BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Persoalan guru banyak dipilih oleh sastrawan sebagai tema utama dalam karya sastra Indonesia. Kecenderungan ini sudah terjadi sejak tahun 1920-an, tahun yang dianggap sebagai tonggak lahirnya Sastra Indonesia Modern
(Junus,1960;
Teeuw,1978; Rosidi,1985; Mahayana,2005;2006). Dalam karya sastra yang terbit kemudian, sosok guru atau pengalaman hidupnya terus muncul baik sebagai protagonis maupun antagonis dalam prosa atau drama Indonesia. Hadirnya tokoh guru secara berulang dalam sastra Indonesia modern (SIM) ) dapat ditemukan dalam novel-novel angkatan Balai Pustaka, seperti Darah Muda (1927) karya Adinegoro, Pertemuan (1927), karya Abbas Sutan Pamuncak nan Sati dan Kasih Ibu (1932) karya Paulus Supit. Dalam novel-novel itu, guru ditempatkan sebagai figuran yang lemah posisinya, baik dalam konteks adat maupun dalam konteks ekonomi. Dalam Darah Muda, guru mendapat fitnah sehingga perceraian pun tidak terelakkan, antara dr. Nurdin dan guru Rukmini. Begitu juga dalam Pertemuan, Masri seorang guru dipaksa kawin dengan sepupunya yang tidak dicintai, bernama Khamisah. Guru yang lemah ekonomi dilukiskan dalam Kasih Ibu melalui tokoh Corrie.
1
2
Pada awal kemerdekaan, topik guru juga hadir dalam karya puisi seperti ditulis Hartoyo Andang Jaya (1930-1990) dan Sutrisno Martoatmodjo (Suryadi, 1987: 108-110). Perhatian pada guru juga ditunjukkan oleh Sartono dengan menulis syair lagu “Hymne Guru” dan “Hymne Guru”
Iwan Falls dalam lagu “Guru Oemar Bakri”.
Lagu
menjadi lagu wajib setiap upacara peringatan Hari Pendidikan
Nasional dan acara-acara resmi perpisahan di sekolah-sekolah dan wisuda sarjana di Perguruan Tinggi pada zaman Orde Baru. Pada 2008, pada saat Kongres PGRI di Palembang, bagian akhir syair lagu Hymne Guru, diubah menjadi, “Engkau patriot Pahlawan Bangsa, pembangun insan cendekia”, yang semula berbunyi, “engkau patriot pahlawan bangsa tanpa tanda jasa”. Keberpihakan Iwan Falls kepada kebersahajaan guru melalui lagu “Guru Oemar Bakri” membuatnya
populer pada dekade 1980-an. Menurut Simanjuntak
(2005: 9), lagu tersebut menyuarakan keberpihakan pada sosok guru, pahlawan tanpa tanda jasa yang selalu dirundung malang. Sejak itulah, album-albumnya laku keras. Tidak berlebihan kalau Iwan Falls mendapat berkah dari “Guru Oemar Bakri”. Setelah reformasi, nasib guru juga menjadi sumber inspirasi para penyair, antara lain Ismail (2000)
menulis puisi berjudul “Pelajaran Mengarang dan
Tatabahasa” yang dikemas dalam bentuk dialog kritis antara guru dan murid. Puisi ini mengkritisi profesi guru yang tidak mengasah kreativitas dan sikap kritis siswa ketika mengajar.
Surakhman (2009) menulis puisi berjudul “Melahirkan Kembali
Indonesia Raya” (Sebuah Litani Buat Guru Bangsa). Puisi ini sempat membuat wakil Presiden (2004-2009) Jusuf Kalla marah dalam acara peringatan hari Guru ke-60 di
3
Stadion Manahan Solo, 27 November 2005. Kemarahan Jusuf Kalla karena dalam puisi itu Surakhmad mengkritik sekolah setara dengan kandang ayam. “… Kapan sekolah kami/lebih baik dari kandang ayam!” Respon wakil presiden kala itu menandakan puisi mampu menepuk bahu pemimpin bangsa sebagaimana diungkapkan Ismail (2000: 196), “puisi menepuk bahu dan mencoba mengingatkan”. Pengarang Indonesia tidak hanya menulis puisi tetapi juga menulis cerpen dan novel tentang guru. Cerpen-cerpen tentang guru dapat ditemukan dalam karya A.A. Navis dengan judul “Sang Guru Juki” (2001).
Samsudin (Kompas, 8/1/1995)
menulis perjuangan guru di daerah terpencil dalam cerpen “Bu Guru Rahimah.” Cerpen lain tentang guru ditulis oleh
Raharjo (Kompas,8/10/1995) berjudul
“Eksperimen Moral”. Cerpen ini berkisah tentang seorang guru moral yang dituduh membunuh gadis berumur 17 tahun yang ditemukan meninggal secara mengenaskan di sebuah kamar milik seorang guru pendidik moral. Tuduhan ini berbuntut pada dijebloskannya guru pendidik moral itu ke sal tahanan, akibat ulah Tuan Ego. Pengarang Bali yang menulis topik guru dalam cerpen SIM antara lain Putu Wijaya, Aryantha Soethama, dan IB Widiasa Keniten. Cerpen-cerpen Putu Wijaya tentang guru ditemukan dalam judul guru secara berseri , yaitu “Guru (1)”, “Guru (2)” dalam kumpulan Protes (1995). Di luar itu, Putu Wijaya juga menulis cerpen berjudul “Guru” (2001). Aryantha Soethama juga
menulis cerpen tentang
problematika tokoh guru dalam konteks Bali. Guru dengan persoalan lokal Bali ditulis oleh Aryantha Soetama
seperti
tergambar dalam cerpen “SPP” (1972) dan “Ibu Guru Anakku” (2005). Cerpen
4
“SPP” menampilkan sosok guru yang penuh problematik antara menunaikan tugas kemanusiaan dengan tugas secara teknis birokrasi. Cerpen “Ibu Guru Anakku” berkisah tentang dampak kemajuan pariwisata terhadap profesi guru. Jika Putu Wijaya dan Aryantha berlatar belakang bukan guru menulis cerpen tentang guru, maka IBW Widiasa Keniten menulis cerpen tentang aneka persoalan guru dari perspektif guru. Ia
sebelumnya
menulis
cerpen dan novel tentang
persoalan perubahan budaya Bali. Cerpen-cerpen IBW Widiasa Keniten tentang guru terangkum dalam buku kumpulan cerpen Pohon Jiwa (2013). Pohon Jiwa memuat 12 cerpen tentang guru sebagai bentuk respon pengarang menyikapi profesi guru di tengah politik yang gaduh pascareformasi. Selain menulis cerpen/karya sastra tentang guru, ketiga penulis di atas juga menulis esai tentang guru. Esai Putu Wijaya tentang guru dibukukan dalam Putu Wijaya Sang Teroris Mental (2001) sedangkan esai Aryantha tentang guru juga telah dibukukan dalam Dari Bule Jadi Bali (2010). Sejumlah esai Widiasa Keniten juga membahas problematika yang dialami guru dan telah dipublikasikan melalui Bali Post. Artinya, Putu Wijaya, mengapresiasi
profesi
Aryantha Soethama, dan IBW Widiasa Keniten
guru secara beragam dan lebih komprehensif, tidak saja
melalui fiksi tetapi juga melalui nonfiksi. Fiksi dan nonfiksi disandingkan. Proses kreatif Putu Wijaya dan Aryantha Soethama ini sejalan dengan proses kreatif yang dilakukan oleh SN Ratmana yang menulis novel Sedimen Senja (2006). Maman S. Mahayana yang memberi pengantar diskusi peluncuran novel Sedimen Senja, pada 6 Maret 2006 di Galeri Cipta II Taman Ismail Marzuki Jakarta, menyebutkan, sebagai
5
fakta, keberadaan novel tentu saja faktual dan kita dapat menikmati untuk berbagai kepentingan. Sebagai fiksi, tidak dapat lain, kita mesti menempatkan di dalamnya itu telah mengalami proses fiksional (http:/Mahayana-mahadewa.com/ diakses 16 Juli 2012). Putu Wijaya dan Aryantha Soethama juga menulis novel
dengan
problematika Bali melalui tokoh guru. Novel Tiba-Tiba Malam (1977) karya Putu Wijaya dengan setting alam pedesaan di Tabanan menampilkan tokoh guru yang sangat memikat dalam konteks kesenjangan ekonomi berbasis kasta. Novel ini dinilai oleh Darma Putra (2004;2011) sebagai kisah dengan mengedepankan tema pengucilan sosial (kasepekang) yang sampai saat ini masih diberlakukan di dalam masyarakat Bali. Aryantha
Soethama mengisahkan problematika guru dalam konteks
perubahan budaya Bali akibat pengaruh pariwisata melalui novel Senja di Candi Dasa (1992). Novel ini awalnya diberi judul Pilihanku Guru, memenangkan juara I lomba penulisan novel Bali Post 1992,
kemudian
dimuat secara bersambung.
Menurut Aryantha (wawancara, 23/11/2013), judul novel Pilihanku Guru ini diubah oleh penerbit Gita Nagari bersama Navila Yogyakarta menjadi Senja di Candi Dasa (2002) atas dasar pertimbangan judulnya lebih menjanjikan dari segi pemasaran secara ekonomis. IBW Widiasa Keniten yang lebih dikenal sebagai pengarang SBM, pada 2013 menerbitkan kumpulan cerpen
bahasa Indonesia berjudul Pohon Jiwa berisi 12
cerpen. Cerpen dan noveletnya dalam SBM suntuk mengeksplorasi
perubahan
6
kebudayaan Bali dalam tautannya dengan budaya global. Akan tetapi cerpencerpennya dalam kumpulan Pohon Jiwa menggambarkan guru dengan segala problematikanya. Benang merah dalam cerpen-cerpennya itu adalah sikap idealis tokoh guru yang digambarkan di tengah arus perubahan sosial budaya dan politik. Dalam Sastra Indonesia
Modern, persoalan guru ditemukan dalam novel
Jalan Tak Ada Ujung (1952) karya Mochtar Lubis yang menampilkan tokoh Guru Isa. Umar Yunus (1985:17) meyakini novel ini dan memberikan koreksi secara leluasa tentang cara Lubis menyebut tokoh guru sebagai Guru Isa. Dengan menyebut “Guru Isa”, dan bukan “Isa”, Mochtar seakan menekankan kepada aspek “guru”-nya, dan bukan kepada aspek manusianya. “Isa” sebagai nama tidak penting, yang penting hanyalah “Isa” sebagai seorang guru.” Pernyataan Umar Yunus menunjukkan betapa pentingnya profesi guru sehingga mendapat apresiasi serius dalam novel Mochtar Lubis (1952). kenyataannya, apresiasi terhadap guru juga dilakukan oleh Sinamo (2010) Mahayana (2005). Sinamo
(2010: 245)
Pada dan
menyimpulkan bunda Indonesia
sesungguhnya adalah kaum guru. Mahayana (2005:26) menyebutkan pertumbuhan kesusastraan Indonesia tak bisa dilepaskan dari profesi guru dan wartawan. Dari kaum gurulah, kesadaran akan perjuangan Indonesia merdeka terbangun. Nama-nama pejuang, seperti: Soekarno (presiden RI pertama), W.R. Soepratman (penulis syair lagu Indonersia Raya),
Ki Hajar Dewantara (pendiri Taman Siswa), Soedirman
(Panglima TNI, pemimpin grilya pada masa perang kemerdekaan), Kusbini (penulis lagu-lagu perjuangan), Dewi Sartika (tokoh pejuang wanita), Pramoedya Ananta Toer
7
(pengarang) adalah sejumlah nama yang merupakan titisan darah guru. Oleh karena itulah, pada awal masa kemerdekaan guru benar-benar menjadi soko guru bangsa dan sekaligus profesi yang membanggakan (Sinamo, 2010: 244). Novel lain yang Gerson Poyk
berkisah tentang guru adalah Sang Guru (1973) karya
menampilkan tokoh guru Ben dan Prits dengan setting cerita di
Manado dan Ternate. Menurut Poyk (2010: ix), Sang Guru
sudah mulai menjadi
klasik karena diulas oleh para guru di negeri ini dan telah melahirkan beberapa sarjana yang menulis skripsi. Pertemuan Dua Hati (1986)
karya N.H. Dini adalah novel yang
menampilkan guru Bu Suci sebagai tokoh utama. Menurut pengarangnya, novel ini terinspirasi dari kisah nyata seorang guru dalam menghadapi siswa bermasalah di sekolah yang membuat semua guru menyerah, kecuali Bu Suci. Ia malah menyelamatkan anak bermasalah ini dengan tempo tiga bulan, jika tidak berubah maka Bu Suci angkat tangan. Kompleksitas persoalan guru juga menjadi daya tarik bagi pengarang SBM, sejak zaman kolonial hingga kini. Pengarang SBM yang menjadikan kompleksitas persoalan guru dalam karya-karyanya, antara lain Gde Srawana, Djelantik Santha, Bawa Samar Gantang, I Nyoman Manda, Agung Wiyat S. Ardhi, dan I Made Sugianto. Gde Srawana nama pena I Wayan Bhadra pada 1939 telah menulis novel Mlantjaran ka Sasak (Berwisata ke Lombok) dengan tokoh guru I Made Sarati. Dalam kata pengantar buku ini, disebutkan novel ini pertama terbit dalam majalah
8
bulanan Djatajoe (1935-1939) di Singaraja. Setelah hampir setengah abad, sejak Mlantjaran ka Sasak terbit, tokoh guru muncul lagi dalam khasanah SBM, yang ditandai dengan terbitnya novel Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang (Cinta Layu Sebelum Mekar) karya Djelantik Santha (1981) dengan menampilkan tokoh guru Nyoman Santosa. Setelah vakum lebih dari dua puluh tahun, pada 2002 terbit novel I Nyoman Manda berjudul Manah Bungah Lenyah di Toyobungkah (Cinta Bersemi Berantakan di Toyobungkah) menampilkan dua tokoh guru muda yaitu, Sukata dan Wartini. Mirip dengan pengalaman Santosa dalam novel Djelantik Santha, dua tokoh guru muda dalam novel Manda ini menggambarkan perjuangan guru di tengah hirukpikuk gemerlap pariwisata, di samping berbenturan dengan adat dan tradisi terkait dengan proses pewarisan adat dan budaya. I Nyoman Manda tidak saja menulis novel SBM dengan tokoh guru, tetapi juga menulis cerpen SBM dengan tokoh guru. Cerpennya “Guru Made” (1995) menampilkan tokoh I Kanta dan Ni Mundel sebagai murid SMA yang miskin, sedangkan Guru Made Warsa sebagai wali kelasnya. Novel Manda disusul oleh Agung Wiyat S. Ardhi menulis novel Bukit Buung Bukit Mentik (2004) dengan tokoh dua guru muda pula, yaitu Tri Prayatni dan Gungde Ambara. Seperti juga Manda, Agung Wiyat S. Ardhi juga menulis cerpen SBM. Cerpen dan novel pengarang Bali yang mewacanakan guru cukup beragam. Ada yang mewacanakan guru masih ideal sebagai sosok yang digugu dan ditiru. Ada juga yang melihat profesi guru berada dalam bayang-bayang kemajuan pariwisata sehingga guru dilukiskan berada di persimpangan jalan. Ada pula yang melukiskan
9
guru mengkhianati profesinya dengan melecehkan siswanya. Guru
menerabas,
materialistis, dan berpikir instan juga tergambar dalam karya cerpen dan novel pengarang Bali. Berbagai wacana tentang guru semakin marak setelah lahirnya UndangUndang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Guru menjadi perbincangan hangat di media massa, lebih-lebih dengan diberlakukannya program sertifikasi bagi guru sejak 2006, yang berimplikasi pada Tunjangan Profesi Guru (TPG) sebesar satu kali gaji pokok setiap bulan. Perbincangan itu memancing banyak diskusi, diklat, dan seminar berkedok mendapatkan piagam berskala lokal, nasional, dan internasional. Berbagai ekses dari kegiatan itu --keikutsertaan dalam program pelatihan hanya demi sertifikat, memanipulasi berkas, dan kolusi antara pemilik portofolio dan penilai-amat menodai profesi guru, bahkan melemparkan guru pada titik nadir dalam perjalanan profesinya seperti diungkapkan Lie (Kompas, 24/11/2007). Degradasi moral guru terjadi karena di antara mereka tidak kuat menghadapi keadaan di sekitarnya, seperti tergambar dalam cerpen dan novel pengarang Bali. Keadaan itu dimanfaatkan oleh oknom guru ketika mengikuti sertifikasi guru melalui jalur portofolio. Akibatnya, tidak sedikit para guru yang ditengarai memalsukan dokumen piagam seminar kalau ingin lulus sertifikasi. Ulah guru demikian diungkapkan oleh Sugianto dalam cerpen SBM,
“Sertifikat(si)” (Bali Post,
21/11/2010; Sugianto, 2010: 9-12). Dalam cerpen-cerpennya, Sugianto tidak hanya menyoroti guru yang mengambil jalan pintas demi lulus sertifikasi, tetapi juga memotret guru yang
10
berkelakuan bejat terhadap siswanya, di samping mengisahkan guru sebagai korban politik. Kelemahan-kelemahan guru yang dikisahkan Sugianto bertentangan dengan profesi guru yang diidealkan sebagai orang yang digugu dan ditiru. Wacana tentang guru tidak hanya menginspirasi sastrawan dalam melahirkan karya sastra, tetapi juga membuat para pakar pendidikan gundah. Lahirnya esai-esai tentang guru dari Khomsan (Kompas, 24/10/2009), Buchori (Kompas, 22/2/2010), Kamdi (Kompas, 24/11/2010), Widiyanto (Kompas, 7/11/2011)
adalah bukti
kegundahan itu. Para pakar itu pada intinya menyayangkan para guru melakukan tindakan plagiat
dan memalsukan dokumen demi lulus sertifikasi yang
mencerminkan sikap menerabas. Kamdi mengatakan, “… Sertifikasi telah sempurna menyemaikan dan menyuburkan budaya jalan pintas yang amat mencederai sosok professional guru itu sendiri” (Kompas, 24/11/2011). Data di atas menunjukkan cerpen sebagai karya fiksi dan esai sebagai karya fakta berada pada posisi saling menguatkan. Hal itu mempertegas bahwa perbedaan fakta dengan fiksi sangat tipis, bahkan nyaris tidak dapat diidentifikasi perbedaannya. Itu artinya respon terhadap sertifikasi guru oleh pengarang dan esais nyaris sama : sama-sama prihatin terhadap proses guru mengikuti sertifikasi guru. Bertalian dengan kerapnya kehidupan guru diangkat sebagai cerita dan dibahas dalam wacana publik, penelitian ini mengangkat topik guru dalam karya pengarang Bali. Pilihan untuk meneliti karya-karya para pengarang Bali didasarkan atas sejumlah alasan.
itu
Pertama, wacana tentang guru muncul secara
berulang dalam karya cerpen dan novel pengarang Bali (SIM dan SBM) sejak zaman
11
kolonial hingga zaman reformasi. Berulangnya wacana guru dalam rentang waktu yang berbeda dengan semangat zaman dan konteks sosial budaya yang berubah, secara sosiologis merupakan potret semangat zaman yang melatarinya. Dengan demikian, tokoh guru dalam karya cerpen dan novel pengarang Bali dapat dijadikan cermin untuk memperoleh gambaran tentang citra guru dari zaman ke zaman termasuk memotret pandangan masyarakat terhadap guru. Kedua, topik tentang tokoh guru dalam cerpen dan novel karya pengarang Bali, baik SIM maupun SBM, sampai saat ini belum ada yang meneliti secara bersama-sama. Pembacaan awal menunjukkan, sampai saat ini kajian tentang karya pengarang Bali masih bersifat sektoral, terbatas pada satu pengarang dan nyaris belum ada yang meneliti tokoh gurunya. Ketiga, pengarang Bali baik yang menulis cerpen maupun novel dalam SIM ataupun yang menulis dalam SBM, intens
menempatkan tokoh guru dalam karya-
karyanya sehingga mereka tidak cukup dengan menulis satu cerpen tentang guru seperti dilakukan oleh Putu Wijaya, Aryantha, Manda, Djelantik Santha, dan Agung Wiyat S. Ardhi. Bahkan, di antara mereka selain menulis cerpen dan novel juga menulis esai tentang guru yang dilakukan Aryantha Soethama dan Putu Wijaya. Keempat, tokoh guru dalam cerpen dan novel karya pengarang Bali itu ditulis oleh pengarang yang berbeda latar belakang kepengarangannya. Putu Wijaya dan Aryantha dari latar belakang pengarang SIM dengan menjadikan bahasa Indonesia sebagai medium penciptaan sedangkan Gde Srawana, Nyoman Manda, Djelantik Santha, Agung Wiyat malang melintang dalam SBM dengan menjadikan bahasa Bali
12
sebagai medium penciptaan. Perbedaan pengarang juga tampak dari latar belakang profesi guru (Agung Wiyat S. Ardhi dan Manda) di satu sisi dan non guru (Putu Wijaya, Aryantha Soethama, Djelantik Santha, Gde Srawana) di sisi lain. Perbedaan latar belakang pengarang yang menggarap topik yang sama menarik untuk dicermati baik secara komparatif
tekstual maupun secara ideologi. Dari komparasi itu,
memungkinkan peneliti mendapatkan gambaran tentang posisi pengarang terhadap citra dan perjuangan guru yang ditokohkan dalam karya-karyanya. Kelima, kompleksitas persoalan yang dihadapi guru, dalam hubungannya dengan cerpen dan novel karya pengarang Bali itu juga penting untuk dilihat cara pengarang memanfaatkan isu yang berkembang di Bali khususnya dan Indonesia pada umumnya. Hal ini terkait dengan profesi guru yang belakangan ini sarat dengan beban psikologis, sosiobudaya, dan kultural akademik yang dari tahun ke tahun dirasakan makin berat. Beban itu tidak saja berkaitan langsung dengan profesinya, tetapi juga beban adat dan budaya yang sulit dipisahkan dari tradisi agama Hindu di Bali yang banyak menyita perhatian guru. Keenam, para pengarang Bali yang karyanya diteliti ini selain menunjukkan dedikasi dan loyalitas pada khasanah SIM dan SBM,
juga telah mendapat
pengakuan publik atas capaian mereka sebagai pengarang. Hal ini dibuktikan dengan penghargaan bertaraf nasional dan regional yang telah diterima masing-masing pengarang sesuai dengan bidangnya. Putu Wijaya pada 1980 menerima hadiah Sastra ASEAN, Aryantha Soethama menerima penghargaan Khatulistiwa Literary Award 2006, sedangkan Djelantik Santha, Nyoman Manda, Agung Wiyat S. Ardhi telah
13
menerima penghargaan Rancage atas karya-karya dan dedikasinya dalam SBM. Artinya, karya pengarang Bali ini telah mendapat pengakuan secara nasional bahkan regional ASEAN.
Karya-karya mereka pantas untuk diteliti lebih lanjut untuk
menemukan makna yang terkandung di dalamnya sebagai salah satu cara untuk memasyarakatkan karya-karya mereka, terutama dalam mengapresiasi tokoh guru.
1.2 Rumusan Masalah (1) Bagaimanakah citra guru direpresentasikan dalam cerpen dan novel karya pengarang Bali ? (2) Mengapa terjadi perubahan representasi citra guru dalam cerpen dan novel pengarang Bali ? (3) Apakah makna perilaku
tokoh
guru dalam
cerpen dan novel karya
pengarang Bali?
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini dibedakan menjadi dua, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Kedua tujuan itu akan diuraikan satu persatu berikut ini.
1.3.1 Tujuan Umum Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengaktualisasikan teori sesuai dengan permasalahan yang diteliti. Di samping itu, penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan terhadap khazanah penelitian sastra (di) Indonesia pada
14
khususnya, dalam kaitannya dengan profesi guru dan penelitian kebudayaan pada umumnya.
1.3.2
Tujuan Khusus
(1) Untuk mengungkapkan bagaimana bentuk citra dan perjuangan guru yang direpresentasikan dalam cerpen dan novel karya pengarang Bali. (2) Untuk mengungkapkan faktor-faktor
yang menyebabkan perubahan citra
guru dalam cerpen dan novel berdasarkan persepsi pengarang Bali. (3) Untuk mengungkapkan makna perilaku tokoh guru dalam cerpen dan novel karya pengarang Bali sesuai dengan konteks zamannya.
1.4 Manfaat Penelitian Dalam penelitian ini diuraikan manfaat penelitan ada dua, yaitu manfaat teoretis dan manfaat praktis. Kedua manfaat itu akan diuraikan satu persatu berikut ini.
1.4.1 Manfaat Teoretis Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk membina dan mengembangkan pemahaman terhadap karya sastra, khususnya di bidang kajian wacana sastra naratif, dalam hal ini cerpen dan novel. Secara lebih spesifik, hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu model analisis dari unsur ekstrinsik karya sastra. Secara teori, penelitian ini hendak menguatkan aksioma bahwa sastra tidak lahir dari
15
kevakuman sosial sebagaimana dikatakan Damono (1979: 1), Teeuw (1984: 152), dan Faruk (2003: 89). Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap apresiasi profesi
guru dalam semangat zamannya, sejak masa kolonial hingga
reformasi. Dengan demikian, penelitian ini juga berguna untuk melihat hubungan karya sastra dengan sejarah keguruan di Indonesia. Hubungan ini penting untuk tidak mempertentangkan antara fakta dan fiksi, tetapi untuk disandingkan di antara keduanya, sehingga pemahaman pembaca tentang berita sejarah sebagai fakta dengan cerita imajinatif sebagai fiksi bersifat saling melengkapi dan menjadi lebih komprehensif.
1.4.2 Manfaat Praktis Secara praktis, penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi berbagai pihak. (1) Kritikus, peneliti sastra, para pemerhati dan praktisi pendidikan dapat menjadikan hasil penelitian ini sebagai salah satu cara mengkritisi profesi guru dalam rangka memberdayakan, memperbaiki dan meningkatkan kinerja para guru untuk mewujudkan
mutu pendidikan. Di samping itu,
hasil
penelitian ini sebagai salah satu cara mengapresiasi profesi guru, baik dalam novel maupun cerpen karya pengarang Bali khususnya, dan karya pengarang Indonesia pada umumnya. (2) Di semua jenjang pendidikan, penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan refleksi terhadap profesi yang digeluti guru. Dengan demikian, pendidik bisa
16
bercermin dari karya sastra untuk memberdayakan diri. Sementara, calon pendidik di Perguruan Tinggi dapat memanfaatkan hasil penelitian ini untuk menyiapkan idealisme keguruan sehingga kelak dapat menjadi guru yang ideal dan selalu berada di hati siswa. Para siswa di sekolah dapat memanfaatkan hasil penelitian ini untuk memperlakukan guru secara proporsional sebagaimana layaknya hubungan guru dengan murid dalam dimensi kemanusiaan. (3) Para pengarang Bali yang menulis tentang guru dapat memanfaatkan penelitian ini sebagai masukan untuk meningkatkan kualitas karya berikutnya.
18