BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Indonesia yang memiliki penduduk 230 juta dengan beraneka ragam budaya, sosio-ekonomi dan letak geografis menduduki peringkat 107 dari 177 negara untuk indeks pembangunan manusia (Badan Pusat Statistik, 2013). Walaupun Indonesia mengalami pemulihan yang cukup berarti sejak krisis ekonomi tahun 1998, namun masalah kemiskinan, kerawanan pangan dan gizi masih cukup besar dan beragam antar provinsi dan kabupaten. Indonesia sebagai salah satu negara yang ikut menandatangani World Food Summit (1996) dan Millenium Declaration (2000), terus menerus memperkuat upayanya untuk mencapai tujuan pertama dari Millenium Development Goals (MDGs), yaitu menurunkan proporsi penduduk yang tingkat pendapatannya di bawah US$1 per hari dan proporsi penduduk yang menderita kelaparan menjadi setengahnya pada tahun 2015 (Dewan Ketahanan Pangan, 2009). Pada tahun 2003-2005, Dewan Ketahanan Pangan, Badan Ketahanan Pangan provinsi dan kabupaten bekerja sama dengan World Food Programme (WFP) menyusun Peta Kerawanan Pangan Indonesia (Food Insecurity Atlas – FIA) yang diluncurkan pada bulan Agustus tahun 2005. FIA 2005 tersebut menggambarkan pemeringkatan situasi ketahanan pangan pada 265 kabupaten di 30 provinsi. FIA diberi nama baru yakni Food Security and Vulnerability Atlas (FSVA). Hal ini dilakukan dengan pertimbangan untuk memperjelas pengertian mengenai konsep ketahanan pangan berdasarkan tiga dimensi ketahanan pangan (ketersediaan, akses
1
2
dan pemanfaatan pangan) dalam semua kondisi bukan hanya pada situasi kerawanan pangan saja (Dewan Ketahanan Pangan, 2009). Pertemuan puncak dunia tentang pangan (World Food Summit) tahun 1996 mendefinisikan ketahanan pangan sebagai kondisi dimana semua manusia pada setiap saat memiliki akses terhadap makanan yang cukup, bergizi dan aman untuk menjaga kesehatan dan kehidupan yang aktif. Ketahanan pangan dibangun diatas tiga pilar utama yaitu 1) ketersediaan pangan merupakan jumlah pangan yang tersedia secara cukup dan konsisten dan berkelanjutan; 2) akses terhadap pangan yaitu adanya sumber pangan yang dapat diakses untuk memberikan pangan yang layak untuk diet yang bergizi dan 3) pemanfaatan pangan (konsumsi) yang tepat berdasarkan pengetahuan tentang nutrisi dan kesehatan, termasuk ketercukupan air dan sanitasi (Dewan Ketahanan Pangan, 2009). Secara garis besar pemanfaatan pangan di Indonesia pada tahun 2007, dilihat dari aspek-aspek pemanfaatan pangan, sebanyak 94% rumah tangga memiliki akses ke fasilitas kesehatan terdekat dengan jangkauan sekitar 5 km, sebanyak 21,08% rumah tangga tidak mempunyai akses terhadap air layak minum (sumur terlindung/sumur bor/mata air, air ledeng dan air hujan), rata-rata asupan energi harian adalah 2050 kkal, asupan protein sebesar 5,625 gr dan sebanyak 13% perempuan Indonesia buta huruf (Badan Pusat Statistik, 2007). Menurut data Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2013, prevalensi gizi buruk nasional pada anak balita adalah 5,7% dan gizi kurang adalah 13,9%, sehingga total gizi kurang dan buruk (underweight) menjadi 19,6%. Hal ini menunjukkan bahwa masalah pemanfaatan pangan sangat penting (Balitbangkes, 2013). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Rhemo Adiguno, dkk selama lima tahun terakhir (2008-2012) mengenai analisis akses pangan di Provinsi Sumatera
3
Utara menunjukkan bahwa situasi akses pangan masyarakat di provinsi tersebut pada tahun 2008 berada dalam kondisi akses pangan cukup rendah dengan nilai skoring komposit sebesar 3,99. Pada tahun 2009-2012 berada dalam kondisi akses pangan cukup tinggi dengan nilai skoring komposit sebesar 4,04 pada tahun 2009, sebesar 4,15 pada tahun 2010, sebesar 4,25 pada tahun 2011 dan sebesar 4,27 pada tahun 2012 (Adhiguno et al., 2013). Dari segi pemanfaatan pangan, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Abdul Halik pada tahun 2007 terhadap ketahanan pangan di Kabupaten Bone, menunjukkan bahwa dari keempat indikator aspek pemanfaatan pangan yang diamati ternyata semuanya menunjukkan berada pada rawan pangan (dengan nilai indeks rata-rata 0,49). Ini berarti bahwa meskipun tingkat ketersediaan bahan pangan dan akses masyarakat pedesaan terhadap bahan pangan cukup baik, namun dari segi pemanfaatan masih belum optimal, penyebabnya karena para ibu rumah tangga yang lebih berperan dalam hal pemanfaatan bahan pangan dalam rumah tangga belum memahami secara baik aspek pangan dan gizi sebagai akibat dari rendahnya tingkat pendidikan mereka (Halik, 2007). Pada Provinsi Bali, mengenai data pemanfaatan pangan, menurut SUSENAS tahun 2007, Provinsi Bali termasuk dalam tiga besar persentase perempuan yang buta huruf yakni 21%. Untuk cakupan rumah tangga dengan akses ke sumber air bersih sebesar 11,05% dan rumah tangga yang memiliki akses >5 km ke sarana fasilitas kesehatan sebesar 3,4% (Badan Pusat Statistik, 2007). Untuk status gizi balita, berdasarakan data pemantauan status gizi tahun 2010 prevalensi gizi kurang 1,99% dan gizi buruk sebanyak 0,31% (Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa (BPMPD), 2014). Seperti di ketahui bahwa melek huruf perempuan terutama ibu dan pengasuh anak sangat berpengaruh terhadap status kesehatan dan gizi, dan
4
menjadi hal yang sangat penting dalam pemanfaatan pangan. Studi di berbagai negara menunjukan bahwa tingkat pendidikan dan kesadaran ibu dapat menjelaskan situasi gizi anak-anak di negara-negara berkembang. Hal ini sudah terbukti secara global bahwa kekurangan gizi berkaitan erat dengan tingkat pendidikan ibu. Kemajuan pembangunan di masing-masing wilayah kabupaten atau kota sangat ditentukan oleh sumber dan potensi ekonomi yang dimiliki oleh masing-masing wilayah. Kabupaten/kota yang kaya sumber atau potensi ekonomi akan memiliki peluang berkembang lebih cepat ketimbang kabupaten/kota yang tergolong daerah miskin. Misalnya Kabupaten Badung yang memiliki potensi besar dalam pengembangan kegiatan pariwisata, Kabupaten Gianyar yang memiliki potensi dalam kegiatan industri kecil, dan Kabupaten Tabanan di sektor pertanian. Sementara itu, Kabupaten Bangli memiliki sumber atau potensi ekonomi yang relatif terbatas sehingga akan menghambat laju pertumbuhan ekonominya. Pada tahun 2011 laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten Bangli tumbuh dengan 5,84 persen per tahun. Pada tahun yang sama, laju pertumbuhan ekonomi Provinsi Bali mencapai 6,49 persen per tahun. Hal ini menyebabkan jumlah penduduk miskin di Bangli masih cukup tinggi (BAPPEDA Provinsi Bali, 2013). Pada tahun 2014, jumlah rumah tangga miskin di Kabupaten Bangli sebesar 10.613 KK (BPMPD, 2014). Pada tiap kabupaten di Provinsi Bali, untuk aspek-aspek pemanfaatan pangannya, menurut FSVA yang berdasarkan data SUSENAS tahun 2007, untuk rumah tangga yang memiliki akses ke fasilitas kesehatan >5 km, kabupaten yang memiliki persentase tertinggi yaitu Kabupaten Karangasem (14,7%), Kabupaten Jembrana (11,4%), Kabupaten Tabanan (2,7%) dan Kabupaten Bangli (2,4%). Untuk rumah tangga tanpa akses ke sumber air bersih, kabupaten yang memiliki persentase tertinggi yaitu Kabupaten Karangasem (37,50%), Kabupaten Klungkung (26,18%)
5
dan Kabupaten Bangli (24,40%), dan untuk persentase perempuan buta huruf, kabupaten yang memiliki persentase tertinggi yaitu Kabupaten Karangasem (38,33%), Kabupaten Klungkung (28,61%) Kabupaten Gianyar (28,61%) dan Kabupaten Bangli (25,70%). Untuk persentase berat badan balita di bawah standar Kabupaten Karangasem (19,8%), Kabupaten Buleleng (14,9%), Kabupaten Klungkung (12,9%) Kabupaten Jembrana (12,4%) dan Kabupaten Bangli (11,7%) (Dewan Ketahanan Pangan, 2009). Untuk pemilihan kabupaten dalam penelitian ini, Kabupaten Bangli dipilih karena masuk kedalam lima besar kabupaten dengan masalah pemanfaatan pangan di tiap indikatornya. Dari uraian data diatas, maka penting untuk diteliti mengenai pemanfaatan pangan pada Rumah Tangga Sasaran (RTS) di Kabupaten Bangli. 1.2 Rumusan Masalah Dari uraian diatas dapat di rumuskan masalah : Bagaimanakah pemanfaatan pangan pada Rumah Tangga Sasaran (RTS) di Kabupaten Bangli Tahun 2015 ?. 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Untuk mengetahui pemanfaatan pangan pada Rumah Tangga Sasaran (RTS) di Kabupaten Bangli Tahun 2015 1.3.2
Tujuan Khusus 1. Untuk mengetahui persentase rumah tangga yang memiliki akses terhadap fasilitas kesehatan >5 km pada Rumah Tangga Sasaran (RTS) di Kabupaten Bangli
6
2. Untuk mengetahui persentase rumah tangga yang tidak memiliki akses air bersih pada Rumah Tangga Sasaran (RTS) di Kabupaten Bangli 3. Untuk mengetahui persentase perempuan buta huruf pada Rumah Tangga Sasaran (RTS) di Kabupaten Bangli 4. Untuk mengetahui status gizi anak balita pada Rumah Tangga Sasaran (RTS) di Kabupaten Bangli 5. Untuk mengetahui tingkat konsumsi pangan pada Rumah Tangga Sasaran (RTS) di Kabupaten Bangli 6. Untuk mengetahui persentase balita yang naik berat badan (N) dibandingkan jumlah balita ditimbang (D) pada Rumah Tangga Sasaran (RTS) di Kabupaten Bangli 7. Untuk mengetahui persentase persentase balita yang BGM dibandingkan Jumlah Balita ditimbang (D) pada Rumah Tangga Sasaran (RTS) di Kabupaten Bangli 8. Untuk mengetahui persentase balita yang tidak naik berat badannya dalam 2 kali penimbangan berturut-turut (2T) dibandingkan jumlah balita ditimbang (D) pada Rumah Tangga Sasaran (RTS) di Kabupaten Bangli 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Praktis Melalui penelitian ini diharapkan tenaga kesehatan lebih mengetahui tentang ketahanan pangan khususnya tentang pemanfaatan pangan itu sendiri agar digunakan sebagai acuan dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
7
1.4.2 Manfaat Teoritis Melalui penelitian ini diharapkan dapat menambah pembedaharaan ilmu pengetahuan di bidang gizi kesehatan masyarakat tentang pemanfaatan pangan sebagai acuan penelitian selanjutnya yang lebih mendalam. 1.5 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah bidang Gizi Kesehatan Masyarakat, yang meneliti tentang pemanfaatan pangan pada Rumah Tangga Sasaran (RTS) di Kabupaten Bangli tahun 2015 terutama yang berkaitan dengan status gizi anak balita.