1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi adalah sebagai bagian dari pembangunan nasional yang merupakan salah satu upaya untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, umtuk memelihara dan meneruskan pembangunan yang berkesinambungan, para pelaku pembangunan baik pemerintah maupun masyarakat sebagai orang perorangan dan badan hukum sangat memerlukan dana dalam jumlah yang besar. Salah satu sarana yang mempunyai peran strategis dalam pengadaan dana tersebut adalah perbankan. Pengertian bank seperti yang tercantum dalam Pasal 1 angka (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan disebutkan yaitu Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, dan menyalurkan kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Pengertian bank telah mengalami evolusi sesuai dengan perkembangan bank itu sendiri, dalam menjalankan usahanya bank saat ini berperan sebagai intermediasi keuangan, yaitu menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat. Kebutuhan akan dana bagi perseorangan ataupun perusahaan dalam menjalankan kegiatan usahanya
2
merupakan kebutuhan yang sangat esensial. Dana yang diperlukan pada umumnya berjumlah sangat besar, sedangkan dana pribadi yang dimiliki sangatlah terbatas, berdasarkan hal tersebut diperlukan dana dari berbagai sumber, salah satu sumber dana tersebut berupa kredit. Kredit adalah sebuah kepercayaan (trust), dengan demikian pemberian fasilitas kredit haruslah berdasarkan suatu kepercayaan, yaitu fasilitas yang diberikan tersebut digunakan untuk tujuan yang sesuai dengan permohonan calon debitur. Bagi bank (kreditur), pemberian fasilitas kredit tersebut dapat kembali dengan aman dan menguntungkan.1 Kredit yang baik adalah kredit yang diberikan sesuai dengan kebutuhan riil debitur, sehingga dapat memperbaiki/meningkatkan kinerja usaha debitur dan kredit dapat dikembalikan kepada bank dengan tepat waktu dan menguntungkan bank. Pemberian fasilitas kredit mengandung risiko sehingga bank dalam memberikan fasilitas kredit wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan debitur untuk melunasi utangnya sesuai yang diperjanjikan seperti yang diatur dalam penjelasan Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 jo Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Risiko ialah kewajiban memikul kerugian yang disebabkan karena suatu kejadian di luar kesalahan salah satu pihak.2 Persoalan tentang risiko itu berpokok-pangkal pada terjadinya suatu peristiwa diluar kesalahan salah satu pihak. Peristiwa semacam itu dalam hukum perjanjian dengan suatu 1
Try Widiyono, Agunan Kredit dalam Financial Engineering, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2009, hlm.2-3 2 Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 2002, hlm 59
3
istilah hukum dinamakan “keadaan memaksa” (“overmacht”, ”force majeur”), dengan demikian persoalan tentang risiko itu merupakan buntut dari persoalan tentang keadaan memaksa, suatu kejadian yang tak disengaja dan tak dapat diduga.3 Berdasarkan uraian tentang pengertian risiko di atas tadi, persoalan risiko itu berpangkal pada terjadinya suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak yang mengadakan perjanjian, dengan kata lain berpokok pangkal pada kejadian yang dalam hukum perjanjian dinamakan keadaan memaksa. Persoalan risiko adalah buntut dari suatu keadaan memaksa, sebagaimana ganti rugi adalah buntut dari wanprestasi. PT. Bank Mandiri Persero Tbk cabang Jambi dalam pemberian kredit, mengharapkan kredit tersebut harus dapat dikembalikan dengan jumlah nilai yang ditentukan. Pemberian kredit harus didasarkan pada pertimbangan bahwa nasabah mempunyai kemampuan untuk mengembalikan kredit tersebut. Kegiatan usaha nasabah akan tetap berlangsung, baik dalam kondisi ekonomi normal (good times) maupun dalam kondisi ekonomi yang kurang baik (bad times). Penilaian suatu bank untuk memberikan persetujuan terhadap suatu permohonan kredit dilakukan dengan berpedoman kepada Formula 6C, yaitu character, capacity, capital, collateral, dan condition of economy dan constrain. Formula 6C tersebut, jaminan (collateral) yang cukup menjamin pengembalian dana yang dipinjam debitur, oleh karena itu jaminan (collateral) menjadi faktor yang penting dalam pemberian kredit. Jaminan
3
Subekti, Aneka Perjanjian, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, hlm.25
4
(collateral) sebagai salah satu faktor penting dalam pemberian kredit harus diperhatikan bank dalam upayanya mengurangi risiko pemberian kredit. Jaminan dikatakan sebagai faktor penting karena pada dasarnya jaminan bertujuan meminimalisir risiko yang mungkin timbul yaitu dalam hal debitur tidak dapat melunasi hutangnya. Pihak bank menyalurkan dana kepada masyarakat dalam bentuk kredit, mengharuskan pemohon kredit untuk menyertakan jaminan sebagai dasar pemberian kredit. Penyertaan jaminan tersebut bertujuan untuk melindungi kepentingan pihak bank atau kreditur apabila debitur tidak bisa melunasi kreditnya sesuai ketentuan yang terdapat dalam perjanjian kredit. Jaminan secara garis besar ada 2 macam, yakni jaminan perorangan dan jaminan kebendaan. Jaminan perorangan (persoonlijk), yaitu adanya orang tertentu yang sanggup membayar atau memenuhi prestasi jika debitur cidera janji. Jaminan yang bersifat kebendaan yaitu adanya benda tertentu yang dijadikan jaminan (zakelijk). Ilmu hukum tidak membatasi kebendaan yang dapat dijadikan jaminan, hanya saja kebendaan yang dijaminkan tersebut haruslah merupakan milik dari pihak yang memberikan jaminan kebendaan tersebut. Jaminan kebendaan dilembagakan dalam bentuk Hipotek, Hak Tanggungan, Fidusia, dan Gadai.4 Jaminan yang umumnya digunakan PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk cabang Jambi adalah jaminan kebendaan yang salah satunya adalah tanah berikut segala sesuatu yang ada diatasnya, baik yang ada sekarang maupun 4
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Harta Kekayaan: Hak Istimewa,Gadai, dan Hipotek, Kencana, Jakarta, 2007, hlm.65-66
5
yang akan ada di kemudian hari yang dijadikan jaminan. PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk cabang Jambi harus melakukan tindakan untuk menguasai jaminan tersebut secara efektif, baik melalui pengikatan dan/atau pemblokiran rekening/dana dan/atau penguasan fisik jaminan. Undang-undang telah menentukan secara tegas bentuk pengikatan jaminan yang dilakukan atas benda tidak bergerak, untuk jaminan berupa tanah yang dapat diterima sebagai jaminan adalah tanah yang berstatus dan telah mempunyai Sertifikat Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha atau Hak Pakai Atas Tanah Negara (yang karena ketentuan perundang-undangan harus didaftar dan karena sifatnya dapat dipindahtangankan) dimana untuk tanah-tanah jenis ini pengikatannya dilakukan dengan Hak Tanggungan. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas tanah serta benda-benda yang berkaitan dengan tanah menjelaskan mengenai pengertian Hak Tanggungan yaitu Hak Tanggungan adalah hak jaminan atas tanah untuk pelunasan hutang tertentu, yang memberikan kedudukan diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain. Jadi, Hak Tanggungan itu merupakan hak jaminan kebendaan terhadap hak atas tanah untuk pelunasan hutang tertentu, dengan memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu pemegang hak tanggungan terhadap kreditur lain. Jaminan yang diberikan kepada kreditur sebagai pemegang Hak Tanggungan adalah hak yang diutamakan atau
6
mendahulu dari kreditur-kreditur lainnya bagi kreditur (Pemegang Hak Tanggungan).5 Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT) menyebutkan bahwa pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan hutang tertentu, yang dituangkan di dalam dan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian hutang-piutang yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan hutang tersebut. Berdasarkan penjelasan Pasal 10 ayat (1) UUHT, bahwa sesuai dengan sifatnya yang accesoir dari Hak Tanggungan, pemberiannya haruslah merupakan ikutan dari perjanjian pokok, yaitu perjanjian yang menimbulkan hubungan hukum hutang-piutang yang dijamin pelunasannya. Perjanjian kredit dengan Jaminan Hak Tanggungan bukan merupakan hak jaminan yang lahir karena undang-undang, melainkan lahir karena harus diperjanjikan terlebih dahulu antar bank selaku kreditur dengan nasabah selaku debitur. Pemberian Hak Tanggungan sebagai jaminan dalam perjanjian kredit dilakukan oleh debitur sebagai pemilik benda yang menjadi obyek Hak Tanggungan tersebut, selain itu dimungkinkan juga dilakukan oleh pihak lain atau pihak ketiga, jika obyek yang dijadikan jaminan dalam perjanjian kredit bukan milik debitur melainkan milik pihak ketiga, dalam hubungan hutangpiutang, khususnya pemberian kredit bukan hanya kepentingan kreditur saja yang memerlukan perlindungan dan kepastian hukum. Kepentingan debitur
5
Rachmadi Usman, Hukum Jaminan Keperdataan, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 332
7
bahkan kepentingan pihak lain yang mungkin bisa dirugikan akibat yang timbul dari penyelesaian hubungan hutang-piutang antara debitur dan kreditur, jika terjadi cidera janji pada pihak debitur maka memerlukan perlindungan hukum juga. Hukum menyediakan sarana bagi setiap kreditur untuk menjamin perolehan kembali kredit yang diberikannya, seperti dinyatakan dalam Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), dimana seluruh harta kekayaan debitur, baik bergerak maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari, merupakan jaminan untuk segala perikatan pribadi debitur tersebut untuk pelunasan hutangpiutangnya. PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk cabang Jambi dalam prakteknya mewajibkan
debitur
menyerahkan
jaminan
guna
menjamin
pengembalian/pelunasan kredit sesuai kebijakan perkreditan yang berlaku pada bank tersebut, namun dengan berbagai alasan, debitur belum atau tidak bisa mengembalikan hutangnya pada PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk cabang Jambi sebagai kreditur, hal ini dapat terjadi karena memang debitur yang bersangkutan mengalami kerugian dalam menjalankan usahanya ataupun karena debitur yang bersangkutan tidak beritikad baik, dalam arti debitur sejak semula memang bertujuan untuk melakukan penipuan terhadap kreditur. Permasalahan yang timbul adalah dalam hal kredit tersebut menjadi macet dan dilakukan eksekusi terhadap benda jaminan milik debitur. Eksekusi terhadap jaminan Hak Tanggungan merupakan langkah terakhir yang
8
dilakukan kreditur selaku penerima Hak Tanggungan apabila debitur selaku pemberi Hak Tanggungan mengalami kredit macet. Salah satu ciri dan sifat lembaga hak jaminan atas tanah yang kuat, yaitu pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungannya mudah dan pasti, bahwa pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan dilakukan melalui mekanisme yang sederhana tanpa melalui proses beracara di muka pengadilan.6 Pihak debitur seringkali melakukan penolakan atau keberatan saat jaminan atas namanya tersebut akan dieksekusi akibat debitur mengalami kredit macet sehingga bank selaku kreditur sering mengalami kendala dalam mengeksekusi benda jaminan untuk memenuhi pelunasan hutang debitur. Pasal 20 UUHT menjelaskan mengenai eksekusi Hak Tanggungan, yaitu apabila debitur cidera janji, maka menurut Pasal 6 UUHT, pemegang Hak Tanggungan pertama berhak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut, atau eksekusi berdasarkan title eksekutorial. Sertifikat Hak Tanggungan yang merupakan tanda bukti adanya Hak Tanggungan yang diterbitkan oleh Kantor Pertanahan dan yang memuat irah-irah
dengan
kata-kata
“DEMI
KEADILAN
BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA”, mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan berlaku sebagai pengganti grosse acte hypotheek sepanjang mengenai hak atas tanah, hal ini telah ditentukan dalam Pasal 14 ayat (1), (2),
6
Ibid., hlm. 348
9
dan (3) UUHT, dengan demikian untuk melakukan eksekusi terhadap Hak Tanggungan yang telah dibebankan atas tanah dapat dilakukan tanpa harus melalui proses gugat-menggugat (proses litigasi) apabila debitur cidera janji. Berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (2) UUHT atas kesepakatan pemberi dan pemegang Hak Tanggungan, penjualan obyek Hak Tanggungan dapat juga dilaksanakan melalui penjualan di bawah tangan jika dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak. Eksekusi secara di bawah tangan pelaksanaannya harus memenuhi beberapa persyaratan yang antara lain adanya kesepakatan antara pemberi Hak Tanggungan (debitur) dengan pemegang Hak Tanggungan (kreditur). Menurut Sutan Remi Sjahdeini dalam rangka penjualan di bawah tangan, masalah yang perlu dipecahkan adalah mengenai keabsahan penjualan obyek Hak Tanggungan oleh Bank, berdasarkan surat kuasa menjual di bawah tangan dari pemberi Hak Tanggungan, bagi kreditur dan debitur untuk menjual secara di bawah tangan adalah merupakan perkembangan baru sebagai bentuk eksekusi dalam UUHT untuk perlindungan hukum bagi para pihak, sebab pada saat berlakunya hipotik atas tanah belum diatur secara jelas. Adapun bentuk eksekusi yang lain adalah parate executie.7 Parate executie menurut Subekti adalah menjalankan sendiri atau mengambil sendiri atau mengambil sendiri apa yang menjadi haknya, dalam arti tanpa perantara hakim, yang ditujukan atas sesuatu barang jaminan untuk
7
Herowati Poesoko, Parate Executie Obyek Hak Tanggungan, LaksBang PRESSindo, Yogyakarta, 2008, hlm 5
10
selanjutnya menjual sendiri barang tersebut.8 Tartib berpendapat bahwa parate executie adalah eksekusi yang dilaksanakan sendiri oleh pemegang hak jaminan (gadai dan hipotik) tanpa melalui bantuan atau campur tangan Pengadilan Negeri, melainkan hanya berdasarkan bantuan Kantor Lelang Negara saja.9 Berdasarkan kedua pendapat tersebut dapat dipahami bahwa pelaksanaan parate executie merupakan cara termudah dan sederhana bagi kreditur untuk memperoleh kembali piutangnya, manakala debitur cidera janji dibandingkan dengan eksekusi yang melalui bantuan atau campur tangan Pengadilan Negeri. Pengaturan parate executie dalam UUHT jika ditelaah lebih dalam terdapat kerancuan. Kerancuan pengaturan parate executie tersebut, terlihat bilamana
dihubungkan
antara
Pasal
6
UUHT
yang
menyatakan
pelaksanaannya melalui lelang umum sedangkan Penjelasan Umum angka 9, yang agar parate executie pelaksanaanya mendasarkan kepada Pasal 224 H.I.R. pengaturan eksekusi menurut Pasal 224 H.I.R adalah eksekusi yang ditujukan kepada grosse acte hipotik dan grosse acte pengakuan hutang. Kedua grosse acte tersebut dimaksudkan, memang mempunyai kekuatan sebagai suatu putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap, maka eksekusinya tunduk dan patuh sebagaimana pelaksanaan suatu putusan pengadilan, yang harus dilaksanakan atas perintah Ketua Pengadilan Negeri, bilamana melaksanakan parate executie disamakan dengan melaksanakan eksekusi berdasarkan grosse, maka menurut J.Satrio apa 8 9
Ibid., hlm 5-6 Ibid., hlm 6
11
gunanya memperjanjikan parate executie bukankah sudah mempunyai grosse sertifikat Hak Tanggungan.10 PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk Cabang Jambi telah melakukan ketiga upaya eksekusi tersebut terhadap jaminan milik debitur namun hasilnya nihil, maka Bank Mandiri telah membuat aturan Standar Prosedur Kredit yang didalamnya memuat ketentuan mengenai tindakan penyelamatan kredit dengan pengambilalihan aset debitur. Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/15/PBI/2012 tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum memuat ketentuan mengenai pengambilalihan aset debitur dalam ketentuan umum Pasal 1 ayat (15) yaitu mengenai Agunan Yang Diambil Alih (AYDA), peraturan Bank Mandiri mengenai Pedoman Pelaksanaan Kredit juga memuat ketentuan mengenai Agunan Yang Diambil Alih (AYDA), sehingga berdasarkan ketentuan di atas maka memungkinkan bahwa kreditur dapat memiliki jaminan milik debitur. Hal tersebut bertentangan dengan Pasal 12 UUHT yang menyebutkan bahwa janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk memiliki obyek Hak Tanggungan apabila debitur cidera janji, maka batal demi hukum. Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka diangkat judul mengenai
PENGAMBILALIHAN
OBYEK
JAMINAN
HAK
TANGGUNGAN DALAM HAL KREDIT MACET PADA PT. BANK MANDIRI (PERSERO) TBK CABANG JAMBI.
10
Ibid., hlm 9-10
12
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, maka dirumuskan masalah sebagai berikut: 1. Kapan obyek jaminan Hak Tanggungan milik debitur yang mengalami kredit macet dapat diambil alih oleh PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk Cabang Jambi? 2. Bagaimana peran Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam pembuatan akta terhadap obyek jaminan yang diambil alih oleh PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk Cabang Jambi?
C. Tujuan Penelitian Dari permasalahan diatas, maka secara keseluruhan tujuan penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui dan menganalisis kapan obyek jaminan hak tanggungan milik debitur yang mengalami kredit macet dapat diambil alih oleh PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk Cabang Jambi. 2. Untuk mengetahui peran Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam pembuatan akta terhadap obyek jaminan yang diambil alih oleh PT. Bank Mandiri Persero Tbk Cabang Jambi.
D. Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang diharapkan dengan adanya penelitian ini adalah sebagai berikut:
13
1. Dari segi Praktis, agar masyarakat dapat mengetahui kapankah obyek jaminan Hak Tanggungan milik debitur yang mengalami kredit macet dapat diambil alih oleh PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk Cabang Jambi, mengetahui peranan Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam pembuatan akta terhadap obyek jaminan yang diambil alih oleh kreditur, dan dapat memberikan masukan kepada Bank sebagai pihak kreditur dalam memberikan layanan perbankan khususnya dalam memberikan kredit yang berkualitas agar dapat mengurangi risiko terjadinya kredit macet. 2. Dari segi Teoritis, bagi akademisi penelitian ini diharapkan memberi manfaat teoritis berupa sumbangan bagi pengembangan ilmu pengetahuan hukum, khususnya bidang hukum jaminan mengenai pengambilalihan obyek jaminan Hak Tanggungan.
E. Keaslian Penelitian Penelitian tentang “PENGAMBILALIHAN OBYEK JAMINAN HAK TANGGUNGAN DALAM HAL KREDIT MACET PADA PT. BANK MANDIRI (PERSERO) TBK CABANG JAMBI”, sepanjang pengetahuan penulis belum pernah dilakukan penelitian oleh mahasiswa kenotariatan lainnya, namun berdasarkan penelusuran kepustakaan tersebut, terdapat beberapa hasil penelitian yang terkait dengan judul penelitian ini antara lain:
14
1. Penelitian yang disusun oleh Ray Seivna,11 tesis dengan judul “Eksekusi Jaminan Hak tanggungan Dalam Perjanjian Kredit Melalui SKM (Surat Kuasa Menjual) Oleh Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Danagung Bakti Yogyakarta”,
penelitian
tersebut
mengangkat
masalah
bagaimana
penyelesaian kredit macet dalam eksekusi jaminan Hak Tanggungan dalam perjanjian kredit melalui surat kuasa menjual yaitu dengan melalui penandatanganan akta notaris oleh penerima kuasa dalam surat kuasa menjual, hal ini berkaitan dengan akta perjanjian kredit yang telah dibuat terlebih dahulu oleh para pihak sehingga dapat mengeksekusi obyek Hak Tanggungan tersebut, yang akibat hukumnya penerima kuasa dalam akta kuasa menjual menjadi terikat untuk mematuhi ketentuan-ketentuan yang ada dalam surat kuasa menjual. Membahas juga bagaimana peranan notaris dalam eksekusi jaminan Hak Tanggungan dalam perjanjian kredit melalui surat kuasa menjual oleh Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Danagung Bakti Yogyakarta dimana peran notaris sangat penting yaitu untuk memperkuat keberadaan akta yang telah dibuat oleh para pihak. 2. Penelitian yang disusun oleh M. Zaini Arista Adi Surya,12 tesis dengan judul “Eksekusi Jaminan Fidusia Pada BPR Bank Sleman di Yogyakarta Menurut Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia”. Penelitian tersebut mengangkat masalah mengenai bagaimana
11
Ray Seivna, 2012, Eksekusi Jaminan Hak tanggungan Dalam Perjanjian Kredit Melalui SKM (Surat Kuasa Menjual) Oleh Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Danagung Bakti Yogyakarta, Tesis, Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 12 M. Zaini Arista Adi Surya, 2012, Eksekusi Jaminan Fidusia Pada BPR Bank Sleman di Yogyakarta Menurut Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia, Tesis, Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
15
pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia di BPR Sleman Yogyakarta dimana pelaksanaannya melalui penjualan di bawah tangan dengan kesepakatan debitur dan kreditur, pihak debitur diberikan kesempatan untuk menjual sendiri obyek jaminan fidusia tersebut, apabila debitur tidak mampu untuk menjual sendiri maka dengan kesepakatan bersama pihak BPR Bank Sleman yang melakukan penjualan obyek jaminan fidusia. Hasil penjualan langsung diserahkan kepada pihak bank untuk pelunasan utang debitur, apabila dari hasil penjualan belum mencukupi, debitur harus tetap melunasi kekurangannya, apabila hasilnya lebih, kelebihannya akan dikembalikan kepada debitur. Kemudian membahas mengenai faktor penghambat dalam eksekusi jaminan fidusia di BPR Sleman Yogyakarta yaitu debitur tidak kooperatif jika obyek jaminan akan ditarik, obyek jaminan fidusia sudah berubah bentuk (tidak lengkap), sehingga berakibat turunnya harga jual objek jaminan fidusia secara drastis. Kedua tesis tersebut mempunyai persamaan dan perbedaan dengan tulisan penulis. Persamaan yaitu sama-sama meneliti tentang eksekusi obyek jaminan dalam hal kredit macet. Letak perbedaannya yaitu pada lokasi penelitian yang berbeda, kemudian penelitian ini lebih menitikberatkan pada proses Agunan Yang Diambil Alih (AYDA) oleh PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk Cabang Jambi serta peranan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) terkait akta yang dibuat dalam proses AYDA. Namun demikian apabila ternyata pernah dilakukan penelitian yang sama sebelumnya walaupun di lokasi yang berbeda, diharapkan penelitian ini dapat melengkapi penelitian sebelumnya.