BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Pengertian Religi Religi berasal dari bahasa latin yakni Relegere, yang mengandung arti mengumpulkan dan membaca. Pengertian itu juga sejalan dengan isi agama yang mengandung kumpulan cara-cara mengabdi pada Tuhan yang terkumpul dalam kitab suci yang harus dibaca. Menurut the wold book dictionary, kata Religioucity berarti regious feeling or sentiment atau perasaan keagamaan. Religi lebih luas lebih mengarah pada masalah personalitas dan bersifat dinamis karna lebih menonjolkan eksistensinya sebagai manusia. Menurut Mangun Wijaya (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2010: 326-327) mengemukakan bahwa “ perbedaan agama dengan religiusitas agama lebih menunjukkan pada kelembagaan kebaktian pada tuhan dengan hukum – hukum yang resmi sedangkan religiussitas bersifat mengatasi lebih dalam dan lebih luas dari agama yang tampak, formal dan resmi ”. Menurut Ratnawati (dalam Saidah Arafah, 2005:17) mengemukakan bahwa “Religiusitas berkaitan dengan kebebasan orang untuk menjaga kualitas keberagamannya jika dilihat dari dimensi yang paling dalam dan personal yang sama sama sekali berada diluar kategori – kategori ajaran agama”. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Religiusitas adalah suatu perasaan keagamaan yang lebih mengarah pada eksistensinya sebagai manusia
5
karena bersifat personalitas dan cakupannya pun lebih luas dari pada agama yang hanya terbatas pada ajaran-ajaran dan pertautan-pertautan. Religiusitas dalam Konteks ini meliputi beberapa unsur fundamental yaitu: Aqidah, Syariah, Akhlak dan Ilmu Fiqh, empat hal dari unsur religi ini tidak dapat dipisahkan karena sangat berkaitan dengan yang lainnya. Berikut akan diuraikan hal yang berkaitan dengan empat unsur tersebut: 1. Aqidah Aqidah secara bahasa berarti ikatan, secara terminologi berarti landasan yang mengikat, yaitu keimanan, itu sebabnya ilmu tauhid disebut ilmu aqoid (jamak aqidah). Aqidah menurut Azyumardi Azra (2002: 103-104) “ merupakan ajaran tentang apa saja yang mesti dipercayai, diyakini dan diimani oleh setiap orang islam. Oleh karena itu Aqidah merupakan ikat dan simpul dasar islam yang pertama dan utama” . Menurut Iman Rejono (1996: 67) “mengatakan aqidah adalah suatu yang mengeraskan hati membenarkan yang membuat jiwa tenang dan menjadi kepercayaan yang bersih dari kebimbangan dan keraguan”. Dari pendapat-pendapat di atas disimpulkan bahwa aqidah adalah keyakinan dasar yang menguatkan atau meneguhkan jiwa sehingga jiwa terbebas dari rasa kebimbangan atau keraguan di dalam Islam disebut dengan iman.
6
a.
Ketauhidan Kata ketauhidan adalah bentuk jadian dari kata dasar tauhid.Tauhid adalah
suatu kepercayaan atau keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa. b. Kepercayaan terhadap adanya Alam Gaib Artinya setiap manusia yang beriman harus mempercayai adanya alam lain dibalik alam semesta ini yakni alam gaib. Seperti alamnya para Malaikat, Jin dan alam roh Manusia yang telah terlepas dari jasadnya yang bisa disebut alam baka, dimana dalam alam tersebut manusia terlepas dari segala urusan yang bersifat duniawi. c.
Iman Terhadap Takdir Kepercayaan yang benar terhadap takdir Tuhan ini akan memberikan
sublime (nilai hidup yang tinggi) bagi seorang yang mempercayai takdir Tuhan dengan sungguh-sungguh akan menerima keadaan dengan wajar dan bijaksana. 2. Syariah Menurut Abu Ahmadi dan Salimi Noor (2008: 237) “mendefinisikan syariah adalah tata cara atau tentang prilaku hidup manusia untuk mencapai keridhoan Allah SWT”. Adapun ruang lingkup syariah mencakup peraturan-peraturan sebagai berikut: a. Ibadah, yaitu peraturan-peraturan yang mengatur, hubungan langsung dengan Allah SWT. Yang terdiri atas: 1) Rukun islam: Mengucapkan sahdatain, mengerjakan shalat, zakat, puasa dan haji. 2) Ibadah lainnya yang berhubungan dengan rukun islam
7
b. Muamalah, yaitu peraturan yang mengatur hubungan seseorang dengan lainnya dalam hal tukar menukar harta, diantaranya: pinjam meminjam, sewa menyewa dan kerjasama dagang. c. Munakahat, yaitu peraturan yang mengatur hubungan seseorang dengan orang lain dalam hubungan berkeluarga (nikah dan yang berhubungan dengannya), perkawinan, perceraian, pengaturan nafkah, penyusunan pemeliharaan anak pergaulan suami dan istri serta hal-hal lain. d. Siyasah, yaitu yang menyangkut masalah-masalah kemasyarakatan (politik) diantaranya: persaudaraan, musyawarah, toleransi, tanggung jawab dan lain-lain. e. Akhlak, yaitu mengatur sikap hidup pribadi, diantaranya: syukur, sabar, tawadhu (rendah diri), pemaaf, tawakal, istiqomah berani dan berbuat baik kepada orang tua. Selain itu juga menurut Mohamad Idris Ramulyo (2004:9) “syariat merupakan sasaran dari ilmu pengetahuan yang khusus disebut alfiqh. Lebih jauh Syafi'I (dalam Mohamad Idris Ramulyo, 2004: 8) berpendapat bahwa “ syariah merupakan peraturan-peraturan lahir dan bathin bagi umat islam yang bersumber pada wahyu Allah dan kesimpulan-kesimpulan (deductions) yang dapat ditarik dari wahyu Allah, dan sebagainya”. Peraturan-peraturan lahir itu mengenai cara bagimana manusia berhubungan dengan Allah dan sesama makhluk lainya. Dari pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa, syariah adalah tata cara atau peraturan-peraturan tentang perilaku hidup manusia secara lahir dan bathin yang menyangkut bagaimana cara manusia berhubungan dengan Allah dan dengan sesama makhluk lain untuk mencapai keridhoan Allah SWT
8
3. Akhlak Secara Etimologi (arti Bahasa) akhlak berasal dari kata khalaqa, yang kata asalnya berarti: perangkai, tabiat, adat, atau khalqun yang berarti kejadian, buatan, ciptaan. Jadi secara etimologi akhlak berarti perangkai, adat, tabiat, sistem prilaku yang baik. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia “akhlak adalah kelakuan, tabiat, tingkah laku, seorang muslim hendaknya mempunyai akhlak mulia; misalnya anak itu akhlaknya buruk sehingga tidak disukai oleh temantemannya”. Akhlak sering juga disebut dengan moral, diartikan sebagai ajaran baik buruk perbuatan atau kelakuan. Lebih jelasnya akhlak merupakan sistem nilai yang mengatur pola sikap dan tindakan manusia di atas bumi. Sistem nilai yang dimaksud adalah ajaran islam dengan Al-Qur'an dan Sunnah Rasul sebagai sumber nilainya serta ijetihad (hukum islam). Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa akhlak adalah tingkah laku, budi pekerti yang melekat pada jiwa seseorang untuk melakukan suatu hal atau perbuatan.
9
Hal-hal yang fundamental terkait dengan penelitian didalam akhlak adalah sebagai berikut: a.
Akhlak Kepada Allah 1) Beribadah kepada Allah, yaitu melaksanakan perintah Allah untuk menyembahnya sesuai dengan perintahnya. Seseorang muslim beribadah membuktikan ketundukan dan kepatuhan terhadap perintah Allah. Berakhlak kepada Allah dilakukan melalui media komunikasi yang telah disediakan, antara lain ibdah sholat. 2) Berzikir kepada Allah, yaitu mengingat Allah dalam situasi dan kondisi, baik diucapkan dengan mulut maupun dalam hati. Berzikir kepada Allah melahirkan ketenangan dan ketentraman hati (Q.S.ArRa'd:28). 3) Berdoa kepada Allah, yaitu senantiasa merendahkan diri kepadanya, meminta dan memohon tentang segala sesuatu yang kita niatkan dan semata-mata berniat kepadaNya. 4) Tawakal kepada Allah, yaitu berserah diri kepada Allah SWT atas segala sesuatu yang dilakukan. Bahwasanya manusia hanya bisa berusaha dan Allah yang menentukan segalanya. Seperti Firman Allah dalam Q.S. Hud: 56." Sesungguhnya aku bertawakal kepada Allah Rabb-ku dan Rabb-mu. Tidak ada sesuatu binatang melata pun melainkan dia-lah yang memegang ubun-ubunnya."
10
b. Akhlak kepada kedua orang Tua Berbuat baik kepada kedua orang tua, (birul waalidaini) merupakan akhlak yang paling mulia (mahmudah) sebab pada hakekatnya hanya kepada ayah dan ibulah yang paling banyak berjasa kepada anak-anaknya. Sehingga berbakti, mengabdi, dan menghormati kedua orang tua adalah merupakan kewajiban bagi semua anak. c.
Akhlak dalam menerima ketentuan Allah Akhlak dalam menerima ketentuan Allah adalah salah satu bagian dari perilaku yang terpuji dan menduduki tempat yang utama dalam menentukan kesempurnaan pribadi. Karena segala yang terjadi, sedang terjadi, dan yang akan terjadi semua telah menjadi ketentuan Allah SWT, termasuk sifat baik dan buruk.
d. Perasaan malu (Al-Haya) Rasa malu bagi orang mukmin merupakan basis nilai-nilai keutamaan dan menjadi dasar akhlak yang mulia (Akhlakul karimah). Sebab malu kepada Allah akan menjadi dasar timbulnya perasaan malu terhadap orang lain dan diri sendiri. Karena seorang mukmin yang malu kepada Allah tidak akan mendurhakainya dengan melanggar larangan atau melalaikan perintahnya.
11
2.1.1 Religi Sebagai Sistem Kebudayaan Istilah religi pada umumnya mengandung makna kecendrungan batin manusia untuk berhubungan dengan kekuatan alam semesta, dalam mencari nilai dan makna kekuatan alam semesta itu dianggap suci, dikagumi, dihormati dan sekaligus ditakuti karena luar biasa sifatnya. Manusia percaya bahwa "yang suci" itu ada dan diluar kemampuan dan kekuasaannya, sehingga manusia meminta perlindunganNya dengan menjaga keseimbangan alam melalui berbagai upacara. Istilah religi di sini menunjukan adanya hubungan antara manusia dengan kekuasaan ghaib di luar kemampuanya, berdasarkan kepercayaan atau keyakinan mereka yang termanifestasikan ke dalam tiga wujud kebudayaan, yaitu sistem gagasan, sistem tindakan dan artefak. Definisi Religi yang melihat sebagai suatu upaya simbolis dikemukakan oleh J. Van Ball (1971: 242). “Religi adalah suatu sistem simbol-simbol yang dengan sarana tersebut manusia berkomunikasi dengan jagat rayanya”. Uraian di atas membuktikan kompleksnya pengertian religi, namun pada prinsipnya religi harus memuat lima unsur yaitu : 1. Adanya emosi 2. Keyakinan 3. Upacara 4. Peralatan dan 5. Pemeluk atau para penganut
12
Hal yang terakhir ini cukup penting karena suatu upacara atau tindakan simbolis tertentu seperti berdoa menandahkan tangan ke atas bukan hanya sekedar gerakan kinetik tanpa arti. Gerakan tangan tersebut sering kali merupakan gerakan simbolis yang sarat dengan makna. Demikian definisi tentang “religi itu yakni definisi yang memberi memuat hal-hal keyakinan, upacara dan peralatan, sikap dan prilaku, alam pikiran dan perasaan di samping hal-hal yang menyangkut para penganutnya sendiri” (Koentjaraningrat, 1977: 269-272). Ada Empat Fungsi religi yaitu: a. Membantu dan mendukung berlakunya nilai-nilai yang ada dan mendasar dari kebudayaan suatu masyarakat. b. Menyajikan berbagai penjelasan mengenai hakekat kehidupan manusia dan lingkungan serta ruang dan waktu. c. Religi memainkan peran yang besar bagi individu-individu karena religi menyajikan penjelasan dan bertindak sebagai kerangka sandaran bagi ketentraman dan penghiburan hati dalam keadaan kesukaran dan kekacoan yang dihadapi manusia. d. Religi mampu menyajikan berbagai faktor dan bidang kehidupan ke dalam suatu pengorganisasian yang menyeluruh, sehingga menciptakan rasa aman dan pencapaian tujuan kebenaran bersama. 2.1.2 Unsur Khusus dalam Sistem Religi Semua aktifitas manusia yang bersangkutan dengan religi berdasarkan atas suatu getaran jiwa, yang biasanya disebut emosi keagamaan (religious emotion). Emosi keagamaan ini biasanya pernah dialami oleh setiap manusia, walaupun getaran emosi itu mungkin hanya berlangsung untuk beberapa detik saja, untuk kemudian menghilang lagi. Emosi keagamaan itulah yang mendorong orang melakukan tindakan-tindakan riligi. Demikan juga benda-
13
benda, tindakan-tindakan atau gagasn-gagasan yang biasanya tidak keramat (profane) tetapi apabila dihadapi oleh manusia yang dihinggapi oleh emosi keagamaan sehingga ia seolah-olah terpesona, maka benda-benda, tindakantindakan, dan gagasan-gagasan tadi menjadi keramat. Suatu sistem riligi dalam suatu kebudayaan selalu mempunyai ciri-ciri untuk sedapat mungkin memelihara emosi keagamaan itu diantara pengikutpengikutnya. Dengan demikian, emosi keagamaan merupakan unsur penting dalam suatu religi bersama dengan tiga unsur yang lain, yaitu (a) sistem kayakinan; (b) sistem upacara keagamaan; (c) suatu umat yang mengatur religi itu. Sistem keyakinan secara khusus mengandung banyak subunsur. Misalnya konsepsi tentang dewa-dewa yang baik mauppun yang jahat; sifat dan tanda-tanda dewa; konsepsi tentang mahluk-mahluk halus lainnya seperti rohroh leluhur, roh-roh lain yang baik maupun yang jahat, hantu dan lain-lain; konsepsi tentang dewa tertinggi dan pencipta alam; masalah terciptanya dunia dan alam (kosmogoni); masalah mengenai bentuk dan sifat-sifat dunia dan alam (kosmologi); konsepsi tentang hidup dan maut; konsepsi tentang dunia roh, dunia akhirat dan lain-lain. Sistem upacara keagamaan secara khusus mengandung empat aspek yaitu: (a) tempat upacara keagamaan dilakukan; (b) saat-saat upacara keagamaan dijalankan; (c) benda-benda dan alat upacara; (d) orang-orang yang melakukan dan memimpin upacara. 14
Aspek pertama berhubungan denga tempat-tempat keramat upacara dilakukan, yaitu makam, candi, pura, kuil, gereja, langgar, surau, masjid dan sebagainya. Apek kedua adalah aspek mengenai saat-saat beribadah, hari-hari keramat dan suci dan sebagainnya. Aspek ketiga adalah tentang benda-benda yang dipakai dalam upacara, termasuk patung-patung yang melambangkan dewa-dewa, alat bunyi-bunyian seperti lonceng suci, seruling suci, genderang suci dan sebagainya. Aspek keempat adalah aspek yang mengenai para pelaku upacara keagamaan, yaitu para pendeta biksu, syaman, dukun dan lain-lain. Upacara-upacara itu sendiri banyak juga unsurnya, yaitu: “ (a) bersaji, (b) berkorban; (c) berdoa; (d) makan bersama makan yang telah disucikan dengan doa; (e) menari tarian suci; (f) menyayi nyaian suci; (g) berprosesi atau berpawai; (h) memainkan seni drama suci; (i) berpuasa; (j) intoksikasi atau mengaburkan pikiran dengan obat bius sampai kerasukan, mabuk; (k) bertapa; (l) bersemedi ” (Koentjaraningrat 2009 : 294-296). 2.2 Nilai 2.2.1 Pengertian Nilai Nilai adalah sesuatu yang berharga, bermutu, menunjukkan kualitas, dan berguna bagi manusia. Sesuatu itu bernilai berarti sesuatu itu berharga atau berguna bagi kehidupan manusia. Adanya dua macam nilai tersebut sejalan dengan penegasan pancasila sebagai ideologi terbuka. Perumusan pancasila sebagai dalam pembukaan UUD 1945. Alinea 4 dinyatakan sebagai nilai dasar dan penjabarannya sebagai nilai instrumental. Nilai dasar tidak berubah dan tidak boleh diubah lagi. Betapapun pentingnya nilai dasar yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 itu, sifatnya belum operasional. Artinya kita belum
15
dapat menjabarkannya secara langsung dalam kehidupan sehari-hari. Penjelasan UUD 1945 sendiri menunjuk adanya undang-undang sebagai pelaksanaan hukum dasar tertulis itu. Nilai-nilai dasar yang terkandung dalam pembukaan UUD 1945 itu memerlukan penjabaran lebih lanjut. Penjabaran itu sebagai arahan untuk kehidupan nyata. Penjabaran itu kemudian dinamakan Nilai Instrumental. Nilai Instrumental harus tetap mengacu kepada nilai-nilai dasar yang dijabarkannya Penjabaran itu bisa dilakukan secara kreatif dan dinamis dalam bentuk-bentuk baru untuk mewujudkan semangat yang sama dan dalam batasbatas yang dimungkinkan oleh nilai dasar itu. Penjabaran itu jelas tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai dasarnya. 2.2.2
Macam-Macam Nilai Menurut Munir dari pandangan C.A Van Peurson (dalam Ibrahim Polontalo, 2005:15-16) “mengemukakan bahwa nilai logika dalam pemikiran islam dibagi atas tiga tahap pemikiran manusia yakni mitos, ontologism dan fungsional”. Dalam filsafat, nilai dibedakan dalam tiga macam, yaitu (a). Nilai logika adalah nilai benar salah. (b). Nilai estetika adalah nilai indah tidak indah. (c). Nilai etika/moral adalah nilai baik buruk. Berdasarkan klasifikasi di atas, kita dapat memberikan contoh dalam kehidupan. Jika seorang siswa dapat menjawab suatu pertanyaan, ia benar secara logika. Apabila ia keliru dalam menjawab, kita katakan salah. Kita tidak bisa mengatakan siswa itu buruk karena jawabannya 16
salah. Buruk adalah nilai moral sehingga bukan pada tempatnya kita mengatakan demikian. Contoh nilai estetika adalah apabila kita melihat suatu pemandangan, menonton sebuah pentas pertunjukan, atau merasakan makanan, nilai estetika bersifat subjektif pada diri yang bersangkutan. Seseorang akan merasa senang dengan melihat sebuah lukisan yang menurutnya sangat indah, tetapi orang lain mungkin tidak suka dengan lukisan itu. Kita tidak bisa memaksakan bahwa luikisan itu indah. Nilai moral adalah suatu bagian dari nilai, yaitu nilai yang menangani kelakuan baik atau buruk dari manusia. Moral selalu berhubungan dengan nilai, tetapi tidak semua nilai adalah nilai moral. Moral berhubungan dengan kelakuan atau tindakan manusia. Nilai moral inilah yang lebih terkait dengan tingkah laku kehidupan kita sehari-hari. Penjelasan mengenai nilai logika, estetika dan etika juga tercermin pada ritual dayango dengan memiliki nilai benar salah dikalangan masyarakat terjadi kontrofersi terhadap dayango, ada yang menilai bahwa dayango merupakan perbuatan syirik dilain pihak dayango juga memiliki nilai kebenaran yang mampu memberikan fakta empiris seperti mengobati penyakit dan talak bala. Nilai keindahan dayango merupakan jati diri Gorontalo itu sendiri karena dayango adalah ritual dari leluhur sebelumnya.
17
2.3 Hakekat Kebudayaan 2.3.1 Pengertian Kebudayaan Sebelum membahas pengertian kebudayaan sebaiknya akan dikemukakan terlebih dahulu pengertian budaya. Budaya menurut Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat (2005:18) adalah “suatu konsep yang membangkitkan minat. Secara formal budaya didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna, hirarki, agama, waktu, peranan, hubungan ruang, konsep alam semesta, objek-objek materi dan milik yang diperoleh sekelompok besar orang dari generasi ke generasi melalui usaha individu dan kelompok ”. Dilihat dari sudut pandang bahasa Indonesia, kebudayaan berasal dari kata bahasa sansekerta yaitu buddayah yang berarti bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau pekerti. Tetapi ada pula yang mengatakan bahwa kebudayaan
berasal dari kata budi yang artinya akal dari unsur rokhani
kebudayaan dan daya yang artinya pikiran dari unsur jasmani, sehingga kebudayaan diartikan sebagai hasil ikhtisar manusia. Adapun pengertian kebudayaan menurut bahasa Belanda diterjemahkan dengan cultuur, sedangkan dalam bahasa Inggris yakni culture. Dari kedua bahasa tersebut berasal dari bahasa latin yakni colore yang artinya mengolah, mengerjakan, menyuburkan, dan mengembangkan. Pada masyarakat Indonesia, kebudayaan diartikan bermacam-macam. Dimana oleh masyarakat umum, kebudayaan diartikan sebagai kesenian atau berbagai hal yang berkaitan dengan kesenian. Sedangkan dikalangan akademisi, kebudayaan diartikan sesuai dengan defenisi kebudayaan yang dipergunakan. 18
Melihat hal tersebut diatas, bahwa pengertian kebudayaan yang tepat amat sulit. Hal ini disebabkan oleh banyaknya orang yang membuat defenisi tentang kebudayaan, sementara versi yang digunakannyapun berbeda-beda. Menurut Sultan Takdir Alisyahbana (2011:5) ”bahwa kebudayaan adalah manifestasi sebuah bangsa”. Nani Tuloli (2001 : 187) “ Kebudayaan pada satu sisi dapat di lihat sebagai suatu penyelesaian kelompok atas berbagai persoalan hidup manusia yang mempola hubungan-hubungan manusia satu dengan yang lainnya dan manusia dengan lingkungannya. Penerusan pola itu itu dapat diungkap melalui berbagai cara atau sistem transformasi budaya. Berbagai sistem transformasi budaya yang vertikal dapat dilaksanakan melalui sastra lisan. Pada pihak lain sastra lisan juga adalah karya manusia yang mempunyai posisi sebagai salah satu aspek budaya yang bersifat seni ”. Cirri-ciri kebudayaan pada umumnya melekat pada sastra lisan. Ciri-ciri itu antara lain: 1. Milik bersama seluruh masyarakat budaya(sastra itu); 2. Diturunkan dari generasi ke generasi, baik dalam bentuk asli maupun yang berubah; 3. Berfungsi bagi kebutuhan dan kehidupan masyarakatnya; 4. Bisa diwujudkan dalam berbagai bentuk, tingkah laku dan hasil karya. Robson (dalam Nani Tuloli 1978:7). Kebudayaan menurut Geetz (dalam Budi Susanto 2000:35) diartikan sebagai ”jaringan makna yang diciptakan oleh manusia, analisis dari makna ini bukanlah
merupakan
ilmu
yang
eksperimental, melainkan sebuah ilmu
interpretatif untuk mencari makna”. Sementara menurut Mansoer Pateda (2001 : 22) “ Kebudayaan tidak dengan sendirinya terwujud, sebab keberadaan kebudayaan melalui suatu proses dinamis hasil ketertarikan antar berbagai sistem. Dengan demikan kebudayaan tidak pernah mencapai kemapanan abadi, suatu tahap perkembangan yang telah mencapai kemapanan akan bersifat sementara meskipun kemampuan itu berlangsung dalam waktu yang relatif lama.
19
Kebudayaan merupakan hasil proses dinamis penghasil yang pleksibel yang bukan abadi, dan karena itu tidak mungkin abadi ”. Berdasarkan dari beberapa pengertian diatas tentang budaya maka penulis menyimpulkan bahwa kebudayaan mempunyai hubungan dengan hasil penelitian (dayango) dimana kebudayaan lahir dari hasil karya cipta manusia yang kemudian di jalankan dalam kehidupan kesehariannya. Hubungannya dengan dayango adalah dayango merupakan salah satu aspek budaya yang ada di Gorontalo meskipun pelaksanaanya saat ini dilarang oleh pihak-pihak yang berwajib. 2.4 Konsep Masyarakat Pada dasarnya masyarakat bukan sekedar sekumpulan manusia semata tanpa ikatan, akan tetapi terdapat hubungan fungsional antara satu dengan yang lainnya. Setiap individu mempunyai kesadaran akan keberadaan di tengahtengah individu yang lainnya. Sistem pergaulan didasarkan atas kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari dapat terjalin dengan baik. Definisi masyarakat menurut (Abdul Syani, 2007:30). “Masyarakat berasal dari kata musyarak (arab) yang
artinya bersama-sama, yang
kemudian berubah menjadi masyarakat, yang artinya berkumpul bersama, hidup bersama dengan saling berhubungan dan saling mempengaruhi, selanjutnya mendapatkan kesepakatan menjadi masyarakat ”.
20
Supaya dapat menjelaskan pengertian masyarakat secara umum, maka perlu ditelaah tentang ciri-ciri dari masyarkat itu sendiri. Menurut Soerjono Soekanto (dalam Abdul Syani, 2007:32) menyatakan bahwa sebagai suatu pergaulan hidup atau suatu bentuk kehidupan bersama manusia, maka masyarkat itu mampunyai ciri-ciri pokok yaitu: 1) Manusia yang hidup bersama. Di dalam ilmu sosial tidak ada ukuran yang mutlak ataupun angka yang pasti untuk menentukan berapa jumlah manusia yang harus ada. Akan tetapi secara teoritis, angka minimumnya ada dua orang yang hidup bersama. 2) Bercampur untuk waktu yang cukup lama. Kumpulan dari manusia tidaklah sama dengan kumpulan benda-benda mati sepeti umpamanya kursi, meja dan sebagainya. Oleh karena dengan berkumpulnya manusia, maka akan timbul, manusia-manusia baru. Manusia itu juga dapat bercakap-cakap, merasa dan mengerti, mereka juga mempunyai keinginan-keinginan untuk menyampaikan kesan-kesan atau perasanperasaannya. Sebagai akibat hidup bersama itu, timbullah sistem komunikasi dan timbullah peraturan-peraturan yang mengatur hubungan antar manusia dalam kelompok tersebut. 3) Mereka sadar bahwa meraka merupakan suatu kesatuan. 4) Mereka merupakan suatu sistem hidup bersama. Sistem kehidupan bersama menimbulkan kebudayaan, oleh karena setiap anggota kelompok merasa dirinya terikat satu dengan yang lainnya. 2.5 Ciri-Ciri Masyarakat Ciri-ciri masyarakat dalam suatu bentuk kehidupan bersama menurut Soerjono Soekanto ( dalam Abdul Syani 1995 : 47 ) adalah sebagai berikut: a. Manusia yang hidup bersama. Di dalam ilmu sosial tak ada ukuran yang mutlak ataupun angka yang pasti untuk menentukan berapa jumlah yang harus ada. b. Bercampur untuk waktu yang lama. Kumpulan dari manusia tidaklah sam dengan kumpulan benda-benda mati seperti umpamanya kursi, meja, dan sebagainya. Oleh karena dengan berkumpulnya manusia, maka akan timbul manusia-manusia baru. c. Mereka sadar bahwa mereka merupakan satu kesatuan.
21
d. Mereka merupakan satu system hidup bersama. System kehidupan bersama menimbulkan kebudayaan, oleh karena setiap anggota kelompok merasa dirinya terikat satu dengan lainnya. 2.5.1 Karakteristik Sosial Masyarakat Dalam
kehidupan
masyarakat,
manusia
dituntut
untuk
mengedepankan kelompok dari pada kepentingan pribadinya sendiri. Dalam tatanan implementasi, setiap individu harus menyadari bahwa dia merupakan bagian yang tak terpisahkan dari unsur kemasyarakatan sehingga setiap tingkah laku perbuatannya harus melalui berbagai pertimbangan sehingga tidak mengabaikan statusnya sebagai salah satu unsur dalam masyarakat. Roucek dan Warren (dalam Shahab Kurnadi, 2007:11-12) “menyatakan bahwa, masyarakat pedesaan memiliki karakteristik sebagai berikut: “ (1) Punya sifat homogen dalam (mata pencahrian, nilai-nilai dalam kebudayaan serta dalam sikab dan tingkah laku), (2) Kehidupan desa lebih menenkankan anggota keluarga sebagai unit ekonomi. Artinya, semua anggota keluarga turut bersama-sama mematuhi kebutuhan ekonomi rumah tangga, (3) Faktor geografis sangat berpengaruh atas kehidupan yang ada. Misalnya, keterikatan annggota masyarakat dengan tanah atau desa kelahirannya, (4) Hubungan sesama anggota mesyarakat lebih intim dan awet dari pada kota serta jumlah anak yang ada dalam keluarga init lebih besar ”. Terbentuknya masyarakat dapat pula didorong oleh faktor sosial, yaitu toleransi dan tolong menolong. Manusia dilahirkan sudah mempunyai dua hasrat pokok yaitu; (1) hasrat untuk hidup bersama dengan manusia lain, (2) hasrat untuk bersatu dengan suasana alam sekitarnya.
22
Ada tiga alternatif corak dan arah hubungan individu dengan masyarakat, yaitu: a. Individu memiliki status yang relatif dominan terhadap masyarakat; b. Masyarakat memiliki status yang relatif dominan teerhadap individu; dan c. Individu dan masyarakat saling tergantung.
Masyarakat
dapat
dilihat
dari
beberapa
sudut
pandang,
yaitu:
(a) masyarakat dapat dilihat sebagai penduduk yang menghuni suatu daerah tertentu, (b) masyarakat dapat dilihat sebagai kesatuan dari beberapa orang, (c) masyarakat dapat dilihat sebagai corak-corak perhubungan yang terjadi antar warganya (masyarakat), dan (d) dari corak hubungan yang terjadi terdapat nilai-nilai budaya dan norma-norma aturan kaidah yang berfungsi mengatur hubungan antar warga masyarakat tersebut. J.L. Gillin dan J.P. Gillin (dalam Warsito 2012 : 116) mengatakan, bahwa “masyarakat adalah kelompok manusia terbesar yang mempunyai kebiasaan, tradisi, sikap dan perasaan persatuan yang sama”. Menurut Abdul Syani ( 1995 : 46 ) “masyarakat merupakan wadah hidup bersama dari individu – individu yang terjalin dan terikat dalam hubungan interaksi serta interelasi sosial dalam studi masyarakat, individu tidak di pandang sebagai orang tersendiri tanpa hubungan dengan individu lain. Masyarakat dapat membentuk kepribadian yang khas bagi manusia, sehingga tanpa adanya kelompok, manusia tidak akan mampu untuk dapat berbuat banyak dalam kehidupannya.
23
Menurut linton ( Dalam Harsojo 1999 : 126 ) “masyarakat adalah setiap kelompok manusia yang telah cukup lama hidup dan bekerja sama sehingga dirinya dan berpikir tentang dirinya sebagai satu kesatuan sosial dengan batasbatas tertentu”. Dari penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa masyarakat itu timbul dari setiap kumpulan individu – individu atau kelompok yang telah cukup lama hidup dan bekerja sama dan saling membutuhakan antara satu sama lain. Menurut Koentjaraningrat ( 2002 : 148 ) “masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat-istiadat tertentu yang bersifat kontinyu, dan yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama”. Menurut Roucek dan Warren ( dalam Abdul Syani 1995 : 84 ) “masyarakat merupakan sekelompok manusia yang memiliki rasa kesadaran bersama dimana mereka berdiam pada daerah yang bersama, yang sebagian besar atau seluruh warganya memperlihatkan adanya adat kebiasaan dan aktifitas yang sama pula”. Masyarakat adalah orang – orang yang saling berinteraksi dalam suatu ikatan atau sistem di mana mereka berada. Bisa dibilang juga bahwa nmasyarakat adalah suatu jaringan yang menghubungkan antar entitas yang saling tergantung antara satu individu dengan individu lainnya yang bersifat teratur.
24
Dengan demikian, berarti masyarakat dapat dilihat dari beberapa sudut pandang, yaitu : a. Masyarakat dapat dilihat sebagai penduduk yang menghuni suatu daerah tertentu. b. Masyarakat dapat dilihat sebagai kesatuan dari beberapa orang. c. Masyarakat dapat dilihat sebagai corak-corak perhubungan yang terjadi antara warganya ( Masyarakat ). d. Dalam corak hubungan yang terjadi terhadap nilai-nilai budaya atau normanorma, aturan dan kaidah-kaidah yang berfungsi mengatur hubungan antara warga masyarakat tersebut. Dari beberapa pengertian yang telah dikemukakan diatas, penulis menarik kesimpulan bahwa yanng dikatakan masyarakat harus memenuhi beberapa kriteria yaitu: a. Adanya individu-individu yang berkelompok; b. Adanya suatu wilayah atau daerah tertentu; c. Adanya hubungan sosial antara anggota-anggota dalam jangka waktu yang lama; d. Adanya norma-norma atau aturan-aturan yang mengatur kehidupan masyarakat; dan e. Mempunyai pemimpin yang mengarahkan kehidupan masyarakat.
25
2.6 Masyarakat Multikultural Masyarakat multikultural adalah masyarakat yang terdiri atas beragam suku bangsa dan budaya. Masyarakat Indonesia tergolong masyarakat multikultural, karena masyarakatnya sangat majemuk dalam suku bangsa, ras, klan, agama, mata pencaharian, adat-istiadat, golongan politik, dan sebagainya. Walaupun masyarakat Indonesia sangat majemuk, tetapi hidup bersatu secara damai dan berdampingan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Masyarakat multikultural Indonesia ini oleh Mpu Tantular diungkapkan dengan istilah Bhinneka Tunggal Ika, yang berbeda-beda tetapi tetap satu. Multikultural
merupakan suatu tantangan
yang mengedepankan
majemuknya nilai-nilai, kelompok sosial, dan struktur sosial. Dalam kesadaran pluralisme, manusia dihadapkan pada proses pembelajaran yang terus-menerus bergulir sepanjang hidupnya terhadap sesuatu di luar pribadi dan identitas monokulturnya. Dalam kedua konteks itu (manusia dan multikultur), banyak perbenturan yang bisa terjadi. Tetapi, itu adalah impact yang tidak bisa dihindari karena yang mau dicirikan manusia sebagai realitas-realitas human being,
manusia
sebagai yang berakal budi. Konsep multikultural saat ini
menjadi kerinduan sosiologis ketika globalisme begitu deras mendera semua bangsa dan negara, menjadi harapan ketika banyak bangsa mengalami krisis identitas dan perpecahan, menjadi alternative di tengah chaos
dan
ketidakpastian hidup. Kita merupakan dari situasi yang mencoba merekatkan krisis identitas itu. Ketika multikultur menjadi bagian dari isu global, maka 26
sebagai manusia yang merindukan tatanan nilai harmoni, miltikultur manjadi harapan baru dalam membangun reidentifikasi keindonesiaan kita. Apa yang disebut sebagai multikultur sesunguhnya merupakan bagian dari fakta sejarah manusia. Kondisi geografis, agraris, dan maritim menemukan sinkretismenya dalam perilaku budaya profetis, moral, dan perilaku pergaulan dalam persatuan nusantara. Fakta sejarah membuktikan bahwa kebersamaan dan keberagaman itu telah lama terjalin dalam bingkai semangat kemanusiaan sebagai bagian yang utuh dari hidup penuh nilai dan keberbedaan. Dalam lingkup yang paling kecil, kenyataan historis itu dapat dilihat di Kubu tambahan, Buleleng, bali tempat situs-situs yang mencerminkan kehidupan multikultur tertandai dari abad ke 13. Ketika isu multikultur merebak sebagai alternatif dan menjadi benang merah terhadap kesadaran hidup dalam keberagaman etnis dan budaya, maka sesunguhnya itu bukanlah hal baru bagi bangsa Indonesia. Multikultur tidak hanya menempatkan keberagaman dalam konteks sinkretisme fisik, melainkan telah tertanam dalam relasi-relasi rohani. Multikultur bagi mereka adalah kesadaran yang memahami satu sama lain sebagai bagian utuh dari rasa kemanusiaan, bagian utuh dari tatanan yang meletakkan satu dengan yang lain saling
memperkaya
bangunan kebudayaan secara menyeluruh. Dalam
hubungan konteks kekinian, multikultur bukanlah suatu nilai dan tatanan baru di negeri ini, karena ia adalah realitas sejarah bangsa Indonesia. Dalam ikhtiar membangun rasa keindonesiaan ini, kita semua sangat membutuhkan kesadaran 27
sejarah itu, bahwa di tengah krisis identitas, chaos di segala lini kehidupan, multikultur sangat perlu dikembalikan saat ini guna mendapat keharmonisan tatanan kehidupan di tengah keberagaman. Apabila kita mempersoalkan tentang dimana saat tertuju pada proses pelaksanaan dan tingkat keberhasilan kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat Kegiatan yang dimaksud adalah kegiatan yang dapat memberikan manfaat dari hasil pelajaran yang dilaksanakan. Para ahli banyak
mengemukakan
pendapatnya tentang kelompok sosial dari sudut pandangan yang berbeda namun mempunyai tujuan yang sama Dewasa ini kita semua menerima pendapat bahwa dalam kehidupan sehari-hari manusia tidaklah lepas dari hubungan satu dengan yang lain. Ia selalu menyesuaikan diri dengan lingkungannya, sehingga kepribadian individu, kecakapan-kecakapannya, ciri-ciri kegiatannya baru menjadi kepribadian individu yang sebenar-benarnya apabila keseluruhan system psycho-physik tersebut berhubungan dengan lingkungannya. Demikian kehidupan manusia dalam masyarakat mempunyai dua macam fungsi yaitu berfungsi sebagai objek dan berfungsi sebagai subjek. Demikian juga manusia lain ( Milieu ), juga barfungsi sebagai subjek dan objek. Itulah sebabnya maka H. Bonner dalam bukunya Social Psychology memberikan rumusan interaksi sosial sebagai berikut. Interaksi sosial adalah suatu hubungan antara individu atau lebih , dimana kelakuan individu yang satu mempengaruhi, mengubah atau 28
memperbaiki kelakuan individu yang lain atau sebaliknya. Hal ini sebenarnya merupakan keuntungan yang besar bagi manusia, sebab dengan adanya dua macam fungsi yang dimiliki itu timbullah kemajuan-kemajuan dalam hidup bermasyarakat.
.
Berangkat dari pengertian para ahli di atas maka Ikatan primordial pada dasarnya berakar pada identitas dasar yang dimiliki oleh para anggota suatu kelompok etnis, seperti tubuh, nama, bahasa, agama atau kepercayaan, sejarah dan asal-usul. Identitas dasar ini merupakan sumber acuan bagi para anggota suatu kelompok etnik dalam
melakukan intreaksi sosialnya. Oleh
karena itu, identitas dasar merupakan suatu acuan yang sangat mendasar dan bersifat umum, serta menjadi kerangka dasar bagi perwujudan suatu kelompok etnik. Identitas dasar diperoleh secara askriptif dan tidak mudah untuk mengingkarinya, identitas dasar muncul dalam interaksi sosial antar kelompok etnik. Dalam interaksi tersebut para pelaku dari berbagai kelompok etnik akan menyadari bahwa terdapat perbedaan kelompok di antara mereka. Identitas dasar kemudian menjadi suatu pembeda antara berbagai kelompok etnik yang sedang berinteraksi. Identitas dasar merupakan
sumber
adanya ikatan
primodial, suatu ikatan yang lahir dari hubungan-hubungan keluarga atau hubungan darah (garis keturunan), hubungan ras, lingkungan kepercayaan atau keagamaan,
serta bahasa atau dialek tertentu. Suatu persamaan hubungan
darah, dialek, ras,
kebiasaan dan sebagainya 29
yang
melahirkan
ikatan
emosional yang kadang kadarnya berlebihan sehingga dapat menjadi sesuatu yang bersifat destruksif. Ikatan-ikatan tersebut dapat dianggap sebagai “warisan” dari sifat sosial yang telah ada suatu “kelangsungan yang berkesinambungan” dan sebagian besar merupakan ikatan keluarga, namun lebih dari itu merupakan warisan yang berasal dari kelahiran di tengah-tengah masyarakat beragama tertentu, yang berbicara dalam dialek bahasa tertentu, dan mengikuti praktik-praktik sosial tertentu. Kehidupan etnik
seringkali
sehari-hari merupakan identitas dasar suatu dimanipulasi. Identitas dasar
dapat
kelompok
dinon-aktifkan,
diaktifkan, dipersempit dapat dimungkinkan karena identitas dasar itu bukanlah sesuatu yang masih seperti batu melainkan cair, sehingga dapat mengalir dan berkembang dalam
rangka penyesuaian- penyesuaian
dalam
kehidupan.
Namun tidak jarang aliran identitas dasar menerjang dengan kuat bagaikan air bah yang membobol bendungan-bendungan, serta merusak segala sesuatu yang dilaluinya. Pada keadaan-keadaan tertentu identitas dasar yang mewujudkan keberadaannya dalam bentuk ikatan-ikatan primordial melahirkan kohesi emosional yang sangat kuat
atau menjadi etnosentrisme yang berlebihan,
sehingga menjadi sumber malapetaka. Berdasarkan dari beberapa pengertian masyarakat yang di kemukakan diatas maka penulis menyimpulkan bahwa ternyata masyarakat mempunyai hubungan erat dengan hasil penelitian (Dayango) dimana masyarakat yang menjadi tonggak dan sumber penggerak dari dayango itu sendiri bahkan 30
masyarakat pulalah yang menciptakan dan melaksanakan kebudayaan ritual dayango. 2.7 Penelitian Yang Relevan Ipong Niaga dalam laporan penelitiannya mengenai ritual
dayango
di Desa Liyodu, Kecamatan Bongomeme Kabupaten Gorontalo pada tahun 2013 menyimpulkan bahwa: Pertama, ritual dayango merupakan ritual kuno masyarakat Gorontalo, terbentuk dari proses transformasi dialektis antara tiga elemen penting berupa: mitos Ti bebe, konsep perbintangan dan kultur dilingkungan agraris tropis, dayango menjadi ekspresi kolektif dari rasa perlunya berharmoni dengan alam agar
dapat
memperoleh kehidupan yang tidak menderita. Dalam
bentuknya, ritual dayango terdiri dari mantra-mantra, sesajian, ekspresiekspresi gerak, dan iringan tetabuhan, yang maka semuanya terdapat unsure-unsur eksotisme, eritisme dan artistic. Kedua, meski demikian , ritual bukanlah bentuk ekspresi seni, sebab ekspresi-ekspresi artistikdalam ritual-ritual kuno yang dapat kita amati tidak sama sekali membawa fungsi-fungsi artistikitu sendiri, melainkan fungsi tersendiri berupa spiritualitas yang terbentuk berdasarkan struktur ritualnya yang merujuk pada konsep religi yang mendasarinya. Dalam pada itu, religi tidak mendasari dirinya dengan oposisi antara „yang baik‟ dan „yang buruk‟ atau „yang indah‟ dan „yang jelek‟ akan tetapi oposisi dalam religi
31
mengutamakan
perbedaan yang hakiki tentang „yang abadi‟ dengan „yang
fana‟, „yang suci‟ dengan „yang profane‟, juga oposisi gender „yang laki-laki‟ dengan „yang perempuan‟, begitu pula oposisi tentang „ayah‟ dan „anak‟ menjadi elemen khas yang membentuk hierarki organisasi religi dan ritual manusia secara umum di kemudian hari. Oleh karenanya, ritual kultur dan natur. Kultur dan natur sendiri di pahami sebagai pola yang terbedakan berdasarkan dinamika elementernya, kultur berbasis pada prinsip adaptasi dan natur berbasis pada prinsip siklik. Secara fundamental pula, kesemua oposisi tersebut, disadari atau tidak, telah membentuk kerangka konstitutif utama dalam pemikiran manusia, yaitu terbentuknya „orientasi‟ yang mencetuskan „direksi‟ (arahan). Orientasi merupakan dasar-dasar subjektifitas dimana
perspektif manusia telah
menentukan jenis-jenis perubahan di permukaan bumi yang terjadi akibat adanya dinamika budaya. Alam merupakan materi yang bebas nilai, tetapi pikiran manusia mengelompokannya dalam kategori-kategori klasifikasi yang hanya di pahami oleh manusia itu sendiri. Inilah yang di maksud dengan orientasi, ketika manusia menyadari keberadaannya dan secara mandiri manusia menentukan tujuannya dan mengarahkan perjalanan sejarahnya. „orientasi‟ mencetuskan „direksi‟ dan akhirnya melahirkan tanda-tanda yang beragam yang terangkum dalam jenis-jenis symbol budaya manusia. Semisal, orientasi „yang didalam‟ dan „ yang diluar‟ menghasilkan direksi „keluar‟ dan „masuk‟, „yang diatas‟ dan „yang dibawah‟ menghasilkan direksi „disembah‟ dan „menyembah‟. 32
Ketiga, sistem religi yang selama ini di pahami sebagai suatu keyakinan yang di turunkan lewat wahyu, ternyata di dalamnya sarat dengan system pengetahuan yang berfungsi sebagai „konsep‟ yang menghubungkan antara subjektifitas manusia dengan lingkungan ekologikalnya. Siklus alam yang tidak bisa di kendalikan oleh kehendak manusia merupakan tembok pembatas jangkauan pemikirannya, yang di sebut sebagai „takdir‟, sementara itu pikiran dan hasil-hasil karya manusia berupaya keras untuk beradaptasi di tengah gelombang besar tersebut. Pada kasus dayango, misalnya, ritual ini secara eksplisit menggambarkan permohonan manusia kepada sang pencipta untuk mengakhiri penderitaan akibat penyakit dan kekeringan. Sesajian-sesajian yang di persembahkan memiliki relevansi dengan situasi alam yang sedang melingkupinya. Keempat, hubungan antara mitos dan rutual dalam system religi memperlihatkan suatu transformasi dialektis yang membentuk korespondensi setuap elemennya dalam konteksnya sendiri. Sebuah rasi bintang yang bernama „malu‟o (ayam), identik dengan musim penyakit yang menyerang ternak ayam, maka dibuatlah sesajian berupa ayam dan telur ayam. Begitu pula dalam mitos yang memisahkan manusia dangan latti, dalam ritualnya kedua hal tersebut „dipasangkan‟
kembali
secara
simbolik
melalui
gerak-gerak
trans
merepresentasikan harmoni antara manusia dan alam. Kelima, trasformasi mitos dan ritual berupa menjalin suatu hubungan dialektis yang bersifat triadik antara manusia, tuhan dan roh; atau manusia, 33
tuhan dan media penghubung. Bahwa manusia ternyata tak bisa terbebas begitu saja dari kematian dan penderitaan, adalah kesadaran mendasar yang mendorong manusia untuk bisa mengakses kekuasaan tuhan agar bisa memperoleh perasaan-perasaan aman dan terlindungi. Ilusi manusia untuk bisa mengakses dunia lain yang lebih kuasa darinya, menjadi pendorong yang sangat kuat dalam proses ritual. Berdasarkan kesimpulan dari penelitian saudara Ipong Niaga tentang Ritual Dayango di Desa Liyodu, kecamatan bongomeme, kabupaten gorontalo maka di ketahui bahwa ritual dayango adalah suatu ritual yang dilaksankan oleh masyarakat gorontalo dimana terbentuk dari proses transformasi dialektis antara tiga elemen penting berupa: mitos ti bebe, konsep perbintangan dan kultur di lingkungan agraris tropis. Adapun kesamaan penelitian ini dengan penelitian Ipong Niaga adalah sama-sama meneliti ritual dayango akan tetapi, ada pula perbedaanya yakni: perbedaan
tempat
penelitian,
waktu
penelitiannya,
serta
perbedaan
pendekatannya di mana penelitian yang dilakukan oleh ipong niaga yakni lebih mengarah pada pelaksanaan ritual dayango dan konsep-konsep dasar yang mendasarinya bila di bandingkan dengan penulis yakni penulis hanya mendeskripsikan tahap-tahap pelaksanaan ritual dayango dan nilai-nilai yang tekandung pada ritual dayango itu sendiri.
34