BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Sastra Indonesia modern tidak terlepas dari pengaruh paham kesusastraan dunia baik prosa, puisi maupun drama. Sebagaimana diungkapkan oleh Faruk (2002), karya-karya sastra Indonesia sejak awal abad ke-20 hingga pada tahun 1940-an dipengaruhi oleh romantisisme. Secara khusus dalam puisi, aliran romantik di Belanda memberi pengaruh pada sajak-sajak Pujangga Baru dalam gaya pengucapan perasaan dan pelukisan alam yang indah (Jassin dalam Pradopo, 1995:38). Selain aliran romantik, ekspresionisme, dan realisme juga ditemukan dalam puisi Indonesia modern, di antaranya tampak pada sajak Chairil Anwar, Taufik Ismail, dan Rendra. Pada tahun 70-an dan 80-an, eksistensialisme dan surealisme juga memberi pengaruh pada sejumlah karya sastra Indonesia. Kemudian, pada tahun 90-an posmodernisme merupakan aliran yang banyak dibicarakan dan dianggap berpengaruh pada wacana budaya, seni, dan sastra di Indonesia. Seiring dengan semangat posmodernisme, muncul aliran kesusastraan yang disebut realisme magis. Realisme magis dipandang sebagai respon atas modernisme yang mengungkapkan cara pandang baru terhadap realitas. Aliran ini pada mulanya ditujukan pada ledakan sastra Amerika Latin yang muncul pada akhir tahun 1960-an, secara khusus pada novel Seratus Tahun Kesunyian karya
1
2
Gabriel Garcia Marquez yang terbit tahun 19671. Novel tersebut berhasil mengantarkan pengarangnya meraih nobel pada tahun 1982 hingga dikukuhkan sebagai salah satu kanon karya sastra realisme magis sekaligus membuat aliran ini diakui sebagai perwujudan estetika baru dalam kesusastraan dunia. Pada tahun 1980-an dan awal 1990-an, realisme magis mulai mendunia yang pengaruhnya dapat dilihat pula pada karya sastra di luar Amerika Latin 2. Tidak dapat dimungkiri bahwa sejumlah karya pengarang Amerika Latin pada tahun 1980-an telah dikenal oleh pengarang Indonesia 3. Karya sastra realisme magis juga memberi pengaruh pada sejumlah karya sastra Indonesia. Dimunculkannya kembali mitos, dongeng, dan legenda sebagai yang magis dan tradisional ke dalam realitas atau dunia modern dapat dipandang sebagai indikasi karya realisme magis. Dalam prosa, karya Seno Gumira Ajidarma, Triyanto Triwikromo, dan A.S. Laksana dapat dikatakan menunjukkan pengaruh tersebut dengan menampilkan penarasian yang berbeda atas realitas dengan memunculkan peristiwa, gambaran yang magis, mistis, dan tidak rasional serta menghidupkan kembali cerita yang bersumber dari mitos, dongeng, dan legenda yang hidup secara tradisional di masyarakat. Beberapa kajian yang memperlihatkan pengaruh realisme magis terhadap prosa Indonesia telah dilakukan baik yang berupa novel maupun cerpen4. Dari beberapa penelitian
1
Dewanto, Nirwan. “Mengolah Pinggiran: Jorge Luis Borges dan Khazanah Amerika Selatan”. Pengantar Labirin Impian (LKiS, 1999: xiii-xviii). 2 Stephen M. Hart dan Wen-Chin Ouyang. A Companion to Magical Realism (Tamesis, 2005:11). 3 Salah seorang sastrawan yang mengalihbahasakan cerpen karya Grabiel Garzia Marquez adalah Nirwan Dewanto dimuat dalam Suara Pembaruan, 16 Oktober 1988 berjudul “Lelaki Tua Bersayap” dari Leaf Strom and Other Stories terjemahan Gregory Rabassa. 4 Kajian berupa tesis dan tulisan ilmiah dalam jurnal, di antaranya: Kadir, Burhan. 2014. Kadar Realisme Magis dalam Novel Perempuan Poppo Karya Dul Abdul Rahman. Tesis. Pascasarjana
3
tersebut, diperlihatkan kadar realisme magis yang berbeda-beda. Dalam novel Perempuan Poppo, dijelaskan Burhan Kadir bahwa kadar realisme magis tidak dominan karena pengarang memisahkan dunia magis dan dunia riil. Namun, berbeda dengan cerpen Arajang yang dijelaskan oleh Hasbi Aga memiliki kecenderungan realisme magis sebagaimana diungkap Imam Muhtarom atas cerpen Sayap Kabut Sultan Ngamid dan Dongeng Cinta yang Dungu. Selain prosa, pengaruh realisme magis dapat dilihat dalam puisi Indonesia. Puisi “Gending Pulebahasan” karya Badruddin Emce dibuktikan mengandung penarasian atas yang magis dan yang nyata dengan menghadirkan kembali mitos dan legenda yang hidup di Cilacap yang bersumber pada teks tradisional5. Selain Badruddin Emce, penyair yang memiliki kecenderungan menghadirkan kembali mitos adalah Nirwan Dewanto dalam puisi yang berjudul “Gong”. Puisi ini mengangkat narasi tentang mitos melalui penyebutan tokoh mitologis di dalamnya, yaitu Ratna Manggali. Penyebutan tokoh mitologis tersebut menyebabkan puisi ini terhubung dengan kisah Calon Arang. Puisi “Gong” termuat dalam himpunan puisi Jantung Lebah Ratu (selanjutnya tertulis JLR). Buku puisi ini diterbitkan pada tahun 2008 oleh Gramedia Pustaka Utama dan dalam tahun yang sama Penghargaan Sastra Khatulistiwa berhasil diraihnya. Himpunan puisi tersebut terdiri atas halaman
Fakultas Ilmu Budaya, UGM, Yogyakarta; Aga, Hasbi. 2014. Realisme Magis dalam Cerpen Arajang Karya Khrisna Pabichara: Konsep Karakteristik Realisme Magis Wendy B Faris. Tesis. Pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya, UGM, Yogyakarta; Muhtarom, Imam. “Realisme Magis dalam Cerpen Gabriel Garcia Marquez, Triyanto Triwikromo, dan A.S. Laksana”. Dalam jurnal Poetika. Vol. II, No.3, Desember 2014. Program Studi S2, FIB, UGM. 5 Iswandari, Retno. 2014. Realisme Magis dalam Puisi “Gendhing Pulebahasan” Karya Badruddin Emce: Konsep Karakteristik Realisme Magis Wendy B Faris. Tesis. Pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya, UGM, Yogyakarta.
4
judul, daftar isi yang mengelompokkan puisi ke dalam tiga bagian dengan sebutan kantung, dan catatan yang berisi penjelasan atas beberapa puisi. Di dalam himpunan puisi JLR, terdapat empat puluh enam buah puisi. “Gong” merupakan puisi keenam yang berada dalam kantung kesatu. Pada cacatan dua himpunan puisi tersebut, dijelaskan bahwa harian Kompas juga telah memuat “Gong” pada tanggal 11 Februari 2007. Dipilihnya “Gong” sebagai objek penelitian disebabkan oleh beberapa alasan. Pertama, dari keempat puluh enam buah puisi dalam himpunan puisi JLR, “Gong” saja yang secara tersurat menyebut tokoh mitologis yang dapat ditelusur keberadaannya pada teks tradisonal sehingga sajak ini diindikasikan memiliki kecenderungan realisme magis. Tokoh Ratna Manggali dan janda dari Girah, yang disebut dalam sajak ini, dimuat dalam teks tradisional yang menjadi sumbernya, yaitu teks Calon Arang. Teks Calon Arang merupakan karya sastra tradisional bagian dari kesusastraan Jawa Kuno yang berkembang pada abad ke-9 sampai ke-15 di Pulau Jawa yang pengaruhnya dapat dilihat pada kesusastraan Bali baik melalui penyalinan sesuai bentuk Jawa maupun dalam bentuk transformasinya (Suastika, 1997:1-3). Perwujudan teks Calon Arang tidak hanya dalam bentuk sastra, tetapi juga dalam bentuk seni pertunjukan, seperti dramatari Calon Arang (Soedarsono, 1972; Soedarsono dan Narawati, 2011). Lebih lanjut, Suastika (1997:4) menyatakan bahwa teks Calon Arang yang dipelihara dalam tradisi Bali mengandung nilai magis, mitologis, dan estetis. Selain itu, teks ini berkembang dalam tradisi lisan. Dengan mengutip pernyataan beberapa ahli, teks Calon Arang
5
disebutkan memiliki kaitan dengan aspek sejarah Jawa-Bali, pemujaan terhadap Dewi Durga yang terdapat dalam bentuk peninggalan arkeologis, dasar pembuatan relief di pura-pura, patung, lukisan, dan dasar bagi seni pewayangan, sendratari, serta tarian Barong Rangda (Suastika, 1997:4-5). Penelitian ini menggunakan hasil kajian filologis I made Suastika atas teks Calon Arang prosa sebagai teks tradisional yang menarasikan Calon Arang disebabkan oleh kedekatannya dengan tradisi Bali tempat mitos tersebut ada dan diyakini. Dalam sastra Indonesia modern, kisah Calon Arang dituliskan atau diceritakan kembali oleh beberapa pengarang dalam bentuk prosa, yaitu Cerita Calon Arang oleh Pramoedya Ananta Toer pada tahun 1954 yang diterbitkan kembali pada tahun 2003, Calon Arang dari Jirah oleh Mu’jizah pada tahun 1995, Calon Arang: Kisah Perempuan Korban Patriaki oleh Toeti Heraty pada tahun 2000 berupa prosa lirik, dan Janda dari Jirah oleh Cok Sawitri pada tahun 2007. Kisah Calon Arang juga diciptakan kembali dalam bahasa Inggris oleh Goenawan Mohamad dengan judul The King’s Witch dalam bentuk libretto (kata-kata yang dinyanyikan atau diucapkan dalam pertunjukan opera atau musik) dan diterbitkan dalam jurnal Manoa edisi khusus pada tahun 2000. Kemudian karya tersebut dipentaskan dengan memadukan berbagai unsur seni pada tahun 2006 yang menjadikannya pertunjukkan fenomenal (Bianpoen 2006, The Jakarta Post). Dari berbagai bentuk transformasi teks Calon Arang, setiap penulis memiliki sudut pandang tertentu dalam menuturkannya dan tidak dapat sangkal bahwa perempuanlah yang menjadi pembicaraan di dalam teks tersebut.
6
Berbeda dengan sastrawan Indonesia sebelumnya, Nirwan Dewanto memilih bentuk puisi untuk menghadirkan kembali kisah Calon Arang. Dalam “Gong”, terdapat rangkaian peristiwa berupa tindakan-tindakan yang berkaitan dengan keberadaan-keberadaan yang menggambarkan kenyataan dan hal-hal yang magis dan mitologis. Hal-hal itu dapat dikaitkan dengan konteks di luar puisi, seperti isu mengenai perempuan dan patriaki yang dipandang secara berbeda melalui kisah tersebut. Oleh karena itu, “Gong” menjadi penting bagi penelitian ini. Kedua, Nirwan Dewanto merupakan salah satu sastrawan yang secara eksplisit mengungkapkan wacana posmodernisme atas kebudayaan Indonesia sebagaimana tampak pada esai-esainya yang dihimpun dalam buku Senjakala Kebudayan (1996). Esai yang berjudul “Pengalaman dan Penciptaan: Kasus Budi Darma dan Gabriel Garcia Marquez” menunjukkan bahwa ideologi literer global, berupa aliran realisme magis, telah menjadi wacana yang dipahaminya dan mempengaruhi pandangannya sebagaimana posmodernisme. Dalam esai tersebut, ia menyatakan bahwa sebuah penciptaan sastra dengan sendirinya mengandaikan adanya himpunan pengalaman di dalam diri pengarang (Dewanto, 1996: 131). Oleh karena itu, posisi Nirwan Dewanto dalam sejarah sastra Indonesia dapat dijadikan konteks bagi wacana mitos yang dimunculkan dalam karyanya. Minatnya atas posmodernisme dan realisme
magis
tersebut
membuka
kemungkinan mitos yang dipandang secara berbeda dalam puisinya. Dengan demikian, puisi “Gong”, yang mengangkat narasi mitos Calon Arang, dapat dibuktikan pula sebagai karya yang mendapat pengaruh realisme magis.
7
Ketiga, berdasar dua alasan sebelumnya, sejauh pengetahuan peneliti, analisis terhadap “Gong” dengan menggunakan konsep teori realisme magis belum lakukan. Meskipun teori tersebut dibangun dari kajian-kajian terhadap fiksi naratif, dengan meletakkan puisi “Gong” sebagai puisi naratif, pemanfaatan teori ini menjadi niscaya untuk dilakukan6. Secara tipografi, puisi ini berbentuk lurus rata kiri dan memiliki dua belas bait. Bait-bait tersebut disusun oleh satu baris atau beberapa baris kalimat dengan enjambemen yang memperlihatkan kesatuan sintaksis. Hubungan antarbait ditandai dengan adanya jarak atau spasi sehingga bait-bait tersebut hampir menyerupai paragraf. Setiap bait mengindikasikan peristiwa-peristiwa yang disusun dalam kesatuan ide naratif disertai penggunaan tanda baca berupa titik, koma, kutip dua, titik dua, tanda tanya, tanda seru, dan tanda kurung. Secara keseluruhan, puisi ini terdiri atas tiga puluh delapan kalimat (lihat lampiran). Dengan mempertimbangkan hal-hal tersebut, teori realisme magis dimanfaatkan oleh peneliti untuk menganalisis puisi “Gong”. Dalam penelitian ini, konsep teori realisme magis yang digunakan mengacu pada pendapat Wendy B. Faris mengenai karakteristik karya realisme magis yang di dalamnya terdapat lima karakteristik, meliputi elemen tak tereduksi (the irreducible element), dunia fenomenal (the phenomenal world), keraguan 6
Dalam pembicaraan mengenai jenis-jenis sastra, Luxemburg, dkk. menyatakan bahwa sajak (puisi) naratif adalah sajak yang menyajikan serangkaian peristiwa. Situasi bahasa berupa monolog, tetapi isi berupa cerita. Hal ini menyebabkan sajak naratif memiliki bentuk campuran sehingga dapat didekati dari sudut naratif, puitik, atau keduanya-duanya bersama-sama (Gramedia, 1989:111). Adanya aspek naratif dalam puisi juga diungkap oleh Brian McHale pada artikel “Beginning to Think about Narrative in Poetry”. Dalam jurnal Narrative. Vol. 17. No. 1. 2009. Ohio State University Press. Berikutnya, Jonathan Allison dengan menggunakan konsep ‘the Marvellous’ Todorov mengungkapkan efek penggunaan elemen fantastik dari dua puisi lirik sebagaimana tampak pada “Magical Nasionalism, Lyric Poetry and the Marvellous: W.B. Yeats and Seamus Heaney”. Dalam Stephen M. Hart and Wen-Chin Ouyang (Ed.). 2005. A Companion to Magical Realism. Hlm. 228-236. Woodbridge: Tamesis.
8
takberakhir (unsettling doubts), penggabungan alam (merging realms), dan gangguan atas waktu, ruang, dan identitas (disruption of time, space, and identity). Melalui keterkaitan lima karakteristik tersebut, dapat dibuktikan pula kadar realisme magis suatu karya sastra. Dalam puisi “Gong”, semua elemen atau unsur yang magis, tradisional, mistis, mitos dan yang nyata, modern dilihat sebagai tanda yang dinarasikan kembali dan akan dibuktikan dalam kerangka karakteristik realisme magis tersebut. Selanjutnya, keterkaitan antarelemen yang menjadi karakteristik itu dijelaskan untuk menentukan kadar realisme magis di dalamnya.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini, dirumuskan sebagai berikut. a. Bagaimana yang magis dan yang nyata dinarasikan dalam puisi “Gong” berdasarkan elemen-elemen yang menjadi karakteristik realisme magis. b. Bagaimana hubungan antarelemen dan kadar realisme magis puisi “Gong”. c. Bagaimana konteks wacana puisi “Gong” dikaitkan dengan wacana posmodernisme dalam mengangkat kembali lokalitas, termasuk mitos Calon Arang dan isu-isu di dalamnya, khususnya isu mengenai perempuan.
1.3 Tujuan Penelitian Penelitian terhadap “Gong” dalam himpunan puisi JLR diharapkan mencapai dua tujuan pokok, yaitu tujuan praktis dan teoretis. Tujuan praktis yang
9
ingin dicapai penelitian ini adalah membantu pembaca sastra dan awam dalam memahami karya sastra Indonesia, khususnya “Gong” karya Nirwan Dewanto. Pemahaman yang akan diperoleh tersebut berupa karakteristik dan kadar realisme magis di dalamnya dibandingkan dengan konteks wacana posmodernisme dalam mengangkat lokalitas, termasuk juga mitos dan isu mengenai perempuan. Tujuan teoretis penelitian ini adalah memanfaatkan teori sastra realisme magis yang dikemukakan oleh Wendy B. Faris. Pemanfaatan teori ini dalam puisi merupakan hal yang belum banyak dilakukan. Oleh karena itu, penulis berharap dapat memperoleh pengetahuan atas penggunaan konsep teori tersebut dalam menganalisis “Gong”. Melalui konsep karakteristik realisme magis, dapat diketahui seberapa jauh puisi tersebut mengungkapkan kenyataan dan hal yang magis, termasuk penggunaan mitos.
1.4 Tinjauan Pustaka “Gong” karya Nirwan Dewanto, yang terdapat dalam himpunan puisi JLR, sejauh pengetahuan peneliti belum dikaji secara akademis. Kajian berupa skripsi, tesis, ataupun disertasi terhadap puisi ini, dengan memanfaatkan konsep teori tertentu, belum ditemukan selama penelitian ini berlangsung. Akan tetapi, sejak JLR diterbitkan berbagai ulasan, tanggapan, kritik, dan komentar terhadapnya baik di media massa cetak maupun elektronik telah banyak dilakukan oleh para kritikus, akademisi, sastrawan, seniman, dan para pembaca. Beberapa ulasan terhadap JLR tersebut mengungkapkan pula penilaian terhadap “Gong”. Oleh
10
karena itu, ulasan atas JLR digunakan sebagai tinjauan pustaka dalam penelitian ini. Dari berbagai ulasan yang dapat dijangkau peneliti terhadap himpunan puisi JLR, masalah penggunaan bahasa, bentuk, imaji, pilihan kata, penarasian, sudut pandang, subjek, benda-benda, suara, dan makna merupakan aspek-aspek yang sering dibicarakan. Sejumlah tulisan yang membahas JLR di antaranya “Mitos Bara Biru Nirwan Dewanto” oleh Acep Iwan Saidi dimuat dalam Kompas, 14 Desember 2008, “Jantung Lebah Ratu sebagai Rumah Berpintu Terbuka” oleh Zen Hae, dan “Jantung Lebah Ratu: Ikhtiar Melampaui Rezim Indrawi, Menghadirkan yang Takterungkap Bahasa” oleh Bagus Takwin. Dua yang terakhir merupakan tulisan yang disajikan dalam acara diskusi buku himpunan puisi JLR oleh Komunitas Salihara pada 19 Oktober 20097. Dalam “Mitos Bara Biru”, Acep Iwan Saidi mendekati himpunan puisi JLR melalui perspektif mitos dari Barthes. Dengan berdasar pada konsep sastra sebagai model wicara sebagaimana mitos, beberapa hal dikemukakan oleh Acep Iwan Saidi mengenai sajak-sajak Nirwan Dewanto dalam himpunan tersebut. Pertama, saat membaca sajak-sajak Nirwan Dewanto dalam himpunan puisi JLR, ditemukan idiom yang menyentak sehingga menyebabkan asing. Menurutnya, terdapat sebaran idiom yang mengejutkan dalam puisi Nirwan Dewanto. Kedua, dengan memberi contoh penggunaan kata dan idiom pada sajak “Perenang Buta” dan “Kunang-Kunang”, disebutkan bahwa terdapat rantai penandaan atau rantai 7
Ulasan Zen Hae semula berjudul “Aku dan Sebuah Rumah dengan Pintu Terbuka” sebagai makalah yang dipresentasikan dalam acara diskusi buku puisi JLR tersebut. Peneliti mendapat versi ulasan yang telah ditulis ulang dengan sejumlah penyuntingan bersama dengan ulasan Bagus Takwin melalui Arsip Salihara.
11
logika sintaktik yang terputus (skizofrenik) yang menyebabkan fokus sajak menjadi terpecah. Ketiga, selain relasi ungkapan yang skizofrenik, terdapat idiom yang mereduksi realitas yang bersifat menyederhanakan, formalistik sehingga menyebabkan imaji atas objek menjadi menyempit. Keempat, idiom yang mengejutkan, seperti baraku biru dalam sajak “Kunang-Kunang”, merupakan upaya penyair dalam ‘memindahkan mitos lama bahasa dengan menatah mitos baru’ melalui penggunaan subjek lirik dan realitas yang dipandang melalui subjek lirik tersebut. Kelima, putusnya rantai penandaan dalam beberapa sajak disebabkan oleh dua hal, yaitu tidak akrabnya pembaca dengan idiom yang digunakan oleh penyair dan hasrat penyair yang merambah berbagai kemungkinan bahasa membuatnya lupa pada karakteristik spesifik bahasa tempatnya menetap. Akan tetapi, hal itu dapat dipandang pula sebagai upaya penyair menciptakan identitas puitiknya. Melalui himpunan puisi JLR, Acep Iwan Saidi mengatakan bahwa Nirwan Dewanto tengah mencipta mitos lain pada bahasa. Pandangan yang berbeda dikemukakan oleh Zen Hae dalam “Jantung Lebah Ratu sebagai Rumah Berpintu Terbuka”. Beberapa hal yang diungkap oleh Zen Hae tentang himpunan puisi JLR dalam tulisan tersebut, di antaranya (1) Suasana seperti rumah berpintu terbuka sangat menonjol ketika ‘memasuki’ JLR; (2) Percobaan bentuk-bentuk yang mengawinkan puisi dengan prosa atau dengan puisi dari khazanah lain tampak dalam himpunan puisi ini sehingga tampil puisi yang beralaskan fabel, yang menyaru esai atau risalah, yang memiuhkan bentuk pantun dan gurindam, yang serupa haiku, yang selaku lirik lagu, hingga yang menyaran pada teka-teki; (3) Juru bicara (subjek lirik atau aku lirik) dalam puisi
12
Nirwan Dewanto berbeda dengan subjek lirik sejenis sebagaimana yang dilakukan kaum Romantik. Personifikasi yang ekstrem ditemukan di dalamnya. Subjek lirik tidak lagi tersembunyi, tetapi penguasa arus ujaran puisi. Subjek lirik puisipuisinya selalu menggunakan sudut pandang orang pertama sehingga mereka bisa langsung menjadi tokoh sekaligus narator sebuah kisah. Nirwan Dewanto telah mempersoalkan fenomena “bukan-manusia berbicara” dalam puisinya; (4) Motif yang menonjol di dalamnya adalah konfrontasi antar-pihak. Namun, lebih dari satu motif dapat muncul bersamaan dalam sebuah sajak, seperti pencerminan dengan penggandaan dan penyamaran serta erotik. Motif-motif tersebut mengungkap momen atau peristiwa yang berbeda, seperti pertukaran peran, pembebasan, penguasaan, pembinasaan, penyatuan, gairah, keserupaan, subjek yang takterbatas, dan goyahnya identitas ; (5) Puisi-puisi Nirwan Dewanto mengandung alusi yang bekerja melalui tiga cara, yaitu pengutipan dan pemiuhan, permainan citraan dan perumpamaan, serta penulisan kembali atas satu atau lebih sumber rujukan. Puisi yang di dalamnya terdapat alusi melalui penulisan kembali sumber rujukan, di antaranya “Gong” dan “Tiga Biola Juan Gris”. Menurutnya, “Gong” mengolah kembali satu bagian kisah Calon Arang; (6) Permainan bentukbentuk, geometri, dan warna tampak di dalamnya, seperti pada “Nanas dari Roraima”, “ Ubur-ubur”, “Semangka”, “Sarapan di Undak Sayan”, dan “Boogie Woogie”. Melalui permainan bentuk, Nirwan Dewanto telah melakukan penyegaran kembali terhadap bahasa puisi atau bahasa Indonesia secara umum. Bagus Takwin dalam “Jantung Lebah Ratu: Ikhtiar Melampaui Rezim Indrawi, Menghadirkan yang Takterungkap Bahasa” mengemukakan beberapa
13
pendapat mengenai JLR dari sisi filsafat dengan berdasar pada konsep dari Alan Badiou. Pertama, puisi-puisi yang termuat dalam JLR berikhtiar menampilkan apa yang tak terungkap dengan bahasa. Dalam “Apel”, puisi berikhtiar menampilkan apel dengan berangkat dari yang luput oleh bahasa, berangkat dari lubang-lubang pada himpunan pengetahuan tentang apel. Puisi tersebut adalah himpunan dari beragam unsurnya, menjalin hubungan yang tak terwakili oleh bahasa, singular tak terbandingkan. Kedua, puisi-puisi Nirwan Dewanto dalam JLR mengupayakan tampilnya kejadian yang mungkin dihubungkan dengan situasi yang seluas-luasnya, mengungkap sekaligus menampilkan kebaruan pada dunia, contohnya pada “Daun Bianglala”. Kejadian “Daun Bianglala” menjadi mungkin karena dihimpun dalam puisi, sedangkan dalam “Gerabah”, Nirwan Dewanto berikhtiar untuk membuka jalan bagi hadirnya kejadian. Puisi “Gerabah” mengantisipasi kejadian, memungkinkan hadirnya kejadian.
Ketiga, dengan mengutip Badiou bahwa
puisi hanya sebuah penyampaian, sebuah deklarasi yang mendapat otoritas dalam dirinya sendiri, Bagus Takwin mengulas puisi “ Jembatan” dan “Pagi”. Dua puisi tersebut, juga puisi-puisi lain dalam JLR, merupakan singularitas yang tidak masuk dalam bentuk-bentuk kepentingan yang mungkin dari kebanyakan orang. Melalui puisi “Semu”, dikatakan Bagus Takwin, Nirwan Dewanto sebagai penyair memiliki aksioma bagi dirinya, yaitu menampilkan puisinya sekaligus menampik tuntutan orang tentang kemestian sebuah puisi yang umum. Keempat, puisi sebagai singularitas, sesuatu yang berbeda dari yang lain adalah pemberontakan terhadap struktur yang dibekukan (pikiran yang ajek dan
14
kaku), sekaligus pemberontakan terhadap rezim pengindraan. Melalui tesis tersebut, Bagus Takwin mengulas puisi “Gong” dihubungkan dengan fungsi gong sebagai bagian dari gamelan Jawa dan Bali. Dalam gamelan, gong berfungsi menentukan paduan instrumen dalam komposisi musik sekaligus membedakan satu jenis gamelan dari jenis gamelan lainnya. Meski jarang dibunyikan, gong diberi peran yang menentukan identitas dari komposisi musik. Gong menjadi yang transendental dari paduan musik itu sekaligus menjadi bagian dari permainan musik jika dilihat dari perspektif sang komposer. Seperti juga gong, kategori yang melampaui tubuh dan bahasa itu, tetap terbuka untuk dilampaui dengan perspektif yang lebih luas. Keberadaan gong dalam puisi “Gong” dipertanyakan, sebagai pencerita atau gong menjadi kategori yang memungkinkan cerita, yang terbuka dan siap dilampaui. Lebih lanjut, sang protagonis di dalamnya, “aku”, mencari kemungkinan-kemungkinan lain lewat perkiraan, pertanyaan, dan pengandaian hingga di akhir tetap ada yang tak terungkap, ada yang tak lengkap. “Gong” menampilkan serangkaian kegiatan melibatkan benda-benda yang ditata sedemikian rupa sehingga sebuah kemungkinan kejadian terjadi, tetapi juga menampilkan pengakuan tentang ketaklengkapan dan ketakcukupan. Dengan mengambil analogi dari gong sebagi simbol bagi kekuasaan raja dalam tradisi Bali melalui pendapat Cliford Gertz, Bagus Takwin mengaitkan puisi “Gong” dengan filsafat. Ia menyimpulkan bahwa ada pikiran (raja) yang melampaui gong (simbol yang trasendental) dalam menentukan bagaimana masyarakat Bali dihimpun (baca: disatukan). Yang diperlakukan sebagai ‘yang trasendental’ ternyata imanen sebab dikonstruksi oleh pikiran lewat pertemuan
15
dengan benda-benda. Dan, pikiran juga imanen sebab ada pada manusia, ada di sini. Puisi (baca: “Gong”) betapa pun tingginya melampaui tubuh dan bahasa, selalu mengakui apa yang tak terungkapkan dan meninggalkan itu di pusat dirinya. Puisi tak menerima di dunia hanya ada tubuh dan bahasa, selalu diperlukan ada yang lain, yaitu kebenaran. Kebenaran bisa dipikirkan meski tak bisa ditunjuk dan tak dapat diketahui secara utuh. Dengan mengutip pernyataan Badiou bahwa kebenaran tak-dapat-dinamai, Bagus Takwin berpendapat sebagaimana filsafat, puisi (baca: “Gong”) adalah bentuk pikiran yang menemukan yang tak-dapat-dinamai. Selain “Gong”, ikhtiar Nirwan Dewanto menyingkap sekaligus menghadirkan yang tak-dapat-dinamai tampak dalam puisi “Gerimis”. Kelima, puisi seperti yang terhimpun dalam JLR merupakan sebuah presentasi indrawi dengan pikiran sebagai kategori yang mengatasi benda-benda dan bahasa. Puisi-puisi itu adalah pikiran dengan bentuk tertentu. Metode yang digunakan Nirwan Dewanto dalam menulis puisi seperti pemain catur yang memainkan bidak putih dan hitam sekaligus serta seperti ilmuwan. Bak pemain catur, variasi jenis dan tingkatan kesadaran tampak dalam puisinya, sedangkan bak ilmuwan Nirwan Dewanto menjajaki sebanyak mungkin hipotesis, implikasi, dan pengandaian-pengandaian yang mungkin terutama dalam puisi-puisi prosanya. Keenam, unsur-unsur pantun, gurindam, haiku, epigram, epistel, sinestesia, prosa liris, puisi prosa, permainan tipologi, dan soneta dengan penggunaan metafora, alegori, simile, paralelisme, repetisi, dan refrain dimanfaatkan Nirwan
16
Dewanto dalam JLR. Unsur-unsur tersebut dijumpai pada “Harimau”, “Serupa Haiku”, “Nanas dari Roraima”, “Penyair”, dan “Tukang Kebun”. Selain itu, penggunaan ritme sangat menonjol di dalam puisinya, seperti tampak pada “Kroncong Tenggara”. Puisi-puisi Nirwan Dewanto berhasil memunculkan bentuk-bentuk baru atau dengan kata lain JLR menghadirkan tubuh baru dalam puisi-puisinya. Ketujuh, puisi-puisi Nirwan Dewanto sarat dengan kata-kata tak umum. Kata-kata itu diambil dari berbagai perbendaharaan bahasa dalam masyarakat Indonesia, tetapi tidak umum dalam keseharian. Meskipun ada puisi yang tak berhasil menghadirkan apa ‘yang tak terkatakan’ karena abstraksi yang mengabaikan tubuh (seperti dalam “Lonceng Gereja” dan “Burung Merak”), kebanyakan puisi dalam JLR berhasil menghadirkan kebaruan. Melalui diksi yang kaya dan bentuknya, usaha menghadirkan yang luput oleh bahasa ada di dalam puisi-puisinya. Bagus Takwin menegaskan bahwa himpunan puisi JLR telah menjadi contoh dari sebuah ikhtiar yang berarti untuk melampaui rezim indrawi dalam menghadirkan apa yang tak terungkap oleh bahasa sekaligus juga memanfaatkan bahasa seoptimal mungkin untuk mengenali benda-benda. Selain tiga ulasan di atas, terdapat pula tanggapan mengenai JLR di media cetak lainnya, yaitu “Sengatan Lebah Ratu: Serangkaian Upaya” dimuat dalam Koran Tempo, tanggal 25 Mei 2008; “Paduka” pada ‘Rubrik Bahasa’ dimuat dalam majalah Tempo, tanggal 18 Januari 2010, keduanya ditulis oleh Zen Hae dan “Menelisik Himpunan Puisi Jantung Lebah Ratu, Nirwan Dewanto:
17
Membendaharakan Kata, Memaknai Bahasa” oleh Esha Tegar Putra dimuat dalam Riau Pos, tanggal 4 April 2010. Berbeda dengan ulasan Zen Hae sebelumnya, yang disajikan pada acara diskusi JLR, dua ulasannya dalam media cetak mencermati hanya sebagian aspek saja dari JLR. Dalam “Sengatan Lebah Ratu: Serangkaian Upaya”, Zen Hae mengulas juru bicara puisi, motif, dan bentuk. Menurutnya, hingga batas-batas tertentu hubungan ‘aku’ dan ‘kau’ dalam JLR adalah konfrontasi yang tak berkesudahan dalam situasi yang dialogis sekalipun, seperti tampak pada puisi “Burung Hantu”, “Keledai”, “Torso Pualam”, dan “Lembu Jantan”. Konfrontasi antara si juru bicara dan pendengar memberi peluang berkembangnya puisi menjadi jejaring cerita. Hal tersebut terjadi pada puisi yang ‘prosais’, yang beralaskan cerita, daripada yang ‘puitis’, misalnya “Kucing Persia”, “Anjing Kidal”, dan “Bayonet”. Selanjutnya, motif yang digarap dalam sejumlah puisi JLR, terutama pada puisi-puisi yang prosais, di antaranya motif pencerminan, erotik, dan penyamaran, seperti pada “Harimau”, “Kopi”, dan “Blues”. Dalam hal bentuk, puisi-puisi Nirwan Dewanto yang ‘puitis’ menyerap pelbagai khasanah dunia dan khasanah nusantara. Menurut Zen Hae, penyerapan atas khasanah dunia terjadi melalui alusi yang berhasil dalam puisi-puisinya, sedangkan penyerapan atas khasanah nusantara, seperti pantun dan gurindam, membuat puisi-puisinya tampak pretensius dan tidak wajar. Selanjutnya, ulasan Zen Hae dalam “Paduka” hanya mencermati aspek penggunaan kata dalam himpunan puisi JLR, secara lebih khusus pada kata ‘paduka’ dalam puisi “Keledai”. Menurutnya, himpunan puisi JLR merupakan
18
salah satu buku puisi Indonesia modern yang cukup banyak menggunakan kembali kata-kata arkais dalam komunikasi berbahasa Indonesia sekarang. Dengan mengacu pada penggunaan dan arti kata ‘paduka’ dalam naskah Melayu klasik, KBBI edisi ke-3 dan ke-4, serta tesaurus bahasa Indonesia, Zen Hae menunjukkan bahwa dalam puisi “Keledai” kata ‘paduka’ yang muncul tujuh kali mempunyai dua makna, yaitu sebutan kehormatan kepada orang-orang mulia (pembesar, bangsawan, raja) dan sepatu atau lapik kaki. Dalam pembacaan ulang, tampak bahwa puisi tersebut memainkan dua makna itu sekaligus. Kata ‘paduka’ menjadi sebuah ketaksaan yang membuat konflik di antara keledai dan tuannya terasa timbul tenggelam. Esha Tegar Putra dalam “Menelisik Himpunan Puisi Jantung Lebah Ratu Nirwan Dewanto: Membendaharakan Kata, Memaknai Bahasa” mengungkapkan mengenai bentuk dan subjek lirik. Bentuk dalam beberapa puisi JLR dikatakan sebagai penerimaan sekaligus perombakan atas puisi lama seperti pantun dan gurindam, sedangkan subjek lirik di dalamnya dikatakan menghadirkan percakapan tiga dimensi antara aku-kau-dia, baik tunggal maupun jamak, seperti dalam “Pengantin Remaja”, “Kopi”, dan “Peniti Tali”. Menurut Esha Tegar Putra, penghadiran subjek dalam puisi seperti tindak penggabungan diskursus puisi dan teks budaya sehingga terkesan rumit. Akan tetapi, tindakan tersebut membekas dalam subjek. Lebih lanjut, pemaknaan puisi dalam JLR, menurutnya sebagai ‘peng-amin-an’ dari ketidakberdayaan bahasa dalam mengungkapkan segalanya. Selain itu, tampak ikhtiar penyair untuk memberi jalan bagi perbendaharaan kata yang terhambat dalam pemakaian bahasa Indonesia dan melazimkannya.
19
Berdasarkan ulasan-ulasan di atas, dapat diketahui bahwa ada beberapa hal dominan menjadi perhatian para pengulas, seperti masalah penggunaan kata dan pemakaian bahasa yang diungkap oleh keempat pengulas dengan cara yang berbeda. Di samping itu, masalah subjek lirik dan bentuk puisi juga merupakan hal yang kerap dibicarakan. Namun, terdapat ulasan yang memberi perhatian atas hal lain di luar yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu motif dan segi filsafat dari puisi sebagaimana yang dilakukan oleh Zen Hae dan Bagus Takwin. Beberapa pendapat dalam ulasan-ulasan tersebut menunjang penelitian ini, khususnya yang berkaitan dengan puisi “Gong”, selain juga hal-hal dominan yang diungkapkan para pengulas dalam himpunan puisi JLR yang ditemukan dalam “Gong”. Terhubungnya “Gong” dengan mitos Calon Arang akan dibahas dalam penelitian ini melalui konsep teori realisme magis. Dengan demikian, berbeda dengan ulasan yang telah dilakukan atas JLR, penelitian ini mengaitkan puisi “Gong” dengan penarasian realisme magis.
1.5 Landasan Teori Realisme magis sebagai istilah dicetuskan oleh kritikus seni Jerman bernama Franz Roh pada 1920-an, yang muncul dalam kaitannya dengan penilaian atas lukisan di Republik Weimar, yang berusaha menangkap misteri kehidupan di sebalik kenyataan yang ada di permukaan (Bowers, 2004: 2). Realisme magis bersandar terutama pada semua permasalahan yang tidak mengkhayal-khayal, nada realis dalam naratif ketika menyajikan kejadiankejadian magis. Oleh karena itu, realisme magis dihubungkan dengan atau bahkan
20
dikatakan sebagai sebuah versi dari sastra realisme. Lebih lanjut, Bowers (2004:3) mengatakan bahwa hal yang membedakan realisme magis dengan sastra realisme ialah penyatuan dua aspek yang beroposisi sebagai oksimoron -- paradoks yang menggunakan penjajaran kata yang berlawanan—(magis dan nyata) secara bersamaan untuk membentuk perspektif baru. Hal ‘yang magis’ dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang menolak empirisme meliputi kepercayan beragama, takhayul, mitos, legenda, dan voodoo, atau yang dikatakan Todorov, sebagai hal yang fantastik “misterius” dan “ajaib”. Realisme, dilihat dari perspektif magis, ialah salah satu dari sekian cara untuk memahami realitas di luar matriks yang pada saat ini diremehkan oleh realisme konvensional (Hart dan Ouyang, 2005:14). Selain pendapat di atas, realisme magis didefinisikan pula oleh Wendy B. Faris. Realisme magis menggabungkan realisme dan yang fantastik sehingga yang mengagumkan tampak tumbuh secara organik di dalam yang biasa dan mengaburkan perbedaan di antara keduanya. Kombinasi atas narasi yang riil dan fantastik, bersama dengan penyertaan tradisi budaya yang berbeda, berarti bahwa realisme magis merefleksikan mode naratif dan lingkungan budaya keduanya, yakni alam hibrid pada masyarakat poskolonial (Faris, 2004: 1). Dalam penelitian ini, pendapat Faris tersebut, sebagaimana yang tercantum dalam bukunya Ordinary Enchanments: Magical Realism and the Remystification of Narrative digunakan sebagai landasan teoretis untuk menjelaskan realisme magis yang terdapat dalam puisi “Gong”.
21
Menurut Wendy B. Faris (2004), terdapat lima karakteristik dari karya realisme magis, yaitu elemen taktereduksi (the irreducible element), dunia fenomenal (the phenomenal world), keraguan takberakhir (unsettling doubts), (penggabungan alam) merging realms), dan gangguan atas waktu, ruang, dan identitas (disruptions of time, space and identity). Karakter pertama realisme magis adalah teks mengandung elemen taktereduksi (the irreducible element) dari yang magis. Menurut Faris (2004: 7), elemen yang taktereduksi adalah hal-hal yang tidak dapat dijelaskan menurut hukum alam sebagaimana diformulasikan dalam wacana empiris Barat, yakni berdasarkan logika, pengetahuan umum, atau kepercayaan yang ada. Oleh karena itu, pembaca kesulitan menyusun bukti untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang status peristiwa-peristiwa dan tokohtokoh dalam teks realisme magis. Sesuatu yang magis taktereduksi (irreducible) itu --peristiwa yang secara normal tidak dapat diverifikasi oleh persepsi indrawi-disampaikan dengan cara yang biasa sebagaimana peristiwa biasa saja yang diceritakan kembali. Hal itu sering melibatkan deskripsi atas fenomena secara terperinci dengan konkretnya. Fenomena tersebut tidak diartikulasikan dalam detail yang sedemikian rupa atau begitu terintegrasi secara menyeluruh ke dalam kenyataan sehari-hari dalam tradisi naratif lain, yakni mitos, religi, atau foklor. Lebih lanjut, elemen tak tereduksi, yang secara wajar dilebur ke dalam lingkungan tekstual yang realistik, jarang menyebabkan suatu komentar dari narator dan tokoh, hal itu justru menjadi model bagi pembaca untuk melakukan tindakan penerimaan. Namun demikian, secara paradoks yang magis tetap terlihat meski dinarasikan sebagai hal yang biasa atau seolah-olah nyata.
Faris
22
menyatakan bahwa penggambaran tersebut tidak mengejutkan pembaca juga tidak membuat pembaca larut di dalamnya sehingga tampak seperti butiran pasir dalam kerang realisme. Akibat diterimanya hal-hal yang magis sebagai sesuatu yang tidak dapat dijelaskan logika empiris yang selama ini diyakini pembaca, hal tersebut menyebabkan gangguan kebiasaan pembacaan atas teks. Karena mengganggu kebiasaan membaca, butiran elemen taktereduksi meningkatkan partisipasi pembaca sehingga memberikan kontribusi pada penyebaran posmodern atas teks writerly, teks yang diciptakan bersama oleh pembacanya (2004:8-9). Di samping itu, Faris (2004: 9-10) mengatakan bahwa peristiwa dan tokoh magis sebagai elemen yang taktereduksi kerap menggarisbawahi isu-isu sentral dalam teks. Isu tersebut dapat dihubungkan dengan konteks yang terjadi di luar karya sastra. Dalam menggarisbawahi isu sentral, hal magis taktereduksi sering kali mengacaukan logika sebab akibat yang biasa. Dalam pengacauan logika sebab akibat dan tidak adanya komentar bagi elemen taktereduksi yang diceritakan kembali, serta hubungannya dengan perihal yang luar biasa, tetapi fenomena dan peristiwa-peristiwa itu bersifat nyata, yang nyata (baca: kenyataan) sebagaimana diketahui pembaca justru tampak menakjubkan atau bahkan tidak masuk akal. Karakteristik kedua karya realisme magis adalah karya tersebut menggambarkan secara rinci sebuah keberadaan kuat dari dunia fenomenal (the phenomenal world). Dunia tersebut merupakan bentuk realisme dalam realisme magis yang membedakannya dari karya sastra fantasi dan alegori. Dalam dunia fenomenal, penggambaran realistik menciptakan sebuah dunia fiksi yang
23
menyerupai dunia yang kita tinggali, kerap melalui penggunaan rincian (detail) yang panjang lebar. Di satu sisi, perhatian atas rincian indrawi ini meneruskan dan memperbaharui tradisi realis. Di sisi lain, karya realisme magis tersebut menyertakan rincian magis yang menarik. Karena rincian magis tersebut merepresentasikan sebuah keberangkatan yang berasal dari realisme, rincian itu dibebaskan dari aturan peniruan (mimetik) yang sesuai tradisi ke arah tingkatan yang lebih besar dari sebelumnya. Dengan demikian, yang magis tumbuh atau berdenyut dalam dunia riil bukan diturunkan ke dunia riil. Dengan mengacu pendapat Cooper, Faris (2014: 15) menyatakan bahwa yang magis, misterius tersebut tidak diletakkan dalam subteks sebagaimana realisme, tetapi berbagi ruang fiksional dengan sejarah. Dengan demikian, dunia fenomenal menampilkan kenyataan berupa benda, tempat, ataupun peristiwa yang dikenali sebagai yang nyata sekaligus memungkinkan keberadaan yang magis atau suatu fenomena. Selain melalui penggambarannya dalam teks, dunia fenomenal dapat dikenali melalui referensinya dalam sejarah (Faris, 2014: 15-16). Jika mengacu pada kenyataan dalam sejarah, dunia fenomenal menampilkan keunikan dari peristiwa sejarah ataupun menata ulang kembali peristiwa tersebut. Sejarahsejarah tersebut dapat menyertakan yang magis dan kearifan orang-orang awam. Sejarah diumpakan sebagai pemberat yang menjadi tambatan balon magis dan seolah-olah memperingatkan terhadap sebuah terang atas mitis dan keberadaan magis yang begitu besar.
24
Karakteristik ketiga dalam karya realisme magis berupa keraguan takberakhir (unsettling doubts). Faris (2004:17) menyatakan bahwa karakter ini muncul sebelum pengategorian suatu elemen sebagai elemen taktereduksi. Pembaca ragu-ragu antara dua pemahaman yang bertentangan atas peristiwaperistiwa sehingga mengalami keraguan yang tidak berkesudahan. Keraguan ini terutama dipicu oleh pertanyaan atas kepercayaan yang berasal dari benturan antarsistem budaya dalam narasi, yang diarahkan pada kepercayaan ekstrasensori, tetapi dinarasikan dalam perspektif pasca-pencerahan dan dalam model realistik yang biasanya meniadakan kepercayaan tersebut. Faris menyebutkan bahwa keraguan dapat muncul bervariasi sehingga mengaburkan elemen taktereduksi. Keraguan pembaca Barat kontemporer utamanya adalah seringkali antara memahami suatu peristiwa sebagai mimpi tokoh atau halusinasi, jika tidak, dengan memahaminya sebagai suatu keajaiban. Peristiwa-peristiwa dalam realisme magis mungkin tampak seperti mimpi, tetapi peristiwa-peristiwa itu bukan mimpi dan teks dapat secara bersamaan menggoda pembaca untuk mengooptasinya dengan mengategorikannya sebagai mimpi sekaligus melarang kooptasi tersebut. Narasi realisme magis tampak hampir memunculkan kemungkinan penafsiran atas yang dikisahkannya sebagai mimpi dalam upaya mencegah penafsiran itu, setelah pembaca digiring dulu untuk menafsirkannya
sebagai
suatu
kemungkinan.
Strategi
tersebut,
ketika
menenangkan keraguan pembaca, menyebabkan pembaca ragu-ragu (Faris, 2004:17-18).
25
Keraguan takberakhir berkaitan dengan konteks budaya yang diakrabi pembaca, apakah pembaca akrab dengan budaya logis dan empirik yang mengasingkannya dengan logika magis, atau sebaliknya pembaca akrab dengan logika magis sehingga tidak merasa asing terhadap keberadaan yang magis di dalam karya tersebut. Keraguan muncul karena yang magis (tradisional) dinarasikan melalui perspektif (empirik) dan model realisme. Lebih lanjut, Faris (2004: 19) menyebutkan bahwa keraguan disebabkan oleh tiga hal, yaitu pertama, keraguan atas peristiwa-peristiwa yang dinarasikan dalam teks; kedua, keraguan yang ditimbulkan oleh fenomena atau objek tertentu; ketiga, keraguan atas mana yang fakta dan fiksi. Karakter keempat realisme magis adalah penggabungan dua alam atau dunia-dunia. Melalui penarasian yang membaurkan dua alam, realisme magis membuka ruang antara (a space of the in-between) dan ruang ketidakpastian (a space of uncertainty), yaitu ruang-ruang yang mendekatkan atau mempertemukan alam yang berbeda. Menurut Faris (2004: 21), dipandang dari cakupan sejarah kultural, realisme magis kerap menggabungkan dunia tradisional, kuno, asli dengan dunia modern. Secara ontologis dalam teks, penggabungan alam mengintegrasikan yang magis dengan yang material dan secara awam, menyatukan realisme dengan yang fantastik. Narasi realisme magis atas penggabungan alam mungkin dapat dianalogikan seperti pusat dunia yang dalam banyak kepercayaan dibayangkan sebagai penyatuan dunia bawah, bumi, dan surga.
26
Pandangan realis magis dengan demikian berada pada pertemuan dua alam, pada suatu titik imajiner dalam sebuah cermin dua sisi, yang merefleksikan ke arah alam-alam tersebut. Yang magis dan yang nyata sering kali disituasikan di antara alam kehidupan dan alam kematian. Beberapa karya realisme magis memperlihatkan batas yang cair antara dunia orang hidup dan dunia orang mati yang diseberangi. Dengan cara tanpa mediasi, realitas-realitas berbeda disajikan, hal ini berarti bahwa realisme magis juga mengaburkan batas antara fakta dengan fiksi, suatu karakteristik yang memosisikan realisme magis ke dalam posmodernisme (Faris, 2004:21-22). Lebih lanjut, dinyatakan Faris (2004:23) bahwa realisme magis juga mengaburkan batas antara realisme dengan fantastik. Dengan memandang pada acuan, penyampaian unsur taktereduksi atas yang magis mempertanyakan pendefinisian atas dunia secara empirik oleh pengetahuan pascapencerahan. Dengan memandang pada wacana, penyampaian yang magis itu mempertanyakan kode realisme dan teks yang mengedepankan susunan sifat fiksi. Pada dua kasus itu, realisme magis menggugurkan kategori itu sendiri karena menanyakan hubungan antara persepsi susunan secara empirik dengan wacana fiksi yang disusun secara realistik berarti pertanyaan bagi (kategori) yang satu sekaligus bagi (kategori) lainnya. Karakteristik terakhir karya realisme magis adalah gangguan terhadap waktu, ruang, dan identitas (disruptions of time, space, and identity). Faris (2004:24) menjelaskan bahwa karya realisme magis melakukan pengikisan atas keberhasilan realisme sebagaimana yang diungkap oleh Frederic Jameson. Salah
27
satu hal yang telah dicapai realisme adalah “kemunculan ruang dan waktu yang baru” karena homogenitas spasial realisme telah menghapuskan bentuk-bentuk lama dari ruang sakral. Begitu juga pengukuran waktu yang baru dan rutinitas yang dapat diukur telah mengganti “bentuk-bentuk lama dari ritual, yang disakralkan, atau waktu siklus”. Dalam karya realisme magis, bentuk-bentuk hitungan temporal yang dibuang oleh paham modern juga bentuk-bentuk spasial yang diasingkan oleh konsep ruang modern dihadirkan kembali. Beberapa karya realisme magis menggambarkan penyertaan atas yang hampir-disakralkan atau ritual, tetapi ruang sakral tersebut tidak kedapair (baca: dapat ditembus). Yang sakral tersebut mengalami kebocoran melalui penarasian atas yang magis di seluruh teks dan dunia yang digambarkannya, seperti realitas luar yang merembesinya. Lebih lanjut, realisme magis juga mereorientasi kesadaran pembaca tidak hanya mengenai ruang dan waktu, tetapi juga identitas. Dalam penggambaran tentang identitas individu, sifat multivokal naratif dan hibriditas kultural menggapai ke dalam identitas karakter-karakter (Faris, 2004:25). Sifat-sifat tersebut dapat mewujud ke dalam karakter fisik tokoh-tokohnya. Identitas yang dipahami dalam dunia modern sebagai suatu entitas tunggal yang berada dalam diri seseorang dan membedakan dirinya dengan entitas lainnya, mengalami gangguan sehingga tampak bentuk yang berlipat-lipat dalam diri seorang individu (multiply identity). Kelima karakteristik di atas secara keseluruhan mendefinisikan karya realisme magis dan memberikan gambaran mengenai struktur naratif dari karya
28
realisme magis sebagai sebuah teknik naratif yang mempertemukan unsur-unsur magis dan realisme di dalamnya. Melalui kelima karakteristik tersebut kemudian dapat terlihat bagaimana hubungan relasional di antara keduanya, seperti ketumpangtindihan antara peristiwa yang magis dengan yang riil sehingga menimbulkan keraguan, pertemuan yang magis dan riil dalam alam antara, dan gangguan sebagai akibat interaksi unsur-unsur magis terhadap konsep-konsep realisme. Dari hubungan relasional tersebut, dapat diperlihatkan susunan tingkat antarunsur magis dan riil dalam karya realisme magis. Berbeda dengan kecenderungan realisme yang melihat hubungan antara yang magis dan yang riil secara hierarkis, karya realisme magis meletakkan posisi dan hubungan antara keduanya untuk disejajarkan. Dengan demikian, muncul alternatif baru dalam memandang realitas yang menjadikan realisme magis memiliki kecenderungan posmodern. Selain kecenderungan posmodern, akibat cairnya batas antara yang tradisional dengan modern, identitas yang tidak tunggal, dan pencampuran budaya menyebabkan karya realisme magis juga bersinggungan dengan poskolonial dan feminisme. Melalui strategi naratif di dalamnya, yang magis, mitos, dan yang nyata digunakan pengarang untuk mengungkapkan isu-isu penting yang terkait dengan konteks tertentu.
1.6
Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini berdasarkan latar belakang,
perumusan masalah, dan landasan teori di atas ialah bahwa puisi “Gong” karya Nirwan Dewanto
mengandung
fenomena
naratif realisme
magis
yang
29
mempertemukan unsur-unsur magis dan unsur-unsur riil melalui teknik-teknik realisme magis di dalamnya. Unsur-unsur magis dihadirkan tanpa mengabaikan realisme sehingga yang magis tidak menjauh menjadi suatu bentuk narasi fantastis dan asing. Secara kontekstual, realisme magis dengan cara membawa kembali halhal yang termajinalkan, digunakan sebagai alat untuk menyampaikan kritik baik terhadap fenomena sosial maupun tatanan wacana yang hegemonik dalam ranah lokal dan global. Dalam teks Calon Arang, wacana mengenai perempuan menjadi isu yang dikedepankan. Dengan demikian, puisi “Gong” karya Nirwan Dewanto diasumsikan memiliki keterkaitan dengan wacana tertentu mengenai perempuan.
1.7
Metode Penelitian
1.7.1 Data Primer dan Data Sekunder Data Primer yang dijadikan acuan dalam penelitian ini ialah satuansatuan tekstual yang berasal dari puisi “Gong” karya Nirwan Dewanto. Data-data tekstual tersebut dapat berupa satuan-satuan kata, tanda baca, frase, kalimat, baris kalimat, bait ataupun rangkaian peristiwa yang terdapat di dalam puisi tersebut. Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini ialah data yang berasal dari teks-teks yang berada di luar puisi “Gong” yang dianggap terkait. Secara khusus, teks-teks yang dimaksudkan adalah teks-teks tradisional maupun modern yang mengisahkan Calon Arang, dan sumber-sumber penelitian ilmiah lain, jurnal, buku maupun artikel yang dianggap mampu menjelaskan konteks puisi tersebut.
30
1.7.2 Metode Pengumpulan Data Dalam mengumpulkan data primer, satuan-satuan data yang disebutkan sebelumnya dikumpulkan dan dikelompokkan ke dalam dua kategori utama, yaitu kategori data magis dan kategori data riil, yang kemudian dinamai menurut teori Faris sebagai elemen taktereduksi untuk kategori pertama dan dunia fenomenal untuk kategori kedua. Kemudian data-data yang berada dalam dua kategori tersebut dirangkai kembali hubungannya untuk melihat pola relasinya. Bentuk pertama yaitu elemen magis yang bertemu dengan elemen riil yang menimbulkan keraguan yang disebut sebagai the unsettling doubts (keraguan takberakhir). Bentuk kedua adalah saling bercampurnya antara elemen magis dan elemen riil sehingga berada dalam ruang antara (in-between) yang kemudian dinamai merging
realms
(penggabungan
alam).
Kategori
selanjutnya
dibangun
berdasarkan gangguan terhadap nilai-nilai modern tentang waktu, ruang dan identitas yang kemudian dinamai disruptions of time, space, and identity.
1.8
Sistematika Penyajian Penelitian ini disajikan dalam empat bab, dengan sistematika sebagai
berikut. Bab I berupa pendahuluan yang terdiri atas: 1.1 latar belakang; 1.2 rumusan masalah; 1.3 tujuan penelitian; 1.4 tinjauan pustaka; 1.5 landasan teori; 1.6 hipotesis; 1.7 metode penelitian; dan 1.8 sistematika penyajian. Bab II berupa karakteristik dan kadar realisme magis dalam puisi “Gong” yang terdiri atas: 2.1 elemen taktereduksi, yang berisi 2.1.1 tokoh magis, 2.1.2 peristiwa
31
magis; 2.2 dunia fenomenal, yang berisi 2.2.1 tempat nyata, 2.2.2 benda nyata, 2.2.3 tokoh nyata, dan 2.2.4 peristiwa nyata; 2.3 keraguan takberakhir, yang berisi 2.3.1 keraguan takberakhir atas tokoh, 2.3.2 keraguan takberakhir atas peristiwa; 2.4 penggabungan alam, yang berisi 2.4.1 penggabungan alam nyata dan alam magis; 2.5 gangguan atas waktu, ruang, dan identitas, yang berisi 2.5.1 gangguan atas waktu, 2.5.2 gangguan atas ruang, dan 2.5.3 gangguan atas identitas; 2.6 relasi antarelemen; 2.7 kadar realisme magis. Bab III berupa puisi “Gong” dalam konteks, yang berisi 3.1 perempuan dan akhir patriaki; 3.2 posmodernisme di Jakarta: Nirwan Dewanto dalam sastra Indonesia. Bab IV berupa kesimpulan.