BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penemuan senyawa antibiotik dan mekanisme aksinya pada abad ke-20 telah menjadi salah satu kisah sukses besar dari dunia biokimia organik, mulai dari penemuan penisilin, eritromisin, kloramfenikol, streptomisin, sampai vankomisin. Bagaimanapun “era keemasan penemuan antibiotik” telah terlewati, dan laju penemuan antibiotik baru selama 30 tahun terakhir melambat dengan drastis. Kegagalan program skrining berdasarakan target obat genomik di tahun 1990-an dan beberapa faktor lain membuat banyak industri farmasi mengurangi bahkan menghentikan program penelitian dan pengembangan di bidang antibiotik (Bugg, 2014). Seiring dengan penemuan dan perkembangan antibiotik dan agen antimikroba lainnya, resistensi adalah konsekuensi alami dari penggunaan antimikroba itu sendiri. Bahkan dengan penggunaan antimikroba dalam jumlah yang sesuai, tingkat kejadian resistensi dapat meningkat. Progresnya menjadi semakin cepat apabila terdapat penggunaan yang tidak tepat (World Health Organization, 2010). Peresepan antibiotik yang tidak tepat dan tidak perlu, penggunaan antibiotik yang berlebihan pada industrti pertanian dan peternakan, dan kurangnya kepatuhan pasien terhadap regimen pengobatan dengan antibiotik tampaknya menjadi kontributor utama munculnya resistensi antibiotik (Bologa dkk., 2013).
1
2
Resistensi antimikroba sediri menjadi salah satu masalah kesehatan masyarakat yang paling serius di seluruh dunia. Hal ini menjadi masalah global karena kemampuan dari resistensi antimikroba untuk menyebar antar negara ataupun
benua.
Peningkatan
perdagangan
dan
perjalanan
jarak
jauh
memungkinkan penyebaran patogen resisten secara cepat. Penyebaran New Delhi Metallo-beta-laktamase-1 (NDM-1), enzim yang membuat bakteri seperti Escherichia coli resisten terhadap antibiotik, dari India ke negara-negara barat adalah salah satu contoh terbaik dari transmisi resistensi antimikroba antar negara. Kasus ini menunjukkan dampak kritis resistensi antimikroba, bukan hanya pada bidang kesehatan masyarakat namun juga pada bidang ekonomi dan perdagangan (Kang & Song, 2013). Asia merupakan salah satu pusat resistensi antimikroba di seluruh dunia. Di antara mikroba patogen yang ada, macrolide-resistant Streptococcus pneumoniae, methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA), dan multidrugresistant (MDR) enteric pathogen menjadi perhatian utama di kawasan ini. Pengawasan secara terus menerus sangat penting dilakukan untuk memberikan informasi tingkat dan kecenderungan dari resistensi antibiotik (Kang & Song, 2013). Besarnya ancaman dari patogen MDR dan terus berkembangnya mikroba resisten membuat pengembangan terapi antimikroba baru menjadi kebutuhan yang sangat mendesak (Bologa dkk., 2013). Produk alam adalah sumber utama obat-obatan antibakteri baru dan menimbulkan revolusi pengobatan dari berbagai penyakit infeksi. Dimulai dari penemuan penisilin pada tahun 1929, produk alam dan analognya terus berperan
3
penting dalam pengobatan, dua dari tiga antibiotik baru dari alam disetujui sepanjang tahun 1980 sampai 2010 dan beberapa masih dalam tahapan uji klinik (Bologa dkk., 2013). Beberapa tahun belakangan, banyak laporan tentang fungi dan alga sebagai sumber alami dari senyawa bioaktif yang memiliki cakupan aktivitas biologis luas seperti antibiotik, antivirus, antioksidan, antiinflamasi, sitotoksik, aktivitas antimitotik, dan berbagai aktivitas lainnya. Efikasi produk alam sebagai agen antibakteri mungkin berasal dari kenyataan bahwa mereka telah diasah oleh proses evolusi untuk menjadi bioaktif (Gyawali & Ibrahim, 2014). Pertumbuhan mikroorganisme yang paling ekstensif terjadi pada permukaan tanah. Dengan temperatur dan kondisi kelembapan yang ideal, tanah menyediakan media kultur yang baik bagi berbagai jenis mikroorganisme (Benson, 2001). Selain itu partikel tanah mengandung berbagai macam lingkungan mikro sehingga dapat menyokong pertumbuhan mikroorganisme (Madigan dkk, 2012). Hal tersebut menjadikan tanah sebagai salah satu sumber mikroorganisme yang potensial. Pencarian antimikroba dari tanah di seluruh dunia telah menghasilkan antibiotik dalam jumlah yang melimpah untuk pengobatan banyak penyakit. Dari ratusan isolat yang diisolasi dari tanah di Mesir, beberapa isolat memiliki aktivitas antifungi terhadap beberapa fungi patogen pada manusia dan tumbuhan seperti Apergillus sp., Fusarium oxysporum, Penecillium digitatum dan Alternaria solani (Gebree1 et al., 2008). Antibiotik seperti penisilin, griseofulvin diproduksi Penicillium sp., dan sefalosporin diproduksi oleh Chephalosporium. Beberapa
4
mikroba lain yang diisolasi dari tanah di India juga menunjukkan aktivitas antimikroba yang kuat (Singh et al., 2009). Dari penelitian yang dilakukan oleh Putra (2012) didapatkan fungi terpilih yang memiliki aktivitas antimikroba dari tanah hasil koleksi kebun herbal Bagian Biologi Farmasi UGM. Terdapat tiga strain yang memiliki aktivitas antibakteri yaitu strain dengan kode TBF-04, TBF-05, dan TBF-09. Strain fungi TBF-05 dipilih karena dari skrining awal aktivitas antimikroba menggunakan metode difusi, diketahui bahwa fungi tersebut menunjukkan zona hambatan pertumbuhan terhadap bakteri uji Escherichia coli, Pseudomonas aeruginosa, dan Staphylococcus aureus namun tidak menunjukkan aktivitas terhadap Bacillus subtilis. Dengan demikian fungi TBF-05 diharapkan menghasilkan metabolit yang potensial untuk dikembangkan sebagai agen antimikroba.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1.
Bagaimana potensi aktivitas antimikroba dari ekstrak etil asetat fungi TBF-05?
2.
Golongan senyawa apakah yang bertanggung jawab atas aktivitas antimikroba ekstrak etil asetat fungi TBF-05?
5
C. Pentingnya Penelitian Pada penelitian ini, potensi aktivitas antimikroba fungi TBF-05 diketahui dengan menentukan nilai KBM (Konsentrasi Bunuh Minimum) dan KHM (Konsentrasi Hambat Minimum) fraksi etil asetat ekstrak fungi TBF-05. Penelitian ini dapat digunakan sebagai landasan penemuan antimikroba baru dari fungi yang diisolasi dari tanah. Penelitian ini juga mendasari penelitian selanjutnya tentang isolasi senyawa aktif dari fungi TBF-05 dan pengujian aktivitas antimikroba esktrak etil asetat fungi TBF-05 terhadap strain mikroba lain yang resisten.
D. Tujuan Penelitian 1.
Mengetahui potensi aktivitas antimikroba dari fraksi etil asetat fungi TBF-05.
2.
Mengetahui golongan senyawa yang bertanggung jawab atas aktivitas antimikroba ekstrak etil asetat fungi TBF-05.
E. Studi Pustaka 1.
Fungi Fungi adalah organisme eukariot dan selnya memiliki membran nukleus,
karenanya terdapat banyak persamaan biokimiawi antara sel fungi dan sel manusia. Fungi tersebar luas di alam, terdapat pada tubuh binatang berdarah panas sebagai flora normal, sebagai dekomposer senyawa organik, dan sebagai patogen pada hewan maupun tumbuhan. Fungi merupakan kelompok mikroba yang
6
penting dalam dunia kesehatan karena bertanggung jawab atas sejumlah penyakit mematikan pada manusia. Namun, banyak jenis fungi memberikan berbagai manfaat bagi kehidupan seperti dalam produksi minuman beralkohol, roti, dan antibiotik (Hugo & Russel, 2004). Fungi menghasilkan spora dan mengabsorbsi nutrisi dari lingkungan, tidak mengandung klorofil, dan bereproduksi secara seksual maupun aseksual (Prescott, 2002). Beberapa fungi memiliki sifat dimorf, yaitu dapat tumbuh sebagai kapang maupun khamir. Dimorfisme pada fungi patogen tergantung pada suhu, berbentuk khamir pada suhu 37oC dan seperti kapang pada suhu 25oC (Tortora dkk, 2010). Pertumbuhan pada bentuk kapang terjadi dengan pembentukan kolonikoloni multiseluler berfilamen. Koloni-koloni tersebut terdiri dari tubul-tubul silinder bercabang yang disebut hifa dengan diameter bervariasi antara 2 μm sampai 10 μm. Hifa yang menembus medium pertumbuhan dan mengabsorbsi nutrisi adalah hifa vegetatif. Sedangkan hifa aerial berada pada permukaan miselium (kumpulan hifa) dan biasanya menjalankan fungsi reproduktif dari kapang (Kar, 2008). Genus atau spesies dari kebanyakan kapang yang diisolasi dapat ditentukan dengan pengamatan ontogeni dan morfologi dari bentuk spora aseksualnya (konidia) menggunakan mikroskop (Brooks dkk, 2007). Fungi dalam bentuk khamir merupakan mikroorganisme bersel tunggal, biasanya berbentuk bulat atau elips dengan diameter bervariasi antara 3 μm sampai 15 μm. Kebanyakan khamir bereproduksi dengan pertunasan. Beberapa spesies khamir membentuk tunas yang gagal melepaskan diri dari induknya dan
7
memanjang. Proses pertunasan terus menerus akan menghasilkan rantai sel khamir memanjang yang disebut pseudohifa. Koloni khamir biasanya lembut, keabuan, berukuran 1-3 mm, dan berwarna putih kekuningan. Karena kebanyakan morfologi dari khamir memiliki bentuk mikroskopik yang mirip, spesies khamir diidentifikasi berdasarkan uji fisiologis dan beberapa perbedaan morfologi khusus (Brooks dkk, 2007). Pada pertumbuhan di fase vegetatif, baik sebagai kapang maupun khamir,
fungi
mampu
memproduksi
spora
yang
akan
meningkatkan
kemampuannya dalam bertahan hidup. Spora yang sudah matang dan siap untuk disebarkan bersifat lebih tahan terhadap kondisi ekstrim dan akan tumbuh ketika kondisi pertumbuhannya terpenuhi (Brooks dkk, 2007). Baik reproduksi seksual maupun aseksual pada fungi terjadi melalui pembentukan spora. Pembentukan spora melalui reproduksi seksual disebut spora seksual, sedangkan spora yang dihasilkan melalui proses reproduksi aseksual disebut spora aseksual. Spora aseksual dihasilkan oleh hifa dari fungi melalui mitosis dan pembelahan sel, sehingga akan menghasilkan organisme yang secara genetik identik dengan induknya. Pada laboratorium, kebanyakan fungi hanya menunjukkan spora aseksual. Spora seksual merupakan hasil fusi inti sel yang berasal dari 2 strain spesies fungi yang sama. Organisme yang berasal dari spora seksual akan memiliki karakteristik genetik dari kedua strain induknya. Fungi sering diidentifikasi berdasarkan tipe sporanya. Hal ini disebabkan karena spora dihasilkan oleh hifa reproduktif melalui sejumlah cara yang berbeda, tergantung pada spesies funginya (Tortora dkk, 2010).
8
Fungi secara umum beradaptasi pada lingkungan yang berbahaya bagi bakteri. Seperti bakteri, fungi bersifat kemoheterotrof, yaitu menyerap nutrisi dari lingkungannya, bukan mencernanya seperti hewan. Akan tetapi, fungi berbeda dari bakteri dalam kebutuhan lingkungan tertentu dan pada ciri-ciri nutrisi berikut: 1.
Fungi biasanya tumbuh lebih baik pada lingkungan dengan pH sekitar 5, yang terlalu asam bagi pertumbuhan kebanyakan bakteri pada umumnya.
2.
Hampir semua kapang bersifat aerobik, sedangkan sebagian besar khamir bersifat anaerob fakultatif.
3.
Sebagian besar fungi lebih resisten terhadap tekanan osmosis dibandingkan bakteri, sehingga dapat tumbuh pada lingkungan dengan kadar gula atau garam yang relatif tinggi.
4.
Fungi dapat tumbuh pada zat dengan kelembaban sangat rendah, umumnya terlalu rendah untuk pertumbuhan bakteri.
5.
Fungi memerlukan lebih sedikit nitrogen daripada bakteri untuk pertumbuhan yang sama.
6.
Fungi sering mampu memetabolisme karbohidrat kompleks seperti lignin, yang kebanyakan bakteri tidak mampu. Ciri-ciri tersebut memungkinkan fungi untuk tumbuh pada tempat-
tempat unik seperti dinding kamar mandi, sepatu kulit, dan koran bekas (Tortora dkk, 2010). Fungi diklasifikasikan menjadi empat filum: Chytridiomycota, Zygomycota,
Ascomycota,
dan
Basidiomycota.
Filum
terbesar
adalah
Ascomycota, yang terdiri dari 60% fungi yang sudah diketahui dan 85% nya adalah patogen pada manusia. Spesies fungi diklasifikasikan berdasarkan mode
9
reproduksi seksual, properti fenotip (morfologi dan fisiologi), dan hubungan filogeniknya (Brooks dkk, 2007). 2.
Antibiotik Kemoterapi
sebagai
ilmu
pengetahuan
yang
digunakan
untuk
pengobatan dimulai di awal abad ke-20 dengan pemahaman akan toksisitas selektif, perkembangan dari resistensi obat, dan peranan dari terapi yang dikombinasikan. Penelitian kemudian menghasilkan terapi kemoterapetik pertama, asfenamin, untuk penyakit sifilis. Penggunaan konsep kemoterapi sebagai antimikroba dimulai di tahun 1935 dengan penemuan golongan sulfonamid. Selama 25 tahun berikutnya, penelitian tentang agen agen kemoterapi terpusat pada senyawa antibiotik (Brooks dkk, 2007). Antibiotik sendiri didefinisikan sebagai senyawa yang diproduksi oleh mikroorganisme yang dalam jumlah kecil mampu menghambat organisme lain. (Tortora dkk, 2010). Agen antimikroba yang ideal memiliki toksisitas selektif, yaitu obat bersifat membahayakan hidup patogen tanpa membahayakan inang. Kadang, toksisitas selektif bersifat relatif, bukan absolut. Hal ini berarti bahwa obat pada konsentrasi tertentu masih dapat ditoleransi oleh inang, tetapi dapat merusak mikroorganisme yang menginfeksi. Toksisitas selektif dapat berupa fungsi reseptor spesifik yang dibutuhkan untuk penempelan obat, atau dapat juga berupa penghambatan reaksi biokimia yang penting bagi mikroorganisme patogen, namun tidak essensial bagi inang (Brooks dkk, 2007). Berdasarkan spektrum aktivitas antimikroba, antibiotik terbagi menjadi dua yaitu antibiotik spektrum luas dan spektrum sempit. Dikatakan antibiotik
10
spektrum luas apabila dapat mempengaruhi pertumbuan bakteri Gram positif maupun Gram negatif. Sedangkan antibiotik spektrum sempit hanya dapat mempengaruhi salah satunya. Kerugian dari antibiotik spektrum luas adalah obatobatan tersebut membunuh banyak mikroba normal dari inang. Mikroba normal tersebut biasanya berkompetisi dengan mikroba patogen. Jika antibiotik tidak membunuh organisme tertentu pada mikroba normal tetapi membunuh kompetitornya, organisme yang bertahan hidup dapat berkembang dan menjadi mikroba patogen oportunistik. Peristiwa ini disebut dengan superinfeksi, sebuah istilah yang juga mengacu pada pertumbuhan mikroba patogen target yang resisten terhadap antibiotik. (Tortora dkk, 2010). Mekanisme kerja obat-obatan antibiotik adalah: 1.
Penghambatan sintesis dinding sel Dinding sel suatu mikroorganisme memiliki tekanan osmotik
internal yang tinggi, rusaknya dinding sel (misalnya karena lisosom) atau penghambatan pembentukannya dapat menyebabkan lisis. Dinding sel
bakteri
mengandung
polimer
kompleks
mukopeptida
atau
peptidoglikan, yang terdiri dari polisakarida dan ikatan polipeptida. Polisakarida pada bakteri biasanya mengandung gula amino Nasetilglukosamin dan asam asetilmuramat, yang hanya ditemukan pada bakteri (Brooks dkk, 2007). Penghambatan sintesis peptidoglikan hanya akan berakibat pada dinding sel bakteri dan memiliki toksisitas yang sangat kecil terhadap sel inang (manusia). Contoh obat yang beraksi menggunakan mekanisme ini adalah penisilin (Tortora dkk, 2010).
11
2.
Menghambat fungsi membran sel Sitoplasma semua sel hidup terbungkus oleh membran sitoplasma,
yang
berfungsi
sebagai
barier
dengan
permeabilitas
selektif,
menjalankan transport aktif, dan meregulasi komposisi di dalam sel. Jika integritas fungsional dari membran sitoplasma terganggu, makromolekul dan ion keluar dari sel, dan berakibat kerusakan ataupun kematian dari sel. Membran sitoplasma dari fungi dan bakteri berbeda dari membran sel manusia, dan dapat dirusak dengan senyawa tertentu, sehingga dapat digunakan sebagai target kemoterapi. Obat obatan yang menggunakan mekanisme ini dalam aksinya sebagai antibiotik antara lain golongan polimiksin, imidazol, dan triazol (Brooks dkk, 2007). 3.
Menghambat sintesis protein Bakteri memiliki ribosom 70s, sedangkan sel mamalia memiliki
ribosom 80s, karenanya sub-unit dari ribosom, komposisi kimia, dan spesifitas fungsionalnya berbeda. Hal inilah yang menyebabkan obat obatan antimikroba dapat menghambat sintesis protein pada ribosom bakteri, tetapi tidak berefek pada ribosom mamalia. Contoh obat-obatan yang beraksi dengan menghambat sintesis protein adalah eritromisin, linkomisin, tetrasiklin, aminoglikosida, dan kloramfenikol (Brooks dkk, 2007). 4.
Menghambat sintesis asam nukleat Beberapa antibiotik mengganggu proses transkripsi dan replikasi
DNA pada mikroorganisme. Obat-obatan dengan aksi tersebut memiliki
12
kegunaan yang sangat terbatas karena ikut mengganggu DNA dan RNA sel mamalia. Contoh antibiotik yang menghambat sintesis asam nukleat adalah rifamycin, quinolon, dan fluoroquinolon (Tortora dkk, 2010). 5.
Penghambatan sintesis metabolit esensial (antimetabolit) Aktivitas enzimatik tertentu dari mikroorganisme dapat secara
kompetitif dihambat oleh senyawa (antimetabolit) yang mirip dengan substrat normal dari enzim tersebut. Contohnya adalah hubungan antara sulfanilamid dengan asam para-aminobenzoat (PABA). Pada banyak mikroorganisme,
PABA
merupakan
substrat
dari
enzim
yang
mensintesis asam folat, vitamin yang berfungsi sebagai koenzim bagi sintesis basa purin dan pirimidin dari asam nukleat dan banyak asam amino (Tortora dkk, 2010).
Gambar 1 Mekanisme Aksi Antimikroba (Tortora dkk, 2010)
Tortora dkk (2010) dalam bukunya menjelaskan bahwa ketika pertama kali terkena antibiotik baru, kerentanan dari mikroba cenderung tinggi, sehingga
13
tingkat mortalitas dari mikroba juga cukup tinggi. Namun, masih mungkin terdapat mikroba yang dapat bertahan hidup setelah terpapar antibiotik. Pertahanan
terhadap
antibiotika
ini
biasanya
menyebabkan
perubahan
karakteristik genetik yang muncul dari mutasi acak. Keturunan dari mikroba yang berhasil bertahan hidup membawa karakteristik genetik dari induknya sehingga memiliki resistensi yang sama. Prescott (2002) menjelaskan mekanisme resistensi bakteri terhadap antibiotik terjadi dengan berbagai macam cara. Cara pertama adalah variasi genetik dari bakteri yang mengakibatkan perbedaan respon terhadap intervensi dari obat. Dua bakteri mungkin memiliki mekanisme resistensi yang berbeda terhadap satu agen kemoterapi yang sama. Patogen sering menjadi resisten dengan menghalangi masuknya obat ke dalam sel. Banyak bakteri Gram negatif yang tidak terpengaruh adanya penisilin G karena penisilin tidak mampu menembus membran luar bakteri yang terbungkus lapisan yang disebut envelope. Mikobakteria tidak tertembus antibakteri karena memiliki kandungan asam mikolat yang tinggi pada lapisan peptidoglikan. Berkurangnya permeabilitas membran dari bakteri juga dapat mengakibatkan resistensi sulfonamid. Strategi resistensi selanjutnya adalah dengan memompa obat keluar dari sel. Beberapa patogen memiliki membran plasma translokase, atau disebut efflux pump, yang mengeluarkan obat. Protein transport ini juga disebut multidrugresistance pump karena bersifat tidak spesifik dan dapat memompa keluar banyak macam obat. Banyak juga yang merupakan antiporter proton-obat. Ketika proton memasuki sel, obat akan dipompa keluar. Sistem ini dimiliki oleh Escherisia coli,
14
Pseudomonas aeruginosa, Mycobacterium smegmatis, dan Staphylococcus aureus. Patogen lainnya menjadi resisten dengan menginaktivasi obat melalui modifikasi kimia. Contoh yang sudah sering disebutkan adalah mekanisme inaktivasi obat golongan betalaktam karena perusakan cincin betalaktam oleh enzim betalaktamase. Obat juga diinaktivasi dengan penambahan gugus kimia. Organisme resisten dapat memfosforilasi atau mengasetilasi obat aminoglikosida dan kloramfenikol. Karena agen kemoterapik beraksi pada target spesifik, resistensi terjadi ketika enzim target atau organel dimodifikasi sehingga tidak lagi cocok dengan sisi aktif obat. Contohnya Enterococcus menjadi resisten terhadap vankomisin dengan merubah ujung D-alanin-D-alanin pada peptidoglikan menjadi D-alaninD-laktat. Efek antimetabolit obat-obatan antibakteri dilawan melalui perubahan enzim. Pada bakteri resisten sulfonamid, enzim yang menggunakan asam paminobenzoat selama proses sintesis asam folat sering memliki afinitas yang lebih rendah terhadap sulfonamid. Mycobacterium tuberculosis menjadi resisten terhadap rifampin karena mutasi yang merubah sub unit β dari RNA polimerase. Bakteri resisten dapat juga menggunakan jalur alternatif dengan membuang sekuens yang dihambat obat atau meningkatkan produksi metabolit target. Sebagai contoh, beberapa bakteri resisten terhadap sulfonamid karena dapat mengambil asam folat dari lingkungan, dan tidak mensintesisnya sendiri. Strain lainnya meningkatkan kecepatan produksi asam folat.
15
Untuk dapat mengatasi permasalahan resistensi mikroba tersebut, perlu ditemukan antibiotik baru dari bahan-bahan alam dengan proses skrining untuk mendapatkan organisme penghasil antibiotik. Proses skrining memiliki dua tahapan proses, yaitu skrining primer yang meliputi proses pencarian mikroorganisme penghasil, penumbuhan mikroorganisme yang ditemukan, mengisolasi mikroorganisme dan pengujian kemampuan isolat. Tahapan kedua adalah skrining sekunder yang terdiri dari pemilihan koloni mikroorganisme, pencarian kondisi (pH, suhu, media, dll) yang optimal, pengidentifikasian mikroorganisme, dan identifikasi senyawa (Pratiwi, 2008). Senyawa
antibiotik
yang
dihasilkan
mikroorganisme
biasanya
merupakan produk metabolit sekunder yang disintesis mikroorganisme tersebut selama fase stasioner pertumbuhannya. Terdapat empat fase pada pertumbuhan mikroorganisme yaitu fase lag, fase log, fase stasioner, dan kematian. Fase pertama adalah fase lag, yaitu fase dimana pertumbuhan tidak terjadi, fase ini dapat dianggap sebagai masa adaptasi. Kemudian laju pertumbuhan sel perlahanlahan meningkat dan sel tumbuh pada kecepatan yang maksimum dan konstan, periode ini disebut fase log atau eksponensial. Selama fase log, mikroorganisme menghasilkan produk yang bersifat esensial terhadap pertumbuhan sel, termasuk didalamnya adalah asam amino, nukleotida, protein, asam nukleat, lipid, karbohidrat, dan sebagainya. Produk-produk ini disebut metabolit primer dan fase dimana produk ini dihasilkan disebut tropofase. Akhirnya, pertumbuhan terhenti dan sel memasuki apa yang disebut sebagai fase stasioner. Selama fase stasioner, beberapa kultur mikroorganisme
16
mensintesis senyawa yang tidak dihasilkan selama tropofase dan tidak memiliki fungsi yang jelas terhadap metabolisme sel. Senyawa ini disebut metabolit sekunder dan fase dimana senyawa ini diproduksi disebut idiofase. Tidak sedikit mikroorganisme menghasilkan metabolit sekunder yang memiliki aktivitas antimikrobial, yang lainnya memiliki aktivitas inhibitor enzim spesifik, beberapa adalah promotor pertumbuhan dan banyak yang memiliki sifat-sifat farmakologis. Setelah jangka waktu yang lebih lama, jumlah sel viable menurun saat kultur memasuki fase kematian (Stanbury dkk., 2003).
Gambar 2. Kurva Pertumbuhan Mikroorganisme pada Sistem Tertutup (Prescott, 2002)
17
3.
Mikroba uji a.
Escherichia coli
Gambar 3. Escherichia coli Menggunakan Scanning Electron Microscope (Carr, 2006)
Kingdom : Bacteria Phylum
: Proteobacter
Class
: Gammaproteobacter
Order
: Enterobacteriales
Family
: Enterobacteriaceae
Genus
: Escherichia
Species
: Escherichia coli (Todar, 2012a)
Escherichia coli bersifat anaerob fakultatif, termasuk Gram negatif, berbentuk batang (rod), dan hidup pada usus hewan, baik sehat ataupun sakit. Bakteri ini merupakan bagian dari famili besar Enterobacteriaceae yang merupakan bakteri enterik. E. coli dapat tumbuh pada media yang hanya mengandung glukosa, E. coli wild-type bahkan tidak membutuhkan faktor pertumbuhan dan mampu memetabolisme glukosa menjadi semua
18
komponen makromolekuler yang membentuk sel. E. coli merupakan organisme fakultatif yang utama dalam saluran gastrointestinal manusia, namun demikian, E. coli hanya sebagian kecil dari total kandungan bakteri pada pencernaan. Strain patogen E. coli bertanggung jawab terhadap tiga tipe infeksi pada manusia, yaitu infeksi saluran urin, meningitis pada neonatal, dan penyakit gastrointestinal Selama bertahun-tahun bakteri ini hanya dianggap sebagai organisme komensal yang hidup di dalam usus besar. Baru pada tahun 1935 ditemukan bahwa sebuah strain dari E. coli menyebabkan penyebaran diare pada bayi (Todar, 2012a). b.
Pseudomonas aeruginosa
Gambar 4. Ilustrasi 3 Dimensi dari Gambar SEM Pseudomonas aeruginosa (Brower, 2013)
19
Kingdom : Bacteria Phylum
: Proteobacteria
Class
: Gamma Proteobacteria
Order
: Pseudomonales
Family
: Pseudomonaceae
Genus
: Pseudomonas
Species
: Pseudomonas aeruginosa (Todar, 2012b)
Pseudomonas aeruginosa termasuk bakteri Gram negatif, aerob, berbentuk batang, dan termasuk famili Pseudomonaceae. P. aeruginosa merupakan mikroba patogen yang oportunistik, artinya ia mengeksploitasi celah pada pertahanan inangnya untuk menginisiasi infeksi. P. aeruginosa merupakan bakteri Gram negatif dimana hampir semua strain bergerak menggunakan satu flagella polar. Kebutuhan nutrisi P. aeruginosa sangatlah sederhana, ia sering ditemui pada air suling yang menjadi bukti minimalnya kebutuhan nutrisi bakteri tersebut. Pada laboratorium P.aeruginosa dapat tumbuh pada media yang hanya mengandung asetat sebagai sumber karbon dan amonium sulfat sebagai sumber nitrogen. Ia tumbuh optimum pada suhu 30oC dan sangat toleran terhadap berbagai kondisi lingkungan, termasuk suhu, konsentrasi garam yang tinngi, antiseptik lemah, dan banyak antibiotik yang biasa digunakan. Hanya beberapa antibiotik yang efektif membunuh P. aeruginosa diantaranya adalah floroquinolon, gentamisin, dan imepenem. Namun bahkan
20
antibiotik- antibiotik tersebut tidak efektif terhadap semua strain. Sebagian besar infeksi Pseudomonas bersifat invasif dan toksinogenik. Infeksi tersebut terbagi menjadi 3 tahap yaitu pelekatan dan kolonisasi bakteri, invasi lokal, dan penyakit sistemik (Todar, 2012b). c.
Staphylococcus aureus
Gambar 5. Hasil Scanning Bakteri Staphylococcus aureus Dengan Mikroskop Elektron (Carr, 2001)
Kingdom : Bacteria Phylum
: Firmicules
Class
: Bacilli
Order
: Bacillales
Family
: Staphylococcaceae
Genus
: Staphylococcus
Species
: Staphylococcus aureus (Todar, 2012c)
Staphylococci merupakan bakteri Gram positif berbentuk bulat dengan diameter sekitar 1 µm yang terlihat sebagai kumpulan menyerupai anggur.
21
Pada tahun 1884, Rosenbatch mendeskripsikan dua tipe berwarna dari Staphylococci dan mengusulkan tata nama Staphylococcus aureus (kuning) dan Staphylococcus albus (putih). Walaupun lebih dari dua puluh spesies Staphylococcus telah dideskripsikan sampai saat ini, hanya kedua strain tersebut yang signifikan interaksinya dengan manusia. S. aureus terutama menempati saluran pada hidung, namun juga terdapat pada kulit, rongga mulut, dan saluran gastrointestinal. S. aureus membentuk koloni berwarna kuning yang cukup besar pada medium yang diperkaya, bersifat anaerob fakultatif yang tumbuh menggunakan respirasi aerob atau dengan fermentasi yang menghasilkan asam laktat. S. aureus dapat tumbuh pada suhu 15oC - 45oC dan pada konsentrasi NaCl mencapai 15%. Hampir semua strain S. aureus memproduksi enzim koagulase dan merupakan mikroba patogen yang poten. S. aureus merupakan penyebab utama infeksi nosokomial dari infeksi dan luka operasi, menyebabkan keracunan makanan dengan melepaskan enterotoksin dan menyebabkan toxic shock syndrom dengan melepas superantigen ke peredaran darah (Todar, 2012c).
22
d.
Bacillus subtilis
Gambar 6. Fase Pembentukan Endospora pada Bacillus subtilis (Talaro & Talaro, 2002)
Kingdom : Bacteria Phylum
: Firmicules
Class
: Bacilli
Order
: Bacillales
Family
: Bacillaceae
Genus
: Bacillus
Species
: Bacillus subtilis (Todar, 2012d)
Bacillus subtilis merupakan bakteri Gram positif yang mampu tumbuh pada lingkungan yang mengandung oksigen (aerob) dan membentuk endospora. Mayoritas dari genus Bacillus merupakan mesofil, dengan suhu optimum antara 30oC sampai 45oC, beberapa bersifat termofil dengan suhu optimum mencapai 65oC, dan sisanya merupakan psikrofil sejati, mampu tumbuh pada suhu 0oC. Bacillus dapat tumbuh pada pH 2-11. Di laboratorium, pada kondisi optimum, waktu perkembangbiakan Bacillus
23
adalah 25 menit. Sebagian besar Bacillus dapat ditumbuhkan pada media terdefinisi atau media kompleks yang sederhana. Isolasi primer dapat dilakukan pada nutrien agar. Antibiotik yang dihasilkan oleh Bacillus seringkali merupakan polipeptida dan memiliki aktivitas yang bervariasi mulai dari spektrum sempit, spektrum luas, dan antifungi (Todar, 2012d). 4.
Fermentasi Istilah fermentasi berasal dari bahasa Latin fervere, berarti untuk
mendidih, yang mendeskripsikan penampakan aksi ragi pada ekstrak buah. Penampakan mendidih merupakan akibat produksi gelembung karbon dioksida yang disebabkan katabolisme anaerob dari gula yang terdapat pada ekstrak tersebut. Menurut Stanburry dkk (2003) terdapat 5 kelompok proses fermentasi yang penting secara komersial: 1.
Fermentasi untuk memproduksi sel mikroba (biomassa)
2.
Fermentasi untuk memproduksi enzim mikrobial. Enzim mikrobial memiliki keunggulan dibandingkan enzim dari tumbuhan ataupun hewan sebab dapat diproduksi dalam jumlah besar melalui teknik fermentasi yang mapan, lebih mudah untuk meningkatkan produktivitas sistem mikroba, dimungkinkan untuk mensintesis enzim yang berasal dari hewan menggunakan mikroorganisme.
3.
Fermentasi untuk memproduksi metabolit mikrobial. Selama fase deselerasi dan stasioner pada pertumbuhan mikroorganisme, disintesis senyawa metabolit sekunder yang tidak memiliki fungsi yang jelas terhadap metabolisme sel. Metabolit tersebut ada yang
24
memiliki aktivitas antimikrobial, aktivitas inhibitor enzim spesifik, promotor pertumbuhan dan memiliki sifat-sifat farmakologis. 4.
Fermentasi untuk memproduksi produk rekombinan seperti produksi interferon, insulin, human serum albumin, faktor VIII dan IX, faktor pertumbuhan epidermal, dan bovine somatostatin dari modifikasi genetik organisme.
5.
Fermentasi untuk modifikasi senyawa tambahan proses fermentasi
Media
fermentasi
yang sesuai
dibutuhkan
untuk
mendapatkan
pertumbuhan mikroorganisme yang optimum. Penyelidikan secara terperinci dibutuhkan untuk menentukan medium yang paling tepat untuk setiap proses fermentasi, namun demikian beberapa kebutuhan dasar harus terpenuhi untuk setiap jenis medium. Semua mikroorganisme membutuhkan air, sumber energi, karbon, nitrogen, mineral, dan mungkin juga vitamin ditambah oksigen jika aerobik. Pada skala kecil, cukup mudah untuk mendapatkan media yang mengandung senyawa-senyawa murni, akan tetapi media yang dihasilkan, walaupun memberikan pertumbuhan yang memuaskan, sering kali tidak cocok untuk digunakan pada skala besar. Dalam skala besar, media fermentasi harus memenuhi kriteria sebagai berikut: 1.
Menghasilkan produk atau biomassa yang maksimal untuk setiap gram substrat yang digunakan
2.
Menghasilkan konsentrasi produk atau biomassa yang maksimal
3.
Memiliki kecepatan pembentukan produk yang maksimal
4.
Sedikit menghasilkan produk-produk yang tidak diinginkan
25
5.
Kualitas konsisten dan tersedia sepanjang tahun
6.
Sedikit menimbulkan masalah selama proses pembuatan dan sterilisasi media
7.
Sedikit menimbulkan masalah pada aspek-aspek lain selama proses produksi termasuk didalamnya aerasi, agitasi, ekstraksi, purifikasi, dan pengolahan limbah.
Formulasi media merupakan tahap yang penting dalam proses fermentasi, karena penelitian mikrobiologi sangat bergantung pada kemampuan untuk menumbuhkan dan memelihara mikroorganisme di laboratorium, hal ini hanya mungkin jika media kultur yang sesuai tersedia (Prescott, 2002). Kandungan media harus memenuhi kebutuhan dasar untuk biomassa sel dan produksi metabolit. Selain itu, media harus menyediakan pasokan energi yang mencukupi untuk biosintesis dan ketahanan hidup sel (Stanbury dkk, 2003). Kebutuhan nutrisi mikroba sangat bervariasi mulai dari senyawa anorganik sederhana sampai kumpulan senyawa organik dan anorganik yang kompleks. Setidaknya ada 500 tipe media yang berbeda yang digunakan untuk menumbuhkan
dan
mengidentifikasi
mikroorganisme.
Media
dapat
diklasifikasikan berdasarkan 3 kategori utama, yaitu berdasarkan bentuk fisik (cair, semi padat, padat), komposisi kimia (media sintetis dan semi sintetis), dan fungsinya (media dengan fungsi umum, media yang diperkaya, media selektif dan diferensial).
26
5.
Ekstraksi Istilah ekstraksi pelarut mengacu pada distribusi zat terlarut dalam dua
fase cair yang tidak saling bercampur, yaitu distribusi dua fase dari zat terlarut. Ekstraksi pelarut digunakan pada banyak industri kimia untuk memproduksi senyawa kimia murni sebagai produk farmasetik dan biomedis sampai logam berat pada purifikasi limbah (Rydberg dkk, 2004). Prinsip metode ini didasarkan pada distribusi zat terlarut dengan perbandingan tertentu antara dua pelarut yang tidak saling bercampur. Batasannya adalah zat terlarut dapat ditransfer pada jumlah yang berbeda dalam kedua fase pelarut. Teknik ini dapat digunakan untuk kegunaan preparatif, kemurnian, pengkayaan, pemisahan serta analisis pada skala kerja (Khopkar, 1990). Ekstraksi cair-cair ditentukan oleh distribusi Nerst atau hukum partisi yang menyatakan bahwa “pada konsentrasi dan tekanan yang konstan, analit akan terdistribusi dalam proporsi yang selalu sama diantara dua pelarut yang tidak saling campur”. Perbandingan konsentrasi pada keadaan setimbang di dalam dua fase disebut dengan koefisien distribusi atau koefisien partisi (KD), dan diekspresikan dalam rumus: KD = [S]org [S]aq Keterangan: [S]org dan [S]aq masing masing adalah konsentrasi analit pada fase organik dan dalam fase air, KD merupakan koefisien partisi (Gandjar & Rohman, 2007).
Pelarut organik yang dipilih untuk ekstraksi pelarut adalah pelarut yang mempunyai kelarutan yang rendah dalam air, dapat menguap sehingga memudahkan penghilangan pelarut organik setelah proses ekstraksi, dan mempunyai kemurnian yang tinggi untuk meminimalisasi adanya kontaminasi
27
sampel (Gandjar dan Rohman, 2007). Dalam bukunya, Khopkar (1990) menyebutkan terdapat tiga metode dasar pada ekstraksi cair-cair yaitu ekstraksi bertahap (batch), ekstraksi kontinyu, dan ekstraksi arus balik (current counter). Ekstraksi bertahap merupakan cara yang paling sederhana, yaitu dengan menambahkan pelarut pengekstraksi yang tidak bercampur dengan pelarut semula, kemudian dilakukan penggojogan sehingga terjadi kesetimbangan konsentrasi solut pada dua lapisan, setelah kesetimbangan tercapai, lapisan didiamkan dan kemudian dipisahkan. Kesempurnaan ekstraksi tergantung pada banyaknya ekstraksi yang dilakukan. Hasil paling baik diperoleh jika jumlah ekstraksi yang dilakukan berulang-ulang dengan jumlah pelarut yang sedikit. Ekstraksi kontinyu dilakukan dengan mengkontakkan sautu fase secara berulang-ulang pada fase kedua. Hal ini dapat diterapkan ketika suatu zat tetap secara kuantitatif tinggal dalam satu fase, sedangkat zat lain terbagi antara dua fase tersebut. Contohnya adalah ekstraksi berulang larutan air dengan porsi larutan organik secara berurutan. Pada ekstraksi arus balik atau current counter, fase cair pengekstraksi dialirkan dari arah yang berlawanan dengan larutan zat yang mengandung solut. Biasanya digunakan untuk pemisahan zat, isolasi, ataupun pemurnian. 6.
Pengujian aktivitas dan potensi antimikroba Pengujian mikrobiologi memanfaatkan mikroba sebagai indikator
pengujian. Pada uji antimikroba diukur respon dari pertumbuhan populasi mikroba terhadap agen antimikroba. Tujuan uji antimikroba adalah untuk menentukan potensi dan kontrol kualitas selama proses produksi senyawa
28
antimikroba di pabrik, untuk menentukan farmakokinetik dari obat pada hewan atau manusia, dan untuk memonitor dan mengontrol kemoterapi obat. Kegunaan uji antimikroba adalah diperolehnya suatu sistem pengobatan yang efektif dan efisien (Pratiwi, 2008). a.
Metode difusi Pada teknik difusi, sebuah reservoir yang berisi senyawa uji pada
konsentrasi
tertentu
dikontakkan
dengan
media
yang
sudah
diinokulasikan bakteri dan diameter jernih di sekeliling reservoir diukur pada akhir masa inkubasi. Metode difusi tidak sesuai untuk menguji sempel non-polar atau sampel yang tidak mudah berdifusi ke dalam agar. Potensi antimikroba dari sampel yang berbeda tidak selalu dapat dibandingkan karena perbedaan sifat fisik seperti kelarutan, volatilitas, dan karakteristik difusi dari agar (Cos dkk., 2006) Terdapat beberapa metode difusi yang digunakan untuk mengetahui aktivitas antimikroba suatu senyawa seperti metode disc diffusion, E-test, ditch-plate teqnique, cup-plate technique, dan gradient-plate technique. Disc diffusion (Kirby & Bauer test) dilakukan dengan cara meletakkan piringan yang mengandung senyawa antimikroba pada permukaan media mikroorganisme uji. Dengan demikian, agen antimikroba akan berdifusi pada media mikroorganisme tersebut dan beraktivitas yang ditandai dengan daerah jernih pada sekeliling piringan (Pratiwi, 2008). Keuntungan metode ini antara lain adalah uji yang sederhana, tidak
29
memerlukan peralatan khusus, fleksibilitas pemilihan disc yang akan diuji, dan hasil uji mudah diinterpretasikan (Jorgensen & Ferraro, 2009). Contoh metode difusi lainnya adalah Epsilometer-test (E-test). Etest merupakan metode paling praktis untuk menentukan KHM dari bakteri. Pada dasarnya metode ini sama dengan metode disc diffusion, bedanya pada E-test piringan diganti dengan strip nilon yang mengandung gradien konsentrasi senyawa antimikroba. Pada sisi sebaliknya terdapat garis dan angka-angka yang menunjukkan nilai KHM. Setelah inkubasi, KHM ditentukan dengan mengamati dimana daerah jernih yang berbentuk buah pir melintasi strip tersebut (Smith, 2004). b.
Metode dilusi Metode makrodilusi atau difusi tabung merupakan salah satu
metode pertama yang digunakan untuk menguji kerentanan bakteri (Jorgensen & Ferraro, 2009). Pada metode dilusi, senyawa uji dicampurkan dengan medium yang sudah diinokulasikan bakteri uji sebelumnya. Metode ini dapat dilakukan dalam bentuk padat maupun cair, dan pertumbuhan mikroorganisme dapat diukur menggunakan beberapa cara. Pada metode dilusi agar, konsentrasi bunuh minimum (KBM) didefinisikan sebagai konsentrasi terkecil yang mampu menghambat semua pertumbuhan mikroba yang teramati secara visual, sedangkan pada dilusi cair diamati kekeruhan atau digunakan indikator redoks. Senyawa uji yang tidak larut sempurna dapat mempengaruhi
30
pembacaan kekeruhan, sehingga diperlukan adanya kontrol negatif atau kontrol sterilitas. Metode dilusi cair juga memungkinkan penentuan apakah senyawa uji bersifat bakterisidal atau bakteristatik. Pada umumnya metode dilusi sesuai untuk menguji senyawa polar dan nonpolar, atau penentuan nilai KBM dan KHM (Cos dkk., 2006). 1) Dilusi cair/broth dilution test (serial dilution) Metode dilusi merupakan sebuah teknik dimana setiap wadah uji mengandung larutan antimikroba dengan volume identik dan konsentrasi yang naik secara inkremental dan diinokulasikan dengan suspensi bakteri yang diketahui jumlahnya. Mikrodilusi merupakan aplikasi dari uji dilusi dengan menggunakan plat mikrodilusi dengan kapasitas ≤500 µL tiap sumurannya (European Society of Clinical Microbioogy and Infectious Disease, 2003). Metode ini biasa digunakan untuk mengukur Kadar Hambat Minimum (KHM) dan Kadar Bunuh Minimum (KBM). Seperti namanya, uji dilakukan dengan cara membuat seri konsentrasi dari senyawa antimikroba pada tabung reaksi kemudian pada setiap tabung ditambahkan mikroba uji. Kadar terkecil yang menghasilkan larutan jernih (tidak tampak adanya pertumbuhan mikroba) ditentukan sebagai KHM. Untuk menentukan KBM, larutan yang ditetapkan sebagai KHM dikulturkan pada media cair steril yang tidak mengandung mikroba uji maupun senyawa antimikroba. Larutan tersebut diinkubasi selama 18-24 jam dan larutan yang
31
masih terlihat jernih setelah inkubasi ditentukan sebagai KBM (Pratiwi, 2008). 2) Dilusi padat/solid dilution test Pada intinya metode ini sama dengan metode dilusi cair, satusatunya perbedaan terdapat pada media yang digunakan. Metode dilusi padat menggunakan media padat sebagai pengganti media cair. Metode ini memiliki keuntungan dimana satu konsentrasi senyawa antimikroba dapat digunakan untuk menguji beberapa mikroba uji sekaligus (Pratiwi, 2008). 7.
KLT-Bioautografi Kromatografi kertas diikuti dengan bioautografi pertama kali digunakan
pada tahun 1946 oleh Goodal dan Levi untuk memperkirakan kemurnian dari penisilin. Sedangkan penggunaan kromatografi lapis tipis-bioautografi (KLTbioautografi) diperkenalkan pertama kali oleh Fisher dan Lautner, dan Nicolaus et al. pada tahun 1961 (Choma, 2005). KLT-bioautografi merupakan metode untuk melokalisasi aktivitas antibakteri pada kromatogram (Horvath dkk, 2002). Metode ini melibatkan perpindahan senyawa antibakteri dari plat kromatografi ke agar terinokulasi melalui difusi, dan visualisasi dari zona hambatan yang terbentuk (Atta-ur-Rahman dkk, 2005). Manfaat utama dari bioautografi adalah dapat memberikan informasi tentang aktivitas antimikroba senyawa yang dipisahkan dari campuran. Dibandingkan dengan metode lainnya, KLT-bioautografi dapat dengan cepat mendeteksi dan memisahkan komponen aktif dari ekstrak tanaman, dan juga
32
memiliki
keuntungan
tambahan
seperti
praktis,
sederhana,
dan
tidak
membutuhkan peralatan khusus (Gu dkk, 2009). Namun demikian KLTbioautografi tidak dapat digunakan untuk menentukan nilai KHM dan KBM (Pratiwi, 2008). Metode bioautografi biasanya dibagi menjadi tiga kategori, yaitu difusi agar atau bioautografi kontak; imersi atau agar-overlay bioautography; dan bioautografi langsung. a.
Bioautografi kontak Pada bioautografi kontak, agen antimikroba berdifusi dari plat KLT
atau kertas ke plat agar yang terinokulasikan bakteri. Kromatogram ditempatkan menghadap lapisan agar dan dibiarkan beberapa menit sampai jam untuk memungkinkan terjadinya difusi. Kromatogram kemudian diambil dan lapisan agar diinkubasi. Zona penghambatan diamati pada permukaan agar dimana spot dari antimikroba ditempelkan pada agar. Metode ini mirip dengan uji lempeng. Kerugian dari metode ini adalah pada kesulitan mendapatkan kontak sempurna antara agar dan plat KLT, dan perlekatan adsorben (senyawa antimikroba) ke permukaan agar. Kelemahan ini dapat dihindari dengan menggunakan ChromAR, lembaran serat gelas asam silikat untuk kromatografi. Dasar dari metode ini adalah sama, yaitu transfer senyawa antimikroba dari lembaran ke agar. b.
Bioautografi imersi Pada bioautografi imersi, kromatogram ditutup dengan sebuah
molten, media agar berbakteri yang sudah dicairkan. Setelah pengerasan,
33
inkubasi dan pewarnaan (biasanya digunakan cat tetrazolium) pada agar, penghambatan atau pita pertumbuhan divisualisasikan. Biasanya sebelum inkubasi plat dibiarkan beberapa jam pada temperatur rendah untuk memungkinkan proses difusi. Agar-overlay adalah penggabungan dari
bioautografi
kontak
dan
bioautografi
langsung.
Senyawa
antimikroba ditransfer dari plat KLT ke lapisan agar seperti pada pengujian bioautografi kontak, namun selama inkubasi dan visualisasi lapisan agar tetap kontak dengan plat KLT sebagaimana pada bioautografi langsung. Kekurangan utama dari metode ini adalah sensitifitas yang lebih rendah dibandingkan pada metode bioautografi langsung. Hal ini dikarenakan terjadinya dilusi senyawa antibakteri pada lapisan agar. Agar overlay disarankan apabila bioautografi langsung tidak mungkin dilakukan. c.
Bioautografi langsung Pada bioautografi langsung, plat KLT yang sudah dielusi dicelupkan
pada suspensi mikroorganisme yang ditumbuhkan pada media yang sesuai. Atau dapat juga dilakukan dengan menyemprotkan suspensi mikroorganisme
ke
plat
KLT.
Plat
kemudian
diinkubasi
dan
mikroorganisme tumbuh langsung pada plat. Karenanya, proses pemisahan, persiapan, inkubasi, dan visualisasi dilakukan langsung pada plat KLT. Untuk penentuan dan visualisasi lokasi penghambatan pertumbuhan bakteri biasanya digunakan garam tetrazolium, yang akan dikonversi
menjadi
senyawa
berwarna
formazan
oleh
enzim
34
dehidrognase pada mikroorganisme hidup. Bakteri akan dibunuh dengan adanya antimikroba pada plat KLT sehingga tidak terbentuk warna pada bercak yang memiliki aktivitas antimikroba. 8.
Reaksi semprot Bercak pemisahan pada KLT umumnya merupakan bercak yang tidak
berwarna. Untuk penentuannya dapat dilakukan secara kimia, fisika, maupun biologi. Cara kimia yang biasa digunakan adalah dengan mereaksikan bercak dengan suatu pereaksi melalui cara penyemprotan sehingga bercak menjadi jelas. Cara fisika yang dapat digunakan untuk menampakkan bercak adalah dengan pencacahan radioaktif dan fluoresensi sinar ultraviolet. Fluoresensi sinar ultraviolet terutama untuk senyawa yang dapat berfluoresensi, membuat bercak akan terlihat jelas. Jika senyawa tidak dapat berfluoresensi, maka bahan penyerapnya akan diberi indikator yang berfluorsensi, dengan demikian bercak akan kelihatan hitam dengan latar belakang berpendar (Gandjar & Rohman, 2007). Cara kimiawi lain untuk penampakan bercak adalah dengan menyemprot lempeng KLT dengan reagen kromogenik yang akan bereaksi secara kimia dengan seluruh solut yang mengandung gugus fungsional tertentu sehingga bercak akan menjadi berwarna. Tedapat dua macam reagen semprot dalam penampakan bercak, yaitu reagen umum dan reagen selektif. Reagen umum akan menimbulkan warna untuk hampir semua senyawa organik, sedangkan reagen selektif hanya akan mendeteksi jenis atau golongan senyawa tertentu (Gandjar & Rohman,2007). Dari sekian banyak metode kromatografi yang tersedia, kromatografi
35
lapis tipis (KLT) banyak digunakan untuk mendeteksi obat-obatan secara cepat dan tahapan persiapan obat. Beberapa alasan digunakannya KLT antara lain adalah waktu yang diperlukan untuk menunjukkan karakteristik dari sebagian besar bahan obat menggunakan KLT sangat singkat. Selain digunakan untuk deteksi kuanlitatif, KLT menyediakan informasi semi kuantitatif dari bahan aktif obat atau persiapan obat sehingga memungkinkan penilaian kualitas obat. KLT memberikan informasi “sidik jari” obat,
karena itu cocok untuk memantau
identitas dan kemurnian obat-obatan dan untuk mendeteksi pemalsuan dan pencampuran obat. Dengan adanya prosedur pemisahan yang tepat, KLT dapat digunakan untuk menganalisis kombinasi obat dan persiapan fitokimia (Wagner dan Bladt, 1996) Untuk deteksi utama senyawa aktif obat, dipilih metode yang memberikan warna paling mencolok. Gugus aktif dari satu kelompok obat mungkin sangat mirip (misalnya obat dari Solanaceae atau obat saponin), sehingga diferensiasi dan identifikasi sulit atau tidak mungkin didasarkan pada gugus aktif saja. Dalam kasus tersebut, senyawa lain dimanfaatkan untuk diferensiasi. Untuk obat dengan gugus aktif yang tidak diketahui atau tidak lengkap sama sekali, identifikasi didasarkan pada bagian yang non-aktif, tetapi mudah terdeteksi yang dapat dianggap sebagai “zat panduan” (Wagner dan Bladt, 1996). Wagner dan Bladt (1996) dalam bukunya menyebutkan beberapa contoh penggunaan reagen semprot dalam analisis senyawa dari tanaman seperti anisaldehid-asam sulfat dengan pemanasan untuk deteksi petasin atau isopetasin,
36
dragendroff untuk deteksi alkaloid dan nitrogen heterosiklik, FeCl3 untuk deteksi oleuropein, DNPH untuk deteksi terpen dan fenilpropana, reagen iodin untuk deteksi senyawa dengan ikatan rangkap, iodin-asam hidroklorida untuk deteksi senyawa turunan purin (kafein, teofilin, teobromin), dan banyak reagen lain yang bisa digunakan. Gritter et al. (1991) juga menyebutkan beberapa contoh pereaksi umum dan khusus pada deteksi bercak. Tabel 1. Beberapa Reagen Umum yang Digunakan pada KLT (Gritter et al., 1991)
Metode Deteksi Asam fosfomolibdat + pemanasan Asam sulfat pekat + pemanasan Uap iodium
Warna Bercak Solut
Penggunaan
Biru gelap
Beberapa senyawa organik
Hitam kecoklatan
Semua senyawa organik
Coklat
Beberapa senyawa organik
Tabel 2. Beberapa Reagen Spesifik yang Digunakan pada KLT (Gritter et al., 1991)
Metode Deteksi
Warna Bercak Solut
Ninhidrin
Pink ke ungu
2,4-dinitrofenilhidrazon Bromokresol hijau/ biru 2,7-fluoresein Vanilin/ asam sulfat Rhodamin B Anisaldehid/ antimon triklorida Difenil amin/ seng
Oranye/ merah Kuning Kuning-kehijauan Merah/ hijau/ pink Berfluoresensi merah
Penggunaan Asam-asam amino dan amina Senyawa-senyawa karbonil Asam-asam organik Senyawa organik Alkohol, keton Lemak
Berbagai macam
Steroid
Berbagai macam
Pestisida
F. Landasan Teori Resistensi antimikroba menjadi ketakutan besar bagi dunia kesehatan dan kedokteran saat ini. Tingginya penggunaan antimikroba ditambah dengan penggunaan antimikroba yang tidak sesuai aturan membuat mikroba patogen menjadi organisme yang resisten. Obat-obatan yang dulunya ampuh mengobati
37
penyakit karena mikroorganisme sekarang tidak mampu lagi membunuh mikroorganisme yang telah bermutasi. Untuk menanggulangi permasalahan ini diperlukan jenis obat antimikroba baru yang mampu membunuh berbagai mikroorganisme yang sudah resisten. Tanah memiliki berbagai unsur yang dibutuhkan mikroorganisme untuk tumbuh, baik yang dibutuhkan dalam jumlah besar (makronutrien) ataupun yang dibutuhkan dalam jumlah kecil (mikronutrien). Karenanya, tanah merupakan medium yang sesuai bagi kehidupan berbagai macam mikroorganisme, termasuk fungi. Selama bertahun-tahun fungi yang diisolasi dari tanah terbukti mampu menghasilkan senyawa antibiotik seperti penisilin, griseofulvin yang diproduksi Penicillium sp., dan sefalosporin yang diproduksi oleh Chephalosporium. Untuk menghasilkan agen antimikroba baru dari alam, dikenal proses skrining yang terdiri dari skrining primer dan skrining sekunder. Skrining primer merupakan tahapan pencarian mikroorganisme penghasil senyawa antimikroba. Dari tahapan skrining primer akan didapatkan beberapa strain tunggal mikroorganisme yang memiliki aktivitas antimikroba. Tahapan kedua adalah skrining sekunder, yaitu pemilihan mikroorganisme potensial, pencarian kondisi pertumbuhan optimum, identifikasi mikroorganisme, dan identifikasi senyawa. Selama tahap pertumbuhan mikroorganisme dikenal fase stasioner, yaitu fase dimana terjadi pegurangan kecepatan pertumbuhan sampai tidak terjadi pertumbuhan sama sekali. Pada tahapan ini, mikroorganisme menghasilkan senyawa metabolit sekunder. Berbeda dengan metabolit primer yang berfsifat esensial bagi pertumbuhan sel, metabolit sekunder tidak memiliki fungsi yang
38
jelas pada metabolisme sel. Senyawa metabolit sekunder inilah yang kemudian diketahui memiliki berbagai aktivitas yang dapat dimanfaatkan seperti aktivitas antimikroba, inhibitor enzim spesifik, dan beberapa aktivitas farmakologis lain. Produksi metabolit sekunder pada fase stasioner inilah yang menjadi dasar proses fermentasi. Pada proses fermentasi, mikroorganisme ditumbuhkan pada media yang sesuai sampai mencapai fase stasioner, kemudian proses fermentasi dihentikan. Media dari hasil fermentasi ini akan berisi senyawa metabolit sekunder dan senyawa lainnya. Untuk mengambil senyawa senyawa hasil fermentasi pada media, dilakukan ekstraksi dengan pelarut yang sesuai. Dari ekstraksi inilah yang nantinya akan didapatkan ekstrak kental untuk diuji aktivitas farmakologisnya. Beberapa uji dapat dilakukan untuk mengetahui aktivitas dan potensi antimikroba dari ekstrak, diantaranya adalah metode difusi dan dilusi. Pada metode difusi, senyawa pada ekstrak akan berdifusi ke media padat yang diinokulasikan mikroba dan bila terdapat aktivitas antimikroba akan menyebabkan terjadinya penghambatan pertumbuhan mikroba dan diamati dengan daerah jernih di sekitar tempat diletakkannya medium difusi (cakram, strip nilon, ataupun sumuran). Sedangkan pada metode dilusi, ekstrak yang memiliki aktivitas antimikroba memberikan penghambatan pertumbuhan dengan dilusi atau melarut pada media yang diinokulasikan mikroba uji. Ekstrak tidak terdiri dari satu senyawa saja, namun dapat berisi puluhan hingga ratusan senyawa. Karenanya, aksi farmakologis, dalam hal ini aktivitas antimikroba dari ekstrak merupakan interaksi yang kompleks dari berbagai
39
senyawa. Untuk dapat mengetahui senyawa yang bertanggung jawab atas aktivitas antimikroba dari suatu ekstrak atau campuran dapat diketahui dengan metode KLT-bioautografi. Pada KLT-bioautografi, senyawa-senyawa pada ekstrak dipisahkan dengan proses kromatografi lapis tipis. Senyawa yang sudah terpisah menjadi bercak dengan jarak elusi tertentu pada plat KLT kemudian ditempelkan pada media yang sudah diinokulasikan mikroba uji. Senyawa pada plat KLT akan berdifusi pada permukaan media, dan bercak senyawa dengan aktivitas antimikroba akan memberikan hambatan pertumbuhan mikroba uji. Untuk mengetahui senyawa yang bertanggung jawab atas aktivitas antimikroba ekstrak dapat dilakukan pendekatan golongan senyawa aktif dengan menggunakan pereaksi semprot. Ekstrak dipisahkan dengan KLT menggunakan kondisi (fase diam, fase gerak, jarak elusi) yang sama pada proses KLT bioautografi. Pendekatan golongan senyawa aktif didasarkan pada reaksi golongan senyawa tertentu dengan pereaksi semprot selektif dan menimbulkan warna. Fungi TBF-05 merupakan fungi yang diisolasi dari tanah di sekitar kebun herbal Bagian Biologi Farmasi, Fakultas Farmasi, UGM, Yogyakarta. Dari penelitian yang telah dilakukan oleh Virdion Eko Putra pada tahun 2012 diketahui bahwa ekstrak etil asetat fungi TBF-05 memiliki aktivitas antibakteri terhadap Escherichia coli, Staphylococcus aureus, dan Pseudomonas aeruginosa, namun tidak menunjukkan aktivitas terhadap Bacillus subtilis pada uji difusi. Untuk dapat dikembangkan menjadi agen antimikroba baru, perlu diketahui potensi dan golongan senayawa yang memiliki aktivitas antibakteri dari ekstrak fungi TBF-05.
40
G. Hipotesis 1.
Ekstrak etil asetat TBF-05 memiliki aktivitas antibakteri terhadap bakteri Gram positif maupun Gram negatif dan dapat diketahui potensinya berdasarkan nilai KBM dan KHM dengan menggunakan metode mikrodilusi.
2.
Golongan senyawa yang bertanggung jawab terhadap aktivitas antimikroba ekstrak etil asetat TBF-05 dapat diidentifikasi dengan KLT bioautografi dan pereaksi semprot.