BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah Konflik berkepanjangan antara Korea Utara dan Korea Selatan tidak kunjung mereda hingga saat ini. Perang Dingin antara Uni Soviet dan Amerika Serikat membuat bangsa yang berada dalam satu semenanjung itu dibagi dua. Garis pemisah 38º Lintang Utara ditarik untuk membagi Semenanjung Korea secara geografis, tanpa memperhatikan keadaan alam, industri, maupun sosiokultural pada saat itu.1 Setelah itu Korea bagian selatan memperoleh komando dari Amerika Serikat, sedangkan Korea bagian utara memperoleh dukungan penuh dari Uni Soviet. Kemudian pada tahun 1949 masing-masing wilayah membentuk pemerintahan dan mengangkat pemimpin masing-masing, Syngman Rhee di Korea Selatan sedangkan Kim Il Sung di Korea Utara. 2 Konflik kedua belah pihak terus berlanjut karena gagalnya berbagai upaya untuk menyatukan keduanya. Puncaknya, pecah perang antara Korea Utara dan Korea Selatan pada 25 Juni 1950.3 Perang di semenanjung itu berlangsung selama tiga tahun dan berakhir dengan ditandatanganinya perjanjian gencatan senjata pada 1953.4 Keadaan ini mirip dengan apa yang terjadi di Jerman pasca-Perang Dunia II. Pada masa itu, Jerman diperintah oleh Amerika Serikat, Uni Soviet, Inggris dan Perancis berdasarkan pada perjanjian Postdam tahun 1945. Kemudian pemisahan antara Jerman Barat dan Jerman Timur dilakukan pada 1949 karena semakin meruncingnya perbedaan ideologi dan Perang Dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet mulai berlangsung.5 Seperti garis lintang 38º di Semenanjung Korea, Tembok Berlin menjadi pemisah antara Jerman Barat dan Jerman Timur. Jerman Barat yang diokupasi oleh Amerika Serikat, Inggris dan Perancis mengambil dua 1
Michael J. Seth, A History of Korea from Antiquity to the Present, Rowman & Littlefield Publishers, Inc., Plymouth, 2011, 306-307. 2 Seung Yoon Yang & Nur Aini Setiawati, Sejarah Korea Sejak Awal Abad hingga Masa Kontemporer, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2003, 189-191. 3 Seth, A History of Korea, 324. 4 Yang & Setiawati, Sejarah Korea, 191. 5 Gabriel Jonsson, Towards Korean Reconciliation: Socio-Cultural Exchanges and Cooperation, Ashgate Publishing Limited, Hampshire, 2006, 12-13.
pertiga dari wilayah Jerman semula, dan Jerman Timur yang didukung oleh Uni Soviet menduduki sepertiga wilayah Jerman di sisi timur. Pemisahan ini juga didasarkan pada akar masalah yang sama, Negara-negara Barat bermaksud untuk membendung arus komunisme yang menyebar dari Jerman Timur agar tidak masuk ke Jerman Barat. Pada tahun 1970 Jerman Barat mulai membuka diplomasi langsung dengan Jerman Timur untuk memperbaiki hubungan keduanya. Setelah Uni Soviet bergabung dengan Amerika Serikat, Inggris dan Perancis dalam perjanjian mengenai status Berlin, Jerman Barat dan Timur menginisiasi adanya Basic Treaty yang menjelaskan dan mengatur hubungan kedua Jerman. Perjanjian ini akhirnya ditandatangani pada 1972.6 Kemudian hubungan kedua pihak semakin intensif ditandai dengan kunjungan para petinggi Jerman Barat ke Jerman Timur semakin sering dilakukan, hingga menjadi kunjungan rutin pada pertengahan tahun 1980.7 Kerja sama pemerintah ini kemudian berlanjut dengan dibentuknya sebuah badan khusus pemerintah yang bertanggung jawab pada implementasi dan keberhasilan perjanjian yang telah dibuat.8 Badan ini bertugas untuk menyelesaikan konflik yang timbul dan menumbuhkan adanya rasa saling percaya sehingga Jerman Timur bersedia untuk menerapkan perjanjian.9 Selain itu, pertukaran perwakilan dari masing-masing pihak juga dilakukan. Meskipun tidak ada pertukaran diplomat secara formal, namun pertukaran misi perwakilan yang intensif ini dinilai sudah seperti hubungan antarnegara.10 Keberhasilan upaya rekonsiliasi yang berujung pada penyatuan kedua Jerman juga tak lepas dari pengaruh runtuhnya Uni Soviet. Banyaknya negaranegara yang kemudian memisahkan diri dari Uni Soviet membuat kekuatan politik 6
Theodore S. Hamerow, ‘Germany’, Britannica (daring), 23 Februari 2015,
, diakses pada 2 Maret 2015. 7 David Childs, “The SED faces the challenges of Ostpolitik and Glasnost” dalam D. Childs, T. A. Baylis, M. Rueschemeyer (eds), East Germany in Comparative Perspective, Routledge, London, 1989, 8. 8 Derek J. Vanderwood, “The Korean Reconciliation Treaty and The German Basic Treaty: Comparable Foundations for Unification?”, Pacific Rim Law & Politics Journal, vol. 2, no. 2, 1993, 424. 9 Karl Cordell, “The Basic Treaty Between the Two German States in Retrospect” The Political Quarterly, vol. 61, no.1, Januari 1990, 47. 10 Ibid.
Uni Soviet di bagian timur Eropa menurun. Kedua Jerman bersatu setelah Tembok Berlin runtuh pada 1989 yang sekaligus menandai berakhirnya Perang Dingin.11 Sementara itu, Korea mulai melakukan rekonsiliasi ketika pada tahun 1970 kedua pihak mulai melakukan terobosan baru dengan melakukan pembicaraan formal dan menyetujui membentuk komite untuk mempromosikan hubungan antar-Korea.12 Kedua Korea menyetujui adanya perjanjian rekonsiliasi yang didalamnya terdapat empat komisi gabungan. Komisi-komisi itu menangani empat aspek utama yaitu, kerja sama militer, kerja sama ekonomi, kerjasama sosial dan budaya, serta hal-hal umum yang berkaitan dengan rekonsiliasi.13 Komisi gabungan yang dibentuk kedua Korea itu merupakan perwakilan dari pemerintah masing-masing. Selain komisi gabungan, pertemuan antara Perdana Menteri juga dijadwalkan secara rutin. Hal ini membuat hubungan keduanya semakin erat.14 Adanya pertemuan tingkat tinggi ini menunjukkan hasil yang signifikan. Hasil ini ditandai dengan diadopsinya protokol pada September 1992 tentang mekanisme hubungan kerjasama Korea Selatan dan Korea Utara. 15 Akan tetapi Korea Utara setahun berikutnya menolak kesepakatan nonproliferasi nuklir. Adanya isu nuklir yang berkembang saat itu membuat tensi kedua negara menjadi tinggi dan pertemuan tingkat tinggi dihentikan.16 Kemudian pada masa pemerintahan Presiden Kim Dae Jung, wacana rekonsiliasi dimunculkan kembali dengan dikeluarkannya kebijakan Sunshine Policy. Berdasarkan paparan di atas, permasalahan ini menarik untuk diteliti dan dikaji lebih lanjut untuk mendapatkan analisis tentang faktor-faktor yang memengaruhi pencapaian rekonsiliasi di Jerman dan Semenanjung Korea.
11
Jonsson, Towards Korean Reconciliation, 2. Se Jin Kim, Korean Unification: Source Materials, with an Introducrion, Reseearch Center for Peace and Unification, Seoul, 1976, 25. 13 “Pyongyang, Seoul Enter Stage of Implementing Basic Accord on Reconciliation, Nonaggression & Exchange”, Korean Report, September, 1992, dikutip oleh Derek J. Vanderwood, “The Korean Reconciliation”, 424. 14 Ibid. 15 Ibid. 16 Ibid. 12
1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan di atas, pertanyaan penelitian yang penulis ajukan adalah: Apa saja faktor yang memengaruhi pencapaian rekonsiliasi di Jerman dan Semenanjung Korea?
1.3. Landasan Konseptual Untuk menganalisis permasalahan dan menjawab pertanyaan penelitian yang telah dirumuskan, penulis akan menggunakan konsep rekonsiliasi yang dikemukakan oleh John Paul Lederah. Lederach berpendapat bahwa rekonsiliasi merupakan sebuah proses yang dinamis yang dipengaruhi oleh keadaan sosial masyarakat dan dipengaruhi juga oleh keadaan internasional. Rekonsiliasi Lederach17 mengungkapkan bahwa rekonsiliasi merupakan sebuah proses terjaganya kembali perdamaian dalam sebuah komunitas. Proses itu merupakan proses yang dinamis dan bertujuan untuk mengembalikan sebuah hubungan, tetapi tak selalu kembali pada hubungan semula, melainkan sebuah hubungan baru yang dinilai lebih baik oleh pihak-pihak yang terlibat dalam kerangka interdependensi. Interdependensi yang terjalin dalam berbagai bidang akan semakin memupuk hubungan baik kedua pihak yang pernah bertikai. Lederach juga menjelaskan studi mengenai rekonsiliasi yang dimaknai sebagai konsolidasi perdamaian dapat dilihat dari dua hal. Pertama, kita harus mempertimbangkan kekuatan sosial dan tujuan yang ada pada proses rekonsiliasi dalam struktur masyarakat yang terpisah secara sosial. Dengan pertimbangan itu kita dapat mengetahui seperti apa kekuatan sosial dan tujuan ini memengaruhi upaya pemerintah. Keadaan sosial dari masyarakat yang terpisah karena konflik tentu akan berbeda, bisa ideologi, keadaan alam, perkembangan ekonomi, atau budaya masyarakatnya. Akan tetapi jika tujuan rekonsiliasi yang dimiliki oleh masing-masing pihak yang bertikai dapat selaras, proses rekonsiliasi tetap dapat diupayakan oleh pemerintah. 17
John Paul Lederach, “Civil Society and Reconcilliation” dalam Chester A. Crocker, Fen O. Hampson, dan Pamela Aall (eds.), Turbulent Peace: The Challenges of Managing International Conflict, United Institute of Peace Press, Washington, 2001, 841.
Kedua, kita harus melihat bahwa perdamaian merupakan sebuah proses ekosistem sosial yang dinamis.18 Dunia internasional terdiri dari negara-negara yang hidup berdampingan, saling memengaruhi dan saling ketergantungan satu sama lain. Oleh karena itu tatanan politik dunia yang sedang berlangsung akan mempengaruhi bagaimana pemerintah berusaha untuk melakukan rekonsiliasi. Pemerintah negara yang bertikai tidak hanya mempertimbangkan keadaan sosial masyarakatnya, tetapi juga bagaimana pendapat dunia internasional mengenai rekonsiliasi yang sedang mereka upayakan. Joanna Santa Barbara mendefinisikan rekonsiliasi sebagai pengembalian keadaan damai dalam sebuah hubungan. Pihak-pihak yang terlibat setidaknya tidak saling melukai satu sama lain dan dapat dipercaya untuk tidak melakukannya di masa depan, yang berarti bahwa balas dendam sudah tidak lagi menjadi sebuah pilihan. Rekonsiliasi, menurut Barbara adalah kembali bersama dalam sebuah forum dan bekerja secara harmonis.19 Rekonsiliasi merupakan konsep yang penting bagi penulis karena dengan menggunakan konsep ini, tulisan ini akan lebih jauh menganalisis bagaimana faktor internal dan eksternal memengaruhi pencapaian hasil rekonsiliasi di Jerman dan Semenanjung Korea. Setelah adanya konflik di antara kedua pihak yang bertikai, rekonsiliasi menjadi sebuah proses sekaligus tujuan yang ingin dicapai demi terciptanya keadaan yang harmonis. Penulis mengamati bahwa pemerintah menjadi pemeran utama dalam mengembalikan hubungan baik kedua pihak yang berseteru di kedua wilayah. Hal ini dikarenakan aktor utama yang paling memungkinkan untuk melakukan diplomasi dan negosiasai adalah pemerintah. Jika dibandingkan dengan aktor lain, pemerintah memainkan peran yang lebih dominan sehingga penulis memutuskan untuk mengamati dari sisi pemerintah dan apa saja faktor yang medorongnya. Di Jerman, beberapa sebab telah membuat pemerintah Jerman Barat yang awalnya enggan mengakui Jerman Timur, akhirnya mau mengakui keberadaan pemerintah Jerman Timur. Hal ini membuat rekonsiliasi kedua pihak menjadi semakin 18
mudah
karena
pengakuan
masing-masing
pihak
menyebabkan
Ibid.,843. Joanna Santa Barbara, “Reconciliation”, dalam Charles Webel & Johan Galtung (ed.), Handbook of Peace and Conflict Resolution, Routledge, New York, 2007, hlm. 174. 19
pemerintah lebih mudah bertemu dalam sebuah forum dan membicarakan tentang rekonsiliasi. Sama halnya dengan di Semenanjung Korea, ada beberapa faktor yang memengaruhi pemerintah kedua pihak untuk mengakui legitimasi pemerintahan masing-masing dan mengupayakan rekonsiliasi. Hal ini juga membuat intensitas pertemuan pemerintah kedua negara menjadi lebih sering terjadi. Akan tetapi, hasil yang dicapai dari pertemuan antarpemerintah Korea Utara dan Korea Selatan berbeda dari apa yang terjadi di Jerman.
1.4. Argumen Utama Rekonsiliasi di Jerman yang berakhir dengan unifikasi dapat terwujud dikarenakan keadaan sosial dan keadaan internasional pada saat itu cenderung untuk mendukung upaya pemerintah masing-masing pihak untuk melakukan rekonsiliasi. Forum internasional yang diikuti oleh Jerman Barat dan Jerman Timur membuat keduanya sering sering terlibat dalam kerja sama sehingga pembicaraan mengenai kesepakatan rekonsiliasi menjadi lebih mudah tercapai. Di Semenanjung Korea, proses rekonsiliasi masih berlangsung karena keadaan sosial dan pengaruh dunia internasional kurang mendukung keduanya untuk bersatu. Walaupun pemerintah keduanya telah banyak terlibat dalam berbagai forum, tetapi kerja sama yang terjalin sebatas kerja sama sosial atau ekonomi saja. Hal itu membuat proses rekonsiliasi lebih sulit dilakukan dan pembicaraannya masih berlangsung hingga sekarang.
1.5. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode kualitatif yang akan membangun argumen melalui studi literatur. Studi literatur yang akan penulis gunakan adalah data sekunder, seperti buku, jurnal, serta artikel dari koran dan majalah.
Penulis akan memfokuskan penelitian dengan menekankan pada tingkat analisis negara dan sistem internasional seperti yang dipaparkan J. David Singer. 20 Dengan demikian diharapkan deskripsi dari hasil penelitian akan lebih efektif dengan mempertimbangkan fenomena yang akan diteliti memiliki dinamika yang kompleks. Tidak hanya oleh situasi domestik, upaya pemerintah dalam rekonsiliasi yang terjadi di kedua wilayah juga dipengaruhi dinamika politik internasional yang berkembang pada saat itu. Fenomena yang terjadi di Jerman dan Semenanjung Korea dapat dijadikan studi perbandingan karena keduanya merupakan wilayah yang terpisah sebagai akibat dari Perang Dunia Kedua dan berlangsungnya Perang Dingin. Proses rekonsiliasi di kedua wilayah ini menarik untuk diamati karena upaya yang dilakukan pemerintah dipengaruhi oleh berbagai faktor yang berbeda.
1.6. Sistematika Penulisan Penulisan skripsi ini terdiri dari empat bab. Masing-masing bab akan membahas pokok bahasan yang berbeda. Setelah bab pertama ini yang berisi latar belakang, rumusan masalah, landasan konseptual yang akan digunakan untuk menganalisis, argumen utama, metodologi penelitian, serta sistematika penulisan. Selanjutnya pada bab kedua akan membahas mengenai keadaan sosial yang menjadi faktor internal keduanya yang memengaruhi upaya pemerintah untuk melakukan rekonsiliasi. Bab ketiga akan menjelaskan tentang keadaan internasional yang menjadi faktor eksternal dalam proses rekonsiliasi di kedua wilayah. Tulisan ini akan ditutup dengan bab keempat berupa kesimpulan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh penulis.
20
J. David Singer, “The Level of Analysis Problem in International Relations”, World Politics, vol. 14, no. 1, Oktober, 1961 dikutip oleh Mochtar Mas’oed, Ilmu hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi, LP3ES, Jakarta, 1990, 45.