BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 1.1.1 Kedatangan Para Misionaris Portugis 1.1.1.1Zaman Momoyama Sejak kedatangan orang Portugis pada awal abad ke-16, agama Kristen mulai mencoba menanamkan pengaruh di Jepang di bawah pimpinan misionaris Xavier. Perkembangan agama Kristen di Jepang mengalami pasang surut, tetapi berkat usaha misionaris penyebaran agama Kristen cukup menggembirakan karena mendapat perlindungan dari Oda Nobunaga seorang Sengoku daimyo. Oda berhasil meluaskan kekuasaannya dan berusaha menyatukan seluruh negeri serta menjatuhkan Muromachi Bakufu. Alasan Oda Nobunaga memberikan dukungan kepada agama Kristen adalah untuk menyaingi agama Budha. Ia merasa pendeta Budha dan pengikutnya menghalangi kekuasaannya
dan
usahanya
untuk
mempersatukan
Jepang.
Ia
juga
ingin
mengembangkan perdagangan dengan luar negeri karena ingin mendapatkan hasil-hasil budaya bernilai tinggi dari Eropa. Akan tetapi pada sebelum penyatuan negeri selesai ia meninggal dunia dan digantikan oleh Toyotomi Hideyoshi. Mulanya ia memberikan kebebasan terhadap agama Kristen, tetapi lama-kelamaan ia merasa para misionaris dan penganut agama Kristen menjadi penghalang kekuasaannya. Maka ia mngeluarkan larangan terhadap penyebaran agama Kristen karena menganggap ajaran pokok Kristen dianggap tidak sesuai dengan kehidupan masyarakat Jepang.
1
Pada tahun 1551, Xavier kembali lagi dan melakukan pengiriman misi selanjutnya guna meneruskan usaha penyebaran agama tersebut. Misi yang dikirim dipimpin oleh Torres, karena misi Torres dinilai cukup berhasil dan dengan perlindungan dari Daimyo Otomo Yoshikazu, akhirnya Torres dapat mendirikan gereja di kota Funai pada tahun 1556. Pada tahun 1559 Gaspel Vilela dan misi lainnya mendatangi Kyoto dan mulai menyebarkan agama Kristen. Pada mulanya masyarakat tidak mau mendengarkan kotbah mereka karena keadaan yang tidak tenang akibat huruhara, tetapi berkat ketekunan dan semangat yang menyala-nyala akhirnya Vilela dapat menarik simpati masyarakat. Melihat perkembangan yang dinilai cukup membahayakan, para pendeta Budha menunjukkan permusuhan terhadap Vilela sehingga semua misi diusir dari Kyoto. Misi Vilela mengganti haluan berpindah ke kota Ubayanagi dan disana mereka membeli sebuah kuil untuk dijadikan gereja. Setelah Vilela gagal di kota Kyoto, Louis Froez datang memasuki daerah Kyoto. Ia pun mendapat perlawanan dari pendeta Budha. Pada tahun 1571 pelabuhan Nagasaki dibuka, dengan terbukanya jalur perdagangan Macau-Nagasaki, maka dengan cepat pelabuhan ini menjadi pelabuhan penting bagi perdagangan Jepang dengan luar negeri. Oleh karena itu kota ini selain menjadi pusat perdagangan juga menjadi pusat penyebaran agama Kristen. Misi Vilela berhasil mendirikan gereja di kota ini. Misi Gaberal melihat jumlah penduduk Nagasaki yang memeluk agama Kristen berkembang pesat, sehingga Gaberal berunding dengan pejabat setempat dan Shogun untuk menjadikan Nagasaki sebagai basis penyebaran agama Kristen untuk waktu mendatang.
2
Pada tahun 1590 keadaan Jepang mengalami perubahan besar sehingga kestabilan agama Kristen di Jepang sangat buruk, hal ini disebabkan karena Toyotomi Hideyoshi mengeluarkan larangan terhadap agama Kristen yang dianggap merusak agama Budha dan Shinto dan menganggap agama Kristen sebagai agama setan dan menganggap para misionaris asing telah merusak nasionalisme Jepang sehingga misionaris diusir dari Jepang. Tindakan Toyotomi Hideyoshi yang pertama adalah menguasai kota Nagasaki dan kota-kota lainnya karena kuatir akan adanya kecenderungan pihak misi untuk menguasai kota-kota tersebut. Tindakan yang lain adalah merampas seluruh muatan kapal Spanyol yang mendarat di pelabuhan Urato. Walaupun demikian misi ordo Jesuit dan ordo Fransisco dengan sembunyi-sembunyi mencoba menyebarkan agama Kristen. kegiatan ini akhirnya diketahui juga oleh Hideyoshi dan dengan segera mengambil tidakan tegas dengan menangkap misi dan oranga Jepang yang ketahuan melakukan kegiatan agama Kristen dan dikenakan hukuman salib bagi mereka.
1.1.1.2 Zaman Tokugawa Setelah Toyotomi Hideyoshi meninggal, muncullah Tokugawa Ieyasu pada tahun 1600. Pada saat itu datanglah kapal Belanda yang pertama berlabuh di Bungo. Ieyasu sadar akan keuntungan yang diperoleh melalui perdagangan dengan orang Eropa, dan tidak begitu memperhatikan penyebaran agama Kristen. Majunya perdagangan merupakan suatu kesempatan bagi para misionaris dalam menyebarkan agama Kristen. Sejak itulah mulai berkembang lagi penyebaran agama Kristen walaupun masih ada larangan tertulis pasal yang dikeluarkan oleh Toyotomi Hideyoshi yang melarang
3
perkembangan agama Kristen. Walaupun demikian agama Kristen berkembang pesat sampai ke seluruh Jepang. Melihat hal itu, Ieyasu mulai khawatir akan kestabilan negerinya sehingga ia melakukan pencegahan terhadap kedatangan misi Kristen ke Jepang dan mengeluarkan larangan terhadap agama Kristen, dan kapal-kapal asing tidak boleh sembarangan berlabuh di sembarang pelabuhan. Pada zaman Tokugawa banyak sekali misi Kristen disiksa dan dijatuhi hukuman mati. Penindasan-penindasan yang dilakukan pemerintah Tokugawa tidak membuat semangat misi luntur bahkan banyak dari mereka yang menjadi martir. Kegiatan penyebaran agama Kristen dilakukan dengan sembunyi-sembunyi (Kakure Kirishitan) Tekanan Bakufu terus berlanjut dan banyak orang Kristen yang meninggal dunia demi agama (Martir). Pada saat pemerintah Tokugawa Iemitsu, melakukan aksi penindasan yang lebih keras kepada pengikut Kristen dan para misionaris, bahkan menghapus agama Kristen karena ia menganggap agama Kristen dapat mempengaruhi pikiran rakyat dan sistem feodal yang dipimpinnya. Pada tahun1641 kantor dagang Belanda yang berada di Hirado dipindahkan ke pulau Dejima di pelabuhan Nagasaki. Pelabuhan ini merupakan satu-satunya pelabuhan yang terbuka untuk perdagangan luar negeri. Berdasarkan hal ini, ia melakukan tindakan menutup Jepang dari seluruh perdagangan luar negeri terutama bangsa Eropa dan Amerika kecuali Belanda dan China karena kedua negara ini dianggap tidak ada kaitannya dengan agama Kristen. Sistem politik ini dikenal dengan nama Sakoku. Politik ini diberlakukan sebagai salah satu faktor untuk mencegah perkembangan agama Kristen di Jepang dan merupakan kebijakan sentralisasi pemerintahan. 4
1.1.2 Kedatangan Kembali Misionaris Pada Zaman Meiji Setelah sekitar dua ratus lima puluh tahun lamanya menutup diri, maka pada tahun 1853, akhirnya Jepang terpaksa menerima kedatangan kapal asing yang dipimpin oleh Komodor M. Perry dari Amerika Serikat di pelabuhan Uraga (Kanagawa-Ken) bersama 4 anak buah kapal yang dilengkapi dengan meriam dan menyebut kapal itu dengan sebutan kurofune (kapal hitam). Pada saat itu Jepang mengadakan perjanjian kerjasama dan persahabatan dengan beberapa negara Barat seperti Amerika, Inggris, Belanda, dan Perancis. Perjanjian yang ada tidak memberikan hak pada orang asing untuk menetap di Jepang dan Jepang masih tetap tertutup untuk misionaris. Meskipun demikian, para misionaris yakin cepat atau lambat Jepang pasti akan membuka diri. Konsul Jenderal Amerika Townsend Harris yang ditugaskan di Jepang berhasil menegosiasikan jaminan keamanan bagi orang asing untuk beribadah. Pada dasarnya pemerintah Jepang tidak mengizinkan kotbah Kristen bagi orang Jepang, tetapi hal itu ditentang Amerika. Orang Barat yakin jika bisa tinggal lama di Jepang pasti akan memiliki kesempatan untuk mengajarkan agama Kristen pada masyarakat Jepang sehingga didatangkan misionaris-misionaris yang berpengalaman ke Jepang walaupun masih ada larangan itu, kegiatan penyebaran agama Kristen dilakukan dengan hati-hati. Kedatangan misionaris dipandang dengan penuh curiga oleh masyarakat sehingga selalu diawasi kegiatannya. Kegiatan yang dilakukan misionaris hanya mengajarkan bahasa saja. Misionaris tinggal dengan orang asing lainnya untuk menghindari dari gangguan penduduk yang bersifat membahayakan.
5
Harris berhasil menegosiasikan dengan pemerintah Jepang melalui perjanjian Jepang-Amerika untuk memberikan kebebasan untuk menjalankan kegiatan agama dan berhak membangun tempat ibadah yang layak serta tidak boleh ada tindakan merusak tempat ibadah dan penghinaan terhadap kegiatan keagamaan. Orang Amerika juga mempunyai kewajiban yang sama terhadap bangunan suci serta kegiatan agama masyarakat Jepang. Perjanjian serupa juga ditandatangani dengan Inggris, Perancis, dan negara lainnya. Tahun 1859, merupakan pertama kalinya agama Kristen masuk kembali ke Jepang. John Liggins dan C.M. Williams diutus oleh badan misionaris Amerika ke Nagasaki. Kemudian Dr. J. C. Hepburn, Samuel Brown, dan Dr. D. Simmons datang ke Kanagawa. Pada tahun itu juga Pendeta Guido Verbeck dari gereja Reformasi Amerika diutus ke Nagasaki. Ia berasal dari Belanda yang dipilih berdasarkan pertimbangan hubungan baik yang sudah berlangsung lama antara Belanda dengan Jepang.
1.1.2.1 Penganut Kristen Pada Zaman Meiji Berkat perjanjian yang telah disepakati oleh Jepang dengan negara-negara Barat yang menjamin kebebasan orang-orang Barat untuk menjalankan ibadahnya, maka hal inilah yang menjadi dasar para misionaris untuk menjalankan tugas misinya dalam menyebarkan agama Kristen di Jepang. Pada tahun 1862 didirikan gereja Kristen yang pertama di Nagasaki. Diikuti dengan pembaptisan orang-orang Jepang. Para misionaris tetap melakukan propaganda yaitu menjalankan tugas misinya dalam menyebarkan agama Kristen sambil melakukan pelayanan sosial dan memberikan pengajaran bahasa asing kepada masyarakat Jepang.Di dalam gereja yang pertama ini orang Jepang yang pertama dibaptis adalah 6
Yano Riuzan, seorang ahli pengobatan yang diutus untuk belajar bahasa Inggris. Berikutnya adalah Murata Wakasa dan Ayabe. Wakasa adalah petugas keamanan yang mengawasi kapal-kapal asing. Teman-teman dan keluarganya juga mengikuti Wakasa untuk dibaptis. Mereka aktif memberikan pengajaran dan pelayanan social, walaupun mendapat tantangan dan tekanan, mereka tetap tidak menyerah. Walaupun sudah banyak orang Jepang menjadi pengikut Kristen, pemerintah Jepang masih saja melakukan tindakan kekerasan dengan menangkap para misionaris asing, tetapi berkat desakan konsul Perancis, maka mereka dibebaskan dengan syarat misionaris tidak boleh menyebarkan agama Kristen kepada orang Jepang. Demi menjaga keselamatan masyarakat, para misionaris membatasi aksi propagandanya. Pemerintah Jepang memberi peringatan kepada rakyatnya untuk tidak mengunjungi gereja. Oleh karena itu mereka melakukan kegiatan ibadahnya dengan cara sembunyi-sembunyi. Tetapi lama-kelamaan umat Kristen tidak memperdulikan larangan pemerintah dan mendatangi gereja, beberapa diantaranya berasal dari daerah lain. Penganut Kristen terus bertambah sehingga untuk melayaninya membutuhkan banyak orang. Hal ini menyebabkan timbul perbedaan dalam cara melayani masyarakat sampai terjadi perselisihan di antara para misionaris. Akhirnya kantor misionaris di Perancis membuat badan yang bertugas mengendalikan para misionaris di Jepang. Pada tahun 1866, M. Petitjean mendirikan gereja di Nagasaki dan menjadi pemimpin gereja. Saat itu sudah ada pembaptisan yang berasal dari Jepang. Sementara pemerintah terus memberikan peringatan dengan melarang orang untuk pergi ke gereja, tetapi masih saja orang datang ke gereja. Pada tahun 1867 terjadi penangkapan besar-besaran terhadap orang Kristen. Melihat hal ini perwakilan dari Amerika dan Perancis melakukan protes keras terhadap 7
tindakan pemerintah Jepang, sehingga pemerintah Jepang berjanji untuk tidak melakukan penangkapan lagi. Tetapi hal itu pun masih saja tetap berlangsung, kenyataannya penangkapan terjadi lagi di desa Omura, mereka ditahan dan diinterogasi. Dalam registrasi penduduk, masyarakat diperintahkan untuk mengisi pernyataan bahwa mereka bukan Kristen dengan ditandai darah mereka sendiri. Bagi mereka yang menolak maka akan dimasukkan ke penjara. Saat itu banyak gereja yang dihancurkan. Demi menjamin keselamatan penduduknya, pemerintah Perancis menunda pengiriman misionaris. Pada tahun 1871, pemerintah Jepang mengadakan kegiatan diplomatik dengan melakukan perjalanan ke Amerika dan Eropa yang dipimpin oleh Iwakura Tomomi dengan tujuan yaitu : 1.
Melakukan penelitian terhadap bentuk-bentuk pemerintahan.
2.
Membicarakan kemungkinan adanya perbaikan perjanjian yang ada. Pemerintah negara barat menggunakan kesempatan ini untuk memprotes
peraturan yang melarang agama Kristen. Negara barat berhasil meyakinkan Iwakura bahwa perjanjian untuk memberikan kebebasan terhadap agama Kristen merupakan syarat untuk memperbaiki perjanjian dan hubungan diplomatik dengan negara-negara barat.
Bahkan
Badan
Misionaris
Amerika
mendesak
pemerintahnya
untuk
mencantumkan pasal tentang kebebasan beragama jika ada perbaikan perjanjian. Dengan segera berita ini disampaikan ke Jepang pentingnya diberlakukan kebebasan beragama di Jepang untuk membina hubungan dengan negara-negara barat. Tahun 1872, kuasa Jepang di Amerika yaitu Mori Arinori mempersiapkan surat yang akan melengkapi undang-undang tentang kebebasan beragama. Isinya antara lain
8
menyatakan bahwa kebebasan beragama akan diberlakukan, dan pemerintah melepaskan diri dari urusan agama serta setiap agama akan diperlakukan sama. Tahun 1873, pemerintah Jepang membubarkan badan resmi yang bertugas melarang agama Kristen dan menghapus larangan terhadap agama Kristen. Penghapusan larangan ini memang merupakan tekanan dari luar yang berhubungan dengan masalah hubungan diplomatik. Pencabutan larangan terhadap agama Kristen diikuti dengan beberapa perubahan kebijakan pemerintah yang menunjukkan bahwa agama Kristen secara tidak langsung telah diakui oleh pemerintah Jepang.
1.2 Rumusan Permasalahan Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis ingin mengemukakan dalam skripsi ini yaitu bagaimana para misionaris luar menjalankan tugas misinya yaitu menyebarkan agama Kristen di negara Jepang yang memiliki tradisi yang kuat dalam agamanya. Agama Shinto dan Budha sangat bertolak belakang dengan agama Kristen dalam tata cara maupun ajarannya. Masyarakat Jepang sangat menghormati dan setia kepada tradisi yang dijalaninya. Pada awal abad ke-19 Jepang mengalami modernisasi. Agama Kristen mulai mempengaruhi mereka. Walaupun demikian, agama kepercayaannya tetap kuat karena mereka tidak bisa terlepas dari tata cara upacara agama mereka. Tetapi pada kenyataannya, mereka menganggap agama sebagai adat atau kebiasaan. Mereka merasa repot jika memasuki salah satu organisasi agama yang dikendalikan oleh ajaran tertentu. Pengunjung tempat ibadah pada saat merayakan datangnya tahun baru yang biasa dilakukan oleh kebanyakan orang Jepang. Pada upacara menjemput roh nenek moyang 9
yang kembali ke rumahnya, kebanyakan orang Jepang mudik untuk ikut upacara itu. Tetapi praktiknya ini dianggap sebagai adat atau kebiasaan bukan sebagai agama.
1.3 Ruang Lingkup Permasalahan Dalam penyusunan skripsi ini, penulis hanya mengkaji perjuangan dan kegiatan misionaris luar di Jepang pada zaman Meiji dalam menghadapi tekanan dan tradisi Jepang yang begitu kuat, tetapi penulis tidak membahas agama tradisi itu sendiri.
1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian Berdasarkan masalah yang dikemukakan, maka tujuan penulisan skripsi ini adalah penulis ingin mengetahui usaha-usaha yang dilakukan misionaris asing dalam menyebarkan agama Kristen di Jepang pada awal zaman Meiji.
1.5 Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah metode kepustakaan dan metode deskriptif. Pada saat pengumpulan data, penulis menggunakan metode kepustakaan yaitu dengan cara mengumpulkan data dari perpustakaan Japan Foundation dan perpustakaan Universitas Indonesia, artikel–artikel dari internet, dan teman-teman. Setelah mendapatkan data pustaka, tahap selanjutnya saya mendeskripsikan dan menganalisanya.
1.6 Sistematika Penulisan Saya akan menempatkan Bab 1 sebagai pendahuluan karena pada bab 1 menjelaskan latar belakang topik penelitian saya, yang berisi masalah dan ruang lingkup 10
permasalahan yang ingin saya bahas pada skripsi ini. Untuk memecahkan permasalahan yang muncul pada latar belakang pada bab 1, maka saya menempatkan kerangka teori pada bab 2, sehingga pada bab 3 saya dapat membahas permasalahan dan mencari jawaban permasalahan. Terakhir saya akan mengambil kesimpulan dari hasil penelitian dyang saya tempatkan pada bab 4. BAB I Pendahuluan Pada bab ini akan diuraikan mengenai Latar Belakang, Permasalahan dan Ruang Lingkup, Tujuan Penelitian, Metode Penelitian, Sistematika Penelitian. BAB II Kerangka Teori Pada bab ini akan diuraikan teori Modernisasi, peradaban dengan pemikiran tokoh Kristen Jepang yaitu Uchimura Kanzo , Fukuzawa Yukichi. BAB III Analisis Masalah Dalam bab ini dibahas tentang analisis hubungan modernisasi dengan perkembangan agama Kristen pada zaman Meiji BAB IV Simpulan dan Saran Pada bab ini memuat kesimpulan dari keseluruhan bab tentang jawaban permasalahan yaitu perjuangan yang dilakukan para misionaris asing di Jepang pada zaman Meiji. Serta saran yang menunjang bagi penelitian selanjutnya mengenai perjuangan misionaris dalam menghadapi agama tradisional di Jepang.
11