa ketidakmampuan dalam mencapai kepuasan dengan terdegradasinya nilai-nilai moral dan manifestasinya dalam kehidupan sosial, politik, dan ekonomi, dengan menggunakan pendekatan Strukturalisme Genetik. Selain itu mengungkapkan pula bentuk-bentuk perlawanan terhadap hal yang bertentangan dengan moralitas sebagai solusi dalam mengatasi masalah moralitas. Penelitian lainnya adalah Nilai Moral DalamNovel Sans Famille Karya Hector Malot Tinjauan Lima Kode Semiotika Roland Barthes (2012) oleh Renat Galih Gunara. Skripsi ini mengungkapkan tentang ajaran moral berupa prilaku kehidupan sehari-hari yang terdapat dalam novel Sans Famille dengan menggunakan pendekatan semiotika dari Roland Barthes. Dari jurusan Sastra Indonesia ditemukan skripsi yang mengangkat tema moral yaitu, Nilai Moral Dalam Kumpulan Cerpen Lukisan Kaligrafi karya Ahmad Mustofa 9
Bisri. Skripsi karya Badarudin Safe‟i (2011), mencoba mengungkapkan nilai ajran moral dalam pandangan dunia pesantren dan mengklasifikasikannya kedalam lima kategori. Lima kategori tersebut yaitu, nilai moral dalam hubungannya dengan Tuhan, Rasulullah, diri sendiri, sesama manusia, dan semua makhluk Tuhan. Hasil dari analisis kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi, memaparkan hal-hal yang berkaitan dengan nilai moral yang menjadi pegangan pesantren. Nilai yang perlu diikuti dan ditinggalkan dan tentang nilai yang benar dan salah. Penelitian lainnya dari jurusan Sastra jepang dilakukan oleh A.C.S Kristiputranto (2007). Judul skripsinya adalah Kidoo Senshi Gundam Seed: Kajian Mengenai Pesan Moral Dalam Anime Sebagai Kebudayaan populer. Penelitian ini memaparkan nilainilai moral yang terkandung di dalam anime dengan mengusung konsep budaya populer. Skripsi ini mengungkapkan bahwa anime bukan merupakan produk yang hanya menampilkan kekerasan dan pornografi saja, namun terdapat nilai moral yang terkandung di dalamnya, meskipun diperlukan usaha bagi penonton untuk memahami pesan yang tersirat dari cerita anime tersebut. Dari tinjuan pustaka di atas belum pernah ada penelitian tentang isu moral dalam novel L’immoraliste karya André Gide. Penelitian ini membahas bagaimana penolakan terhadap pandangan moral masyarakat pada abad ke-20 dan mengapa isu moral yang pada saat itu dianggap tabu dan aneh dipertanyakan oleh pengarang. Oleh karena itu, penelitian ini layak untuk dilakukan.
10
1.5 Landasan Teori Landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini tentang moral menurut Franz Magnis-Suseno (1987). Moral mengacu pada baik-buruknya manusia, sehingga penilaian moral berarti menilai seseorang sebagai manusia. Norma-norma moral dibentuk oleh lingkungan dan menjadi tolok ukur untuk menilai seseorang pada lingkungan masyarakat atau kelompok tertentu (Magnis-Suseno, 1987: 18-19). 1.5.1 Kebebasan dan Moral Moral manusia erat kaitannya dengan tingkah laku individu dan penilaian orang lain. Setiap individu memiliki kebebasan atas menentukan tindakan diri sendiri atau kebebasan eksistensial dan kebebasan yang kita terima dari orang lain atau kebebasan sosial. Bebas tidak menekankan bebas dari apa melainkan bebas untuk apa. Kebebasan bagi manusia yang pertama, dia dapat menentukan apa yang ingin dilakukan secara fisik. Kebebasan fisik manusia bukan sekedar kemampuan jasmani saja melainkan berakar pada kehendak kita sendiri melalui pikiran kita. Kebebasan jasmani atau fisik bersumber dari kebebasan rohani atau pikiran, yang merupakan kemampuan kita dalam menentukan sendiri apa yang kita pikirkan untuk melakukan sesuatu. Kebebasan eksistensial terdiri dari kebebasan jasmani dan kebebasan rohani. Sedangkan, kebebasan sosial ada tiga macam yaitu kebebasan jasmani, rohani dan moral. Bebas secara jasmani dan rohani berarti kita sanggup dan dapat melakukan sesuatu, bebas dalam arti moral bukan berarti kesanggupan kita melakukan sesuatu,
11
tetapi kita boleh melakukan sesuatu (entah kita dapat melakukannya atau tidak). Dengan kata lain, bebas dalam arti sosial, tidak berada dalam paksaan, tekanan atau kewajiban, dan larangan dari pihak lain (Magnis-Suseno, 1987: 21-30). Kebebasan sosial manusia memiliki batasan-batasan. Manusia adalah makhluk sosial yang hidup bersama dengan manusia lain dalam ruang dan waktu yang sama. Manusia sebagai makhluk sosial saling membutuhkan satu sama lain. Oleh karena itu, setiap tindakan kita harus disesuaikan dengan manusia lainnya. Ini menunjukkan dengan jelas, jika semua manusia apa pun profesinya memiliki wewenang dan kebebasan sosial yang terbatas (Magnis-Suseno, 1987: 33-40). «Ashour et moi, devant ma porte. Je désirais l’inviter à monter, mais n’osai point, ne sachant ce qu’en aurait pansé Marceline.»(Gide, 1902 : 45) “ Aku dan Ashour , berada di depan pintu rumahku. Aku ingin sekali mengajaknya masuk, tapi tidak berani, aku tidak tahu apa yang akan dipikirkan Marceline.”
Kutipan di atas merupakan ungkapan keraguan Michel untuk membawa anak laki-laki bernama Ashour ke rumahnya. Michel memiliki ketertarikan terhadap lakilaki, sedangkan dia adalah lelaki yang sudah beristri. Selain itu norma-norma yang berada di lingkungan masyarakat menganggap bahwa homoseksual melanggar norma yang berlaku. Meskipun hal tersebut dilarang, Michel memiliki kebebasan untuk bertindak dan berkehendak, seperti yang ditunjukkannya bahwa dia ingin membawa anak tersebut masuk ke rumahnya. Pandangan tersebut membuatnya memilih untuk
12
tidak mengajak Ashour masuk ke rumahnya. Pandangan masyarakat terhadap homoseksualmenjadi pembatas kebebasan sosial individu. Meskipun Michel tidak membawanya masuk, dia tetap memiliki kebebasan untuk bertindak sesuai kehendaknya akankah dia membawa masuk anak itu atau tidak. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa kebebasan eksistensial adalah kemampuan manusia untuk menentukan tindakannya sendiri. Dengan adanya kebebasan eksistensial bukan berarti kita dapat memutuskan apa saja sesuai kehendak kita. Kebebasan sosial pun ada untuk menghargai dan tidak menggangu kebebasan individu satu sama lain. Oleh karena itu, setiap keputusan dan tindakan yang telah kita lakukan harus dipertanggungjawabkan (Magnis-Suseno, 1987: 40-41). 1.5.2 Kebebasan dan Otonomi Moral Menurut Immanuel Kant (1724-1804), kebebasan memiliki hubungan dengan otonomi moral. Kant membedakan antara sikap moral yang otonom dan heteronom. Heteronom berasal dari bahasa Yunani; heteros berarti “lain” dan nomos berarti “hukum”. Heteronomi moral adalah sikap di mana orang memenuhi kewajibannya bukan karena kesadarannya sendiri untuk memenuhi kewajibannya, melainkan rasa takut dan tertekan. Otonomi berasal dari bahasa Yunani, autos yang berarti sendiri. Otonomi moral berarti bahwa sikap manusia yang menaati aturan dan memenuhi kewajibannya atas kesadarannya sendiri (via Magnis-Suseno, 1987: 44-45).
13
Kebebasan eksistensial yang bertanggung jawab dan bermoralitas otonom akan melakukan kewajiban dan tanggung jawabnya atas kesadaran sendiri, bukan rasa takut atau tertekan. 1.5.3 Kesadaran Moral Masyarakat bukanlah satu-satunya lingkungan yang mengajukan norma-norma kepada kita. Keluarga, khususnya orangtua adalah tempat pertama dan terpenting yang berpengaruh di hidup kita. Ajaran pertama tentang baik dan buruk berasal dari orangtua. Seiring berjalannya waktu, kita disuguhkan dengan berbagai macam norma. Contohnya; norma dari lingkungan kita bermain, tinggal, sekolah, kelompok belajar, bermain, agama, bahkan negara. Ajaran-ajaran tersebut akan tertanam di dalam diri kita (Magnis-Suseno, 1987: 49-50). Menurut Freud (1923) unsur-unsur utama kesadaran manusia ada tiga yaitu Id, Ego dan Superego. Id merupakan segala macam dorongan nafsu, naluri, insting, seperti; lapar, haus, dorongan seksual dan lain-lain. Ego adalah kita sendiri, yang berupa merasakan, menghendaki, mengambil sikap dan bertindak. Sedangkan, Superego dapat diartikan sebagai suara dalam batin kita (via Magnis-Suseno, 1987: 87-88). Sebagai contoh, apabila kita ingin melakukan sesuatu dan tindakan tersebut melanggar norma, maka akan timbul perasaan bersalah. Keinginan dan tindakan tersebut merupakan kemampuan dari Ego. Rasa bersalah yang muncul adalah akibat dari Ego dan Superego yang saling berbenturan. Superego menjadi pengawas bagi
14
Ego dan Id. Apabila tindakan Ego dan Id bertentangan dengan sensor norma yang dimiliki oleh Superego, maka akan muncul rasa bersalah, malu, menyesal, sungkan dan lain-lain. Ajaran-ajaran dari lingkungan yang tertanam dalam diri kita menjadi Superego yang mengawasi perasaan kita (Magnis-Suseno, 1987: 88-89). « Qu’est-ce que je fais donc pour sa joie ? Presque tout le jour et chaque jour je l’abandonne ; elle attend tout de moi, et moi je la délaisse ! ah ! pauvre, pauvre Marceline ! »(Gide, 1902: 157) “ Lalu apa yang aku lakukan untuk kebahagiaannya? Hampir setiap hari dan setiap saat aku mengabaikannya. Dia menungguku dan aku tidak mengacuhkannya! Ah! Kasihan, kasihan Marceline!”
Suara hati berbeda dengan superego. Sebagai contoh, kutipan di atastindakan Michelyang kasihan kepada Marceline karena sering mengabaikannya. Tindakan tersebut merupakan ego yang berbenturan dengan superego, kemudian muncul rasa bersalah terhadap istrinya karena sering mengabaikan dan tidak mengacuhkannya. Di dalam superego tertanam aturan kewajiban seorang suami terhadap istrinya, sedangkan Michel sadar akan tindakannya yang mengabaikan istrinya. Benturan tersebut kemudian mewujudkan perasaan kasihan yang berasal dari suara hati. Tindakan yang harus dilakukan dan kesadarannya berasal dari suara hati, sehingga suara hati merupakan bagian dari Ego. Superego hanya mengulang norma yang pernah ditanamkan, tanpa mempertanyakan kembali apakah norma itu masih tepat atau sesuai dengan kasus yang sedang dihadapi. Oleh karena itu, kesadaran moral menuntut kita untuk kritis menghadapi Superego (Magnis-Suseno, 1987:90-92).
15
1.5.4 Penilaian Moral Terhadap Orang Lain Relativisme moral menolak adanya norma-norma moral yang berlaku umum. Menurut relativisme, norma-norma moral hanya berlaku relatif terhadap lingkungan atau wilayah tertentu. Tidak ada tolok ukur umum bagi kelakuan moral manusia, karena tolok ukur di masin-masing tempat berbeda. Salah satu bentuk relativisme adalah relativisme kultural. Relativisme ini menjelaskan bahwa norma-norma moral yang berlaku di berbagai lingkungan masyarakat dan kebudayaan tidak sama satu sama lain. Pada kenyataannya, setiap daerah memiliki kebudayaan yang berbeda dan setiap orang juga memiliki agama dengan ajaran yang berbeda (Magnis-Suseno, 1987:109). Setiap daerah tentunya memiliki ajaran moral berbeda satu sama lain. Selain itu, setiap orang pun memiliki ajaran tradisi dan keyakinan berbeda yang ditanamkan sejak kecil. Hal ini membuat kita tidak mudah untuk menilai moral orang lain. Kita hanya dapat menilai sikap lahiriah seseorang. Kita dapat mengatakan tindakan tertentu yang kita anggap salah atau buruk dan menegur orang yang melakukannya. Meskipun begitu, kita tidak dapat menarik kesimpulan jika pribadi orang itu buruk. Kita tidak dapat mengatakan orang lain berdosa, kita hanya dapat mengatakan tindakannya dilarang agama. Kita tidak dapat dengan pasti menilai seseorang karena kita tidak mengetahui alasan dari tindakan orang tersebut (Magnis-Suseno, 1987:58).
16
1.5.5 Kepribadian Moral yang Kuat Menurut Dr. Franz Magnis-Suseno, ada lima konsep dasar yang melandasi kepribaian seseorang dalam menentukan nilai moral: a. Kejujuran Kejujuran merupakan hal penting untuk membentuk kepribadian, tanpa kejujuran manusia tidak dapat melangkah maju karena kita belum berani menjadi diri sendiri. Tidak jujur berarti kita belum dapat mengambil sikap yang lurus, melainkan bertindak sesuai dengan harapan orang lain. Tanpa kejujuran moralitas kehilangan nilai mereka. Bersikap baik terhadap orang lain tetapi tanpa kejujuran adalah kemunafikan. Bersikap jujur terhadap orang lain berarti dua: terbuka dan fair, dengan terbuka kita selalu muncul sebagai diri kita sendiri, kita tidak menyesuaikan kepribadian kita dengan harapan orang lain. Segala sikap dan tindakan kita hendaknya tanggap terhadap kebutuhan, kepentingan, dan hak orang yang berhadapan dengan kita, sehingga kita tidak bersikap egois. Terbuka berarti orang boleh tahu siapa kita. Kedua, orang jujur bersikap wajar atau fair terhadap orang lain, ia menghormati hak orang lain, ia akan memenuhi janji yang ia berikan, ia tidak akan bertindak bertentangan dengan suara hati atau keyakinannya. Keselarasan yang berdasarkan kepalsuan, ketidakadilan dan kebohongan akan disobeknya.
17
b. Nilai-nilai otentik Otentik erat hubungannya dengan kejujuran. Otentik berarti asli, maksudnya adalah menjadi diri sendiri, bukan orang jiplakan, tiruan, orangorangan yang hanya bisa berbicara saja, tidak mempunyai sikap, pendirian atau orang yang mengikuti pendapat umum. Manusia otentik adalah manusia yang menghayati dan menunjukkan diri sesuai keasliannya dan kepribadian yang sebenarnya. Manusia yang tidak otentik adalah manusia yang dibentuk oleh harapan lingkungannya. Dasar dari tidak otentik adalah ketakutan akan ditinggalkan oleh mereka. c. Tanggung jawab Kejujuran sebagai dasar kepribadian moral menjadi operasional dalam kesediaan untuk bertanggung jawab. Tanggung jawab berarti kesediaan untuk melakukan apa yang harus dilakukan dengan sebaik mungkin. Kita akan melaksanakannya dengan sebaik mungkin meskipun terdapat pengorbanan, pertentangan oleh orang lain atau kurang menguntungkan. Sikap bertanggung jawab terikat pada nilai yang ingin dihasilkan. Wawasan orang yang bertanggung jawab secara prinsipal tidak terbatas karena ia tidak membatasi perhatiannya pada apa yang menjadi urusan dan kewajibannya, ia akan merasa bertanggung jawab di mana saja ia diperlukan. Kesediaan untuk bertanggung
18
jawab
termasuk
kesediaan
untuk
diminta
dan
untuk
memberikan
pertanggungjawaban atas tindakannya, pelaksanaaan tugas dan kewajibannya. d. Kemandirian Kemandirian berarti bahwa kita tidak pernah ikut-ikutan saja dengan berbagai pandangan moral dalam lingkungan kita, tetapi membentuk penilaian sendiri dan pendirian sendiri, dan bertindak sesuai dengannya. e. Keberanian Sikap mandiri merupakan kemampuan untuk selalu membentuk penilaian sendiri terhadap suatu masalah moral. Keberanian berarti ketekadan dalam bertindak sikap mandiri. Keberanian moral menunjukkan diri dalam tekad untuk tetap mempertahankan sikap yang telah diyakini meskipun tidak disetujui atau secara aktif dilawan oleh lingkungan
1.6 Metodologi Penelitian Tahap pertama yang dilakukan pada penelitian ini adalah membaca novel yang akan diteliti yaitu L’immoraliste secara heureustik yaitu sistem pembacaan tingkat pertama, lalu melakukan pembacaan secara heurmeunetik untuk lebih memahami makna dari cerita. Penentuan permasalahan yang akan diteliti, kemudian pembuatan
19
tabel data dari novel tersebut, dilanjutkan dengan pengumpulan data teori yang membantu penelitian ini. Langkah pertama dalam melakukan analisis ini adalah menjelaskan kebebasan dan kesadaran moral pada novel. Analisis kedua memaparkan bagaimana perubahan karakter Michel dalam novel dan bentuk-bentuk penolakan terhadap nilai moral yang berada di masyarakat. Kemudian analisis terakhir berikut mengungkapkan alasan mengapa pengarang mengusung isu moral yang dianggap tabu dan aneh dalam novel L’immoraliste. Analisis ini menggunakan teori etika dan moral menurut Dr. Franz Magnis-Suseno (1987). Selain itu, dipaparkan pula kebebasan eksistensial dan pembatasan kebebasan sosial menggunakan teori kebebasan moral dari Franz Magnis-Suseno (1987) akan. Untuk menganalisis kesadaran moral dalam novel ini digunakan pula teori psikologi Freud (1923) mengenai tiga unsur kesadaran manusia.
1.7 Sistematika Penyajian Penelitian Isu Moral dalam Novel L’immoraliste Karya André Gide disajikan ke dalam tiga bab yaitu; 1. Bab I Pendahuluan: menjelaskan tentang latarbelakang, permasalahan, tujuan penelitian, penguraian landasan teori yang digunakan, penjelasan tentang metode dalam penelitian, tinjauan pustaka dan sistematika penyajian.
20
2. Bab II Analisis: dalam bab ini berisianalisispemaparan kebebasan dan kesadaran moral dari tokoh Michel. 3. Bab III Analisis: pada bab ini dibagi menjadi 2 sub bab yaitu, sub bab pertama memaparkan bentuk-bentuk penolakan terhadap pandangan moral yang berlaku di masyarakat melalui tokoh Michel dalam novel L’Immoraliste. Sub bab kedua berisi pemaparan tentang alasan mengapapengarang mengangkat isu moral yang tabu dan aneh pada novel L’immoraliste. 4. Bab IV Kesimpulan: berisi kesimpulan dari analisis penelitian secara keseluruhan.
21