BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masyarakat nelayan merupakan salah satu bagian masyarakat yang hidup dengan mengelola potensi sumber daya perikanan. Sebagai suatu masyarakat yang tinggal di kawasan pesisir, masyarakat nelayan mempunyai karakteristik sosial tersendiri yang berbeda dengan masyarakat yang lain. Di beberapa kawasan pesisir yang relatif berkembang pesat, struktur masyarakat bersifat heterogen, memiliki etos kerja yang tinggi, solidaritas yang kuat, serta terbuka terhadap perubahan dan interaksi sosial. Sekalipun demikian, masalah kemiskinan masih melanda sebagian masyarakat pesisir, sehingga fakta sosial ini terkesan ironi di tengah-tengah kekayaan sumber daya pesisir dan lautan yang ada. Kesuliatan melepas diri dari kemiskinan karena mereka dilanda oleh beberapa keterbatasan di bidang kualitas sumber daya manusia, akses dan penguasaan teknologi, pasar, dan modal. Kebijakan dan implementasi program-program pembangunan untuk masyarakat di kawasan pesisir hingga saat ini masih belum optimal dalam memutus mata rantai kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan mereka. Hal ini disebabkan oleh kebijakan pembangunan yang belum bersungguh-sungguh dan persoalan sosial, ekonomi, dan budaya yang terjadi pada masyarakat nelayan cukup kompleks, sehingga penyelesainnya tidak seperti membalikkan telapak tangan. Masyarakat merupakan pelaku utama bagi pembangunan, maka diperlukan kualitas sumber daya manusia yang berpotensial, sehingga masyarakat dapat bergerak pada arah pembangunan untuk menuju cita-cita rakyat Indonesia, yaitu bangsa yang makmur dan berkepribadian yang luhur terlebih lagi pada zaman yang semakin hari bertambah tuntutan
yang harus dipenuhi diera modern ini maupun yang akan datang, masyarakat dituntut untuk mempunyai ketrampilan atau kompetensi dalam dirinya supaya dirinya menjadi manusia yang berguna bagi dirinya sendiri, bagi bangsa dan Negara. Untuk menggali potensi yang dimiliki oleh manusia maka diperlukan adanya pendidikan. Dunia pendidikan memang dunia yang tidak pernah habis untuk diperbincangkan. Karena selama manusia itu ada, perbincangan tentang pendidikan akan tetap eksis di dunia, sehingga mustahil manusia hidup tanpa pendidikan di dalamnya. Kerena itu, ada sebuah tanggung jawab untuk mengetengahkan apa dan bagaimana pendidikan sejati itu yang harus kita bagun dan konstruksi kalau kita masih ingin dianggap sebagai manusia. Pengertian pembangunan adalah pembangunan di segala bidang kehidupan, walaupun titik beratnya dibidang ekonomi, namun tidak mengabaikan sama sekali bidang-bidang lainnya. Pembangunan di bidang sosial budaya, khususnya di bidang pendidikan, menjadi tidak pernah habis dalam perbincangan pada tingkat nasional maupun pada tingkat daerah. Hal ini disebabkan bahwa tinggi rendahnya kualitas penduduk lebih ditentukan oleh keadaan pendidikannya. Semakin baik pendidikan seseorang, merupakan suatu diantara kemungkinan untuk mencapai tingkat kehidupan yang lebih baik. Optimalisasi pengelolaan sumber daya alam serta keberhasilan pembangunan dapat diwujudkan dengan adanya sumber daya manusia yang berkualitas, cerdas, tangguh, dan ulet. Pengembangan sumber daya manusia sangat erat kaitannya dengan pembangunan pendidikan secara menyeluruh, terarah, dan terpadu melalui peningkatan pendidikan baik pendidikan formal, pendidikan non formal sehingga kualitas sumber daya manusia itu dapat diselaraskan dengan segala sesuatu yang dibutuhkan oleh pembangunan. Hal itu selaras dengan tujuan pendidikan nasional yaitu mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab seperti disebutkan dalam Undang Undang No. 20 Tahun 2003 Pasal 3 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Bangsa Indonesia merupakan sebuah bangsa yang sebagian penduduknya melakukan usaha produksi di bidang produksi ekstraktif seperti pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan dan perikanan. Akan tetapi, pembangunan di bidang-bidang tersebut terutama di bidang perikanan masih belum optimal. Belum optimalnya pembangunan di bidang perikanan dapat dilihat dari adanya lingkaran kemiskinan yang menjerat nelayan hingga saat ini. Salah satu penyebabnya adalah rendahnya tingkat pendidikan nelayan di Indonesia. Jumlah nelayan di Indonesia kurang lebih tiga puluh empat juta orang, 85% berpendidikan sekolah dasar (SD) atau buta huruf, 12 % berpendidikan sekolah lanjutan pertama (SLTP); 2,97% berpendidikan sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA), dan 0,03% berpendidikan diploma (Dahuri, 2002). Rendahnya kualitas SDM ini diduga akan semakin menurun dengan semakin bertambahnya jumlah anak putus sekolah, walaupun pemerintah sudah mengadakan program BOS (Bantuan Operasional Sekolah) sejak tahun 2006. Dugaan ini diperkuat dengan adanya data yang dihimpun dari 33 kantor Komnas Perlindungan Anak di 33 provinsi di Indonesia yang mengungkapkan bahwa pada tahun 2007 terdapat jumlah anak putus sekolah sebesar 11,7 juta anak (Kompas, 2008). Pendidikan yang rendah membatasi seseorang untuk terserap dalam akses sumber-sumber ekonomi yang lebih baik sehingga seseorang dengan tingkat pendidikan rendah cenderung mengalami kemiskinan dan ketertinggalan.
Persoalan kemiskinan inilah yang menjadi penyebab ketidakmampuan nelayan untuk meningkatkan kualitasnya sehingga inovasi dan transfer pengetahuan tidak terjadi. Selain itu nelayan yang memiliki kualitas SDM yang rendah akan melahirkan anak-anak dengan kualitas SDM yang rendah pula dan begitu seterusnya. Hal itulah yang akan memunculkan lingkaran kemiskinan yang sulit untuk diputus. Salah satu upaya untuk mengatasi kemiskinan nelayan adalah dengan usaha meningkatkan kualitas SDM melalui pendidikan. Upaya pelaksanaan pendidikan diatur dalam Undang Undang Dasar 1945 dalam Pasal 31, yaitu: (1) Tiap-tiap warga berhak mendapatkan pengajaran (2) Pemerintah mengusahakan dan menyelanggarakan suatu sistem pengajaran nasional yang diatur menurut undang-undang Pendidikan nasional yang berdasarkan pancasila adalah dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, meningkatkan kualitas manusia Indonesia. Sehubungan dengan itu tanggung jawab pelaksanaannya dilaksanakan secara bersama-sama antara pemerintah, masyarakat dan keluarga (orang tua). Menyadari akan pentingnya pendidikan pemerintah terus berupaya untuk memajukan tingkat pendidikan rakyatnya. Dengan disusunya sistem pendidikan nasional, diharapkan mampu melahirkan manusia-manusia yang dapat membangun dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa. Pendidikan yang diselenggarakan di Negara Indonesia adalah untuk segenap bangsa Indonesia, tidak terkecuali untuk anak-anak nelayan diberbagai pelosok pedesaan pantai. Pendidikan formal sangat diperlukan oleh nelayan, namun di sisi lain pendidikan formal memerlukan biaya pendidikan. Biaya pendidikan yang tinggi menjadi salah satu faktor penghambat bagi nelayan kecil dengan status sebagai masyarakat miskin yang memiliki keterbatasan dalam memenuhi kebutuhan dasar hidupnya akibat dari ketidakpastian
usaha. Kemiskinan yang melekat mengakibatkan mereka tidak mampu memberikan pendidikan yang cukup bagi anak-anaknya terutama pendidikan formal. Sumber daya manusia sangat penting peranannya dalam proses pembangunan, untuk itu pembangunan yang dilakukan senangtiasa bermuara pada pembangunan manusia. Salah satu komponen dalam pembangunan manusia adalah peningkatan dibidang pendidikan, kerena merupakan suatu sarana untuk meningkatkan kecerdasan dan keterampilan manusia, semakin tinggi tingkat pendidikan suatu masyarakat maka semakin baik kualitas sumber dayanya. Program pendidikan mempunyai andil yang sangat besar terhadap kemajuan ekonomi bangsa. Pembangunan pendidikan pada dasarnya dilakukan dalam empat strategi pokok yaitu pemerataan kesempatan, relevansi pendidikan dengan pembangunan, kualitas pendidikan dan efesiensi pengelolaan. Berkaitan dengan SDM yang berkualitas selain dapat ditingkatkan melalui pendidikan yang bersifat formal juga dapat digali melalui pendidikan dalam keluarga sebagai wadah sosial terkecil (pendidikan Non-formal). Kualitas SDM tidak lepas dari bagaimana keluarga mendidik anak-anaknya dalam beberapa hal yang berkaitan dengan kehidupan baik dimasa lalu, sekarang maupun di masa yang akan datang. Hal itu dapat menunjukkan bahwa untuk menghasilkan SDM yang berkualitas, keluarga harus memaksimalkan fungsinya sebagai lembaga pendidikan. Selain itu, peran keluarga terutama orang tua sangat penting dalam proses pendidikan terutama sebagai motivator utama bagi anak-anaknya untuk meraih akses pendidikan setinggi-tingginya, namun tekanan ekonomi yang menghimpit mayoritas nelayan di Indonesia membuat anak-anak mereka tak mempunyai akses yang cukup pada pendidikan. Bagi orangtua mereka lebih baik anak-anak bekerja; entah membantu melaut, menjadi buruh pengupas kerang, atau mencari ikan-ikan tercecer yang bisa dijual.
Kondisi dunia perikanan dan kelautan saat ini dapat dikatakan krisis SDM diakibatkan oleh rendahnya tingkat pendapatan dan tingkat pendidikan di kalangan nelayan, padahal tuntutan untuk mengelola sumber daya alam laut sangat tinggi. Sehubungan dengan hal itu dalam meneliti keadaan pendidikan dikalangan anak nelayan, tidak hanya pada aspek tingkat pendidikannya saja, akan tetapi juga perlu dilihat bagaimana berbagai faktor di atas berpengaruh terhadap pendidikan anak tersebut. Beragamnya determinan itu tentu membawa berbagai implikasi terhadap keadaan pendidikan anak. Oleh karena itu penulis terdorong untuk meneliti sebagaimana penulis mengambil judul: “Kelanjutan Pendidikan Dikalangan Anak Nelayan (Kasus, Desa Ujung Labuang, Kecamatan Suppa, Kabupaten Pinrang)” hal ini disebabkan karena di Di Desa Ujung Labuang Kecamatan Suppa Kabupaten Pinrang yang penduduknya sebagian besar sebagai nelayan dan tingkat pendidikan anaknya sangat rendah. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka fokus permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimana gambaran keadaan keluarga nelayan di Desa Ujung Labuang, Kecamatan Suppa, Kabupaten Pinrang? 2. Bagaimana pendapat orang tua nelayan terhadap pendidikan anak? 3. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi keberlanjutan pendidikan anak nelayan? C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian Berangkat dari fokus masalah yang diangkat oleh peneliti, maka tujuan diadakannya penelitian ini adalah:
a. Mengetahui gambaran keluarga nelayan di Desa Ujung Labuang Kec. Suppa, Kab. Pinrang. b. Mengetahui Bagaimana pendapat orang tua nelayan terhadap pendidikan anak c.
Menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan keberlanjutan anak nelayan dalam melanjutkan pendidikannya.
2. Kegunaan Penelitian Dengan adanya penelitian ini diaharapkan dapat berguna sebagai berikut: a. Diharapkan hasil penelitian ini menjadi salah satu sumber informasi bagi pihak yang ingin mengetahui menegnai kelanjutan pendidikan dikalangan anak nelayan yang ada di Desa Ujung Labuang Kec. Suppa Kab. Pinrang serta dapat menjadi referensi bagi peneliti selanjutnya. b. Sebagai masukan bagi pemerintah setempat khususnya Pemerintah Kabupaten Pinrang untuk lebih mengetahui kondisi sosial masyarakat di Desa Ujung Labuang. c. Untuk menambah ilmu pengetahuan, utamanya mengenai pendidikan dikalangan anak nelayan. D. Sistematika Penulisan Dalam penulisan skripsi ini penulis menyusunnya sesuai sistematika yang diterapkan dalam setiap metode penulisan skripsi sebgai syarat untuk memenuhi persyaratan merai gelar sarjana. Adapun sistematika pelulisan yang terdiri dari enam bab yang tersusun atas: Bab I. Pendahuluan Berisi latar belakang masalah, Rumusan masalah, Tujuan dan Kegunaan Penelitian dan Sistematika penulisan. Bab II. Tinjauan pustaka dan kerangka konseptual
Berisi Tinjauan pustaka yang berisi tentang teori dan hasil penelitian yang relevan, factorfaktor yang mempengaruhi keberlanjutan pendidikan, kerangka konseptual dan defenisi teoritis. Bab III. Metode penelitian Berisi Pendekatan dan Strategi Penelitian, Jenis dan sumber data, Metode pengambialan sampel, Waktu dan Lokasi Penelitian, Analisis data. Bab IV. Gambaran umum lokasi penelitian Mengenai gambaran umum lokasi penelitian, seperti: keadaan geografis, keadaan demografis, keadaan pendidikan, keadaan ekonomi, dan keadaan sosial budaya. Bab V. Hasil dan pembahasan Mengenai kelanjutan pendidikan dikalangan anak nelayan di dusun Kassi Puteh Desa Ujung Labuang Kecamatan Suppa Kabupaten Pinrang. Bab VI. Penutup Berisi tentang kesimpulan yang penulis temukan dalam penelitian ini dan saran-saran yang perlu diperhatikan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA KONSEPTUAL A. Konteks masyarakat nelayan Masyarakat berasal dari kata musyarak (arab), yang artinya bersamasama, yang kemudian berubah menjadi masyarakat, yang artinya berkumpul bersama, hidup bersama dengan saling berhubungan dan saling mempengaruhi, selanjutnya mendapatkan kesepakatan menjadi masyarakat (Indonesia). Menurut Abdul Syani bahwa masyarakat merupakan kelompokkelompok makhluk hidup dengan realitas-realitas baru yang berkembang menurut hukum-hukumnya sendiri dan berkembang menurut pola perkembangan yang tersendiri. Masyarakat dapat membentuk kepribadian yang khas bagi manusia, sehingga tanpa adanya kelompok, manusia tidak akan mampu untuk dapat berbuat banyak dalam kehidupan. Supaya dapat menjelaskan pengertian masyarakat secara umum, maka perlu ditelaah tentang ciri-ciri dari masyarakat itu sendiri. Menurut Soerjono Soekanto, menyatakan bahwa sebagai suatu pergaulan hidup atau suatu bentuk kehidupan bersama manusia, maka masyarakat itu mempunyai ciri-ciri pokok yaitu: 1. Manusia yang hidup bersama. Di dalam ilmu sosial tidak ada ukuran yang mutlak ataupun angka yang pasti untuk menentukan berapa jumlah manusia yang harus ada. Akan tetapi secara teoritis, angka minimumnya ada dua orang yang hidup barsama. 2. Bercampur untuk waktu yang cukup lama. Kumpulan dari manusia tidaklah sama dengan kumpulan benda-benda mati seperti umpamanya kursi, meja dan sebagainya. Oleh karena dengan berkumpulnya manusia, maka akan timbul manusia-manusia baru. Manusia itu juga dapat bercakap-cakap, merasa dan mengerti, mereka juga mempunyai keinginan-
keinginan untuk menyampaikan kesan-kesan atau perasaan-perasaannya. Sebagai akibat hidup bersama itu, timbullah sistem komunikasi dan timbullah peraturanperaturan yang mengatur hubungan antar manusia dalam kelompok tersebut. 3. Mereka sadar bahwa mereka merupakan suatu kesatuan. 4. Mereka merupakan suatu sistem hidup bersama. Sistem kehidupan bersama menimbulkan kebudayaan, oleh karena setiap anggota kelompok merasa dirinya terikat satu dengan yang lainnya. B. Masyarakat Pesisir Sebelum kita melihat lebih jauh tentang pengertian masyarakat pesisir, maka terlebih dahulu kita melihat bahwa wilayah pesisr menurut Dahuri, Rais, Ginting dan Sitepu dalam Sugeng Budiharsono (2005:22) “Wilayah pesisir adalah wilayah peralihan antara laut dan daratan, ke darat mencakup daerah yang masih terkena pengaruh percikan air laut atau pasang surut dan ke arah laut meliputi daerah paparan benua” Selain itu menurut Sugeng Budiharso (2005:22-23) Wilayah pesisir merupakan wilayah yang memproduksi ikan, namun bisa juga dikatakan sebagai wilayah dengan tingkat pendapatan penduduknya tergolong di bawah garis kemiskinan……. Yang dimaksud dalam wilayah pesisir dan lautan adalah wilayah yang dipengaruhi secara langsung oleh pengaruh pasang surut air laut, sehingga batas darat adalah wilayah desa/kecamatan yang berbatasan dengan pantai, sedangkan batasan laut adalah batas-batas wilayah kecamatan/ kabupaten/ provinsi atau Negara. Selanjutnya masyarakat pesisir adalah masyarakat yang tinggal di daerah pantai dimana pencaharian ekonominya disandarkan pada hasil laut, masyarakat pesisir biasa juga disebut masyarakat nelayan. Nelayan di dalam Ensiklopedia Indonesia digolongkan sebagai pekerja, yaitu orangorang yang secara aktif melakukan kegiatan menangkap ikan, baik secara langsung maupun
tidak lansung sebagai mata pencahariannya. Dalam kamus besar Indonesia pengertian nelayan adalah orang yang mata pencaharian utama dan usaha menangkap ikan di laut. Masyarakat nelayan sendiri secara geografis adalah masyarakat yang hidup, tumbuh, dan berkembang dikawasan pesisir, yakni suatu kawasan transisi antara wilayah darat dan laut. Sedangkan menurut M. Khalil Mansyur mengatakan bahwa masyarakat nelayan dalam hal ini bukan berarti mereka yang dalam mengatur hidupnya hanya mencari ikan di laut untuk menghidupi keluarganya akan tetapi juga orang-orang yang integral dalam lingkungan itu. Dari beberapa definisi masyarakat nelayan dan definisi nelayan yang telah disebutkan diatas dapat ditarik suatu pengertian bahwa: 1. Masyarakat nelayan adalah kelompok manusia yang mempunyai mata pencaharian menangkap ikan laut. 2. Masyarakat nelayan bukan hanya mereka yang mengatur kehidupannya hanya bekerja dan mencari ikan di laut, melainkan mereka yang juga tinggal disekitar pantai walaupun mata pencaharian mereka adalah bercocok tanam dan berdagang. Jadi pengertian nelayan secara luas adalah sekelompok manusia yang mempunyai mata pencaharian pokok mencari ikan di laut dan hidup di daerah pantai, bukan mereka yang bertempat tinggal di pedalaman, walaupun tidak menutup kemungkinan mereka juga mencari ikan di laut karena mereka bukan termasuk komunitas orang yang memiliki ikatan budaya masyarakat pantai. Nelayan sesungguhnya bukanlah suatu entitas tunggal, tetapi terdiri dari beberapa kelompok. Satria (2002) mengelompokkan nelayan berdasarkan status penguasaan kapital, yaitu terdiri dari nelayan pemilik dan nelayan buruh. Nelayan pemilik atau juragan adalah
orang yang memiliki sarana penangkapan seperti kapal /perahu, jaring dan alat tangkap lainnya sedangkan nelayan buruh adalah orang yang menjual jasa tenaga kerja sebagai buruh dalam kegiatan penangkapan ikan di laut, atau sering disebut Anak Buah Kapal (ABK). Menurut Mubyarto (1984), nelayan dibagi menjadi lima macam status nelayan, yaitu: 1. Nelayan Kaya A, yaitu nelayan yang mempunyai kapal sehingga mempekerjakan nelayan lain sebagai buruh nelayan tanpa ia harus ikut bekerja. Nelayan jenis ini biasa disebut juragan. 2. Nelayan Kaya B, yaitu nelayan yang memiliki kapal tetapi ia sendiri masih ikut bekerja sebagai awak kapal. 3. Nelayan Sedang, yaitu nelayan yang kebutuhan hidupnya dapat ditutup dengan pendapatan pokoknya dari bekerja sebagai nelayan, dan memiliki perahu tanpa mempekerjakan tenaga dari luar keluarga. 4. Nelayan Miskin, yaitu nelayan yang pendapatan dari perahunya tidak mencukupi kebutuhan hidupnya sehingga harus ditambah dengan bekerja lain,baik untuk ia sendiri atau untuk istri dan anak-anaknya. 5. Buruh nelayan atau tukang kiteng, yaitu bekas nelayan yang pekerjaannya memperbaiki jaring yang sudah rusak. Pekerjaan ini biasanya dilakukan oleh kelompok orang-orang miskin yang berusia diatas 40 tahun dan sudah tidak kuat lagi melaut. Ditjen Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil, menyatakan bahwa dari 16.420.000 jiwa masyarakat pesisir yang menjadi sasaran dari program pemberdayaan masyarakat pesisir, 32% dari masyarakat sasaran masih berada di bawah garis kemiskinan, yaitu sebanyak 5.254.000 jiwa (Ditjen Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil, 2007).
Menurut Satria (2002), kemiskinan dapat digolongkan berdasarkan penyebab kemiskinan. Ada dua aliran besar yang melihat faktor-faktor penyebab kemiskinan. Pertama, aliran modernisasi yang selalu menganggap persoalan kemiskinan disebabkan faktor internal masyarakat. Dalam aliran ini, kemiskinan nelayan terjadi sebagai akibat faktor budaya (kemalasan), keterbatasan modal dan teknologi, keterbatasan manajemen, serta kondisi sumber daya alam. Kedua, aliran struktural yang menganggap kemiskinan nelayan disebabkan oleh faktor eksternal. Kemiskinan struktural dapat terjadi akibat, pertama, kemiskinan sebagai korban pembangunan. Kedua, kemiskinan terjadi karena golongan tertentu tidak memiliki akses terhadap kegiatan ekonomi produktif akibat pola institusional yang diberlakukan. Dari dua aliran besar yang melihat faktor-faktor penyebab kemiskinan di atas kita dapat melihat bahwa salah satu hal mendasar yang menyebabkan kemiskinan tersebut adalah kurangnya pengetahuan dan lemahnya pendidikan, oleh karena itu faktor penting yang perlu ditingkatkan sebagai upaya untuk memperkecil angka kemiskinan nelayan tersebut adalah dengan meningkatkan pendidikan nelayan. C. Pendidikan Secara sederhana pendidikan bisa diartikan sebagai usaha mengarahkan peserta didik dari tidak tahu menjadi tahu. Sehimgga dengan memiliki pengetahuan maka seseorang akan menjadi lebih terarah dalam menentukan maupun mengambil keputusan. Secara etimologi pendidikan dalam bahasa bahasa Yunani paedagogi yaitu terdiri dari kata “PAIS” artinya anak, dan “AGAIN” diterjemahkan membimbing, jadi paedagogie bimbingan yang diberikan kepada anak (Abu Ahmad & Nur Uhbiyah, 2001:69). Secara istilah menurut UU No. 20 Tahun 2003 :
“Pendidikan Nasional yang dimaksud dengan pendidikan adalah usaha sadar dan terencanauntuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didiksecara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritualkeagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.” (Hasbullah, 2005:4) Dalam mendukung Sistem Pendidikan Nasional tersebut pemerintah Indonesia telah mencanangkan Program Wajib Belajar sejak 2 mei 1994, diselenggarakan selama enam tahun di sekolah dasar (SD) atau yang sederajat dan setara dengan SD dan tiga tahun di sekolah menengah pertama (SMP). Namun efektivitas program ini masih patut dipertanyakan karena masih tingginya angka putus sekolah, hal ini dimungkinkan karena adanya perbedaan yang cukup mendasar antara wajib belajar yang diterapkan di Indonesia dan wajib belajar yang diselenggarakan di negara maju. Ciri-ciri wajib belajar yang diterapkan di negara maju (compulsory education) adalah sebagai berikut: a). Ada unsur paksaan agar peserta didik bersekolah b). Diatur dengan undang-undang wajib belajar c). Tolak ukur keberhasilan program adalah tidak adanya orang tua yang terkena sanksi karena telah mendorong anaknya bersekolah d). Ada sanksi bagi orang tua yang membiarkan anaknya tidak sekolah. Sedangkan ciri-ciri wajib belajar yang diterapkan di Indonesia (universal primary education) adalah sebagai berikut: a). Tidak bersifat paksaan b). Tidak diatur dengan undang undang tersendiri c). Keberhasilan diukur dari angka partisipasi dalam pendidikan dasar d).Tidak ada sanksi hukum bagi orang tua yang membiarkan anaknya tidak bersekolah (Suwarso dan Suyoto, 1994).
Menurut UNESCO diacu dalam Suryani (2004) ada enam pilar pembelajaran pendidikan yang direkomendasikan di abad mendatang yang sebagian bahkan semua pilar tersebut sedang dan sudah dipraktikan di Negara maju, sedangkan di negara berkembang termasuk di Indonesia masih lebih banyak dalam wacana. Enam pilar pendidikan tersebut antara lain: (a) Learning to know (belajar untuk tahu), (b) learning to do (belajar melakukan), (c) learning to be (belajar menjadi), (d) learning to live together (belajar heidup bersama), (e) Learn how to learn (belajar bagaimana belajar), (f) Learning throughout life (belajar melalui hidup). Undang Undang No. 20 Tahun 2003 Pasal 1 Ayat (3) tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa sistem pendidikan nasional Indonesia diartikan sebagai keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Satuan pendidikan adalah kelompok layanan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan pada jalur formal, nonformal, dan informal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan. Ketiga jenis jalur pendidikan tersebut dapat saling melengkapi dan memperkaya. a. Pendidikan Formal Pendidikan jalur formal adalah kegiatan yang sistematis, berstruktur, bertingkat dimulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi dan yang setaraf dengannya; termasuk didalamnya adalah kegiatan studi yang berorientasi akademis dan umum, program spesialisasi, dan latihan profesional yang dilaksanakan dalam waktu yang terus menerus. Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Sedangkan pengertian pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan.
Pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran (Undang Undang No 20 tahun 2003 Pasal 1 Ayat (11) dan Ayat (13). Pendidikan jalur formal merupakan bagian dari pendidikan nasional yang bertujuan untuk membentuk manusia Indonesia seutuhnya sesuai dengan fitrahnya, yaitu pribadi yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, demokratis, menjunjung tinggi hak asasi manusia, menguasai ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, memiliki kesehatan jasmani dan rohani, memiliki keterampilan hidup yang berharkat dan bermartabat, memiliki kepribadian yang mantap, mandiri, dan kreatif, serta memiliki tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan yang mampu mewujudkan kehidupan bangsa yang cerdas dan berdaya saing di era global. b. Pendidikan Non Formal Menurut Undang Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang dimaksud
dengan pengertian pendidikan non formal adalah jalur
pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Terdapat beberapa jenis lembaga pendidikan yang menyediakan layanan pendidikan non-formal di Indonesia, yaitu: 1) Balai Pengembangan Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda (BPPLSP): adalah unit pelaksana teknis di lingkungan Departemen Pendidikan Nasional di bidang pendidikan luar sekolah. BP-PLSP mempunyai tugas melaksanakan pengkajian dan pengembangan program serta fasilitasi pengembangan sumberdaya pendidikan luar sekolah berdasarkan kebijakan Departemen Pendidikan Nasional.
2) Balai Pengembangan Kegiatan Belajar (BPKB): adalah unit pelaksana teknis di lingkungan Dinas Pendidikan Propinsi di bidang pendidikan luar sekolah. BPKB mempunyai tugas untuk mengembangkan model program pendidikan luar sekolah sesuai dengan kebijakan Dinas Pendidikan Propinsi dan kharakteristik propinsinya. 3) Sanggar Kegiatan Belajar (SKB): adalah unit pelaksana teknis Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota di bidang pendidikan luar sekolah (nonformal). SKB secara umum mempunyai
tugas
membuat
percontohan
program
pendidikan
nonformal,
mengembangkan bahan belajar muatan lokal sesuai dengan kebijakan dinas pendidikan kabupaten/kota dan potensi lokal setiap daerah. 4) Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM): suatu lembaga milik masyarakat yang pengelolaannya menggunakan azas dari, oleh dan untuk masyarakat. PKBM ini merupakan wahana pembelajaran dan pemberdayaan masyarakat sehingga mereka semakin mampu untuk memenuhi kebutuhan belajarnya sendiri. PKBM merupakan sumber informasi dan penyelenggaraan berbagai kegiatan belajar pendidikan kecakapan hidup sebagai perwujudan pendidikan sepanjang hayat. 5) Lembaga PNF sejenis: adalah lembaga pendidikan yang tumbuh dan berkembang di masyarakat, yang meberikan pelayanan pendidikan nonformal berorientasi life skills/keterampilan dan tidak tergolong ke dalam kategori-katagori di atas, seperti; LPTM, Organisasi Perempuan, LSM dan organisasi kemasyarakatan lainnya D. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kelanjutan Pendidikan Berdasarkan hasil penelitian Fathoni (2008) terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi keberlanjutan pendidikan atau mempengaruhi tingkat pendidikan. Dalam penelitian tersebut dikatakan bahwa beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat pendidikan.
Faktor-faktor tersebut terbagi menjadi dua bagian yaitu faktor internal (keluarga dan orang tua) dan faktor eksternal (lingkungan serta sarana informasi). Faktor internal terdiri dari beberapa hal yaitu umur kepala keluarga, tingkat pendidikan kepala keluarga, besar keluarga (besar tanggungan), total pendapatan keluarga, total pengeluaran keluarga, persepsi tentang arti penting sekolah, persepsi tentang biaya pendidikan, dan status usaha kepala keluarga. Faktor eksternal terdiri dari kebijakan pemerintah, informasi terhadap pendidikan, sarana pendidikan, serta jarak sarana pendidikan. Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian Suryani (2004) yang menyebutkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pendidikan adalah sebagai berikut: 1. Faktor Internal Faktor internal yang diduga berpengaruh terhadap tingkat pendidikan anak dalam penelitian ini
adalah karakteristik personal kepala keluarga dan persepsi keluarga
nelayan terhadap pendidikan. Karakteristik personal kepala keluarga yang diukur antara lain tingkat pendidikan kepala keluarga, umur kepala keluarga, besarnya pendapatan keluarga, jumlah tanggungan, nilai anak dalam keluarga, dan status sosial dalam pekerjaan. a. Tingkat Pendidikan Kepala Keluarga Menurut Gunarsa dan Gunarsa (Suryani, 2004) tingkat pendidikan secara langsung dan tidak langsung akan menentukan baik buruknya pola komunikasi antara anggota keluarga. Selain itu, imbas dari pendidikan orang tua akan mempengaruhi persepsinya tentang penting atau tidaknya pendidikan. Menurut Heryanto (1998) dengan dasar pendidikan yang relatif memadai untuk mampu memberikan makna terhadap nilai, kegunaan dan pentingnya pendidikan bagi masa depan anaknya
sehingga kesungguhan untuk menambah wawasan dan bekerja keras untuk menyekolahkan anaknya menjadi cita-cita dan harapan dalam hidupnya. b. Umur Kepala Keluarga Selain berkaitan dengan tingkat kedewasaan teknis seseorang, usia juga mempunyai kaitan dengan tingkat kedewasaan psikologis. Dalam hal ini berarti semakin lanjut usia seseorang, diharapkan akan semakin mampu menunjukan kematangan jiwa (dalam arti semakin bijaksana), semakin mampu berpikir secara rasional dan semakin mampu mengendalikan emosi dan sifat-sifat lainnya yang menunjukan kematangan intelektual dalam psikologis, sehingga semakin tua usia seseorang, motivasi yang dimiliki akan semakin tinggi. Usia dapat mempengaruhi cara seseorang berpikir, mempersepsi dan menyikapi sesuatu yang menjadi objeknya (Heryanto, 1998). c. Pendapatan Keluarga Kondisi ekonomi keluarga dapat diukur dengan tingkat kesejahteraan keluarga. Salah satu indikator tingkat kesejahteraan keluarga adalah tingkat pendapatan keluarga. Pendapatan nelayan dapat diperoleh dari usaha perikanan (usaha penangkapan dan non-penangkapan) maupun dari usaha non perikanan yang dilakukan oleh nelayan. Di satu sisi pendidikan formal diperlukan oleh masyarakat nelayan, namun di sisi lain pendidikan formal memerlukan biaya yang tidak sedikit. Biaya yang tinggi menjadi salah satu faktor penghambat bagi para nelayan dengan status sebagai masyarakat miskin yang memiliki keterbatasan dalam memenuhi kebutuhan dasar hidupnya akibat dari ketidakpastian berusaha. Kemiskinan yang melekat erat pada
nelayan mengakibatkan mereka tidak mampu memberikan pendidikan yang cukup bagi anak-anaknya terutama pendidikan formal (Erizal diacu dalam Suryani 2004). d. Jumlah Tanggungan Banyaknya tanggungan dalam keluarga berimplikasi pada besar kecilnya pengeluaran dalam satu keluarga. Berdasarkan hasil penelitian Suryani (2004) di Desa Karangjaladri Ciamis, semakin banyak jumlah tanggungan mengakibatkan persepsi masyarakat nelayan terhadap pendidikan formal semakin rendah. e. Nilai Anak dalam Keluarga Nilai anak adalah peranan yang dimainkan oleh anak dalam kehidupan orangtuanya. Pada dasarnya semua orang tua menginginkan kondisi anaknya lebih baik dari kondisi orang tua dalam menjalani kehidupan yang dapat ditunjukkan dengan harapan orang tua terhadap masa depan kehidupan anaknya. Hasil penelitian Sukmawan (2000) di Sukabumi menunjukkan bahwa sebagian besar keluarga nelayan sangat mengharapkan anaknya dapat menjadi pegawai negeri atau swasta. f. Status Sosial Status (kedudukan) sosial adalah tempat seseorang secara umum dalam masyarakatnya sehubungan dengan orang lain, dalam arti lingkungan pergaulan, prestise, hak dan kewajibannya. Secara tidak langsung kedudukan (status) dapat mencerminkan adanya pelapisan (stratifikasi sosial). Untuk mempelajari stratifikasi sosial menurut Zanden (1990) diacu dalam Satria (2001) terdapat tiga pendekatan yang harus dilakukan, yaitu: a) Pendekatan objektif, yaitu menggunakan ukuran objektif berupa variabel yang mudah diukur secara statistik seperti pekerjaan, pendidikan, atau penghasilan.
b) Pendekatan subjektif (self-placement), yaitu kelas dilihat sebagi kategori sosial dan disusun dengan meminta responden untuk menilai statusnya sendiri. c) Pendekatan reputasional, yaitu subjek penelitian diminta untuk menilai status orang lain dan menempatkannya pada posisi tertentu. Dalam penelitian, pendekatan yang akan digunakan adalah pendekatan objektif yaitu melihat kedudukan nelayan berdasarkan pekerjaan. Status social nelayan dibagi berdasarkan pemilikan armada dan alat tangkap. Berdasarkan pemilikan armada dan alat tangkap, nelayan dibedakan menjadi nelayan pemilik dan nelayan pandhiga. Berdasarkan hasil penelitian Suryani (2004) di Ciamis didapat bahwa semakin tinggi status sosial nelayan maka persepsi terhadap pendidikan formal akan semakin tinggi. g. Persepsi Terhadap Pendidikan Formal Persepsi merupakan proses pencarian informasi untuk dipahami melaluialat penginderaan (penglihatan, pendengaran, peraba, dan sebagainya) dan alat untuk memahaminya adalah kognisi atau kesadaran (Sarwono 1999 diacu dalam Suryani (2004)). Setiap lingkungan sosial budaya yang berbeda dan reaksi yang berbeda akan menghasilkan persepsi yang berbeda pula (Markovsky diacu dalam Suryani (2004)). Para orang tua nelayan kurang memperhatikan pendidikan formal anaknya dengan baik, dapat membaca dan menulis adalah tujuan utama untuk menyekolahkan anak. Motivasi orang tua untuk menyekolahkan anak akan sangat tergantung pada bagaimana penilaian orang tua terhadap tujuan dan system pendidikan formal. 2. Faktor Eksternal
Faktor ekternal yang berpengaruh terhadap tingkat pendidikan anak antara lain jarak tempat tinggal dengan sarana pendidikan, jumlah jam kerja, keterdedahan informasi, dan relevansi kurilukum dengan kebutuhan lingkungan. a. Jarak Tempat Tinggal Menurut Heryanto (1998) jarak tempat tinggal ke sarana pendidikan dan pusat informasi pendidikan penting dijadikan pertimbagn untuk menyekolahkan anak, karena terkait dengan transportasi, biaya dan waktu pengawasan kemajuan prestasi anak. b. Keterdedahan Informasi Berdasarkan hasil penelitian Suryani (2004) pemanfaatan media menjadi hal yang penting dalam hal penunjang pendidikan dan semakin banyak informasi yang diterima oleh nelayan maka persepsi masyarakat terhadap pendidikan formal akan semakin tinggi. c. Jumlah Jam Kerja Anak Jumlah jam kerja anak adalah banyaknya waktu ysng dipergunakan anak untuk membantu usaha orang tua dianggap berpengaruh terhadap tingkat pendidikan anak karena bersadarkan beberapa sumber menyebutkan bahwa banyak anak nelayan usia sekolah yang sudah terjun untuk membantu usaha orang tuanya untuk menambah pendapatan keluarga. Hasil penelitian Sumarsono di Jawa Timur diacu dalam Suryani (2004) menyebutkan bahwa anak merupakan faktor produksi yang dapat membantu penghasilan keluarga karena mampu memperoleh penghasilannya sendiri. Fenomena keseharian masyarakat nelayan yaitu baik anak lelaki maupun anak perempuan secara lebih dini terlibat dalam proses pekerjaan nelayan dari mulai persiapan orang tua mereka untuk ke laut sampai dengan menjual hasil tangkapan. Hal ini tentunya berimplikasi kepada kelangsungan pendidikan anakanak nelayan.
d. Relevansi kurikulum dengan keutuhan lingkungan Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu (Undang Undang Pendidikan Nasional 2003). Dalam pasal 36 ayat (1) disebutkan bahwa pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Pada pasal 36 ayat (2) kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik. Menurut Dahuri (2002) wacana kelautan perlu dikembangkan dalam pelajaran di sekolah (tingkat dasar dan menengah) hal itu disebabkan oleh kenyataan bahwa etos kebaharian sudah mulai menurun dan melemah terutama di kalangan generasi muda. Lunturnya etos kebaharian tersebut disebabkan system pendidikan nasional yang mewarisi gagasan politik etis. Rickcleft (1991) diacu dalam Dahuri (2002) menjelaskan bahwa politik etis yang ditanamkan berakar pada permasalahan-permasalahan ekonomi dan adanya unsur kemanusiaan sebagai balas jasa. Sistem pendidikan pada masa tersebut bias pada kepentingan penjajah yang mengenyampingkan etos kebaharian. Ketiadaan orientasi pendidikan pada wacana kelautan, mengakibatkan seolah-olah menjadi beban dan tidak menjadi prioritas dalam pilihan hidup masyarakat pesisir dan kondisi tersebut menyebabkan tingkat pendidian di kalangan nelayan rendah (Ramli 2002 diacu dalam Dahuri 2002). Salah
satu
implementasi
manajemen
berbasis
sekolah
adalah
adanya
pengembangan kurikulum dengan memperhatikan kebutuhan siswa, memperhatikan
sumberdaya yang ada dan harus mampu mengatur perubahan sebagai fenomena alamiah. Dalam pelaksanaannya pengembangan kutikulum yang telah digariskan tersebut yaitu dengan pemberlakuan kurikulum berbasis kompetensi. E. Kerangka Konseptual Proses pendidikan sangat memerlukan adanya hubungan timbal balik antara tiga unsur yang mempengaruhi keberlanjutan dan proses pendidikan anak yaitu keluarga, masyarakat, dan lingkungan. Dalam hal ini anak merupakan posisisentral yang sangat rentan untuk dipengaruhi oleh ketiga faktor tersebut. Penelitian ini mengkaji tentang faktor-faktor yang mempengaruhi keberlanjutan seorang anak dalam mengakses pendidikan untuk tercapainya mutu anak yang diharapkan. Faktor-faktor tersebut terdiri dari beberapa bagian yaitu karakteristik sosial ekonomi orang tua (nelayan), jenis layanan pendidikan, serta ketersediaan informasi layanan pendidikan. Penelitian ini juga berusaha mencoba membantu merumuskan alternatif layanan pendidikan non-formal yang lebih sesuai dengan kondisi/situasi rumah tangga nelayan. Karakteristik sosial ekonomi orang tua nelayan yang akan dilihat dalam penelitian ini adalah umur kepala keluarga dan ibu saat dilakukan wawancara, tingkat pendidikan yang berupa lama sekolah anggota keluarga dihitung dalam jumlah tahun yang sudah dihabiskan anggota keluarga tersebut untuk bersekolah, pendapatan keluarga yang merupakan jumlah keseluruhan pendapatan keluarga termasuk ayah, ibu dan anak serta anggota keluarga lain, besar keluarga yaitu banyaknya anggota keluarga dalam keluarga tersebut, persepsi terhadap pendidikan, status usaha kepala keluarga serta nilai anak dalam keluarga yang terbagi berdasarkan jenis kelamin anak tersebut. Jenis layanan pendidikan terbagi tiga yaitu layanan pendidikan formal, pendidikan non formal, dan pendidikan informal, tetapi yang termasuk
dalam ruang lingkup penelitian hanya pendidikan formal dan pendidikan non formal. Ketersediaan informasi dapat dilihat dari adanya media-media informasi mengenai layanan pendidikan yang dapat diakses oleh rumah tangga perikanan dan intensitas keluarga nelayan dalam menggunakan media informasi tersebut.
SKEMA KERANGKA KONSEPTUAL KELUARGA NELAYAN
Latar Belakang Kehidupan Sosial-Ekonomi Keluarga Nelayan, meliputi : • Tingkat Pendidikan • Tingkat Pendapatan / Upah • Kondisi Kesehatan
Kelanjutan Pendidikan Dikalangan Anak Nelayan (Kasus, Desa Ujung Labuang, Kecamatan Suppa, Kabupaten Pinrang Pendidikan Anak
Pendidikan formal
Pendidikan non formal
-
Pendidikan informal
Pendidikan dasar Pendidikan menengah Pendidikan tinggi
F. Definisi Teoritis Untuk memudahkan peneliti dalam proses penelitian, berikut akan dikemukakan beberapa konsep-konsep yang digunakan oleh peneliti dalam mengkaji masalah Kelanjutan pendidikan dikalangan anak nelayan. Berikut ini beberapa rumusan konsep-konsep tersebut :
Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang. Menurut Ki Hajar Dewantara (Bapak Pendidikan Nasional Indonesia) menjelaskan tentang pengertian pendidikan yaitu: Pendidikan yaitu tuntutan di dalam hidup tumbuhnya anakanak, adapun maksudnya, pendidikan yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya. Menurut H. Horne, adalah proses yang terus menerus (abadi) dari penyesuaian yang lebih tinggi bagi makhluk manusia yang telah berkembang secara fisik dan mental, yang bebas dan sadar kepada tuhan, seperti termanifestasi dalam alam sekitar intelektual, emosional dan kemanusiaan dari manusia. Menurut UU No. 20 tahun 2003 Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara. Nelayan adalah orang yang secara aktif melakukan penangkapan ikan. Keberlanjutan pendidikan merupakan proses berlangsungnya pendidikan tanpa terputus di tengah jalan. Keberlanjutan pendidikan terbagi menjadi dua yaitu seorang anak tetap melanjutkan sekolah di lembaga pendidikan formal dan seorang anak putus sekolah sebelum menyelesaikan pendidikannya. Jika anak responden yang dimintai informasi mengalami putus sekolah maka ditanyakan alternatif pendidikan yang menurut nelayan lebih sesuai dengankondisi rumah tangga perikanan.
Menurut Koentjaraningrat masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu system adat istiadat tertentu yang bersifat kontinu, dan yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama. Nelayan menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan. Aksesibilitas terhadap pendidikan adalah kemudahan seseorang untuk mendapatkan akses pendidikan yang layak. Mudah atau tidaknya pencapaian aksesibilitas mempengaruhi keberlanjutan pendidikan anak nelayan.
BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan dan Strategi Penelitian Dalam penelitian ini Metode yang digunakan adalah metode pendekatan deskriptif dengan menggunakan survey, yaitu metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu objek, suatu kondisi, suatu sistem pemikiran, ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Menurut Whitney (Nazir, 1999), metode deskriptif adalah pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat. Penelitian deskriptif mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat, serta tata cara yang berlaku dalam masyarakat serta situasi-situasi tertentu. B. Jenis dan sumber data Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data kualitatif dan data kuantitatif. Data kualitatif adalah fakta yang diperoleh selama penelitian berupa kata-kata atau tulisan dari manusia atau tentang perilaku manusia yang dapat diamati (Taylor dan Bogdan (Sitorus, 1998)). Data kuantitatif yaitu data yang nilainya berbentuk numerik atau angka (Kusmayadi dan Endar dikutip oleh Aryani (2007)). Berdasarkan sumber data dibedakan menjadi dua kelompok yaitu data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang didapatkan melalui wawancara, pengukuran, dan pengamatan langsung di lapangan. Pengumpulan data primer dilakukan dengan cara sebagai berikut: 1. Kuesioner (quetionaire) adalah suatu cara pengumpulan data dengan cara memberikan daftar pertanyaan atau angket yang telah disediakan kepada responden.
2. Menurut Sitorus (1998) wawancara adalah proses memperoleh data dengan cara tanya jawab secara langsung dan temu muka langsung dengan responden. Pengumpulan data seperti ini dituntut untuk melakukan banyak pelacakan guna mendapatkan data yang lebih dalam, utuh, dan rinci. 3. Observasi (observation), pengamatan langsung pada suatu objek yang akan diteliti untuk mendapatkan gambaran yang tepat mengenai objek penelitian. Data Sekunder adalah pengumpulan data yang dilakukan melalui studi kepustakaan yang terdiri dari: 1. Penelitian kepustakaan adalah dengan mengumpulkan buku-buku, karya ilmiah, makalah yang memiliki relevansi dengan masalah yang sedang diteliti. 2. Studi dokumentasi adalah dilakukan dengan menelaah catatan tertulis, dokumen, dan arsip yang menyangkut masalah yang diteliti yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. C. Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh kepala keluarga yang berada di Dusun Kassi Pute Desa Ujung Labuang Kecamatan Suppa Kabupaten Pinrang yang berjumlah 369 kepela keluarga. Sampel diartikan sebagian dari populasi yang menjadi sumber data yang sebenarnya, dengan kata lain sampel adalah sebagian dari populasi. Menurut Arikunto (2006: 134) jika jumlah populasi kurang dari 100 maka untuk dijadikan sampel diambil seluruhnya, namun jika lebih besar dari 100 maka dapat diambil 10 %-15 % atau 20 %-25 % atau lebih. Berdasarkan penjelasan tersebut maka jumlah Sampel yang digunaka dalam penelitian ini sebanyak 40 kepala keluarga.
Teknik rancangan sampling yang peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah teknik rancangan sampling probabilitas/ probability sampling, yaitu teknik pengambilan sampel yang diberikan sama bagi setiap unsur anggota populasi untuk dipilih menjadi anggota sampel. Sedangkan metode sampling yang peneliti gunakan adalah sampling random sederhana, yaitu dengan member nomor pada seluruh anggota populasi, lalu mengundinya (merandom/mengacak) sampai mendapatkan jumlah sampel yang dibutuhkan. D. Waktu dan Lokasi Penelitian Lokasi penelitian adalah obyek penelitian dimana kegiatan penelitian dilakukan. Penentuan lokasi penelitian sangat penting karena berhubungan dengan data-data yang harus dicari sesuai dengan fokus yang ditentukan, lokasi penelitian juga menentukan apakah data bisa diambil dan memenuhi syarat baik volumenya maupun karakter data yang dibutuhkan dalam penelitian. Pertimbangan geografis serta sisi praktis seperti waktu, biaya, dan tenaga akan menentukan lokasi penelitian. Cara terbaik yang perlu ditempuh dalam menentukan lapangan penelitian ialah dengan jalan mempertahankan teori substantif, pergilah dan jadakilah lapangan untuk melihat apakah dapat kesesuaian dengan kenyataan yang ada di lapangan keterbatasan geografis dan praktis seperti waktu, biaya dan tenaga, perlu juga dijadikan pertimbangan dalam menentukan lokasi penelitian. Lokasi penelitian dilaksakan di Desa Ujung Labuang, Kecamatan Suppa, Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan pada bulan Oktober-November 2012. E. Analisis data Data yang terkumpul baik melalui penjaringan data lapangan maupun melalui dokumen-dokumen dilakukan langkah-langkah melalui pengecekan kelengkapan data,
kemudian penentuan tabel frekwensi sederhana, dan terakhir mengklasifikasikan sesuai dengan tujuan penelitian yang telah ditentukan. Dari klasifikasi data, selanjutnya dilakukan langkah-langkah analisis secara deskriptif dengan bantuan tabel frekwensi sederhana.
BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI A. Kondisi Geografis Desa Ujung Labuang merupakan salah satu daerah yang berada dalam kawasan Kecamatan Suppa, Kabupaten Pinrang, Propinsi Sulawesi Selatan. Suhu rata-rata diperkirakan berkisar antara 23-250C. Selain itu, kondisi medannya juga tidak merata, serta beberapa bagian akses jalan masih dalam kondisi rusak. Luas wilayah Desa Ujung Labuang adalah 36, 30 ha/m2, dengan batas-batas wilayah sebagai berikut : •
Sebelah utara
: Desa Wiringtasi
•
Sebelah timur
: Desa Ujung Lero
•
Sebelah barat
: Desa Wiringtasi
•
Sebelah selatan
: Kota Pare-pare
Jarak antara Desa Ujung Labuang dari ibu kota kecamatan ±17 km dan jarak antara Desa Ujung Labuang dari ibu kota kabupaten ±39 km. Desa Ujung Labuang mempunyai kontur permukaan tanah datar dengan ketinggian dari permukaan laut antara 0 – 2 meter. Pasang surut kawasan ini mempunyai sifat harian tunggal dan kisaran antara surut tertinggi dan terendah adalah 1,2 meter dan gerakan periodik ini walaupun kecil tetap berpengaruh pada kondisi pantai kawasan ini. Arus laut pada daerah ini berkecepatan 1,5 knot dengan ketinggian gelombang antara 0 – 1 meter , jika terjadi angin kuat gelombang dapat mencapai 1,5 sampai 2 meter. Desa Ujung Labuang terletak didaerah yang strategis karena letaknya yang berada di ujung pulau yang berseblahan dengan kota pare-pare. Akses menuju daerah ini boleh dikata masih kurang baik, meski jalanan beraspal namun hampir semuanya sudah rusak, tapi daerah
ini masih muda diaskes baik dengan kendaraan bermotor, angkutan umum maupun dengan perahu kapal. B. Keadaan Demografi a. Penduduk Penduduk merupakan jumlah orang yang bertempat tinggal di suatu wilayah pada waktu tertentu dan merupakan hasil proses-proses demografi yaitu fertilitas, mortalitas, dan migrasi (Rusli, 1995). Selain itu Rusli juga menjelaskan bahwa komposisi penduduk menggambarkan susunan penduduk yang dibuat berdasarkan pengelompokan penduduk menurut karakteristik-karakteristik yang sama seperti etnis, agama, kewarganegaraan, bahasa, pendidikan, jenis kelamin, dan golongan pendapatan. Jumlah penduduk Desa Ujung Labuang berdasarkan rekapitulasi bulan Juli 2012 berjumlah 2.013 jiwa yang terdiri dari 1.058 laki-laki dan 955 perempuan. Adapun kondisi demografis Desa Ujung Labuang. Keadaan penduduk Desa Ujung Labuang Kecamatan Suppa Kabupaten Pinrang berdasarkan dengan tingkat dusun dapat dilihat pada table berikut: Tabel 1: jumlah penduduk berdasrkan dusun NO
NAMA
JUMLAH KK
PENDUDUK
DUSUN 1.
Kassi Pute
369
1551
2.
Tanah Millie
98
462
Sumber: Profil Desa Ujung Labuang, 2012 Dengan demikian dapat dilihat bahwa jumlah penduduk terbanyak tedapat di dusun Kassi Pute dengan persentase sebanyak 369 kepala keluarga atau sekitar 1551 orang
penduduk, dibandingkan dengan yang ada didusun Tanah Milie hanya terdapat 98 kepala keluarga atau terdapat sekitar 462 orang penduduk. Adapun jumlah penduduk berdasrkan golongan umur dapat dilihat pada tabel berikit: Tabel 2: Jumlah penduduk menurut golongan umur GOLONGAN UMUR
JUMLAH
1- 10 tahun
557
11- 20 tahun
460
21- 30 tahun
323
31- 40 tahun
240
41 - 50 tahun
233
> 50 tahun
200
Sumber: Profil Desa Ujung Labuang, 2012 Dari tabel diatas nampak bahwa penduduk dengan usia/umur 1-10 tahun paling banyak diantara selurauh tingkat usia yang ada di Desa Ujung Labuang dengan jumlah sebanyak 557 orang sedangkan yang paling sedikit adalah penduduk yang memiliki usia diatas 50 tahun yaitu sebanyak 200 orang. Adapun jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 3: Jumlah penduduk menurut jenis kelamin JENIS KELAMIN
JUMLAH
Laki-laki
1.058
Perempuan
955
Total
2.013
Sumber: Profil Desa Ujung Labuang, 2012 Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa jumlah penduduk berjenis kelamin laki-laki lebih besar dari pada jumlah penduduk berjenis kelamin perempuan dengan deviasi sebesar 103, atau penduduk berjenis kelamin laki-laki sebanyak 1058 orang dan penduduk berjenis kelamin perempuan sebanyak 955 orang sehingga jumlah total penduduk sebanyak 2.013 orang dengan 467 kepala keluarga. b. Keadaan pendidikan Sebagai upaya untuk mewujudkan salah satu aspirasi bangsa yang diamanatkan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, demikian juga perkembangan suatu daerah, factor pendidikan memang peran yang sangat menentukan. Dikatakan demikian karena hanya dengan pendidikan, tujuan pembangunan nasional dapat terealisasi dengan sebaik-baiknya. Dengan keterbatasan pendidikan dapat berakibat rendahnya kecerdasan hal ini merupakan tendensi masyarakan untuk senangtiasa hidup statis. Jadi dalam hal ini pendidikan itu mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap usasha peningkatan taraf hidup masyarakat. Mengenai gambaran tentang tingkat pendidikan masyarakat di Desa Ujung Labuang dapat dilihat pada tabel berikut: Table 4: Jumlah penduduk menurut tingkat pendidikan Tingkat pendidikan
Jumlah
Belum sekolah
320
Tidak sekolah
200
Tidak tamat SD
94
Tamat SD
105
Tamat SMP/Sederaja
112
Tamat SMA/Sederajat
95
Tamat D1/Sederajat
8
Tamat Akademi/PT
2
Sumber: Profil Desa Ujung Labuang, 2012 Dengan demikian rata-rata tingkat pendidikan masyarakat Desa Ujung Labuang adalah mayoritas tidak sekolah yaitu sebanyak 200 orang, sedangkan yang tamat SD sebanyak 105 orang, tamat SMP/ sederajat 112 orang, tamat SMA/sederajat 95 orang, dan yang selesai D1 8 orang serta yang selesai akademi/ S1 hanya 2 orang. Keadaan tersebut juga dipengaruhi oleh masih terbatasnya sarana pendidikan. Lebih lengkapnya dapat dilihat pada table berikut: Tabel 5: Sarana pendidikan Sekolah
Jumlah
TK
2
SD
2
SLTP/MTs
-
SLTA/ Sederajat
-
Sumber: Profil Desa Ujung Labuang, 2012 Dengan melihat tabel diatas maka dapat diketahui bahwa sarana pendidikan di Desa Ujung Labuang masih sangat minim karena belum ada bangunan Sekolah lanjutan seperti Sekolah Menengah Pertama (SMP/sederajat) apalagi bangunan Sekolah Menengah Atas (SMA). Padahal sarana pendidikan seperti ini sangat diperlukan untuk keberlanjutan pendidikan anak, apalagi letak Desa ini sangat jauh dari pusat Ibu Kota Kecamatan lebihlebih pusat Ibu Kota Kabupaten. c. Keadaan ekonomi
Adapun keadaan sosial ekonomi masyarakat Desa Ujung Labuang sebagian besar bermata
pencaharian
sebagai
nelayan.
Selain
itu,
ada
juga
peternak,
buruh,
pedagang/wiraswasta dan petani. Keadaan ekonomi penduduk Desa Ujung Labuang dapat dilihat menurut pekerjaan. Lebih jelasnya pada table berikut: Tabel 6: Keadaan penduduk menurut pekerjaan PEKERJAAN
JUMLAH
Tidak bekerja Buruh Pedagang/Wiraswasta Nelayan PNS/ABRI/Pensiunan Pegewai Swasta Petani Sumber: Profil Desa Ujung Labuang, 2012
140 135 865 7 4 75
Desa Ujung Labuang adalah daerah pantai atau menurut tipologinya merupakan daerah pesisir, sehingga sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai nelayan, sebagian sebagai buruh dan wiraswasta serta bertani adalah pekerjaan sampingan guna untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. d. Keadaan kesehatan Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Kesehatan sangatlah erat kaitannya dengan kesejahteraan, semakin baik kondisi kesehatn seseorang maka tingkat produktifitasnya juga akan semakin baik. Keadaan seperti ini harus didukung pula dengan fasilitas kesehantan, seperti yang digambarkan dibawah: Tabel 7: Sarana Kesehatan
Sarana kesehatan
Jumlah
Puskesmas
-
Pustu
1
MCK Umun
4
Sumber: Profil Desa Ujung Labuang, 2012 Melihat tabel diatas dapat kita ketahui bahwa kondisi pelayanan kesehatan di daerah ini sangat minim. Puskesmas yang merupakan unit pelayanan teknis dinas (UPTD) kesehatan kabupaten/kota yang bertanggungjawab melakukan pembangunan kesehatan disuatu wilayah nampak tidak ada, yang ada hanyalah puskesmas pembantu (pustu) itupun kelihan kosang dan menurut masyarakat setempat bahwa fasilitas ini tidak pernah digunakan selama dibangun. Sarana dan prasarana pembuangan air limbah domestik di Desa Ujung Labuang pada dasarnya sudah tersedia seperti MCK yang merupakan sarana utama bagi masyarakat nelayan untuk memenuhi kebutuhan mandi cuci dan konsumsi sehari-hari. Sarana MCK sudah disiapkan tetapi tidak bertahan lama, pembangunan sarana dan prasarana sanitasi masih belum memenuhi standar baik dari kapasitas, jumlah/volume maupun hal teknis lain. e. Keadaan sosial budaya Masyarakat Desa Ujung Labuang yang mayoritas suku mandar dalam sistem kekerabatannya menganut prinsip bilateral yaitu mengikuti kedua garis keturunan yaitu ayah dan ibu. Pemilihan tempat tinggal untuk menetap setelah menika adalah pada lingkungan keluarga istri dan biasanya juga memilih dan mendirikan rumah atau tempat tinggal sebisa mingkin tidak jauh dari tempat menetap keluarga istri. Oleh karena itu sistem kelompok keluarga bagi suku mandar pada umumnya menganut sistem keluarga batih. Suku mandar membedakan keluarga luas antara family jauh dan family dekat yang masih mempunyai
hubungan darah. Keluarga dekat disebut “sangana kadeppe”, dan keluarga jauh disebut “sangana karambo” sementara keluarga dari suami atau istri yang tidak mempunyai hubungan disebut mattitanikeng. Salain itu ada juga budaya atau tradisi unik masyarakt Desa Ujung Labuang yang biasa dilakukan yaitu mappande tasi (member makan laut) biasa juga disebut oleh masyarakat setempat sebagai pesta nelayan yang dilaksanakan setiap tahunnya biasanya berlangsung pada bulan Mei atau Juni, dimana dalam upacara adat ini biasa diadakan perlombaan balap perahu yang di ikuti oleh warga setempat, dan paling banyak ikut dalam perlombaan ini didominasi oleh anak mudah. Hal ini dipercaya sebagai tanda syukur mereka kepada yang kuasa atas limpahan rahmat terutama hasil kekayaan lautnya serta berharap diberi penghasilan yang lebih banyak lagi. Sementara dalam sistem kepercyaan, masyarakat Desa Ujung Labuang ini mayoritas beragama islam bahkan dapat dipastikan bahwa di Desa ini tidak terdapat agama lain selain Islam, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut: tabel 8: Jumlah penduduk berdasarkan agama Agama
Jumlah
Islam
2.013
Non-Islam
-
Sumber: Profil Desa Ujung Labuang, 2012 Berdasarkan tabel diatas terlihat bahwa semua masyarakat Desa Ujung Labuang adalah beragama islam, maka dari itu kegiatan keagamaan mereka ditunjang dengan sarana peribadatan berupa mesjid atau mushalla, berikut tabelnya: Tabel 9: Sarana peribadatan
Sarana peribadatan
Jumlah
Mesjid
3
Mushalla
-
Sumber: Profil Desa Ujung Labuang, 2012 Dalam hal agama, masyarakat Desa Ujung Labuang seluruhnya beragama Islam dan sarana peribadatan yang tersedia di Desa Ujung Labuang terdiri dari 3 mesjid/mushallah. Bangunan tempat peribadatan tersebut adalah hasil swadaya masyarakat setempat dan bantuan pemerintah dengan tipe bangunan permanen. BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Identitas Responden Dalam penelitian ini sebagaimana dikemukakan sebelumnya bertuajuan untuk mendeskripsikan fenomena yang dihadapi keluarga pada masyarakat Desa Ujung Labuang sehubungan dengan peluang atau usaha dalam melanjutkan pendidikan bagi anak nelayan. Kelanjutan pendidikan dikalangan anak nelayan dimaksud memiliki ketidaksamaan dalam masyarakat berdasarkan kondidi sosial ekonomi. Berdasarkan lokasi yang menjadi fokus penelitian yaitu Desa Ujung Labuang Kecamatan Suppa Kabupaten Pinrang. Menunjukkan bahwa daerah ini cukup potensial dari segi sumber daya alamnya karna didukung dengan potensi laut yang kaya atas biota laut utamanya ikan. 1. Jenis kelamin Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh penulis, dapat diketahui jenis kelamin responden pada tabel berikut: Table 10: distribusi responden berdasarkan jenis kelamin
No 1
Jenis kelamin Laki-laki
2
perempuan jumlah
Frekuensi 40
persentase 100%
-
-
40
100%
Sumber: hasil olahan data primer, 2013 Dari tabel diatas menunjukkan responden laki-laki berjumlah 40 responden (100% ) dan responden perempuan itu tidak ada ( 0% ), ini disebabkan karena responden yang diambil memang keseluruhan adalah laki-laki. Kita semua tau bahwa dalam masyarakat nelayan peran pungsi kaum lelaki lebih besar dibandingkan dengan kaum perempuan dalam hal pencarian nafkah, maka dari itu petulis berinisiatif untuk mengambil responden laki-laki secara keseluruhan. 2. Umur Umur merupakan salah satu faktor yang dapat memberikan gambaran tentang cara pandang seseorang. Terkadang semakin dewasa umur seseorang maka semakin bijak ia menyikapi atau merespon sesuatu. Oleh karena itu berikut disajikan responden berdasarkan umur: Table 11: distribusi responden berdasarkan kelompok umur No 1 2 3 4 5
Kelompok umur
Frekuensi
persentase
25-30 tahun
1
2,5%
31-40 tahun
17
42,5%
41-55 tahun
14
35,0%
>55 tahun
8
20,0%
40
100%
jumlah
Sumber: hasil olahan data primer, 2013
Dalam keluarga nelayan, pendapatan keluarga sangat ditentukan dari sejahu mana kemampuan orang tua pada khususnya dalam memenuhi kebutuhan keluarganya, ini sangat ditentukan oleh kondisi pisik utamanya masyalah umur atau usia karena berdampak laansung pada masalah kesehatan. Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa frekuensi terbanyak terdapat pada kategori 3140 tahun sebanyak 17 responden (42,5%), kemudian frekuensi 41-55 sebanyak 14 responden (35,0%) disusul frekuensi >55 tahun sebanyak 8 responden (20,0%) dan frekuensi terkecil ada pada kategori 25-30 tahun hanya 1 responden (2,5%) karena responden yang diteliti adalah masyarakat nelayaang yang sudah berkeluarga dan memiliki keturunan. Pada umumnya masyarakat nelayan yang berumur muda dan sehat memiliki kemampuan fisik yang lebih besar, cepat menerima hal-hal baru yang dianjurlan dan berjiwa dinamis. Ini disebabkan karena nelayan muda lebih berani mengambil resiko, dan biasanya kurang berpengalaman. Di lain pihak, nelayan yang berumur tua mempunyai kapasitas pengelolaan cabang perikanan yang lebih baik dan matang serta memiliki banyak pengalaman. Dengan demikian dapat dilihat bahwa responden terbanyak ada pada usia 31-40 dan 41-55 karena memang pada usia seperti ini adalah usia yang paling produktif untuk bekerja. 3. Agama Selain responden berdasarkan umur dan jenis kelamin, dalam penelitian ini juga diuraikan tentang masalah agama yang dianut oleh masyarakat setempat. Hal ini bisa kita lihat pada tabel berikut: Table 12: distribusi responden berdasarkan agama No
Agama Islam
Frekuensi 40
persentase 100%
Kristen lainnya jumlah 40 Sumber: hasil olahan data primer, 2013
100%
Sebagaimana digambarkan pada tabel 11 diatas, dapat kita simpulkan bahwa agama yang dianut oleh masyarakat Desa Ujung Labuang adalah 100% agama islam, hal ini disebabkan karena memang nenek moyangnya adalah penganut agama islam yang sangat religius. 4. Suku Desa Ujung Labuang adalah Desa yang terletak diujung Kecamatan Suppa Kabupaten Pinrang, yang mana kita kenal bahwa masyarak pinrang mayoritas penduduk asli suku bugis, tapi berbeda dengan desa ujung labuang yang mayoritas berpenduduk suku mandar. Untuk lebih jelasnya digambarkaan pada tabel berikut: Table 13: distribusi responden berdasarkan suku No 1 2 3 4
Suku
Frekuensi Bugis 2 Mandar 37 Makassar 1 Lainnya Jumlah 40 Sumber: hasil olahan data primer, 2013
persentase 5,0% 92,5% 2,5% 100%
Berdasarkan tabel diatas dapat kita lihat bahwa masyarak desa ujung labuang mayoritas bersuku mandar dengan persentase 37 responden (92,5%), suku bugis hanya 2 responden (5,0%), suku makassar hanya 1 responden (2,5%) dan suku lainnya itu tidak ada (0%). Dikecamatan suppa kabupaten pinrang memang ada dua desa yang dihuni oleh suku pendatang (suku mandar) yaitu Desa Ujung Labuang dan Desa Ujung lero yang merupakan imigran dari Kabupaten Majene dan Kabupaten Polewali Mandar (Polmas) yang ada di
Propinsi sulawsi Barat, kedua Desa bertetangga ini sudah lama dihuni oleh suku mandar sejak mulai dari saman perang. 5. Tingkat Pendidikan Pendidikan orangtua sangat berpengaruh terhadap pola pola perkembangan anak. Fenomena yang terjadi kebanyakan orangtua menginginkan anaknya menjadi orang yang sukses dalam pendidikan maupun karirnya, sehingga masa yang akan datang meka dapat memperbaiki kualitas hidupnya menjadi lebih baik dari sebelumnya. Tinggi rendahnya pendidikan seseorang terkadang sangat mempengaruhi pola pemikiran seseorang. Cara menyikapi sebuah masalah antara orang yang berpendidikan tinggi jelas terlihat perbedaanya disbanding orang yang berpendidikan rendah, terkadang orang yang berpendidikan tinggi dalam memutuskan masalah lebih bijak dan lebih mempertimbangkan masa depan dibandingkan dengan yang berpendidikan rendah. Dari hasil penelitian ini tingkat pendidikan responden adalah sebaagai berikut: Table 14: distribusi responden berdasarkan tingkat pendidikan No 1 2 3 4 5
Tingkat pendidikan
Frekuensi
persentase
5 27 6 2 -
12,5% 67,5% 15,0% 5,0% -
Jumlah 40 Sumber: hasil olahan data primer, 2013
100%
Tidak sekolah SD SLTP/sederajat SLTA/sederajat D3/S1
Pada tabel diatas menunjukkan bahwa frekuensi terbanyak terdapat pada tingkat pendidikan Sekolah Dasar (SD) yaitu 27 responden dengan persentase 67,5%, kemudian Sekolah Menengah Pertama (SMP) sebanyak 6 responden dengan persentase 15,0%, yang tidak pernah sekolah/ tidak tammat SD sebanyak 5 responden dengan persentase 12,5%,
Sekolah Menengah Atas (SMA) hanya 2 responden dengan persentase 5,0%, dan dari keseluruahan responden tidak ada yang sampai pada jenjang pendidikan tinggi (D3/S1) sesuai dengan tabel diatas yaitu 0%. Dngan demikian rata-rata pendidikan orang tua keluarga nelayan yang ada, hanya sampai pada tingkat Sekolah Dasar (SD) dengan persentase tertinggi 67,5% sedangkan pendidikan pada tingkat SMP dan SMA hanya beberapa persen saja yaitu masing-masing 15,0% dan 5,0% selebihnya adalah tidak pernah mengenyam pendidikan. 6. Jumlah Anak Jumlah anak adalah bagian yang sangat penting yang perlu diketahui oleh seorang peneliti, maka dari itu dalam penelitian ini penulis menggambarkan jumlah anak responden sebagai berikut: Table 15: distribusi responden berdasarkan jumlah anak No 1 2 3 4
Jumlah anak 1 orang 2 orang 3 orang >3 orang
Frekuensi 1 5 11 23
Jumlah 40 Sumber: hasil olahan data primer, 2013
persentase 2,5% 12,5% 27,5% 57,5% 100%
Pada tabel diatas terlihat bahwa frekuensi terbanyak adalah yang memiliki lebih dari tiga orang anak yaitu 23 responden atau 57,5%, kemudian 11 responden yang memiliki 3 orang anak atau 27,5%, 5 responden yang memiliki 2 orang anak atau 12,5% dan hanya 1 responden yang memiliki 1 orang anak atau 2,5%. Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa rata-rata keluarga nelayan memiliki lebih dari tiga orang anak, ini menunjukkan bahwa beban oarng tua dalam memenuhi kebutuhan keluarganya makin besar.
7. Pekerjaan Pekerjaan merupakan hal yang sangat penting untuk diketahui oleh seorang penulis dalam melakukan penelitian, karena pekerjaan adalah salah satu ukuran untuk mengetahui status sosial seseorang dalam masyarakt. Berikut akan diuraikan jumlah responden dan hasil persentasi berdasarkan jenis pekerjaan: Table 16: distribusi responden berdasarkan pekerjaan No 1 2 3
Jumlah anak Nelayan Petani Pedagang
Frekuensi 40 -
Jumlah 40 Sumber: hasil olahan data primer, 2013
persentase 100% 100%
Berdasarkan tabel diatas, terlihat bahwa aktifitas keseharian dan jenis pekerjaan yang digeluti rasponden semuanya adalah nelayan dengan frekuensi 40 responden atau dengan persentasi 100%, sedangkan pekerjaan yang lain seperti bertani dan berdagang masingmasing 0% kalaupun ada, itu hanya pekerjaan tambahan. Masyarakat Ujung labuang adalah masyarakat pesisir dimana kehidupan keseharian mereka adalah menangkap ikan atau biasa disebut nelayan, wajar saja kalau semua respondeng yang diteliti, pekerjaannya nelayan. B. Kondisi Kesehatan Masayarakat Nelayan Apabila dilihat berdasarkan fakta yang ada, memang pendidikan akan terganggu ketika pelakunya menderita sakit. Anak yang sehat mempunyai kemampuan belajar lebih baik dan akan tumbuh menjadi dewasa yang lebih terdidik. Dalam keluarga yang sehat, pendidikan anak cenderung untuk tidak terputus jika dibandingkan dengan keluarga yang
tidak sehat. Jadi dapat disimpulkan bahwa investasi pendidikan dan investasi kesehatan saling mempengaruhi atau mempunyai hubungan yang fungsional. Kesehatan adalah bagian yang sangat substansial dalam kelangsungan hidup, semua aktifitas seseorang sagatlah dipengaruhi oleh kondisi kesehatannya, semakin baik kondisi kesehatan seseorang maka semakin baik pula kualitas kerjanya. Dengan demikian kesehatan haruslah dijaga dengan sebaik. Baik kesehatan jasmani maupun kesehatan rohani. 1. Keadaan kesehatan responden Untuk mengetahui kondisi kesehatan masyarakat di Desa Ujung Labuang Kecamatan Suppa Kabupaten Pinrang, maka dapat kita lihat pada penjelasan dabel berikut ini: Tabel 17: distribusi responden tentang keadaan kesehatannya No 1 2
Uraian
Frekuensi
Persentase
37 3
92,5% 7,5%
Sehat Tidak sehat
Jumlah 40 Sumber: hasil olahan data primer, 2013
100%
Berdasarkan tabel diatas, digambarkan bahwa sebanyak 32 responden (92,5%) yang menjawab sehat, sedangkan yang merasa kesehatannya kurang baik hanya 3 responden atau dengan persentase 7,5%. Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa keadaan rata-rata kesehatan masyarakat setempat Alhamdulillah masih baik meskipun ada juga yang merasa kesehatannya kurang baik tapi tidak seberapa dan penyakit yang mereka derita adalah diare, demam dan sebaginya seperti yang digambarkan pada tabel dibawah ini: Tabel 18: distribusi responden tentang jenis penyakit yang sering diderita
No 1 2 3
Uraian Diare Demam Lain-lain
Frekuensi
Persentase
22 4 14
55,5% 10,0% 34,5%
Jumlah 40 Sumber: hasil olahan data primer, 2013
100%
Tabel diatas menjelaskan bahwa jenis penyakit yang paling sering diderita oleh masyarakat nelayan adalah penyakit diareyaitu sebanyak 22 responden atau 55,5%, sedangkan yang sering mengalami penyakit demam 4 responden (10,0%), dan penyakit lainnya sebanyak 14 responden atau 34,5%. Berdasarkan hasil wawancara kami dengan salah satu responden (39 Tahun) menuturkan bahwa: Penyakik yang paling sering dialami orang disini yaitu sakit perut dan ma uterus buang air, sakit kepala, panas badan, muntaber dan sebagainya, apa lagi kalau musim hujan, kurang tau kenapa gampang sekali orang sakit. (Hasil wawancara, Desember 2012 pukul 11.00 wita) Keadaan lingkungan sangat menentukan kesehatan seseorang, berdasarkan hasil pengamatan dilapangan, kondisi kesehatan lingkungan di Desa Ujung Labuang masih sangat jauh dari harapan, misalnya saja kebutuhan air bersi yang sangat terbatas karena masyarakat setempat hanya mengandalkan air sumur galian, mungkin saja ini salah satu faktor kenapa kebanyakan masyarakat terkena penyakit diare ditambah lagi dengan menimnya fasilitas MCK baik pribadi maupun umum menyebabkan tidak jelasnya pembuangan limbah rumah tangga. Rumah warga nelayan, rata-rata tak memiliki sanitasi yang baik. Air sumur hanya disaring menggunakan batu-batu kecil dicampur pasir. Penyakit diare, seperti demam,
adalah hal yang biasa juga mereka alami. Bahayanya, warga tak memiliki toilet untuk buang hajat. Ancaman penyakit lain, sangat besar kemungkinannya. Fasilitas kesehatan seperti puskesmas pembantu (Pustu) yang seharusnya digunakan sebagai tempat alternative untuk mengkonsultasikan terhadap kesehatan masyarakat juga terlihat kosong.Menurut masyarakat setempat bahwa tidak pernah ada petugas kesehatan terlihat ditempat ini. Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu masyarakat yang juga adalah responden kami (41 Tahun) mengatakan bahwa: Harusnya pemerintah mendatangkan petugas kesehatan supaya kalau ada orang sakit tidak repotmi orang bawa kepuskesmas kecamatan apa lagi karena adami tempatnya sudah dibuat, masa tidak pernah didisi. (Hasil wawancara, Desember 2012 pukul 13.00 wita) 2. Pendapat responden tentang seberapa sering mereka terkena penyakit dalam setiap tiga bulan (triwulan). Tabel 19: distribusi responden tentang seberapa sering mereka terkena penyakit dalam setiap tiga bulan No Tingkat Frekuensi persentase pendidikan 1 2 3 4
1 kali 2 kali 3 kali Sering kali
5 2 6 27
Jumlah 40 Sumber: hasil olahan data primer, 2013
12,5% 5,0% 15,0% 67,5% 100%
Melihat tabel diatas bahwa responden dengan kategori paling sering terkena penyakit dalam setiap tiga bulan sebanyak 27 responden atau dengan persentase 67,0%, kemudian yang 3 kali sebanyak responden 6 (15,0%), dan yang 1 kali sebanyak 5 responden (12,5%) serta yang 2 kali hanya 2 responden (5,0%).
Dengan demikian tingginya angka masyarakat yang sering terkena penyakit membuktikan, betapa buruknya kondisi kesehatan masyarakat setempat yang dapat mempengaruhi kemampuan beraktifitas mereka dan akan berimplikasi pada produktifitas atau penghasilan mereka dalam memenuhi kebutuhan keluarganya. Untuk itu perhatian pemerintah setempat sangat dibutuhkan utamanya dalam pelayanan kesehatan. C. Gambaran Keadaan Keluarga Nelayaan 1. Gambaran responden tentang lama kerja nelayan Pada tabel 20 dan tabel 21 berikut akan digambarkan tentang apakan responden sudah lama menggeluti pekerjaannya sebagai nelayan: Table 20: distribusi responden tentang berapa lama bekerjsebagai nelayan Tentang Ya
Pilihan jawaban Tidak
Apakah Sudah lama bekerja 40 / 100% sebagai nelayan Sumber: hasil olahan data primer, 2013
Total
40 / 100%
Dari tabel diatas, dapat kita lihat bahwa dari 40 responden semuanya menjawab Ya, dengan persentase 100%, ini artinya hampir secara keseluruhan masyarakat Desa Ujung Labuang sudah lama bekerja sebagai nelayan. diperjelas dalam wawancara dengan salah satu responden (47 Tahun) mengatakan bahwa: Kami disini sudah lama bekerja sebagai nelayan, berpuluh-puluh tahunmi, mulai dari nenek-nenek kami sampai sekarang, karena tidak ada pekerjaan selain nelayan, iniji memang pekerjaannya masyarakat disini. (Hasil wawancara dengan responden, Desember 2012 pukul 09.00 wita) Kemudian untuk lebih memperjelas hal tersebut diatas, dapat kita lihat tabel 17 dibawa: Table 21: distribusi responden tentang berapa lama bekerja sebagai nelayan
S U
No 1 2 3
Uraian
Frekuensi
< 2 tahun 3-10 tahun >10 tahun Jumlah
Persentase
8 32 40
20,0% 80,0% 100%
summber: hasil olahan data primer, 2013 Pada tabel diatas dapat terliaht bahwa mayoritas masyarakat Desa Ujung Labuang sudah lama menggeluti pekerjaannya sebagai nelayan, sesuai dengan tabel 17 diatas, 32 responden yang sudah bekerja sebagai nelayaan diatas 10 tahun atau dengan persentase 80%, dan hanya 8 responden yang baru bekerja sebagai nelayan 3-10 dengan persentase 20% dan tidak ada yang dibawa 2 tahun (0%). Pekerjaan sebagai nelayan memang merupakan mata pencaharian utama pada masyarakat Ujung Labuang, selain karena memang letak geografisnya juga karena sudah menjadi pekerjaan warisan dari nenek moyang mereka. Ini artinya, pekerjaan sebagai nelayan suadah melekat pada diri mereka dan identik dengan warga setempat (masyarakat Desa Ujung Labuang). 2. Gambaran responden tentang kepemilikan alat tangkap Masalah alat tangkap bagi nelayan sangat menentukan hasil pendapatan dan produktifitas dalam menjalankan pekerjaanya, birikut digambarkan sejahu mana kepemilikan warga setempat terhadap alat-alat tangkap nelayan:
Table 22: distribusi responden tentang kepemilikan alat-alat tangkap Tentang Pilihan jawaban total Ya Tidak Kepemilikan alatalat tangkap
18 / 45,5%
Sumber: hasil olahan data primer, 2013
22 / 55,5%
40 / 100%
Berdasarkan tabel diatas, dapat kita lihat bahwa kepemilikan alat tangkap terhadap responden sangat rendah yaitu hanya 18 responden yang memiliki atau dengan persentase 45,5% sedangkan sebanyak 22 responden yang tidak memiliki alat tangkap atau dengan persentase 55,5%. Kalau pun dari 18 responden tersebut yang memiliki alat tangkap, sebagian hanyalah alat tangkap biasa seperti perahu/sampan, jala, dan sebagainya. Sedangkan yang memiliki kapal besar hanya beberapa orang saja. Salah satu responden (50 Tahun) juga mengatakan bahwa; Sedikitji yang punya alat disini karena rata-rata kita sebagai anggotaji, paling-paling yang kami punya seperti jala, pancing ada juga yang ada peruhu-peruhu kecilnya itupun sebagianji yang punya. (Hasil wawancara dengan Responden, Desember 2012 pukul 11.00 wita) Pernyataan tersebut mempertegas bahwa kepemilikan alat-alat tangkap terhadap nelayan sangat sedikit dan hampir semua nelayan buruh ini (ABK) semata-mata menggantungkan hidupnya terhadap hasil dari kerja kolektif mereka, seperti yang digambarkan pada tabel 19 berikut ini: Table 23: distribusi responden tentang jenis alat tangkap yang dimiliki no Uraian Frekuensi Persentase 1 2 3
Tidak ada Kapal Lain-lain(sampan, jala, pancing)
22 5 13
55,5%% 12,5% 32,0%
Sumber: hasil olahan data primer, 2013
Jumlah
40
100% Berdas
arkan tabel diatas, jelas terlihat bahwa yang tidak memiliki alat tangkap lebih banyak disbanding yang punya, dengan frekuensi 22 reponden atau sekitar 55,5%, kemudian yang memiliki alat-alat tangkap biasa sebanyak 13 responden dengan persentase 32,0%
dan yang memiliki alat tangkap yang mewah seperti kapal besar hanya 5 responden dengan persentase 12,5%. Dengan demikian, dapat kita simpulkan bahwa hampir semua masyarakat Desa Ujung Labuang hanyalah sebagi buruh biasa atau biasa juga disebut sawi, hal ini sangat mempengaruhi terhadap penghasilan mereka. Dalam masyarakat nelayan, alat tangkap sangatlah menentukan status sosial mereka, semakin mewah alat tangkap mereka status sosialnya semakin tinggi begitu juga sebaliknya. Pada tabel 19 diatas terlihat jelas kepemilikan mereka terhadap alat tangkap, ini artinya dari 40 responden hanya 5 responden atau 12,5% saja yang memiliki kapal besar yang menaungi beberapa buruh/sawi dalam setiap kelompok, juga dapat kita simpulkan bahwa dari sekian responden hanya 5 responden yang berhak menyandang status tinggi atau biasa disebut juragan. 3. Gambaran responden tentang system kerja nelayan Pada umumnya masyarakat nelan memiliki system kerja yang berfariasi, ada yang bekerja secara sendiri-sendiri dan ada juga yang bekerja secara berkelompok. Namum hal ini tergantung dari kondisi dan kemampuan seorang nelayan dalam memenuhi kebutuhanya. Untuk itu kita dapan melihat tabel 19 beriku:
Table 24: distribusi responden tentang system kerja nelayan (sendiri atau berkelompok) No 1 2
Uraian
Frekuensi
persentase
Sendiri Berkelompok
40
100%
Jumlah
40
100%
Sumber: hasil olahan data primer, 2013
Dari tabel diatas menunjukkan bahwa semua responden bekerja secara berkelompok, sesuai dengan frekuensi tabel diatas yaitu 40 responden dengan persentase 100%, sedangkan yang bekerja secara individu itu tidak atau 0%. Tidak adanya responden yang bekerja sendiri dalam mencari ikan, selain karena terbatasnya fasilitas yang dimiliki juga karena memang keadaan yang mengharuskan untuk bekarja secara berkelompok. Masyarakat nelayan diasaat turun kelaut untuk mencari ikan selalu membutuhkan waktu yang lama yaitu biasa satu sampai dua bulan disaat lokasi tangkap mereka sampai kelaut kendari, dan paling cepat hanya satu minggu. Jadi mau tak mau mereka harus bergabung dalam kelompok kerja dengan pertimbangan keamanan dan produktifitas. Dengan demikian, hampir semua masyarakat Desa Ujung Labuang system kerja mereka adalah berkelompok yang dinaungi oleh seorang juragan atau pungga. Dalam tabel 20 dapat kita lihat berapa responden yang masuk kategori juragan dan responden yang merupakan anggota biasa dalam kelompok kerja mereka: Table 25: distribusi responden tentang status dalam kelompok kerja No
Frekuensi
Persentase
5 35
12,5% 87,5%
Jumlah 40 Sumber: hasil olahan data primer, 2013
100%
1 2
Uraian Juragan Anggota biasa (ABK)
Berdasarkan tabel diatas menunjukkan bahwa responden yang merupakan anggota biasa sebanyak 35 dengan persentase 87,5%, sedangkan yang masuk kelas punggawa atau juragan hanya sebanyak 5 responden atau dengan persentase 12,5%.
Dengan demikian dapat kita petakan dari ke-35 responden yang merupakan anggota biasa atau Anak Buah Kapal (ABK) otomatis akan bergabung disalah satu kelompok responden juragan yang berjumlah 5 responden, tergantung dari mekanisme pembagian kelompok masing-maasing. 4. Gambaran responden berdasrkan pekerjaan tambahan Masyarakat nelayan dalam memenuhi kebutuhan keluargaanya sangat bergantung pada hasil kerjanya sebagai penagkap ikan (nelayan). Namun sebagian besar dari mereka masih merasa kurangan cukup dari hasil tersebut, untuk itu mereka harus bekerja ekstra dan berusaha mencari pekerjaan tambahan seperti bertani, berdagang, berternak, buruh bangunan dan lain-lain. Sebagaimana hasil wawancara dengan salah satu responden (38 Tahun): Kalau nelayan tidak setiap hari pergi melaut adaji memang waktunhya, makanya kalau waktu-waktu kosong seperti ini biasa ada yang pergi cari kerja tambah-tambah penghasilan seperti berkebun kalau ada, jadi buruh bangunan, biasa juga pergi maddaros kalau musim panen padi dikampungnya orang. (Hasil wawancara dengan Responden, Desember 2012 pukul 14.00 wita) Berdasrkan hasil penelitian pula, dapat kita lihat jenis pekerjaan tambahan keluarga nelayan pada tabel beriku ini: Table 26: distribusi responden tentang pekerjaan selain sebagai nelayan No 1 2 3 4
Uraian bertani Berdagang Berternak Tidak ada
Frekuensi
Persentase
5 4 31
12,5% 10,0% 77,5%
Jumlah 40 Sumber: hasil olahan data primer, 2013
100%
Dari gambaran tabel diatas dapat kita lihat bahwa kebanyakan dari responden tidak memiliki pekerjaan tambahan yaitu mencapai 31 responden dengan persentase 77,5%, bertani 5 responden dengan persentase 12,5%, kemudian yang berdagang hanya 4 responden dengan persentase 10,0%, dan tidak ada responden yang memiliki pekerjaan tambahan sebagai peternak atau persentase 0%. Dengan demikian, dapat kita simpulkan bahwa hampir keseluruhan masyarakat Desa Ujung Labuang hanya mengharapkan penghasilan dari kelompok kerja mereka sebagai nelayan, kalau pun ada yang memiliki pekerjaan tambahan seperti bertani dan berternak itu hanya beberapa orang saja yaitu hanya sekitar 30,5% secara keseluruhan (tabel 21). ini disebabkan karena kondisi geografis daerah ini memang sangat sempit utamanya untuk lahan pertanian dan peternakan. 5. Gambaran responden berdasarkan status tempat tinggal dan fasilitas kendaraan yang dimiliki. Tempat tinggal adalah bagian terpenting dalam kelangsungan hidup suatu masyarakat, untuk itu memiliki tempat tinggal adalah kebanggan tersendiri bagi semua orang, namun hal ini belum semuanya dirasakan oleh sebagian masyarakat yang sudah memiliki keluarga, masih ada yang numpang tinggal dirumah orang tuanya dan bahkan ada juga yang memilih untuk menyewah rumah-rumah kontrakan. Namun bagaimana dengan masyarakat nelayan yang ada di Desa Ujung Labuang Kecamatan Suppa Kabupaten pinrang. Sebagaimana yang dituturkan oleh salah seorang ABK (40 Tahun) bahwa: Kalau adami nanti uang baru bangun rumuh tapi ini sj sekarang uang makanpun susah, makanya masih tinggal sama orang tua, tapi mudahmudahan kasian allah memberikan kami rejekinya. (Hasil wawancara dengan Responden, Desember 2012 pukul 15.00 wita)
Untuk lebih jelasnya dapat kita lihat pada tabel 22 dibawah: Table 27: distribusi responden berdasarkan status tempat tinggal para keluarga nelayan No 1 2 3
Uraian
Frekuensi
persentase
Milik sendiri Numpang Sewah
34 6 -
85,0% 15,0% -
Jumlah
40
100%
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa mayoritas responden yang memiliki rumah sendiri yaitu dengan frekuensi 34 responden atau 85,0%, kemudian yang masih numpang sebanyak 6 responden dengan persentase 15,0%, dan tidak ada responden yang memilih untuk menyewah (0%). Dengan demikian dapat dilihat bahwa hampir semua keluarga nelayan sudah memiliki tempat tinggal sendiri (rumah pribadi), kalau pun masih ada yang numpang dirumah orang tua atau dirumah keluarganya bisa jadi karena belum mampu untuk membangun rumah sendiri ataukah karena pertimbangan lain. Sementara mereka yang sudah punya sendiri memiliki beragam struktu tempat tinggal, ada yang mewah, sedang dan bahkan ada yang sangat memprihatinkan meski demikian mereka tetap merasa nyaman dan selalu bersyukur atas apa yang mereka miliki. Selanjutnya masalah fasilitas kendaraan yang dimiliki dapat kita lihat pada tabel berikut: Table 28: distribusi responden berdasarkan fasilitas kendaraan yg dimiliki No 1 2 3
Uraian Motor Mobil Perahu/sampan
Frekuensi
persentase
16 9
40,0% 22,5%
4
Tidak ada
15
Jumlah 40 Sumber: hasil olahan data primer, 2013
37,5% 100%
Desa Ujung labuang adalah Desa yang sangat jauh dari ibu kota Kabupaten pinrang yaitu sekitar 39 km. atau dengan jarak tempuh kurang lebih satu jam. Oleh karena ini fasilitas kendaraan sangat dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan tertentu. Sesuai dengan gambaran tabel diatas dapat kita lihat bahwa responden yang memiliki kendaraan motor sebanyak 16 responden atau sekitar 40,0%, kemudian yang mempunyai alat transportasi laut seperti perahu (keting-ting) sebanyak 9 responden atau sekitar 22,5%, selanjutnya kendaraan mobil tidak ada (0%), dan responden yang tidak memiliki sama sekali fasilitas transportasi yaitu 15 responden atau sekitar 37,5%. melihat hasil persentase diatas dapat disimpulkan bahwa kebanyakan dari responden hanya memiliki kendaraan bermotor, kemudian sekitar 37,5% yang tidak memiliki kendaraan, di Desa ini memang tidak ada kendaraan mobil pribadi namun yang ada hanyalah mobil angkutan umum yang masuk diwaktu-waktu tertentu. Untuk transportasi laut diperlukan untuk akses menuju kota pare-pere yang hanya membutuhkan waktu ±10 menit. Untuk itu ada sekitar 22,5% responden yang memiliki alat transportasi laut tersebut, namun semua ini berdasrkan kebutuhan dan kemampuan mereka. Kita ketaui bahwa mayoritas masyarakat nelayan berada pada kelas menengah kebawah. 6. Gambaran responden berdasarkan pendapatan Pendapatan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah total dari seluruh pendapatan rumah tangga termasuk istri bila memiliki pekerjaan. Data yang berhasil diperoleh ditemukan bahwa rata-rata pendapatan responden berkisar antara limah ratus
ribu rupiah sampai satu juta rupiah. Berikut diuraikan jumlah responden berdasarkan pendapatan: Table 29: distribusi responden berdasarkan pendapatan No
Uraian
Frekuensi
Persentase
Rp 500.000 – 1.000.000 Rp 1.000.000 – 3.000.000 Rp 3.000.000 – 5.000.000 > Rp 5.000.000
21 14 4 1
52,5% 35,0% 10,0% 2,5%
Jumlah 40 Sumber: hasil olahan data primer, 2013
100%
1 2 3 4
Dari tabel diatas menunjukkan bahwa responden dengan tingkat pendapatan perbulan yaitu Rp 500.000 sampai dengan Rp1.000.000 mencapai frekuensi 21 responden dengan persentase 52,5% , kemudian pendapatn antara Rp 1.000.000 sampai Rp 3.000.000 sebanyak 14 responden dengan persentase 35,0%, pendapatan antara Rp 3.000.000 sampai Rp 5.000.000 frekuensi 4 (10,0%), dan pendapatan Rp 5.000.000 keatas hanya 1 responden dengan persentase 2,5%. Hal ini menunjukkan bahwa pada umumnya masyrakat Desa Ujung Labuang adalah buruh nelayan atau biasa disebut sawi, adapun yang berpendapantan lebih tinggi antara Rp 3.000.000 sapai Rp 5.000.000 ataukah Rp 5.000.000 keatas adalah pemilik kapal yang digunakan oleh nelayan untuk melaut atau mencari ikan yang biasa disebut punggawa. Seperti penjelasan dari Responden yang pada saat itu sementara gumpulgumpul dengan keluarganya (istri dan anak-anaknya) mengatakan bahwa: Masyarakat disini kan rata-rata nelayan buruh (ABK) jadi pendapatannya tidak begitu banyak, palingan Rp. 500.000 - 1.000.000 itu pun banyak sekalimi kalau bisaki dapat bengini dalam sebulan, tapi biasa juga kurang biasa to lebih, tergantung hasil tangkapan. (Hasil wawancara dengan Responden, Desember 2012 pukul 16.30 wita)
Dari penghasilan masyarakat Desa Ujung Labuang Kecamatan Suppa Kabupaten Pinrang dapat kita lihat bahwa apakah dengan penghasilan tersebut sudah mencukupi kebutuhan keluarga mereka. Dengan demikian sesuai hasil penelitian dapat kita gambarkan dalam bentuk tabel dibawah ini: Table 30: distribusi responden tentang kecukupan keperluan keluarga tentang Kecukupan keperluan keluarga
Pilihan jawaban Ya Tidak 1 / 2,5%
39 / 97,5%
Total
100%
Sumber: hasil olahan data primer, 2013 Dari tabel diatas terlihat bahwa, responden yang belum merasa cukup terhadap keperluan keluarga mereka yaitu sebanyak 39 responden dengan persentase 97,5%, sedangkan yang sudah merasa cukup hanya 1 responden atau 2,5%. Berdasarkan hasil persentase diatas dapat kita lihat bahawa mayoritas masyarakat Desa Ujung Labuang masih perlu penghasilan tambahan untuk menutupi kekurangan kebutuhan keluarganya, peningkatan sumber daya manusia (SDM) adalah hal yang sangat penting untuk merubah keadaan ini, dengan demikian Pemerinta Daerah harus turun tangan dan pro-aktif menyelesaikan persoalan. D. Pandangan Orang Tua Nelayan Terhap Pendidikan Anak 1. Pendangan keluarga nelayan terhadap pendidikan Menurut H. M. Arifin: “Pendidikan adalah usaha melestarikan, mengalihkan serta mentransformasikan nilai-nilai kebudayaan dalam segala aspeknya dan jenisnya kepada generasi penerus”. Pendidikan merupakan salah satu bentuk investasi dalam sumber daya manusia. Pendidikan memberikan sumbangan langsung terhadap pertumbuhan pendapatan nasional melalui peningkatan keterampilan dan produktivitas kerja.
Pendidikan diharapkan dapat mengatasi keterbelakangan ekonomi lewat efeknya pada peningkatan kemampuan manusia dan motivasi manusia untuk berprestasi. Pendidikan berfungsi menyiapkan salah satu input dalam proses produksi, yaitu tenaga kerja. Hal ini selanjutnya akan mendorong peningkatan output yang diharapkan bermuara pada kesejahteraan penduduk. Semakin tinggi mutu pendidikan, semakin tinggi pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi suatu masyarakat.
Olehnya itu pendidikan adalah hal yang sangat penting terhadap kehidupan. Apabila mereka berpendapat bahwa pendidikan itu penting maka mereka akan berusaha meningkatkan pendidikannya. Berikut akan disajikan tentang pendapat orang tua anak terhadap penting tidaknya pendidikan: Table 31: distribusi responden berdasarkan pandangan keluarga nelayaan terhadap pendididkan. No Uraian 1 Tidak penting 2 Penting 3 Sangat penting
Frekuensi 18 22
Jumlah 40 Sumber: hasil olahan data primer, 2013
persentase 45,0% 55,0% 100%
Dari tabel diatas dapat kita lihat, responden yang berpendapat bahwa pendidikan sangat penting yaitu dengan frekuensi 22 atau dengan persentase 55,5%, sedangkan yang menganggap pendidikan penting sebanyak 18 rsponden dengan persentase 45,5%. Dengan demikian dapat kita lihat bahwa masyarakat Desa Ujung Labuang Kecamatan Suppa Kabupaten Pinrang menyadari bahwa pendidikan itu memang sangat penting untuk kehidupan. Dari hasil wawancara singkat dengan seorang responden (39 Tahun) berpendapat bahwa: Memang tidak salah kalau kita bilang pendidikan itu sangat penting bagi kehidupan kita dan anak-anak karena pendidikan sangat dibutuhkan
untuk kehidupan masa depan kita, tanpa adanya pendidikan kita akan bodoh dan mudah dibodohi oleh orang lain. (Hasil wawancara dengan seorang responden, Desember 2012 pukul 15.00 wita) 2. Persepsi responden terhadap pentingnya pendidikan untuk memperoleh pekerjaan yang layak. Paulo freire mengemukakan bahwa pendidikan hendaklah membuat manusia menjadi transitif, yaitu suatu kemampuan menangkap dan menanggapi masalah-masalah lingkungan serta serta kemampuan berdialog tidak hanya dengan sesama, tetapi juga dengan dunia beserta isinya. Dengan demikian pendidikan sangat menentukan kehidupan manusia, baik dari segi pekerjaan maupun yang lainnya. Dibawah ini digambarkan tentang persepsi masyarakat tentang pentingnya pendidikan untuk memperoleh pekerjaan yang layak: Table 32: distribusi responden terhadap pentingnya pendidikan untuk memperoleh pekerjaan yang layak Tentang Pentingnya pendidikan untuk memperoleh pekerjaan yang layak
Pilihan jawaban Ya Tidak 37 / 92,5%
3 / 7,5%
Total
40 / 100%
Sumber: hasil olahan data primer, 2013 Dari tabel diatas terlihat bahwa, responden yang setuju dengan persepsi tentang pentingnya pendidikan untuk memperoleh pekerjaan yang layak yaitu sebanyak 37 responden dengan persentase 92,5%, sedangkan yang tidak setuju dengan pentingnya pendidikan untuk memperoleh pekerjaan yang layak yaitu hanya 3 responden atau sekitar 7,5%.
Melihat hasil tabel diatas dapat kita samakan dengan hasil wawancara dengan seorang responden (43 Tahun) mengatakan bahwa: Kalau mauki cari pekerjaan jelas dilihat dulu pendidikanta, apa lagi kalau dikotaki cari kerja. Makanya itu pendidikan penting sekali dipake cari kerja, kecuali iya kalau mauji seperti kami jadi nelayan tidak dibutuhkanji itu ijasa cukup kuatki bekerja. (Hasil wawancara dengan salah satu responden, Desember 2012 pukul 20.00 wita) Berdasarkan hasil persentase dan wawancara diatas, dapat kita simpulkan bahwa sebagian besar masyarakat Desa Ujung Labuang Kecamatan Suppa Kabupaten Pinrang menganggap pendidikan sangat menentukan masa depan mereka dalam pencari pekerjaan yang layak. 3. Persepsi responden tentang kemampuan bias baca-tulis sudah cukup untuk memperoleh pekerjaan yang layak Pekerjaan adalah bagian dari kehidupan yang sangat penting karena memiliki nilai sosial, yaitu status sosial semakin tinggi pekerjaan seseorang semaki tinggi pula kelas sosialnya, namun untuk mendapatkan hal seperti ini maka diperlukan pengetahuan yang besar/ pendidikan yang tinggi. Namun dalam masyarakat awam pendidikin itu bukanlah hal yang begitu penting karena bagi mereka pendidikan tidak akan mempengaruhi kehidupan mereka dan anak mereka. Mereka berpikir yang penting bisa baca tulis itu sudah cukup, hal itu di sebabkan karena mereka kurang mengerti arti sesungguhnya pendidikan dan betapa pentingnya pendidikan itu untuk masa depan anaknya. Selain untuk masa depan anak pendidikan juga penting bagi kehidupan sehari-hari yaitu agar tidak dibohongi orang dan tidak ketinggalan jaman. Selain itu pendidikan juga sangat menentukan masa depan.
Dibawa ini dijelaskan persepsi responden tentang bisa baca-tulis sudah dukup untuk mencari pekerjaan: Table 33: distribusi responden tentang bias baca-tulis sudah cukup untuk memperoleh pekerjaan yang layak Tentang Bias baca-tulis, sudah cukup untuk memperoleh pekerjaan yang layak
Pilihan jawaban Ya Tidak 11 / 27,5%
29 / 72,5%
Total
40 / 100%
Sumber: hasil olahan data primer, 2013 Berdasrkan tabel diatas menunjukkan bahwa responden yang tidak setuju dengan persepsi tentang kemampuan baca- tulis sudah cukup untuk bekal memperoleh pekerjaan yang layak yaitu sebanyak 29 responden dengan persentase 72,5%, sedangkan yang setuju dengan persepsi tentang kemampuan baca- tulis sudah cukup untuk bekal memperoleh pekerjaan yang layak yaitu sebanyak 11 responden dengan persentase 27,5%. Meskipun terlihat cukup besar masyarakat yang menganggap bahwa bisa bacatulis sudah cukup untuk bekal memperoleh pekerjaan yang layak, namun masih lebih banyak masyarakat yang menyadari bahwa bisa baca-tulis belum cukup untuk bekal memperoleh pekerjaan. Sehingga untuk memperoleh pekerjaan mereka harus lebih berusaha lagi untuk menguasai beberapa keterampilan sesuai kebutuhan kerja mereka. Hal tersebut diatas hampir sama dengan hasil wawancara kami dengan salah seorang responden (50 Tahun) menjelaskan bahwa: Kalau ituji modalta (yang penting bisa baca-tuli) dipake cari kerja, saya rasa belumpi cukup karena sekarang saya lihat kalau orang cari kerja itu selalu ditanya adajika ijasamu, bukan ditanya pintarji menulis atau membaca, jadi haruspi memang ada sekolah minimal tamat SMA. (Hasil
wawancara dengan salah seorang responden, desember 2012 pukul 09.00 wita) 4. Peresepsi responden tentang pentingnya member motivasi kepada anak-anak untuk selalu meningkatkap pendidikan mereka Semangat dan motivasi adalah modal utama dalam mencapai cita-cita, namun banyak anak yang merasa jenuh dan bosan untuk menuntut ilmu atau bersekolah, maka disinilah peran orang tua untuk selalu memberikan dorongan kepada anak-anaknya agar tetap mau melanjukkan pendidikannya. Berdasarkan hal itu, berikut hasil penelitian tentang sering orang tua memberikan motivasi kepada anak untuk bersekolah: Table 34: distribusi responden tentang sering memberikan motivasi kepada anak untuk bersekolah Tentang
Pilihan jawaban Ya Tidak
sering memberikan 40 / 100,0% motivasi kepada anak untuk bersekolah
-
Total
40 / 100%
Sumber: hasil olahan data primer, 2013 Berdasarkan tabel diatas bahwa persepsi tentang pentingnya memberikan dorongan/motivasi kepada anak untuk bersekolah yaitu frekuensi 40 respoden atau dengan persentase 100%, sedangkan yang menganggap tidak penting memberikan dorongan/motivasi kepada anak untuk bersekolah yaitu frekuensi 0 responden (0%). Juga berdasarkan hasil wawancara dengan seorang responden (41 Tahun) mengatakan bahwa: Tidak pernah kami tidak suruh anak untuk sekolah, selalu kami suruh untuk sekolah cuman ituju anak yang biasa malas apa lagi kalau nalihatmi
teman-temannya tidak sekolah. Bahkan biasa hapir saya pukul kalau tidak mau pergi sekolah apa lagi kalu capekma tanyaii tapi tidak enakki juga. (Hasil wawancara dengan seoarang responden, Desember 2012 pukul 13.00 wita). Dari persentase dan haasil wawancara diatas dapat dilahat bahwa kesadaran masyarakat Desa Ujung Labuang Kecamatan Suppa Kabupaten Pinrang cukup tinggi, ini dilihat dari kesadaran untuk memberikan dorongan/motivasi kepada anak untuk selalu meningkat pendidikan. 5. Jumlah anak yang sekolah Berdasarkan jumlah anak responden yang sekolah, dapat kita lihat pada tabel 28 debawah ini: Table 32: distribusi responden berdasarkan jumlah anak yang sekolah No Uraian Frekuensi Persentase 1 2 3
1 orang 2 orang >3 orang Jumlah
17 16 7
42,5% 40,0% 17,5%
40
100%
Sumber: hasil olahan data primer, 2013 Dari tabel diatas dapat kita lihat bahwa responden yang memiliki 1 orang anak sekolah yaitu frekuensi 17 responden dengan persentase 42,5%, yang memiliki 2 orang anak sekolah sebanyak 16 responden dengan persentase 40,0%, sedangkan yang memiliki 3 atau lebih orang anak sekolah hanya 7 responden atau hanya 17,5% saja. Dari 40 responden semuanya memiliki anak yang sekolah, namun jumlahnya berfariasi, ada yang hanya memiliki 1 orang anak, 2 orang dan ada yang memiliki 3 orang anak atau lebih (lihat tabel 28), ini menunjukkan bahwa sebenarnya masyarakat Desa
Ujung Labuang Kecamatan Suppa Kabupaten Pinrang sangat menghargai pendidikan. Semangat dan niat mereka untuk menuntut ilmu cukup tinggi. Setelah melihat hasil persentase mengenai jumlah anak yang sekolah, selanjutnya dapat kita lihat berapa jumlah anak responden yang sekolah berdasrkan jenis kelamin dibawah ini:
Table 35: distribusi responden berdasarkan anak yang sekolah No Uraian Frekuensi Persentase 16 8 16
40,0% 20,0% 40,0%
Jumlah 40 Sumber: hasil olahan data primer, 2013
100%
1 2 3
Laki-laki dan perempuan Laki-laki Perempuan
Tabel tersebut menunjukkan bahwa responden yang memiliki anak sekolah dengan jenis kelamin laki-laki dan perempuan yaitu frekuensi 16 responden dengan persentase 40,0%, kemudian yang memiliki anak sekolah dengan jenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 16 responden dengan persentase 40,0%, sedangkan yang memiliki anak sekolah dengan jenis kelamin laki-laki hanya 8responden atau dengan persentase 20,0%. Melihat hasil persentase diatas yang menunjukkan bahwa anak sekolah yang berjenis kelamin perempuan lebih banyak dibandingkan anak sekolah yang berjenis kelamin laki-liki. Hal ini disebabkan sebagian anak laki-laki lebih memilih untuk membantu orang tua bekerja sebagai nelayan dibandikan bersekolah. Lain halnya dengan anak permpuan yang hanya tinggal dirumah membantu ibu mereka.
Adanya anggapan yang berkembang di kalangan nelayan bahwa anak lakilaki setelah tamat sekolah dasar harus melaut dan anak perempuan tidak perlu sekolah karena anak perempuan hanya perlu mengurus pekerjaan rumah tangga saja, seperti yang dinyatakan oleh Kusnadi (2001) bahwa ada tiga peranan utama sekaligus yang dilakukan oleh perempuan, yaitu sebagai pengasuh anak, seseorang yang menyediakan makanan, dan jika wanita ikut bekerja maka peranannya bertambah sebagai sumber ekonomi. 6. Distribusi responden berdasarkan rata-rata tingkat pendidikan anak nelayan Dalam era reformasi sekarang ini, tingkat pendidikan seseorang sangat menentukan status sosialnya. Semakin tinggi pendidikan seseorang status sosialnya juga semakin tinggi, olehnya itu pendidikan haruslah dimaknai sebagai kebutuhan pokok dalam kehidupan. Berikut ini akan disajikan hasil penelitian tentang rata-rata tingkat pendidikan anak nelayan di Desa Ujung Labuang Kecamatan Suppa Kabupaten Pinrang: Table 36: distribusi responden berdasarkan rata-rata tingkat pendidikan anak No Uraian Frekuensi Persentase 1 SD 17 42,5% 2 SMP/sederajat 15 37,5% 3 SMA/sederajat 7 17,5% 4 D3/S1 1 2,5% Jumlah 40 Sumber: hasil olahan data primer, 2013
100%
Dari tabel diatas dapat kita lihat bahwa rata-rata tingkat pendidikan anak nelayan mayoritas hanya sampai tingkat Sekolah Dasar (SD) yaitu sebanyak 17 responden dengan persentase 42,5%, kemudian Sekolah Menengah Pertama (SMP) sebanyak 15 responden atau dengan persentase 37,5%, Sekolah Menengah Atas sebanyak 7 responden (17,5%), dan yang sampai kuliah hanya 1 responden atau sekitar 2,5%.
Berdasrkan hasil persentase diatas, menunjukkan bahwa tinggkat pendidikan dikalangan anak nelayan di Desa Ujung Labuang ini masih sangat rendah karena kebanyakan dari mereka hanya sampai pada tingkat SD dan SMP saja, kalaupun ada yang sampai SMA/sederajat dan perguruan tinggi itu tidak seberapa (lihat tabel 36). Tidak bisa dipungkiri bahwa angka putus sekolah di Daerah ini masih sangat tinggi. Menurur salah seorang responden (48 Tahun) bahwa: Anak-anak disini jaranng yang tinggi sekolahnya karena rata-rata tamatji SD atau SMP, kalau pun ada yang SMA apa lai kuliah itu pasti orangorang kayaji maksudnya adaji uangnya orang tuanya, tidak kaya’ kita kasian. (Hasil wawancara dengan salah satu Responden, Desember 2012 pukul 16.00 wita) Mereka harus menyadari kalau pendidikan adalah salah satu aspek penting dalam menunjang kualitas manusia. Tingginya tingkat pendidikan seseorang sangat berpengaruh pada jenis pekerjaannya yang kemudian turut mempengaruhi tingkat pendapatan keluarga. Pada akhirnya hal ini juga akan berpengaruh pada pemenuhan kebutuhan pangan dalam keluarga. E. Faktor-faktor yang mempengaruhi keberlanjutan pendidikan anak nelayan. 1. Ekonomi,
lingkungan
dan
kebiasaan
merupakan
faktor
yang
mempengaruhi
keberlanjutan pendidikan anak nelayan. Banyak hal yang menyebabkan lanjut tidaknuya pendidikan seseorang, bisa jadi karena keadaan ekonomi, lingkungan maupun karena kultur. Untuk lebih jelasnya dapat kita lihat tabel dibawah: Table 37: distribusi responden tentang faktor yang mempengaruhi ketidak berlanjutan pendidikan anak No
Uraian
Frekuensi
Persentase
1 2 3
Ekonomi Lingkungan Kebiasaan
28 9 3
Jumlah 40 Sumber: hasil olahan data primer, 2013
70,0% 22,5% 7,5% 100%
Tabel diatas menunjukkan bahwa kebanyakan responden memilih persoalan ekonomi sebagai penyebab utama tidak berlanjutnya pendidikan anak mereka, yaitu sebanyak 28 responden atau 70,0%, kemudian yang menganggap bahwa persoalan lingkungan sebagai penyebab utama tingginya putus sekolah yaitu 9 responden dengan persentase 22,5%, dan yang memilih kebiasan atau kultur sebagai fakor yang mempengaruhi tidak berlanjutnya pendidikan hanya 3 responden atau 7,5% saja. Dengan demikian terlihat jelas bahwa mayoritas masyarakat Desa Ujung Labuang menganggap pesoalan ekonomilah yang paling mempengaruhi tingginya angka putus sekolah. Seperti halnya yang disampaikan oleh salah satu responden (39 Tahun) berpendapat bahwa: Gara-gara tidak adaji kasian uang nabanyak anak-anak disini tidak sekolah. Seandainya banyak uangku pasti saya kasi sekolah tinggi-tinggi anakku, tapi begitumi tuhana belum kasi kita rezki. (Hasil wawancara, Desember 2012 pukul 10.00 wita) Terputusnya pendidikan anak di tengah jalan merupakan hal yang tidak diinginkan oleh orang tua manapun, namun terkadang hal ini tidak dapat dihindari jika keadaan ekonomi orang tua kurang mampu mengimbangi kebutuhan akan biaya hidup keluarga sehingga anak-anak mereka pun harus meninggalkan bangku sekolah pada waktu mereka belum menyelesaikan pendidikan mereka. Masalah ekonomi bukan satu-satunya penyebab anak putus sekolah, sikap permisif orang tua yang dalam mendidik anak juga dapat menjadi penyebab putusnya
pendidikan anak di tengah jalan. Sikap permisif ini dapat terlihat ketika orang tua mengizinkan sang anak untuk keluar dari sekolah walaupun belum menyelesaikan pendidikannya. Sikap seperti ini biasanya dibarengi dengan alasan bahwa anak-anak tersebut lebih memilih untuk ikut bekerja dan membantu orang tua mencari nafkah dan bahkan pada beberapa anak perempuan sikap permisif ini terlihat ketika orang tua mengizinkan anaknya untuk menikah sebelum lulus sekolah. Kehidupan masyarakat disekitar anak juga berpengaruh terhadappendidikannya. Masyarakat yang terdiri dari orang-orang yang tidak terpelajar, penjudi, suka mencuri dan mempunyai kebiasaan yang tidak baik, akan berpengaruh jelek terhadap anak yang berada dilingkungan tersebut. Anak tertarik untuk ikut berbuat seperti yang dilakukan orang-orang disekitarnya. Akibatnya pendidikannya terganggu dan bahkan anak kehilangan semangat belajar karena perhatiannya semula terpusat kepada pelajaran berpindah ke perbuatan-perbuatan yang selalu dilakukan orang-orang disekitarnya yang tidak baik tadi.
2. Sering mengajak anak melaut Salah satu faktor tidak berlanjutnya pendidikan anak adalah karena sikap orang tua itu sendiri yang selalu mengajak anaknya untuk membantu bekerja dilaut, sebenarnya hal seperti ini adalah sesuatu yang lumrah dalam kehidupan masyarakat pekerja, namun orang tua terkadang tidak menyadari bahwa situasi ini akan merubah polah pikir anak yang pada akhirnya membuat sianak merasa nyaman untuk kerja dan lupa pada tugas sesungguhnya yaitu sekolah.
Anak adalah aset yang paling berharga dalam kehidupan rumah tangga, maka dari itu tugas dan tanggung jawab orang tua adalah mendidiknya dengan baik. Namun kebanyakan anak mengalami eksploitasi dari orang tuanya sendiri dengan alasan membantu orang tua untuk bekerja. Bahkan ada ornag tua mengizinkan sang anak untuk keluar dari sekolah walaupun belum menyelesaikan pendidikannya. Sikap seperti ini biasanya dibarengi dengan alasan bahwa anak-anak tersebut lebih memilih untuk ikut bekerja dan membantu orang tua mencari nafkah dan bahkan pada beberapa anak perempuan sikap permisif ini terlihat ketika orang tua mengizinkan anaknya untuk menikah sebelum lulus sekolah. Sikap seperti ini sangat mengganggu spikologi pendidikan anak, masa depan kehidupan mereka sangat memprihatinkan. Dibawah ini dijelaskan tentang sejauh mana orang tau mempengaruhi atau mengajak anak mereka turun kelaut untuk membantu dalam mencari nafkah: Table 38: distribusi responden tentang sering mengajak anak untuk melaut Tentang
sering mengajak anak untuk melaut
Pilihan jawaban Ya Tidak 33 / 82,5%
7 / 17,5%
Total
40 / 100%
Sumber: hasil olahan data primer, 2013 Dari tabel diatas dapat kita lihat bahwa responden yang sering mengajak anaknya turun kelaut untuk membantu mereka mencari nafkah sebanyak 33 responden dengan persentase 82,5%, sedangkan yang tidak pernah mengajak anaknya turun kelaut untuk membantu mereka mencari nafkah hanya sebanyak 7 responden dengan persentase 17,%.
Juga berdasarkan wawancara kami dengan salah stu responden (38 Tahun) berpendapat bahwa: Iya kami sering mengajak anak kami kelaut untuk membantu bekarja supaya pendapatan kami bisa banyak. Tapi itupi kalau tidak sekolah misalnya hari libur, atau biasa juga kalau pulangmi dari sekolah, dan tidak dusuruh juga kalau masih kecil, tamatpi SD atau SMP yang penting bisami kerja. (hasil wawancara, Desember 2012 pukul 13.00 wita) Dengan demikian menunjukkan bahwa mayoritas orang tua sering mengajak anak mereka untuk melaut dengan alasan ekonomi. Hal seperti ini adalah hal yang lumrah dalam kehidupan masyarakat petani maupun nelayan namun kebanyakan orang tua tidak menyadari soal pendidikan anaknya yang kebetulan masih usia sekolah. Berikut ini tabel tentang sejak usia berapa anak mereka diajak melaut:
No 1 2 3
Table 39: distribusi responden tentang usia berapa anak diajak kelaut Uraian Frekuensi Persentase <10 tahun 1 2,5% 10-15 tahun 17 42,5% 15-20 tahun 22 55,0%
Jumlah 40 Sumber: hasil olahan data primer, 2013
100%
Tabel 33 diatas menunjukkan bahwa kebanyakan orang tua nelayan mengajak anaknya untuk melaut yaitu diusia 15-20 tahun dengan frekuensi 22 responden atau sekitar 55,0%, kemudian usia 10-15 tahun dengan frekuensi 17 responden atau persentase 42,5%, dan usia dibawah 10 tahun hanya 1 responden dengan persentase 2,5%. Dengan demikian dapat kita lihat bahwa hampir semua orng tua nelayan mengajak anaknya turun melaut sejak usia anak mereka berada disekitaran 10-20 tahun yang mana usia seperti ini adalah masih dalam katekori usia sekolah. Gambaran seperti ini adalah salah satu penyebab tingginya angka putus sekolah di Desa ini.
3. Membantu orang tua bekerja lebih berhasil dibandingkan dengan anak yang sekolah. Memang selayaknya anak memberikan sumbangsi yang cukup untuk orang tuanya, minimal membantu untuk bekerja, tapi seharusnya orng tua harus paham bahwa bentuk bantuan itu bukan hanya dengan bekerja secara fisik seperti membantu untuk menangkap ikan namun menuntut ilmu adalah bagian dari usaha untuk merubah kehidupan keluarga. Berikut adalah tabel yang menjelaskan tentang persepsi responden tentang anak yang lebih sering membantu orang tua untuk bekerja lebih dianggap berhasil dibandingkan dengan yang sekolah: Table 40: distribusi responden tentang anak yang lebih sering membantu orang tua untuk bekerja lebih berhasil dibandikan bersekolah Tentang
Pilihan jawaban Ya Tidak
anak yang lebih sering membantu 18 / 45,0% 22 / 55,0% orang tua untuk bekerja lebih berhasil dibandikan bersekolah Sumber: hasil olahan data primer, 2013
Total
40 / 100%
Berdasarkan tabel diatas dapat kita lihat bahwa responden yang tidak setuju anak yang lebih sering membantu orang tua untuk bekerja lebih berhasil dari yang rsekolah yaitu frekuensi 22 responden (55,0%), sedangkan yang setuju anak yang lebih sering membantu orang tua untuk bekerja lebih berhasil daripada bersekolah sebanyak 18 responden dengan persentase 45,0%. Juga berdasarkan hasil wawancara dengan seoarang responden (52 Tahun) yang pada saat itu sementara membersihkan perahunya bersama anaknya menjelaskan bahwa:
Sebenarnya kalau dipikir mungkin lebih berhasil kalau anak yang sering bantuki kerja daripada yang sekolah, kan jelasmi ada dilihat kalau dia bantuki tapi pendidikan kan lebih besar lagi manfaatnya daripada pendapatan sesaat. (Hasil wawancara, Desember 2012 pukul 17.00) Melihat tabel dan penjelasan dari salah seorang responden diatas mengisyaratkan bahwa pada hakekatnya masyarakat Desa Ujung Labuang Kecamatan Suppa Kabupaten pinrang menyadari tentang arti dan pentingnya pendidikan untuk kehidupan. hanya saja keadaan dan situasi yang merubah semua keinginan mereka dalam mewujudkan impian tersebut. Meski masih lebih banyak responden yang tidak setuju dengan anak yang sering membantu orang tua untuk bekerja lebih berhasil dari pada yang sekolah, namun masih ada juga yang sepakat dengan hal tersebut, itu artinya etos kerja masyarakat nelayan masih sangat dikedepankan. Berikit ini adalah tabel tentang distribusi responden terhadap mana yang lebih penting sekolah atau bekerja: Tabel 41: Distribusi responden tentang mana yang lebih penting sekolah atau kerja No Uraian Frekuensi Persentase 1 2
Sekolah Bekerja
32 8
Jumlah 40 Sumber: hasil olahan data primer, 2013
80,0% 20,0% 100%
Dari tabel tersebut terlihat bahwa responden yang menganggap pendidikan masih lebih penting dibandingkan bekerja adalah sebanyak 32 responden dengan persentase 80,0% dan yang berpendapat bahwa bekerja lebih utama dibandingkan pendidikan hanya
8 responden atau 20,0%. Dengan demikian keinginan masyarakat atau orang tua anak nelayan terhadap kemajuan pendidikan anaknya sangat besar.
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian tentang kelanjutan pendidikan dikalangan anak nelayan di Desa Ujung Labuang Kecamatan Suppa Kabupaten Pinrang, dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Tingkat pendidikan anak nelayan masih rendah, hal ini dilihat dari masih banyaknya keluarga nelayan yang memiliki anak dengan pendidikan tertinggi hanya menyelesaikan pendidikan di tingkat pendidikan dasar. Sebanyak 42,5% keluarga nelayan memiliki anak dengan tingkat pendidikan hanya sampai tingkat pendidikan dasar (SD), 37,5% keluarga memiliki anak dengan tingkat pendidikan di tingkat pendidikan menengah pertama (SMP), kemudian 17,5 % keluarga yang memiliki anak dengan tingkat pendidikan sampai tingkat pendidikan atas (SMA/sederajat), dan hanya 2,5% saja yang sampai pada tingkat perguruan tinggi. 2. Responden nelayan di Desa Ujung Labuang kebanyakan berstatus sebagai nelayan Buruh atau ABK yaitu 87,5%, dan hanya 12,5% yang berprofesi sebagai nelayan pemilik juragan. Dan mayoriras nelayan responden tidak memiliki pekerjaan tambahan serta memiliki penghasilan hanya berkisar antara Rp 500.000 – 1.000.000 hingga Rp 3.000.000 dan dari keseluruhan, sebanyak 52,5% responden berpenghasilan di bawah upah minimum regional (UMR). 3. Berdasarkan penjelasan diatas, hampir semua masyarakat di Desa Ujung Labuang Kecamatan Suppa Kabupaten Pinrang menganggap dan menyadari bahwa pendidikan sangat penting untuk masa depan.
4. Hampir semua masyarakat setempat menganggap bahwa tingginya angka putus sekolah di Desa Ujung Labuang Kecamatan Suppa Kabupaten Pinrang penyebab utamanya adalah persoalan ekonomi dan lingkungan.
B. Saran 1. Dalam kaitannya dengan pendidikan anak, perlu adanya perhatian masyarakat luas, praktisi pendidikan dan praktisi perikanan untuk memberikan jenis pendidikan yang dapat dijangkau oleh masyarakat nelayan dan terletak di sekitar pemukiman nelayan sehingga dapat dihindari adanya biaya transportasi serta sesuai dengan kebutuhan masyarakat nelayan. 2. Pemerintah harus lebih meningkatkan dan lebih proaktif untuk memberikan sosialisasi mengenai pendidikan sehingga masyarakat dapat mengetahui informasi-informasi terkini mengenai pendidikan. Sosialisasi tersebut dapat berupa gencarnya iklan layanan masyarakat, penyuluhan, maupun pertemuan antara guru dan pihak sekolah. 3. Seharusnya ada Pola pendidikan alternatif yang relevan untuk diterapkan dalam lingkungan masyarakat nelayan? 4. Perlunya dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai jenis pendidikan alternatif yang relevan untuk nelayan.
DAFTAR PUSTAKA
Satria, Arif. 2002. Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir. Penerbit Pustaka Cidesindo. Jakarta Dahuri, R. 2002. Regenerasi dan Peningkatan Kesejahteraan Nelayan. www.kompas.com 27 Desember 2012 Abu Ahmad, H. & Nur Uhbiyah. 2001. Ilmu pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta Hasbullah. 2005. Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta: PT. Raja Grafindo persada Karnila, Rezki. 2010. Kesempatan Penddidikan Anak Perkotaan kasus di Kecamatan Manggala Kota Makassar. [Skripsi]. Makassar: Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin. Ditjen Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. 2007. Program Pemberdayaan dan SkimPembiayaan Bagi Masyarakat Pesisir. Jakarta: Ditjen Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil. Departemen Kelautan dan Perikanan. Tahir, Astuti. 2008. Hubungan antara persepsi masyarakat pesisir terhadap pendidikan dengan tingkat kesejahteraan masyarakat di Desa Pa’ lalakang Kecamatan Galesong Utara Kabupaten Takalar. [Skripsi]. Makassar: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Hasanuddin. Rusli, S. 1995. Pengantar Ilmu Kependudukan. Jakarta: LP3ES Kusnadi. 2000. Nelayan Strategi Adaptasi dan Jaringan Sosial. Bandung: Humaniora Ichtiar Baru-Van Heave dan Elsevier Publishing Projects. 1983. Ensklopidia Indonesia. Jakarta. Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1987. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Kusnadi. 2009. Keberdayaan Nelayan dan Dinamika Ekonomi Pesisir .Jogjakarta: Ar-Ruzz Media. Mansyur, M. Khalil. Indonesia.
. Sosiologi Masyarakat Kota dan Desa. Surabaya: Usaha Nasional
Mubyarto, Loekman Soetrisno, dan Michael Dove. 1984. Nelayan dan Kemiskinan; Studi Ekonomi Antropologi di Dua Desa Pantai. Jakarta: Rajawali Nazir, M. 1999. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia
Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan praktik . Jakarta: Rineka Cipta. Iskandar. 2009. Metode Penelitian Pendidikan dan Sosial (kuantitatif dan kualitatif). Jakarta: Gaung Persada Press. Sitorus, MTF. 1998. Penelitian Kualitatif Suatu Perkenalan. Bogor: Kelompok Dokumentasi Ilmu Sosial. Singarimbun dan Effendi. 1989. Metode Penelitian Survai. Jakarta: LP3ES Satria, A. 2001. Dinamika Modernisasi Perikanan Formasi Sosial dan Mobilitas Nelayan. Bandung: Humaniora Utama Press Pendidikan anak nelayan (http://groups.yahoo.com/group/pendidikan/message/3136, diakses 22 desember 2012). Mulyadi. 2003. Ekonomi Sumber Daya Manusia Dalam Perspektif Pembangunan. Jakarta: Rajagrafindo Persada. Suyoto dan Suwarso. 1994. Rumusan Hasil Diskusi Panel Nasional Tentang Penyuksesan Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun. Malang: Universitas Merdeka Malang. Undang
Undang Nomor 20 Tahun 2003. Tentang Sistem Pendidikan www.depdiknas.go.id diakses pada tanggal 10 September 2012.
M. Arifin. 1996. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta : Bumi Aksara.
Nasional