BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Infeksi bakteri yang berkembang menjadi sepsis yang merupakan suatu respon tubuh dengan adanya invasi mikroorganisme, bakteremia atau
pelepasan sitokin akibat
pelepasan endotoksin oleh bakteri gram negatif dan gram positif. Mikroorganisme penyebab sepsis diantaranya bakteri, virus, jamur, protozoa. Pada tahun 2000, jumlah pasien dengan diagnosis sepsis adalah sekitar 660.000 orang, meningkat sekitar 9 % per tahun sejak tahun 1979. Terdapat 1 - 2 % pasien sepsis pada rawatan rumah sakit, dan lebih dari 50 % pasien dirawat di ICU. Pengobatan suportif yang baik dan pemberian antibiotik, menunjukkan penurunan angka mortalitas sekitar 20 % di rumah sakit dari waktu ke waktu, namun jumlah kematian terus meningkat, dan menjadikan sepsis sebagai penyebab kesepuluh utama kematian di Amerika Serikat.1 Namun yang menjadi perhatian pada dekade terakhir adalah infeksi bakteri. Infeksi bakteremia dihubungkan dengan tingkat mortalitas yang tinggi. Penanganan yang cepat dan tepat dapat menurunkan tingkat mortalitas. Identifikasi mikroorganisme melalui kultur mikrobiologi sebelum dimulai terapi antibiotika profilaksis tetap merupakan hal yang harus dilakukan sesuai surviving sepsis campaign tahun 2012 dengan tujuan lainnya untuk mengetahui sensitifitas mikroorganisme itu terhadap antibiotika dan pedoman dalam perubahan terapi antibiotika. Identifikasi dini dari mikroorganisme penyebab menjadi suatu objektif klinis yang relevan, dibandingkan menunggu hasil kultur mikrobiologi.2 18 Universitas Sumatera Utara
Beberapa biomarker infeksi bakteri telah diteliti, seperti C-reactive protein,3 hitung jenis neutrofil, hitung jenis limfosit, serum procalcitonin. Peningkatan kadar serum C-reactive protein dihubungkan dengan adanya bakteri didalam darah baik pada pasien infeksi diluar rumah sakit maupun infeksi nosokomial. Namun parameter CRP belum dapat dipercaya secara luas sebagai biomarker infeksi yang tepat.4 Parameter procalcitonin pada tahun-tahun terakhir ini lebih superior (AUC 0,952) dalam penggunaannya sebagai biomarker infeksi bakteri.5 Walaupun biomarker baru telah diteliti (procalcitonin dan pro-adrenomedulin), implementasi di lapangan dikaitkan dengan biaya dan tidak dapat dilakukannya pemeriksaan terhadap biomarker tersebut oleh beberapa laboratorium klinik. Leukosit berperan penting dalam respon inflamasi sistemik (infeksi berat, trauma, syok). Hitung jenis leukosit dapat dengan mudah dihitung dan parameter yang dapat dipercaya sebagai indeks keparahan sepsis. Namun ada suatu parameter yakni “rasio neutrofillimfosit” yang sedang diteliti dalam tujuan membedakan antara proses infeksi bakteri atau infeksi virus. Pemeriksaan rasio neutrofil-limfosit ini memiliki keuntungan diantaranya mudah untuk dilakukan (dilihat melalui pemeriksaan darah lengkap), tersedia di berbagai pelayanan Rumah Sakit dan biaya yang lebih murah dibandingkan pemeriksaan serum procalcitonin. Respon imun terhadap endotoksin telah ditemukan dengan peningkatan jumlah neutrofil dan penurunan jumlah limfosit.6 Studi pada akhir-akhir ini menemukan bahwa hitung jenis limfosit pun dapat menjadi suatu prediktor terhadap adanya bakteremia. Jilma dkk. mendapatkan penurunan jumlah hitung limfosit dan peningkatan neutrofil setelah 4-6 jam terpapar endotoksinemia pada sukarelawan yang sehat.6 Penyebab limfositopenia disebabkan oleh adanya depresi imunitas diperantarai oleh sel. Mekanismenya meliputi marginasi dan redistribusi limfosit didalam sistem limfatik dan percepatan proses apoptosis yang bermakna.7,8 Nilai limfositopenia absolut (hitung jenis limfosit < 1x109/l) merupakan salah satu respon sistemik terhadap adanya infeksi. Data eksperimental menunjukkan bahwa limfopenia pada sepsis sebagian dihubungkan dengan luaran klinis pada pasien sepsis. Rasio neutrofil-limfosit memiliki peranan sebagai prediktor bakteremia. Beberapa studi telah dilakukan bahwa dengan adanya peningkatan rasio neutrofil
19 Universitas Sumatera Utara
limfosit dapat memprediksi kondisi infeksi bakteri.10 De Jager dkk. menemukan bahwa limfositopenia dan rasio neutrofil-limfosit lebih superior dibandingkan dengan level CRP, hitung leukosit dan neutrofil sebagai prediktor bakteremia di unit gawat darurat.2 Yoon dkk. menemukan bahwa peranan rasio neutrofil-limfosit (AUC : 0,95) ini berguna dan lebih baik dibandingkan CRP (AUC : 0,83) dalam membedakan mikroorganisme penyebab pneumonia komunitas apakah disebabkan oleh bakteri atau TB paru.9 Holub dkk. menemukan rasio neutrofil dan limfosit yang tinggi pada infeksi bakteri dibandingkan infeksi virus (cut off rasio N/L = 6.2 (sensitifitas : 0.91 & spesifisitas0.96). AUC 0.971 untuk infeksi bakteri, 0.956 untuk membedakan infeksi bakteri dan infeksi virus.10 Oleh karena banyak studi tentang serum procalcitonin sebagai biomarker infeksi bakteri, para ahli merekomendasikan pemeriksaan serum procalcitonin menjadi pedoman memulai terapi
antibiotik dan menilai efektifitas antibiotik. Namun yang
menjadi kendala dalam teknis pemeriksaan serum procalcitonin adalah tidak dapat dilakukan oleh beberapa fasilitas penunjang rumah sakit dan membutuhkan biaya yang besar. Demikian juga dengan pemeriksaan kultur mikrobiologi yang membutuhkan waktu untuk biakan mikroorganisme dan dihubungkan dengan perlu tidaknya pemberian antibiotik. Adanya penundaan dalam pemberian antibiotik yang menunggu hasil kultur mikrobiologi dapat meningkatkan resiko morbiditas dan mortalitas. Disamping itu juga, pemberian antibiotik yang tidak rasional seperti penggunaan antibiotik sebelum dilakukan pengambilan sampel untuk kultur mikrobiologi menyebabkan hasil negatif pada kultur mikrobiologi. Hal ini berakibat perubahan pemberian terapi antibiotik dan akhirnya pola kuman yang resisten terhadap antibiotik tersebut. Oleh karena faktor diatas serta resiko kegagalan dalam identifikasi atau interpretasi hasil biakan mikroorganisme, bakteri (negatif palsu, kolonisasi atau kontaminan), maka untuk prediksi diagnosis infeksi bakteri pada studi ini dengan nilai positif serum procalcitonin (lebih dari 2 ng/ml) dan melakukan seleksi pasien melalui kriteria eksklusi dengan tujuan menyingkirkan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi interpretasi peningkatan PCT . Sesuai studi klinis yang telah dilakukan, nilai serum procalcitonin 0,5-2 ng/ml belum memiliki nilai diagnostik yang kuat sebagai biomarker
20 Universitas Sumatera Utara
infeksi bakteri, walaupun sudah menjadi batasan untuk memulai terapi antibiotik. Serum procalcitonin dapat digunakan sebagai standar baku (gold standard). Serum procalcitonin dapat mendiagnosis infeksi bakteri apabila masih terdapat endotoksin atau eksotoksin yang beredar dalam sirkulasi walaupun bakteri sudah tereradikasi oleh antibiotik dan tidak terdeteksi dalam hasil biakan mikrobiologi. Sampai saat ini belum ada penelitian mengenai nilai rasio neutrofil-limfosit sebagai biomarker infeksi bakteri pada pasien sepsis dengan mencari korelasi dengan serum procalcitonin sebagai standar pedoman memulai terapi antibiotik. Berdasarkan latar belakang diatas inilah, peneliti ingin mengetahui apakah nilai rasio neutrofil-limfosit dapat digunakan sebagai biomarker infeksi bakteri pada pasien sepsis yang di RSHAM dan menentukan korelasi dengan pemeriksaan serum procalcitonin sebagai pedoman standar memulai antibiotik.
1.2. Rumusan masalah Apakah rasio neutrofil-limfosit memiliki nilai diagnostik dan korelasi dengan serum procalcitonin sebagai biomarker infeksi bakteri pada pasien sepsis yang dirawat di RSHAM.
1.3. Hipotesa Rasio neutrofil-limfosit memiliki nilai diagnostik dan memiliki korelasi dengan serum procalcitonin sebagai biomarker infeksi bakteri pada pasien sepsis yang dirawat di RSHAM.
1.4. Tujuan Penelitian 1.4.1. Tujuan umum Untuk memperoleh biomarker alternatif yang lebih murah dan mudah dilakukan dalam mengetahui infeksi bakteri pada pasien sepsis yang dirawat di RSHAM dengan mendapatkan nilai diagnostik dan korelasi antara rasio neutrofil-limfosit dengan serum procalcitonin sebagai biomarker infeksi bakteri terhadap pasien sepsis yang dirawat di RSHAM.
21 Universitas Sumatera Utara
1.4.2. Tujuan khusus 1. Mendapatkan rasio neutrofil-limfosit pada pasien sepsis di RSHAM. 2. Mendapatkan serum procalcitonin pada pasien sepsis di RSHAM. 3. Mendapatkan sensitifitas dan spesifisitas dari rasio neutrofil-limfosit sebagai biomarker infeksi bakteri pada pasien sepsis di RSHAM. 4. Mendapatkan nilai prediktif positif dan nilai prediktif negatif dari rasio neutrofillimfosit sebagai biomarker infeksi bakteri pada pasien sepsis di RSHAM. 5. Mendapatkan cut off point dari rasio neutrofil-limfosit sebagai biomarker infeksi bakteri pada pasien sepsis di RSHAM.
6. Menentukan luas area under the curve (AUC) dari rasio neutrofil-limfosit sebagai biomarker infeksi bakteri pada pasien sepsis di RSHAM.
7. Mendapatkan hubungan linier rasio neutrofil-limfosit dan serum procalcitonin sebagai biomarker infeksi bakteri pada pasien sepsis di RSHAM.
1.5. Manfaat Penelitian •
Manfaat Akademik Bila rasio neutrofil-limfosit mempunyai sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi dan korelasi yang kuat dengan serum procalcitonin, maka rasio neutrofillimfosit dapat sebagai biomarker infeksi bakteri pada pasien sepsis dan menjadi sumber rujukan untuk penelitian selanjutnya.
•
Manfaat Pelayanan Diharapkan dapat memberi kemudahan, kecepatan, keakuratan dan pemanfaatan biaya dalam melakukan prediksi terhadap infeksi bakteri pada pasien sepsis.
22 Universitas Sumatera Utara