BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Penelitian Kehadiran sastra tulis Melayu dapat dilacak hingga abad ke-7 berdasarkan penemuan tulisan dengan huruf Pallawa pada batu di Kedukan Bukit (683), Talang Tuwo (684), Kota Kapur (686). Penemuan prasasti-prasasti ini dipandang sebagai permulaan tradisi sastra tulis di tanah Melayu. Pada abad ke-15 ditemukan dua prasasti di Malaysia, sebagian besar ditulis dalam bahasa Arab. Prasastiprasasti yang ditemukan tahun 1500-an tersebut seperti terlihat pada tumbuhnya sastra tulis keraton yang disebut hikayat (Sulastrin-Sutrisno, 2007:229). Hasil sastra Melayu sebelum kebudayaan Islam masuk ke kawasan Nusantara sebagian besar bertemakan cerita Hindu. Isi cerita biasanya merupakan hasil fantasi yang bercampur dengan peristiwa sejarah yang telah diingat lagi (Asdi, 1981:21). Setelah agama Islam masuk ke Nusantara, masuk pula perbendaharaan kata-kata Islam, seperti jin, setan, dan malaikat. Sedikit demi sedikit Islam memberi corak baru dalam kesusastraan Melayu. Cerita yang semula penuh dengan unsur Hindu disisipi dengan unsur Islam (Istanti, 2010:37-38). Perkembangan agama Islam yang pesat di Nusantara sebenarnya bertalian dengan perkembangan Islam di dunia. Pada tahun 1196, Gujarat ditaklukkan oleh Islam. Orang-orang Gujarat yang datang untuk berdagang di Nusantara tidak hanya terdiri atas orang Hindu saja, tetapi juga orang-orang Islam yang mungkin
1
2
berbangsa lain. Pada tahun 1258, Baghdad jatuh ke tangan orang Mongol dan karena hal itu perdagangan darat juga terhenti. Orang-orang Islam mulai berlayar lagi ke negeri-negeri yang jauh di Timur. Kedua faktor ini menyebabkan Islam berkembang dengan pesat sejak abad ke-13 (Liaw Yock Fang, 2011:234). Orang-orang Gujarat datang ke Nusantara tidak hanya untuk berdagang, tetapi juga membawa teks-teks literasi dari Timur Tengah, baik berupa teks keagamaan maupun teks sastra. Pada masa itu terdapat aktivitas penerjemahan dari teks-teks sastra Persia dan epos tentang tokoh-tokoh keagamaan seperti para nabi yang kemudian memunculkan beberapa hikayat, misalnya hikayat Anbiya, Amir Hamzah, dan Ali Hanafiah. Pengaruh penerjemahan tidak hanya terjadi dalam hal bahasa, tetapi juga dari segi isi cerita. Isi cerita pada hikayat telah bercampur dengan nilai-nilai Islam. Proses akulturasi ini melahirkan cerita-cerita yang bernapaskan Islam. Naskah-naskah yang isinya kesusastraan dan beredar di masyarakat biasanya memiliki varian yang banyak. Semakin populer naskah itu, semakin banyak juga variannya (Hadi dan Aveling, 2016:2). Kata hikayat berasal dari bahasa Arab yang berarti „cerita‟. Hikayat adalah jenis sastra yang menggunakan bahasa Melayu sebagai wahananya (Hooykas dalam Baroroh, dkk., 1985:4). Penggunaan kata ini dalam sastra Melayu merupakan petunjuk bahwa unsur Islam telah masuk ke tradisi sastra tulis Melayu, sebagaimana terdapatnya tulisan Arab pada prasasti Trengganu. Sebagai jenis sastra, hikayat sudah ada di kalangan masyarakat Melayu tahun 1511 (Roolvink dalam Sulastin-Sutrisno, 2007:230).
3
Pengertian hikayat dalam dalam sastra Indonesia adalah (a) bersifat sastra lama, (b) ditulis dalam bahasa Melayu, (c) sebagian besar kandungan ceritanya berkisar dalam kehidupan istana, (d) unsur rekaan merupakan ciri yang menonjol, dan (e) hikayat mencakup bentuk prosa yang panjang (Baroroh Barried dkk., 1985:9). Hikayat dalam sastra Melayu dituliskan dalam bentuk prosa (berbeda dengan hikayat dalam sastra Aceh yang berbentuk puisi) dengan huruf Arab Melayu atau huruf Jawi, yaitu huruf yang dipakai untuk menulis bahasa Melayu (Roolvink dalam Sulastrin- Sutrisno, 2007:230). Salah satu karakteristik hikayat yang bercorak Islam adalah adanya kemiripan dengan potongan cerita kitab-kitab yang memiliki ajaran tentang Islam. Kitab adalah sebuah karangan yang ditujukan kepada orang yang ahli dan oleh itu hampir-hampir tidak mengindahkan nilai-nilai seni (Braginsky, 1994:4). Kemiripan dengan potongan cerita kitab ini mungkin terjadi karena mengikuti tradisi Islam yang berkembang. Tradisi ini hidup pada masyarakat ahlushunnah wal jama’ah yang tersebar di banyak daerah di Nusantara. Salah satu contoh hikayat bercorak Islam adalah Hikayat Sultan Ibrahim Ibn Adham. Dalam hikayat Hikayat Sultan Ibrahim Ibn Adham diceritakan bahwa ajaran Tuhan dan alam akhirat mempunyai sifat kekal, sedangkan dunia adalah fana (Baroroh-Barried dkk, 1985:65). Ibrahim Ibn Adham adalah seorang ahli sufi yang dilahirkan di Negeri Balk (sekarang Afghanistan) pada tahun 730 Masehi. Pada tahun 748 beliau pindah ke Syria dan hidup sebagai seorang sufi lebih dari seperempat abad. Seperti kaum sufi yang lain, Ibrahim Ibn Adham selalu berhatihati dalam memakan makanan yang halal menurut agama. Menghalalkan buah
4
delima yang dimakan inilah yang menjadi tema Hikayat Sultan Ibrahim Ibn Adham (Liaw Yock Fang, 2011:328). Menurut Liaw Yock Fang, cerita Ibrahim Ibn Adham adalah cerita yang sangat terkenal di dunia Islam. Cerita ini terdapat dalam bahasa Arab, Parsi, Turki, dan bahasa Hindi. Hikayat ini juga terdapat dalam bahasa Melayu, Jawa, Sunda, Bugis, dan Aceh. Meskipun demikian, cerita Ibrahim Ibn Adham dalam bahasa Melayu bukanlah saduran dari bahasa asing, melainkan ciptaan asli dalam bahasa Melayu. Tidak dapat dinafikan, bahan-bahan dalam bahasa asing telah dipakai sebagai sumber. Ini adalah pendapat Russel Jones yang pernah mengkaji semua naskah Hikayat Sultan Ibrahim dalam bahasa Melayu untuk mendapat gelar Ph.D.-nya di London University, tahun 1969 (Jones, 1985). Menurut Russel Jones, paling sedikit ada tiga versi Hikayat Sultan Ibrahim dalam bahasa Melayu (Jones, 1968:8-9). Ketiga versi cerita tersebut adalah sebagai berikut. a. Cerita Sultan Ibrahim yang terdapat dalam Bustanus Salatin Bab IV, Pasal 1, hasil karya Nur al-Din al-Raniri pada tahun 1640 di Aceh. Versi ini telah disunting oleh Russel Jones dan diterbitkan oleh Dewan Bahasa dan Pustaka, 1974. b. Versi panjang, kira-kira 125 halaman, belum diterbitkan. c. Versi ringkas yang diterbitkan oleh Roorda van Eysinga pada tahun 1822, kemudian berkali-kali dicetak ulang. Versi ini juga berjudul Hikayat Sultan Ibrahim.
5
Bustanus Salatin Bab IV, Pasal 1, memuat 25 cerita tentang Ibrahim Ibn Adham di dalam dunia Islam. Cerita ini menggambarkan pahala bertapa, bertobat, berbuat amal kebajikan kepada Allah, dan percaya kepada Allah. Tiga perempat dari cerita ini bersumber dari Raud al-Rayahin yang disusun oleh al-Yafi‟i (Liaw Yock Fang, 2011:328). Di samping itu, versi panjang juga lebih banyak memuat ajaran daripada versi ringkas. Dalam versi panjang, misalnya, diceritakan mengapa doa seseorang tidak diterima oleh Allah. Tatkala ditangkap oleh kaum Badul dalam perjalanan ke Makkah, Sultan Ibrahim menerangkan bahwa bekal yang dibawanya hanyalah sabar, syukur, tawakal, dan rida. Keempat naskah versi panjang yang diselidiki Russel Jones berasal dari tahun yang berlainan, antara tahun 1775 dan 1880. Akan tetapi, hikayat itu pasti berasal dari usia yang jauh lebih tua. Menurut Liaw Yock Fang (2011:329), semua naskah itu menyebutkan seorang Syaikh Abu Bakar dari Hadramaut sebagai penceritanya. Sebagai hikayat yang memiliki banyak versi, Hikayat Sultan Ibrahim merupakan hikayat yang sangat kompleks. Oleh karena itu, untuk memahaminya perlu dianalisis sehingga dapat diketahui bagian-bagian serta jalinannya secara nyata yang berhubungan dengan ajaran tasawuf melalui hubungan intertekstual. Selain itu, hikayat harus dipahami sebagai struktur norma-norma. Hal ini juga berarti bahwa menganalisis hikayat sama dengan memahami makna hikayat. Karya sastra merupakan sistem tanda yang memiliki makna yang bermedium bahasa sehingga perlu adanya sebuah analisis terhadap Hikayat Sultan Ibrahim Ibn Adham berdasarkan hubungan intertekstual.
6
Prinsip intertekstual ialah bahwa setiap teks harus dibaca dengan latar belakang teks-teks lain, sebab tidak ada sebuah teks pun yang sungguh-sungguh mandiri (Istanti, 2010:49). Istilah intertekstual pada umumnya dipahami sebagai hubungan suatu teks dengan teks lain. Menurut Kristeva (1980:66), setiap teks merupakan sebuah mozaik kutipan-kutipan serta merupakan penyerapan dan transformasi dari teks-teks yang lainnya. Intertekstualitas dalam hal ini tidak hanya berkaitan dengan munculnya teks dari 'teks sosial', tetapi juga kelangsungannya dalam masyarakat dan sejarah. Sebuah teks, struktur, dan makna tidak spesifik untuk dirinya sendiri.
2.
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, berikut ini adalah beberapa masalah
yang perlu dikaji: 2.1
Bagaimanakah kedudukan Hikayat Sultan Ibrahim Ibn Adham dalam tradisi Sastra Melayu?
2.2
Bagaimanakah hubungan intertekstualitas dalam Hikayat Sultan Ibrahim Ibn Adham?
3.
Tujuan Penelitian Penelitian terhadap Hikayat Sultan Ibrahim Ibn Adham ini secara garis
besar memiliki dua tujuan, yaitu tujuan praktis dan tujuan teoretis. Tujuan praktis penelitian ini adalah menjelaskan kedudukan Hikayat Sultan Ibrahim Ibn Adham dalam tradisi sastra Melayu Islam. Selain itu, hasil informasi yang diperoleh dari
7
penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan sumbangan bagi peneliti lain yang ingin memahami Hikayat Sultan Ibrahim Ibn Adham secara lebih lanjut. Adapun tujuan teoretis penelitian ini adalah menerapkan analisis intertekstual Julia Kristeva, yaitu menjelaskan hubungan intertekstual antara Hikayat Sultan Ibrahim Ibn Adham dengan teks keagamaan. Analisis ini digunakan untuk menentukan telaah intertekstual dari teori ideologeme pandangan Kristeva. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan hal yang baru di lembaga pendidikan dan mampu memberikan informasi bagi masyarakat luas dalam memahami Hikayat Sultan Ibrahim Ibn Adham.
4.
Tinjauan Pustaka Berdasarkan pencarian terhadap hasil-hasil penelitian yang ada di Fakultas
Ilmu Budaya dan Perpustakaan Pusat Universitas Gadjah Mada, serta penelusuran di laman internet, sepengetahuan penulis, naskah Hikayat Sultan Ibrahim Ibn Adham pernah diteliti oleh Danang Susena dalam tesisnya yang berjudul “Hikayat Sultan Ibrahim Ibn Adham: Suntingan Teks dan Tinjauan Semiotik” (2000). Dalam penelitian itu dibahas mengenai pernaskahan dan penyuntingan teks Hikayat Sultan Ibrahim Ibn Adham berdasarkan teori filologi modern dengan cara kerja menyunting naskah dan analisis teks berdasarkan teori semiotika Riffatere. Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa signifikansi teks dapat dilihat melalui pembacaan hermeneutik dan pembacaan heuristik. Penelitian lain dilakukan oleh Lalu Zaenal Abidin dengan judul “Asketisisme dalam Islam (Telaah Historis atas Praktik Zuhud Sultan Ibrahim Ibn
8
Adham)” (2003). Penelitian ini membahas perihal asketisisme dalam Islam dan praktik zuhud Sultan Ibrahim Ibn Adham. Selain itu juga dibahas kronologi Sultan Ibrahim mendalami tasawuf dan cerita Sultan Ibrahim dapat disebut sebagai tokoh asketis pada masanya. Hasil penelitian ini menunjukan bentuk-bentuk corak keasketisisan Sultan Ibrahim, seperti halnya praktik zuhud yaitu memiliki rasa takut terhadap Allah dan meninggalkan hal keduniawian. Adapun teori intertekstual Julia Kristeva juga sering digunakan untuk menganalisis karya sastra. Penelitian yang menggunakan teori intertekstual Julia Kristeva adalah penelitian Islahuddin dengan judul “Novel Asywak Karya Sayyid Quthb Kajian Intertekstual Julia Kristeva” (2012). Penelitian ini membahas bentuk-bentuk hubungan intertekstual tata sosial keagamaan antara Novel Asywak dengan teks keagamaan. Hasil penelitian ini menunjukan tata sosial keagamaan dalam teks yang mengalami pergeseran budaya pada masyarakat Mesir. Adanya globalisasi dan modernitas menyebabkan masyarakat Mesir memisahkan antara agama dengan kehidupan sosial budaya. Selanjutnya, penelitian yang menggunakan teori intertekstual dilakukan oleh Yaswinda Feronica dengan judul “Hikayat Malim Deman Analisis Intertekstual” (2014). Penelitian ini membahas hubungan intertekstual antara Hikayat Malim Deman dengan Legenda Jaka Tarub, Lahilote, dan Telaga Bidadari. Hasil penelitian ini membuktikan adanya hubungan intertekstual yang berupa modifikasi struktur cerita, seperti alur, motif, penokohan, latar, dan tema yang berupa transformasi teks-teks sosial budaya masyarakat pendukungnya ke dalam masing-masing teks cerita.
9
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dibuktikan bahwa penelitian dengan judul “Hikayat Sultan Ibrahim Ibn Adham: Analisis Intertekstual Julia Kristeva” belum pernah dilakukan sebelumnya. Dalam penelitian ini akan ditinjau penerapan teori intertekstualitas. Oleh karena itu, penelitian terhadap Hikayat Sultan Ibrahim Ibn Adham perlu dilakukan dan diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai suatu penelitian yang baru.
5.
Landasan Teori Penelitian Hikayat Sultan Ibrahim Ibn Adham ini dilakukan dengan teori
intertekstual. Pendekatan intertekstual pertama kalinya diilhami dari gagasan pemikiran Mikhail Bakhtin, seorang filsuf Rusia yang mempunyai minat besar pada sastra. Menurut Bakhtin, pendekatan intertekstual menekankan pengertian bahwa sebuah teks sastra dipandang sebagai tulisan sisipan atau cangkokan pada kerangka teks-teks sastra lain, seperti tradisi, jenis sastra, parodi, acuan atau kutipan
(Noor,
2007:4–5).
Pendekatan
intertekstual
tersebut
kemudian
diperkenalkan atau dikembangkan oleh Julia Kristeva. Intertekstual pada umumnya dipahami sebagai hubungan suatu teks dengan teks lain. Menurut Kristeva (1980:66) tiap teks merupakan sebuah mozaik kutipan-kutipan dan tiap teks merupakan penyerapan serta transformasi dari teks-teks lain. Kristeva berpendapat bahwa setiap teks terjalin dari kutipan, peresapan, dan transformasi teks-teks lain. Sewaktu pengarang menulis sebuah teks, pengarang akan mengambil komponen-komponen teks yang lain sebagai bahan dasar untuk
10
penciptaan karyanya. Semua itu disusun dan diberi warna dengan penyesuaian dan jika perlu ditambah supaya menjadi sebuah karya yang utuh. Menurut Kristeva (1980:15) konsep intertekstual pada umumnya telah disalahpahami. Konsep ini tidak ada hubunganya dengan masalah pengaruh satu penulis dengan penulis yang lain, atau sumber karya sastra yang satu terhadap karya sastra yang lain. Konsep ini melibatkan komponen sistem teks yang terdapat dalam sebuah karya sastra. Ini menyebabkan adanya interposisi satu atau lebih sistem tanda ke sistem tanda yang lain disertai dengan pengucapan baru. Setiap sistem adalah praktik yang menandakan berbagai jalan seperti transposisi. Lebih lanjut, Kristeva (1980:18) menegaskan bahwa setiap pengarang tidak hanya membaca teks itu secara sendiri, tetapi pengarang membacanya berdampingan dengan teks-teks yang lain sehingga pemahaman terhadap teks yang telah terbit setelah pembacaan tidak dapat dipisahkan dari teks-teks lain tersebut. Kehadiran teks-teks lain dalam keseluruhan hubungan ini bukanlah sesuatu yang polos (innoncent) yang tidak mengikuti suatu proses pembacaan atau suatu signifiying process. Intertekstual merupakan pengembangan dari teori semiotika kontemporer yang mengambil objek dari beberapa praktik semiotik yang dianggap sebagai translinguistik yang beroperasi melalui bahasa umum dan tidak dapat mengurangi kategorinya sebagaimana yang saat ini telah ditetapkan. Dalam perspektif ini, teks didefinisikan sebagai alat translinguistik yang mendistribusikan kembali urutan bahasa dan menghubungkan kemampuan berbicara yang komunikatif. Teori ini menyebutkan penulis dalam menulis teks karya sastra tidak menulis dari pikiran
11
mereka sendiri, tetapi teks hasil tulisan tersebut adalah kompilasi dari teks sebelum membuat teks karya sastra tersebut (Kristeva, 1980: 36). Teks selanjutnya merupakan praktik dan produktivitas yang berarti: 1) bahwa hubunganya dengan bahasa keadaannya merupakan redistributive (destruktif-konstruktif) dan menjadi kategori-kategori logis dan linguistik. Artinya, status intertekstualnya merupakan strukturasi kata dan ucapan-ucapan yang ada sebelumnya dan akan terus digunakan setelah saat pengujaran; 2) teks merupakan permutasi teks. Artinya, adanya teks tersebut merupakan ucapan yang diambil dari teks-teks lain, saling menyilang, dan menetralisasi satu sama yang lain. Lebih jelasnya, teks-teks yang terdiri dari potongan-potongan teks sosial dan budaya menandakan proses berlangsungnya perjuangan ideologeme dan ketegangan yang menjadi karakter bahasa dan wacana dalam masyarakat yang akan terus bergema dalam teks tersebut (Kristeva, 1980:36). Menurut Kristeva (1980:36) teks bukanlah objek individu terpisah, melainkan kompilasi dari teks yang terdapat di dalam karya sastra dan teks yang terdapat di luar karya sastra yang tidak dapat dipisahkan di antara keduanya. Teks tidak dapat dipisahkan dari kondisi budaya dan sosial saat teks tersebut diciptakan. Dalam pembuatan teks terdapat ideologeme dan perjuangan penulis di masyarakat. Lebih lanjut, Kristeva (1980:36) menjelaskan ideologeme sebagai persilangan dari pengaturan susunan teks dengan ucapan-ucapan yang ada dalam ruangnya sendiri atau merujuk pada ruang teks-teks luar. Ideologeme merupakan fungsi baca intertekstual sebagai sesuatu yang terwujud di tingkat struktural yang
12
berbeda dari setiap teks dan membentang pada seluruh lintasan atau alur; memberikan keselarasan antara sejarah dan sosial. Menurut Kristeva (1980:37), dalam melihat sebuah karya sastra sebagai sebuah teks, teks adalah praktik semiotik dengan pola-pola yang dipersatukan dari beberapa ucapan yang dapat dibaca. Sebuah teks dapat dianalisis dengan terlebih dahulu memahami fungsi yang menggabungkan fungsi-fungsi ke dalam teks. Fungsi tersebut merupakan sebuah variabel terikat yang ditentukan bersama dengan variabel independen yang berhubungan satu sama lain. Secara singkat, dapat dikatakan ada penyesuaian antara kata-kata atau urutan kata dalam teks. Oleh karena itu, dalam menganalisis sebuah karya sastra terlebih dahulu harus memahami ucapan-ucapan dalam teks secara menyeluruh, kemudian dilanjutkan dengan proses menyelidiki asal-usul dari luar teks. Hanya dengan cara tersebut sebuah teks dapat didefinisikan ideologeme-nya. Dengan demikian, fungsi didefinisikan sesuai dengan seperangkat teks yang mengambil nilai dalam seperangkat tekstual karya sastra. Ideologeme inilah yang dapat didefinisikan sebagai fungsi intertekstual yang sesuai dengan teks dan memiliki nilai tekstual dalam sebuah teks maupun hikayat. Lebih lanjut, Kriteva (1980:38) menjelasakan dua macam analisis untuk mengetahui ideologeme dalam karya sastra, yaitu: 1) analisis suprasegmental dari ucapan-ucapan yang terdapat dalam kerangka karya sastra yang akan mengungkap keberadaanya sebagai sebuah teks terbatas (dengan pemrograman awal, akhir yang sewenang-wenang, pembentukan, penyimpangan, dan rangkainya); 2)
13
analisis intertekstual dari ucapan-ucapan yang akan mengungkapkan hubungan antara tulisan dengan ucapan dalam teks. Selanjutnya, untuk dapat mengetahui ideologeme, terlebih dahulu harus memahami tentang ideologeme dalam tanda. Ideologeme dalam tanda, secara umum seperti ideologeme symbol, yaitu tanda yang dualis, hierarkis, dan penghierarkisan. Perbedaan antara tanda dan simbol dapat dilihat secara vertikal maupun secara horizontal. Dalam fungsi vertikal, tanda mengacu pada entitas baik yang kurang cakupannya dan lebih diwujudkan daripada simbol. Dalam fungsi horizontal, satuan praktik tanda semiotik diartikulasikan sebagai rangkaian metonomikal (tidak langsung) dari penyimpangan norma penandaan sebuah penciptaan progresif metafora-metafora (dengan maksud yang lain) (Kristeva, 1980:40–41). Kristeva (1980:65) menjelaskan konsep kata dalam sastra sebagai sebuah persilangan dari permukaan tekstual dan tidak memilih arti yang tetap. Kristeva menyebutkan dalam sastra terdapat dialog antara penulis, pembaca budaya kontemporer, atau budaya sebelumnya. Proses ini berlangsung ketika teks yang terdapat dalam sejarah dan masyarakat dibaca oleh penulis, kemudian penulis tersebut menyisipkan dengan menulis ulang teks tersebut. Ada tiga dimensi yang menyeleraskan dialog, yaitu penulis, penerima, dan teks-teks eksterior. Status kata didefinisikan dengan cara 1) horizontal (kata dalam teks milik kedua subjek tulisan dan penerima), artinya komunikasi antara pengarang dan pembaca terus berlangsung hingga pembaca terakhir; 2) vertikal (kata dalam teks diorientasikan pada sebuah kumpulan tulisan sastra anterior atau
14
sinkronik), artinya penulis menyampaikan kepada pembaca dan pada saat yang sama kata-kata atau teks berkomunikasi tentang keberadaan teks masa lalu dalam teks tersebut (Kristeva, 1980:65). Kristeva (1980:66) menjelaskan tentang poros atau sumbu horizontal (subjek-penerima) dan sumbu vertikal (teks-konteks) yang mengarah pada sebuah fakta penting, yaitu bahwa setiap kata (teks) adalah persilangan kata (teks) dengan setidaknya satu kata lain (teks) yang dapat dibaca. Dalam karya Bakhtin, dua poros atau sumbu yang disebut dialog dan ambivalensi ini tidak dapat dibedakan secara jelas. Teks disusun sebagai sebuah kutipan mozaik. Teks adalah penyerapan dan transformasi dari teks yang lain. Kata disusun sebagai unit tekstual terkecil yang selanjutnya menempati status sebagai: 1) mediator yang artinya teks tersebut menghubungkan model struktural pada lingkungan budaya (sejarah); 2) regulator yang artinya mengendalikan mutasi dari diakronik ke sinkronik yang berfungsi dalam tiga dimensi (subjek-penerima-konteks) sebagai salah satu perangkat dialogis. Adapun prosedur kerja kata adalah sebagai bagian dari translinguistik, yaitu: 1) memahami sastra sebagai sistem semiologi tidak sempurna, yaitu penandaan di bawah permukaan bahasa tetapi tidak pernah tanpa itu; 2) menemukan hubungan antara unit-unit naratif yang lebih besar seperti kalimat, pertanyaan dan jawaban, dialog, dan sebagainnya. Hal ini berarti bahwa setiap evolusi genre sastra adalah sebuah ketidaksadaran eksteriorisasi dari struktur linguistik pada tingkatan yang berbeda (Kristeva, 1980:66).
15
Kristeva (1980:67) terpengaruh oleh pandangan Mikhail Bakhtin tentang konsep dialogis. Kesamaan pemikiran keduanya adalah bahwa teks tidak dapat dipisahkan dari tekstualitas sosiokultural yang lebih luas dari sumbernya. Lebih lanjut, Kristeva (1980:68) memaparkan perbedaan pemikiran keduanya, yaitu terletak pada posisi subjek. Jika Bakhtin berpusat pada manusia sebagai subjek aktual yang menggunakan bahasa sebagai situasi sosial yang khusus, Kristeva mengaburkan subjek manusia agar tempatnya dapat diberikan kepada kata-kata yang lebih abstrak dan tekstualitas. Dapat disimpulkan bahwa konsep teks merupakan realita berwajah ganda, yaitu adanya dialog penulisan dan pembacaan (Kristeva, 1980:69). Berdasar pada uraian di atas, dalam memahami intertekstual terlebih dahulu harus memahami ideologeme. Untuk dapat mendapatkan ideologeme dalam teks dapat dilakukan dengan dua analisis, yaitu analisis suprasegmental dan analisis intertekstual. Analisis intertekstual dilakukan dengan cara memahami dialog dalam teks. Selanjutnya, terdapat tiga konsep dasar dalam dialog yang dikembangkan oleh Kristeva terkait intertekstual, yaitu: 1) konsep transposisi yang menyebutkan adanya transposisi teks dari satu atau lebih sistem tanda ke sistem tanda yang lain, disertai dengan pengucapan baru. Setiap sistem adalah praktik yang menandakan berbagai jalan, seperti transposisi bahasa puitik yang merupakan kode yang tidak terbatas, artinya teks dapat bermakna jika dilakukan pemaknaan terhadap teks tersebut; 2) konsep oposisi, yaitu adanya jaringan persilangan ganda dan selalu memungkinan adanya persilangan (kejutaan dalam struktur narasi), yang memberikan ilusi suatu struktur terbuka dan tidak mungkin
16
selesai dengan akhir yang sewenang-wenang; 3) konsep transformasi yang menyebutkan bahwa teks disusun sebagai kutipan mozaik, teks adalah penyerapan dan transformasi dari teks yang lain. Namun demikian, penelitan ini hanya difokuskan pada dua konsep dialog Julia Kristeva, yaitu konsep oposisi dan konsep transformasi. Kedua konsep tersebut dipilih karena lebih komprehensif dengan tujuan penelitian ini. Secara teoretis, penerapan teori intertekstual perlu ditinjau dari segi pemaknaan teks dengan tradisi yang ada dalam cerita ini. Dalam bagian ini juga diuraikan perbedaan antara struktur Hikayat Sultan Ibrahim Ibn Adam dengan ajaran tasawuf. Hubungan antara tradisi sufi Irak dan sufi Nusantara tidak jauh berbeda, mengingat hikayat tersebut berasal dari Irak. Pemaknaan teks juga sangat diperlukan dalam penelitian ini.
6. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam analisis Hikayat Ibrahim Ibn Adham adalah metode kualitatif. Metode kualitatif merupakan metode penelitian yang memahami fenomena yang dialami subjek penelitian seperti perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa dan pada suatu konteks khusus yang alamiah (Moleong, 1989:6). Dengan metode kualitatif, penulis dapat melihat karakteristik secara umum dalam Hikayat Ibrahim Ibn Adham . Langkah-langkah penelitian ini ialah sebagai berikut:
17
a. menentukan Hikayat Sultan Ibrahim Ibn Adham suntingan Russel Jones sebagai objek penelitian (pemilihan objek didasarkan pada kriteria teks yang sudah ditransliterasi dengan tiga bahasa), b. melakukan pembacaan teks Hikayat Ibrahim Ibn Adham secara berulang, c. melakukan analisis Hikayat Ibrahim Ibn Adham dengan teori intertekstual (dalam penelitian ini memakai teori intertekstual Julia Kristeva), d. klasifikasi data berdasarkan episode-episode yang memiliki hubungan intertekstual, e. memaparkan hasil penelitian dalam bentuk laporan deskriptif, dan f. memberikan hasil penelitian dalam bentuk kesimpulan.
7. Sistematika Laporan Penelitian Penelitian Hikayat Sultan Ibrahim Ibh Adham disajikan dalam empat bab. Bab I berisi pendahuluan yang mencakup latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pusataka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika laporan penelitian. Bab II berisi tentang sastra bercorak tasawuf, perkembangan Sastra Melayu awal Islam, sastra kitab, cerita Alquran, pengertian tasawuf, dan hubungan kesusasteraan Melayu dengan tasawuf. Bab III adalah analisis Hikayat Ibrahim Ibn Adham dengan teori intertekstual Julia Kristeva. Pada bab III ini akan dibahas mengeni faktor pengaruh yang membentuk teks hikayat Sultan Ibrahim Ibn Adham suntingan Russel Jones. Bab IV merupakan penutup. Dalam bab ini akan dikemukakan kesimpulan-kesimpulan yang didapat berdasarkan hasil penelitian.