1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Enuresis atau yang lebih kita kenal sehari-hari dengan istilah “mengompol”, sudah tidak terdengar asing bagi kita khususnya di kalangan orang tua yang sudah memiliki anak. Enuresis telah menjadi salah satu “momok” yang sering dihadapi dalam hal ini para ibu yang telah mempunyai anak, terutama yang anak yang berusia antara 4-6 tahun. Dalam kasus ini tidak jarang pula usia di atas 6 tahun masih mengalami enuresis ini. Nokturnal enuresis atau biasa dikenal dengan mengompol adalah kejadian dimana urine keluar secara tidak sengaja pada saat tidur. Enuresis nokturnal adalah masalah yang umum di Amerika Serikat, diperkirakan mempengaruhi 5-7.000.000 anak dan terjadi tiga kali lebih sering pada anak laki-laki daripada anak perempuan. Sayangnya, hanya sekitar sepertiga dari keluarga anak-anak dengan masalah ini sering mengganggu mencari bantuan dari physiciter. Penelitian terbaru telah memberikan informasi lebih lanjut tentang enuresis nokturnal, dan umumnya pengobatan yang efektif yang tersedia (Thiedke, 2003). Anak-anak tidak dianggap enuresis sampai mereka telah mencapai usia lima tahun. Untuk diagnosis enuresis nokturnal yang akan didirikan, seorang anak lima sampai enam tahun harus memiliki dua atau lebih
mengompol episode per bulan, dan seorang anak berusia lebih dari enam tahun harus memiliki satu atau lebih mengalami enuresis per bulan (Thiedke, 2003). Penyebab enuresis bermacam-macam dan pada anak disebabkan oleh berbagai faktor. Predisposisi genetik dengan riwayat keluarga yang sama merupakan penyebab yang paling sering. Keterlambatan proses pematangan sistem
saraf
pada
anak,
di
mana
adanya
ketidakmampuan
otak
untuk menangkap sinyal yang dikirimkan kandung kemih. Dengan kematangan neurologis dan perilaku anak yang lebih tua dapat membatalkan kurang dari kapasitas atau menunda membatalkan sampai kapasitas mutlak tercapai. Kejadian-kejadian yang menimbulkan stress, seperti perawatan dirumah sakit, pada saat anak belajar mengendalikan miktruisi dapat mempengaruhi proses belajar dan stress berat
dikemudian hari dapat menyebabkan kembalinya
enuresis (Meadow, 2002). Anak yang sulit menahan kencing sewaktu tidur berhubungan erat dengan faktor psikologis. Dampak secara sosial dan kejiwaan yang ditimbulkan akibat enuresis sungguh mengganggu kehidupan seorang anak. Pengaruh buruk secara
psikologis
dan
sosial
yang
menetap
akibat
ngompol,
akan
mempengaruhi kualitas hidup anak saat dewasa. Karena itu sudah selayaknya bila masalah ini tidak dibiarkan berkepanjangan. Bila diabaikan, hal ini akan berpengaruh bagi anak. Biasanya anak menjadi tidak percaya diri, malu dan hubungan sosial dengan teman terganggu (Kurniawati, 2008). Stres psikologis kronis, tidak terkait dengan pengalaman pelatihan buang air tetapi terjadi selama periode anak berjalan juga dapat mengganggu 2
kemampuan anak untuk mengontrol kencing. Stres sosial seperti kapadatan penghuni rumah yang berlebihan kadang-kadang dihubungkan dengan mengompol (Behrman, 1999). Seperti halnya orang dewasa, anak-anak juga bisa mengalami stres bahkan lebih rentan terhadap stres daripada orang dewasa. Penyebab stres pada anak bisa berasal dari berbagai sumber. Sumber stres pada anak bisa berasal dari keluarga, sekolah atau hubungan dengan anak-anak lain. Ada beberapa pengalaman yang terjadi pada anak yang bisa menimbulkan stres seperti adanya anggota keluarga yang sakit keras, kematian orang yang dicintai, pindah sekolah dan lain-lain. Penelitian lain menyebutkan bahwa penyebab stres pada anak bisa terjadi karena ditinggal sendiri oleh orang tua dan saat pertama kali masuk sekolah (Suwardi, 2000). Sering dijumpai anak yang mempunyai masalah pencernaan juga mengalami enuresis. Enkopresis biasanya menyebabkan konstipasi, yang menyebabkan dilatasi rektum yang menekan kandung kemih dan menyebabkan pengendalian kandung kemih yang sulit. Menurut Robson dkk konstipasi lebih sering berhubungan dengan enuresis nocturnal primer (Daulay, 2008). Salah satu tugas mayor masa todler adalah toilet training. Kontrol volunter sfingter dan uretra terkadang dicapai kira-kira setelah anak berjalan, mungkin antara usia 18 dan 24 bulan. Namun, diperlukan faktor psikofisiologis kompleks untuk kesiapan. Anak harus mampu mengenali urgensi untuk mengeluarkan dan menahan eliminasi serta mampu mengomunikasikan sensasi ini kepada orang tua. Selain itu, mungkin ada berbagai motivasi yang penting 3
untuk memuaskan orang tua dengan menahan, daripada memuaskan diri dengan mengeluarkan eliminasi (Wong, 2008). Toilet training merupakan usaha untuk melatih anak dalam kemampuan mengontrol buang air kecil (BAK) dan buang air besar (BAB). Dalam melakukan latihan buang air kecil dan besar pada anak dibutuhkan persiapan waktu baik secara fisik, psikologis maupun intelektual, melalui persiapan tersebut diharapkan anak mampu mengontrol buang air kecil atau besar dengan sendiri (Hidayat, 2005). Cara yang dapat dilakukan untuk latihan berkemih yaitu dengan menggunakan pot kecil yang bisa diduduki anak atau langsung mengantarkan anak ke toilet pada jam tertentu, misal anak dibawa ke toilet setiap dua jam sekali. Latihan merangsang rasa untuk mengejan dapat dilakukan dalam waktu 5-10 menit dan biasakan untuk sanitasi setiap kali habis eliminasi (Supartini, 2004). Toilet training jarang diterapkan orang tua kepada anaknya karena menganggap toilet training itu hal yang tidak terlalu penting, akibatnya anak terbiasa buang air kecil dan besar di celana atau sembarang tempat. Jika anak belum berhasil melakukan toilet training ibu tidak boleh memarahi anak atau menghukum anaknya. Berilah pujian dan pelukan setiap kali anak melakukan toilet training (Rini, 2009). Studi epidemiologi di beberapa kota di Indonesia menyebutkan prevalensi anak yang mengalami enuresis sangat beragam, seperti di Jakarta prevalensi enuresis pada anak berumur 5 - 14 tahun berkisar antara 10-25% 4
(Suwardi, 2000)., di Medan prevalensi anak yang mengalami enuresis 5,3 %, di Surabaya prevalensi enuresis dengan frekuensi sering sekali adalah 13 orang (52%), yang sering sebanyak 1 orang (4%), jarang yaitu 9 orang (36%) (Kurniawati, 2008). Peneliti Kurniawati, Surianah, Adin, Kiaonani (2008) menyimpulkan bahwa anak yang mengalami enuresis dan terdapat faktor keturunan sebanyak 15 orang (60%). Yang tidak mempunyai faktor keturunan dan jarang mangalami enuresis sebesar 50%. Peneliti Meirisa (2011) menyebutkan bahwa tingkat respon adalah 53% anak masih memiliki mengompol saat pengamatan dilakukan, 34,2% anak berhenti mengompol pada usia 1-2 tahun dari, 42,1% dari 3-4 tahun, 13,2% dari 5-6 tahun, 2,6% pada 7-8 tahun, dan 2,6% dari atas 8 tahun. Peneliti Suwardi (2000) menyimpulkan bahwa prevalensi enuresis pada anak sangat bervariasi, dari beberapa kepustakaan prevalensi enuresis pada anak berumur 5 - 14 tahun berkisar antara 10-25%. Hasil studi pendahuluan yang dilakukan di TK ABA Poncol Kelurahan Poncol Kecamatan Pekalongan Timur Kota Pekalongan menunjukkan bahwa jumlah anak usia 4-5 tahun adalah 35 anak. Dari hasil wawancara dengan 7 orang tua, 4 orang tua mengatakan tidak mengajarkan cara toilet training pada anaknya sehingga anaknya buang air kecil tidak di tempat yang semestinya, 5 orang tua mengatakan anaknya mengalami enuresis, 6 orang tua mengatakan tidak tahu kondisi psikologis anaknya, menurut para guru di TK ABA terdapat sebagian anak yang masih sering menangis jika tidak bisa mengerjakan tugasnya, 3 orang tua melaporkan anaknya mengalami konstipasi. Sampai saat 5
ini belum ada gambaran tentang hubungan toilet traning, stress dan konstipasi dengan enuresis untuk melakukan tindakan selanjutnya. Hal ini yang menyebabkan peniliti tertarik untuk meneliti tentang hubungan antara faktor psikologis, toilet training dan konstipasi dengan kejadian enuresis pada anak usia 4-5 tahun di Tk ABA Poncol Kelurahan Poncol Kecamatan Pekalongan Timur Kota Pekalongan. B. Rumusan Masalah Kejadian enuresis pada anak usia 4-5 tahun dapat disebabkan oleh berbagai faktor diantaranya faktor stres, faktor genetik, faktor tidur, dan faktor keterlambatan
perkembangan
pengendalian
kandung
kemih.
Faktor
keterlambatan perkembangan pengendalian kandung kemih dapat terjadi karena orang tua tidak adekuat dalam mengajarkan toilet training pada anaknya . Stres pada anak dapat disebabkan oleh faktor keluarga yang terdiri dari orang tua dan saudara, berasal dari sekolah yakni pindah sekolah, tugas-tugas sekolah maupun saat pertama kali masuk sekolah baru dan hubungan dengan sesama teman bermain. Konstipasi merupakan salah satu masalah pencernaan yang sering dijumpai pada anak yang mengalami enuresis. Pola asuh yang salah tentang toilet training dapat disebabkan oleh orang tua dan kesiapan anak menghadapi toilet training. Peneliti tertarik untuk meneliti tentang hubungan antara stress, toilet training dan konstipasi dengan kejadian enuresis, karena pada penelitian sebelumnya belum mengkombinasikan antara faktor psikologis, toilet training dan konstipasi. Berdasarkan temuan kasus tersebut , rumusan
6
masalah penelitian ini adalah “adakah hubungan antara faktor psikologis, toilet training dan konstipasi dengan kejadian enuresis pada anak usia 4-5 tahun?” C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara stress, toilet training dan konstipasi dengan kejadian enuresis pada anak usia 4-5 tahun di TK ABA Poncol Kelurahan Poncol Kecamatan Pekalongan Utara Kota Pekalongan. 2. Tujuan Khusus a. Mendeskripsikan kejadian enuresis di TK ABA Poncol Kelurahan Poncol Kecamatan Pekalongan Utara Kota Pekalongan. b. Mendeskripsikan pelaksanaan toilet training oleh orang tua di TK ABA Poncol
Kelurahan
Poncol
Kecamatan
Pekalongan
Utara
Kota
Pekalongan. c. Mendeskripsikan stres yang terjadi pada anak usia 4-5 tahun di TK ABA Poncol
Kelurahan
Poncol
Kecamatan
Pekalongan
Utara
Kota
Pekalongan. d. Mendeskripsikan kejadian konstipasi pada anak usia 4-5 tahun di TK ABA Poncol Kelurahan Poncol Kecamatan Pekalongan Utara Kota Pekalongan. e. Menganalisa hubungan antara toilet training dengan kejadian enuresis di TK ABA Poncol Kelurahan Poncol Kecamatan Pekalongan Utara Kota Pekalongan. 7
f. Menganalisa hubungan antara stres dengan kejadian enuresis di TK ABA Poncol
Kelurahan
Poncol
Kecamatan
Pekalongan
Utara
Kota
Pekalongan. g. Menganalisa hubungan antara konstipasi dengan kejadian enuresis di TK ABA Poncol Kelurahan Poncol Kecamatan Pekalongan Utara Kota Pekalongan.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat bagi Masyarakat Diharapkan pada masyarakat khususnya ibu – ibu yang mempunyai anak yang mengalami enuresis dapat mengetahui faktor – faktor yang mempengaruhi kejadian enuresis dan mengaplikasikan sikap dalam menangani kajadian enuresis. 2. Manfaat bagi institusi pendidikan taman kanak-kanak Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan memberikan pertimbangan untuk penanganan pada anak yang mengalami enuresis sehingga dapat membantu pihak sekolah dan ibu dalam menghadapi anak-anak yang mengalami enuresis. 3. Manfaat bagi keilmuan Hasil penelitian diharapkan berguna bagi ilmu pengetahuan terutama keperawatan anak dan memberikan informasi terutama mengenai kejadian enuresis serta faktor-faktor yang mempengaruhinya.
8
4. Manfaat bagi Peneliti Penelitian ini untuk menerapkan teori dan menambah wawasan serta pengetahuan tentang perkembangan anak, permasalahannya, dan pengetahuan tentang pengaruh faktor psikologis, toilet training dan konstipasi dengan kejadian enuresis pada anak usia 4-5 tahun. E. Ruang Lingkup Ilmu Penelitian ini termasuk dalam ruang lingkup ilmu keperawatan komunitas dan keperawatan anak. F. Keaslian Penelitian Peneliti / Judul / Tahun
Variabel penelitian
Desain penelitian
Sampel
Hasil
Susie Suwarti Suwardi ( 2000 )
Variabel dependen : enuresis Variabel independen : umur, jenis kelamin
Deskriptif Cross Sectional.
Teknik stratified Random Sampling jumlah 6.290 anak berumur 6 – 15 tahun di SD dan SMP wilayah DKI Jakarta.
598 (14,2%) anak mengalami enuresis. Prevalensi tertinggi pada anak laki-laki umur 7 tahun (28,5%) dan perempuan pada umur 6 tahun (25,5%). Anak perempuan cenderung menderita enuresis daripada anak laki-laki perbandingan 1 : 1,03. Ada hubungan yang bermakna antara frekuensi enuresis dengan umur anak
Enuresis pada anak sekolah di Jakarta
9
Farida Kurniawati (2008) Kejadia Enuresis (Ngompol) berdasarkan Faktor Psikologi dan Keturunan pada Anak Usia Sekolah (4-5 tahun)
Variabel dependen enuresis Variabel independen faktor psikologis, keturunan
:
Deskriptif Cross Sectional
Purposive sampling Jumlah 25 anak di TK Sekar Ratih Krembangan Jaya Selatan Surabaya
.Mengalami enuresis sering sekali 52%, sering 4%, jarang 36% dan sangat jarang 8%. Enuresis dengan gangguan psikologis 64% dan keturunan 36%.
Deskriprif Cross Sectional
114 orang tua siswa yang dipilih secara acak stratifikasi
responden yang masih mengompol sampai pada saat penelitian dilakukan sebanyak 5,3% usia berhenti mengompol adalah 34,2% pada usia 1-2 tahun, 42,1% pada usia 3-4 tahun, 13,2% pada usia 5-6 tahun, 2,6% pada usia 7-8 tahun, dan 2,6% pada usia diatas 8 tahun. usia rata-rata berhenti engompol pada anak SD Harapan I Medan adalah pada usia 3-4 tahun.
:
di TK Sekar Ratih Krembangan Jaya Selatan Surabaya. Fini Meirisa Alnaz ( 2011 ) Gambaran Usia Rata – Rata Berhenti Mengompol ( Nocturnal Enuresis ) Pada Aanak SD Medan Harapan 1 Medan.
Variabel dependen : enuresis Variabel independen : Umur
Tabel 1.1 Tabel Keaslian Penelitian
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah pada penelitian ini lebih difokuskan pada hubungan antara faktor psikologis, dan konstipasi dengan kejadian enuresis pada anak usia 4-5 tahun. Desain penelitian yang digunakan pada penelitian ini menggunakan studi korelasi 10
cross sectional yakni penelitian menggunakan analisis hubungan antara faktor psikologis, toilet training dan konstipasi dengan kejadian enuresis yang dilakukan pada anak usia 4-5 tahun. Tempat dan waktu juga menjadi hal pembeda antara penelitian ini dengan penelitian terdahulu yakni dilakukan di TK ABA Poncol Kelurahan Poncol Kecamatan Pekalongan Timur Kota Pekalongan.
11