BAB I PENDAHULUAN I.1
Latar Belakang
Universitas Sumatera Utara
Kajian privatisasi menjadi kajian yang sangat menarik diseluruh dunia sejak memasuki dekade 80-an. Sejak pemerintahan Thatcher di Inggris dan Reagan di Amerika Serikat memperkenalkan privatisasi dalam negaranya masingmasing pada tahun 1980-an, privatisasi kemudian berkembang menjadi fenomena global. Negara-negara dengan berbagai latar belakang ideologi, perbedaan ukuran, dan perbedaan perkembangan pembangunan semuanya mengadopsi privatisasi yang diyakini sebagai elemen penting dari kebijakan ekonomi negara mereka 1. Gambar 1.1 Kajian Litelatur dan Empiris Terhadap Kebijakan Privatisasi
Suksesnya pelaksanaan kebijakan privatisasi di negara-negara maju memberi inspsirasi terhadap negara-negara berkembang (developing countries) untuk melakukan hal yang sama. Dan pada dekade 90-an adalah dasawarsa terhadap pelaksanaan privatisasi di negara-negara berkembang. Karena pada saat
1
http: //asropi.files.wordpress.com/2009/02/menilik-kinerja-privatisasi.pdf
Universitas Sumatera Utara
itu privatisasi pada seluruh kegiatan ekonomi adalah jawaban untuk meningkatkan jaminan kesejahteraan masyarakat, karena dengan demikian mereka (BUMN) akan menjadi lembaga yang harus bersaing (versus monopoli). Pada awalnya keberadaan BUMN diperuntukkan untuk menyeimbangkan dan/atau menggantikan sektor swasta yang lemah. Pembentukan BUMN dimaksudkan pula untuk mendorong rasio investasi yang lebih tinggi, penambahan modal investasi, alih teknologi, peningkatan sektor ketenagakerjaan dan produksi barang-barang dengan harga terjangkau. Dalam perkembangan selanjutnya, pendirian BUMN selain bertujuan untuk memberi kontribusi pada pendapatan negara (national income), BUMN juga mengemban misi untuk mengutamakan kepentingan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat sebesarbesarnya. Pemahaman akan peranan BUMN dalam perekonomian di Indonesia telah tertuang dalam amandemen keempat Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 yang menyebutkan bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan demokrasi ekonomi dangan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan, kemajuan dan kesatuan nasional. Oleh karena itu, usaha untuk meningkatkan
perekonomian
nasional
dipandang
perlu
dalam
upaya
meningkatkan seluruh kekuatan ekonomi nasional dengan mendayagunakan BUMN di Indonesia. Berkaitan dengan hal tersebut, TAP MPR No.IV/MPR/1999 menetapkan bahwa arah kebijakan tentang BUMN adalah menata BUMN secara efisien, transparan dan profesional, terutama yang usahanya berkaitan dengan
Universitas Sumatera Utara
kepentingan umum perlu disehatkan dan yang tidak berkaitan dengan kepentingan umum didorong untuk diprivatisasi melalui pasar modal 2. Sebelum era privatisasi, BUMN di Indonesia seolah-olah berada dalam dualisme visi dan misi. Dimana disalah satu sisi, BUMN sebagai penyedia layanan publik memikul beban yang berat untuk memenuhi kebutuhan pokok yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Namun disisi yang lainnya, BUMN juga dituntut untuk menghasilkan laba (profit). Dalam berbagai hal, mengkombinasikan kedua sisi tersebut bukan sesuatu yang mudah untuk dilakukan, karena BUMN di Indonesia juga menghadapi masalah kultural dan struktural yang sangat rumit. Budaya korupsi dan sistem birokrasi yang berjalan dengan lamban semakin memperkeruh masalah didalam tubuh BUMN itu sendiri. Untuk mangatasi masalah-masalah tersebut dan untuk dapat meningkatkan efektivitas dan produktivitasnya, BUMN perlu melakukan beberapa tindakan, yaitu restrukturisasi dan privatisasi. Tujuan restrukturisasi diuraikan dalam Pasal 72 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, dinyatakan bahwa 3: Tujuan restrukturisasi adalah untuk: 1. Meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan; 2. Memberikan manfaat berupa dividen dan pajak kepada negara; 3. Menghasilkan produk dan layanan dengan harga yang kompetitif kepada konsumen; dan 4. Memudahkan pelaksanakaan privatisasi.
2
Yustika, Ahmad Erani. 2005. Perekonomian Indonesia Deskripsi, Preskripsi, dan Kebijakan. Malang. Bayumedia Publishing. h.177. 3 Republik Indonesia, Undang-undang N0.19 Tahun 2003 tentang BUMN, Pasal 72 ayat 2.
Universitas Sumatera Utara
Sedangkan tujuan privatisasi diatur dalam Pasal 74 Ayat (2) yang menyatakan bahwa privatisasi dilakukan dengan tujuan untuk meningkat kinerja dan nilai tambah perusahaan dan meningkatkan peran serta masyarakat dalam pemilikan saham Persero. Kebijakan privatisasi tersebut merupakan salah satu kebijakan yang dilakukan pemerintah untuk mengalihkan sebagian atau keseluruhan aset yang dimiliki negara kepada pihak swasta. Sebagian besar program dan kebijakan privatisasi dilakukan tidak terlepas dari politik ekonomi (political economic) dalam suatu negara. Globalisasi dan pasar bebas menuntut pemerintah untuk menciptakan daya saing perusahaan (BUMN) untuk dikelola secara profesional, salah satunya adalah dengan melibatkan pihak swasta dalam tata perekonomian nasional. Perubahan kepemilikan akan memiliki pengaruh terhadap kinerja perusahaan 4. Istilah privatisasi sendiri sudah cukup akrab di telinga masyarakat. Hampir bisa dipastikan sebagian besar masyarakat Indonesia tidak asing dengan istilah ini. Namun sebagai sebuah konsep yang fundamental, tidaklah semua orang memiliki pengertian dan pemahaman yang sama, termasuk di tataran pemerintah sebagai penyelenggara negara, politisi di parlemen, pimpinan partai politik dan juga kalangan akademisi, termasuk kaum profesional sekalipun 5 . Dalam wacana publik, tindakan penjualan Badan Usaha Milik Negara (State Owned Enterprise) kepada swasta asing, mendapat sorotan tajam dan tanggapan negatif. Bahkan
4
Riant Nugroho dan Randy R. W. 2008. Manajemen Privatisasi BUMN. Jakarta. PT Elex Media Komputindo. h. xii. 5 Tjager, I Nyoman; Dampak Privatisasi BUMN, Newsletter No.70, september 2007:1
Universitas Sumatera Utara
sebagian pihak menganggap tindakan tersebut telah meninggalkan rasa nasionalisme bagi bangsa. Tidaklah mengherankan jika seringkali muncul perdebatan atau polemik di masyarakat luas tentang privatisasi. Sikap masyarakat terhadap proses privatisasi BUMN di Indonesia sejak era reformasi mengalami perubahan dibanding era Orde Baru dan era Orde Lama. Pemerintah Orde Lama (Orla), dengan sistem ekonomi terpimpin, telah memfungsikan State Corporations yang didominasi militer, sebagai instrumen industrialisasi ekonomi Indonesia. Di tahun 1967, ketika kekuasaan Orde Lama berakhir, State Corporations telah mendominasi bidang ekonomi, seperti perbankan, perdagangan, perkebunan, pertambangan, perminyakan, industri manufaktur, industri barang modal, bahkan industri berat seperti industri baja, perkapalan, elektronika, dan semen. Praktik subsidi dan proteksi pemerintah telah menjadi kekuatan bagi perusahaan negara tersebut 6. Privatisasi di Indonesia mulai berlangsung sejak tahun 1994 yang ditandai go public-nya PT Semen Gresik. Sejak saat itu hingga tahun 1997, nyaris tidak ada nada sumbang terhadap program privatisasi. Sepanjang masa itu, pelaksanaan privatisasi BUMN tidak pernah mengalami hambatan baik dari DPR-RI maupun dari karyawan. Bahkan masyarakat sangat antusias untuk mendapatkan saham dari BUMN yang akan diprivatisasi.
6
Bastian, Indra. 2002. Privatisasi Di Indonesia Teori Dan Implementasi.Jakarta. Salemba Empat. h. 94.
Universitas Sumatera Utara
Sejak era reformasi, sikap masyarakat berubah menjadi lebih kritis. Sikap masyarakat terhadap program privatisasi lebih variatif dan plural. Ada yang setuju dan mendukung, tapi ada juga sebagian yang justru tidak setuju dengan privatisasi dengan berbagai alasan. Kalangan yang tidak setuju privatisasi tidak jarang menggunakan nasionalisme sebagai satu alasan, dengan anggapan menjual saham BUMN ke pihak swasta (lokal apalagi asing) berarti telah menjual aset negara ketangan kapitalis dan asing. Apalagi jika yang diprivatisasi adalah BUMN yang memiliki produk yang dibutuhkan masyarakat luas. Kebijakan privatisasi BUMN saat ini memang memiliki dimensi yang berbeda bila dibandingkan pada era Presiden Megawati. Sehingga wajar bila kritik terhadap kebijakan privatisasi BUMN saat ini tidak seperti dulu. Di masa pemerintahan Presiden Megawati, nuansa jual obral aset negara dibalik privatisasi BUMN dan penjualan aset yang dikelola Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang waktu itu juga dibawah kendali Kementerian BUMN terlihat sangat kental. Kebijakan privatisasi BUMN saat ini juga memiliki dasar hukum yang kuat, yaitu UU No.19/2003 tentang BUMN. Meski dalam beberapa hal materi UU No. 19/2003 perlu dikaji lagi. Secara de jure, privatisasi BUMN adalah kebijakan yang dilindungi Undang-undang. Sehingga, kita tidak bisa lagi menyatakan “ tidak ” pada kebijakan privatisasi BUMN, sepanjang telah sesuai dengan rambu-rambu yang ditentukan UU No. 19/2003. Ke depan, rambu-rambu privatisasi BUMN dalam UU No. 19/2003 inilah yang perlu dikaji dan diperbaiki lagi. Ini berbeda sekali ketika kebijakan privatisasi BUMN pada era pemerintahan Presiden Megawati. Saat itu, absennya perundang-undangan telah membuat
Universitas Sumatera Utara
kebijakan privatisasi menimbulkan persepsi yang beragam. Terlebih, lingkungan politik waktu itu memang berpotensi bagi munculnya moral hazard dalam kebijakan privatisasi BUMN. Maka, tidak mengherankan bila kebijakan privatisasi BUMN waktu itu banyak menimbulkan kecurigaan. Sementara itu, pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono kebijakan privatisasi sangat gencar dilakukan dan seolah-olah mendapat banyak dukungan dikarenakan tidak adanya protes-protes yang keras terhadap kebijakan privatisasi tersebut. Dimasa SBY inilah dalam setahun terdapat 44 BUMN yang langsung “dilego” kepada pihak asing. Dengan agresifitasnya dalam mengobral “BUMN”, maka pantaslah SBY disebut sebagai bapak privatisasi Indonesia 7 . Namun demikian, ini tidak berarti bahwa kebijakan privatisasi BUMN yang dikembangkan saat ini tidak memiliki kekurangan. Penulis melihat bahwa disanasini masih terdapat banyak hal yang perlu dibenahi agar kebijakan privatisasi ini tidak menimbulkan kontroversi yang justru bisa menjadi bumerang bagi Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di kemudian hari. Oleh karena itu, dalam penelitian ini penulis berfokus pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono yaitu sejak tahun 2004-2010. Berdasarkan uraian diatas maka penulis sangat tertarik untuk mengetahui dan melakukan penelitian mengenai bagaimana proses perumusan kebijakan privatisasi BUMN di Indonesia terkhusus pada masa pemerintahan presiden Susilo
7
Bambang Yudhoyono
dengan judul “ANALISIS
KEBIJAKAN
http://berdikarionline.com/editorial/20101104/sby-bapak-privatisasi-indonesia.html
Universitas Sumatera Utara
PRIVATISASI
BUMN
PADA
MASA
PEMERINTAHAN
SUSILO
BAMBANG YUDHOYONO (2004-2010)”.
I.2
Perumusan Masalah Arikunto menyatakan bahwa dalam suatu penelitian, agar dapat
dilaksanakan dengan sebaik-baiknya maka peneliti haruslah merumuskan masalah dengan jelas
8
. Perumusan masalah juga diperlukan untuk mempermudah
menginterpretasikan data dan fakta yang diperlukan dalam suatu penelitian. William N. Dunn mengemukakan beberapa karakteristik masalah publik yang sangat membantu dalam perumusan masalah 9: a) Interdependensi masalah kebijakan, yaitu masalah pada bidang tertentu berpengaruh terhadap bidang yang lain, artinya suatu masalh merupakan bagian dari suatu sistem masalah yang bersumber dari kondisi yang menimbulkan ketidakpuasan dari setiap kelompok. b) Subyektifitas masalah kebijakan, yaitu masalah publik meskipun bersifat sangat obyektif tetapi dalam proses artikulasinya tetap merupakan hasil berpikir dan hasil interpretasi dari analisis atau pengambilan kebijakan. c) Artifisial masalah kebijakan, dimana masalah tidak dapat dipisahkan dengan individu ataupun kelompok yang mengidentifikasikannya.
8
Arikunto, Suharsimi. 2000. Prosedur penelitian; suatu pendekatan praktek edisi ke 3. Jakarta. Rineke Cipta. h. 19. 9 Dunn, William N. 1999.Analisis Kebijakan Publik, Yogyakarta. Gajah Mada University Press. h.214-234.
Universitas Sumatera Utara
d) Dinamika masalah kebijakan, bahwa masalah selalu berada dalam suasana atau kondisi yang terus menerus berubah. Setiap masalah dapat didefinisikan dengan berbagai cara demikian pula pemecahannya. Adapun yang menjadi perumusan masalah dalam penelitian ini berdasarkan latar belakang yang sudah dijelaskan diawal adalah : Bagaimana proses perumusan kebijakan privatisasi BUMN pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2010)? I.3
Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah : 1. Untuk memberikan deskripsi tentang proses perumusan kebijakan privatisasi BUMN pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2010) 2. Untuk menganalisis proses perumusan kebijakan privatisasi BUMN tersebut.
I.4
Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dalam penelitian ini
adalah: 1. Secara subjektif, penelitian diharapkan bermanfaat untuk melatih, meningkatkan
dan
mengembangkan
kemampuan
berpikir
ilmiah,
sistematis dan metedologi penulis dalam menyusun suatu wacana baru dalam memperkaya penerapan ilmu pengetahuan dan wawasan kebijakan pemerintah khususnya tentang privatisasi BUMN.
Universitas Sumatera Utara
2. Secara praktis, penelitian ini menjadi sumbangan pemikiran bagi instansi terkait mengenai pentingnya memperhatikan perumusan kebijakan privatisasi BUMN yang sesuai dengan amanat
Undang-undang dan
kebutuhan publik. Penelitian ini juga diharapkan dapat dijadikan referensi untuk mengambil kebijakan yang mengarahkan pada kemajuan institusi dan pelayanan publik yang lebih berkualitas. 3. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dan memperkaya ragam penelitian yang telah dibuat oleh para mahasiswa bagi Departemen Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara serta dapat menjadi bahan referensi bagi terciptanya suatu karya ilmiah.
I.5
Kerangka Teori Teori adalah serangkaian asumsi, konsep, defenisi dan proposisi untuk
menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep dan kerangka teori disusun sebagai landasan berfikir untuk menunjukkan perspektif
yang digunakan dalam memandang fenomena sosial
yang menjadi objek penelitian 10. Kerangka teori adalah bagian dari penelitian, tempat peneliti memberikan penjelasan tentang hal-hal yang berhubungan dengan variabel pokok, sub variabel atau pokok masalah yang ada dalam penelitian 11.
10 11
Berikut akan dikemukakan
Singarimbun, Masri. 1999. Metode Penelitian Survei. Jakarta: LP3S. h. 37. Arikunto, Suharsimi. op. cit., h. 92.
Universitas Sumatera Utara
teori, gagasan, atau pendapat yang akan dijadikan titik tolak landasan berfikir dalam penelitian ini.
I.5.1
Konsep Kebijakan Publik Menurut Anderson kebijakan dipandang sebagai suatu tindakan yang
mempunyai tujuan yang dilakukan oleh seorang pelaku atau sejumlah pelaku untuk memecahkan suatu masalah. selanjutnya Anderson mengklasifikasikan kebijakan itu menjadi dua 12, yaitu : 1. Substantif, yaitu apa yang harus dilakukan pemerintah, dan 2. Prosedural, yaitu siapa dan bagaimana kebijakan itu diselenggarakan. Sedangkan menurut Woll, kebijakan publik adalah sejumlah aktifitas pemerintah untuk memecahkan masalah di masyarakat, baik secara langsung maupun melalui berbagai lembaga yang mempengaruhi kehidupan masyarakat 13. Mustopadidjaja mengatakan bahwa istilah kebijakan lazim digunakan dalam kaitannya dengan tindakan-tindakan atau kegiatan pemerintah serta perilakuperilaku negara pada umumnya dan kebijakan-kebijakan tersebut dituangkan dalam berbagai bentuk peraturan. Selanjutnya, Raksasatya memberikan defenisi kebijakan sebagai suatu taktik dan strategi yang diartikan untuk mencapai suatu tujuan. Oleh karena itu, tujuan kebijakan memuat tiga elemen 14, yaitu :
12
Nurcholis, Hanif. 2007. Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah. Jakarta. PT Grasindo. h. 263. 13 Tangkilisan, Hessel. 2003. Kebijakan Publik yang Membumi. Yogyakarta: Lukman Offset. h. 2. 14 Islamy, M Irfal. 2001. Prinsip-prinsip Perumusan Kebijakan Pemerintah. Jakarta. Bumi Aksara h. 7.
Universitas Sumatera Utara
1. Identifikasi dari tujuan yang ingin dicapai 2. Taktik/strategi dari berbagi langkah untuk mencapai tujuan yang diinginkan, dan 3. Penyediaan berbagai masukan untuk memungkinkan secara nyata dari taktik dan strategi. Daniel Easton menyebutkan bahwa kebijakan pemerintah adalah kekuasaan mengalokasikan nilai-nilai untuk masyarakat secara keseluruhan, ini mengandung konotasi tentang kewenangan pemerintah yang meliputi seluruh kehidupan bermasyarakat. Sementara menurut Hutington dan J.Nelson, dalam masyarakat modern masyarakat melihat pemerintah sebagai bagaian dari kehidupannya. Kebijakan pemerintah selalu dirasakan pengaruhnya dalam kehidupan masyarakat 15. James Anderson mengemukakan beberapa ciri dari kebijakan yang diperlukan untuk membedakan kebijakan dengan keputusan biasa dalam birokrasi pemerintahan 16. Ciri-ciri tersebut antara lain adalah : 1. Setiap kebijakan harus ada tujuannya (public policy is purposive goaloriented behavior rather than random or chance behavior). Artinya, pembuatan suatu kebijakan tidak lebih dari sekedar asal buat atau karena kebetulan ada kesempatan. Bila tidak ada tujuan maka tidak perlu ada kebijakan.
15
h. 86.
16
Abidin, Said Zainal. 2002. Kebijakan Publik Edisi Revisi. Jakarta: Yayasan Pancur Siwah. Ibid.,h. 41.
Universitas Sumatera Utara
2. Kebijakan tidak berdiri sendiri (public policy consist of courses of action rather than reparate, discrete decision performed by government officials). Terpisah dari kebijakan yang lain, tetapi berkaitan dengan berbagai kebijakan dalam masyarakat, dan berorientasi pada pelaksanaan, interpretasi, dan penegakan hukum. 3. Kebijakan adalah apa yang dilakukan pemerintah, bukan apa yang ingin atau diniatkan akan dilakukan pemerintah (policy is what government do not what they say wiil do or what they intend to do). 4. Kebijakan dapat berbentuk negatif atau melarang dan juga dapat berupa pengarahan untuk malaksanakan atau menganjurkan (public policy maybe either negative or positive). 5. Kebijakan didasarkan pada hukum, karena itu memiliki kewenangan untuk memaksa masyarakat mematuhinya (public policy is based on law and is authoritative). Dalam dimensi lingkungan yang dikenal kebijakan, pengertian publik disini adalah masyarakat. Suatu kebijakan publik biasanya tidak bersifat spesifik melainkan luas dan berada pada strata strategis. Karena itu, kebijakan pemerintah menjadi lebih terkait dengan kehidupan bermasyarakat, dan masyarakat menjadi lebih terbuka memberikan responnya. Kebijakan dianggap tepat dan dapat memberikan jawaban atas tuntutan masyarakat akan mendapatkan dukungan. Sebaliknya apabila dianggap bertentangan dan tidak berpihak kepada masyarakat maka kebijakan tersebut akan mendapatkan tentangan.
Universitas Sumatera Utara
Dari berbagai defenisi kebijakan yang telah dipaparkan oleh beberapa ahli tersebut, maka penulis menyimpulkan bahwa kebijakan publik adalah kebijakankebijakan yang dibuat dalam bentuk peraturan-peraturan yang mengikat bagi sekelompok orang ataupun masyarakat untuk dipatuhi dan dilaksanakan sesuai dengan hukum dan aturan yang telah ditetapkan pemerintah sebagai pemegang otoritas kebijakan. I.5.2
Analisis Kebijakan Publik Berdasarkan pengertian terhadap kebijakan publik baik sebagai substansi
maupun proses, tentu akan lebih mudah dipahami pengertian analisis kebijakan. Analisis secara harafiah berarti menguraikan, memilah-milah sesuatu menjadi unsur-unsur yang lebih kecil, dan berupaya untuk mencari keterangan dan penjelasan kelakuan unsur-unsur itu 17. Lantas, apabila analisis digabungkan dengan kebijakan menjadi kalimat “analisis kebijakan”, maka pengertiannya adalah menguraikan kebijakan (baik substansi dan prosesnya) untuk memperoleh pengertian yang mendalam tentang rincian atau detil kebijakan. Perlu diingat, memperoleh pengertian yang mendalam, bukan berfilsafat (mencari makna yang hakiki). Carl W.Patton dan David S.Savicky, menjelaskan bahwa analisis kebijakan adalah tindakan yang diperlukan untuk dibuatnya sebuah kebijakan, baik kebijakan yang baru sama sekali, atau kebijakan yang baru sebagai
17
http://elib.pdii.lipi.go.id/katalog/index.php/searchkatalog/byId/1449
Universitas Sumatera Utara
konsekuensi dari kebijakan yang ada 18 . Analisis Kebijakan (policy analysis) merupakan suatu aktivitas intelektual dan praktis yang ditujukan untuk menciptakan, secara kritis menilai, dan mengkomunikasikan pengetahuan tentang dan di dalam proses kebijakan. Analisis kebijakan diambil dari berbagai macam disiplin dan profesi yang tujuannya bersifat deskriptif, evaluatif, dan preskriptif 19. Para pengambil keputusan dalam mengambil sebuah kebijakan yang akan digunakan terlebih dahulu melakukan sebuah analisis kebijakan yang hendak dibuat. Dalam membuat analisis kebijakan, dikenal langkah-langkah yang dijelaskan dalam gambar berikut: Gambar 1.2. Proses Dasar Analisis Kebijakan
Sumber : Patton & Sawicki, 1986
18
Nugroho, Riant, 2003, KEBIJAKAN PUBLIK Formulasi, Implementasi, dan Evaluasi, Jakarta: Elex Media Komputindo. h. 88. 19 Dunn, William N., 2000, Pengantar Analisis Kebijakan Publik Edisi Kedua, Yogyakarta : Gajah Mada University Press. h. 44.
Universitas Sumatera Utara
Analisis kebijakan dapat diharapkan untuk menghasilkan informasi dan argumen-argumen yang masuk akal mengenai tiga macam pertanyaan, yaitu 20 : 1. Nilai yang pencapaiannya merupakan tolak ukur utama yang melihat apakah masalah telah teratasi. 2. Fakta
yang
keberadaannya
dapat
membatasi
atau
meningkatkan
pencapaian nilai-nilai, dan 3. Tindakan yang penerapannya dapat menghasilkan pencapaian nilai-nilai. Riant Nugroho mengatakan bahwa analisis kebijakan yang baik adalah analisis kebijakan yang preskriptif, karena memang peranannya adalah memberikan rekomendasi kebijakan yang patut diambil oleh eksekutif
21
. Oleh
karena itu, setiap analisis kebijakan yang banyak dipakai selalu menyusun struktur analisisnya sebagai berikut :
Pendahuluan Masalah Kebijakan Alternatif Kebijakan Alternatif Terpilih Rencana Implementasi Penutup
20 21
Ibid., h. 97. Nugroho, Riant. op. cit., h. 88.
Universitas Sumatera Utara
Kebijakan merupakan objek analisis dalam analisis kebijakan. objek ini dapat sebagai substansi (kebijakan itu sendiri) maupun prosesnya (masukan kebijakan
pembuatan kebijakan
Berdasarkan objek
ini,
hasil kebijakan
dampak kebijakan).
maka secara umum analisis kebijakan dapat
dikelompokkan menjadi dua, yaitu 22: 1. Analisis kebijakan yang menekankan pada isi kebijakan (policy content), yaitu menguraikan unsur-unsur dari kebijakan itu sendiri dalam suatu perspektif atau sudut pandang tertentu. 2. Analisis kebijakan yang menekankan pada proses kebijakan (policy process), yaitu menguraikan bagaimana cara, teknik, jalan, hubungan dan jaringan suatu kebijakan dibuat, dilaksanakan dan dinilai. Pada umumnya lebih banyak berurusan dengan isu-isu organisasi dan pengambilan keputusan (decision making process) dalam organisasi. Analisis terhadap isi kebijakan tidak dapat dipisahkan dengan analisis terhadap proses kebijakan. Dalam kerangka ini, analisis terhadap keduanya yaitu isi dan proses kebijakan juga disebut sebagai studi kebijakan (policy studies). Dalam studi kebijakan, analisis dapat dikategorikan menjadi dua jenis, yaitu 23: 1) Analisis untuk kebijakan (analysis for policy), yaitu analisis isi kebijakan dalam rangka perumusan kebijakan (policy formulation).
22
http://elib.pdii.lipi.go.id/katalog/index.php/searchkatalog/byId/1449 Aminullah, Erman; Analisis Kebijakan (Pendekatan, Metode, dan Teknik Analsis), Warta Pengelolaan LITBANG Pengembangan IPTEK, Vol.8, No.20, 1997:6 23
Universitas Sumatera Utara
2) Analisis dari kebijakan (analysis of policy), yaitu analisis isi kebijakan dalam tahap pelaksanaan kebijakan (policy implementation) dalam rangka evaluasi kebijakan (policy evaluation). Seorang penganalisis kebijakan umumnya lebih menaruh perhatian kepada hal yang disebutkan terakhir, yaitu analisis dari kebijakan yang menekankan pada tahap pelaksanaan dalam rangka penilaian kebijakan. Sedangkan analisis untuk kebijakan lebih banyak dilakukan oleh politisi, jurnalis, pengamat politik dalam bentuk pengembangan isu-isu kebijakan (policy advocacy). I.5.3
Prosedur Analisis Kebijakan Dalam menggunakan analisis kebijakan sebagai proses pengkajian
(inquiry), maka perlu dibedakan antara metodologi, metode, dan teknik. Metodologi analisis kebijakan menggabungkan standar, aturan, dan prosedur. Prosedur merupakan subordinat dari standar plausabilitas dan relevansi kebijakan, sehingga peranan prosedur adalah menghasilkan informasi mengenai masalah kebijakan, masa depan kebijakan, aksi kebijakan, hasil kebijakan, dan kinerja kebijakan. Prosedur sendiri tidak menghasilkan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan. Metodologi analisis kebijakan menggabungkan lima prosedur umum yang lazim dipakai dalam pemecahan masalah manusia : defenisi, prediksi, preskripsi, deskripsi dan evaluasi. Dalam analisis kebijakan, prosedur-prosedur tersebut memiliki nama khusus. Perumusan masalah (defenisi) menghasilkan informasi mengenai kondisikondisi yang menimbulkan masalah kebijakan. Peramalan (prediksi) menyediakan
Universitas Sumatera Utara
informasi mengenai konsekuensi di masa mendatang dari penerapan alternatif kebijakan, termasuk tidak melakukan sesuatu. Rekomendasi (preskripsi) menyediakan informasi mengenai nilai atau kegunaan relatif dari konsekuensi di masa depan dari suatu pemecahan masalah. Pemantauan (deskripsi) menghasilkan informasi tentang konsekuensi sekarang dan masa lalu dari diterapkannya alternatif kebijakan. Evaluasi, yang mempunyai nama yang sama dengan yang dipakai dalam bahasa sehari-hari, menyediakan informasi mengenai nilai atau kegunaan dari konsekuensi pemecahan masalah. Kelima prosedur analisis kebijakan tersebut berguna sebagai alat untuk menggambarkan keterkaitan antar metode-metode dan teknik-teknik analisis. I.5.4
Proses Pembuatan Kebijakan Proses analisis kebijakan adalah serangkaian aktifitas intelektual yang
dilakukan didalam proses kegiatan yang pada dasarnya bersifat politis. Aktifitas politik
tersebut
dijelaskan
sebagai
proses
pembuatan
kebijakan
dan
divisualisasikan sebagai serangkaian tahap yang saling bergantung satu dengan yanh lain yang diatur menurut urutan waktu: penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan, dan penilaian kebijakan. Proses pembuatan kebijakan publik melibatkan aktivitas pembuatan keputusan yang cenderung mempunyai percabangan yang luas, mempunyai pespektif jangka panjang dan penggunaan sumber daya kritis untuk meraih kesempatan yang diterima dalam kondisi lingkungan yang berubah. Pembuatan kebijakan
Universitas Sumatera Utara
merupakan proses sosial yang dinamis dengan proses intelektual yang lekat didalamnya 24. I.5.5
Teori-Teori Perumusan Kebijakan Terdapat tiga teori perumusan kebijakan yang dianggap paling sering
dibicarakan dalam bebagai kepustakaan kebijaksanaan negara. Teori-teori yang dimaksud ialah : Teori rasional komprehensif, teori ikremental, teori pengamatan terpadu. a. Teori Rasional Komprehensif (The Rational-Comprehensive Theory) Model ini didasarkan dari teori ekonomi atau konsep manusia ekonomi (concept of an man). Menurut konsep manusia-ekonomi, semua individu tahu tentang pelbagai macam alternatif yang tersedia pada situasi tertentu. Sehubungan dengan hal itu setiap orang akan berperilaku rasional yaitu akan membuat pilihan-pilihan sedemikian rupa sehingga mencapai nilai yang paling tinggi. Model rational comprehensive, menekankan pada pembuatan keputusan-keputusan yang rasional dengan bermodalkan pada komprehensivitas informasi dan keahlian pembuatan keputusan. Konsep rasional sama dengan konsep efisiensi, karena itu dapat dikatakan behwa kebijaksanaan yang rasional adalah suatu kebijaksanaan yang sangat efisiendi mana rasio antara nilai yang dicapai dan nilai yang dikorbankan adalah positif dan lebih tinggi dibandingkan dengan alternatif-alternatif
24
Winarno, Budi. 2002. Teori dan Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta: Media Pressindo.
h. 68.
Universitas Sumatera Utara
yang lain. Menurut Yehezkel Dror, dalam membuat kebijaksanaan yang rasional, pembuat kebijaksanaan harus 25: 1) Mengetahui semua nilai-nilai yang ada pada masyarakat; 2) Mengetahui
semua
alternatif-alternatif
kebijaksanaan
yang
tersedia; 3) Mengetahui
semua
konsekuensi
dari
setiap
alternatif
kebijaksanaan; 4) Menghitung rasio antara tujuan dan nilai-nilai sosial yang dikorbankan bagi setiap alternatif kebijaksanaan; 5) Memilih alternatif kebijaksanaan yang paling efisien. b. Teori Inkremental Model ini timbul karena kritik atas model rasional komprehensif yang mendasarkan diri dari konsep economic man, pada model incremental disebut priciple of bounded rationality atau satisficing mendasarkan diri dari administratif man. Konsep ini mengakui adanya keterbatasan-keterbatasan pengetahuan dan keahliannya, sehingga tidak akan mampu mempertimbangkan semua nilai-nilai sosial (alternatif) serta dampaknya secara detail. Administratif man selalu dibimbing oleh sistem nilai dan rasa tanggung jawab untuk mencapai tujuan di dalam memilih alternatif-alternatif kebijaksanaannya. Karena itu administratif man berpikir secara pragmatis dengan cukup memuaskan diri (satisfices)
25
Yehezkel Dror, Public Policy Making Re-examined, dalam Irfan Islamy,2001. Prinsipprinsip Perumusan Kebijakan Pemerintah. Jakarta. Bumi Aksara, h. 50.
Universitas Sumatera Utara
dengan memilih suatu alternatif yang dianggapnya baik, yang dijumpainya pertama kali dengan tidak mau bersusah payah mencari alternatif-alternatif lain guna mendapatkan suatu pilihan yang terbaik. Model inkremental didasarkan dari teori sarjana ekonomi yang bernama Charles E. Lindblom yang menjelaskan tentang proses pembuatan keputusan dalam buku “The Science of Muddling Though”. Model ini memandang kebijaksanaan negara sebagai suatu kelanjutan kegiatan-kegiatan pemerintah di masa lalu dengan hanya mengubahnya sedikit-sedikit. Dengan demikian perumusan kebijaksanaan dengan model inkremental akan terjadi secara terusmenerus, tidak sekali untuk selamanya. Perumusan kebijaksanaan dengan model ini menggunakan analisa yang sederhana, secara politik tepat, berlandaskan sistem nilai, mampu menghilangkan konflik dan menjamin stabilitas politik. 26 c. Teori Pengamatan Terpadu (Mixed Scanning Theory) Pencetus model ini adalah seorang sosiolog yang bernama Amital Etzioni. Model ini lahir setelah Etzioni mempelajari model rasional komprehensif dan inkremental. Etzioni membedakan dua jenis keputusan yaitu contextuating (fundamental) decisions yaitu keputusan-keputusan yang dibuat melalui penjelajahan terhadap alternatif utama yang dilihat oleh pembuat keputusan sesuai dengan konsepsi tujuan yang akan dicapai, dan bit (incremenatal) decisions yaitu keputusan-keputusan yang dibuat
26
Irfan Islamy. op. cit., h. 59.
Universitas Sumatera Utara
secara inkremental yang didasarkan atas keputusan-keputusan fundamental yang telah dibuat 27. Dari
model-model
yang
telah
dikemukakan
diatas,
kesemuanya
mengandung kelemahan-kelemahan dan kebaikan-kebaikan. Akan tetapi yang jelas keputusan pembuatan kebijaksanaan adalah dari pembuat kebijaksanaan untuk mengambil keputusan guna memilih salah satu model harus didasarkan dari kriteria-kriteria tertentu yang dianggapnya paling baik. Di antara kriteria tertentu tersebut yang paling dominan adalah pengaruh decisions makker`s values (nilainilai/standar pembuat keputusan itu sendiri) dan enviromental
ifnluence
(pengaruh lingkungan) sistem politik baik berupa politik, ekonomi, sosial, keamanan, geografis, dan sebagainya. Kedua hal tersebut banyak mempengaruhi pembuatan keputusan dalam menentukan model-model pembuatan keputusan.
I.5.6
Faktor Strategis yang Berpengaruh dalam Perumusan Kebijakan Dalam perumusan kebijakan publik paling tidak terdapat sebanyak enam
faktor strategis yang biasanya mempengaruhi. Faktor-faktor tersebut meliputi 28: 1. Faktor politik. Faktor ini perlu dipertimbangkan dalam perumusan suatu kebijakan publik, karena dalam perumusan suatu kebijakan diperlukan dukungan dari berbagai aktor kebijakan (policy actors), baik aktor-aktor dari pemerintah maupun dari kalangan bukan pemerintah (pengusaha, LSM, asosiasi profesi, media massa, dan lain-lain).
27
Emital Etzioni, Mixed Scanning; A “third” Approach to Decision making, dalam public Administration Review XXVII, dalam Irfan Islamy, ibid., h. 70-71. 28 http://stialan.ac.id/artikel%20hamka.pdf. h. 5.
Universitas Sumatera Utara
2.
Faktor ekonomi/finansial. Faktor ini pun perlu dipertimbangkan terutama apabila kebijakan tersebut akan menggunakan atau menyerap dana yang cukup besar atau akan berpengaruh pada situasi ekonomi dalam suatu daerah.
3. Faktor administratif/organisatoris. Dalam perumusan kebijakan perlu pula dipertimbangkan faktor administratif atau organisatoris yaitu apakah dalam pelaksanaan kebijakan itu benar-benar akan didukung oleh kemampuan administratif yang memadai, atau apakah sudah ada organisasi yang akan melaksanakan kebijakan itu. 4. Faktor
teknologi.
Dalam
perumusan
kebijakan
publik
perlu
mempertimbangkan teknologi yaitu apakah teknologi yang ada dapat mendukung apabila kebijakan tersebut diimplementasikan. 5. Faktor sosial, budaya, dan agama. Faktor ini pun perlu dipertimbangkan, misalnya apakah kebijakan tersebut tidak menimbulkan benturan sosial, budaya, dan agama atau yang sering disebut masalah Sara. 6. Faktor pertahanan dan keamanan. Faktor pertahanan dan keamanan ini pun
akan berpengaruh dalam perumusan kebijakan, misalnya apakah
kebijakan yang akan dikeluarkan tidak mengganggu stabilitas keamanan suatu daerah.
Universitas Sumatera Utara
I.5.7 Tahap-tahap Perumusan Kebijakan Winarno mengemukakan suatu keputusan kebijakan mencakup tindakantindakan oleh seorang pejabat atau lembaga resmi untuk menyetujui, mengubah, atau menolak suatu alternatif kebijakan yang dipilih 29 . Tahap-tahap perumusan kebijakan itu terlahir dari beberapa tahapan atau langkah-langkah mekanisme pembuatan sebuah kebijakan yaitu : a. Perumusan Masalah Mengenali dan merumuskan masalah merupakan langkah yang paling fundamental dalam perumusan kebijakan. Untuk dapat merumuskan kebijakan dengan baik, maka masalah-masalah publik harus dikenali dan didefinisikan dengan baik pula. Kebijakan publik pada dasarnya dibuat untuk memecahkan masalah-masalah yang ada dalam masyarakat. b. Agenda Kebijakan Tidak semua masalah publik akan masuk ke dalam agenda kebijakan. Masalah-masalah tersebut saling berkompetisi antara satu dengan yang lain. Hanya masalah-masalah tertentu yang pada akhirnya masuk ke dalam agenda kebijakan. Suatu masalah untuk masuk ke dalam agenda kebijakan harus
memenuhi
syarat-syarat
tertentu,
seperti
masalah
tersebut
mempunyai dampak yang besar bagi masyarakat dan membutuhkan penanganan yang harus segera dilakukan.
29
Winarno, Budi. 2008. Kebijakan Publik Teori dan Proses. Jakarta: PT Buku Kita. h. 119-
123.
Universitas Sumatera Utara
c. Pemilihan Alternatif Kebijakan untuk Memecahkan Masalah Setelah masalah-masalah publik didefinisikan dengan baik dan para perumus kebijakan sepakat untuk memasukkan masalah tersebut ke dalam agenda kebijakan, maka langkah selanjutnya adalah membuat pemecahan masalah. Para perumus kebijakan akan berhadapan dengan alternatifalternatif pilihan kebijakan yang dapat diambil untuk memecahkan masalah tersebut. d. Tahap Penetapan Kebijakan Setelah satu dari sekian alternatif kebijakan diputuskan diambil sebagai cara untuk memecahkan masalah kebijakan, maka tahap paling akhir dalam pembentukan kebijakan adalah menetapkan kebijakan yang dipilh tersebut sehingga mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
I.5.8
Aktor-aktor Dalam Perumusan Kebijakan Ada perbedaan penting diantara aktor-aktor pembuat kebijakan di negara
berkembang dan negara maju. Di negara berkembang, struktur pembuatan kebijakan cenderung lebih sederhana dibandingkan dengan negara maju. Kecenderungan struktur pembuatan keputusan di negara maju lebih kompleks. Perbedaan ini disebabkan oleh aktor-aktor yang terlibat dalam perumusan kebijakan.
Di
negara
berkembang
dimana
perumusan
kebijakan
lebih
dikendalikan oleh elit politik dengan pengaruh massa rakyat lebih sedikit, maka proses kebijakan cenderung lebih sederhana. Sementara itu, di negara-negara Eropa Barat dan Amerika dimana setiap warga negara mempunyai kepentingan
Universitas Sumatera Utara
terhadap kebijakan publik negaranya, kondisi ini akan mendorong struktur yang lebih kompleks. Menurut James Anderson, aktor-aktor atau pemeran serta dalam proses perumusan kebijakan dapat dibagi kedalam dua kelompok yakni para pemeran serta resmi dan para pemeran serta tidak resmi 30 . Yang termasuk kedalam pemeran serta resmi adalah agen-agen pemrintah (birokrasi), presiden (eksekutif), legislatif dan yudikatif. Sedangkan yang termasuk dalam kelompok pemeran serta tidak resmi meliputi kelompok-kelompok kepentingan, partai politik dan warga negara individu. I.5.9
Badan Usaha Milik Negara
I.5.9.1 Pengertian Badan Usaha Milik Negara Keberadaan BUMN di Indonesia seiring dengan dinamika politik tanah air yaitu dimulai dari pembentukan pemerintahan presidensial pada November 1957, Presiden Soekarno mengumumkan penyatuan Irian Barat dan nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda yang beroperasi di Indonesia yang diperkuat oleh penerbitan UU No.19 PRP/1960 tentang Perusahaan Negara
31
.Keberadaan
BUMN di Indonesia berkaitan erat dengan amanat Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 pasal 33, khususnya ayat (2) dan (3) yaitu 32 : ayat (2) : cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara.
30
31
Winarno, Budi. op. cit., h. 84. Moeljono, Djokosantoso. 2004. Reinvensi BUMN. Jakarta: Elex MediaKomputindo-
Gramedia.
32
Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945, pasal 33.
Universitas Sumatera Utara
ayat (3) : Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Secara eksplisit disebutkan dalam pasal 33 tersebut bahwa perekonomian Indonesia diselenggarakan oleh koperasi, perusahaan swasta dan Badan Usaha Milik Negara. Peranan BUMN dalam pengelolaan bisnis yang menangani kepentingan masyarakat artinya BUMN berperan strategis dan vital bagi kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial sebagai upaya pemenuhan kewajiban dan cita-cita negara seperti tertuang dalam pembukaan UUD 1945 alinea IV yang berbunyi :”... melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa ...”. Pengertian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menurut keputusan Menteri BUMN No.KEP-100/MBU/2002 adalah badan usaha milik negara yang berbentuk perusahaan (Persero) sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 12 tahun 1998 dan Perusahaan Umum (Perum) sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah No.13 tahun 1998 33. Sedangkan dalam UU No.19 Tahun 2003 disebutkan bahwa BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan 34. Maka secara garis besar yang disebut dengan Badan Usaha Milik
33 34
KEPMEN BUMN No.KEP-100/MBU/2002 Tentang Penilaian Tingkat Kesehatan BUMN Republik Indonesia, UU No.19 Tahun 2003 tentang BUMN
Universitas Sumatera Utara
Negara adalah badan usaha yang sebagian atau seluruh kepemilikannya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia. Dalam sistem perekonomian nasional, BUMN ikut berperan menghasilkan barang dan/atau jasa yang diperlukan dalam rangka mewujudkan yang sebesarbesarnya kemakmuran rakyat atau masyarakat. Peran BUMN dirasakan semakin penting sebagai pelopor dan/atau perintis dalam sektor-sektor usaha yang belum diminati usaha swasta. Disamping itu, BUMN juga mempunyai peran strategis sebagai pelaksana pelayanan publik, penyeimbang kekuatan-kekuatan swasta besar dan turut membantu pengembangan usaha kecil/koperasi. BUMN juga merupakan salah satu sumber penerimaan Negara yang signifikan dalam bentuk berbagai jenis pajak, dividen, dan hasil privatisasi. BUMN juga mempunyai fungsi bisnis yaitu sebagai unit ekonomi, alat kebijaksanaan pemerintah/agen pembangunan. Sebagai unit ekonomi, BUMN dituntut untuk mencari keuntungan sebagaimana perusahaan swasta umumnya. Sedangkan sebagai agen pembangunan, BUMN dituntut untuk menjalankan misi pemerintah dengan sebaik-baiknya. Berarti setiap BUMN harus menjalankan fungsi tersebut sekaligus, meskipun dengan bobot yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya 35.
35
Ibrahim, 1997, BUMN dan Kepentingan Umum, Jakarta: PT. Citra Aditya. h. 135.
Universitas Sumatera Utara
I.5.9.2 Bentuk-bentuk Badan Usaha Milik Negara Setelah dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, dimana bentuk BUMN terbagi menjadi 2 (dua) , yaitu 36 : a) Perusahan Perseroan, yang selanjutnya disebut PERSERO, menurut UU Nomor 19 Tahun 2003 dan PP Nomor 12 Tahun 1998 adalah BUMN yang dibentuk berdasarkan UU Nomor 9 Tahun 1969 yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT) sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 1 Tahun 1995 yaitu minimal 51% sahamnya dimiliki oleh negara dan tujuan utamanya mengejar keuntungan guna meningkatkan nilai perusahaan dan menyediakan barang dan jasa bermutu tinggi dan berdaya saing kuat. Pendirian
Persero
berbeda
dengan
pendirian
badan
hukum
(perusahaan) pada umumnya. Pendirian Persero diusulkan oleh Menteri kepada Presiden disertai dengan dasar pertimbangan setelah dikaji bersama Menteri Teknis dan Menteri Keuangan. Organ Persero terdiri atas RUPS, Direksi dan Komisaris. b) Perusahaan Umum, yang selanjutnya disebut PERUM menurut PP Nomor 13 Tahun 1998 dan UU Nomor 19 Tahun 2003 adalah BUMN yang dibentuk berdasarkan UU Nomor 9 Tahun 1969 yang mana seluruh modalnya dimiliki Negara berupa kekayaan Negara yang dipisahkan dan tidak terbagi atas saham, tujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan sekaligus
36
Republik Indonesia, UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN, pasal 1.
Universitas Sumatera Utara
mengejar keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan. Sifat usaha perum lebih kepada pelayanan publik namun tetap diharapkan menghasilkan laba untuk kelangsungan usahanya.Pada dasarnya proses pendirian Perum sama dengan pendirian Persero. Organ Perum adalah Menteri, Direksi dan Dewan Pengawas.
I.5.9.3 Tujuan Pendirian Badan Usaha Milik Negara Pendirian, pengawasan, serta pembubaran Badan Usaha Milik Negara (BUMN) diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2005 baik itu yang berbentuk Perum maupun Persero. Dalam PP ini yang dimaksud dengan pendirian adalah pembentukan Persero atau Perum yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Dalam pasal (4) PP No.45 Tahun 2005 disebutkan bahwa pendiran BUMN meliputi37: a) b) c) d)
pembentukan Perum atau Persero baru; perubahan bentuk unit instansi pemerintah menjadi BUMN; perubahan bentuk badan hukum BUMN; atau pembentukan BUMN sebagai akibat dari peleburan Persero dan Perum
Dalam pasal (5) disebutkan bahwa pendirian BUMN ditetapkan oleh Peraturan Pemerintah dan di dalamnya,sekurang-kurangnya memuat 38: a. Penetapan pendirian BUMN; b. Maksud dan tujuan pendirian BUMN; dan c. Penetapan besarnya penyertaan kekayaan negara yang dipisahkan dalam rangka pendirian BUMN. Pendirian BUMN dilakukan dengan mengalihkan unit instansi pemerintah menjadi BUMN, maka dalam Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada 37
Republik Indonesia, PP Nomor 45 Tahun 2005 tentang Pendirian, pengawasan, serta pembubaran Badan Usaha Milik Negara, pasal 4. 38 Republik Indonesia, Ibid., pasal 5.
Universitas Sumatera Utara
ayat (1), dimuat ketentuan bahwa seluruh atau sebagian kekayaan, hak dan kewajiban unit instansi pemerintah tersebut beralih menjadi kekayaan, hak dan kewajiban BUMN yang didirikan. Selanjutnya dalam pasal (6) disebutkan BUMN mempunyai tempat kedudukan di wilayah Negara Republik Indonesia yang ditentukan dalam anggaran dasar. Pendirian BUMN dilakukan dengan memperhatikan ketentuan mengenai tata cara penyertaan modal dalam dalam rangka pendirian BUMN. Pendirian BUMN menurut UU Nomor 19 Tahun 2003 pasal (2) memiliki maksud tujuan antara lain: 1.Memberi kontribusi bagi perkembangan perekonomian nasional secara umum. 2.Menjadi salah satu sumber pendapatan negara melalui penerimaan pajak, deviden dan privatisasi. 3.Mengejar keuntungan. 4.Menyelenggarakan pelayanan publik berupa barang dan jasa yang memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak. 5.Sebagai perintis dalam kegiatan usaha yang membutuhkan modal besar yang belum dapat dijalankan oleh sektor swasta dan koperasi. 6.Berperan aktif dalam membina dan memberdayakan pengusaha golongan ekonomi lemah, UKM, koperasi dan masyarakat. Tujuan politik ekonomi dari pendirian BUMN menurut Mardjana 39, yaitu : 1.Sebagai wadah bisnis aset asing yang dinasionalisasi. 2.Membangun industri yang diperlukan masyarakat namun masyarakat atau swasta tidak mampu memasukinya, baik karena alasan investasi yang sangat besar maupun risiko usaha yang sangat besar. 3.Membangun industri yang sangat strategis karena berkenaan dengan keamanan dan stabilitas negara. 39
Riant Nugroho D dan Randy Wrihatnolo. op. cit.,
Universitas Sumatera Utara
I.5.10 Privatisasi I.5.10.1 Pengertian Privatisasi Privatisasi merupakan kebijakan publik yang mengarahkan bahwa tidak ada alternatif lain selain pasar yang dapat mengendalikan ekonomi secara efisien, serta menyadari bahwa sebagian besar kegiatan pembangunan ekonomi yang dilaksanakan selama ini seharusnya diserahkan kepada sektor swasta. Menurut Joseph Stiglitz, mantan Presiden Bank Dunia, privatisasi adalah lawan dari nasionalisasi. Dalam Economics of Public Sector (1988) ia menyampaikan bahwa proses konversi perusahaan swasta (private enterprise) menjadi perusahaan negara (public enterprise) disebut nasionalisasi, sementara proses pengkonversian perusahaan negara menjadi perusahaan swasta disebut sebagai privatisasi. 40 Pengertian privatisasi juga dikemukakan oleh Beesley dan Littlechild (1980-an) yang secara umum, “Privatisasi” diartikan sebagai “pembentukan perusahaan”. Sedangkan menurut Company Act, privatisasi diartikan sebagai penjualan yang berkelanjutan sekurang-kurangnya sebesar 50% dari saham milik pemerintah ke pemegang saham swasta. Dunleavy juga mengartikan privatisasi sebagai pemindahan permanen aktivitas produksi barang dan jasa yang dilakukan oleh perusahaan negara ke perusahaan swasta atau bentuk organisasi non-sektor publik, seperti lembaga swadaya masyarakat.41
40
Purwo Santoso dkk, Menembus Ortodoksi Kajian Kebijakan Publik, FISIPOL UGM, Yogyakarta, 2004, h. 97. 41 Bastian, Indra. op. cit., h. 20.
Universitas Sumatera Utara
Sedangkan pengertian privatisasi menurut Pasal 1 Point (12) Undangundang
No. 19 Tahun 2003 adalah penjualan saham Persero, baik sebagian
maupun seluruhnya, kepada pihak lain dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi negara danmasyarakat serta memperluas pemilikan saham oleh masyarakat.
I.5.10.2 Maksud dan Tujuan Privatisasi Pemerintah yang melakukan privatisasi perusahaan sektor publik dapat dipastikan memiliki motif tertentu. Motivasi penjualan perusahaan negara atau perusahaan negara yang dikontrakkan dengan pihak swasta adalah peningkatan efisiensi sektor publik, selayaknya kinerja efisiensi sektor swasta. Selain itu, harapan kemungkinan laba, insentif yang lebih tinggi, efisien, dan berorientasi kepada konsumen merupakan berbagai motivasi tambahan bagi perusahaan yang diprivatisasi 42. Menurut Undang-undang Nomor 19 tahun 2003 pasal 74, privatisasi dilakukan dengan maksud untuk : a. memperluas kepemilikan masyarakat atas Persero; b. meningkatkan efisiensi dan produktivitas perusahaan; c. menciptakan struktur keuangan dan menejemen keuangan yang baik/kuat; d. menciptakan struktur industri yang sehat dan kompetitif; e. menciptakan Persero yang berdaya saing dan berorientasiglobal; f. menumbuhkan iklim usaha, ekonomi makro, dan kapasitas pasar.
Sedangkan tujuan privatisasi adalah untuk meningkatkan kinerja dan nilai tambah perusahaan dan meningkatkan peran serta masyarakat dalam pemilikan 42
Bastian, Indra. op. cit.,. h. 42.
Universitas Sumatera Utara
saham. Tujuan ini tercantum dalam Pasal 74 ayat (2). Prinsip-prinsip privatisasi adalah transparansi,
kemandirian,
akuntabilitas,
pertanggungjawaban dan
kewajaran.
I.5.10.3 Metode Privatisasi Salah satu hal terpenting dalam proses privatisasi adalah menentukan metode privatisasi apa yang akan digunakan. Pentingnya pemilihan metode privatisasi ini karena akan berkaitan dengan nilai jual dan penerimaan pemerintah dari BUMN yang akan diprivatisasi, pemilikan, manfaat dan kinerja BUMN yang akan diprivatisasi di masa mendatang. Menurut Indra Bastian, privatisasi badan usaha milik negara dapat dilakukan dalam beberapa cara, yaitu 43 : 1. Penawaran Umum (Floation) Adalah penjualan saham perusahaan melalui pasar modal hingga 100% kepemilikan saham dan penawaran saham untuk pertama kali disebut Initial Public Offering (IPO) yang mana dapat berupa saham yang telah ada maupun saham baru. 2. Penempatan Langsung (Direct Placement) Merupakan penjualan saham perusahaan sampai dengan 100% kepada pihak-pihak lain dengan cara negosiasi, umumnya melalui tender. Hal ini dapat juga disebut private placement (penjualan langsung ke satu investor secara borongan), strategic sale atau trade sale. Tipe dari penempatan langsung ini terutama tergantung pada kebutuhan perusahaan. 43
Bastian, Indra. op. cit., h. 171-175.
Universitas Sumatera Utara
3. Management Buy Out (MBO) Adalah pembelian saham mayoritas oleh suatu konsorsium yang diorganisasi dan dipimpin oleh manajemen perusahaan yang bersangkutan. Biasanya manajer hanya menempatkan sedikit modal dan diikuti oleh investor lain seperti bank investasi atau perusahaan modal ventura. 4. Likuidasi (Liquidation) Sebagai metode untuk menyebarkan atau mencairkan kembali aset dan tenaga
kerja
agar
lebih
produktif.
Pihak
yang
melikuidasi
akan
mempertimbangkan hasil terbaik apakah yang akan diperoleh dengan cara menjual perusahaan sebagai usaha yang sedang berjalan atau menjual asetnya. 5. Privatisasi Lelang (Auction Privatization) Berdasarkan SK Menkeu No.47/KMK.01/1996 pelelangan aset negara dapat dilakukan oleh Balai Lelang Swasta. SK tersebut untuk menguatkan peran profesional swasta untuk menangani aset negara yang akan dilelang. Namun sesuai ketentuan pemerintah, BLS hanya diijinkan oleh pemerintah untuk menyelenggarakan kegiatan pralelang sedangkan untuk menyelenggarakan kegiatan lelang ditangani oleh Kantor Lelang Negara (KLN). 6. Dana Perwalian Privatisasi (Privatization Trust Fund) Adalah apabila BUMN tidak dapat dijual saat ini maka pemerintah akan menjual saham yang tidak terjual kepada sebuah dana perwalian yang akan mengelola portofolionya, menerima deviden dan menjual kepemilikannya pada saat kondisi pasar yang tepat. Dana perwalian adalah sebuah perusahaan yang mengelola dana yang dimiliki oleh pemerintah untuk tujuan laba dan diawasi oleh
Universitas Sumatera Utara
trustee yang diangkat oleh pemerintah dan pengelolaan dana perwalian dilakukan oleh manajer investasi yang profesional. 7. Penjualan Aset (Asset Sale) Adalah metode yang memisahkan aset yang tidak bermasalah dari perseroan dan menjualnya sehingga dapat digunakan oleh swasta. Cara ini bermanfaat saat perusahaan mengalami masalah-masalah yang menghambat. 8. Konsesi (Concise) Adalah sewa aset jangka panjang untuk 25 atau 30 tahun, pemegang konsesi memiliki hak untuk menjalankan usaha dan memelihara aset yang ada dan menambahkan aset jika perlu. Konsesi diberikan melalui tender dengan beberapa syarat yang harus dipenuhi antara lain pengalaman, tingkat pembayaran sewa dan proposal investasi. 9. Sewa Guna Usaha (Lease) Metode ini memberikan lesse hak untuk mengelola sekumpulan aset untuk jangka waktu yang singkat umumnya 4 sampai 5 tahun, tetapi pemiliknya tetap bertanggung jawab untuk menambah aset tersebut dan umumnya juga memelihara aset yang ada. Pemerintah selaku pemegang saham adalah pihak yang berwenang menentukan modus atau metode privatisasi yang akan digunakan sedangkan manajemen BUMN berkewajiban melakukan persiapan privatisasi. Dari beberapa metode yang ada, PP No.33 tahun 2005 tentang Tata Cara Privatisasi Perusahaan
Universitas Sumatera Utara
Perseroan menentukan bahwa metode yang dapat digunakan pemerintah dalam privatisasi adalah 44 : 1. Floating. Adalah penjualan saham berdasarkan ketentuan pasar modal antara lain penjualan saham melalui penawaran umum atau IPO, penerbitan obligasi konversi, dan efek lain yang bersifat ekuitas termasuk penjualan saham kepada mitra strategis atau direct placement bagi persero yang telah terdaftar di bursa. 2. Penjualan saham langsung kepada investor atau direct placement. Adalah penjualan saham secara langsung kepada mitra strategis atau investor khusus bagi penjualan saham persero yang belum Go Public. 3. Management Buy Out atau Employee Buy Out Adalah penjualan saham langsung kepada manajemen (MBO) atau kepada karyawan (EBO).
I.5.10.4 Dampak Privatisasi Jika menyimak kembali landasan privatisasi yang tertuang dalam UU No.19 Tahun 2003 tentang BUMN, maka langkah privatisasi berimplikasi pada terjadinya perubahan struktur kepemilikan BUMN. Porsi kepemilikan pemerintah berkurang atau habis sama sekali, di sisi lain muncul pemegang saham baru, swasta dan/atau masyarakat luas. Selain itu, jika privatisasi yang dilakukan diikuti oleh penjualan saham baru maka perusahaan akan memperoleh dana segar. Maka,
44
Riant Nugroho D dan Randy Wrihatnolo. 2008. Manajemen PrivatisasiBUMN. Jakarta : PT Elex Media Komputindo-Gramedia.
Universitas Sumatera Utara
jelas sekali bahwa privatisasi akan memberikan dampak positif bagi perseroan, yakni 45 : 1. Struktur kepemilikan akan berubah. Setelah privatisasi ada pemegang saham baru di BUMN. Pemegang saham baru (publik) ini tentu akan melakukan pengawasan atau kontrol baik langsung maupun secara tidak langsung terhadap jalannya operasional perusahaan agar investasi ynag ditanamkan dalam saham BUMN itu tidak menimbulkan kerugian. Dengan pengawasan yang lebih ketat dari publik, manajemen BUMN akan bersikap lebih hati-hati dan profesional dalam mengelola perusahaan. 2. Perusahaan akan memperoleh dana segar untuk pengembangan bisnisnya kedepan. Selain itu untuk masa-masa mendatang, ketersediaan sumber dana untuk ekspansi akan lebih terjamin bagi BUMN yang sudah diprivatisasi. Akses pendanaan akan terbuka lebar baik di dalam maupun di luar negeri dengan menerbitkan instrumen utang ataupun instrumen penyertaan. 3. Perusahaan akan lebih dikenal masyarakat luas, karena dengan statusnya sebagai perusahaan publik ia akan memperoleh promosi gratis di media massa melalui pengumuman harga saham yang disajikan setiap hari. 4. Dengan status sebagai perusahaan publik, BUMN yang bersangkutan akan semakin transparan karena ada kewajiban untuk menyampaikan laporan baik yang bersifat reguler seperti laporan tahunan dan tengah tahunan serta laporan non-reguler dari kejadian yang bersifat material.
45
Tjager, I Nyoman; Dampak Privatisasi BUMN, Newsletter No.70, september 2007:6-7
Universitas Sumatera Utara
5. Corporate Value BUMN lebih terukur dan nilai wajar perusahaan akan tercermin dari harga saham yang diperdagangkan di pasar. 6. Keberhasilan manajemen juga lebih terukur yang tercermin dari pertumbuhan harga saham di pasar serta antusias masyarakat terhadap saham tersebut. Privatisasi BUMN juga memberikan kontribusi besar bagi pertumbuhan ekonomi makro. BUMN yang mendapatkan dana segar dari privatisasi akan memanfaatkan dana tersebut untuk ekspansi usaha, baik secara langsung maupun melalui anak perusahaannya. Dari hal-hal positif tersebut diatas, sudah seharusnya strategi privatisasi BUMN mengedepankan strategi go public, karena nyata-nyatanya telah terbukti memberikan multiplier effect sangat besar bagi BUMN itu sendiri maupun bagi pemerintah dan masyarakat.
I.5.11 Kebijakan Privatisasi di Indonesia Privatisasi di Indonesia mulai dilaksanakan sekitar tahun 1990-an, setelah diterbitkannya Keppres No. 5/1998 yang berisi antara lain ketentuan tentang restrukturisasi, merger dan privatisasi BUMN. BUMN yang pertama diprivatisasi adalah PT Semen Gresik pada tahun 1991, malalui pelepasan 27% saham pemerintah ke pasar modal. Tahap berikutnya, pada tahun 1994 pemerintah melepas 10% sahamnya dari PT Indosat 46.
46
Riant Nugroho D dan Randy Wrihatnolo. op. cit., h. 29.
Universitas Sumatera Utara
Adapun tujuan utama privatisasi saat itu adalah untuk meningkatkan efektifitas, efisiensi dan nilai tambah BUMN. Disadari oleh pemerintah Indonesia bahwa sebagian besar BUMN memiliki kinerja yang rendah, sehingga tidak mampu memberikan kontribusi yang memadai bagi negara. Pada tahun 1990/1991 kontribusi BUMN dari deviden adalah Rp.1,096 triliun atau 46% dari total penerimaan bukan pajak yang sebesar Rp.2,383 triliun. Pada tahun 1995/1996 kontribusi BUMN dari deviden meningkat menjadi Rp.1,447 triliun, tetapi proporsinya terhadap total penerimaan bukan pajak hanya 14% dari Rp.7,801 triliun. Penurunan ini juga nyata pada kontribusi pajak penghasilan (PPh) yang diterima BUMN terhadap total penerimaan pajak. Pada tahun 1990/1991, penerimaan pajak dai PPh BUMN mencapai Rp.1,438 triliun atau 41,2% dari total penerimaan pajak Rp.3,489 triliun. Selanjutnya, pada tahun 1995/1996 penerimaan pajak dari PPh BUMN meskipun mengalami kenaikan menjadi Rp.2,020 triliun tetapi hanya merupakan 9,8% dari total penerimaan pajak tahun tersebut. Demikian pula halnya dengan profitabilitas BUMN. Meskipun terjadi peningkatan asset BUMN dari tahun 1990/1991 yang senilai Rp.179,153 triliun menjadi Rp.312,802 triliun di tahun 1995/1996 (peningkatan sekitar 75%), laba BUMN hanya meningkat 12% pada kurun waktu tersebut 47. Dalam perkembangannya kemudian, seiring dengan memburuknya ekonomi negara, tujuan privatisasi kemudian lebih diarahkan untuk memenuhi kebutuhan keuangan negara. Strategi utama privatisasi BUMN adalah divestiture (divestasi) yaitu dengan pengalihan asset pemerintah yang terdapat pada BUMN
47
Riant Nugroho D dan Randy Wrihatnolo. ibid., hal. xvii
Universitas Sumatera Utara
kepada pihak lain. Sampai dengan pertengahan tahun 1997 pemerintah telah berhasil melakukan privatisasi saham minoritas atas kepemilikan saham mayoritas yang dimilikinya pada sejumlah BUMN termasuk penawaran saham perdana untuk 6 perusahaan yaitu Telkom, Indosat, Tambang Timah, Aneka Tambang, Semen Gresik dan BNI. Proses penjualan asset ini terus berlanjut. Pada tahun 1998/1999 dilakukan privatisasi atas sejumlah perusahaan termasuk Semen Gresik, Telkom (lanjutan), Pelindo, Indosat, Kimia Farma, Bank Mandiri, dan lainnya. Namun berbeda dengan proses privatisasi di Indonesia untuk kurun waktu 1994 sampai 1997 yang tidak pernah mengalami hambatan, privatisasi yang dilakukan setelah tahun 1997 terlihat banyak sekali mengalami hambatan tidak hanya dari pihak legislatif dan karyawan namun juga dari masyarakat yang sangat reaktif dari setiap usaha yang mengarah ke privatisasi BUMN yang mencapai puncaknya pada proses spin off Semen Padang 48. Privatisasi terus dilakukan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2002, pemerintah menyusun Masterplan BUMN 2002-2006 sebagai pedoman untuk reformasi BUMN yang dilakukan untuk kurun waktu 2002-2006. Pada masa pemerintahan Susilo
Bambang
Yudhoyono, pemerintah
juga
menyusun
Masterplan 2005-2009. Pada masa ini, privatisasi tidak mendapatkan reaksi yang keras sebagimana diterima pemerintahan sebelumnya. Pada tahun 2008, dari total jumlah BUMN yang mencapai 140 perusahaan, sudah sekitar 10% yang diprivatisasi.
48
Jurnal Administrator Borneo; Volume 4; Nomor 2; 2008; hal. 1281
Universitas Sumatera Utara
I.5.12 Defenisi Konsep Konsep adalah istilah dan defenisi yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak kejadian, keadaan, kelompok atau individu yang menjadi pusat perhatian ilmu sosial 49 . Dengan konsep itu peneliti dapat memahami apa yang dimaksud dengan pengertian variabel, indikator, parameter maupun skala pengukuran yang dikehendaki dalam penelitian. Oleh karena itu, untuk lebih memperjelas pemahaman dalam tulisan ini yang menjadi defenisi konsep dalam penelitian ini adalah : 1. Kebijakan privatisasi adalah kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah dengan cara penjualan saham Persero, baik sebagian maupun seluruhnya, kepada pihak lain dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat serta memperluas pemilikan saham oleh masyarakat
I.5.13 Defenisi Operasional Defenisi operasional adalah unsur penelitian yang memberitahukan bagaimana caranya mengukur suatu variabel atau suatu informasi ilmiah yang membantu peneliti lain yang ingin menggunakan variabel yang sama 50 . Dari informasi tersebut dia akan mengetahui bagaimana caranya pengukuran atas variabel itu dapat dilakukan dan dengan demikian dia dapat menentukan apakah prosedur pengukuran yang sama akan dilakukan atau diperlukan prosedue pengukuran yang baru. 49
h.33.
50
Singarimbun, Masri dan Sofyan, Effendi. 2006. Metode Penelitian Survei. Jakarta.LP3ES. Singarimbun, Masri. 1999. Metode Penelitian Survey. Jakarta. LP3ES. h. 46-47.
Universitas Sumatera Utara
Untuk memberi kejelasan terhadap batasan yang akan diteliti, maka akan dijelaskan defenisi operasional sebagai berikut: 1) Privatisasi yang dimaksud adalah segala aktivitas pemerintah yang mengalihkan sebagian kepemilikan perusahaan negara (BUMN) kepada swasta atau masyarakat dengan mengurangi intervensi berlebih dari pemerintah sehingga meningkatkan kinerja, efesiensi dan nilai perusahaan melalui pasar dan kompetisinya sebagai sarana untuk meningkatkan peranan swasta dan masyarakat dalam perekonomian terkhusus dalam pengelolaan dan pengembangan BUMN di Indonesia. 2) Kebijakan privatisasi BUMN yang dimaksud adalah kebijakan privatisasi BUMN yang terjadi selama masa pemerintahan SBY dan di batasi dari tahun 2004-2010.
I.5.14 Rincian Data Sehubungan dengan rumusan masalah yang ada dalam penelitian ini, maka data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Latar belakang dan sejarah pendirian BUMN di Indonesia. 2. Maksud dan tujuan privatisasi di Indonesia. 3. Faktor-faktor pendorong pelaksanaan privatisasi BUMN. 4. Peraturan-peraturan tentang BUMN. 5. Peraturan-peraturan tentang privatisasi. 6. Prosedur perumusan kebijakan privatisasi.
Universitas Sumatera Utara
7. Proses perumusan privatisasi yang sesuai dengan undang-undang dan peraturan yang ada. 8. Jumlah BUMN di Indonesia. 9. Jumlah BUMN yang sudah dan yang akan di privatisasi di Indonesia. 10. Perkembangan BUMN selama pemerintahan SBY 11. Jumlah kepemilikan saham pada BUMN yang telah di privatisasi. 12. Unsur-unsur yang terkait dalam perumusan kebijakan privatisasi BUMN 13. Rangkaian proses perumusan kebijakan privatisasi.
Universitas Sumatera Utara