BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Kebiasaan–kebiasaan yang tumbuh dan berkembang serta selalu berulangulang dilaksanakan
oleh
masyarakat
merupakan
adat
bagi
mereka
yang
melakukannya. Adat adalah kebiasaan suatu masyarakat yang bersifat ajeg (dilakukan terus-menerus), dipertahankan oleh pendukungnya. Kebiasaan ini merupakan cerminan kepribadian sesuatu bangsa, ia adalah penjelmaan jiwa bangsa yang terusmenerus berkembang secara evolusi dari abad ke abad.1 Adat yang hidup dan berhubungan dengan tradisi rakyat inilah yang nantinya menjadi sumber hukum bagi masyarakat yang melakukanya. Hukum adat adalah suatu kompleks norma-norma yang bersumber pada perasaan dan keadilan masyarakat yang selalu berkembang serta meliputi peraturan-peraturan tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat, sebagian besar tidak tertulis senatiasa ditaati dan dihormati oleh masyarakatnya karena mempunyai akibat hukum (sanksi).2 Hukum adat perkawinan merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam lingkupan hukum adat yang berlaku di Indonesia. Hukum adat perkawinan adalah aturan–aturan hukum yang mengatur bentuk–bentuk perkawinan, cara pelamaran, 1
Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, (Jakarta : Masagung, 1998 ) hlm. 13. 2 Ibid hlm. 16.
1
CV Haji
2
upacara perkawinan dan putusnya perkawinan. Aturan hukum mengenai perkawinan ini dipengaruhi oleh sifat kemasyarakatan, adat istiadat, agama dan kepercayaan masyarakat lainya.3 Dalam hukum perkawinan adat, perkawinan bukan hanya hubungan suami istri saja melainkan juga hubungan dengan masyarakat hukum adatnya, sebagaimana menurut hukum perkawinan adat bahwa perkawinan itu adalah urusan kerabat, urusan keluarga, urusan masyarakat, dan urusan satu sama lain dalam hubunganya yang sangat berbeda.4 Hukum adat perkawinan di Indonesia beraneka ragam yang dipengaruhi oleh sistem kekerabatan, agama, nilai-nilai dan norma yang berkembang pada masyarakat hukum adat tersebut. Salah satunya masyarakat hukum adat Minangkabau, Minangkabau adalah salah satu suku yang ada di Indonesia dengan sistem kekerabatan yang disusun menurut tertib hukum ibu.5 Adat perkawinan di Minangkabau sangat berbeda dengan daerah lain dalam lingkupan wilayah adat Minangkabau seperti perkawinan adat di daerah Bukitinggi, Payakumbuh berbeda dengan perkawinan adat di Pariaman. Perbedaan itu sangat dipengaruhi oleh nilainilai magis-religuis yang dianut masyarakat adatnya serta kearifan lokal/warisan leluhur sejak zaman dahulunya yang telah dijaga secara turun temurun. Pada hukum perkawinan adat Minangkabau dikenal istilah perkawinan bajapuik. Tradisi menjemput laki-laki yang hanya terdapat di daerah adat
3
Djamanat Samosir, Hukum Adat Indonesia Eksistensi Dalam Dinamika Perkembangan Hukum di Indonesia, (Bandung : Nuansa Aulia, 2013) hlm. 11. 4 Ter Haar, Asas-Asas Dan Susunan Hukum Adat (Jakarta : Pranidja Paramita, 1980), hlm 58 5
Chairul Anwar, Meninjau Hukum Adat Minangkabau, (Jakarta: PT. Rineka Cipta . 1997), hlm 1
3
Minangkabau Pariaman dan sekitarnya. Perkawinan bajapuik ini juga merupakan adat nan diadatkan dalam lingkungan adat Minangkabau yaitu peraturan setempat yang telah diambil dengan kata mufakat ataupun kebiasaan yang berlaku umum dalam suatu nagari.6 Tingkatan adat Minangkabau yang mengolongkan perkawinan bajapuik sebagai adat nan diadatkan mencerminkan bahwa perkwinan bajapuik ini hanya berlaku bagi masyarakat hukum adat Pariaman dalam lingkupan wilayah Pariaman, dalam pepatah Minangnya yaitu Lain padang lain belalang, Lain lubuk lain ikannyo, Cupak sapanjang batuang, Adat salingka nagari.7 Perkawinan bajapuik adalah menjemput marapulai (calon suami), kerumah orang tuanya oleh pihak pengantin perempuan untuk mengadakan pernikahan (akad nikah) di rumah pengantin perempuan dengan membawa persyaratan-persyaratan tertentu/ketentuan–ketentuan menurut perkawinan di dearah itu.8 Prosesi ini terkesan sebagai warisan dari leluhur yang sampai sekarang masih diterapkan dalam proses pernikahan sebagian besar masyarakat di Pariaman bahkan juga masyarakat Perantauan Pariaman di dareah perantauanya. Persyaratan-persyaratan dalam pelaksanaan Perkawinan bajapuik
adat
Minangkabau Pariaman diwujudkan dengan adanya beberapa pemberian yang melibatkan barang-barang yang bernilai ekonomis seperti emas, uang dan yang lainya. 6
Amir Syarifudin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam lingkungan Adat Minangkabau, (Jakarta : Gunung Agung, 1990), hlm 145 7 Amir Ms. Adat Minangkabau Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang, (Jakarta : PT. Mutiara Sumber Wijaya, 1993) hlm 73 8 Bustamal Arifin, Uang Hilang Dalam Masalahnya Dalam Perkawinan Pariaman (Study Kasus : Kenagarian Pilubnag Kecamatan Sungai Limau), (Padang : FH UNAND, 1987) hlm 35
4
Persyaratan yang bernilai uang, yang sudah mentradisi dalam perkawinan bajapuik Pariaman yang dikenal dengan istilah uang jemputan. Persyaratan berupa pemberian uang jemputan dilaksanakan berdasarkan kesepakatan dalam perundingan kedua belah pihak niniak mamak dan keluarga kedua belah pihak panganten. Menurut Mutia Reza uang jemputan yaitu sejumlah uang yang diserahkan oleh pihak perempuan kepada pihak laki-laki. Sebagian dari uang tersebut nanti diserahkan oleh pihak laki-laki kepada anak daro saat menjelang mertuanya pada hari berhelat.9 Uang jemputan ini bewujud benda yang bernilai ekonomis, seperti emas dan benda lainnya. Uang Sebagai persyaratan adat, uang jemputan merupakan simbolisasi dari seseorang yang berasal dari keturunan atau asal-usul yang jelas dan sebagai penghormatan kepada pihak keluarga pria yang telah membesarkan calon menantu dengan baik sehingga konsep memberi penghargaan dengan hadiah ini dikenali sebagai tradisi uang jemputan.10 Menurut Djamanat Samosir harta benda perkawinan yaitu harta benda yang diperoleh atau dikuasi suami istri.11 Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwasanya uang jemputan merupakan bagian dari harta benda perkawinan. Harta berupa uang jemputan yang didapat dalam perkawinan bajapuik saat ini belum jelas kedudukanya dalam status kepemilikannya dalam perkawinan itu sendiri, jika terjadi perceraian ataupun kematian, sehingga kedepannya menimbulkan sengketa dalam
9
Mutia Riza, dkk.. Upacara Adat Perkawinan Di Padang Pariaman. (Padang : Museum Adityawarman. 2005) hlm 5 10 Ibid, 11 Djamanat Samosir, Op. cit hlm 295
5
seperti pewarisan, legalitas dalam melakukan perbuatan hukum contohnya jual beli, dan penghibahan harta benda perkawinan yang berupa uang jemputan dan uang hilang. Pada undang- undang perkawinan nomor 1 tahun 1974 pasal 35 ada dua pengelompokan harta kekayaan perkawinan.12 : 1. Harta Bersama
pasal 35 ayat (1) mengatakan bahwa harta benda yang
diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. 2. Harta bawaan 35 pasal Ayat (2) menjelaskan bahwa dari masing-masing suami istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Namun dalam pengaturan tersebut masih bersifat umum, sehingga dalam penerapannya selalu terjadi penafsiran yang berbeda-beda. Terutama dalam mengelompokkan pemberian yang dikenal dalam perkawinan adat, khususnya pemberian berupa uang jemputan dalam perkawinan bajapuik adat Pariaman. Penafsiran yang berbeda-beda ini menimbulkan keraguan hakim untuk menjadikan acuan dalam pertimbangan putusannya berdasarkan undang-undang perkawinan nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan dalam mengkelompokkan atau mengolongkan harta berupa uang jemputan. Hal ini dapat dilihat dari sengketa atau kasus penuntuntan harta yang diperoleh dalam perkawinan adat bajapuik yang terjadi di Pengadilan. 12
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
6
Pada contoh kasus penuntutan pengembalian uang jemputan dan uang hilang di Pengadilan. Baik itu melaui peroses perceraian melalui Pengadilan Agama dan penuntutan wanpretasi melalui Pengadilan Negeri yang telah diputus hakim. Sebagaimana terjadi dalam kasus perceraian melaui putusan Pengadilan Agama Padang Nomor : 0946/Pdt.G/2013/PA.Pdg yang mana dalam pertimbangannya hakim menimbang “Bahwa tentang tuntutan Penggugat Rekonvensi atas uang jemputan Tergugat Rekonvensi menyatakan bahwa tuntutan tersebut tidak mempunyai alasan hukum dan ketika serah terima uang jemputan tersebut tidak ada perjanjian antara yang mengantar dengan yang menerima, maka uang jemputan tersebut dikembalikan kalau terjadi perceraian, bantahan Tergugat rekonvensi tersebut tidak dibantah oleh Penggugat rekonvensi, dengan demikian tidak terbukti adanya alasan hukum untuk mengembalikan uang jemputan oleh Tergugat rekonvensi kepada Penggugat rekonvensi, karenanya tuntutan untuk pengembalian uang jermputan tersebut harus ditolak”.13 Itulah dasar yang menjadi pertimbangan hakim pengadilan agama menilai disana bahwa tidak ada perjanjian yang menyatakan bahwa uang japuik itu bisa dikembalikan bila terjadi perceraian. Sejalan dalam hal penuntutan pengambilan uang japuik melalui gugatan perdata mengenai wanpretasi di Pengadilan Negeri Padang No.63/Pdt.G/2013/PN.PDG, dalam putusan dalam pertimbangan hakim menilai “Bahwa sebelum pernikahan tersebut terjadi telah didahului dengan berbagai macam proses termasuk syarat-syarat yang telah ditentukan dan disepakati oleh ke dua belah pihak dalam hal ini kedua belah pihak keluarga mempelai, diantaranya mengenai 13
Putusan Pengadilan Agama Padang Nomor 0946/Pdt.G/2013/PA.PDG
7
biaya pelaksanaan (uang hilang) dan juga uang jemputan yang mana hal tersebut telah menjadi kesepakatan kedua belah pihak”.14 Berdasarkan contoh kasus diatas dapat dilihat dalam pertimbangan hakim bahwa dari putusan
pengadilan tingkat pertama diatas dalam hal penuntutan
pengembalian uang jemputan hakim yang condong melihat pemberian uang jemputan itu hanya berdasarkan kesepakatan /perundingan niniak mamak kedua belah pihak untuk memberikan persyaratan tersebut dalam perkawinan bajapuik tidak ada dalam pertimbangan yang mengatakan sebagai harta apakah pemberian itu setelah adanya kesapakatan untuk diberikan. Belum adanya kejelasan terhadap pengkelompokan harta benda perkawinan yang berupa pemberian di dalam perkawinan bajapuik ini maka di dalam penelitian ini akan mencoba mengkaji mengenai pemahaman masyarakat adat Pariaman mengenai konsep harta yang diperoleh dalam perkawinan bajapuik terhadap undangundang perkawinan nomor 1 tahun 1974 serta konsep keadilan bagi kedua belah pihak pasangan suami isteri terhadap harta yang diperoleh dalam perkawinan bajapuik pada masyarakat Minangkabau Pariaman dilihat dari motivasi, makna serta perubahan dan pergeseran yang terjadi dalam pelaksanaanya, khususnya di daerah penelitian yang akan dijadikan sampel dalam penelitian yakni Kecamatan Batang Anai, Kecamatan V Koto Kampung Dalam dan V Koto Timur. Berdasarkan uraian tersebut diatas maka penelitian tesis difokuskan pada pemberian uang jemputan, terkait kedudukannya dalam perkawinan yang dituangkan 14
Putusan Pengadilan Negeri Padang Nomor No.63/Pdt.G/2013/PN.PDG
8
dalam judul tesis “kedudukan uang jemputan dalam perkawinan
bajapuik pada
masyarakat Minangkabau Pariaman ditinjau dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan”. Dalam rangka menjawab permasalahan yang terjadi akibat ketidakjelasan dan ketidakpastian terhadap harta yang didapat dalam perkawinan Bajapuik Pariaman yang akhirnya menimbulkan kasus penuntutan pengembalian uang jemputan. B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimana perkembangan pemberian uang jemputan dalam perkawinan adat bajapuik pada masyarakat hukum adat Pariaman? 2. Bagaimana kedudukan uang jemputan yang diperoleh melalui perkawinan bajapuik adat Pariaman menurut undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan? 3. Bagaimana akibat hukum yang terjadi apabila uang jemputan tidak diberikan dalam pelaksanaan perkawinan bajapuik adat Pariaman? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang disebut diatas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah : 1. Untuk
mengetahui
perkembangan
pemberian
uang
jemputan
perkawinan adat bajapuik pada masyarakat hukum adat Pariaman.
dalam
9
2. Untuk mengetahui dan menganalisis kedudukan uang jemputan yang diperoleh melalui perkawinan bajapuik adat Pariaman menurut undangundang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan. 3. Untuk mengetahui dan menganilisis akibat hukum yang terjadi apabila uang jemputan tidak diberikan dalam pelaksanaan perkawinan bajapuik adat Pariaman. D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat baik secara Teoritis maupun secara Praktis dibidang hukum adat pada umumnya dan hukum adat perkawinan, terkhususnya tentang uang jemputan yang di dapat dalam perkawinan adat Pariaman menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 1.
Secara Teoritis Penelitian ini dapat memberikan manfaat berupa sumbangsih pemikiran bagi
perkembangan hukum adat dan hukum perkawinan kepada masyarakat hukum adat maupun setiap orang yang ingin melaksanakan perkawinan bajapuik, serta status kedudukan harta yang berasal dari uang jemputan menurut Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974. 2.
Secara Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi pertimbangan bagi hakim dalam
memutus sengketa mengenai masalah pengembalian uang jemputan ataupun sengketa harta yang berasal dari uang jemputan. Kemudian hendaknya dapat juga bermanfaat
10
kepada masyarakat dalam memahami perkawinan bajapuik serta dampak dan akibat hukumnya dalam perkawinan E. Keaslian Penelitian Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan di lingkungan Universitas Sumatea Utara khususnya di lingkungan Sekolah Pasca Sarjana Magister Kenotariatan Sumatera Utara dan lingkungan kepustakaan Universitas Hukum lainya di Indonesia tidak ada yang menunjukkan bahwa penelitian dengan judul ini belum pernah dilakukan. Akan tetapi ditemukan beberapa judul tesis yang berhubungan dengan topik dalam tesis ini diantara lain : 1.
Pesta Ulina Tarigan, Universitas Sumatera Utara dengan judul : Kajian Yuridis Atas Harta Kekayaan Suami-Isteri Dalam Perkawinan Yang Dilangsungkan Menurut Hukum Adat Masyarakat Karo. Dengan rumusan masalah : a. Bagaimana perkawinan yang diangsungkan menurut hukum adat pada masyarakat karo? b. Bagaimana
harta
kekayaan
suami-isteri
dalam
perkawinan
yang
dilangsungkan menurut hukum adat karo pada masyarakat karo? 2.
Ridhwan Syaukani, UNDIP dengan judul : Perubahan Peran Mamak Dalam Perkawinan Bajapuik Dalam Masyarakat Hukum Adat Minangkabau Di Nagari Sintuak Kecamatan Sintuak Toboh Gadang Dengan rumusan masalah :
Kabupaten Padang Pariaman.
11
a. Bagaiamanakah perubahan peranan mamak terhadap kemanakanya dalam perkawinan bajapuik? b. Faktor Apakah yang mempengaruhi peranan mamak tersebut ? 3.
Indra Utama, UI FISIP dengan judul : Uang hilang dalam perkawinan adat masyarakat Pariaman, Sumatera Barat : Suatu kajian terhadap proses kawin Bajapuik di Nagari Sicincin Kecamatan 2 X 11 Enam Lingkung Kabupaten Padang Pariaman. Dengan rumusan masalah : a. Bagaiamana latar belakang sosial budaya uang hilang ini dalam perkawinan masyarakat matrilineal dewasa ini ? b. Bagaiamana fungsi tradisi uang hilang ini terhadap kehidupan sosial budaya masyarakat ? c. Bagaiamana faktor penyebab masih berlakunya uang hilang dalam perkawinan adat masyarakat Pariaman di tengah era kemajuan sekarang ini? Dari judul penelitian tersebut tidak ada kesamaan dengan penelitian yang
dilakukan. Dengan demikian judul ini belum ada yang membahasnya sehingga penelitian ini dijamin keasliannya dan dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1.
Kerangka Teori Kontinuitas perkembangan ilmu hukum selain bergantung pada metodologi,
aktifitas dan imajinasi sosial, juga sangat ditentukan oleh teori.15 Teori didefinisikan sebagai asas-asas umum dan abstrak yang diterima secara ilmiah dan sekurang15
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum,(Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1982), hlm.6
12
kurangnya dapat dipercaya untuk menerangkan fenomena-fenomena yang ada. Teori bertujuan untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa terjadi gejala spesifik atau proses tertentu terjadi.16 Teori bukanlah pengetahuan yang sudah pasti, tetapi harus dianggap sebagai petunjuk untuk analisis dari hasil penelitian yang dilakukan.17 Teori menguraikan jalan pikiran menurut kerangka yang logis artinya menundukan masalah penelitian yang telah dirumuskan didalam kerangka teoritis yang relevan, yang mampu menerangkan masalah tersebut.18 Teori merupakan suatu penjelasan yang berupaya menyederhanakan pemahaman mengenai suatu fenomena menjadi sebuah penjelasan yang sifatnya umum.19 Kerangka teori adalah kerangka pikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis, si penulis mengenai suatu kasus atau permasalahan (problem) yang dijadikan bahan perbandingan, pegangan teoritis, yang mungkin ia setuju ataupun tidak disetujuinya yang dijadikan masukan dalam membuat kerangka berfikir dalam penulisan.20 Sehingga fungsi teori dalam penulisan teori ini adalah untuk memberikan arahan maupun petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang diamati. Teori hukum bertujuan untuk menjelaskan nilai-nilai hukum dan postulatpostulatnya hingga dasar-dasar filsafat yang paling dalam. Hukum pada hakikatnya adalah sesuatu yang abstrak, namun dalam manifestasinya dapat berwujud konkrit. 16
M. Hisyam, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, (Jakarta : FE UI1996) hlm 203 Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta:PT. Gramedia Pustaka Utama199) ,hlm. 21 18 Made Wiratha, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian Skripsi Dan Tesis, (Yogyakarta : Andi, 2006), hlm 6 19 Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penulisan Hukum Normatif Dan Empiris, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 134 17
20
M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu Dan Penelitian, Cet-1, (Bandung : Mandar Maju 1994), hlm. 80
13
Suatu ketentuan hukum dapat dinilai baik jika akibat-akibat yang dihasilkan dari penerapannya
adalah
kebaikan,
kebahagiaan
yang
sebesar-besarnya
dan
berkurangnya penderitaan.21 Teori utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah Teori kepastian hukum yang didukung dengan teori Keadilan. Berkaitan dengan teori kepastian hukum, maka dapat dilihat seberapa jauh pengaturan peraturan harta berupa uang uang jemputan yang diperoleh dalam perkawinan bajapuik adat Pariaman di dalam hukum adat Pariaman itu serta dalam undang-undang perkawinan dalam menjawab bagaimana harta itu digolongkan. Teori kepastian hukum ini untuk memecahkan masalah, apakah status dan kedudukan harta tersebut dalam perkawinan. Dalam kaitannya dengan teori kepastian hukum ini O. Notohamidjojo mengemukakan berkenaan dengan tujuan hukum yakni : Melindungi hak dan kewajiban manusia dalam masyarakat, melindungi lembaga-lembaga sosial dalam masyarakat (dalam arti luas, yang mencakup lembaga-lembaga sosial di bidang politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan), atas dasar keadilan untuk mencapai keseimbangan serta damai dan kesejahteraan umum (bonum commune).22 Teori kepastian hukum oleh Gustav Radbruch menyatakan bahwa “sesuatu yang dibuat pasti memiliki cita atau tujuan”.23 Jadi, hukum dibuat pun ada tujuannya, tujuannya ini merupakan suatu nilai yang ingin diwujudkan manusia, tujuan hukum 21 Lili Rasjidi dan I.B Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 1993), hlm. 79 22 O. Notohamidjojo, Makna Negara Hukum, (Jakarta : BPK, 1970), hlm. 80-82. 23 Muhamad Erwin, Filsafat Hukum: Refleksi Krisis Terhadap Hukum, (Jakarta : PT. Raja Garfindo Persada, 2011), hlm. 123.
14
yang utama ada tiga, yaitu: keadilan untuk keseimbangan, kepastian untuk ketetapan, kemanfaatan untuk kebahagian. Suatu kepastian hukum mengharuskan terciptanya suatu peraturan umum atau kaidah umum yang berlaku secara umum, serta mengakibatkan bahwa tugas hukum umum untuk mencapai kepastian hukum (demi adanya ketertiban dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia). Hal ini dilakukan agar terciptanya suasana yang aman dan tentram dalam masyarakat luas dan ditegakkannya serta dilaksanakan dengan tegas. 24 Teori Keadilan ini dipergunakan untuk memecahkan permasalahan yang berkaitan dengan hak-hak dari para pihak suami/istri terhadap uang jemputan dan uang hilang di dalam perkawinan itu sendiri ataupun jika terjadi perceraian dan pewarisan. Keadilan merupakan salah satu tujuan hukum. Tujuan hukum memang tidak hanya keadilan, tetapi juga mengenai kepastian hukum dan kemanfaatannya. Pakar teori keadilan yaitu Aristoteles menyatakan bahwa kata adil mengandung lebih dari satu arti. Adil dapat berarti menuntut hukum, dan apa yang sebanding yaitu yang semestinya.25
Berdasarkan hal diatas ditunjukan bahwa seseorang dikatakan berlaku tidak adil apabila mengambil bagian lebih dari bagian yang semestinya. Orang yang tidak menghiraukan hukum juga tidak adil, karena semua hal yang didasarkan kepada hukum dapat dianggap sebagai adil.26
24
Soerjono Soekanto, Penegakkan Hukum, (Bandung : Bina Cipta.1983), hlm. 15 Darji Darmadiharjo dan Shidarta, Pokok-pokok Filsafat Hukum (apa dan bagaimana filsafat hukum Indonesia),(Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1995), hlm.156. 26 Ibid 25
15
Thomas Aquinas selanjutnya membedakan keadilan atas dua kelompok yaitu: keadilan umum (Justitia generalis) dan keadilan khusus. Keadilan umum adalah keadilan menurut kehendak undang-undang, yang harus ditunaikan demi kepentingan umum. Selanjutnya keadilan khusus adalah keadilan atas dasar kesamaan atau proporsionalitas.27 2.
Kerangka Konsepsi Konsepsi adalah bagian terpenting dari teori, peranan konsepsi dalam
penelitian ini untuk menggabukan teori dengan observasi, antara abstrak dan kenyataan. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus disebut defenisi operasional.28 menurut Burhan Ashofa, suatu konsep merupakan abstraksi mengenai suatu fenomena yang dirumuskan atas dasar generalisasi dari jumlah karakteristik kejadian, keadaan, kelompok, atau individu tertentu.29 Beberapa kata kunci dalam studi ini yang dipandang perlu untuk diberikan definisi konsepsinya adalah : a.
Kedudukan adalah status suatu objek (harta perkawinan) yang diperoleh dalam perkawinan adat dilihat aspek hukum sehingga memenuhi unsur kepastian dan keadilan bagi yang menerimanya.
b.
Uang Jemputan ialah uang yang diberikan oleh pihak perempuan kepada pihak laki-laki sebagai persyaratan dalam perkawinan dan dikembalikan lagi ada saatnya mengunjungi mertua untuk pertama kali.30 27
Ibid Samadi Suryabrata. Metodologi Penelitian, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1998), hlm 31 29 Burhan Ashshofa, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta : Rineka Cipta, 1996), hlm 19 30 Maihasani, Bentuk –Bentuk Perubahan dan Pertukaran Dalam Perkawinan Bajapuik, Jurnal Transdisplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekololgi Manusia (Bogor : IPB, 2010) , hlm 190 28
16
c.
Perkawinan bajapuik adalah menjemput marapulai(calon suami), kerumah orang tuanya oleh pihak pengantin perempuan untuk mengadakan pernikahan (akad nikah) di rumah pengantin perempuan dengan membawa persyaratan-persyaratn tertentu/ketentuan–ketentuan menurut perkawinan di dearah itu.31
d.
Masyarakat adat Pariaman adalah suatu kesatuan hidup manusia yang berinteraksi satu sama lain dengan mengunakan bahasa minang Pariaman, melaksanakan adat perkawinan bajapuik Pariaman, beragama islam dan bermukin di wilayah Pariaman yang di dalam penelitian yang merupakan wilayah penelitianya adalah Kabupaten Padang Pariaman yang berdasarkan pengambilan random sampling maka diambillah 3 (tiga) kecamatan yang dijadikan sampel daerah penelitian yakni Kecamatan Batang Anai diwakili Nagari Buayan, Kecamatan V Koto Timur diwakili Nagari Limau Puruik dan Kecamatan V Koto Kampung Dalam Diwakli Nagari Campago.
e.
Masyarakat hukum adat adalah merupakan suatu kesatuan masyarakat yang mempunyai kelengkapan-kelengkapan untuk sanggup berdiri sendiri, yaitu mempunyai kesatuan hukum, kesatuan penguasa dan kesatuan lingkungan hidup berdasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi semua anggotanya.32
f.
Hukum adat adalah keseluruhan aturan tingkah laku yang berlaku bagi Bumi Putera dan Timur Asing yang mempunyai upaya memaksa dan tidak dikodifikasikan.33
31
BustamalArifin, UangHilangDalamMasalahnya DalamPerkawinanPariaman (Study Kasus: Kenagarian Pilubang Kecamatan Sungai Limau), (Padang : FH UNAND, 1987) hlm 35 32 Hazairin, Demokrasi Pancasila, (Jakarta : Bina Aksara, 1970), hlm 44 33 Ridwan Syahrani, Rangkuman Inti Sari Ilmu Hukum, (Jakarta: Kartini,1991), hal 147
17
g.
Perkawinan menurut hukum adat yaitu perikatan yang mempunyai akibat hukum terhadap adat yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Perikatan tidak hanya hubungan suami isteri secara hukum perdata melainkan juga perikatan kekerabatan, ketetanggaan, upacara adat dan keagaaman34
h.
Harta Perkawinan adalah harta yang diperoleh atau dikuasai suatu keluarga merupakan sebagai basis materil untuk kelansungan suatu keluarga yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari- hari suami istri, dan anak – anaknya.35
G. Metode Penelitian Secara etimologi metode diartikan sebagai jalan atau cara melakukan atau mengerjakan sesuatu, metode berasal dari bahasa yunani “ Methodos” yang artinya “jalan menuju” bagi kepentingan ilmu pengetahuan, metode merupakan titik awal menuju proposisi-proposisi akhir dalam bidang pengetahuan tertentu.36 Maka penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya, disamping itu juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan.37
34
Djamanat Samosir, Op.cit hlm 28 Ibid hlm 296 36 Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Hukum, (Bandung: Mandar Maju, 2008), hlm 13 37 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI Press, 2007), hlm 43 35
18
Untuk mendapatkan kebenaran yang objektif diperlukan cara bekerja ilmiah yang disebut metode dan metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1.
Jenis dan Sifat Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah yuridis emperis yaitu penelitian yang
mengacu pada teori-teori, doktrin-doktrin, norma-norma, asas-asas (prinsip-prinsip), kaidah-kaidah yang berkaitan
dengan masalah hukum harta benda perkawinan.
Penelitian empiris bertujuan untuk mengetahui hubungan antara aturan hukum yang satu dengan yang lainya. Serta bertujuan untuk mengetahui perbuatan masyarakat dari sudut sosiologis dalam menggunkan hukum disetiap perbuatanya. Sedangkan penelitian ini adalah deskriptif analitis yaitu menggambarkan atau mendeskripsikan fakta-fakta dengan penerapan tersebut secara analitis dan sistematis. 2.
Lokasi Penelitian Lokasi penelitian ini dilakukan di Kabupaten Padang Pariaman tempat dimana
masih berlakunya hukumg adat perkawinan bajapuik mengingat luasnya Kabupaten Padang Pariaman maka diambil 3 (tiga) Kecamatan sebagai sampel dengan cara random sampling dan dari 3 (tiga) Kecamatan tersebut diwakili masing-masing 1 (satu) Nagari yaitu a.
Kecamatan Batang Anai diteliti diwakili oleh Nagari Buayan
b.
Kecamatan V Koto Kampung Dalam diteliti diwakili Nagari Kubu Padang Manih
c.
Kecamatan V Koto Timur diteliti diwakili Nagari Limau Puruik
19
3.
Populasi dan sampel
a.
Populasi Populasi adalah keseluruhan atau himpunan objek dengan ciri atau
karakteristik yang sama.38 Populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat yang melaksanakan perkawinan bajapuik di tiga kecamatan yang akan diteliti. Kecamatan Batang Anai diwakili oleh Nagari Buayan, Kecamatan V Koto Kampung Dalam Nagari Campago, Kecamatan V Koto Timur Nagari Limau Puruk Populasi
dalam penelitian ini adalah : Masyarakat yang melaksanakan
perkawinan bajapuik, yang mana tiap satu Nagari itu yang dijadikan responden berjumlah 8 (delapan) pasangan suami isteri dengan total 24 (dua puluh empat) pasangan yang melaksanakan perkawinan bajapuik, serta informan tambahan yaitu Kepala Nagari, Niniak Mamak, serta Candiak Pandai dalam jajaran kepengurusan Kerapatan Adat Nagari di seluruh Kecamatan yang akan diteliti. b.
Sampel Penelitian. Pengambilan sampel penelitian dilakukan secara purposive sampling yaitu
masing-masing sampel yang berhubungan dengan penelitian diatas, jadi menentukan sendiri responden yang mana yang dianggap dapat mewakili responden tersebut sesuai dengan tujuan yang ingin dicari dalam penelitian ini, hal ini berdasarkan teori non probality yaitu penentuan responden berdasarkan pertimbangan subjektif.39 Responden tersebut adalah pasangan suami istri yang melaksanakan perkawinan 38 39
hlm 31
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo,1998), hlm 121 Joko P Subagio, Metode Penelitian Dalam Teori dan Praktek, (Jakarta: Rineka Cipta, 1995),
20
bajapuik dalam pernikahanya diambil dari 3 (tiga) nagari yang dijadikan sampel penelitian sejumlah 8 (delapan) pasangan suami istri tiap nagarinya dengan total 24 (dua puluh empat ) pasangan sebagai sampel dalam penelitian ini. Keseluruhan sampel ini
telah mewakili pasangan suami-istri lainya yang melaksanakan
perkawinan bajapuik sehingga dapat mengambarkan bagaiamana kedudukan uang jemputan dalam perkawinan bajapuik pada masyarakat Minangkabau Pariaman. 4.
Sumber Data Dalam penelitian ini terdapat dua jenis data yang dibutuhkan, yaitu data
primer yang diperoleh langsung melalui penelitian dilapangan baik dari masyarakat adat Pariaman yang ada di 3(tiga) Kecamatan yaitu Kecamatan Batang Anai, Kecamatan V Koto Timur dan Kecamatan V Koto Kampung muapun dari narasumber dan data sekunder yang akan diperoleh dari penelitian kepustakaan dari bahan kepustakaan dari bahan pustaka. Sumber data primer dalam penelitian ini diperoleh dengan menggunakan daftar kuesioner dan pedoman wawancara, yang digunakan untuk mengumpulkan data dan informasi dari pihak yang berkaitan dengan kedudukan uang jemputan dalam pelaksanaan perkawinan bajapuik pada masyarakat Minangkabau Pariaman dikaitkan dengan undang-undang perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Daftar Kuisioner dan wawancara dilakukan dengan berpedoman pada daftar pertanyaan yang telah disusun terlebih dahulu sehingga diperoleh data yang dalam penelitian tesis ini.
21
Data sekunder dalam penelitian tesis ini diperoleh melalui studi kepustakaan yaitu untuk memperoleh bahan-bahan yang digunakan untuk mengumpulkan datadata berupa Studi dokumen dikepustakaan yang terdiri dari bahan hukum yang berkaitan dengan hukum perkawinan adat dan harta perkawinan adat yang ditunjang dengan bahan hukum lainnya. Dalam penelitian ini jenis data yang diperlukan, yaitu data sekunder, data sekunder adalah data yang diperoleh dari dokumen publikasi, artinya data sudah dalam bentuk jadi40, yang terdiri dari: a.
Bahan Hukum Primer. Yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat sebagai landasan utama yang dipakai dalam rangka penelitian ini yaitu Undang-undang Nomor. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Bahan Kompilasi Hukum Islam, serta Yuripudensi Makhmah Agung Mengenai Harta Kekayaan Perkawinan dan Putusan Pengadilan.
b.
Bahan Hukum Sekunder. Yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan primer dan dapat membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer, seperti hasil-hasil penelitian, hasil seminar, hasil karya dari kalangan hukum, serta dokumendokumen dan buku-buku yang berkaitan dengan masalah-masalah pernikahan.
c.
Bahan Hukum Tersier. Yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi tentang bahan hukum primer dan bahan sekunder seperti Kamus Hukum, Ensiklopedia, dan lain-lain. 40
Burhan Ashofa,Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 1998), hlm 87
22
5.
Teknik dan Alat Pengumpulan Data
a.
Teknik
1.
Pedoman Wawancara yaitu dengan melakukan tanya jawab secara langsung dan membuat daftar pertanyaan yang sudah direncanakan dengan narasumber yaitu kepala KAN (Kerapatan Adat Nagari) serta dalam lingkupan narasumber lainya Niniak Mamak, Candiak Pandai dan Pemuka masyarakat dan Hakim pengadilan Negeri Pariaman/Padang
2.
Daftar kuisioner dengan mengunakan pedoman pertanyaan yang telah ditetapkan kepada 24 (dua puluh empat) pasangan yang melaksanakan perkawinan bajapuik dari 3 (tiga ) Kecamatan yaitu Kecamatan Batang Anai, Kecamatan V Koto Timur dan Kecamatan V Koto Kampung Dalam yang tiap kecamatan diwakili masing-masing satu nagari yaitu Nagari Buayan, Nagari Limau Puruik dan Nagari Campago atau 8 (delapan) pasangan responden tiap nagarinya.
b. Alat Untuk mendapatkan data yang diperlukan, pengumpulan data dilakukan melalui tahap-tahap penelitian antara lain: 1. Studi dokumen Studi dokumen yaitu dengan melakukan inventarisasi dan sistematisasi literatur yang berkaitan dengan perkawinan adat bajapuik pada masyarakat Minangkabau Pariaman pada khususnya serta literatur hukum adat pada umunya yang dilakukan untuk mendapatkan atau mencari konsepsi-konsepsi,
23
teori-teori, asas-asas dan hasil-hasil permikiran yang berkaitan dengan permasalahan penelitian. 2. Wawancara. Pengumpulan data selain secara pengamatan dapat diperoleh dengan mengadakan wawancara informasi diperoleh langsung dari responden atau informasi dengan cara tatap muka. Wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tatap muka atara si penanya atau pewawancara dengan si penjawab atau responden dengan menggunakan alat yang dinamakan panduan wawancara. Sehingga penelitian ini berusaha menggali informasi dari narasumber yang berkaitan dengan penelitian ini 6.
Analisis Data Analisis data penelitian berisi uraian tentang cara-cara analisis yang
menggambarkan bagaimana suatu data dianalisis dan apa manfaat data yang terkumpul untuk dipergunakan memecahkan masalah yang dijadikan objek penelitian.41 Penelitian ini menggunakan analisis data berupa data kualitatif, yang artinya data diuraikan secara deskriftif, sebagaimana bentuk-bentuk penelitian ilmu sosial, bila dilakukannya sebuah penelitian atas ilmu tersebut. Semua data yang diperoleh kemudian dikelompokan atas data yang sejenis untuk kepentingan anilisis, disusun secara logis sistematis untuk selanjutnya ditrarik kesimpulan dengan metode pedekatan induktif-deduktif yaitu pendekatan dimuali 41
Johan Nasution bender, Op.cit, hlm. 174.
24
dari sampel penelitian yang di genaralisasikan kemudian dikaitkan dengan teori-teori yang ada sehingga menghasilkan hipotesis/asumsi untuk menverifikasi penelitian sehingga dapat ditariknya kesimpulan. Kesimpulan adalah
merupakan jawaban
khusus atas permasalahan yang diteliti, sehingga diharapkan akan memberi solusi atas permasalahan dalam penelitian ini.