BAB I 1PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang Nyeri merupakan masalah yang paling sering menyebabkan pasien mencari perawatan ke rumah sakit. Nyeri tidak melakukan diskriminasi terhadap manusia, nyeri tidak membeda-bedakan siapa yang mengalaminya, baik dalam hal jenis kelamin, ras ataupun usia. Nyeri dapat menyerang secara akut atau tetap bertahan secara kronis yang menyebabkan gangguan fisiologis dan sosial. Mengingat adanya dampak nyeri yang membuat orang mencari pengobatan maka rumah sakit, khususnya Instalasi Gawat Darurat (IGD) harus mampu dalam mengelola nyeri, terutama dalam kasus nyeri akut. (Motov Sergey M, 2009) Di IGD, 60-80% dari pasien yang datang mengalami nyeri akut, dimana lebih dari 80 % pasien yang mengalami nyeri, 53 % kasus mengeluhkan bahwa nyeri merupakan masalah utama dan mengganggu secara intens. Sebaliknya, 47 % dari pasien yang ada di IGD mengeluh nyeri akibat dari prosedur medis yang dilakukan. Nyeri neuropatik terjadi pada lebih dari 20 % pasien di IGD dan hal ini mengharuskan dilakukannya penyelidikan klinis tertentu. (Michel, 2010) Masalah yang paling umum dan yang mempengaruhi manajemen nyeri di IGD adalah nyeri yang under-treatment, yang dikenal sebagai “oligoanalgesia”. Salah satu penelitian retrospektif pertama mengenai masalah oligoanalgesia di IGD adalah grafik analisis oleh Wilson dan Pandelton tahun 1989, dimana dari 198 pasien yang dievaluasi dalam penelitian ini didapati 69 % pasien menunggu lebih dari satu jam sebelum menerima analgetik, 42 % pasien menunggu lebih dari dua jam untuk menerima analgetik dan dari pasien yang menerima analgetik, 32 % pasien
Universitas Sumatera Utara
mendapatkan obat dengan dosis yang kurang dari dosis analgetik yang optimal. Lewis melakukan penelitian retrospektif terhadap 401 pasien yang dirawat karena patah tulang akut pada delapan IGD, menunjukkan bahwa hanya 121 (30 %) pasien yang menerima analgesia. Hal ini menunjukkan bahwa dokter yang bekerja di IGD gagal untuk menangani dan mengelola rasa nyeri pasien. (Motov Sergey M, 2009) Ketakutan dokter akan depresi pernafasaan dan sedasi yang berlebihan oleh karena pemberian opioid juga dinyatakan sebagai salah satu faktor yang berkontribusi atas terjadinya “oligoanalgesia” di IGD. (Laeben Lester, 2010) Tujuan dari manajemen nyeri yang efektif dan tepat adalah untuk meningkatkan kualitas hidup bagi pasien, memfasilitasi pemulihan yang cepat dan mengurangi morbiditas. Analgetik yang efisien dapat mengurangi stres fisiologis dan psikologis juga memfasilitasi tindakan dan manuver terapi. (Rawal N, 2008) (E. Albrecht, 2013) Peranan positif dari rasa nyeri akut berguna secara fisiologis yaitu memberikan peringatan kerusakan jaringan dan mendorong imobilisasi untuk memungkinkan penyembuhan yang tepat. Efek negatif dari nyeri akut jangka pendek meliputi penderitaan emosional dan fisik untuk pasien, gangguan tidur (dengan dampak negatif pada suasana hati dan mobilisasi), efek samping kardiovaskular (seperti hipertensi dan takikardia), peningkatan konsumsi oksigen (dengan dampak negatif dalam kasus penyakit arteri koroner), gangguan buang air besar (opioid dapat juga menyebabkan sembelit atau mual), nyeri yang tidak diobati dapat juga menjadi penyebab mual muntah, efek negatif pada fungsi pernafasan (atelektasis, retensi sekresi dan pneumonia), penundaan mobilisasi dapat menyebabkan tromboemboli (nyeri pasca operasi pada saat mobilisasi merupakan salah satu penyebab utama tindakan mobilisasi tertunda). Efek negatif jangka panjang dari nyeri akut berat akan berkembang menjadi nyeri kronis jika tidak ditangani dengan benar. (Rawal N, 2008)
Universitas Sumatera Utara
Obat yang digunakan untuk pengobatan sistemik nyeri di IGD umumnya terdiri dari 3 kategori : •
Opioid
•
Obat-obatan nonsteroidal anti – inflammatory dan acetaminophen
•
Kombinasi opioid dengan acetaminophen seperti hydrocodone atau oxycodone. (Laeben Lester, 2010) Opioid umumnya morfin, merupakan pengobatan standar untuk nyeri akut
sedang dan berat di IGD. Namun, masih banyak pasien melaporkan kontrol nyeri yang tidak memadai di IGD. Dengan penggunakan dosis yang lebih tinggi atau golongan opioid yang lebih kuat memberikan masalah lain oleh karena risiko efek samping
yang
muncul
seperti
mengantuk,
depresi
pernafasan,
gangguan
hemodinamik, mual, dan muntah. efek samping serius dari opioid dapat terjadi pada pasien dengan ketergantungan opioid yang mendapatkan pengobatan dengan menggunakan opioid. (Heidi Riha BS, 2015) (Miller JP, 2015) Menurut Institute for Safe Medication Practices, opioid dianggap sebagai obat yang memiliki risiko tinggi dalam terjadinya kesalahan pemberian obat dan memberikan konsekuensi serius. Hal ini terutama terjadi dalam pemberian secara intravena. Oleh karena itu, penting bagi dokter yang bekerja di IGD untuk menguasai pemilihan dan dosis opioid intravena yang tepat. (Asad E Patanwala, 2010) Pada 2012, the Joint Commission merilis kejadian yang dapat menyebabkan kematian (sentinel), yang menyatakan analgesik golongan opioid merupakan obat yang memiliki peringkat paling sering dikaitkan dengan peristiwa yang merugikan bahkan sampai pada kematian dan dari laporan The Joint Commission's Sentinel Event database tahun 2004-2011, didapati 47 % kasus terjadinya kesalahan pemberian dosis pengobatan, 29 % kasus berhubungan dengan pemantauan pasien yang tidak benar, dan 11 % kasus berhubungan dengan faktor-faktor lain, termasuk dosis yang berlebihan, interaksi obat, dan efek samping obat. (Miller JP, 2015)
Universitas Sumatera Utara
Opioid dan ketamin memiliki sifat analgesik, namun ketamin memiliki jendela terapi yang sangat luas. Pemberian ketamin 5 sampai 100 kali dari dosis terapi telah dilaporkan tidak memberikan hasil yang merugikan. Selain itu, efek samping dari ketamin (peningkatan denyut nadi dan tekanan darah, halusinasi) sangat jauh berbeda dari opioid (penurunan denyut nadi, tekanan darah, dan depresi pernapasan dan sedasi). (Miller JP, 2015) Beberapa penelitian tentang pemberian dosis subanesthetic ketamin atau Ketamin Dosis Rendah (KDR), menunjukkan bahwa ketamin memberikan analgesia yang efektif dengan efek samping yang minimal bila diberikan sendiri atau dapat juga diberikan sebagai kombinasi dengan opioid. KDR dilaporkan telah menurunkan angka toleransi terhadap opioid dan memiliki opioid–sparing effect. (Motov Sergey M, 2009) Miller melakukan sebuah penelitian observasional Randomized Controlled Trial (RCT) dalam mengevaluasi penggunaan KDR dan didapati penurunan maksimal pada skor nyeri dengan pemberian morfin berbanding ketamin, tetapi tercatat penurunan skor nyeri ini terjadi pada waktu yang berbeda (100 menit dibandingkan dengan 5 menit setelah pemberian). Yeaman menyimpulkan bahwa ketamin jika digunakan sendiri akan memberikan hasil yang kurang optimal dan oleh karena itu harus digunakan bersamaan dengan analgesik lainnya. (Heidi Riha BS, 2015) Sergey Motov menilai dan membandingkan efektivitas analgesik dan keamanan intravena dosis subdisosiasi ketamin dengan morfin di Instalasi gawat darurat ( IGD ) dimana 90 sampel pasien dengan empat puluh lima pasien per kelompok yang terdaftar dalam penelitian ini. Perubahan utama dalam skor nyeri rata-rata tidak berbeda secara signifikan dalam kelompok ketamin dan morfin pada awal pemberian obat dan pada 30 menit
setelah pemberian obat. Tidak ada
perbedaan dalam pemberian rescue analgesia (fentanyl) pada 30 atau 60 menit. Tidak terjadi perubahan statistik secara signifikan atau klinis di tanda-tanda vital yang
Universitas Sumatera Utara
diamati, tidak ada efek samping yang serius terjadi. Pasien dalam kelompok ketamin dilaporkan peningkatan efek samping minor pada 15 menit pasca–administrasi obat. KDR intravena dengan dosis 0,3 mg/kg memberikan efektivitas analgesik dan keamanan jelas sebanding dengan morfin intravena untuk pengobatan jangka pendek nyeri akut di IGD. (Motov Sergey M, 2009) Penelitian uji klinis acak terkontrol, dijumpai hasil mengenai efek samping dengan dosis sub-disosiatif ketamin (N = 135) ditemukan 5,7 % dari pasien yang menerima ketamin intravena mengalami fenomena disosiasi dan 11,4 % mengalami disorientasi dalam manajemen pra-rumah sakit, hal ini mungkin disebabkan oleh dosis ketamin yang lebih tinggi (10 sampai 120 mg) (Jennings PA, 2012). Galinski meneliti pasien yang mengalami nyeri berat di unit perawatan intensif mobile secara double-blind RCT dan menemukan peningkatan efek samping neuropsikologi (36 % vs 3 %) termasuk halusinasi, pusing, diplopia, dan disforia dengan pemberian 0,2 mg/kg ketamin intravena dibandingkan dengan morfin yaitu signifikan secara statistik (P = 0,002). (Galinski M, 2007) Dalam sebuah RCT oleh Weinbaum, ketamin intravena (0,25 mg/kg, n = 131) ditambah morfin (0.015 mg/kg) dibandingkan dengan pemberian morfin tunggal (0.030 mg/kg, n = 114), kurang mengakibatkan mual dan muntah pasca operasi (26,3 % vs 6,9 %; P b 0,001); insiden penurunan mual mungkin karena dosis kumulatif morfin diperlukan lebih kecil dengan ketamin untuk mendapatkan analgetik yang memadai. Dalam sebuah penelitian retrospektif besar mengevaluasi dosis rendah ketamin (0,1-0,3 mg/kg, intravena atau intramuskular) diberikan di IGD untuk analgesia (n = 530), hanya 6 % dari pasien mengalami efek samping ringan. Dosis rendah ketamin digunakan untuk analgesia dalam manajemen nyeri di IGD umumnya dapat ditoleransi dengan baik. Perbedaan efek buruk yang terkait dengan pemberian ketamin mungkin disebabkan variabilitas dalam populasi penelitian, strategi dosis digunakan, atau kesalahan acak karena populasi penelitian kecil. (Heidi Riha BS, 2015)
Universitas Sumatera Utara
Pemberian ketamin tanpa pemberian opioid mungkin merupakan alternatif yang tepat untuk keluhan nyeri akut sedang sampai berat yang memiliki kontraindikasi tehadap opioid. Pada pasien tanpa kontraindikasi, tetapi membutuhkan terapi opioid dosis yang tinggi, penambahan dosis tunggal intravena 0,2 mg/kg ketamin mungkin tepat untuk memfasilitasi kontrol nyeri dan menurunkan kebutuhan analgesik opioid secara keseluruhan. (Heidi Riha BS, 2015) Dari latar belakang diatas, ketamin dosis 0,3 mg/kg memiliki kefektifitasan yang sama dengan morfin 0,1 mg/kg, namun oleh karena masih didapatinya efek samping pada ketamin dosis 0,3 mg/kg, peneliti merasa perlu dilakukan penelitian untuk melihat efektivitas dan efek samping penggunaan ketamin dosis 0,2 mg/kg dibandingkan dengan morfin 0,1 mg/kg dan pada nyeri akut yang dialami oleh pasien trauma di IGD. 1.2 Rumusan Masalah Apakah ada perbedaan efektifitas dan efek samping pemberian injeksi intravena ketamin dosis 0,2 mg/kg dengan pemberian injeksi intravena morfin dosis 0,1 mg/kg untuk penanganan nyeri akut. 1.3 Hipotesis 1.3.1 Hipotesis Ada perbedaan efektifitas dan efek samping injeksi ketamin intravena dosis 0,2 mg/kg dengan pemberian injeksi morfin intravena dosis 0,1 mg/kg untuk penanganan nyeri akut. 1.4 Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan umum Untuk mengetaui efektifitas dan efek samping dari injeksi ketamin intravena dosis 0,2 mg/kg dengan injeksi morfin intravena dosis 0,1 mg/kg untuk penanganan nyeri akut.
Universitas Sumatera Utara
1.4.2 Tujuan khusus •
Untuk mengetahui efektifitas injeksi ketamin intravena dosis 0,2 mg/kg dalam penanganan nyeri akut.
•
Untuk mengetahui efektifitas injeksi morfin intravena dosis 0,1 mg/kg dalam penanganan nyeri akut.
•
Untuk mengetahui perbedaan efektifitas injeksi ketamin intravena dosis 0,2 mg/kg dengan injeksi morfin intravena dosis 0,1 mg/kg dalam penanganan nyeri akut.
•
Untuk
mengetahui
efek
samping
sedasi,
mual
muntah,
gangguan
haemodinamik, dan gangguan pola nafas pada penggunaan injeksi ketamin intravena dosis 0,2 mg/kg. •
Untuk
mengetahui
efek
samping
sedasi,
mual
muntah,
gangguan
haemodinamik, dan gangguan pola nafas pada penggunaan injeksi morfin intravena dosis 0,1 mg/kg. 1.5 Manfaat penelitian Teoritis dan praktis 1.5.1 Manfaat dalam bidang akademik •
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dipergunakan sebagai bahan acuan untuk pemilihan obat alternatif yang bisa mengurangi nyeri akut di IGD.
•
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan terutama ilmu anestesi.
•
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai sumber rujukan tambahan dalam penelitian lanjutan tentang usaha-usaha penanganan nyeri akut.
•
Sebagai sumber informasi dan bahan referensi bagi peneliti selanjutnya.
Universitas Sumatera Utara
1.5.2 Manfaat dalam bidang pelayanan masyarakat •
Memberikan pilihan analgetik untuk nyeri akut di IGD
•
Untuk mendapatkan keadaan bebas nyeri di rumah sakit mulai dari IGD
•
Mengurangi kerugian yang ditimbulkan,dari efek samping pemberian opioid.
1.5.3 Manfaat dalam bidang penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai landasan dalam penanganan nyeri akut pada keadaan berikut : •
Pasien-pasien yang mempunyai kontraindikasi pemberian analgetik golongan opioid untuk penanganan nyeri akut.
•
Untuk mendapatkan keadaan pasien yang bebas nyeri saat di IGD.
•
Untuk menghindari efek samping pemakaian obat opioid yang merugikan pasien.
•
Meningkatkan pelayanan dalam bidang penanganan nyeri di IGD.
•
Mempercepat mobilisasi pasien sehingga menurunkan angka lamanya perawatan di rumah sakit dan biaya pengobatan.
1.5.4 Manfaat dalam bidang pelayanan masyarakat •
Memberikan beberapa pilihan pemberian analgetik di IGD.
•
Untuk mendapatkan keadaan pasien yang bebas nyeri di IGD.
•
Mengurangi penggunaan opioid dan efek samping yang ditimbulkan oleh opioid.
•
Informasi tentang hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan bagi program
pemerintah
dalam
menanggulangi
nyeri
akut.
Universitas Sumatera Utara