1
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Kaum perempuan hari ini tidak hanya beraktifitas di ranah domestik saja. Namun, di dalam masyarakat telah terjadi perubahan paradigma mengenai peran perempuan di ranah publik. Tidak dapat dipungkiri, bahwa gerakan sosial feminisme yang berkembang mulai abad ke-18 telah menjadi salah satu penanda terbukanya ruang publik bagi perempuan. Dimulai dengan munculnya gerakan feminisme liberal yang mengajukan solusi untuk menyelesaikan permasalahan pembangunan, yaitu menghentikan marginalisasi perempuan dengan memperjuangkan perubahan hukum dan peraturan yang memungkinkan bagi perempuan untuk memiliki akses dan kontrol yang sama terhadap pekerjaan dan imbalan ekonomi (M. Fakih: 2009). Kemudian dilanjutkan dengan munculnya gerakan feminisme marxis yang mencoba melakukan gerakan melalui kritik terhadap kapitalisme, terutama yang berkaitan dengan sistem mode produksi. Mereka lebih menekankan pada pembangunan aliansi dengan kelompok-kelompok dan kelas-kelas yang tertindas lainnya (Marisa Rueda, Marta Roodriguez, dan Susan: 2007). Lalu muncul lagi feminisme radikal yang berusaha melihat diskriminasi perempuan dengan cara berbeda. Mereka melihat masalah utamanya adalah sistem patriarki, dimana seluruh sistem kekuasaan dipegang oleh laki-laki terhadap perempuan. Sehingga mereka berjuang untuk mengakhiri relasi laki-laki dan perempuan.
2
Indonesia pun memperoleh dampak dari gerakan feminisme ini, ruang publik pun terbuka. Dilihat dari perkembangan yang ada di Indonesia dengan tuntutan dan perubahan yang ada, gerakan feminisme liberal lebih mendominasi. Telah banyak perempuan yang turut serta sebagai motor penggerak perekonomian keluarga dan aktif dalam kegiatan sosial kemasyarakatan pada umumnya, baik sebagai petani, pedagang, guru, pekerja di sektor informal ataupun sebagai ibu rumah tangga. Berdasarkan hasil sensus penduduk BPS tahun 2010, jumlah penduduk perempuan di Indonesia 118.010.413 jiwa, sedangkan jumlah penduduk laki-laki 119.630.913. Jumlah yang hampir sama antara penduduk laki-laki dan perempuan ini mengindikasikan bahwa perempuan sebagai salah satu penyumbang kemajuan negara, terkhusus di bidang ketenagakerjaan. Cukup besar serta berimbangnya jumlah tenaga kerja perempuan
ini
mengharuskan pihak pemerintah negara Indonesia untuk mengadakan aturanaturan berupa perundang-undangan untuk meminimalisir terjadinya diskriminasi terhadap perempuan di dunia kerja. ILO (International Labor Organization) sebagai organisasi perburuhan yang berskala internasional di bawah naungan PBB yang memiliki 183 anggota, berusaha membuat aturan-aturan dalam bentuk konvensi sebagai instrumen sah yang mengatur aspek-aspek administrasi perburuhan, kesejahteraan sosial atau hak asasi manusia. Bagi negara anggota yang meratifikasi konvensi mengemban dua tugas sekaligus, yakni komitmen resmi untuk menerapkan aturan-aturan
3
konvensi, dan kemauan untuk menerima ukuran-ukuran penerapan yang diawasi secara internasional. Indonesia pun sebagai anggota ILO juga turut meratifikasi 18 (delapan belas) konvensi terkhusus yang berkaitan dengan kesetaraan gender di dunia kerja per tanggal 12 September 2011.
Tabel 1.1 Konvensi ILO yang telah Diratifikasi Indonesia Konvensi C19
C27
C29 C45
C69 C81 C87
C88 C98
C100
C105
Konvensi tentang Kesetaraan Perlakuan (Konpensasi Kecelakaan) Konvensi tentang Pencatatan Beban (Paket yang dikirim dengan Kapal Besar) Konvensi tentang Kerja Paksa Konvensi tentang Kerja Bawah Tanah (bagi perempuan) Konvensi tentang Sertifikasi Juru Masak Kapal Konvensi tentang Pengawasan Perburuhan Konvensi tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak Berorganisasi Konvensi tentang Pelayanan Ketenagakerjaan Konvensi tentang Hak Berorganisasi danPerjanjian Kerja Bersama Konvensi tentang Upah yang Sama untuk Jenis Pekerjaan yang sama Konvensi tentang Penghapusan KerjaPaksa
Tanggal Ratifikasi 12:06:1950
Status Ratifikasi
12:06:1950
Ratifikasi
12:06:1950
Ratifikasi
12:06:1950
Ratifikasi
30:03:1992
Ratifikasi
29:01:2004
Ratifikasi
09:06:1998
Ratifikasi
08:08:2002
Ratifikasi
15:07:1957
Ratifikasi
11:08:1958
Ratifikasi
07:06:1999
Ratifikasi
4
C106
C111 C120 C138 C144
C182 C185
Konvensi tentang Istirahat Akhir Pekan (Komersial dan Perkantoran) Konvensi tentang Diskriminasi (Pekerjaan dan Jabatan) Konvensi tentang Kebersihan (Komersial dan Perkantoran) Konvensi tentang Upah Minimum Konvensi tentang Konsultasi Tripartit (Standar Perburuhan Internasional) Konvensi tentang Bentuk-Bentuk PekerjaanTerburuk Anak-Anak Konvensi tentang Dokumen Identitas Pelaut (Revisi)
23:08:1972
Ratifikasi
07:06:1999
Ratifikasi
13:06:1969
Ratifikasi
07:06:1999 17:10:1990
Ratifikasi Ratifikasi
28:03:2000
Ratifikasi
16:07:2008
Ratifikasi
Sumber: ILOLEX, http://www.ilo.org/ilolex/english/index.htm
Meskipun pemerintah Republik Indonesia telah melakukan ratifikasi terhadap Konvensi ILO, khususnya Konvensi ILO No. 111 tentang Diskriminasi Pekerjaan dan Jabatan, ternyata masih ada beberapa kasus yang menunjukkan kurangnya pengawasan pemerintah terhadap realisasi standarisasi di atas. Kebanyakan
perempuan
pekerja
belum
menikmati
penghargaan
dan
penghormatan yang sama dengan laki-laki sesuai dengan sumbangannya dan beban kerjanya sebagai dampak dari diskriminasi yang terus-menerus terjadi. Kaum perempuan masih menghadapi beragam masalah dalam mengakses pendidikan dan pelatihan, dalam mendapatkan pekerjaan, dan dalam memperoleh perlakuan yang sama di tempat kerja. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh University of Colorado Denver pada tahun 2010 ditemukan bahwa perempuan cantik mengalami diskriminasi saat melamar pekerjaan yang dianggap "maskulin" dan pekerjaan yang tidak membutuhkan penampilan yang menarik. Sebaliknya, kaum laki-laki tidak mengalami diskriminasi yang sama dan selalu mendapat keuntungan.
5
Berdasarkan berita yang diterbitkan oleh website antaranews.com pada bulan Agustus 2010, menurut hasil penelitian majalah Newsweek baru-baru ini terhadap 202 manajer dan 964 anggota masyarakat. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa wajah berperan dalam segala aspek di tempat kerja dan terutama bagi perempuan. Daya tarik lebih bermanfaat bagi perempuan yang melamar
jenis
pekerjaan
feminin
daripada
jenis
pekerjaan
maskulin.
Perempuan cantik cenderung dikelompokkan dalam pekerjaan seperti resepsionis atau sekretaris. Perempuan cantik cenderung diabaikan dalam kategori pekerjaan seperti direktur keamanan, sales perangkat keras, penjaga penjara dan sopir truk gandeng. Selain
itu,
Yayasan
Jurnal
Perempuan
melalui
situs
resminya
(http://jurnalperempuan.com) dalam artikel yang berjudul “Hak-hak Buruh (Pekerja) Perempuan” diterbitkan pada tanggal 25 Mei 2011, ditemukan adanya diskriminasi pemberian upah terhadap perempuan. Upah perempuan lebih rendah dari laki-laki karena buruh perempuan selalu dianggap berstatus lajang. Buruh perempuan tidak mendapat tunjangan keluarga, serta jaminan sosial untuk suami dan anak. Kemudian, perempuan sangat sulit memperoleh promosi jabatan karena selalu ditempatkan di posisi yang lebih rendah dari laki-laki, yang tidak mensyaratkan pendidikan dan keterampilan yang tinggi. Perempuan ditempatkan pada pekerjaan yang hanya membutuhkan ketekunan, ketelitian, dan kerapihan, dan biasanya hanya mengerjakan satu jenis pekerjaan setiap hari selama bertahuntahun.
6
Kendala-kendala ini dapat menimbulkan pelanggaran akan hak-hak dasar serta menghambat kesempatan kaum perempuan dalam dunia kerja. Pada gilirannya akan merugikan masyarakat dan perekonomian Indonesia mengingat hilangnya kontribusi besar yang dapat diberikan kaum perempuan melalui tempat kerja. Meskipun perempuan Indonesia hari ini jauh lebih maju dibanding pada beberapa masa yang lalu, tetapi hal tersebut ternyata tidak memberikan kontribusi yang cukup baik bagi posisi perempuan di dunia kerja. Pemerintah bahkan lebih menomorduakan penyelesaian masalah diskriminasi perempuan. Sehingga masalah ini seakan-akan terlihat hanya milik kaum perempuan saja, bukan sebagai permasalahan bersama antara laki-laki dan perempuan. Perbaikan nasib pekerja perempuan Indonesia kerap menimbulkan banyak kontroversial dan merupakan isu yang tak pernah habis untuk diperbincangkan. Ketika perempuan masuk di dunia kerja, sering mengalami pola diskriminasi dan peminggiran yang didasari pada keyakinan dan perilaku yang menetapkan perempuan dalam posisi lebih rendah dibanding pekerja laki-laki. Nasib pekerja perempuan Indonesia bergantung kepada kepedulian pemerintah untuk lebih serius memikirkan serta memberi perlindungan terhadap warganya. Dengan adanya diskriminasi bahkan menunjukkan adanya eksploitasi terhadap perempuan Indonesia hingga saat ini merupakan bukti nyata bahwa kurang terlindunginya hak-hak pekerja perempuan di Indonesia Dalam penelitian ini, penulis menjadikan kota Makassar sebagai ruang lingkup objek penelitian. Berdasarkan hasil sensus penduduk BPS tahun 2010,
7
jumlah penduduk perempuan 676.654 jiwa yang lebih besar dibanding jumlah penduduk laki-laki yang hanya 662.009 jiwa. Selain itu berdasarkan buku “Makassar Dalam Angka Tahun 2010” jumlah penduduk perempuan dilihat dari usia produktif kerja (usia 15-64 tahun) berada pada angka 459.505 jiwa, sedangkan jumlah penduduk laki-laki berada pada angka 399.428 jiwa. Dari data di atas, dapat dilihat bahwa tenaga kerja perempuan memiliki potensi jauh lebih besar memberikan sumbangsih dalam perkembangan ekonomi di kota Makassar. Dari jumlah di atas, tidak dapat dipungkiri bahwa saat ini jumlah wanita lebih banyak dibandingkan pria. Demikian halnya realitas yang terjadi di Makassar. Namun sayangnya, jumlah kaum perempuan yang lebih tersebut belum sebanding dengan jumlah yang terserap ke lapangan kerja. Hal ini dibenarkan dengan data dari Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Kota Makassar. Namun kenyataan berkata lain. Pada tahun 2010, di kota Makassar 1.600 pekerja/buruh perempuan di PHK (pemutusan hubungan kerja). Akibatnya 100 juta ibu tekor (utang) Rp30.000 untuk biaya konsumsi rumah tangga. Selain itu pula, terjadi eksploitasi tenaga kerja perempuan, baik dalam konteks migrasi kerja di luar negara (buruh migran perempuan), di dalam negara (buruh pabrik) maupun di dalam rumah tangga (PRT). Terbukanya peluang kerja bagi perempuan khususnya di kota Makassar, ternyata tidak membuat pekerja perempuan bisa diterima di semua tempat kerja. Hal ini terjadi karena masih adanya pendikotomian tempat kerja bagi perempuan. Dari jumlah tenaga kerja perempuan di kota Makassar sebanyak 37.896, pekerja perempuan banyak yang bekerja pada sektor industri, khususnya bidang jasa.
8
Beberapa contoh di antaranya adalah industri pengolahan ikan dan udang yang ada di Kawasan Industri Makassar (KIMA), dan industri lainnya. Untuk itu penulis mencoba melakukan penelitian dengan mengangkat tema mengenai sejauh mana efektifitas pelaksanaan ratifikasi konvensi ILO No. 111 tentang Diskriminasi Pekerjaan di Indonesia. Oleh karena itu, judul yang penulis ajukan yaitu Efektivitas Ratifikasi Konvensi ILO No. 111 terhadap Penghapusan Diskriminasi Perempuan di Tempat Kerja di Kota Makassar.
1.2. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan sebuah permasalahan yaitu, apakah ratifikasi konvensi ILO No. 111 sudah efektif dalam menghapus diskriminasi perempuan di tempat kerja di kota Makassar?
1.3. Tujuan Penelitian Untuk mengetahui sejauh mana efektivitas ratifikasi konvensi ILO No. 111 yang dilakukan oleh Negara Republik Indonesia dalam usahanya menghapus diskriminasi perempuan di tempat kerja, khususnya di kota Makassar.
1.4. Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penelitian di atas, sebagai berikut. 1. Menjadi salah satu bagian dari pengembangan ilmu pengetahuan. Khususnya dapat dijadikan sebagai salah satu referensi dalam penelitian selanjutnya.
9
2. Bagi instansi terkait, diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan untuk menyelesaikan permasalahan ketenagakerjaan, khususnya terhadap penghapusan diskriminasi di lingkungan kerja.
1.5. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan dalam penelitian ini terdiri atas 5 (lima) bab sebagai berikut : BAB I Pendahuluan. Bab ini terdiri dari latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, dan sistematika penulisan. BAB II Tinjauan Pustaka. Dalam bab ini akan dibahas mengenai sejumlah konsep teori yang ada dan berhubungan dengan pokok bahasan yang diangkat. BAB III Metodologi Penelitian. Dalam bab ini dikemukakan tentang kerangka pemikiran, metode analisa data, sumber dan jenis data serta teknik pengumpulan data yang penulis lakukan dalam penelitian ini. Bab IV Pembahasan dan Hasil Penelitian. Merupakan bab pembahasan dan hasil penelitian yang meliputi. Bab V Kesimpulan dan Saran. Bab ini membahas kesimpulan terhadap analisis yang dapat diambil oleh penulis dan saran yang diberikan penulis terkait kesimpulan hasil analisis.
10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Landasan Teori 2.1.1. Konsep Manajemen Sumber Daya Manusia Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM) berhubungan dengan sistem rancangan formal dalam suatu organisasi yang menentukan efektivitas dan efisiensi untuk mewujudkan sasaran suatu organisasi. MSDM merupakan konsep luas tentang filosofi, kebijakan, prosedur, dan praktik yang digunakan untuk mengelola individu atau manusia melalui organisasi. Menurut Gary Dessler (2003), manajemen sumber daya manusia merupakan kebijakan dan praktik yang menentukan aspek “manusia” atau sumber daya manusia dalam posisi manajemen termasuk merekrut, menyaring, melatih, memberi penghargaan dan penilaian. Manusia sebagai SDM memiliki keberadaan yang sangat penting dalam perusahaan. SDM mampu menunjang perusahaan melalui karya, bakat, kreativitas, dorongan dan peran nyata dalam setiap perusahaan ataupun organisasi baik sebagai pengusaha, karyawan, manajer, komisaris ataupun sebagai pemilik. Tanpa adanya unsur manusia, perusahaan tidak akan memampu bergerak dan berjalan menuju ke arah yang diinginkan. SDM perlu dikelola secara baik dan profesional agar dapat tercipta keseimbangan antara kebutuhan SDM dengan tuntutan serta kemajuan bisnis perusahaan. Bila pengelolaan SDM dapat dilaksanakan secara profesional,
11
diharapkan SDM dapat bekerja secara produktif. Pengelolaan SDM secara profesional ini harus dimulai sejak perekrutan, seleksi, pengklasifikasian, penempatan sesuai dengan kemampun, pelatihan dan pengembangan karir karyawan (Veithzal Rivai,2004). Hakekat manajemen SDM sangat ditentukan oleh sifat SDM itu sendiri, yang selalu berkembang (dinamis) baik jumlah maupun mutunya. Jika dikaitkan dengan pertumbuhan ekonomi, SDM yang tersedia haruslah memiliki pendidikan yang bermutu dengan kualitas hidup yang baik. Selain itu, harus didukung dengan adanya kesempatan kerja yang cukup besar. Maka untuk mencapai tingkat keseimbangan antara SDM yang tersedia dengan tingkat pertumbuhan ekonomi pada tahap tertentu diperlukan manajemen SDM yang tepat pada tingkat nasional. Dalam penerapannya, konsep manajemen SDM dilaksanakan melalui tahapan sebagai berikut. 1. Penerapan fungsi manajemen SDM secara makro dan mikro. Penerapan fungsi manajemen SDM dalam arti makro merupakan pelaksanaan fungsi pokok manajemen secara umum (fungsi manajerial). Sedangkan, dalam arti mikro merupakan fungsi manajemen SDM yang sifatnya operasional. Pada tingkat mikro, fungsi-fungsi manajemen SDM tidak semuanya dapat dipakai sepenuhnya pada organisasi atau perusahaan. Dengan demikian, SDM yang telah terikat pada suatu organisasi (formal, perusahaan, industri) berdasarkan suatu kontrak kerja, atau
12
telah berhubungan kerja dengan suatu organisasi berdasarkan suatu kerja sama, disebut SDM pada status mikro (pegawai, karyawan atau staf) dan SDM yang masih bebas atau belum terikat kontrak kerja atau kerja sama dengan suatu organisasi disebut SDM makro. 2. Prinsip-prinsip Manajemen SDM Dalam manajemen SDM selain fungsi manajerial dan operasional di dalam penerapannya harus diperhatikan pula prinsip-prinsip manajemen SDM, sebagai berikut. a. Kemanusiaan b. Demokrasi c. The right man on the right place d. Equal pay for equal work e. Kesatuan arah f. Kesatuan komando g. Efisiensi dan efektivitas h. Produktivitas kerja i. Disiplin j. Wewenang dan tanggung jawab. Menurut Malayu S.P. Hasibuan (2006:16) dalam mempelajari MSDM ada tiga pendekatan yang dapat dilakukan, sebagai berikut. 1. Pendekatan Mekanis Mekanisasi merupakan proses penggantian peranan tenaga kerja manusia dengan mesin untuk menjalankan pekerjaan. Pendekatan mekanis ini
13
menitikberatkan analisisnya kepada spesialisasi, efektivitas, standardisasi, dan memperlakukan karyawan sama halnya dengan mesin. Keuntungan spesialisasi ini, pekerja semakin terampil dan efektivitas semakin besar. Kelemahannya,
pekerjaan
membosankan
karyawan,
mematikan
kreativitas, dan kebanggaan karyawan atas pekerjaannya akan semakin berkurang. Standardisasi diterapkan cukup mendalam sehingga terjadi pemindahan pekerjaan dari manusia kepada mesin antarkomponen yang satu dengan komponen yang lainnya dapat saling dipertukarkan serta spesialisasi mesin-mesin, peralatan, tata letak, dan pabrik pada
karyawan itu
mempunyai pikiran, perasaan, cita-cita,harga diri, dan sebagainya. 2. Pendekatan Paternalis, Pada pendekatan paternalis, manajer dalam pengarahan bawahannya bertindak seperti bapak terhadap anaknya. Para bawahan diperlakukan dengan baik, fasilitas-fasilitas diberikan, dan bawahan dianggap anakanaknya. Pendekatan ini menyebabkan karyawan menjadi manja, malas sehingga produktivitas menjadi menurun. Kondisi yang memberikan kebebasan terhadap karyawan akan berdampak negatif bagi perusahaan apabila tidak ada harmonisasi yang terjalin antara atasan dan bawahan. Dari kondisi tersebut, pendekatan sistem sosial hadir guna memberikan penjelasan mengenai cara untuk meningkatkan kinerja karyawan dengan mempertimbangkan berbagai aspek yang ada dalam perusahaan. 3. Pendekatan Sistem Sosial.
14
Pendekatan sistem sosial ini memandang bahwa organisasi/perusahaan adalah suatu sistem yang kompleks yang beroperasi dalam lingkungan yang kompleks. Manajer menyadari dan mengakui bahwa tujuan organisasi/perusahaan akan tercapai jika tercipta lingkungan yang harmonis yang akan melahirkan kerjasama yang baik antara pihak atasan dan pihak bawahan dalam suatu organisasi. Pemikiran ini didasari oleh adanya saling ketergantungan, interaksi, dan keterkaitan antara sesama karyawan. Setiap sistem senantiasa berkaitan, baik dengan sebuah sistem yang lebih luas dan lebih tinggi tingkatannya, maupun dengan subsistem sendiri yang mewakili integrasi berbagai sistem dari berbagai tingkatan yang lebih rendah. Perusahaan akan tumbuh dan berkembang jika sistem sosial terintegrasi dalam satu sistem yang harmonis serta berinteraksi dengan baik. Pendekatan sistem sosial ini hendaknya menekankan kepada kesadaran atas tugas dan tanggung jawab setiap individu maupun kelompok yang didasari oleh sebuah pemahaman bersama dari sebuah sistem nilai sehingga kinerja karyawan lebih optimal. Hingga saat ini belum ada perusahaan yang mampu melaksanakan tugas-tugasnya
tanpa
memerlukan
sumber
daya
manusia.
Terdapat
kecenderungan bahwa semakin besar suatu perusahaan, semakin besar pula kebutuhan sumber daya manusianya. Hal ini dapat kita lihat dalam praktek dunia bisnis. Walaupun suatu perusahaan sudah menggunakan mesin yang berteknologi tinggi, modern, serta otomatis, perusahaan tetap saja
15
membutuhkan sumber daya manusia yang terampil dalam jumlah yang harus memadai. Sumber daya manusia yang terampil hanya akan didapatkan jika perusahaan mau bertanggung jawab untuk mengembangkan para pekerjanya dengan melaksanakan aktivitas yang mendukung peningkatan kompetensi karyawan.
2.1.2. Efektivitas Secara etimologi, kata “efektivitas” berasal dari kata “efektif” (effective) yang memiliki makna berhasil. Menurut Effendy (1989) mendefinisikan efektivitas sebagai komunikasi yang prosesnya mencapai tujuan yang direncanakan sesuai dengan biaya yang dianggarkan, waktu yang ditetapkan dan jumlah personil yang ditentukan. Efektivitas menurut pengertian di atas mengartikan bahwa indikator efektivitas dalam artian tercapainya sasaran atau tujuan yang telah ditentukan sebelumnya merupakan sebuah pengukuran di mana suatu target telah tercapai sesuai dengan apa yang telah direncanakan. Menurut Arens, A. Alnin, Elder dan Beansley (2003:738), efektivitas mengacu pada pencapaian tujuan, dimana efisiensi mengacu pada sumber yang digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan. Efektivitas berfokus pada outcome (hasil), program, atau kegiatan yang dinilai efektif apabila output yang dihasilkan dapat memenuhi tujuan yang diharapkan.
Sehubungan
dengan
hal
tersebut,
maka
efektivitas
16
menggambarkan seluruh siklus input, proses dan output yang mengacu pada hasil guna dari suatu organisasi, program atau kegiatan yang menyatakan sejauhmana tujuan (kualitas, kuantitas, dan waktu) telah tercapai, serta ukuran berhasil tidaknya suatu organisasi mencapai tujuannya dan mencapai targettargetnya. Kata efektif sering dicampuradukkan dengan kata efisien, walaupun artinya tidak sama. Sesuatu yang dilakukan secara efisien belum tentu efektif. Secara singkat pengertian efisiensi adalah melakukan atau mengerjakan sesuatu secara benar “doing things right”, sedangkan efektivitas berarti melakukan atau mengerjakan sesuatu tepat pada sasaran “doing the right things”. Efisien harus selalu bersifat kuantitatif dan dapat diukur (measurable), sedangkan efektif mengandung pula pengertian kualitatif. Efektif lebih mengarah ke pencapaian sasaran. Efisien dalam menggunakan masukan (input) akan menghasilkan produktifitas yang tinggi. Tingkat efektivitas itu sendiri ditentukan oleh terintegrasinya sasaran dan kegiatan organisasi secara menyeluruh, kemampuan adaptasi dari organisasi terhadap perubahan lingkungannya. Dari pengertian di atas, dapat diketahui bahwa efektivitas adalah hubungan antara hasil (output) yang dicapai dengan sasaran yang ingin dicapainya. Jika hasil tersebut semakin mendekati sasaran atau tujuan maka semakin efektif.
17
2.1.2. Peran Negara dalam Melindungi Para Pekerja Menurut Logemann, negara adalah suatu organisasi kemasyarakatan yang bertujuan untuk mengatur serta menyelenggarakan sesuatu dalam masyarakat. Sedangkan, Hans Kelsen mendefinisikan negara sebagai suatu susunan pergaulan hidup bersama dengan tata paksa. Roger F. Soultau mengartikan negara merupakan alat (agency) atau wewenang (authority) yang mengatur atau mengendalikan persoalan bersama atas nama masyarakat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, negara mempunyai dua pengertian. Pertama, negara adalah organisasi di suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati rakyatnya. Kedua, negara adalah kelompok sosial yang menduduki wilayah atau daerah tertentu yang diorganisir di bawah lembaga politik dan pemerintah yang efektif, mempunyai satu kesatuan politik, berdaulat sehingga berhak menentukan tujuan nasionalnya. Dari pendapat para ahli mengenai pengertian negara, maka secara garis besar terdapat 3 unsur dalam sebuah negara, yaitu: 1. Rakyat Orang-orang yang bertempat tinggal di wilayah itu, tunduk pada kekuasaan negara dan mendukung negara yang bersangkutan. 2. Wilayah Daerah yang menjadi kekuasaan negara serta menjadi tempat tinggal bagi rakyat negara. Wilayah juga menjadi sumber kehidupan rakyat negara yang meliputi wilayah laut, darat dan udara.
18
3. Pemerintah berdaulat Adanya
penyelenggara
negara
yang
memiliki
kekuasaan
menyelenggarakan pemerintahan di negara tersebut. Pemerintah memiiki kedaulatan baik ke dalam yaitu memiliki kekuasaan untuk ditaati oleh rakyatnya; serta kedaulatan ke luar yang artinya negara mampu mempertahankan diri dari serangan negara lain. Ketiga unsur di atas merupakan unsur konstitutif atau sebagai unsur pembentuk. Selain unsur di atas, pengakuan dari negara lain merupakan unsur deklaratif yaitu unsur yang sifatnya menyatakan, bukan sebagai unsur yang mutlak. Negara merupakan sebuah organisasi yang tidak hadir begitu saja, tetapi negara hadir memiliki fungsi dan tujuannya, serta dibentuk untuk menjalankan tugas-tugas tertentu. Fungsi negara merupakan gambaran yang dilakukan negara untuk mencapai tujuannya. Berikut fungsi-fungsi negara menurut beberapa ahli. 1. Menurut John Locke, negara memiliki 3 fungsi yaitu: a. Fungsi legislatif, untuk membuat peraturan; b. Fungsi eksekutif, untuk melaksanakan peraturan; c. Fungsi federatif, untuk mengurusi urusan luar negeri dan urusan perang dan damai. 2. Montesquieu dengan teori Trias Politica, fungsi negara sebagai berikut: a. Fungsi legislatif, membuat undang-undang; b. Fungsi eksekutif, melaksanakan undang-undang;
19
c. Fungsi yudikatif, untuk mengawasi pelaksanaan undang-undang (fungsi mengadili). 3. Menurut Mirriam Budiardjo, fungsi pokok negara adalah sebagai berikut: a. Melaksanakan penertiban untuk mencapai tujuan bersama dan mencegah bentrokan dalam masyarakat (stabilisator); b. Mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya. Fungsi ini dijalankan dengan melaksanakan pembangunan di segala bidang; c. Fungsi pertahanan untuk menjaga kemungkinan serangan dari luar; d. Menegakkan keadilan melalui pembentukan badan-badan pengadilan. 4. Mc Iver menjelaskan bahwa ada 3 fungsi negara, yaitu: a. Berfungsi dalam kebudayaan; b. Berfungsi dalam bidang kesejahteraan umum; c. Berfungsi dalam bidang perekonomian. Pada intinya, semua negara dibentuk untuk mensejahterakan rakyatnya. Dan kesejahteraan rakyat pada hakekatnya merupakan bentuk campur tangan dari pemerintah. Kesejahteraan masyarakat merupakan hal yang wajib dipenuhi oleh negara untuk warganya dalam kondisi dan situasi apapun. Pekerja sebagai bagian dari masyarakat pun harus menikmati kesejahteraan tersebut. Menurut Undang-Undang Ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003 pasal 1, pekerja adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Sesuai dengan pengertian pekerja berdasarkan Kamus
20
Besar Bahasa Indonesia, merupakan orang yang bekerja; orang yang menerima upah atas hasil kerjanya; buruh; karyawan. Pekerja, karyawan atau biasa juga disebut sebagai buruh merupakan pihak yang cukup banyak menyumbangkan perubahan dalam pembangunan sebuah negara. Tak dapat dipungkiri, pekerja menjadi tulang punggung atas terlaksananya seluruh aktivitas di semua aspek kehidupan berbangsa bernegara. Dengan besarnya partisipasi pekerja dalam peningkatan ekonomi sebuah negara, mengharuskan negara (pemerintah) memberikan perhatian lebih terhadap kondisi pekerja. Negara harus bisa menjamin stabilitas pertumbuhan perekonomian. Tanpa adanya jaminan terhadap stabilitas pertumbuhan ekonomi, maka sulit pula menjamin kesejahteraan para pekerja. Bentuk pertanggungjawaban lain dari negara (pemerintah) terhadap perbaikan kondisi ketenagakerjaan di Indonesia adalah membuat regulasi yang tidak berat sebelah, dimana regulasi ini benar-benar harus dilaksanakan oleh seluruh pihak yang terkait. Negara (pemerintah) kesejahteraan
pekerja
turut
melalui
campur tangan peraturan
dalam peningkatan
perundang-undangan
guna
memberikan jaminan kepastian hak dan kewajiban bagi semua pihak. Salah satu usaha yang dilakukan negara (pemerintah) yaitu melalui Konvensi ILO No. 111 tentang diskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan yang telah diratifikasi melalui UU No. 21 tahun 1999. Konvensi merupakan instrumen sah yang mengatur aspek-aspek administrasi perburuhan, kesejahteraan sosial atau hak asasi manusia. Bagi
21
negara anggota yang meratifikasi konvensi mengemban dua tugas sekaligus, yakni komitmen resmi untuk menerapkan aturan-aturan konvensi, dan kemauan untuk menerima ukuran-ukuran penerapan yang diawasi secara internasional. Konvensi ILO No. 111 ini berisi tentang diskriminasi pekerjaan dan jabatan yang hadir untuk melindungi pekerja perempuan. Konvensi hadir untuk menetapkan standar dan memberikan suatu model dan merangsang adanya peraturan perundangan tingkat nasional dan praktik-praktiknya di negara-negara anggota. Konvensi ILO No. 111 bertujuan untuk mempromosikan kesempatan dan perlakuan yang sama dalam pekerjaan dan jabatan yang mengarah kepada penghapusan segala bentuk diskriminasi berdasarkan asal muasal termasuk jenis kelamin melalui metode sesuai dengan kondisi nasional. Selain itu, Konvensi ILO No. 111 hadir sebagai pelengkap Konvensi ILO No. 100 tentang pemberian upah yang setara untuk pekerjaan yang mempunyai nilai setara antara laki-laki dan perempuan. Untuk melindungi pekerja dari hal-hal yang sifatnya tidak mendukung, peraturan-peraturan yang ada harus dilaksanakan oleh semua pihak yang terkait. Dan tentu saja dengan hadirnya konsep pengawasan mempermudah realisasi peraturan ketenagakerjaan yang ada.
22
2.1.3. Konsep Gender Konsep gender merupakan konsep yang dipengaruhi oleh kedudukan dan pembagian peran antara laki-laki dan perempuan. Dalam bukunya yang berjudul “Analisis Gender dan Transformasi Sosial”, Mansour Fakih menjelaskan konsep gender yang dipahami sebagai suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Misalnya, perempuan dikenal lemah dan lembut; cantik dan emosional. Sedangkan, laki-laki sering dianggap kuat dan perkasa; gagah dan rasional. Ciri dari sifat di atas merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan. Munculnya perbedaan dalam konsep gender antara laki-laki dan perempuan dikarenakan oleh banyak hal, diantaranya dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksi secara sosial atau kultural, melalui ajaran keagamaan maupun negara (Mansour Fakih:2008, 8). Masyarakat yang berbeda memiliki banyak gagasan yang berbeda tentang cara yang sesuai bagi perempuan dan laki-laki untuk berperilaku seharusnya. Hal ini memperjelas sejauh mana peran gender bergeser dari asalusulnya ke dalam jenis kelamin biologis kita (Julius C. Mosse:1996). Seringkali konsep gender disalahpahami sebagai konsep yang melekat secara kodrati dalam diri manusia (laki-laki dan perempuan). Hal yang sifatnya kodrati ini biasanya dilandasi dengan konsep seks (jenis kelamin), dimana perbedaan antara perempuan dan laki-laki berdasarkan kondisi biologis (tabel 1.2). Padahal sebagian besar dari sesuatu yang dewasa ini sering dianggap
23
sebagai kodrat, sebenarnya merupakan konstruksi sosial dan kultur, atau gender. Tabel 1.2 Perbedaan biologis antara perempuan dan laki-laki Ciri Primer
Biologis Lelaki Penis, Scotrum, Testis, Sperma, Prostat (Kelenjar)
Biologis Perempuan Vagina, Indung telur, sel telur, uterus, haid, hamil, melahirkan menyusui Bersifat bawaan, kodrat, ciptaan dari Tuhan. Tidak berubah oleh pengaruh zaman, waktu, ras/suku/bangsa, kultur, agama, ideology Kulit halus, dada besar, suara Ciri Sekunder Bulu dada/tangan, jakun, suara berat, berkumis lebih bernada tinggi Ciri tertier – relasi gender antara laki-laki dan perempuan. Dapat diubah dan dipertukarkan, sesuai dengan norma, nilai dan budaya setempat. (Sumber: Pemberdayaan Perempuan dari Masa ke Masa- AidaVitayala, 2010)
Perempuan Indonesia selalu dikonotasikan sebagai sesosok makhluk yang lemah lembut dan lebih mengedapankan sisi emosionalnya sehingga perlu dilindungi, sedangkan laki-laki digambarkan sebagai sosok manusia yang gagah, perkasa dan lebih rasional, sehingga lebih bisa menjadi pelindung. Akibatnya, perempuan sejak kecil sudah disosialisasikan untuk melakukan peran partikularistik uang bersifat domestik. Sedangkan, laki-laki disosialisasikan
untuk
berperan
universal
(publik).
Pencitraan
ini
dimantapkan dan dilembagakan dalam tatanan nilai masyarakat sebagai acuan bertindak (Hubeis, AV:2010). Pencitraan ini mengakibatkan banyak orang berpendapat bahwa pekerjaan dalam rumah urusan perempuan dan pekerjaan di luar rumah sebagai tanggung jawab laki-laki. Namun, karena munculnya desakan ekonomi dan berbagai alasan lain menyebabkan bergeser dan kaburnya
24
pembatas antara peran perempuan dan laki-laki di dalam maupun di luar rumah. Akan tetapi, proses ini tidak menyebabkan perubahan secara utuh, sehingga tidak jarang muncul kesalahpahaman dan konflik peran pada perseorangan, kelompok dan masyarakat keseluruhan. Ketimpangan tanggung jawab atas pergeseran peran telah terjadi, mengakibatkan sebagian besar perempuan memiliki jam kerja lebih lama dari rata-rata jam kerja laki-laki (Hubeis, AV:1987). Kekeliruan ini berlanjut dalam menentukan jenis pekerjaan yang cocok dan tidak cocok untuk dilakukan oleh seorang perempuan atau laki-laki. Karena dianggap lemah maka hanya pekerjaan ringan yang cocok untuk perempuan, sedang laki-laki melakukan pekerjaan berat. Namun dalam realitasnya, tidak selamanya perempuan merupakan sosok manusia lemah fisik atau nalar, begitu pula sebaliknya bahwa tidak selamanya laki-laki selalu tampil dengan memiliki fisik dan penalaran yang lebih baik. Dengan melihat kondisi di atas, perlu dilakukan represepsi yang mengacu pada suatu wawasan bahwa laki-laki atau perempuan sebagai manusia memiliki kesamaan kemampuan dalam berprestasi (Hubeis, AV:2010,74).
2.1.4. Diskriminasi Perempuan Di Tempat Kerja Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, diskriminasi adalah pembedaan perlakuan terhadap sesama warga negara (berdasarkan warna kulit, golongan, suku, ekonomi, agama, dsb). Hal yang sama juga
25
dibahasakan pada Konvensi ILO No.111 pasal 1 ayat (1), istilah diskriminasi meliputi setiap perbedaan, pengecualian atau pilihan atas dasar ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, keyakinan politik, kebangsaan atau asal usul dalam masyarakat, yang mengakibatkan hilangnya atau berkurangnya kesetaraan kesempatan atau perlakuan dalam pekerjaan atau jabatan. Munculnya istilah diskriminasi terhadap perempuan tentu saja tidak terlepas dari hadirnya gerakan feminisme. Seluruh gerakan feminis berangkat dari kesadaran akan diskriminasi, ketidaksetaraan, ataupun ketidakadilan terhadap perempuan. Feminisme sebagai teori perubahan sosial dan pembangunan merupakan gejala baru, tepatnya ketika gerakan feminis merespon dan melakukan kritik terhadap teori pembangunan yang berkembang pesat sekitar tahun 1976. Latar belakang perkembangan teori perubahan sosial dan kritik terhadap pembangunan dari perspektif feminisme dicetuskan pada suatu konferensi tentang
pengintegrasian
kaum
perempuan
dalam
ekonomi
yang
diselenggarakan di Wesley College, Amerika Serikat. Dari konferensi itulah berkembang suatu pengetahuan baru yang segera menjalar ke birokrasi pembangunan,
sehingga
mempergaruhi
lahirnya
urusan
Women
in
Development (WID) yang mulai dibuka di USAID. WID dikembangkan dan difokuskan pada isu langsung yang berkenaan dengan usaha mendorong partisipasi kaum perempuan dalam program pembangunan (M. Fakih: 2009). Feminisme liberal menjadi landasan analisis sesungguhnya muncul sebagai kritik terhadap teori politik liberal yang umumnya menjunjung tinggi
26
nilai otonomi, persamaan dan nilai moral dan kebebasan individu, tetapi pada saat yang sama dianggap mendiskriminasi kaum perempuan. Asumsi dasar feminisme liberal berakat pada pandangan bahwa kebebasan dan equalitas berakar pada pandangan pemisahan antara dunia pribadi dan umum (M.Fakih: 2009, 148). Sehingga kerangka perjuangan feminisme liberal tertuju pada kesempatan dan hak yang sama. Diskriminasi yang menimpa kaum perempuan memunculkan persepsi bahwa perempuan dilahirkan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang jauh lebih terbatas jumlahnya dengan status pekerjaan rendah dengan imbalan (upah/gaji) yang rendah pula. Pekerjaan perempuan selama ini umumnya terbatas pada sektor rumah tangga (sektor domestik) (Wirartha:2000). Walaupun kini, para perempuan mulai menyentuh pekerjaan di sektor publik, jenis pekerjaan inipun merupakan perpanjangan dari pekerjaan rumah tangga (Siagian:1993, Fakih:1996), misalnya: bidan,juru rawat, guru, sekretaris dan pekerjaan lainnya yang lebih banyak memerlukan keahlian manual. Selain itu di tempat kerja, masih ditemukan adanya praktek yang tidak memberikan kesempatan perempuan untuk terjun ke dunia kerja seperti diskriminasi dalam proses rekrutmen, pelecehan seksual dan diskriminasi (Dameria, Eny: 2008) dalam kenaikan pangkat. Pada perusahaan tertentu sering digunakan kriteria jenis kelamin yang membatasi kesempatan kaum perempuan untuk menduduki posisi-posisi jabatan tertentu dalam perusahaan (Notosusanto:1994).
27
Munculnya diskriminasi di tempat kerja, karena pekerja perempuan dianggap memiliki human capital (pendidikan, pelatihan, dan pengalaman kerja) yang lebih sedikit dibanding dengan pekerja laki-laki (Sumanto: 1993). Hal ini disebabkan, karena secara kultural sebagian masyarakat masih dipengaruhi secara kuat oleh budaya patriarki yang menimbulkan ketimpangan
struktur
sehingga
perempuan
menjadi
terbatas
untuk
memperoleh akses pendidikan, ekonomi dan berorganisasi (Hatta: 2006). Dampak lain dari sistem dominasi di lingkaran budaya patriarki ini membuat mitos ataupun stereotipe tersendiri bagi pekerja perempuan, seperti sebagai berikut: 1. Perempuan sebagai pekerja ideal, terampil, rajin dan teliti; 2. Pekerja perempuan bahagia dengan kesempatan kerjanya, sehingga mudah diatur dan tidak banyak menuntut. Kedua hal di atas banyak dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan untuk mengakumulasi modal (Tjandraningsih: 1997). Hal inilah yang menyebabkan munculnya ketidakadilan dan melahirkan diskriminasi terhadap perempuan. Jika posisi pekerja perempuan dikaitkan dengan isu gender, maka akan ada beberapa hal yang muncul (Daulay, Harmona, 2006), yaitu sebagai berikut: 1. Permasalahan marginalisasi, subordinasi dan stereotipe sosial. a. Berkaitan
dengan
konteks
marginalisasi,
pekerja
perempuan
diasosiasikan penempatannya pada pekerjaan-pekerjaan yang marginal. Karena pekerja perempuan mempunyai sifat halus dan telaten, sehingga
28
pekerjaan yang diberikan merupakan pekerjaan yang kurang penting dan berupah rendah. Selain itu, karena tingginya tingkat absensi pekerja perempuan yang disebabkan hal biologis (cuti hamil dan melahirkan) sering dijadikan alasan untuk menempatkan perempuan dalam pekerjaan yang marginal (Abdullah, 1995). b. Konteks subordinasi tidak akan melepaskan pembicaraan tentang hubungan kekuasaan antara kelompok yang tersubordinasi. Dikaitkan dengan ketenagakerjaan, makan muncul anggapan bahwan perempuan adalah
makhluk
irrasional,
emosional,
dan
lemah
sehingga
menempatkan perempuan pada posisi yang kurang penting. Sedangkan, laki-laki disimbolkan sebagai “tuan” yang mengakibatkan pandangan bahwa perempuan sebagai relasinya adalah budak. c. Stereotipe merupakan pelabelan atau ciri-ciri penandaan terhadap suatu kelompok tertentu. Adanya budaya patriarki yang telah terinternalisasi dalam masyarakat melahirkan stereotipe tentang keberadaan perempuan dalam masyarakat. Perempuan dianggap mempunyai fungsi atau posisi yang layak di rumah, sehingga dilekatkan label domestik. Stereotipe ini juga masuk di tempat kerja dengan menempatkan posisi perempuan berkenaan dengan barang-barang yang dikerjakan di dalam pabrik, biasanya dekat dengan yang dikonsumsi perempuan sehingga muncul feminisasi dalam dunia kerja. 2. Munculnya permasalahan ketidakadilan gender di tempat kerja a. Jenis pekerjaan.
29
Di tempat kerja ada beberapa jenis pekerjaan yang dianggap tidak sesuai jika dilakukan oleh perempuan. Pekerjaan tersebut biasanya membutuhkan tenaga yang kuat dan termasuk dalam pengambilan keputusan yang strategis. Pekerja perempuan biasanya ditempatkan pada bagian yang membutuhkan ketelitian dan tidak membutuhkan kekuatan fisik yang berat. b. Penyediaan fasilitas kerja yang berbeda Hal ini berkaitan dengan kondisi biologis antara perempuan dan lakilaki. Di dalam penyediaan fasilitas kerja, perempuan memerlukan tempat-tempat yang berbeda dengan laki-laki. Termasuk adanya fasilitas kesehatan di dalam merawat diri mereka ataupun berkaitan dengan kesehatan reproduksinya. c. Perbedaan pemberian upah Kebijakan upah didasarkan pada kebutuhan fisik minimum, juga berdasarkan adanya perbedaan kebutuhan dasar antara para pekerja laki-laki dan perempuan. Perhitungan ini dipengaruhi anggapan bahwa perempuan bukan sebagai pencari nafkah utama keluarga. Karenanya dalam penentuan komponen upah ini, standar yang digunakan adalah kebutuhan fisik laki-laki. d. Jenjang karir Pekerja perempuan tidak dipercaya dalam memegang posisi strategis, karena gender dan stereotipe perempuan lebih emosional dan rata-rata memiliki pendidikan yang rendah.
30
e. Pelecehan seksual Pekerja perempuan dianggap sebagai pihak yang pantas melakukan gangguan dan godaan, yang berkembang menjadi pelecehan. Hal ini muncul karena adanya ketimpangan ekonomi. Ditambah tidak adanya jaminan keamanan dan hukum yang membuat perempuan memiliki kekuatan untuk terlibat dalam suatu pekerjaan. Gangguan ini sering menyebabkan perempuan meninggalkan tempat kerja dan keluar.
2.2. Kerangka Pikir Sebagai narasi pemahaman penulis terhadap penelitian, kerangka pikir penulis atas penelitian ini berangkat dari konsep ideal atas kondisi ketenagakerjaan yang menjadi bagian dari tanggung jawab pemerintah untuk tetap meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara umum. Kemudian, penulis berusaha membandingkan kondisi ideal dengan kondisi realistas yang ada mengenai kondisi ketenagakerjaan khususnya mengenai diskriminasi pekerja perempuan di tempat kerja. Gambaran realistis tidak hanya diperoleh dari data-data angka yang dikeluarkan oleh pemerintah terkait pencapaian kesejahteraan pekerja perempuan, melainkan juga dapat terlihat dari kondisi nyata yang dialami oleh pekerja perempuan di tempat kerja, serta informasi-informasi yang diperoleh dari pihak terkait seperti dari pihak manajerial tempat kerja para pekerja perempuan atau instansi pemerintahan yang terkait.
31
Berdasarkan hasil analisis di atas, maka dapat dijadikan landasan penilaian terhadap efektivitas penghapusan diskriminasi perempuan di tempat kerja di kota Makassar. Berikut flow chart dari kerangka pikir penulis:
Idealitas Kondisi Pekerja Perempuan Aturan-aturan Ketenagakerjaan di Indonesia (Konvensi ILO No. 111) Efektifitas Penghapusan Diskriminasi Perempuan di Tempat Kerja
Realitas Kondisi Pekerja Perempuan di Tempat Kerja
Gambar 1.1 Kerangka Pikir
32
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Lokasi dan Objek Penelitian Berdasarkan judul yang peneliti angkat, yaitu ”Efektivitas Ratifikasi Konvensi ILO No. 111 terhadap Penghapusan Diskriminasi Perempuan Di Tempat Kerja Di Kota Makassar”, maka penelitian ini akan dilakukan di kota Makassar, Sulawesi Selatan. Pekerja perempuan yang ada di kota Makassar merupakan objek dari penelitian ini. Dalam rangka memperoleh tingkat efektivitas ratifikasi Konvensi ILO No. 111, penulis membatasi beberapa pihak yang terkait dengan permasalahan yang dibahas di penelitian ini. Syaratnya antara lain pekerja perempuan yang memiliki pengetahuan tentang ketenagakerjaan, dan atau pihak-pihak yang terlibat dalam pelaksanaan aturan Konvensi ILO No. 111 di kota Makassar.
3.2. Jenis Penelitian Penelitian ini akan dilakukan dengan metode kualitatif. Penelitian kualitatif dilakukan dalam situasi wajar (natural setting). Metode ini berusaha untuk memahami dan menafsirkan makna suatu peristiwa interaksi tingkah laku manusia dalam situasi tertentu menurut perspektif peneliti sendiri (Husaini; Akbar, Purnomo, 2009).
33
Penelitian kualitatif adalah penelitian yang menempatkan peneliti sebagai key instrument (instrumen penelitian) dengan data yang meliputi kata-kata tertulis atas lisan dari orang-orang yang memahami objek penelitian. Di samping itu, pendekatan kualitatif lebih peka dan dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama serta pola-pola nilai yang dihadapi di lapangan (Moelong, 2002). Menurut Denzin dan Lincoln (1994 dalam Agus Salim, 2006) secara umum penelitian kualitatif sebagai suatu proses dari berbagai langkah yang melibatkan peneliti, paradigma teoritis dan interpretatif, strategi penelitian, metode pengumpulan data dan analisis data empiris, maupun pengembangan interpretasi dan pemaparan. Sarantakos (1998) berpendapat ada tiga paradigma utama dalam ilmu sosial, yaitu positivistik, interpretatif, dan critical. Pemilihan paradigma memiliki implikasi terhadap pemilihan metodologi dan metode pengumpulan dan analisis data. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metodologi penelitian kualitatif berdasarkan paradigma interpretif. Paradigma interpretif adalah suatu paradigma yang menganggap bahwa ilmu bukanlah didasarkan pada hukum dan prosedur yang baku. Manusia secara terus-menerus menciptakan realitas sosial mereka dalam rangka berinteraksi dengan yang lain (Schutz, 1967 dalam Ghozali dan Chairi, 2007). Tujuan pendekatan interpretif tidak lain adalah menganalisis realita sosial semacam ini dan bagaimana realita sosial itu terbentuk (Ghozali dan Chairi, 2007). Untuk memahami sebuah lingkungan sosial yang spesifik, peneliti harus menyelami pengalaman subjektif para pelakunya. Penelitian interpretif tidak menempatkan objektivitas sebagai hal terpenting, melainkan mengakui bahwa
34
demi memperoleh pemahaman mendalam, maka subjektivitas para pelaku harus digali sedalam mungkin hal ini memungkinkan terjadinya trade-off antara objektivitas dan kedalaman temuan penelitian (Efferin et al., 2004). Penelitian ini menggunakan metode studi kasus yang merupakan sebuah penelitian yang berusaha menemukan makna, meyelidiki proses, dan memperoleh pengertian dan pemahaman yang mendalam dari individu, kelompok atau situasi (Emzir, 2010). Menurut Smith, sebagaimana dikutip Lodico, Spaulding, dan Voegtle (2006) studi kasus dapat menjadi berbeda dari bentuk-bentuk penelitian kualitatif lain oleh fakta bahwa studi ini berfokus pada satu “unit tunggal” atau “suatu sistem terbatas”. Menurut Merriam (1998:27-28) keterbatasan dapat ditentukan dengan menanyakan apakah terdapat suatu batasan pada jumlah orang yang terlibat dapat diwawancarai atau suatu batasan pada jumlah orang yang terlibat dapat diwawancarai atau suatu jumlah waktu tertentu (untuk observasi)? Jika terdapat jumlah orang tak terbatas (secara aktual maupun teoritis) yang dapat diwawancarai atau pada observasi yang dapat dilaksanakan, maka fenomena tersebut tidak cukup terbatas untuk menjadi sebuah kasus. Untuk memulai penelitian studi kasus, peneliti mengidentifikasi masalah atau pertanyaan yang akan diteliti dan mengembangkan suatu rasional untuk menjawab alasan pemilihan metode studi kasus dalam sebuah penelitian. Dalam studi kasus, berbagai teknik dapat digunakan termasuk wawancara, observasi, dan terkadang pemeriksaan dokumen dan artefak dalam pengumpulan data.
35
Selain itu, dalam pemilihan partisipan harus didasarkan pada kemampuan mereka menyumbang suatu pemahaman tentang fenomena yang akan diteliti. Observasi yang dilakukan akan berfokus pada hakikat interaksi yang muncul dalam setiap setting. Observasi ini akan menghasilkan temuan-temuan yang dapat ditriangulasi dengan data wawancara, meningkatkan validitas data, temuan dan kesimpulan. Sehingga dalam melakukan observasi, peneliti harus merekam data yang terkumpul dari lapangan secara hati-hati. Dengan paradigma interpretif dan menggunakan metode penelitian studi kasus akan berusaha mengamati efektivitas ratifikasi Konvensi ILO No. 111 di tempat kerja. Sehingga dengan melihat realitas yang dialami oleh pekerja perempuan, maka akan diperoleh gambaran mengenai efektivitas ratifikasi dalam menghapus diskriminasi perempuan di tempat kerja.
3.3. Jenis dan Sumber Data 3.3.1. Jenis Data Jenis data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Data kualitatif merupakan jenis data yang sifatnya tertulis maupun lisan dalam rangkaian kata-kata atau kalimat. 2. Data kuantitatif merupakan jenis data yang sifatnya angka-angka yang dapat dihitung matematis.
36
3.3.2. Sumber Data 1. Data primer umumnya keberadaannya dapat dilisankan dan ada yang tercatat, jika langsung dari sumbernya (tentang diri sumber data), berupa karakteristik demografi atau sosio-ekonomi, dan sikap atau pendapat. 2. Data sekunder yakni data yang telah disusun, dikembangkan dan diolah kemudian tercatat, terdiri atas data sekunder internal suatu organisasi dan data sekunder eksternal yang dipublikasikan.
3.4. Metode Pengumpulan Data Penelitian ini akan menggunakan dua metode pengumpulan data, antara lain sebagai berikut: 1. Metode pengumpulan berupa penelitian lapangan (field research), yakni mengadakan observasi partisipatif, wawancara kepada pihak-pihak terkait, dan bahan dokumentasi. a. Observasi atau pengamatan adalah perhatian yang terfokus terhadap kejadian, gejala,atau sesuatu (Emzir,2010). Adapun observasi ilmiah merupakan perhatian terfokus terhadap gejala, kejadian
atau
sesuatu
dengan
maksud
menafsirkannya,
mengungkapkan faktor-faktor penyebabnya, dan menemukan kaidah-kaidah yang mengaturnya (Garayibah, et.al., 1981)
37
b. Wawancara dapat didefinisikan sebagai interaksi bahasa yang berlangsung antara dua orang dalam situasi saling berhadapan salah seorang, yaitu yang melakukan wawancara meminta informasi atau ungkapan kepada orang yang diteliti yang berputar di sekitar pendapat dan keyakinannya (Hasan (1963) dalam Garabiyah, 1981: 43). c. Metode dokumenter adalah metode yang digunakan untuk menelusuri data historis. 2. Metode penelitian pustaka (library research), yakni menggunakan literatur-literatur dan tulisan- tulisan yang berkaitan dengan penelitian.
3.5. Metode Analisis Data Tujuan analisis data ialah untuk mengungkapkan data apa yang masih perlu dicari, hipotesis apa yang perlu diuji, pertanyaan apa yang perlu dijawab, metode apa yang harus digunakan untuk mendapatkan informasi baru, dan kesalahan apa yang harus segera diperbaiki (Usman, Husaini; Akbar, Purnomo, 2009). Menurut Spradley (1997), analisis data merujuk pada pengujian sistematis terhadap sesuatu untuk menentukan bagian-bagiannya, hubungan di antara bagianbagian, dan hubungan bagian-bagian itu dengan keseluruhan. Dalam penelitian ini, metode analisis data yang digunakan adalah analisis data versi Miles dan Huberman. Versi ini menjelaskan bahwa ada tiga alur kegiatan yang secara bersamaan dilakukan dalam analisis data, yaitu reduksi data,
38
penyajian data, serta penarikan kesimpulan atau verifikasi. Ketiga kegiatan ini saling terkait dan merupakan rangkaian yang tidak berdiri sendiri. a. Reduksi data dapat diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data “kasar” yang muncul dari catatan-catatan lapangan. Reduksi data merupakan suatu bentuk analisis yang menajamkan, menggolongkan, mengorganisasikan, mengarahkan, membuang data yang tidak perlu, dan mengorganisasikan data sedemikian rupa sehingga akhirnya data yang terkumpul dapat diverifikasi. b. Penyajian data adalah pendeskripsian sekumpulan informasi tersusun yang memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Penyajian data kualitatif disajikan dalam bentuk teks naratif atau dapat juga berbentuk matriks, grafik, jaringan dan bagan. c. Penarikan kesimpulan atau verifikasi merupakan kegiatan di akhir penelitian kualitatif. Peneliti harus sampai pada kesimpulan dan melakukan verifikasi, baik dari segi makna maupun kebenaran kesimpulan yang disepakati oleh subjek tempat penelitian itu dilaksanakan. Makna yang dirumuskan peneliti dari data harus diuji kebenaran, kecocokan, dan kekokohannya.
39
Gambar 1.2 Model Interaktif (Miles dan Huberman, 1994)
Pengumpulan data
Penyajian data
Reduksi data Kesimpulan/ Verifikasi (Sumber: Buku Metodologi Penelitian Sosial-Husaini&Purnomo, 2009)
3.6. Definisi Operasional 3.6.1. Efektivitas Ratifikasi Konvensi ILO No. 111 Efektivitas ratifikasi konvensi ILO No.111 merupakan suatu tingkatan dari usaha yang dilakukan oleh pihak yang berkaitan dengan ketenagakerjaan, agar terciptanya kesetaraan kesempatan dan perlakuan di lingkungan kerja antara laki-laki dan perempuan, baik itu dalam hal pekerjaan maupun jabatan. Istilah “pekerjaan” dan “jabatan” mencakup akses untuk memperoleh pelatihan dan keterampilan, akses untuk memperoleh pekerjaan dan jabatan tertentu, serta persyaratan dan ketentuan kerja. Ukuran dari tingkatan keberhasilan tersebut dilihat dari: 1. Adanya formulasi kebijakan yang dibuat sesuai dengan Konvensi ILO No. 111 dan harus memperhatikan prinsip-prinsip kesetaraan kesempatan dan perlakuan dalam hal sebagai berikut:
40
a. Akses untuk mendapatkan bimbingan pelatihan kerja dan layanan penempatan kerja; b. Akses untuk mendapatkan pelatihan dan pekerjaan sesuai dengan pilihan berdasarkan kemampuan individu; c. Kemajuan sesuai sifat, pengalaman, kemampuan dan ketekunan masing-masing; d. Keamanan masa kerja e. Memperoleh upah atas pekerjaan yang sama nilainya; f. Kondisi kerja meliputi jam kerja, waktu istirahat, cuti tahunan dengan tetap dibayar, tindakan keselamatan dan kesehatan kerja, serta tindakan pengaman sosial dan fasilitas kesejahteraan dan tunjangan yang disediakan dalam hubungannya dengan pekerjaan. 2. Adanya penerapan yang maksimal dari formulasi kebijakan tersebut di atas; 3. Adanya kontrol atau pengawasan langsung dari pihak terkait terhadap
pelaksanaan
kebijakan-kebijakan
yang
berhubungan
langsung dengan bentuk penghapusan diskriminasi terhadap perempuan di tempat kerja.
3.6.2. Diskriminasi Perempuan di Tempat Kerja Diskriminasi yang menimpa kaum perempuan memunculkan persepsi bahwa perempuan dilahirkan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang jauh
41
lebih terbatas jumlahnya dengan status pekerjaan rendah dengan imbalan (upah/gaji) yang rendah pula. Diskriminasi perempuan di tempat kerja dapat dipahami sebagai adanya perbedaan perilaku yang sangat signifikan antara pekerja laki-laki dan pekerja perempuan di tempat kerja. Adanya pembedaan jenis pekerjaan yang diberikan antara laki-laki dan perempuan; perbedaan pemberian upah; hingga tidak diberikannya ruang pada perempuan untuk memegang posisi strategis di sebuah tempat kerja.
3.6.3. Penghapusan Diskriminasi Perempuan di Tempat Kerja Kata penghapusan dapat dipahami sebagai sebuah proses peniadaan. Sehingga untuk mengukur tingkat efektivitas penghapusan diskriminasi perempuan di tempat kerja dapat dilihat melalui peniadaannya pemberian perilaku yang berbeda secara signifikan antara pekerja laki-laki dan pekerja perempuan di tempat kerja. Dalam hal pembedaan jenis pekerjaan, perbedaan upah maupun mengenai pemberian kesempatan yang sama antara pekerja laki-laki dan pekerja perempuan untuk mengembangkan jenjang karir yang mereka miliki.
42
BAB IV PEMBAHASAN & HASIL PENELITIAN
4.1. Kondisi Ideal Bagi Pekerja Tidak dapat dipungkiri sangat besarnya peran pekerja dalam mencapai keberhasilan sebuah organisasi/perusahaan. Sumber daya manusia mempunyai dampak yang lebih besar terhadap efektivitas organisasi/perusahaan dibanding sumber daya yang lain. Apapun bentuk serta tujuannya, organisasi/perusahaan dibuat berdasarkan berbagai visi untuk kepentingan manusia dan dalam pelaksanaannya tentu saja dikelola oleh sumber daya manusia (pekerja). Andrew Foulkes (1998) memprediksi bahwa peran sumber daya manusia (pekerja) dari waktu ke waktu akan mengalami peningkatan yang signifikan. Berikut terjemahan kutipannya: “Bertahun-tahun berkembang pendapat bahwa modal merupakan hambatan dalam industri yang sedang berkembang. Menurut saya hal ini tidak lagi sepenuhnya benar. Menurut saya, angkatan kerja dan ketidakmampuan perusahaan (organisasi) merekrut dan mempertahankan angkatan kerja yang baik merupakan penyebab hambatan dalam produksi. Dan saya kira hal ini masih akan bertahan, bahkan di masa yang akan datang.”
Dari kutipan di atas terlihat gambaran bahwa pengelolaan sumber daya manusia (pekerja) menjadi bagian yang sangat penting. Kompleksitas pengelolaan SDM sangat dipengaruhi oleh berbagai macam faktor. Hal ini sesuai dengan perkembangan dan kemajuan yang berlangsung saat ini. Pengelolaan SDM dilakukan oleh semua pihak yang terkait, baik oleh perusahaan/organisasi, serikat pekerja bahkan oleh pemerintah (negara). Di mana pengelolaan SDM ini seharusnya memiliki konsep ideal yang disepakati bersama sesuai dengan etika
43
sosial dan hukum yang ada. Baik nilai etika sosial maupun hukum menjunjung tinggi martabat dan kehormatan individu termasuk kaum perempuan yang bekerja. Nilai etika sosial dan hukum yang secara konsisten diimplementasikan organisasi akan memberi pengalaman positif bagi pekerja, hingga pada akhirnya akan dapat meningkatkan kepuasan diantara para pekerja (Burke, 2001). Sebagai akibat tingginya mobilitas sosial, organisasi memiliki pekerja yang berasal dari berbagai suku, agama, dan ras dengan karakteristik yang berbeda. Kondisi ini mengubah situasi pekerja yang semula bersifat homogen menjadi heterogen. Di mana manajemen SDM secara konvensional tidak cukup memiliki kemampuan untuk menangani masalah keanakeragaman pekerja. Manajemen SDM harus mampu merumuskan kebijakan yang mampu mengakomodir perbedaan kepentingan antar individu dalam perusahaan/organisasi. Implikasi konvergensi manajemen SDM baru adalah adanya penekanan kebijakan yang memiliki fokus perhatian terhadap tanggung jawab sosial organisasi maupun kondisi pekerja internal. Melalui kebijakan manajemen SDM, organisasi mampu menyusun program yang semakin beragam dengan melahirkan serangkaian kegiatan afirmatif yang mengedepankan empati organisasi terhadap kualitas kehidupan kerja. Pekerja tidak hanya mendapat jaminan kesejahteraan yang diukur semata dari nilai material berupa gaji yang memadai, tetapi juga mendapat
perlindungan
immaterial
berupa
keselamatan,
keadilan,
dan
kenyamanan dalam bekerja. Negara (pemerintah) memiliki sejumlah kewenangan atau otoritas untuk menegakkan nilai-nilai legal dalam bentuk serangkaian perundang-udangan yang
44
melindungi pekerja dan berbagai kewajiban yang harus dipenuhi oleh perusahaan/organisasi. Sistem hukum dibangun melalui konstruksi industri yang menjamin adanya kesetaraan bagi semua pekerja baik bagi laki-laki maupun perempuan.
4.1.1. Etika Sosial Dalam Pengelolaan SDM Berbicara tentang etika sosial dalam sebuah perusahaan/organisasi, tentu saja membahas tentang tanggung jawab yang diemban oleh pihak perusahaan/organisasi untuk memberikan sesuatu sebagai timbal balik atas usaha yang diberikan oleh stakeholder yang dimilikinya. Tanggung jawab ini tidak hanya diberikan kepada eksternal stakeholders, seperti masyarakat luas yang memiliki interaksi tertentu dengan perusahaan/organisasi. Namun, tanggung jawab serupa harus ditunjukkan oleh pihak perusahaan/organisasi dalam melakukan pengelolaan SDM. Dalam mengelola SDM, pekerja (pegawai/karyawan/buruh) baik lakilaki maupun perempuan yang menjadi objek pembahasan. Bentuk tanggung jawab perusahaan/organisasi dalam pengelolaan SDM untuk para pekerjanya yaitu memberikan kompensasi (gaji atau upah) secara adil, membuka akses pelatihan dan pengembangan untuk peningkatan kemampuan, pengetahuan dan keahliannya dalam menunjang pelaksanaan pekerjaan, serta memberikan fasilitas untuk
pencapaian individu pekerja secara konsisten melalui
pengembangan karir. a. Pemberian kompensasi (gaji/upah) yang adil bagi pekerja.
45
Pemberian kompensasi merupakan salah satu pelaksanaan fungsi manajemen SDM yang berhubungan dengan semua jenis pemberian penghargaan individual sebagai pertukaran dalam melakukan tugas keorganisasian. Tujuan kompensasi salah satunya adalah menjamin terciptanya keadilan internal dan eksternal. Keadilan eksternal yang menjamin semua pekerjaan akan dikompensasikan secara adil dengan membandingkan pekerjaan yang sama di tempat lain. Sedangkan, keadilan internal mensyaratkan pembayaran dikaitkan dengan nilai relative sebuah pekerjaan sehingga pekerjaan yang sama dibayar dengan besaran yang sama. Dalam memberikan kompensasi yang adil harus berdasarkan evaluasi dan analisis pekerjaan. Dari informasi tersebut diharapkan dapat menjamin keadilan internal yang didasarkan pada nilai relatif di setiap pekerjaan. Selain itu, melakukan survei upah dan gaji untuk menentukan keadilan eksternal yang didasarkan pada upah pembayaran di pasar kerja. b. Akses mendapatkan pelatihan dan pengembangan kemampuan dan keahlian Kegiatan pelatihan dan pengembangan akan membantu pekerja untuk mengerjakan tugasnya yang ada sekarang. Kegiatan pelatihan dan pengembangan
memberikan
dividen
kepada
pekerja
dan
perusahaan/organisasi, berupa keahlian dan keterampilan yang selanjutnya akan menjadi aset yang berharga bagi perusahaan/organisasi.
46
Idealnya setiap penempatan seseorang pada posisi apa pun dalam suatu perusahaan/organisasi harus ada kesesuaian antara kemampuan dan tuntutan jabatan/pekerjaannya. Dalam
menentukan
ada
tidaknya
pelatihan
dan
pengembangan,
sebelumnya harus dilakukan penelitian akan kebutuhan pelatihan dengan mengumpulkan dan menganalisis gejala-gejala dan informasi yang diharapkan dapat menunjukkan adanya kekurangan dan kesenjangan pengetahuan, keterampilan dan sikap kerja karyawan yang menempati posisi pekerjaan tertentu. Dengan adanya kesempatan mengikuti pelatihan dan pengembangan, perempuan sebagai pekerja memiliki kompetensi yang memadai untuk dapat menjawab semua tuntutan pekerjaan. c. Akses dalam pengembagan karir Perencanaan karir merupakan cara untuk memenuhi kebutuhan internal pekerja. Dengan adanya perencanaan karir, para pekerja dapar menentukan tujuan karirnya, di mana hal ini akan menjadi pendorong untuk meraih jenjang pendidikan lebih lanjut serta pelatihan dan pengembangan karir lainnya. Perencanaan karir yang dibuat oleh pihak perusahaan/organisasi harus
mempertimbangkan
keinginan
pekerja.
Suatu
penelitian
menyimpulkan bahwa persamaan karir, masalah pengawasan, kesadaran akan adanya kesempatan, minat pekerja, dan keputusan karir menjadi keinginan pekerja yang harus diperhatikan secara seksama oleh pihak perusahaan/organisasi.
47
Hubungan antara pengembangan karir dan perencanaan SDM sangatlah jelas. Pengembangan karir menyediakan bakat dan kemampuan pekerja, sementara perencanaan SDM memproyeksikan kebutuhan perusahaan terhadap bakat dan kemampuan para pekerja. Beberapa poin di atas menunjukkan bahwa adanya perbedaan pemberian upah, akses terhadap pelatihan dan pengembangan, serta akses untuk pengembangan karir ditentukan oleh adanya perbedaan peran dan tanggung jawab dalam pekerjaan, bukan berdasarkan atas perbedaan ras, warna kulit, agama, keyakinan politik, kebangsaan atau asal usul dalam masyarakat, bahkan berdasarkan jenis kelamin.
4.1.2. Aspek Normatif (Hukum) dalam Pengelolaan SDM Aspek normatif (hukum) dalam pengelolaan SDM berkaitan dengan komitmen
semua
pihak
yang
terkait
(pemerintah
maupun
perusahaan/organisasi) dalam menerapkan prinsip di mana semua orang baik laki-laki mampun perempuan diberikan kesempatan yang sama dalam penerimaan dan penempatan pekerja (equal employment opportunity). Di samping itu, secara khusus perusahaan/organisasi memiliki tanggung jawab untuk mematuhi hukum dan perundang-undangan yang ditetapkan pemerintah khususnya yang berkaitan dengan hubungan industrial. Pemerintah memiliki sejumlah kewenangan atau otoritas untuk menegakkan nilai-nilai legal dalam bentuk serangkaian perundang-undangan yang melindungi pegawai dan berbagai kewajiban yang harus dipenuhi
48
perusahaan/organisasi. Sistem hukum dibangun melalui konstruksi industri yang menjamin adanya persamaan bagi semua pekerja termasuk kaum perempuan sebagaimana dapat dijumpai di negara-negara Eropa, misalnya di Inggris yang memiliki sistem manajemen SDM yang memiliki kaitan erat antara implementasi dengan sistem hukum yang berlaku (Fielden et al., 2001). Berbicara tentang aspek normatif dalam pengelolaan SDM, tentu tidak terlepas dari hak-hak normatif yang dimiliki oleh para pekerja. Hak-hak normatif dapat diartikan sebagai hak-hak pekerja yang harus diperoleh berdasarkan undang-undang maupun aturan lain yang dibuat oleh pemerintah. Gangguan utama bagi pekerja perempuan dalam bentuk pelecehan seksual menjadi isu yang sangat sensitif karena menyangkut persoalan martabat atau harga diri perempuan sebagai manusia. Tak pelak dibutuhkan payung hukum dalam bentuk intervensi pemerintah melalui legal scheme building (Scutt, 1992) untuk melindungi kaum perempuan yang bekerja di perusahaan/organisasi agar merasa lebih nyaman sekaligus aman dalam menjalankan setiap tugas dan pekerjaannya. Ada beberapa hal yang secara hukum (normatif) harus diperhatikan oleh pihak pemerintah maupun perusahaan/organisasi. Hal-hal ini berkaitan langsung dengan pemenuhan kebutuhan para pekerja, yaitu sebagai berikut. a. Keamanan Masa Kerja. Keamanan masa kerja berkaitan dengan lamanya bekerja yang sesuai dengan perjanjian kerja bersama antara pihak pekerja dan pihak
49
manajemen perusahaan/organisasi. Perjanjian kerja ini dilakukan diawal masa kerja para pekerja. Selain itu selama masa kerja, pihak manajemen perusahaan/organisasi harus bisa memberikan jaminan kepada pekerjanya mengenai keamanan masa kerjanya, misalnya dengan menjamin tidak adanya pemutusan hubungan kerja tanpa alasan yang jelas. Jika kondisi perusahaan/organisasi mengharuskan adanya PHK atau merumahkan pekerja, perusahaan harus menjamin pemenuhan hak-hak normatif pekerja pasca pemberhentian. Dalam
hal
terjadinya
pemutusan
hubungan
kerja,
pihak
perusahaan/organisasi diwajibkan untuk membayar uang pesangon (UP) dan atau pemberian uang penghargaan masa kerja (UPMK) dan uang penggantian hak (UPH) yang seharusnya diterima oleh pekerja yang dihitung berdasarkan upah pekerja dan masa kerjanya. b. Kondisi Kerja Kondisi kerja meliputi jam kerja, waktu istirahat, cuti tahunan dengan tetap dibayar, tindakan keselamatan dan kesehatan kerja, serta tindakan pengaman sosial dan fasilitas kesjahteraan dan tunjangan yang disediakan dalam hubungannya dengan pekerjaan. Untuk melindungi kenyamanan kondisi kerja para karyawan dilakukan proteksi. Proteksi ini tidak hanya dalam bentuk imbalan, baik langsung maupun tidak langsung, yang diterapkan oleh perusahaan/organisasi kepada pekerja. Proteksi ini dengan memberikan rasa aman, baik dari sisi
50
finansial, kesehatan, maupun keselamatan fisik bagi pekerja sehingga pekerja dapat beraktivitas dengan tenang dan dapat memberikan kontribusi positif bagi peningkatan nilai tambah perusahaan/organisasi. Proteksi atau perlindungan pekerja merupakan suatu keharusan bagi perusahaan/organisasi yang diwajibkan oleh pemerintah melalui peraturan perundang-undangan. Pemberian proteksi di antara masing-masing pekerja dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu tanggung jawab, keahlian, kerja mental (mental effort), kemampuan fisik (physical effort), kondisi kerja, dan peraturan pemerintah. Perlindungan atau proteksi terhadap pekerja berkaitan dengan masalah keuangan dan keamanan fisik pekerja. Perlindungan yang berhubungan dengan masalah keuangan dilakukan melalui pemberian berbagai santunan dalam bentuk santunan jaminan sosial, kompensasi ketiadaaan pekerjaan, biaya medis, dan kompensasi pekerja. Selain itu, perlindungan atau proteksi berhungan dengan keamanan fisik karyawan. Dalam rangka memberikan perlindungan terhadap keselamatan dan keamanan pekerja, pemerintah
mengeluarkan
peraturan
perundang-undangan
yang
mengharuskan perusahaan/organisasi untuk memberikan fasilitas yang memadai demi menjamin keamanan kerja serta memberikan jaminan finansial apabila pekerja mengalami kecelakaan kerja. Pekerja memiliki hak untuk menuntut perusahaan/organisasi agar menyediakan fasilitas kerja yang memadai agar keselematan fisik dan mental mereka terlindungi dari jenis kecelakaan pekerjaan yang mereka lakukan. Dalam rangka
51
melakukan pengawasan terhadap program keselamtan pekerja, pemerintah dapat menjatuhkan sanksi bagi perusahaan yang tidak melaksanakan program yang dimaksud.
4.2. Kondisi Ketenagakerjaan di Indonesia Berdasarkan Berita Resmi Statistik No. 74/11/Th. XIV, 7 November 2011, pada bulan Februari hingga Agustus 2011 jumlah penduduk yang bekerja di Indonesia mengalami kenaikan terutama di sektor industri dan di sektor konstruksi. Namun pada beberapa sektor tertentu mengalami kondisi yang berbeda, sektor-sektor yang mengalami penurunan adalah sektor pertanian dan di sektor
transportasi,
pergudangan
dan
komunikasi,
serta
sektor
jasa
kemasyarakatan. Sesuai dengan tabel di bawah ini: Tabel 4.1. Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas yang Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan Utama, 2010-2011 (juta orang) Lapangan Pekerjaan Utama Pertanian Industri Konstruksi Perdagangan Transportasi, Pergudangan & Komunikasi Keuangan Jasa Kemasyarakatan Lain-lain *) Jumlah
2010 Februari Agustus 42.83 41.49 13.05 13.82 4.84 5.59 22.21 22.49 5.82 5.62 1.64 15.62 1.40 107.41
1.74 15.96 1.50 108.21
2011 Februari Agustus 42.48 39.33 13.70 14.54 5.59 6.34 23.24 23.40 5.58 5.08 2.06 17.02 1.61 111.28
2.63 16.65 1.70 109.67
*) Lapangan pekerjaan utama/sektor lainnya terdiri dari: Sektor Pertambangan, Listrik, Gas, dan Air Sumber: Berita Resmi Statistik No. 74/11/Th. XIV, 7 November 2011
52
Jika dibandingkan dengan keadaan pada bulan Februari 2011, jumlah penduduk yang bekerja di Indonesia pada Agustus 2011 mengalami kenaikan terutama di sektor industri sebesar 840.000 orang (6,13%) dan sektor konstruksi sebesar 750.000 orang (13,42 persen). Sedangkan sektor pertanian; sektor transportsi, pergudangan dan komunikasi; serta sektor jasa kemasyarakatan mengalami penurunan. Sektor-sektor yang mengalami penurunan adalah sektor pertanian sebesar 3,1 juta orang (7,42%) dan sektor transportasi, pergudangan dan komunikasi sekitar 500.000 orang (8,96%), kemudian sektor jasa kemasyarakatan sebesar 370.000 orang (2,17%). Dibandingkan dengan Agustus 2010 hampir semua sektor mengalami kenaikan jumlah pekerja, kecuali sektor pertanian dan sektor transportasi, pergudangan dan komunikasi. Masing-masing mengalami penurunan jumlah pekerja sebesar 5,21% dan 9,61%. Sektor pertanian, perdagangan, jasa kemasyarakatan dan sektor industri secara berurutan menjadi penyumbang terbesar penyerapan tenaga kerja pada bulan Agustus 2011.
Berdasarkan data statistik di atas ditemukan bahwa secara garis besar di setiap sektor memiliki ruang-ruang yang mampu menyerap banyak tenaga kerja yang ada di Indonesia. Walaupun, pada kenyataannya pada sektor tertentu masih ada beberapa yang mengalami penurunan jumlah pekerja. Jika menggunakan pembagian fungsi negara menurut Montesquieu, negara terdiri atas tiga fungsi yaitu fungsi legislatif, eksekutif dan yudikatif. Maka peran negara dalam melindungi kesejahteraan para pekerja ikut terbagi tiga berdasarkan tiga fungsi di atas. Pertama melalui fungsi legislatifnya, negara harus bisa
53
membuat aturan dalam bentuk perundang-undangan sebagai usaha tindak lanjut atas peran pemerintah untuk melindungi kesejahteraan para pekerjanya. Fungsi yang kedua, negara sebagai bagian dari eksekutif harus mampu mengimplementasikan aturan yang telah dibuat oleh legislatif secara mendetail dan menyeluruh. Aturan yang ada harus dilaksanakan di tataran nasional maupun yang sifatnya lokal di masing-masing daerah. Sedangkan pelaksanaan fungsi ketiga negara sebagai yudikatif, negara harus mampu mengawasi pelaksanaan pembentukan aturan hingga ketataran pelaksanaan aturan tersebut. Dan menjatuhkan sanksi bagi pihak-pihak yang melakukan pelanggaran terhadap aturan tersebut. Secara garis besar, negara Republik Indonesia melalui MPR/DPR telah membuat beberapa kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan para pekerja. Tentu saja aturan-aturan tersebut sesuai dengan UUD 1945 pasal 27 ayat (1) dan (2), yaitu sebagai berikut; 1) Segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. 2) Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Beberapa aturan-aturan yang dibuat oleh DPR/MPR berkaitan dengan peningkatan kesejahteraan para pekerja di Indonesia yaitu sebagai berikut. 1. UU No. 2 tahun 2004 tentang penyelesaian perselisahan hubungan industrial. Undang-undang ini menjelaskan tentang tata cara penyelesaian perselisihan hubungan industrial, mulai dari penyelesaian melalui
54
mediasi,
konsiliasi
dan
arbitrase.
Juga
tentang
penyelesaian
perselisihan melalui pengadilan hubungan industrial; beserta sanksi administratif dan ketentuan pidana. 2. UU No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Undang-undang ini menjelaskan tentang beberapa hal yang berkaitan tentang ketenagakerjaan, mulai dari kesempatan dan perlakuan yang sama; perencanaan tenaga kerja dan informasi ketenagakerjaan; pelatihan kerja; penempatan tenaga kerja; perluasan kesempatan kerja; penggunaan tenaga kerja asing; hubungan kerja; perlindungan, pengupahan dan kesejahteraan; hubungan industrial; pemutusan hubungan
kerja;
pembinaan,
pengawasan,
penyidikan;
hingga
ketentuan pidana dan sanksi. 3. UU No. 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh. Undang-undang ini berisi tentang ketentuan pembentukan serikat pekerja/serikat buruh; asas, sifat dan tujuannya; keanggotaan SP/SB; serta hak dan kewajiban SP/SB. Selain aturan-aturan yang dibuat oleh DPR/MPR, pemerintah melalui keputusan presiden maupun melalui peraturan yang dibuat oleh menteri tenaga kerja dan transmigrasi juga telah membuat aturan-aturan yang lebih spesifik berkaitan dengan ketenagakerjaan, yaitu sebagai berikut. 1. Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 2005 tentang tata kerja dan susunan organisasi lembaga kerja sama tripartite;
55
2. Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 1993 tentang penyelenggaraan program jaminan sosial tenaga kerja; 3. Peraturan Pemerintah No. 79 Tahun 1998 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 1993 tentang penyelenggaraan program jaminan sosial tenaga kerja; 4. Peraturan Pemerintah No 83 Tahun 2000 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah No. 79 Tahun 1998 tentang penyelenggaraan program jaminan sosial tenaga kerja; 5. Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2002 tentang perubahan ketiga atas
Peraturan
Pemerintah
No.
14
Tahun
1993
tentang
penyelenggaraan program jaminan sosial tenaga kerja; 6. Peraturan Pemerintah No. 64 Tahun 2005 tentang perubahan keempat atas
Peraturan
Pemerintah
No.
14
Tahun
1993
tentang
penyelenggaraan program jaminan sosial tenaga kerja; 7. Peraturan Presiden No. 50 Tahun 2005 tentang lembaga produktivitas nasional presiden RI; 8. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. Per05/MEN/III/2005 tentang ketentuan sanksi administrative dan tata cara penjatuhan sanksi dalam pelaksanaan penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri; 9. Keputusan
Menteri
Tenaga
Kerja
dan
Transmigrasi
No.
Kep.48/MEN/IV/2004 tentang tata cara pembuatan dan pengesahan
56
peraturan perusahaan serta pembuatan dan pendaftaran perjanjian kerja bersama; 10. Keputusan
Menteri
Tenaga
Kerja
dan
Transmigrasi
No.
Kep.49/MEN/2004 tentang ketentuan struktur dan skala upah; 11. Keputusan
Menteri
Tenaga
Kerja
dan
Transmigrasi
No.
Kep.102/MEN/VI/2004 tentang waktu lembur dan upah kerja lembur; 12. Keputusan
Menteri
Tenaga
Kerja
dan
Transmigrasi
No.
Kep.150/MEN/2000 tentang penyelesaian PHK dan penetapan uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan ganti kerugian di perusahaan; 13. Surat edaran No. SE-907/MEN/PHI-PPHI/X/2004 tentang pencegahan pemutusan kerja massal; 14. Peraturan Presiden No. 21 tahun 2010 tentang pengawasan ketenagakerjaan. Peraturan-peraturan yang hadir seharusnya tidak sekedar hitam di atas putih. Akan tetapi peraturan dibuat untuk dilaksanakan oleh seluruh pihak yang memiliki keterkaitan langusng dengan undang-undang tersebut. Secara garis besar pelaksanaan aturan-aturan di atas belum maksimal, karena di setiap tahunnya pada tanggal 1 Mei yang menjadi hari buruh internasional masih adanya tuntutan penghapusan tindak ketidakadilan oleh pihak pekerja. Misalnya adanya tuntutan yang dibahasakan oleh peserta aksi May Day 2011 di Bandara Internasional Sultan Hasanuddin, Makassar bulam Mei 2011 (dikutip di okezone.com),
57
“…Mereka menuntut buruh disejahterakan. Rupa kesejahteraan itu difokuskan pada tuntutan menghapuskan pekerja sistem kontrak. Sistem itu diklaim hanya penerapan politik upah murah oleh rezim pengusaha neoliberal… akibat penerapan berbagai aturan tidak pro buruh, kaum pekerja menjadi sangat rentan posisinya. Sistem kontrak yang secara massif dijalankan di berbagai bidang pekerjaan akhirnya hanya akan menyebabkan hilangnya kepastian kerja yang seharusnya dimiliki oleh buruh…”
Tuntutan ini hadir karena sistem kerja kontrak merupakan contoh yang paling nyata, jika ingin melihat kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak kepada kaum pekerja (buruh). Akibat penerapan kebijakan ini maka kehidupan kaum pekerja (buruh) di Indonesia semakin terpuruk hingga saat ini. Kepastian kerja menjadi tidak didapatkan lagi karena setiap saat buruh bisa saja diberhentikan oleh pihak perusahaan tanpa alasan yang jelas. Dilansir berdasarkan data Lembaga Buruh Internasional (ILO), pada 2010 di Indonesia ada 65% pekerja kontrak dan outsourcing. Dapat diartikan bahwa hanya tinggal 35% pekerja tetap di Indonesia atau sekira 9,5 juta orang saja. Dari data ini, dapat ditemukan bahwa kekuatan gerakan pekerja (buruh) hari ini ikut terpecah-pecah karena para pekerja kontrak tidak berani untuk terlibat dalam serikat buruh/pekerja. Hal ini mengakibatkan kekuatan pekerja buruh ketika menemui permasalahan dengan perusahaan akan sangat lemah. Pada 2010, hampir 75-80 persen buruh atau pekerja outsourcing kalah dalam kasus ketenagakerjaan di Pengadilan Hubungan Industrial. Jika ada yang dimenangkan, pekerja akan kesulitan mendapatkan pembayaran pesangon dan uang penghargaan masa kerja. Ketidakseriusan pemerintah dalam pelaksanaan aturan yang ada khususnya mengenai UU No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Keterbukaan
58
informasi ternyata tidak menyentuh seluruh lapisan masyarakat. Sosialisasi yang dilakukan pemerintah melalui Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (nasional) maupun oleh Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (tingkat daerah) tentang undang-undang ketenagakerjaan tersebut hanya sebatas pada pekerja elit saja (pihak manajemen perusahaan). Kondisi ini dapat dilihat dari masih banyaknya perusahaan yang memberikan upah jauh di bawah standar UMP. Selain itu, tidak adanya perlindungan dan jaminan kepastian kerja. Hal ini dapat dilihat dari masih maraknya perusahaan yang mempekerjakan pekerja dengan sistem outsourcing (Tuntutan Gabungan Serikat Buruh Nusantara/GSBN). Belum lagi, beberapa minggu terakhir di layar kaca televisi maupun media cetak diwarnai dengan berita pemogokan pekerja/buruh di beberapa kota di Indonesia. Tuntutannya pun beragam mulai dari meminta kenaikan UMK (Upah Minimum Kabupaten), keamanan masa kerja, tunjangan kesehatan dan keselamatan kerja, hingga permintaan keterbukaan ruang komunikasi antara pihak pekerja dan pihak manajemen perusahaan. Banyaknya permasalahan yang masih terjadi mengharuskan pemerintah kembali menilik lebih jauh terhadap pelaksanaan peraturan yang dibuat sebelumnya. Karena pada dasarnya peraturan tersebut dibuat berdasarkan keinginan untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja, namun pada kenyataannya kesejahteraan yang diharapkan ternyata belum terealisasi dengan baik. Sangat sulit melakukan pengawasan secara maksimal terhadap sesuatu hal, ketika hal tersebut ternyata tidak berjalan sebagaimana mestinya. Terkait dengan
59
pengawasan pelaksanaan aturan-aturan yang berkaitan dengan ketenagakerjaan masih sulit dilaksanakan. Apalagi kebanyakan peran yang dilakukan pemerintah dalam hubungan tripartit (pemerintah, pekerja dan perusahaan) hanya sebagai mediator saja. Pemerintah hanya bisa memediasi permasalahan yang ada, dan terkadang hasilnya tidak begitu maksimal mengawal kepentingan pekerja, kondisi ini ditemukan saat mewawancarai salah satu pengurus GSBN (Gabungan Serikat Buruh Nusantara) sekaligus sebagai anggota salah satu LBH di Makassar yang mengadvokasi kepentingan pekerja (HDR), pada tanggal 27 Januari 2012. Dalam wawancara tersebut, narasumber mengatakan bahwa saat ini peran pemerintah untuk menyelesaikan masalah perburuhan antara pekerja dan pihak manajemen perusahaan hanya bersifat mediasi saja. Dalam hal ini, mediasi dapat diartikan hanya memberikan nasehat untuk menyelesaikan permasalahan antara pihak manajemen perusahaan dan pihak pekerja. Hasil dari perundingan hanya mampu membawa pekerja yang sudah di-PHK hanya sampai pada titik pembayaran pesangon, bukan kembali mempekerjakan pekerja yang telah di-PHK sebelumnya. Banyaknya masalah perburuhan/ketenagakerjaan yang terjadi di Indonesia menunjukkan adanya kontradiksi dari pernyataan yang pernah diutarakan oleh Susilo Bambang Yudiyono sebagai presiden Republik Indonesia. Pernyataan yang disampaikan pada penyuluhan terhadap calon TKI dari PT Perwita Nusaraya di Kecamatan Kriyan, Sidoarjo, Jawa Timur pada 14 Desember tahun lalu sebagai berikut: “Pemerintah terus membenahi undang-undang, kebijakan, dan program terkait ketenagakerjaan… Ada saudara-saudara kita yang terlibat kejahatan, ada yang
60
narkoba, pembunuhan, kekerasan. Saya sedih karena tujuannya baik bekerja, malah terlibat dalam kejahatan. Itupun saya masih memberikan bantuan atas hak-hak dasarnya. Bantuan agar kalaupun melakukan kejahatan, hukumannya tidak dilebih-lebihkan. Kalau bisa hukumannya diperingan karena bekerja di tempat orang lain, negeri orang lain, sehingga stres dan melakukan tindak kejahatan. Itupun kami bela.”
Kenyataan lain yang ditemukan bahwa selama ini pemerintah terkesan bersifat pasif menanggapi isu ketenagakerjaan yang ada. Pemerintah terkesan tidak begitu mempermasalahkan kasus-kasus yang ada, bahkan dalam kondisi tertentu pemerintah terkesan pura-pura tidak tahu. Hal ini menunjukkan ketidakseriusan pemerintah melaksanakan aturan yang dibuat sebelumnya. Lanjut HDR, kesulitan dalam melakukan pengawasan disebabkan karena masih adanya peraturan yang tidak jelas proses pelaksanaan dan sanksi yang dibuat. Seperti masalah pemberian tunjangan pada pekerja, peraturan pemerintah yang ada tidak memberikan spesifikasi tunjangan-tunjangan apa saja yang harus diperoleh oleh para pekerja. Penentuan tunjangan-tunjangan tersebut ditentukan sepenuhnya oleh kebijakan perusahaan masing-masing.
4.3. Kondisi Pekerja Perempuan di Kota Makassar Dengan adanya keputusan pemerintah untuk meratifikasi konvensi ILO No. 111 melalui Undang-undang No. 21 tahun 1999, seharusnya membawa perubahan yang baik terhadap tingkat kesejahteraan para pekerja, terkhusus bagi pekerja perempuan yang beberapa tahun belakangan menjadi terdiskriminasikan oleh kebijakan yang ada. Dalam konvensi ILO No. 111, pengabaian atau pengrusakan kesempatan dan perlakuan yang sama dalam pekerjaan sering ditemukan pada akses untuk mendapat pekerjaan; akses untuk mengikuti magang
61
dan penempatan; kenaikan pangkat sesuai dengan pengalaman; keamanan kedudukan; kondisi pekerjaan; termasuk mengenai upah yang seharusnya sama untuk pekerjaan yang juga sama nilainya. Penghapusan diskriminasi terhadap pekerja perempuan padahal telah ditekankan oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi sebagai pihak yang bertanggung jawab penuh terhadap kondisi kesejahteraan para tenaga kerja. Dilaporkan oleh suaraperempuan.com per tanggal 24 Desember 2011, Muhaimin Iskandar memberikan penegasan bahwa: “…dalam hubungan kerja, tidak boleh ada perlakuan diskriminasi terhadap pekerja perempuan terutama dalam pemberian upah, tunjangan keluarga dan jaminan sosial, kesempatan mengikuti pelatihan serta promosi jabatan. Pemenuhan hak tersebut tidak boleh berlaku diskriminatif. Perlunya perlindungan kepada pekerja perempuan khususnya yang dipekerjakan pada malam hari. Jaminan keamanan melalui penyediaan petugas keamanan di tempat kerja, kamar mandi dengan penerangan yang layak serta fasilitas antar jemput bagi buruh perempuan adalah bentuk perhatian khusus dari pihak perusahaan. Para Kepala Dinas yang membidangi ketenagakerjaan di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota untuk dapat menggerakkan pihak Perusahaan agar terus mengusahakan fasilitas penunjang bagi buruh perempuan, seperti ruang laktasi atau menyusui bagi para ibu dan tempat penitipan anak…”
Pada Agustis 2011 angkatan kerja yang tercatat pada Badan Pusat Statistik kota Makassar berdasarkan hasil survey angkatan kerja 2011, sebanyak 590.718 orang yang terdiri dari laki-laki sebanyak 355.419 orang dan perempuan 235.299 orang. Dari jumlah tersebut dapat dilihat bahwa angkatan kerja menurut tingkat pendidikan terlihat bahwa tingkat pendidikan SLTA umum yang menempati peringkat pertama yaitu 171.639 orang disusul tingkat pendidikan SMP sekitar 116.232 orang (tabel 4.2.).
62
Tabel 4.2. ANGKATAN KERJA BERDASARKAN TINGKAT PENDIDIKAN DAN JENIS KELAMIN DI KOTA MAKASSAR PER AGUSTUS 2011 Tingkat Pendidikan SD SMP SLTA Umum SLTA Kejuruan D1, D2/D3/Akademi Universitas JUMLAH
Laki-laki
Perempuan
Jumlah
76.599 73.094 101.559 36.999 10.618 56.550 355.419
37.318 43.138 70.080 23.547 12.128 49.088 235.299
113.917 116.232 171.639 60.546 22.746 105.638 590.718
Sumber: BPS, Survei Angkatan Kerja Nasional Agustus 2011 diolah Pusdatinaker
Pada Agustus 2011, jumlah angkatan kerja berdasarkan golongan umur 1519 adalah 28.305 orang dengan komposisi laki-laki 13.215 orang dan perempuan 15.090 orang. Untuk golongan umur 20-24 hingga 65 ke atas, jumlah angkatan kerja laki-laki lebih banyak dibanding perempuan. Jadi secara keseluruhan, usia paling produktif untuk bekerja dipegang oleh laki-laki dibanding perempuan (tabel 4.3.) Tabel 4.3. ANGKATAN KERJA DI KOTA MAKASSAR MENURUT GOLONGAN UMUR DAN JENIS KELAMIN PER AGUSTUS 2011 Golongan Umur Laki-Laki Perempuan Jumlah 15-19 20-24 25-29 30-34 35-39 40-44 45-49 50-54 55-59 60-64 65 ke atas Jumlah
13.215 51.029 59.419 45.008 50.973 39.397 30.423 26.729 16.047 10.533 12.646 355.419
15.090 34.496 42.450 27.588 28.015 29.158 21.711 16.021 13.026 2.756 4.988 235.299
28.305 85.525 101.869 72.596 78.988 68.555 52.134 42.750 29.073 13.289 17.634 590.718
Sumber: BPS, Survei Angkatan Kerja Nasional Agustus 2011 diolah Pusdatinaker
63
Di kota Makassar sendiri, masalah diskriminasi perempuan di tempat kerja pada awalnya ditemukan sekitar tahun 1990-an. Fakta ini ditemukan pada saat wawancara dengan HDR (Pengurus GSBN dan penggiat LBH), pada tanggal 27 Januari 2012. Dimana, pada masa itu sering disuarakannya isu emansipasi perempuan ataupun kesetaraan gender. Perempuan mulai menuntut hak untuk diberikan ruang selebar-lebarnya bekerja di ranah publik, menjadi pegawai atau pekerja di perusahaan atau di tempat kerja lain layaknya laki-laki. Adanya syarat-syarat untuk pekerjaan yang memiliki spesifikasi tertentu membuat perempuan belum mampu bersaing dengan pekerja laki-laki. Karena pada
saat itu, perempuan belum terlalu memiliki pengalaman kerja dan
pendidikan yang layak. Keadaan ini memunculkan persepsi bahwa perempuan dilahirkan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang jauh lebih terbatas jumlahnya dengan status pekerjaan rendah dengan imbalan (upah/gaji) yang rendah pula (Wiratha: 2000). Pengalaman kerja yang dimiliki perempuan hanya berdasarkan tugas yang sering mereka lakukan di ranah domestik. Sehingga pekerjaan yang diberikan pada saat itu tidak jauh dari apa yang sering mereka kerjakan di rumah. Kondisi seperti yang dijelaskan sebelumnya mulai bergeser. Diskriminasi yang hadir tidak lagi dalam bentuk pengekangan ruang kerja perempuan pada bidang tertentu saja. Perempuan hari ini sudah menduduki hampir semua posisi yang ada di organisasi/perusahaan. Cukup banyak perempuan yang menduduki posisi strategis di beberapa tempat. Beberapa nama tokoh perempuan pun berhasil mencuri perhatian masyarakat sehingga mampu menduduki kursi legislatif di
64
tingkat nasional maupun daerah, sebut saja Marwah Daud atau sekarang ada St. Muhyina Muin yang mewakili perempuan di DPRD Makassar. Tidak dapat dipungkiri terbukanya ruang-ruang publik untuk perempuan, membawa dampak yang sangat siginifikan. Jumlah pekerja perempuan pun sudah semakin meningkat. Terbukti pada Desember 2010, Disnaker Kota Makassar mengeluarkan pernyataan bahwa dari 5.658 perusahaan yang terdaftar di kota Makassar, tercatat jumlah tenaga kerja wanita sebanyak 37.896 dari 106.459 tenaga kerja. Dari jumlah tersebut, didominasi pada sektor industri, khususnya bidang jasa. Beberapa contoh di antaranya adalah industri pengolahan ikan dan udang yang ada di Kawasan Industri Makassar (KIMA), dan industri lainnya. Tabel 4.4. PENDUDUK YANG BEKERJA DI KOTA MAKASSAR MENURUT PENDIDIKAN DAN JENIS KELAMIN PER AGUSTUS 2011 Pendidikan Jenis Kelamin Jumlah Laki-laki Perempuan 75.267 31.602 106.869 SD 70.775 35.997 106.772 SMP 82.889 58.445 141.334 SMA Umum 36.452 21.199 57.651 SMA Kejuruan 10.281 10.499 20.780 D1/D2/D3/Akademi 53.926 43.718 97.644 Universitas Jumlah 339.590 201.460 541.050 Sumber: BPS, Survey Angkatan Kerja Nasional Agustus 2011 diolah Pusdatinaker
Dari tabel di atas (tabel 4.4.) dapat dilihat bahwa menurut jenjang pendidikan, tenaga kerja perempuan masih kurang terserap. Karena hanya 201. 460 orang yang mampu diserap, sedangkan laki-laki berjumlah 339.590 orang. Pada jenjang universitaslah tenaga kerja perempuan cukup banyak diserap yaitu 43.718 orang dibanding jenjang pendidikan lainnya, walaupun jumlah ini masih ada di bawah tenaga kerja laki-laki.
65
Sesuai tabel 4.4. di atas dapat diperkirakan bahwa jumlah pekerja perempuan yang terserap di tempat kerja pun sedikit, dari 235.299 angkatan kerja perempuan di kota Makassar hanya 201.460 orang yang terserap, hingga masih ada 33.839 orang perempuan yang tidak serap di tempat kerja. Dari 201.460 orang ini pun otomatis membuat perempuan mendapatkan kuota lebih sedikit dibanding laki-laki dalam penyebaran tenaga kerja di berbagai sektor pekerjaan di kota Makassar (tabel 4.5.) Tabel 4.5. PENDUDUK YANG BEKERJA DI KOTA MAKASSAR MENURUT PENDIDIKAN DAN LAPANGAN USAHA PER AGUSTUS 2011 Pendidikan SD SMP SMA Umum SMA Kejuruan D1/D2/D3/ Akademi Universitas Jumlah
1 2 3 4 5 918 0 2.260 0 16.309 125 3.151 6.749 0 7.759 48 0 15.028 0 4.743 2.522 0 2.861 809 4.964 0
565
1.679
0
1.795
6 41.321 43.784 69.743 26.979
7 30.683 8.273 9.600 6.063
8 565 7.191 5.731 0
9 14.813 29.740 46.441 13.453
Jumlah 106.869 106.772 151.334 57.651
5.197
702
3.126
7.716
20.780
0 0 1.965 0 5.483 8.701 2.534 10.640 68.321 97.644 3.613 3.716 30.542 809 41.054 195.725 57.855 27.253 180.484 541.050
Sumber: BPS, Survey Angkatan Kerja Nasional Agustus 2011 diolah Pusdatinaker Ket: 1. Pertanian, kehutanan, perburuan dan perikanan, 2. Pertambangan dan penggalian, 3. Industri pengolahan, 4. Listrik, gas dan air, 5. Bangunan, 6. Perdagangan besar, eceran, rumah makan, dan hotel, 7. Angkutan, pergudangan dan komunikasi, 8. Keuangan, asuransi, usaha persewaan bangunan, tanah, dan jasa perusahaan, 9. Jasa kemasyarakatan
Berdasarkan hasil wawancara pada tanggal 27 Januari 2012 dengan pengurus GSBN (Gabungan Serikat Buruh Nusantara) ditemukan fakta bahwa diskriminasi pekerjaan dan jabatan terhadap pekerja perempuan relatif tidak terjadi lagi. Karena sudah banyak perempuan yang menduduki posisi strategis dan hampir di semua perusahaan/organisasi terdapat pekerja perempuan yang beraktifitas di dalam. Mulai dengan jabatan setingkat pimpinan, manajer atau pun pekerja biasa.
66
Masih dari hasil wawancara per tanggal 27 Januari 2012, ditemukan bahwa hanya pada bidang tertentu saja yang masih memperlihatkan indikasi terjadinya diskriminasi terhadap perempuan di tempat kerja. Hal ini dikemukakan sesuai dengan kutipan wawancara berikut ini, “... Tidak ada masalah dengan diskriminasi. Cuma di beberapa tempat, khususnya di perusahaan perhotelan atau pariwisata kebanyakan sangat diskriminatif. Misalnya, di beberapa kasus ketika perempuan sudah menikah. Sebenarnya ini sudah melanggar hak warga negara untuk menikah, itu sudah tidak diperbolehkan bekerja di beberapa tempat di kota Makassar.” (wawancara 27Januari 2012)
Dari pernyataan di atas, menunjukkan bahwa tidak sepenuhnya diskriminasi terhadap perempuan di tempat kerja telah terhapus. Karena pada kenyataannya, masih ada aturan-aturan yang hadir di beberapa perusahaan yang sifatnya diskriminatif terhadap pekerja perempuan. Walaupun di sisi lain, telah dibahasakan bahwa perempuan hari ini sudah sangat memiliki peluang untuk bekerja di ranah publik di posisi manapun di dalam perusahaan/organisasi. Hal ini tentu saja perlu mendapat perhatian langsung. Karena ternyata apa yang diperjuangkan oleh orang-orang yang mengharapkan adanya persamaan hak perempuan dan laki-laki di ranah publik belum sepenuhnya berhasil. Konsep emansipasi atau penyeteraan gender belum terpahami dengan baik oleh masyarakat secara luas.
4.4. Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan di Tempat Kerja di Kota Makassar Secara garis besar, Konvensi ILO No.111 membahas diskriminasi pekerjaan dan jabatan dalam bentuk pembedaan dalam mendapat akses untuk
67
mendapat pekerjaan; akses untuk mengikuti pelatihan dan pengembangan; kenaikan pangkat sesuai dengan pengalaman; keamanan masa kerja; kondisi pekerjaan; termasuk mengenai upah yang seharusnya sama untuk pekerjaan yang juga sama nilainya.
4.4.1. Akses untuk mendapat pekerjaan Akses untuk mendapatkan pekerjaan berkaitan dengan proses rekrutmen dan seleksi yang dilakukan oleh pihak manajemen perusahaan/organisasi. Dalam
melakukan
kedua
proses
tersebut,
perusahaan/organisasi
harus
menyesuaikannya
pihak
manajemen
dengan
kebutuhan
perusahaan/organisasi tersebut. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, pihak manajemen harus merekrut calon tenaga kerja yang berpotensi dan sesuai dengan standar yang telah ditentukan. Selanjutnya dilakukan kegiatan seleksi. Kegiatan seleksi ini dimaksudkan agar organisasi membuat keputusan siapa-siapa saja yang diterima. Seleksi diawali dengan mengidentifikasi kandidat dan menempatkan beberapa individu yang mempunyai kemampuan terbaik pada pekerjaan yang tersedia dan diakhiri dengan seleksi individu yang ditempatkan pada pekerjaannya dalam organisasi. Berkaitan dengan kesempatan mendapatkan akses pekerjaan bagi perempuan tentu saja tidak bisa dilepaskan dengan kebutuhan umum dari semua perusahaan/organisasi. Karena tidak semua perusahaan/organisasi ternyata membutuhkan perempuan sebagai pekerjanya. Hal ini terjadi karena
68
spesifikasi pekerjaan yang ada memang tidak diperuntukkan bagi perempuan dengan berbagai alasan. Di Makassar pada tahun 2010, jumlah pencari kerja didominasi oleh perempuan. Dari tahun tersebut ada 16.802 yang terdaftar sebagai pencari kerja dan 60 persen di antaranya adalah perempuan. Namun pada kenyataannya, tidak semua mampu diserap di lapangan kerja. Tenaga kerja perempuan hanya mampu terserap 40 persen ke lapangan kerja. Dari jumlah tersebut, didominasi pada sektor industri, khususnya bidang jasa. Beberapa contoh di antaranya adalah industri pengelolaan ikan dan udang yang ada di Kawasan Industri Makassar (KIMA) dan industri lainnya. Pada tahun 2011 jumlah pekerja perempuan yang terserap di tempat kerja pun sudah meningkat presentasinya, dari 235.299 angkatan kerja perempuan di kota Makassar hanya 201.460 orang yang terserap, hingga masih ada 33.839 orang perempuan yang tidak serap di tempat kerja. Atau dengan kata lain sekitar 85,62% dari jumlah angkatan kerja pekerja perempuan telah diserap di lapangan kerja. Di bidang perbankan, PT Bank Sulselbar setiap tahunnya melakukan peningkatan rekrutmen terhadap pekerja perempuan, dapat dilihat pada tabel (5.6.) tentang komposisi pegawai perserroan berdasarkan jenis kelamin. Tabel 4.6. Komposisi Pegawai Perseroan PT. Bank Sulselbar berdasarkan Jenis Kelamin Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan
2010 681 332
31 Desember 2009 2008 2007 687 622 638 310 264 266
2006 630 232
69
Jumlah
1.013
997
886
904
862
Sumber: Buku Laporan Tahunan 2010 PT Bank Sulselbar
Selain itu, perusahaan/organisasi yang bergerak di bidang kesehatan sebenarnya cukup membuka peluang yang besar bagi pekerja perempuan. Karena perempuan memang lebih dekat dengan dunia persalinan (ibu dan anak). Jadi secara garis besar, perempuan akan lebih banyak memenuhi syarat untuk bekerja di tempat ini dibanding laki-laki. Salah satu rumah sakit ibu dan anak miliki swasta pun secara kuantitas memiliki jumlah tenaga kerja perempuan lebih banyak dibanding laki-laki, hal ini ditemukan saat mewawancarai salah satu pekerja perempuan inisial AND (22) yang bekerja di rumah sakit tersebut pada tanggal 2 Februari 2012. Berikut kutipan wawancara dengan narasumber yang bersangkutan, “kebanyakan memang cewek, sedikit sekali yang cowok. Di bagian manajemen itu ada direktur, asisten direktur, KASUBAG TU, bidang kepegawaian, di keuangan dua orang cowok, kepala JAMKESDA cowok. Ituji delapan orang. Oh… tambah 1 orang di bagian JAMKESMAS.” (wawancara 2 Februari 2012)
Hal ini sebenarnya kelihatan sangat lumrah atau biasa-biasa saja, Sehingga sangatlah wajar jika jumlah pekerja perempuan di tempat ini jauh lebih banyak dibanding laki-laki. Di sektor perdagangan pun cukup terbuka lebar bagi perempuan. Di mana ujung tombak dari perdagangan adalah pemasaran. Dalam melakukan kegiatan pemasaran, tentu saja membutuhkan orang-orang yang mampu menarik customer sebanyak-banyaknya. Perempuan sering dianggap sebagai orang yang mampu menarik minat dari para customer. Sehingga hampir semua outlet di
70
tempat perbelanjaan di kota Makassar mempekerjakan perempuan baik sebagai pelayan ataupun sebagai sales promotion. Tidak hanya itu, untuk pekerjaan yang membutuhkan ketelitian dan ketekunan yang tinggi, calon pekerja perempuan akan menjadi pilihan utama bagi pihak manajemen perusahaan/organisasi untuk dipekerjakan. RHM membenarkan pernyataan tersebut, sesuai dengan kutipan wawancara pada tanggal 7 Februari 2012 lalu berikut ini, “…Laki-laki itu banyakan di gudang, sepatu atau di bazanya (swalayan). Kalau di fashion itu kebanyakan perempuan. Kalau kasir memang perempuan, tidak ada laki-laki. Takutnya laki-laki teledor, atau ada hubungan laki-laki sama perempuan takutnya ada kerjasama juga…” (wawancara 7 Februari 2012)
Narasumber bernama RHM (23) ini bekerja di salah satu swalayan di daerah Panakkukang, Makassar. RHM bekerja di bagian kasir sudah lima tahun di swalayan tersebut. Dari beberapa hasil wawancara di atas ditemukan bahwa perempuan diberikan ruang seluas-luasnya bekerja pada bagian tertentu saja. Kelihatan tidak dipermasalahkan oleh para narasumber yang merupakan pekerja perempuan. Karena menurut mereka, selama mereka bekerja dan diberikan gaji/upah yang sesuai itu tidak masalah, dimana pun posisinya. Hal ini juga terdeskripsikan dari data survey angkatan kerja nasional 2011 di kota Makassar (tabel 4.7.) berikut ini,
71
Tabel 4.7. PENDUDUK YANG BEKERJA DI KOTA MAKASSAR MENURUT JENIS PEKERJAAN/JABATAN DAN JENIS KELAMIN PER AGUSTUS 2011 Jenis Jenis Kelamin Perbedaan Pekerjaan/Jabatan*) Laki-Laki Perempuan Jumlah (JenisPekerjaan/Jabatan) 39.611 41.693 81.304 2.082 0/1 10.349 1.400 11.749 8.949 2 41.780 38.017 79.797 3.763 3 83.192 74.840 158.032 8.352 4 30.292 24.792 55.084 5.500 5 1.091 0 1.091 1.091 6 116.378 19.938 136.316 96.440 7/8/9 16.897 780 17.677 16.117 X/00 Jumlah 339.590 201.460 541.050 Sumber: BPS, Survey Angkatan Kerja Nasional 2011 diolah Pusdatinaker 0/1.Tenaga profesional, teknisi dan yang sejenis; 2.Tenaga kepemimpinan dan ketatalaksanaan; 3.Tenaga tata usaha dan yang sejenis; 4.Tenaga usaha penjualan; 5.Tenaga usaha jasa; 6.Tenaga usaha pertanian, kehutanan, perburuan, dan perikanan; 7/8/9.Tenaga produksi,operator alat-alat angkutan dan pekerja kasar; X/00.Lainnya. *)
Tersegmentasinya jabatan dan pekerjaan tersebut, membuat pekerja perempuan mengalami marjinalisasi sebagai proses feminisasi atau segregasi. Hal ini bisa dilihat dari terkonsentrasinya pekerja perempuan ke dalam jabatan pekerja yang seolah-olah sudah terfeminisasi atau pekerja yang dianggap sebagai pekerja perempuan. Seperti sekretaris (tenaga administrasi), kasir, pedagang, perawat, dan jenis-jenis pekerjaan yang masih merupakan kepanjangan dari pekerjaan-pekerjaan rumah tangga (sektor domestik) yang lebih banyak memerlukan keahlian manual (Mansour Fakih, 1996). Scott (seperti dikutip , 1992) memandang segregasi pekerjaan berdasarkan jenis kelamin merupakan salah satu bagian dari marginalisasi. Bila permasalahan
marginalisasi ini dikaitkan dengan ketimpangan gender, maka ada 2 hal yang dapat dijelaskan:
72
1. Pekerjaan-pekerjaan marginal yang dikerjakan oleh perempuan dapat
dilihat sebagai akibat proses identifikasi perempuan terhadap apa-apa yang sesuai dengan sifat keperempuanannya yang telah dikonstruksikan secara sosial. Identifikasi ini merupakan proses pemaknaaan diri dan hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan perempuan sehingga berbagai faktor diperhatikan di dalamnya. 2. Berbagai proses telah mereproduksi sifat keperempunanan dan kenyataan
tentang pekerjaan-pekerjaan yang sesuai dengan sifat keperempuanan tersebut. Hal yang paling besar mempengaruhi bentuk marginalisasi ini adalah faktor budaya yang ada di lingkungan tersebut. Faktor ini juga diiyakan oleh HDR dalam kutipan wawancara berikut ini, “…adanya perbedaan pekerjaan dan jabatan antara perempuan dengan laki-laki sebenarnya merupakan permasalahan yang hadir karena konstruk sosial saja. Misalnya pemikiran masyarakat terhadap pekerja perempuan yang pulang malam biasa dianggap melakukan pekerjaan yang tidak baik. Perempuan bekerja di luar dianggap sebagai pekerja sampingan saja.” (wawancara 27 Januari 2012)
Konteks seperti inilah yang sering mengarahkan perempuan untuk bekerja pada bagian-bagian yang tidak terlalu berat dan telah tersegmentasikan di tempat kerja.
4.4.2. Akses untuk Mendapatkan Pelatihan dan Pengembangan Permintaan pekerjaan dan kemampuan karyawan harus diseimbangkan melalui program orientasi dan pelatihan. Pelatihan dan pengembangan sangat penting bagi pekerja/karyawan baru maupun lama untuk meningkatkan kinerja
73
saat ini dan di masa yang akan datang. Kegiatan pelatihan dan pengembangan memberikan dividen kepada pekerja dan perusahaan, berupa keahlian dan keterampilan yang selanjutnya akan menjadi aset yang berharga bagi perusahaan/organisasi. Dalam mendapatkan pelatihan dan pengembangan, pekerja perempuan di kota Makassar tidak mengalami tindakan yang diskriminatif menurut Konvensi ILO No.111. Karena menurut mereka, pelatihan dan pengembangan memang bentuknya berbeda. Hal ini diakibatkan adanya posisi yang berbeda sehingga membutuhkan program orientasi dan bentuk pelatihan yang berbeda. Bahkan ada beberapa pekerja perempuan yang sudah memiliki jabatan yang mapan dan lebih tinggi sering dikirim oleh pihak perusahaan untuk melakukan bimbingan training ke pekerja baru yang akan dipekerjakan di cabang yang akan dibuka selanjutnya. “…sudah seringmi keliling. Tergantung kalau memang dipercayakan, cara kerjanya bagus, bisa mengajar, atau jadi karyawan terbaik bisa dikirim. Kalau ada cabang baru mau dibuka misalnya di Palu atau di Jayapura, sampai tokonya dibuka atau sampai anak baru disana sudah bisa mandiri. Selesai kontrak, kembali lagi ke cabang asal…” (wawancara 7 Februari 2012)
Ini menunjukkan tingkat profesionalitas dan kinerja menjadi tolak ukur perusahaan/organisasi untuk memberikan pelatihan dan pengembagan kepada pekerjanya. Jika melihat kondisi di atas, secara garis besar tidak ada diskriminasi yang terjadi dalam konteks pemberian pelatihan dan pengembangan di tempat kerja di
kota
Makassar
terhadap
pekerja
perempuan.
Ini
dikarenakan
perusahaan/organisasi akan terus berusaha memberikan penambahan softskill
74
para pekerjanya memang sesuai dengan pekerjaan dan jabatan mereka. Karena softskill pekerja ini merupakan sesuatu yang sangat berharga bagi perusahaan/organisasi,
sehingga
perusahaan
tidak
perlu
segan-segan
melakukan petihan dan pengembangan untuk pekerjanya. Seperti PT TELKOM yang telah merencanakan dan melaksanakan program DIKLAT yang efektif bagi karyawan dengan tujuan untuk membentuk SDM yang profesional dan produktif melalui proses pendidikan dan pelatihan sehingga mampu mendukung daya saing PT. TELKOM secara berkesinambungan. Untuk mendukung hal tersebut, setiap karyawan/pekerja diberi kesempatan yang sama untuk mengikuti program DIKLAT yang disediakan PT. TELKOM maupun program pendidikan mandiri guna menghindari terjadinya kesenjangan kompentensi dengan rata-rata 20 hari kerja pertahun dan memperhatikan skala prioritas sesuai kebutuhan. Selain itu, dapat dilihat dari program pendidikan dan pelatihan yang dilakukan oleh PT. Bank Sulselbar. PT Bank Sulselbar senantiasa berupaya meningkatkan kompetensi dan produktifitas karyawan untuk mendukung kelangsungan bisnis demi pencapaian target perusahaan yang optimal. Oleh karena itu, PT Bank Sulselbar dengan semangat penuh melaksanakan program– program yang telah dirumuskan untuk mendukung proses transformasi organisasi yang telah direncanakan oleh manajemen, di samping itu juga memberikan kesempatan kepada seluruh pegawai untuk dapat mengikuti program pendidikan dan pelatihan bagi pengembangan wawasan dan keahlian. Program pendidikan dan pelatihan , yang meliputi :
75
1. Pendidikan karir yang dilaksanakan secara reguler dan bertujuan untuk mengantisipasi rencana pengembangan organisasi dan jaringan kantor cabang, serta pengembangan karir. Bank Sulselbar telah melaksanakan program ini dengan baik, di antaranya adalah Pelatihan Manajer Lini Pertama, Manajer madya, Sertifikasi Pemimpin Cabang Konvensional dan Syariah,
Pelatihan
ALMA,
Sekolah
Staf
dan
Pimpinan
Bank
(Sespibank),dll. 2. Pendidikan dan pelatihan di bidang teknis perbankan untuk meningkatkan pengetahuan dan keahlian pegawai, yaitu Pendidikan Akuntansi Bank, Analis Kredit, Account Officer, dll. 3. Pelatihan maupun sosialisasi terkait dengan tranformasi organisasi dan pengembangan jaringan dilakukan melalui pelatihan budaya kerja, nilainilai perusahaan dan layanan Prima. 4. Pendidikan akademis, dengan memberikan kesempatan karyawan untuk mengikuti pendidikan S-2, baik di dalam maupun di luar negeri. 5. Program peningkatan integritas pegawai dan efektifitas penerapan Good Corporate Governance (GCG) dengan melaksanakan pendidikan di bidang GCG, dll. 6. Dalam hal pengelolaan risiko bank, sebagai bagian kepatuhan (compliance) bank terhadap peraturan Bank Indonesia, PT. Bank Sulselbar secara konsisten mengikutsertakan pejabat dan staf untuk mengikuti program Sertifikat Manajemen Risiko dan pendidikan di bidang risk management secara berkelanjutan.
76
7. Program pengembangan kapasitas pegawai lainnya, dilakukan dengan mengikuti seminar, workshop, outbound (team building), pelatihan persiapan pensiun, dan lain sebagainya.
4.4.3. Kenaikan Pangkat Sesuai Dengan Pengalaman Para pekerja yang telah selesai menjalankan program orientasi harus segera mendapatkan tempat pekerjaan yang sesuai dengan bakat dan keahlian yang dimilikinya. Salah satu hal yang harus dilakukan oleh pihak manajemen perusahaan harus melakukan penempatan. Penempatan tersebut berarti mengalokasikan para karyawan/pekerja pada posisi tertentu. Salah satu bentuk penempatan yang dilakukan oleh manajemen perusahaan adalah promosi. Promosi terjadi apabila seorang pekerja/karyawan dipindahkan dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain yang lebih tinggi dalam pembayaran, tanggung jawab dan atau level. Umumnya dalam pemberian promosi juga dilakukan dengan pemberian penghargaan, hadiah (reward system). Pemberian promosi dilakukan kepada pekerja/karyawan berdasarkan usaha dan prestasi yang maksimal yang diberikan di masa lampau. PT. Carrefour Indonesia misalnya memberikan ruang bagi para karyawan dan pekerjanya untuk terus berkembang. Dari para karyawan/pekerja dengan pendidikan setingkat SLTA hingga perguruan tinggi akan mendapatkan kesempatan yang sama untuk berkembang dan membangun karirnya sesuai dengan kemampuan dan motivasi masing-masing karyawan.
77
Hal ini dimungkinkan karena Carrefour mempunyai tradisi untuk melakukan "internal promotion" dalam mengisi lowongan yang ada dari waktu ke waktu. Seiring dengan rencana pengembangan usaha ke depan, kami masih membutuhkan tenaga-tenaga kerja yang handal untuk berkembang bersama Carrefour. PT
TELKOM
pun
memiliki
perencanaan
pengembangan
karir
karyawannya. Berdasarkan pasal 26 PKB, pola karir karyawan berbasis kompetensi yang direncanakan dan dikembangkan berdasarkan kemitraan partisipatif antara karyawan, manajer lini dan PT. TELKOM yang dilakukan sebagai berikut: 1. Karyawan bertanggung jawab terhadap pengembangan karirnya, karenanya harus merencanakan kariri yang hendak dicapainya pada masa yang akan datang
dengan
diikuti
pengembangan
kompetensi
sesuai
dengan
persyaratan jabatan dan pekerjaan yang hendak dicapainya; 2. PT. TELKOM berperan dalam menyediakan fasilitas pengembangan kompetensi dan karir bagi seluruh karyawannya 3. Manajer lini berperan dan bertanggung jawab dalam membimbing, mengarahkan
dan
membina
karyawan
untuk
meningkatkan
dan
mengembangkan kompetensinya sehingga mampu menjadi kader yang profesional; 4. Khusus bagi karyawan PT. TELKOM yang dipekerjakan/diperbantukan di JVC/afiliasi harus mendapat perlakuan yang sama dengan karyawan PT. TELKOM lainnya dalam aspek pengembangan karir.
78
Pengembangan karir dengan memberikan kenaikan pangkat kepada karyawan/pekerja juga dirasakan aman-aman saja oleh salah satu pekerja perempuan yang bekerja di salah satu hotel berbintang di Makassar. Berdasarkan pengalaman kerjanya di hotel tersebut, FTS (22) bertutur seperti berikut, “…diskriminasi di tempat kerja sepertinya sudah tidak ada. Apalagi karena manajer yang membawahi personalia perempuan, jadi tidak ada masalah. Bisaji dilihat juga tidak adanya diskriminasi, karena cukup banyak perempuan di tempat kerja saya memiliki posisi strategis dan tinggi.” (wawancara 3 Februari 2012)
Seluruh pekerja di tempat kerja FTS di hotel tersebut mendapat kesempatan yang sama dalam mengakses kenaikan pangkat berdasarkan pengalaman kerja mereka. Mereka yang bekerja sebagai pegawai tidak tetap tentu saja tidak mendapatkan hak ini. Kecuali jika pegawai tidak tetap ini memiliki kinerja yang baik, mereka memiliki kesempatan besar untuk diangkat menjadi pekerja tetap. Narasumber berinisial RHM pun mengalami hal serupa. Khususnya pada saat dia menjadi pekerja tetap. Berdasarkan pengalaman kerjanya, RHM membutuhkan waktu setahun untuk terangkat menjadi pegawai tetap. Dalam rentang waktu setahun kinerjanya dinilai untuk menentukan keberlanjutan pekerjaannya di swalayan tempatnya bekerja. Seperti yang dituturkan dalam penggalan wawancaranya berikut ini, “…mungkin ada setahun lebih baru terangkat jadi pegawai tetap. Kalau bagus kinerjanya bisa diangkat jadi pegawai tetap. Tapi, sekarang tidak adami sistem pengangkatan langsung untuk tetap. Rata-rata sekarang itu sistem kontrak, paling lama tiga bulan. Terus dinilaimi lagi, dilanjut atau tidak…” (wawancara 7 Februari 2012)
79
Permasalahan lain yang mungkin muncul saat ini adalah sulitnya mendapat status sebagai pekerja tetap bagi pekerja, sehingga ada beberapa hak yang tidak bisa diberikan oleh mereka yang hanya berstatus pekerja tidak tetap atau pekerja kontrak. Kebijakan perusahaan/organisasi untuk mempekerjakan lebih banyak pekerja kontrak dikarenakan bentuk efisiensi yang dilakukan untuk menekan jumlah biaya yang harus dikeluarkan oleh perusahaan/organisasi setiap tahunnya. Hal ini mungkin menjadi permasalahan lain yang layak diperhatikan.
4.4.4. Keamanan Masa Kerja Dari wawancara dengan HDR sebagai pengurus GSBN ditemukan bahwa masih ada beberapa perusahaan yang melakukan tindakan diskriminatif terhadap pekerja perempuan, khususnya perusahaan yang bergerak di sektor jasa parawisata (misalnya di bidang perhotelan). Ada beberapa kasus yang menunjukkan kondisi di mana pekerja perempuan yang memilih untuk menikah, tidak mendapatkan keamanan masa kerja. Karena ada beberapa perusahaan yang memilih untuk memberhentikan pekerja perempuan yang sudah menikah. Salah satu alasannya menyangkut masalah penurunan kinerja, karena perempuan yang telah menikah akan lebih memilih untuk menjalankan tugasnya di keluarga. Perusahaan tidak ingin mengambil resiko untuk itu. Beberapa dari pekerja perempuan tersebut tidak begitu mempermasalahkan, dengan alasan mereka memang membutuhkan waktu yang lebih banyak untuk mengurus keluarga.
80
Ada juga perusahaan yang tidak mengambil jalan yang ekstrim seperti itu. Di tempat kerja FTS di salah satu hotel di kota Makassar, pihak manajemen lebih memilih memindahkan pekerja tersebut ke bagian back office. “… di sini, karyawan perempuan yang sudah menikah biasanya diberikan posisi di bagian back office. Itupun kalau ini karyawan tidak memilih untuk resign sendiri.” (wawancara 3 Februari 2012)
Sesuai dengan Peraturan menteri tenaga kerja No. per. 04/MEN/1989 tentang larangan PHK bagi tenaga kerja wanita karena hamil atau melahirkan. Dari wawancara dengan beberapa pekerja perempuan di beberapa tempat kerja yang berbeda, peraturan di atas sudah dilaksanakan. Tidak pekerja perempuan yang hamil atau melahirkan diberhentikan karena alasan tersebut, kecuali jika pekerja perempuan tersebut yang memang meminta untuk berhenti. Profesionalitas pihak manajemen perusahaan dalam mengelola sistem masa kerja para pekerjanya dikatakan sudah sesuai. Pada PT Bank Sulselbar telah
memiliki
aturan
tersendiri
mengenai
masa
pensiun
para
pekerja/karyawannya. PT Bank Sulsebar telah menyiapkan dana pensiun untuk para pekerjanya, sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3477), Perseroan mendirikan Dana Pensiun Bank BPD Sulawesi Selatan yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan dengan Surat Keputusan No. Kep-172/KM.6/2002 tentang pengesahan atas peraturan dana pensiun dari dana pensiun Bank Pembangunan Daerah Sulawesi Selatan
81
sebagaimana diumumkan dalam Berita Negara No.73 tanggal 10 September 2002 beserta tambahan Berita Negara No.34.
4.4.5. Akses Mendapatkan Upah yang Layak Salah satu alasan orang untuk bekerja adalah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Maka sangat pentinglah upah bagi mereka yang bekerja. Peningkatan perlindungan bagi pekerja perempuan, dapat dilihat dengan adanya beberapa ketentuan yang menghapuskan adanya pebedaan perlakuan terhadap pekerja perempuan. Adapun ketentuan tersebut adalah UU No. 80 tahun 1957 tentang ratifikasi konvensi ILO No. 100 tahun 1954 mengenai upah yang sama antara laki–laki dan wanita untuk pekerjaan yang sama nilainya. Dalam prakteknya banyak sekali keluhan dari para pekerja wanita tersebut, misalnya: tidak diberikannya kesempatan untuk mendapatkan pendidikan tambahan atas beban perusahaan. Adanya diskriminasi atas pengupahan yang sama untuk masa kerja yang sama dan pekerjaan yang sama nilainya, dan sebagainya. Peraturan pemerintah No. 8 tahun 1981 tentang perlindungan upah yang menyatakan adanya pemberian sanksi terhadap pelanggaran ketentuan yang telah ditetapkan tersebut. Peraturan ini memuat bahwa pengusaha tidak boleh mengurangi hak–hak tenaga kerja wanita yang karena hamil dan karena fisik dan jenis pekerjaan tersebut tidak mungkin dikerjakan olehnya. Artinya walaupun pekerja tersebut cuti dan tugasnya dialihkan kepada orang lain, namun haknya untuk
82
mendapatkan upah tetap tiap bulan dan jika ia sudah dapat bekerja lagi maka upah tersebut harus diterima kembali. Namun, kenyataan yang terjadi tidak sesuai dengan aturan yang dipaparkan di atas. Masih berdasarkan hasil wawancara dengan RHM yang bekerja di salah satu swalayan di kota Makassar, hak cuti haid dan hamilmelahirkan tetap diberikan oleh pihak perusahaannya. Akan tetapi, jika ada pekerja perempuan yang meminta cuti tersebut, perusahaan melakukan pengurangan terhadap upah pekerja tersebut. Berikut kutipan wawancara dengan RHM mengenai hal di atas. “…cuti hamil tiga bulan, cuti haid itu seminggu. Cuma untuk pekerja tetap. Tapi kayaknya tidak ada yang berlakukanki, karena tidak adaji yang bagaimana sekali. Biasanya kalo cuti halangan begitukan tetap dipotong gaji, jadi orang pasti tidak mau. Kecuali kalo cuti hamil, tidak dipotong gaji.” (wawancara 7 Februari 2012).
Hal ini juga didukung dengan data survey angkatan kerja nasional 2011 di kota Makassar. Ditemukan bahwa secara rata-rata, upah/gaji yang diberikan selama sebulan oleh perusahaan kepada pekerja perempuan sudah lebih baik, bahkan pada golongan usia tertentu upah yang diperoleh pekerja perempuan sudah lebih tinggi dibanding laki-laki (tabel 4.8.). Tabel 4.8. RATA-RATA UPAH/GAJI BERSIH PEKERJA /KARYAWAN SELAMA SEBULAN DI KOTA MAKASSAR MENURUT GOLONGAN UMUR DAN JENIS KELAMIN (RUPIAH) PER AGUSTUS 2011 Jenis Kelamin Perbedaan Golongan (Rata-rata Upah/Gaji Laki-laki Perempuan Bersih Pekerja per Umur Bulan)
15-19 20-24 25-29
748.513 963.149 958.882
456.440 643.539 1.172.582
292.073 319.610 213.700
83
30-34 35-39 40-44 45-49 50-54 55-59 65 ke atas Rata-rata
1.615.912 2.142.589 2.419.114 4.089.343 3.129.182 3.472.546 6.203.750 2.001.584
1.208.069 2.784.753 2.863.158 2.438.278 2.100.000 4.537.500 0 1.796.219
407.843 642.164 444.044 1.651.065 1.029.182 1.064.954 6.203.750
Sumber: BPS, Survey Angkatan Kerja Nasional Agustus 2011 diolah Pusdatinaker
Secara garis besar, untuk pemberian upah sudah dikelola berdasarkan sistem yang ada. Misalnya, seperti PT Bank Sulselbar memiliki mekanisme sendiri dalam memberikan upah kepada karyawannya. Pemberian upah/gaji di PT Bank Sulselbar berdasarkan adanya perbedaan job group dan jabatan yang ada. Berikut tabel rasio perbandingan gaji antara dewan komisaris, direksi dan pegawai di PT Bank Sulselbar (tabel 4.9.) Tabel 4.9. Rasio Gaji Tertinggi dan Terendah Dewan Komisaris, Direksi dan Pegawai dalam Skala Perbandingan PT Bank Sulselbar Tahun 2010 No. 1. 2. 3. 4.
Skala Perbandingan Rasio gaji pegawai tertinggi dan terendah Rasio gaji direksi tertinggi dan terendah Rasio gaji komisaris tertinggi dan terendah Rasio gaji direksi tertinggi dan terendah
Rasio 8.76 1.11 1.05 1.82
Sumber: Laporan Good Corporate Governance PT. Bank Sulselbar 2010
Berbeda dengan upah yang berlaku di tempat kerja FTS di sebuah hotel berbintang di kota Makassar. Sampai saat ini upah yang FTS dan pekerja lainnya di sana belum sesuai dengan UMK kota Makassar. UMK untuk tahun 2012 di kota Makassar telah disepakati oleh Pemprov Sulsel, Pemkot Makassar, Serikat Pekerja Indonesia Sulsel, serta para pengusaha sudah sepakat nilai UMK naik 15% menjadi Rp1,265 juta. Namun, masih banyak
84
perusahaan yang tidak melaksanakan kesepakatan tersebut. Termasuk perusahaan yang bergerak di bidang perhotelan, tempat kerja FTS. “…kalau masalah salary sebenarnya di sini masih di bawah UMK. Cuma karyawan di sini mengertiji, karena hotel baru buka beberapa tahun. Jadi masih menyesuaikan, belum lagi masih ada pembangunan yang dilakukan. Kalau hotelnya sudah mapan, mungkin karyawan di sini sudah bisa menuntut salary sesuai UMK kota.” (wawancara 3 Februari 2012)
Hotel tempat FTS bekerja, masih dalam tahap survive sehingga pekerja pun cukup mengerti mengenai jumlah upah yang diberikan oleh perusahaan. Akan tetapi tidak sesuainya upah yang mereka dapatkan dengan UMK tidak pula membuat sistem pengupahan di tempat kerja FTS tidak tersistematis. Jumlah upah yang diberikan tetap sesuai dengan pekerjaan dan jabatan yang dilakukan pekerja di sana. Secara garis besar seharusnya tidak ada perlakuan diskriminatif terhadap laki-laki dan perempuan
mengenai pemberian gaji dan upah. Karena
pemberian gaji dan upah selalu berdasarkan kelompok-kelompok pekerjaan dan jabatan yang ada di perusahaan/organisasi tersebut. Namun, tabel berikut (tabel 4.10.) ini dapat menunjukkan adanya perbedaan jumlah upah berdasarkan perbedaan jenis kelamin dan jenis pekerjaan dan jabatan yang ada di kota Makassar. Tabel 4.10. RATA-RATA UPAH/GAJI BERSIH PEKERJA SELAMA SEBULAN DI KOTA MAKASSAR MENURUT JENIS PEKERJAAN/JABATAN DAN JENIS KELAMIN (RUPIAH) PER AGUSTUS 2011 Jenis Kelamin Jenis Pekerjaan Perbedaan *) (Upah/Gaji Bersih Pekerja Per Bulan) /Jabatan Laki-laki Perempuan 3.217.745 2.893.109 324.636 0/1 8.167.937 3.403.571 4.764.366 2
85
2.265.798 876.013 1.329.302 1.429.114 1.040.684 3.032.818 2.001.584
3 4 5 6 7/8/9 X/00 Rata-rata
1.895.594 805.093 599.415 0 657.774 1.500.000 1.796.219
370.204 70.920 729.887 1.429.114 382910 1.532.818
Sumber: BPS, Survey Angkatan Kerja Nasional Agustus 2011 diolah Pusdatinaker *)
Ket: 0/1. Tenaga profesional, teknisi dan yang sejenis, 2. Tenaga kepemimpinan dan ketatalaksanaan, 3. Tenaga tata usaha dan yang sejenis, 4. Tenaga usaha penjualan, 5. Tenaga usaha jasa, 6. Tenaga usaha pertanian, kehutanan, perburuan, dan perikanan, 7/8/9. Tenaga produksi,operator alat-alat angkutan dan pekerja kasar, X/00. Lainnya.
Berbicara tentang tunjangan yang menjadi komponen gaji/upah yang sebenarnya menjadi permasalahan inti. Ditemukan bahwa ada perbedaan tunjangan yang diberikan oleh perusahaan/organisasi terhadap laki-laki dan perempuan, khususnya mereka yang sudah berkeluarga. Walaupun pada hakekatnya ketentuan tentang pengupahan dalam hukum perburuhan tidak diskriminatif atau telah memuat keadilan bagi pekerja laki-laki dan perempuan seperti dimuat dalam Konvensi ILO No. 100 tahun 1951, UU No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, Konvensi tentang penghapusan mengenai
segala
bentuk
diskriminasi
terhadap
perempuan,
tetapi
kenyataannya dalam praktek masih dijumpai perusahaan yang menerapkan sistem pengupahan yang bias gender. Pembedaan ini disebabkan adanya pengakuan status yang berbeda terhadap mereka. Jika pekerja laki-laki sudah menikah, maka akan diakui sebagai laki-laki telah berkeluarga sehingga statusnya diakui bukan lagi sebagai lajang. Namun, bagi pekerja perempuan yang sudah menikah dalam hal pengupahan, perusahaan tetap mengakui sebagai lajang.
86
Pembedaan ini berdampak terhadap penerapan sistem pengupahan. Dalam
prakteknya,
sistem
pengupahan
yang
diterapkan
tersebut
menggunakan komponen yang berbeda untuk menghitung upah. Jika dalam komponen upah pekerja laki-laki yang sudah menikah terdapat tunjangan istri dan atau tunjangan anak, sedang pekerja perempuan dengan status sama tidak pernah terdapat tunjangan suami beserta tunjangan tersebut. Demikian pula dengan tunjangan anak karena tidak diakuinya status sebgai perempuan menikah maka kepadanya juga tidak diberikan tunjagan anak dan tunjangan lain yang sesuai. Hal ini dialami oleh mereka yang bekerja di salah satu pusat perbelanjaan di kota Makassar. RHM sebagai pekerja mengakui hal tersebut, berikut kutipan wawancaranya, “…Kalau laki-laki beda. Kalau laki-laki yang beristri mendapat tunjangan istri dan anak. Kalau perempuan tidak ada, kecuali perempuan yang janda. Perempuan yang janda dapat tunjangan janda.” (wawancara 7 Februari 2012)
4.4.6. Kondisi Kerja Kondisi kerja meliputi jam kerja, waktu istirahat, cuti tahunan dengan tetap dibayar, tindakan keselamatan dan kesehatan kerja, serta tindakan pengaman sosial dan fasilitas kesejahteraan dan tunjangan yang disediakan dalam hubungannya dengan pekerjaan. Kondisi kerja di atas sebelumnya telah diatur oleh peraturan yang dibuat oleh pemerintah baik melalui undang-undang ataupun ketetapan dari presiden atau menteri yang berkaitan, misalnya UU No. 15 tahun 2003 tentang
87
ketenagakerjaan pasal 79. Undang-undang ini mengharuskan pengusaha mengatur waktu istirahat dan cuti. Waktu istirahat dan cuti meliputi : (a) istirahat antara jam kerja, sekurang kurangnya setengah jam setelah bekerja selama 4 (empat) jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja; (b) istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu; (c) cuti tahunan, sekurang kurangnya 12 (dua belas) hari kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara terus menerus; dan (d) istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan dan dilaksanakan pada tahun ketujuh dan kedelapan masingmasing 1 (satu) bulan bagi pekerja/buruh yang telah bekerja selama 6 (enam) tahun secara terus-menerus pada perusahaan yang sama dengan ketentuan pekerja/buruh tersebut tidak berhak lagi atas istirahat tahunannya dalam 2 (dua) tahun berjalan dan selanjutnya berlaku untuk setiap kelipatan masa kerja 6 (enam) tahun. Sedangkan waktu kerja diatur sebagai berikut (a) 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu; atau (b) 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu. Aturan di atas sesuai dengan UU No. 15 tahun 2003 pasal 77. Untuk mereka yang bekerja melebihi jam kerja (lembur) pun diatur di undang-undang yang sama. Pasal 78 (1) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77
88
ayat (2) harus memenuhi syarat : (a) ada persetujuan pekerja/buruh yang bersangkutan; dan (b) waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam dalam 1 (satu) hari dan 14 (empat belas) jam dalam 1 (satu) minggu. Pasal 78 (2) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib membayar upah kerja lembur. Pasal 78 (3) Ketentuan waktu kerja lembur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf (b) tidak berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu. Berdasarkan data survey angkatan kerja nasional 2011 di kota Makassar ditemukan bahwa jumlah jam kerja perempuan masih lebih sedikit dibanding pekerja laki-laki, sesuai tabel 4.11. di bawah ini, Tabel 4.11. PENDUDUK YANG BEKERJA DI KOTA MAKASSAR MENURUT JAM KERJA DAN JENIS KELAMIN PER AGUSTUS 2011 Jenis Kelamin Perbedaan Jam Kerja Jumlah (Jam Kerja) Laki-laki Perempuan *) 3.048 1.795 4.843 1.253 0 5.196 2.080 7.276 3.116 1-9 3.495 7.527 11.022 4.032 10-14 12.622 11.974 24.596 648 15-24 9.871 17.799 27.670 7.928 25-34 69.144 50.483 119.627 18.661 35-44 161.053 65.378 226.431 95.675 45-59 75.161 44.424 119.585 30.737 60 ke atas Jumlah 339.590 201.460 541.050 Sumber: BPS, Survey Angkatan Kerja Nasional Agustus 2011 diolah Pusdatinaker *)
Ket: tidak bekerja
Di hotel tempat FTS bekerja telah mengatur 2 shift kerja untuk pekerja perempuan, yaitu dari pukul 07.00-15.00 dan jam 15.00-23.00. Selain itu, untuk pekerja perempuan yang mendapatkan jam kerja dari jam 15.00-23.00
89
mendapatkan fasilitas tambahan dari pihak manajemen perusahaan dengan memberikan fasilitas mobil antar hingga tiba ke depan rumah masing-masing. Sedangkan untuk kerja yang melebihi jam kerja yang telah ditentukan atau biasa yang disebut dengan jam lembur, FTS bertutur bahwa kebanyakan merupakan karena inisiatif dari para pekerja itu sendiri. Insiatif biasanya muncul karena banyaknya pengunjung yang datang atau ada event besar yang dilaksanakan. Waktu lembur maksimal adalah 4 jam, dimana bagi pekerja yang melakukan kerja lembur sama sekali tidak mendapatkan upah lembur. Sebagai ganti upah lembur yang tidak ada, pihak manajemen memberikan extra off sehari untuk 4 jam kerja lembur. “… Di sini delapan jam kerja untuk per shift. Kalau ada yang mau kerja lebih dari jam kerja, biasanya insiatif sendiri. Kalau lagi banyak pengunjung atau ada event di hotel, biasa karyawan insiatif buat kerja lebih. Lumayan lembur 4 jam dapat extra off sehari. Tidak dapat gaji.” (wawancara 3 Februari 2012)
RHM yang bekerja di pusat perbelanjaan di kota Makassar juga mengutarakan hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaan aturan jam kerja di tempat kerjanya, “… kerjanya di sana pake shift. Ada dua shift, tapi kalau yang malam jam kerjanya sampai jam 10 saja. Perempuan dan laki-laki samaji.” (wawancara 7 Februari 2012)
Walaupun RHM tidak mendapat fasilitas yang sama dengan fasilitas yang diperoleh FTS dari tempat kerjanya, akan tetapi dari batas jam kerja yang RHM lakukan tidak bermasalah. Sehingga menurut RHM tidak ada yang perlu dipermasalahkan mengenai ada tidaknya fasilitas antar jemput yang disediakan oleh perusahaan tempat dia bekerja.
90
Namun, hal yang berbeda diutarakan oleh FTR salah satu pengurus GSBN (wawancara 27 Januari 2012) mengenai kondisi pekerja perempuan di sektor industri (pergudangan). Misalnya di industri pengelohan ikan atau udang yang ada di kawasan industri Makassar (KIMA), banyak pekerjanya berjenis kelamin perempuan. Namun, ternyata pihak manajemen perusahaan tidak memberikan fasilitas transportasi ataupun tunjangan biaya transportasi bagi pekerjanya. Bahkan lebih jauh lagi, jam kerja dari pekerja perempuan tersebut sudah tidak diperhatikan. Pekerja perempuan pun mendapatkan shift malam yang biasanya berakhir hampir dini hari. Lain lagi jika membahas tentang hak cuti haid dan cuti hamil serta melahirkan. Berdasarkan hasil wawancara dengan RHM yang bekerja di salah satu swalayan, hak cuti hamil dan melahirkan tetap diberikan oleh pihak perusahaan. Sedangkan, hak cuti haid diberikan dalam bentuk izin tanpa pembayaran upah pada hari itu. Berikut kutipan wawancaranya: “…Biasanya kalau cuti halangan begitukan tetap dipotong gaji, jadi orang pasti tidak mau. Kecuali kalau cuti hamil, tidak dipotong gaji.” (wawancara 7 Februari 2012)
Bahkan mengenai lingkungan kerja, pihak perusahaan tidak terlalu memperhatikan hal tersebut. Dalam melaksanakan pekerjaannya, pekerja perempuan terlalu sering berada dalam posisi berdiri. Hal ini menunjukkan pihak perusahaan tidak begitu peka memperhatikan kondisi kerja dan dampaknya bagi para pekerjanya. Hal yang berkaitan dengan tindakan keselamatan dan kesehatan kerja, serta tindakan pengaman sosial dan fasilitas kesejahteraan dan tunjangan yang
91
disediakan dalam hubungannya dengan pekerjaan pun sudah cukup dipenuhi oleh pihak perusahaan tempat FTS dan RHM bekerja. Seperti di tempat kerja FTS, telah disediakan jaminan kesehatan dari JAMSOSTEK atau ASKES, tunjangan uang makan dan uang transportasi. Hal serupa juga diperoleh RHM dari tempat kerjanya. Dalam menentukan tunjangan, pihak perusahaan memiliki kebebasan untuk menentukan kebijakannya masing-masing. Namun, kebijakan tersebut harus disepakati bersama dan telah termaktub dalam penjanjian kerja bersama. Dimana lampiran hasil perjanjian kerjasama ini harus diberikan kepada semua pihak yang ikut serta.
4.5. Rekapitulasi Perbedaan Perlakuan Antara Pekerja Laki-laki dan Pekerja Perempuan di Kota Makassar Dari pemaparan hasil penelitian di atas, berikut rekapitulasi perbedaan perlakuan (diskriminasi) antara pekerja laki-laki dan perempuan di tempat kerja di Kota Makassar, Tabel 4.12. Perbedaan Perlakuan dan Keseteraan Kesempatan Antara Pekerja Laki-laki dan Pekerja Perempuan di Kota Makassar No Prinsip Kesetaraan Pekerja Laki-Laki Pekerja Perempuan Kesempatan dan Perlakuan Pekerja Akses untuk Mendapatkan a. Jumlah pencari kerja a. Jumlah pencari kerja 1. Pekerjaan lebih banyak sudah mulai banyak (60,17%) (39,83%) b. Terserap di semua b. Hanya mampu terserap jenis pekerjaan dan 40% di lapangan kerja jabatan c. Masih banyak tersegmentasikan pada pekerjaan dan jabatan
92
2. 3.
4.
Akses untuk Mendapatkan Pelatihan dan Pengembangan Akses Kenaikan Pangkat Sesuai Dengan Pengalaman
Keamanan Masa Kerja
Disesuaikan dengan pekerjaan dan jabatan a. Kesempatan yang sama dalam mengakses kenaikan pangkat berdasarkan pengalaman kerja bagi pekerja tetap b. Efisiensi biaya perusahaan menyebabkan banyak pekerja memiliki status pekerjan tidak tetap bahkan pekerja kontrak (outsourcing) sehingga tidak bisa mengalami kenaikan pangkat a. Terjaminnya keamanan masa keja hampir di semua perusahaan/organisasi bagi pekerja tetap b. Mendapatkan dana pensiun yang memadai bagi pekerja tetap
5.
6.
Akses Mendapatkan Upah yang Layak
Kondisi Kerja (Meliputi jam kerja, waktu istirahat, cuti tahunan dengan tetap dibayar, tindakan keselamatan dan kesehatan kerja, serta tindakan
a. Upah yang diberikan selama sebulan oleh perusahaan sudah sangat sesuai b. Bagi yang sudah menikah mendapatkan tunjangan istri dan atau tunjangan anak a. Jumlah jam kerja jauh lebih banyak b. Jam kerja tiap harinya diatur per shift
yang terfeminisasi Disesuaikan dengan pekerjaan dan jabatan a. Kesempatan yang sama dalam mengakses kenaikan pangkat berdasarkan pengalaman kerja bagi pekerja tetap b. Efisiensi biaya perusahaan menyebabkan banyak pekerja memiliki status pekerjan tidak tetap bahkan pekerja kontrak (outsourcing) sehingga tidak bisa mengalami kenaikan pangkat a. Di bidang jasa perhotelan, beberapa pekerja perempuan yang memutuskan menikah diberhentikan oleh perusahaan. b. Mendapatkan dana pensiun yang memadai bagi pekerja tetap
a. Rata-rata upah yang diberikan selama sebulan oleh perusahaan sudah lebih baik b. Bagi yang sudah menikah tidak mendapat tunjangan suami dan atau tunjangan anak a. Jumlah jam kerja masih lebih sedikit b. Tidak semua tempat kerja yang memiliki jam kerja hingga malam hari memberikan
93
pengaman sosial dan fasilitas kesejahteraan dan tunjangan yang disediakan)
fasilitas penunjang keamanan dan kesehatan c. Cuti karena haid tidak ada. Yang ada hanya pemberian izin haid bagi karyawan tanpa dibayar d. Cuti hamil ada
94
BAB V PENUTUP
5.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dipaparkan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa belum efektifnya implementasi ratifikasi konvensi ILO No.111 di kota Makassar. Secara garis besar, telah banyaknya aturan yang hadir memberikan
gambaran
bahwa
pemerintah
telah
berusaha
memberikan
perlindungan bagi pekerja perempuan untuk mendapatkan kesejahteraan yang layak. Namun, pada tataran pelaksanaan peraturan tersebut, pemerintah masih kurang mengawal. Terbukti masih adanya beberapa perusahaan yang memberi kebijakan tidak sesuai dengan aturan yang telah dibuat sebelumnya. 1. Pekerja perempuan telah mendapatkan tempat yang sama dengan pekerja laki-laki dalam bekerja. Dapat dilihat dari hampir semua segmen pekerjaan sudah terbuka untuk perempuan, walaupun secara kuantitas pekerja perempuan masih sedikit. Akan tetapi dalam pemberian hak dan kewajiban, pekerja perempuan masih sering diberikan perhatian yang tidak begitu besar layaknya pekerja laki-laki. Masih adanya proses segmentensi pekerjaan dan jabatan bagi pekerja perempuan, khususnya pada pekerjaan yang telah terfeminisasi. 2. Akses untuk mendapatkan pelatihan dan pengembangan bagi pekerja perempuan sudah berdasarkan dengan kebutuhan. Di sini dimaksudkan bahwa pemberian pelatihan dan pengembangan disesuaikan dengan
95
segmentasi pekerjaan dan jabatan masing-masing, tanpa melihat lagi adanya perbedaan jenis kelamin (pekerja perempuan dan pekerja laki-laki). 3. Dari
hasil
pengamatan
telah
ditemukan
kecenderungan
perusahaan/organisasi memberikan akses kenaikan pangkat telah sesuai dengan pengalaman yang dimiliki oleh pekerja, baik itu untuk pekerja lakilaki dan pekerja perempuan. 4. Adanya beberapa perusahaan/organisasi yang tidak memberikan jaminan terhadap
masa
kerja
pekerja/karyawannya,
khususnya
perusahaan/organisasi yang bergerak di bidang pariwisata dan perhotelan. Kemudian dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya di tempat kerja, perusahaan/organisasi tidak memberikan lingkungan kerja yang kondusif bagi pekerjanya. 5. Masih adanya perbedaan upah antara laki-laki dan perempuan dengan nilai pekerjaan dan jabatan yang sama. Ditambah lagi, dengan adanya perbedaan komposisi tunjangan yang diberikan oleh pihak perusahaan antara pekerja perempuan yang telah berkeluarga dan pekerja laki-laki yang telah berkeluarga. 6. Kondisi kerja yang meliputi jam kerja, waktu istirahat, cuti tahunan dengan tetap dibayar, tindakan keselamatan dan kesehatan kerja, serta tindakan pengaman sosial dan fasilitas kesejahteraan dan tunjangan yang disediakan belum maksimal dalam tataran pelaksanaannya. Tidak semua tempat kerja yang memiliki jam kerja hingga malam hari memberikan fasilitas penunjang keamanan dan kesehatan bagi pekerja perempuan.
96
Selain itu, izin haid (bukan cuti haid) diberikan kepada pekerja perempuan atas permintaan sendiri dari pekerja yang bersangkutan tanpa dibayar digaji pada saat itu. Positifnya bahwa cuti hamil, melahirkan dan menyusui bagi pekerja perempuan telah disediakan oleh perusahaan/organisasi sesuai aturan yang berlaku.
5.2. Saran Kunci dari efektivitas penghapusan diskriminasi perempuan di tempat kerja yaitu adanya pengawasan yang maksimal dari pihak pemerintah terhadap pelaksanaan aturan yang telah dibuat. Selain itu, pihak perusahaan/organisasi sebagai pihak yang menyediakan tempat bagi pekerja harusnya melaksanakan kebijakan sesuai dengan apa yang diatur oleh pemerintah, karena pekerja merupakan sebagai aset terpenting bagi keberhasilan perusahaan/organisasi. Oleh karena itu sebagai saran ada beberapa hal yang harus diperbaiki menyangkut penyelesaian masalah tersebut. Pemberian saran ini sesuai dengan posisi masing-masing stakeholder dalam memperbaiki tingkat kesejahteraan pekerja perempuan. Pemerintah sebagai pembuat kebijakan harusnya tidak sekedar membuat aturan saja tetapi harusnya turut mempertegas pelaksanaan aturan tersebut. Pentingnya sosialisasi dalam kondisi ini tentu akan memberikan pembelajaran dan pengetahuan terhadap hak dan kewajiban yang dimiliki, terkhusus untuk para pekerja. Sehingga memudahkan pekerja dalam melakukan pekerjaannya dengan baik. Pemerintah juga harusnya tidak sekedar sebagai mediator dalam setiap
97
permasalahan ketenagakerjaan, tetapi juga harus mencoba melakukan konsiliasi dan proses arbitrase dalam menyelesaikan sengketa hubungan industrial (pengusaha, pihak manajemen perusahaan dan pekerja). Kedua, sebagai pihak yang bersentuhan langsung dengan pekerja, pihak manajemen harus memperhatikan kebutuhan dari pekerja itu sendiri. Antara pekerja
laki-laki
dan
pekerja
perempuan,
harusnya
pihak
manajemen
memperhatikan hal tersebut. Sehingga dalam membuat kebijakan yang berkaitan dengan pengembangan SDM, pihak manajemen tidak boleh mengalami ketimpangan. Agar kepentingan manajemen perusahaan dan kepentingan pekerja tidak tumpang tindih dibutuhkan komunikasi yang intensif melalui hubungan bipartit dengan serikat pekerja. Terakhir, pihak pekerja sebagai objek dari penelitian ini seharusnya bisa menjadi agen yang mandiri dan bertanggung jawab. Pekerja harus memiliki kapasitas dan kapabilitas serta kemampuan untuk membangun komunikasi dengan pihak internal tempat mereka bekerja. Kapasitas dan kapabilitas tentu saja tidak didapatkan di masa kerja saja untuk mendukung kinerja, tapi jauh sebelum itu perempuan harus bisa mengenyam pendidikan (baik formal maupun non formal), sehingga perbedaan pendidikan tidak lagi menjadi alasan perempuan tidak mendapat posisi yang layak seperti pekerja laki-laki. Mengetahui hak dan tanggung jawab mereka secara keseluruhan di awal masa kerja adalah hal yang wajib. Dengan mengetahui hak dan kewajiban tersebut, pihak pekerja bisa mengawasi pihak perusahaan/organisasi dalam
98
membuat dan menjalankan kebijakan yang berkaitan dengan kesejahteraan mereka sendiri. Selain itu untuk pekerja perempuan, mereka harus memiliki keberanian yang lebih untuk menuntut hal-hal yang sesuai dengan apa yang dibutuhkan di tempat kerja. Dengan memiliki kapasitas lebih atau pun softskill yang memadai tentu saja akan memberikan nilai yang lebih kepada mereka untuk diperhitungkan keberadaannya di tempat kerja.
99
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik Kota Makassar, 2010. Makassar Dalam Angka 2010. Makassar: BPS Kota Makassar. Budiono, T. Peranan Sistem Informasi Akuntansi Pelayanan Jasa Rawat Jalan dan Rawat Inap dalam Menunjang Efektivitas Pengendalian Internal Pendapatan Rumah Sakit (Studi Kasus pada Rumah Sakit Pertamina Prabumulih). (Universitas Widyatama Bandung – Jawa Barat, 2008), hlm.19-20. Corporate Social Responsibility, Pekerja dan Pengusaha. http://indosdm.com/. (Diakses pada tanggal 3 Oktober 2011, 15.30). Dameria, Eny. Perlindungan Hukum Bagi Tenaga Kerja Perempuan di Indonesia Ditinjau dari Konvensi ILO Nomor 111 dan Implementasinya di Indonesia (Studi Penelitian di PT. Telkom Divisi Regional I Sumatera Utara). (Sekolah Pasca Sarjana FH-Universitas Sumatera Utara, 2008). Daulay, Harmona. Buruh Perempuan di Industri Manufaktur Suatu Kajian dan Analisis Gender.Jurnal Wawasan. Edisi Februari 2006/Volume 11, Nomor 3. Dessler, Gary. 2008. Manajemen Sumber Daya Manusia (Jilid 1) edisi kesepuluh. Jakarta: PT Indeks Dewi, Imma Indra. Konsep Keadilan dalam Pengupahan pada Perusahaan Percetakan di Kabupaten Sleman. Justitia Et Pax, Vol. 26 No. 1, Juni 2006, hlm 73-86.
100
Emzir. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif: Analisis Data. Jakarta: Rajawali Pers. Fakih, Mansour. 1996. Gender sebagai Alat Analisis Sosial. Jurnal Analisis Sosial. Edisi 4/November. hlm. 7-20. _____________. 2008. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: InsistPress. _____________. 2009. Runtuhnya Teori Pembanguna dan Globalisasi. Yogyakarta: InsistPress. Fokus Media. 2011. Undang-Undang Ketenagakerjaan Edisi 2011. Bandung: Penerbit Fokusmedia. Gomes, Faustino Cardoso. 2003. Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: Penerbit Andi. Hak-hak Buruh (Pekerja) Perempuan, http://jurnalperempuan.com/, (Diakses pada tanggal 16 September 2011, pukul 13.20). Hasil Sensus Penduduk 2010, http://www.bps.go.id/ (Diakses pada tanggal 20 September 2011, pukul 10.15) http://www.ilo.org/ilolex/english/index.htm/. (Diakses pada tanggal 12 September 2011, pukul 12.34) Hubeis, Aida Vitayala S. 2010. Pemberdayaan Perempuan dari Masa ke Masa. Bogor: IPB Press. Jadi
Perempuan
Cantik
Tidak
Selalu
Menguntungkan,
http://www.antaranews.com/berita/1281488710/jadi-perempuan-cantik-
101
tidak-selalu-menguntungkan. (Diakses pada tanggal 20 September 2011, pukul 14.10) Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam Jaringan, www.pusatbahasa.diknas.go.id/, (Diakses pada tanggal 20 September 2011, pukul 14.03)
Kantor Perburuhan Internasional-ILO. 2006. Konvensi-Konvensi ILO tentang Kesetaraan Gender di Dunia Kerja. Jakarta. Khotimah, Erna. Analisis Kritis Teori Pembangunan dan Kedudukan Perempuan dalam Perspektif Ekofeminisme. Memperbaiki
Kondisi
Ketenagakerjaan
di
Indonesia.
http://lcdc.law.ugm.ac.id/detail/berita/15/memperbaiki-kondisiketenagakerjaan-di-indonesia/diakses. (Diakses pada 31 januari 2012, pukul 10.47) Mosse, Julia Cleves. 1996. Gender dan Pembangunan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Muhaimin Minta Tak Ada Diskriminasi terhadap Pekerja Perempuan. http://www.suarapembaruan.com/home/muhaimin-minta-tak-adadiskriminasi-terhadap-pekerja-perempuan/15226. (Diakses pada 6 Februari 2012, pukul 09.40). Pentingnya Posisi Karyawan, http://suar.okezone.com/ (Diakses pada tanggal 3 Oktober 2011, pukul 19.36). Pemerintah Terus Benahi UU dan Kebijakan Ketenagakerjaan http://madina.co.id/index.php/kesejahteraan-rakyat/8840-pemerintah-terus-
102
benahi-uu-dan-kebijakan-ketenagakerjaan.html/. (Diakses pada 1 Januari 2012, pukul 12.17). Pusat Data dan Informasi Ketenagakerjaan. http://pusdatinaker.balitfo.depnakertrans.go.id/. (Diakses pada 25 Februari 2012, pukul 13.05). Putnam Tong, Rosemarie. 2010. Feminisme Thought – Pengantar Paling Komprehensif kepada Arus Utama Pemikiran Feminis. Yogyakarta: Jalasutra. Rr. Nurasih, Agustini Dyah Respati. Identifikasi Faktor-Faktor Diskriminasi Gender yang Mempengaruhi Karir Karyawan Wanita di Kota Yogyakarta. Universita Siagian, Faizal. 1993. Marginalisasi dalam Industri Bercorak Kapitalis. Analisis CSIS. November-Desember, No. 6. Tahun XXII. Rueda, Marisa. dan Marta Rodriguez, Susan Alice Watkins. Feminisme Untuk Pemula. Yogyakarta: 2007. Soekanto, Soerjono. 2007. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada. Tujuan dan fungsi negara. http://ruhcitra.wordpress.com/2008/11/09/tujuan-danfungsi-negara/. (Diakses 8 oktober 2011, pukul 01.05). Uli, Sinta. 2005. Pekerja Wanita dan Perusahaan dalam Perspektif Hukum dan Jender. Jurnal Equality, Volume 10, No. 2 Agustus (hal 96-106). UPT MKU Universitas Hasanuddin. 2007. Pendidikan Kewarganegaraan. Makassar.
103
Usman, Husaini, dan Purnomo Setiady Akbar. 2009. Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta: Bumi Aksara. Wirartha, I Made. 2000. Ketidakadilan Jender yang Dialami Pekerja Perempuan di Daerah Pariwisata. Bali.
104
105
DAFTAR PERTANYAAN
1.
Bagaimana kondisi kerja di Kota Makassar?
2.
Bagaimana kondisi pekerja perempuan di Kota Makassar?
3.
Di sektor mana saja yang didominasi oleh pekerja perempuan di Kota Makassar?
4.
Masih adakah tindakan diskriminasi yang didapatkan perempuan di tempat kerja?
5.
Diskriminasi dalam bentuk apa sajakah itu?
6.
Di sektor mana saja yang rentan bagi pekerja perempuan untuk mendapatkan tindakan diskriminasi?
7.
Bagaimana akses pelatihan dan pengembangan serta penentuan penempatan kerja untuk pekerja perempuan di kota Makassar?
8.
Bagaimana bentuk jaminan keamanan masa kerja untuk pekerja perempuan di kota Makassar?
9.
Bagaimana bentuk pemberian upah untuk pekerja perempuan di kota Makassar?
10. Bagaimana kondisi kerja (jam kerja, waktu istirahat, tindakan 3K, fasilitas kerja dan tunjangan lainnya) untuk pekerja perempuan di kota Makassar? 11. Bagaimana hubungan pekerja dan pihak manajemen di Kota Makassar? 12. Bagaimana hubungan pekerja dan serikat pekerja di Kota Makassar? 13. Bagaimana hubungan pihak manajemen dan serikat pekerja serta pemerintah dalam menyelesaikan permasalahan diskriminasi terhadap pekerja perempuan di Kota Makassar?
106
DAFTAR PERTANYAAN Nama : Usia
:
1.
Dimana anda bekerja?
2.
Bagaimana kondisi kerja di tempat anda bekerja?
3.
Bagaimana kondisi pekerja perempuan di tempat anda bekerja?
4.
Apakah ada tindakan diskriminasi pekerjaan dan jabatan terhadap perempuan di tempat kerja?
Akses Pelatihan dan Pengembangan 5.
Bagaimana akses pelatihan dan pengembangan di tempat kerja anda?
6.
Adakah perbedaan akses pelatihan dan penempatan kerja yang didapatkan antara pekerja laki-laki dan pekerja perempuan di tempat kerja anda? Seperti apa?
Akses Penempatan Kerja dan Jenjang Karir 7.
Bagaimana akses penempatan kerja di tempat kerja anda?
8.
Bagaimana jenjang karir anda selama bekerja di tempat kerja tersebut?
9.
Adakah perbedaan akses penempatan kerja dan jenjang karir yang didapatkan antara pekerja laki-laki dan pekerja perempuan di tempat kerja anda? Seperti apa?
Keamanan Masa Kerja 10. Bagaimana bentuk jaminan keamanan masa kerja di tempat anda? 11. Adakah perbedaan keamanan masa kerja yang didapatkan antara pekerja lakilaki dan pekerja perempuan di tempat kerja anda? Seperti apa?
Pemberian Upah 12. Bagaimana bentuk pemberian upah di tempat kerja anda? 13. Apa yang menjadi dasar perbedaan upah antara pekerja di tempat kerja anda?
107
14. Ada tidak perbedaan upah antara pekerja laki-laki dan perempuan di tempat kerja anda? Seperti apa?
Kondisi Kerja (Jam Kerja, Waktu Istirahat, Tindakan 3K, Fasilitas Kerja dan Tunjangan Lainnya) 15. Berapa lama jam kerja dan waktu istirahat anda (pekerja perempuan) sehari di tempat kerja anda? 16. Bagaimana tanggung jawab tempat kerja anda dalam menjamin kesehataan dan keselamatan kerja anda (pekerja perempuan)? 17. Bagaimana fasilitas kerja yang diberikan tempat kerja anda kepada seluruh pekerja perempuannya? 18. Adakah perbedaan tunjangan yang diberikan antara pekerja laki-laki dan pekerja perempuan di tempat kerja anda?
Hubungan Pekerja dan Pihak Manajemen 19. Bagaimana hubungan pekerja dan pihak manajemen di tempat anda bekerja?