1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Pariwisata telah menjadi salah satu industri terbesar di dunia dan merupakan andalan utama dalam menghasilkan devisa di berbagai negara (Pitana dan Gayatri, 2005: 3). Pertumbuhan pariwisata diramalkan terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2020 jumlah wisatawan internasional akan mencapai lebih dari 1,6 miliar. Perkembangan pariwisata ini akan membawa dampak ekonomi yang sangat besar, baik bagi pemerintah, kalangan swasta, maupun masyarakat di daerah tujuan wisata (Pitana, 2011: 1). Sebagai salah satu manifestasi arus global, pariwisata dapat membuat kaburnya batas-batas sosial dan budaya wilayah tradisional (Salazar, 2006: 188). Artinya, pariwisata dapat membuat hubungan antarnegara menjadi semakin dekat, seolah-olah tidak ada jarak yang memisahkannya, termasuk hubungan antara Indonesia dan negaranegara lain di dunia. Keberadaan pariwisata sesungguhnya tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan manusia, baik secara individu, sebagai warga masyarakat, maupun sebagai bangsa dalam suatu negara. Berwisata menjadi kebutuhan setiap orang termotivasi oleh adanya keinginan untuk melihat dan menikmati keunikan (perbedaan) yang ada di daerah tujuan wisata yang tidak dimiliki di daerah asalnya, baik keunikan keadaan alam maupun kehidupan sosial budayanya (Ardika, 2012: 26). Menurut sumber UNWTO (2013: 6), animo masyarakat dunia untuk berwisata tinggi. Tercatat negara-negara yang memiliki destinasi wisata top dunia dan berhasil menduduki peringkat sepuluh besar kedatangan wisatawan 1
2
internasional pada tahun 2012. Semua negara yang dimaksud menjadikan warisan budaya sebagai salah satu ikon daya tarik wisata, seperti Prancis (Manara Eifel), Amerika Serikat (Patung Liberty), Cina (Tembok Besar), Spanyol (tradisi Matador), Itali (Manara Pisa), Turki (Mesjid Hagia Sofia), Jerman (Gerbang Branden Burger), Inggris (Jam Bigben), Australia (tradisi Aborigin), dan Malaysia (Manara Kembar) (website: http: //whc.unesco.org/en/list/3). Indonesia sendiri sebagai salah satu negara di kawasan Asia Tenggara tercatat paling banyak memiliki pusaka budaya (heritage). Sumber daya tersebut sudah tentu akan sangat bermanfaat untuk pengembangan pariwisata budaya di Indonesia (Ardika, 2007: x). Dalam kenyataannya dewasa ini warisan budaya tidak hanya dijadikan sebagai objek untuk pengembangan pariwisata budaya, tetapi juga sebagai ikon daya tarik wisata. Indonesia di tengah-tengah perhelatan pariwisata global menjadi penting di mata para pemimpin dunia, tidak terlepas dari wacana pariwisata Bali yang menawarkan keindahan alam, keunikan adat istiadat, dan seni budayanya, yang tidak dimiliki oleh negara lain. Keberadaan seperti itu sangat menguntungkan Bali karena dengan keunikan dan berbagai daya tarik yang dimiliki dapat mempermudah untuk dikenal oleh masyarakat dunia internasional. Sudah menjadi sebuah keniscayaan bahwa ketika ada event-event pertemuan internasional dan memilih Indonesia sebagai tuan rumah penyelenggara, Bali tetap menjadi pilihan sebagai tempat diselenggarakan kegiatan yang dimaksud. Contohnya Miss World yang dilaksanakan pada September 2013 di Nusa Dua, Konfrensi Tingkat Tinggi (KTT)-AFEC pada Oktober 2013, dan World Cultural Forum pada November 2013 di Nusa Dua. Kehadiran para delegasi dari berbagai negara, selain sebagai
3
peserta sidang atau misi lainnya, mereka juga sebagai wisatawan. Melalui mereka, diharapkan dapat dipromosikan nilai-nilai keunikan Bali di negaranya masingmasing. Hal tersebut memberikan dampak positif terhadap kemungkinan meningkatnya jumlah kunjungan wisatawan ke Bali. Pesatnya pembangunan di Bali tidak terlepas dari keberadaan sektor pariwisata. Pariwisata dengan arus budaya global yang digandengnya (Hoed, 2011: 199), merupakan faktor dominan pemicu pembangunan dan tidak dimungkiri bahwa kehadirannya dapat berdampak luas terhadap budaya Bali. Pariwisata yang selalu mempertemukan dua kebudayaa atau lebih yang berbeda, yang memiliki perbedaan dalam norma, nilai, kepercayaan, kebiasaan, dan sebagainya (Pitana, 2005: 35) tidak tertutup kemungkinan akan terjadinya benturan. Untuk mengantisipasi berbagai dampak negatif yang ditimbulkan perlu dicarikan solusi untuk mengatasinya. Salah satu upaya yang dapat dilakukan sebagai langkah antisipasi untuk menghadapinya, yaitu dibutuhkan sikap fleksibilitas dan selektif dalam beradaptasi. Elemen-elemen terbaik yang dimiliki budaya global diambil dan disinergikan dengan budaya lokal sehingga terbangun sebuah dialektika untuk pertumbuhan, perkembangan, dan integrasi yang indah dan harmoni. Pembangunan Gianyar sebagai salah satu kabupaten/kota di Bali, bertumpu pada tiga sektor, yaitu sektor pertanian, industri dan perdagangan, serta pariwisata. Di antara ketiga sektor tersebut, pariwisata merupakan sektor unggulan. Sementara itu pembangunan sektor pertanian, intensifikasi pertanian mutlak dibutuhkan mengingat jumlah lahan yang ada sangat terbatas. Dikembangkannya sektor pertanian secara intensif, di satu sisi bertujuan agar
4
lapangan pekerjaan tidak hanya terkonsentrasi pada sektor pariwisata dan di sisi lain sektor ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan dan perkembangan pariwisata. Selain itu, keberadaan sektor industri dan perdagangan diharapkan dapat mendukung kebutuhan pariwisata. Dengan demikian, untuk membangun kesejahteraan masyarakat tidak hanya bertumpu pada satu sektor, yang membuat daya saing dalam mendapatkan pekerjaan lebih tinggi. Akibatnya pemerataan kesejahteraan menjadi berkurang. Berbicara tentang masalah pembangunan sektor pariwisata sebagai sektor unggulan, Kabupaten Gianyar telah menyediakan berbagai fasilitas yang menjadi kebutuhan wisatawan, seperti: akomodasi (penginapan), restoran, sarana transportasi, ruang rekreasi, media hiburan, ruang belanja, dan berbagai daya tarik wisata lainnya. Sebagai sektor unggulan, niscaya memiliki banyak kelebihan bila dibandingkan dengan kabupaten/kota lainnya di Bali. Perlu dicermati secara mendalam ungkapan Picard (2006: 19), yang mengatakan bahwa Bali tidak memiliki kekayaan pertambangan dengan infrastrukur yang memadai, tetapi memiliki keindahan alam dan kebudayaannya. Potensi yang dimiliki oleh Kabupaten Gianyar adalah kekayaan berupa keindahan alam dan budaya. Artinya, Kabupaten Gianyar dapat pula dikatakan sebagai miniatur Bali. Keindahan alam yang dimiliki Kabupaten Gianyar tampak pada alam pantai, pegunungan, sungai, sawah, dan hutannya. Dalam bidang kebudayaan, yaitu kehidupan seni budaya, warisan budaya, tata cara upacara keagamaan, sistem sosial kemasyarakatan, sistem perekonomian (pasar) tradisional, sistem kerja dalam pengolahan sawah, dan lain-lain mempunyai daya tariknya masing-masing.
5
Pemerintah dan masyarakat Gianyar merespons positif pengembangan pariwisata
dengan
memberdayakan
berbagai
potensi
yang
ada.
Untuk
mempermudah dalam pengembangan dan pembinaannya, destinasi kunjungan wisata dibagi menjadi lima zona, yaitu (1) Gianyar Utara, termasuk di dalamnya Kecamatan Tegallalang, Kecamatan Payangan, dan Kecamatan Tampaksiring menjadi pusat daerah konservasi air, pengembangan agrowisata, culture heritage; (2) Gianyar Barat, yaitu Kecamatan Ubud, menjadi pusat pengembangan seni budaya, kegiatan wisata alam dan budaya, industri kerajinan rumah tangga; (3) Gianyar Selatan, yaitu Kecamatan Sukawati menjadi pusat perdagangan seni, kegiatan wisata belanja, pertanian lahan basah, industri kerajinan rumah tangga; (4) Gianyar Timur, yaitu Kecamatan Gianyar, menjadi pusat pemerintahan dan fasilitas umum, pusat pendidikan, perdagangan dan jasa, warisan budaya dan wisata remaja, pertanian lahan basah, peternakan, industri pengolahan; dan (5) Gianyar Tengah, yaitu Desa Bedulu dan Pejeng, sebagai daerah konservasi budaya dan warisan budaya (Dinas Pariwisata Gianyar, 2011: 117). Pola pengembangan pariwisata yang dirancang dan disusun oleh Pemkab Gianyar ialah pembangunan pariwisata yang berbasis masyarakat. Kekuatan modal ekonomi yang dibangun dari bawah meliputi home stay, vila, hotel di Ubud, adalah bukti untuk memberikan ruang pekerjaan kepada tenaga kerja lokal. Demikian pula industri kerajinan jerapah, kucing, patung kayu, patung uang kepeng, dan bentuk lainnya di Mas, Ubud; industri kerajinan kursi bambu, dipan bambu, di Belega, Blahbatuh; industri kerajinan berbagai bentuk anyaman daun lontar di Bona, Blahbatuh; industri kerajinan berbagai jenis sandal dan berbagai jenis batik tulis di Pejeng, Tampaksiring; termasuk yang tengah dirintis saat ini,
6
sebagai contoh di Desa Bedulu, Blahbatuh. Puri Bedulu dijadikan pusat pengembangan pariwisata berbasis masyarakat dan dalam operasionalnya rumahrumah penduduk dimanfaatkan oleh para wisatawan untuk tinggal sementara dengan menyewa sesuai dengan kesepakatan yang telah dibangun oleh kedua belah pihak. Pierre Bourdieu (Harker, Richard dkk. ed., 1990: 5) mengatakan bahwa selain modal ekonomi, modal lainnya yang dibutuhkan untuk mengendalikan pembangunan adalah modal budaya dan modal simbolik sebagai penopang konsep ranah dan habitus. Namun, Pemkab Gianyar dalam pengembangan pariwisatanya lebih mengedepankan modal budaya sebagai potensi unggulan. Potensi yang ada diberdayakan secara optimal untuk menopang kegiatan pariwisata, yakni berupa penyiapan sarana, prasarana, dan jasa pelayanannya, baik oleh pemerintah, pihak swasta, maupun masyarakat. Karena pengembangan pariwisata Kabupaten Gianyar berorientasi kepada pariwisata budaya, sejalan dengan visi pembangunan kabupaten, yaitu “Maju Bersama Gianyar yang Sejahtera dan Berbudaya berlandaskan Tri Hita Karana”. Hal itu tertuang pada zona-zona wisata yang bernuansa budaya dengan berbagai potensi yang dimiliki seperti terurai di atas. Lebih urgen untuk dijaga dan dipelihara kelestariannya adalah situs-situs berupa warisan budaya dan warisan alam selain kenyamanan dan keamanan wisatawan yang juga berpotensi dijadikan daya tarik wisata. Menurut Mitrofanova,
masyarakat
lokal
memiliki
tugas
dan
kewajiban
untuk
menyelamatkan warisan (heritage) dan kelanjutan pengembangannya. Mereka seharusnya mengetahui manfaat yang diperoleh dari penyelamatan warisan budaya dan warisan alam (dalam Rao, 2012: 8). Betapa pentingnya nilai yang
7
dimiliki warisan budaya tersebut membuat lembaga badan dunia (PBB) melalui UNESCO memberikan apresiasi sangat mendalam. Faktor utama penggugah lembaga internasional adalah bertolak dari hasil pengamatannya terhadap keberadaan warisan budaya yang dimiliki oleh negara-negara anggota warisan dunia yang dijadikan ikon daya tarik wisata bagi negaranya, seperti telah diuraikan di atas. Termasuk Gianyar sebagai daerah tujuan wisata utama, selain seni budaya juga menjadikan warisan budaya sebagai salah satu komoditas daya tarik wisata. Sebagai contoh yaitu Pura Pagulingan, Pura Tirta Empul, Pura Mengening, dan Gunung Kawi (Government of Gianyar, 2012: 6). Demikian pula Pura Penataran Sasih (Ardika, 2007: ix; Dinas Pariwisata Gianyar, 2012: 28). Terkait dengan begitu banyaknya warisan (heritage) di Gianyar, terutama warisan budaya (cultural heritage), Dinas Pariwisata Kabupaten Gianyar dalam program kerjanya mengajak seluruh warga masyarakat desa adat/dinas, terutama di lingkungan situs untuk menjaga dan memelihara kelestarian situs. Untuk membangun komitmen warga masyarakat agar memiliki rasa tanggung jawab dalam pemeliharaan lingkungan situs, maka dibuatkan aturan (awig-awig) mengenai
kelestarian
budaya,
lingkungan,
dan
sosial
ekonomi
dalam
pengembangan pariwisata. Menurut Gerberich (2005: 79), regulasi (awig-awig) merupakan salah satu bagian penting dari konsep pariwisata budaya berkelanjutan dari aspek politik. Dalam pengembangannya diperlukan kontrol dan partisipasi masyarakat. Peran para tokoh masyarakat menduduki posisi penting. Mereka perlu diberdayakan dengan memberikan ruang dan waktu untuk ikut berpartisipasi, baik dalam pembuatan awig-awig maupun kontrol sosial dalam implementasinya.
8
Untuk kebutuhan promosi, Dinas Pariwisata Kabupaten Gianyar telah bekerja sama dengan lembaga-lembaga terkait, seperti Dinas Pariwisata Provinsi Bali, Biro Perjalanan Wisata, ASITA, Himpunan Pramuwisata Wisata (HPI), media massa, dan berbagai bentuk promosi lainnya. Selanjutnya, dalam menerima kunjungan wisatawan di objek, terutama ketika para wisatawan tengah memasuki objek wisata, peran para pemandu wisata sangat penting dalam memberikan keterangan tentang eksistensi objek (daya tarik wisata). Salazar (2006: 188) menguraikan bahwa dalam hal memberikan penjelasan tentang daya tarik wisata, peranan pemandu wisata (baik pemandu wisata domestik maupun asing) sangat potensial. Mereka merupakan pemberi informasi objek, secara tidak langsung dapat memperkenalkan kekayaaan warisan budaya lokal ke tingkat nasional, regional, dan global. Gianyar tercatat sebagai salah satu kabupaten yang terbanyak memiliki warisan budaya di Bali, khususnya Desa Pejeng dan Bedulu. Di desadesa pemilik warisan budaya inilah peranan pemandu wisata (guide) sangat diperlukan sebagai corong informasi tentang objek. Seperti ditegaskan oleh Wiendu Nuryanti dalam makalahnya yang berjudul “Kebijakan Pemerintah tentang Warisan Budaya Dunia” (2013) bahwa peran pemandu wisata tidak hanya sebatas memberikan informasi daya tarik wisata, tetapi juga dapat memberikan pengayaan terhadap tamu atau totalitas pemahaman dengan audio-visual. Pesatnya tingkat kunjungan wisatawan di daerah lumbungnya seni budaya diindikasikan oleh adanya peningkatan jumlah kunjungan wisatawan di zona yang memiliki daya tarik wisata. Daya tarik wisata yang dikelola oleh Pemerintah Kabupaten Gianyar meliputi Pura Tirta Empul, Goa Gajah, Gunung Kawi Tampaksiring, Gunung Kawi Sebatu, Yeh Pulu, Alam Sidan, dan Bukit Jati. Pada
9
tahun 2012 tercatat jumlah pengunjungnya 891.585 orang, sedangkan untuk tahun 2013 jumlah pengunjungnya menurun menjadi 873.030 orang. Sementara itu kunjungan wisatawan ke Pura Penataran Sasih yang dikelola oleh desa adat setempat, yaitu Desa Adat Jero Kuta, seperti tergambarkan dalam angka-angka berikut. Untuk tahun 2012 jumlah kunjungan wisatawan sebanyak 19.200 orang dan pada tahun 2013 meningkat menjadi 19.500 orang (lihat tabel 1).
Tabel 1.1 Rekapitulasi Jumlah Kunjungan Wisata ke Kabupaten Gianyar No
Tahun Pura T.Empul
Goa Gajah
1
2012
461.677
252.741
Gunung KawiT.Siring 105.499
2
2013
445.502
253.455
115.795
Daya Tarik Wisata Gunung Yeh KawiPulu Sebatu 34.708 9.853 30.603
7.880
Jumlah Alam Sidan
Bukit Jati 7.652
Pura Penataran Sasih 19.200
255
891.585
295
-
19.500
873.030
Sumber: Dispar Kab. Gianyar, tahun 2012 dan 2013 Catatan: untuk kunjungan wisatawan ke Pura Penataran Sasih tiga bulan terakhir, Juli s.d. September 2014, tercatat sebanyak 5.316 orang, terdiri atas wisatawan asing 3.996 orang, wisatawan luar daerah 720 0rang, dan lokal 600 orang. Desa Pejeng sebagai zona Gianyar Bagian Tengah diposisikan sebagai zona konservasi budaya dan warisan budaya karena memiliki banyak kekayaan berupa tinggalan-tinggalan arkeologi (warisan budaya). Berdasarkan pengamatan saksama terhadap situs-situs yang ada di Desa Pejeng, diketahui bahwa sebagian besar warisan budaya yang ada di dalamnya berupa tinggalan-tinggalan seni arca, tanpa mengabaikan keberadaan warisan budaya lainnya. Posisinya menyebar di seluruh dusun dan kebanyakan tersimpan di tempat suci. Pura Penataran Sasih merupakan salah satu dari 60-an lebih tempat suci (pura) yang tercatat paling banyak menyimpan warisan budaya, di antaranya yaitu nekara perunggu yang berasal dari zaman prasejarah, puluhan tinggalan seni arca, sebuah prasasti batu, sebuah prasasti pada arca, dan sebagainya. Berdasarkan pengamatan intensif yang
10
telah dilakukan, diketahui bahwa Pura Penataran Sasih cukup banyak mendapatkan kunjungan, baik untuk tujuan pendidikan, penelitian, tirta yatra, maupun untuk tujuan wisata dibandingkan dengan tempat suci lainnya di lingkungan Desa Adat/Pakraman Jero Kuta Pejeng. Sebagai destinasi wisata, Pura Penataran Sasih menjadikan nekara “Bulan Pejeng” sebagai ikon komoditas daya tarik wisata. Ketertarikan para wisatawan untuk berkunjung karena ingin melihat keunikan-keunikan yang dimiliki nekara “Bulan Pejeng”. Nekara “Bulan Pejeng” termasuk tipe Pejeng atau tipe lokal, yaitu tipe khusus yang tidak dimiliki oleh nekara-nekara lainnya di Nusantara (Bintarti, 1985: 86). Nekara itu berukuran besar dan tergolong nekara terbesar di Asia Tenggara (Kempers, 1960: 64; Ambra, Calo, 2009: 129) dengan berbagai motif hiasan yang dimilikinya. Selain itu, juga tradisi lisan yang berkembang di masyarakat, yakni mitos bulan yang jatuh dari langit. Keunikan lainnya, yaitu upacara maplengkungan yang dilaksanakan setiap tahun sekali di kala upacara piodalan yang diperuntukkan kepada Dewi Sasih. Selain keunikan-keunikan yang dimiliki, dibutuhkan suatu cara bagaimana mengemasnya sehingga betul-betul layak dikomodifikasi. Seperti dikatakan Marx (dalam Mulyanto, 2012: 63) bahwa suatu benda dikatakan sebuah komoditas bila memiliki nilai tukar untuk dapat dipertukarkan dengan komoditas lain. Dengan demikian, bukan kebutuhan manusia yang menentukan proses produksi, melainkan kebutuhan itu sendiri diciptakan agar hasil-hasil produksi bisa laku (Lubis, 2006: 19). Seperti diketahui bahwa produk yang ditawarkan di Pura Penataran Sasih adalah warisan budaya, sehingga sebaiknya dipinjam pendapat Adorno yang menyamarkan dan selanjutnya mengembangkan asas pertukaran Marx sebagai objek kenikmatan
11
(dalam
Strinati,
2003:
65).
Bila
metafora
Adorno
tersebut
dipakai
menggambarkan kondisi di Pura Penataran Sasih, berarti bahwa potensi warisan budaya tidak saja dikomersialisasikan, tetapi lebih jauh dari itu telah mengarah kepada fenomena komodifikasi yang mencakup objek kenikmatan, bahkan telah mencapai tingkat kebahagiaan. Keberadaan warisan budaya sebagai salah satu daya tarik wisata merupakan aspek penting dalam memelihara dan menjaga kesinambungan pariwisata (sustainable tourism). Sebagaimana diungkapkan oleh Valence Smith (dalam Cheong, 2008: 15) teridentifikasi empat elemen penting sebagai pemelihara dan penjaga kesinambungan pariwisata, yaitu heritage (warisan) history (sejarah), habitat (tradisi), dan handicraft (industri kreatif). Nekara “Bulan Pejeng” yang dijadikan ikon daya tarik wisata di Pura Penataran Sasih membutuhkan dukungan dari aspek lainnya, yaitu historis (history), tradisi (habitat), dan industri kreatif (handicraft) untuk mempertahankan keberlanjutan pariwisata. Kemudian, yang tidak kalah pentingnya adalah dukungan dan keterlibatan masyarakat lokal secara lebih luas dan intensif karena budaya yang menjadi daya tarik utama pariwisata melekat pada masyarakat itu sendiri. Pura Penataran Sasih dipilih sebagai objek dalam penelitian ini dan warisan budaya dijadikan sebagai pokok kajian tidak terlepas dari potensi yang dimiliki warisan budaya tersebut. Nilai keunikan yang melekat pada nekara “Bulan Pejeng” merupakan daya tarik tersendiri bagi wisatawan yang berkunjung ke Pura Penataran Sasih. Terkait dengan kunjungan wisatawan, penetapan tiga buah pura, yaitu Pura Pagulingan, Pura Tirta Empul, dan Pura Mengening, di samping sebuah situs, yaitu Gunung Kawi sebagai warisan budaya dunia pada
12
Juni 2012 di St. Petersburg (World Heritage Committee, 2012: 4), ternyata tidak berpengaruh terhadap peningkatan jumlah kunjungan wisatawan ke Pura Penataran Sasih. Untuk jelasnya, berikut disajikan petikan hasil wawancara dengan pemandu objek I Wayan Budiana: Penetapan ketiga pura/situs tersebut di atas sebagai warisan budaya dunia tidak berpengaruh terhadap peningkatan kunjungan wisatawan ke Pura Penataran Sasih, walaupun Pura Penataran Sasih berada di jalur wisata Goa Gajah, Gunung Kawi, dan Pura Tirta Empul. Para wisatawan yang berkunjung ke Pura Penataran Sasih sudah memiliki program tersendiri. Mereka mengetahui keberadaan nekara “Bulan Pejeng” dari sumber informasi yang diperoleh dari internet atau dari teman-teman senegaranya. Ia juga mengatakan bahwa hampir semua wisatawan yang berkunjung ke Pura Penataran Sasih menyatakan kepuasannya dapat melihat nekara yang unik dan luar biasa tersebut dan belum pernah dilihat di tempat lainnya (wawancara Minggu, 16 Maret 2014, pk. 12.45 Wita, di Balai Wantilan Pura Penataran Sasih Pejeng).
Gambar 1.2 Wayan Budiana, Pemandu Objek Pura Penataran Sasih Pejeng Sumber : Dokumentasi A.A. Gde Raka, 2014
Suatu hal yang patut diingat bahwa pariwisata tidak ubahnya bagaikan pisau bermata dua, yaitu di satu sisi secara ekonomi dapat memberikan keuntungan, tetapi di pihak lain dapat menimbulkan dampak negatif, seperti adanya polusi dan pencemaran lingkungan, rusaknya situs dan benda-benda purbakala tersebut (Ardika, 2007: 35). Bahkan, yang lebih mengkhawatirkan
13
adalah dengan diberikannya kebebasan kepada para wisatawan masuk ke tempat suci, tidak dimungkiri terjadinya desakralisasi (pencemaran) terhadap tempat suci tersebut. Fenomena seperti itu yang tampak terjadi selama pengamatan yang dilakukan di Pura Penartaran Sasih, bahwa komodifikasi warisan budaya sebagai daya tarik wisata dapat memunculkan fungsi ganda terhadap warisan budaya tersebut. Artinya, bahwa selain warisan budaya tersebut disakralkan dan Pura Penataran Sasih sendiri difungsikan sebagai tempat suci (ibadah), tetapi juga sebagai daya tarik wisata yang memberi ruang dan waktu kebebaskan kepada wisatawan masuk ke ruang suci (utama mandala) tanpa pernah dimasalahkan apakah mereka dalam keadaan kotor (cuntaka). Aspek lain yang secara konsepsional diabaikan adalah perombakan terhadap nista mandala (jaba sisi) pura untuk kepentingan berbagai fasilitas ekonomi (bisnis), seperti parkir, pertokoan, dan pasar senggol untuk ruang belanja, dan sebagainya. Hal seperti itu dapat berdampak signifikan terhadap eksistensi struktur tri mandala pura. Selain menodai nilai kesakralan pura, juga dikhawatirkan bahwa lama-kelamaan halaman depan (nista mandala) pura menjadi kabur, bahkan terlepas dari bagian integral struktur pura. Berdasarkan berbagai fenomena yang terjadi saat ini di Pura Penataran Sasih, tampaknya masyarakat Desa Pejeng dihadapkan dengan berbagai dilema. Di satu sisi, bagaimana menjaga kesucian kawasan suci di sekitar pura sesuai dengan yang diamanatkan dalam Perda No 16, Tahun 2009 dengan radius sesuai dengan status pura sebagaimana ditetapkan di dalam Keputusan Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat Nomor: 11/Kep/I/PHDIP/1994 tentang Bhisama
14
Kesucian Pura, dalam kapasitasnya sebagai kahyangan jagat; menjaga kesucian warisan budaya yang kini telah dikomodifikasi sebagai daya tarik wisata; serta menjaga keutuhan dan kelestarian lingkungan pura. Di sisi lain, bagaimana sikap penguasa (bendesa ageng) dengan legitimasi kekuasaan yang dimiliki telah mengomodifikasi warisan budaya yang sangat disakralkan dan Pura Penataran Sasih yang merupakan tempat suci (ibadah) sebagai daya tarik wisata.
1.2 Rumusan Masalah Bertolak dari paparan dalam latar belakang di atas, permasalahan yang hendak dijawab dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut. 1. Bagaimana bentuk komodifikasi warisan budaya sebagai daya tarik wisata di Pura Penataran Sasih Pejeng, Gianyar? 2. Bagaimana proses terjadinya komodifikasi warisan budaya sebagai daya tarik wisata di Pura Penataran Sasih Pejeng, Gianyar? 3. Apa dampak dan makna komodifikasi warisan budaya sebagai daya tarik wisata di Pura Penataran Sasih bagi warga masyarakat Desa Pejeng, Gianyar?
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami kenyataan-kenyataan faktual komodifikasi warisan budaya di Pura Penataran Sasih yang secara sengaja diproduksi layaknya sebuah komoditas yang di dalamnya sarat kepentingan kekuasaan. Di samping itu, juga bertujuan untuk
15
mengetahui benda-benda yang dapat dikategorikan sebagai warisan budaya beserta statusnya, apakah sebagai warisan budaya dunia atau warisan budaya nasional.
1.3.2 Tujuan Khusus Secara khusus penelitian ini bertujuan sebagai berikut. 1. Untuk mengetahui bentuk komodifikasi warisan budaya sebagai daya tarik wisata di Pura Penataran Sasih Pejeng, Gianyar. 2. Untuk menjelaskan proses terjadinya komodifikasi warisan budaya sebagai daya tarik wisata di Pura Penataran Sasih Pejeng, Gianyar. 3. Untuk
menjelaskan
dan
mengintepretasikan
dampak
dan
makna
komodifikasi warisan budaya sebagai daya tarik wisata di Pura Penataran Sasih bagi warga masyarakat Desa Pejeng, Gianyar.
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoretis Secara teoretis setiap penelitian yang dilakukan niscaya menghasilkan sebuah temuan sehingga dapat menambah khazanah ilmu pengetahuan. Terkait dengan penelitian yang dilakukan, temuan yang dihasilkan diharapkan dapat memperkaya penelitian kajian budaya tentang komodifikasi warisan budaya sebagai daya tarik wisata di Pura Penataran Sasih Pejeng. Tampaknya wisata warisan (heritage) baik warisan alam maupun warisan budaya tetap menjadi salah satu pilihan bagi wisatawan yang berkunjung ke Bali. Sebagaimana diketahui warisan budaya di Bali kebanyakan berada di tempat suci (pura) disakralkan dan
16
diberi pemujaan seperti halnya di Pura Penataran Sasih, dan tidak dimungkiri bahwa komodifikasi warisan budaya akan terus berkembang. Dengan demikian, temuan yang dihasilkan dalam penelitian ini akan menjadi penting untuk dijadikan rujukan dalam melakukan kegiatan penelitian yang serupa. Karena model penelitian ini merupakan sesuatu yang baru, diharapkan dapat meningkatkan minat para peneliti untuk melakukan kajian terhadap kebudayaan Bali.
1.4.2 Manfaat Praktis Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengertian dan pemahaman kepada warga masyarakat panyungsung pura, pimpinan masyarakat, tokoh Hindu tentang keberadaan warisan budaya di Pura Penataran Sasih berkenaan dengan arus globalisasi. Bahkan, lebih spesifik tentunya dapat memberikan pengertian dan pemahaman, bagaimana mengelola warisan budaya, baik dalam kapasitasnya sebagai warisan yang disucikan dan dikeramatkan maupun sebagai daya tarik wisata. Bagi Pemerintah Kabupaten Gianyar, hasil penelitian ini diharapkan dapat menyumbangkan pemikiran dalam upaya pemetaan batas-batas kawasan tempat suci termasuk warisan budaya di dalamnya yang boleh dikomodifikasi. Di samping itu, hasil kajian ini dapat dijadikan bahan rujukan dalam upaya meningkatkan jumlah dan kualitas zona kawasan tempat suci yang dapat dijadikan daya tarik wisata. Termasuk promosi dan pengembangannya ke depan demi kesejahteraan masyarakat di Kabupaten Gianyar, khususnya bagi warga masyarakat di lingkungan situs atau daerah tujuan wisata tersebut.