1 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Ketersediaan obat bagi masyarakat merupakan salah satu komitmen pemerintah dalam melaksanakan pelayanan kesehatan masyarakat. Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan merupakan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Setiap upaya pembangunan harus dilandasi dengan wawasan kesehatan dalam arti pembangunan nasional harus memperhatikan kesehatan masyarakat dan merupakan tanggung jawab semua pihak baik pemerintah maupun masyarakat.1 Upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah tentunya bertujuan agar kesehatan masyarakat terjaga. Namun tidak dapat dihindari, bahwa upaya mulia tersebut terganjal dengan adanya peredaran obat palsu. Beredarnya obat-obatan palsu saat ini telah membawa konsekuensi terhadap permasalahan hukum dan permasalahan kesehatan masyarakat yang serius. Obat-obatan palsu dalam pengertian obat palsu2, pastinya telah melanggar ketentuan-ketentuan di bidang HaKI, karena pemegang lisensi obat (dalam hal ini produsen obat) akan terlanggar hak-haknya. Hal ini juga dapat merugikan konsumen (pengkonsumsi obat), karena disamping membeli barang yang tidak bermanfaat, kondisi kesehatan dapat mengalami gangguan akibat mengkonsumsi obat palsu. 1 2
Undang-undang nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No 242/Menkes/SK/V/1990 obat palsu adalah obat yang diproduksi oleh pihak yang tidak berhak berdasarkan peraturan perundangundangan, obat yang tidak terdaftar, dan obat yang kadar zat khasiatnya menyimpang lebih dari 20 persen di bawah batas kadar yang ditetapkan.
2 Indonesia sebagai negara yang berdasarkan atas hukum, yang menempatkan hukum diatas segalanya (supremasi hukum), telah memberikan jaminan adanya perlindungan hukum bagi rakyatnya, meskipun perlindungan yang diberikan belum sempurna. Perkembangan IPTEK yang ditandai dengan kebutuhan yang semakin meningkat disertai kecenderungan manusia untuk memiliki keinginan melalui jalan pintas, seperti memalsukan produk barang dan/ atau jasa, untuk memperoleh keuntungan besar. Masalah kesehatan adalah hal penting untuk dipelihara oleh semua pihak, karena pembangunan disegala bidang tidak mungkin tercapai dengan baik apabila tidak didukung oleh kondisi kesehatan yang baik, jasmani maupun rohani, dari seluruh rakyat. Berdasarkan hal tersebut, agar derajat kesehatan masyarakat yang optimal dapat terwujud, perlu dilakukan upaya-upaya kesehatan yang bersifat menyeluruh dan terpadu. Untuk penyelenggaraan berbagai upaya kesehatan tersebut, obat merupakan salah satu unsur penting karena dengan penggunaan obat yang tepat kondisi kesehatan masyarakat dapat terjamin. Obat palsu yang beredar di pasaran dikemas sedemikian rupa, sehingga sangat sulit bagi masyarakat awam untuk mengetahui kecuali melalui uji laboratorium ataupun informasi dari tenaga kesehatan. Namun demikian, pemerintah seharusnya dapat melakukan berbagai upaya untuk menjamin kualitas obat melalui pencegahan dan pengawasan peredaran obat palsu tersebut. Masyarakat konsumen obat hingga saat ini pada umumnya masih banyak yang belum memahami hak-haknya sebagai konsumen obat, terlebih bagi mereka yang tinggal di daerah pinggiran kota atau pedesaan. Masyarakat masih menganggap bahwa obat yang
3 diberikan oleh pelaku usaha pada umumnya aman dan layak untuk dikonsumsi. Seperti telah banyak diketahui bahwa dengan mudah obat-obatan tanpa resep dokter dijual bebas di toko-toko obat tak berijin atau kios-kios. Penyaluran obat di sarana tersebut tanpa dilakukan oleh tenaga kefarmasian menyebabkan potensi kualitas obat yang disediakan tidak memenuhi persyaratan yang ditetapkan. Hal ini dikarenakan pengawasan oleh pihak yang berwenang untuk itu tidak jelas. Selain membahayakan kesehatan, obat palsu juga
merugikan
konsumen
secara
ekonomis.
Dampak
kerugian
dan
tingkat
keberbahayaan akibat menggunakan obat palsu yang tinggi, seharusnya sanksi bagi para pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab dapat memberikan efek jera. Keberadaan Undang-undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan menghendaki pemerintah, dalam hal ini BPOM, dapat berupaya maksimal untuk menjamin kualitas obat yang digunakan masyarakat. BPOM sebagai instansi pemerintah yang bertanggungjawab terhadap mutu obat yang beredar di pasaran, kurang terlihat peranannya. BPOM bertanggungjawab terhadap obat mulai dari obat tersebut diproduksi hingga pengawasan pada tahap peredaran/distribusi obat di pasaran. Sebelum beredar di pasaran, terdapat tahap pra-registrasi obat untuk menilai keamanan, khasiat obat, mutu, teknologi serta rasionalitas obat yang dilakukan KomNas Penilai Obat Jadi yang dibentuk oleh BPOM. Setelah diperoleh nomer registrasi, BPOM berperan dalam pengawasan tahap distribusi pada sarana-sarana pelayanan obat. Pemeriksaan zat berkhasiat melalui uji laboratorium seharusnya juga dilaksanakan pada tahap setelah obat beredar untuk memastikan bahwa obat yang digunakan masyarakat adalah obat yang berkualitas. Selain itu, pengawasan pada sarana distribusi obat yang tidak resmi juga perlu dilakukan karena merupakah salah satu kemungkinan jalur masuk peredaran obat palsu.
4 Sistem Pengawasan Obat dan Makanan (SisPOM) yang efektif dan efisien yang mampu mendeteksi, mencegah dan mengawasi produk-produk obat, makanan dan kosmetika untuk melindungi keamanan, keselamatan dan kesehatan konsumennya baik di dalam maupun di luar negeri. Hal tersebut merupakan tujuan pembentukan BPOM yang memiliki jaringan nasional dan internasional serta kewenangan penegakan hukum dan memiliki kredibilitas profesional yang tinggi. 3 Peran BPOM sebagai lembaga pemerintah yang bertugas melakukan pengawasan terhadap peredaran obat haruslah benar-benar dilaksanakan sebagai upaya penjaminan kualitas produk yang digunakan masyarakat. Masalah peredaran obat palsu sudah seperti masalah yang belum diketahui penyelesaian terbaik karena aturan yang tidak jelas, dan aturan tersebut sering dilanggar tanpa ada sanksi dan penegakan hukumpun amat lemah. Masalah tersebut tidak lepas dari sikap dari BPOM dan penegak hukum lain yang tidak tegas dalam usaha menekan peredaran obat palsu ini. Mudahnya memperoleh obat dalam upaya pemulihan kesehatan dan adanya klasifikasi obat bebas dan obat bebas terbatas di Indonesia merupakan realita bahwa masyarakat Indonesia dapat melakukan pengobatan sendiri tanpa pengawasan profesional seorang dokter. Bahkan kebanyakan masyarakat mencari obat yang lebih murah meski keamanannya belum tentu terjamin dengan lebih memilih membeli obat di toko obat tidak resmi dibanding di apotek. Padahal pada kenyataannya peredaran obat-obat palsu yang umumnya berasal dari pasar gelap itu kebanyakan justru dilakukan di toko obat tidak resmi tersebut. Menurut peraturan, apotek dalam melakukan tahap pengadaan obat harus menggunakan jalur resmi melalui Pedagang Besar Farmasi (PBF) yang juga diharuskan menerapkan Cara Distribusi Obat yang Baik, sedangkan toko obat tidak resmi 3
http://www.pom.go.id/new/index.php/view/latarbelakang.
5 dapat membeli obat dari sumber yang tidak dapat menjamin kualitas obat yang disediakan. Kualitas obat yang dijual di apotek lebih terjamin karena pengawasan dan kontrol mutu obat di apotek selalu dilakukan teratur secara berkala. Masyarakat sebagai konsumen mempunyai hak yang harus dilindungi. Penegakan hak-hak konsumen ini jelas memerlukan perlindungan hukum agar hak-hak konsumen lebih terjamin. Mengenai hak-hak konsumen ini haruslah dijelaskan secara jelas dalam undang-undang yang berlaku. Konsumen memerlukan perlindungan hukum atas kerugian yang dideritanya karena telah mengkonsumsi obat-obat palsu. Masalah keamanan dan keselamatan konsumen merupakan hal yang paling pokok dan utama dalam perlindungan konsumen obat. Obat-obatan yang dalam penggunaannya tidak memberikan keamanan dan membahayakan keselamatan konsumen karena kualitas obat yang tidak baik, jelas tidak layak untuk diedarkan di masyarakat dan harus dilakukan penarikan produk. Selanjutnya untuk menjamin bahwa kualitas obat tersebut sesuai dengan yang dipersyaratkan, maka konsumen diberikan hak untuk memilih jenis obat yang dikehendakinya berdasarkan atas keterbukaan informasi yang benar, jelas dan jujur. Jika terdapat penyimpangan yang merugikan, konsumen berhak untuk didengar, memperoleh advokasi, pembinaan, perlakuan yang adil, kompensasi sampai ganti rugi.
B. Rumusan Masalah Permasalahan yang dapat dirumuskan dari uraian yang telah ada adalah: 1. Bagaimana pelaksanaan perlindungan hukum konsumen obat yang dilakukan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) melalui jalur produksi dan distribusi obat di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta ?
6 2. Bagaimana pengawasan atau upaya-upaya dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dalam mencegah peredaran obat-obat palsu di pasaran wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta ?
C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui sejauh mana pelaksanaan perlindungan hukum konsumen obat yang dilakukan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) melalui jalur produksi dan distribusi obat di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta; dan 2. Untuk mengetahui pengawasan dan upaya-upaya dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dalam mencegah peredaran obat palsu di pasaran wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta.
D. Keaslian Penelitian Penelitian tentang Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Obat-obat Palsu Yang Beredar di Pasaran Wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta ini merupakan suatu telaah yang baru dan sepanjang pengetahuan penulis belum ada peneliti yang melakukan penelitian terhadap permasalahan tersebut. Adapun penelitian yang pernah dilakukan oleh Nonik
Shimaryani,
Mahasiswa
Fakultas
Hukum
dengan
nomor
mahasiswa
02/161500/HK/16125 dengan judul Peranan BBPOM Yogyakarta sebagai Pengawas Obat dan Makanan di wilayah Yogyakarta (Studi Penerapan terhadap Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen). Penelitian lain juga telah dilakukan oleh Desti Isnawati, Mahasiswa Fakultas Hukum dengan nomor mahasiswa 07/250155/HK/17376 mengenai Pelaksanaan Pengawasan oleh BBPOM Yogyakarta
7 terhadap Peredaran Obat-obatan Ilegal di Yogyakarta (Ditinjau dari Undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen). Terdapat perbedaan objek dan materi penelitian antara kedua penelitian tersebut dengan penelitian yang telah dilakukan peneliti dengan berjudul Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Obat palsu yang Beredar di Pasaran Wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Peneliti menekankan pembahasan pada sistem pengawasan BBPOM pada sarana-sarana yang peredaran obat, mulai dari sarana produksi obat hingga keseluruhan sarana distribusi obat di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta dalam upaya menekan peredaran obat palsu. Oleh karena itu, penulis menyatakan bahwa masalah yang diteliti dalam penulisan hukum ini merupakan karya yang belum pernah diajukan oleh penulis lain untuk memperoleh gelar kesarjanan di perguruan tinggi dan merupakan karya asli penulis. E. Manfaat Penelitian 1.
Kegunaan Praktis: penulis berharap penelitian ini dapat memberikan gambaran yang jelas dan lengkap terhadap teknis perlindungan hukum konsumen obat yang dilakukan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) melalui jalur produksi dan distribusi obat; dan
2.
Kegunaan Teoritis: penulis berharap dengan adanya penelitian ini, sisi teoritis dan konstruksi hukum dari perlindungan konsumen dapat lebih dipahami secara komprehensif oleh para konsumen dan agar konsumen lebih mengetahui tentang hak-haknya terutama dalam penggunaan obat yang beredar di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta.