16
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Partai politik di Indonesia mengalami fluktuasi dalam perolehan suara dalam pemilihan umum. Penurunan jumlah pemilih suatu partai bisa disebabkan banyak hal. diantaranya: Pertama, partai yang belum mengakar. Kedua, kegagalan meyakinkan pemilih untuk kembali memilih partai yang sama. Ketiga, kegagalan partai dalam membangun hubungan kepercayaan dengan konstituen. Keempat, gagal menjalankan fungsi representasi. Dari penyebab tersebut, kualitas fungsi representasi menjadi bagian yang paling menjadi sorotan. Anggota legislatif yang terpilih dalam pemilihan umum amat minim dalam mewakili kepentingan serta harapan konstituen. Anggota legislatif dan konstituen seolah menjadi dua elemen yang terputus. Hal ini juga terpotret dalam penelitian yang menyebutkan kepercayaan masyarakat menurun kepada partai politik karena kualitas representasi partai politik yang buruk cenderung semu (Yulianto 2007, h. 69-71). Penulis melihat, persoalan representasi tersebut disebabkan buruknya pengelolaan keanggotaan dimulai dari rekrutmen, kaderisasi dan pencalonan pejabat publik dan diabaikannya ideologi partai. Pengelolaan keanggotaan sebuah partai merupakan bagian yang sangat mempengaruhi kualitas anggota partai politik. Pengelolaan keanggotaan sulit diketahui karena partai menganggap pengelolaan anggota partai sebagai urusan internal partai politik yang tidak perlu diketahui masyarakat luas dan enggan untuk
17
diperbincangkan. Kerap tidak disadari bahwa untuk menciptakan sebuah demokrasi yang berkualitas diperlukan proses yang terbuka dan tepat dalam rekrutmen, kaderisasi dan proses pencalonan anggota partai sebagai pejabat publik. Sejatinya kualitas dan performa representasi berkaitan langsung dengan pengelolaan keanggotaan partai politik. Proses pengelolaan keanggotaan yang tidak terbuka dan belum berkualitas menyebabkan partai kemudian hanya berorientasi pada agenda jangka pendek yakni pemilihan umum. Partai politik di Indonesia hanya fokus pada satu fungsi saja, yakni sebagai agents of elite recruitment (Imawan 2004, h. 18). Dalam pemilihan umum, hampir semua partai cenderung mengesampingkan kapasitas dan kontribusi calon bagi proses institusionalisasi partai politik. Keinginan memenangkan pemilihan umum, menyebabkan partai kemudian mengambil jalan pintas dalam mencalonkan pejabat publik dengan memilih “kader instan”. Pilihan mencalonkan pejabat atau mantan pejabat, pengusaha dan selebriti menunjukkan partai tidak memiliki perencanaan jangka panjang dalam pengelolaan keanggotaan, kecuali kemenangan dalam pemilihan umum. Kemungkinan, anggota partai yang telah cukup lama berproses dalam partai dan berkontribusi bagi partai harus merelakan diri dikesampingkan demi membuka ruang bagi kader instan tersebut. Terpilihnya kader instan sebagai pejabat publik kemudian menimbulkan masalah baru yakni ketidakmampuan dalam mewakili atau memperjuangkan kepentingan konstituen yang memilihnya karena tidak memiliki kapasitas. Meski telah memiliki mekanisme dalam seleksi calon legislatif, partai politik kerap melanggar ketentuan yang dibuat. Hal ini dilakukan untuk mengakomodir calon yang diinginkan atau diajukan elit. Oleh karena itu, pengelolaan keanggotaan merupakan proses penting
18
yang harus dilakukan dan dijalani dalam membangun partai yang mengakar pada konstituen dan menjalankan visi keberpihakan pada kepentingan publik baik di legislatif maupun eksekutif. Dalam konteks rekrutmen, PUSKAPOL UI menemukan tiga persoalan rekrutmen partai politik di Indonesia. Pertama, partai belum memiliki prosedur rekrutmen yang mapan, baik dalam tataran konsep maupun dalam implementasinya. Kedua, partai masih terlalu mengandalkan model rekrutmen konvensional, terutama tergantung pada basis dukungan lama, yang seringkali telah mengalami pergeseran. Ketiga, rekrutmen kandidat di internal partai untuk maju dalam pemilihan umum kurang memperhatikan aspek kinerja dari bakal calon (Romli et al. 2008, h. 19). Bila rekrutmen yang sifatnya menambah keberadaan sumber daya manusia di internal partai, kaderisasi anggota juga belum menjadi prioritas bagi partai politik. Demikian pula dengan kandidasi anggota legislatif, belum ada mekanisme yang jelas dan konsisten dilakukan partai politik. Persoalan calon anggota legislatif yang menggunakan jalan pintas tanpa mengikuti jenjang kepartaian mulai dari membership hingga kaderisasi diabaikan. Seseorang yang memiliki massa, sumber daya/modal, dan dekat dengan elit bisa melakukan by pass dalam pencalonan anggota legislatif. Dalam konteks kaderisasi, PUSKAPOL UI menemukan empat persoalan dalam kaderisasi. Pertama, lemahnya kaitan antara kaderisasi dan promosi kader. Kedua, organisasi sayap partai belum menjadi sumber kaderisasi partai. Ketiga, partai belum mempunyai standar dan penjenjangan kaderisasi yang kokoh. Keempat, terbatasnya sumber daya yang dialokasikan partai bagi kegiatan perkaderan (Romli et al. 2008, h. 26).
19
Proses perekrutan yang diteruskan dengan kaderisasi telah dipersiapkan mekanismenya oleh setiap partai dengan berbagai mekanisme pengkaderan. Dalam kriteria pengkaderan, promosi jabatan atau seleksi kandidat pada dasarnya semua partai tidak memiliki perbedaan yang signifikan.
Menitikberatkan pada tingkat
pemahaman, prestasi, dedikasi, loyalitas dan tidak tercela. Meskipun demikian, problem kaderisasi partai secara umum adalah adanya pertentangan antara kader yang meniti karir kepartaian sejak bawah dengan kader yang memiliki resources yang sangat dibutuhkan partai seperti massa atau dana. Mereka yang memiliki resources berupa massa sering didahulukan oleh partai karena kepentingan untuk mendulang suara dalam pemilu. Dalam hal ini partai menghadapi dilema antara menerapkan kaderisasi secara berjenjang ataukah mempertahankan kepemilikan terhadap resources itu (Hidayat 2003, h. 161-162). Fenomena berpindahnya keanggotaan partai dari partai satu ke partai yang lain juga menunjukkan bahwa keanggotaan partai tidak solid dan berorientasi pada pragmatisme menjadi pejabat publik. Seringkali terjadi pertemuan kepentingan antara pragmatisme seseorang menjadi pejabat publik dan pragmatisme partai atas resources yang dimiliki seorang calon. Rekrutmen, kaderisasi dan pencalonan pejabat publik memiliki ruang yang berkaitan namun berbeda. Melakukan rekrutmen politik kerapkali dianggap telah melakukan kaderisasi, padahal rekrutmen politik merupakan tahap awal sebelum kaderisasi dilakukan. Dalam pemilihan umum, partai politik idealnya telah menempatkan anggota partai yang memiliki kualifikasi baik sebagai calon pejabat publik. Dengan pola penempatan kader dengan kualifikasi baik maka dengan demikian peluang dalam perbaikan kualitas demokrasi di legislatif semakin terbuka.
20
Fenomena menurunnya kualitas anggota legislatif menunjukkan adanya kebutuhan mendesak bagi anggota maupun partai politik secara kelembagaan untuk berbenah dalam pola pengelolaan keanggotaan partai. Untuk
menghindari
jebakan
loyalitas
personal
semu
yang
dapat
memperburuk kualitas partai politik maka partai perlu menyusun sistem pengelolaan sumber daya manusia dalam partai politik. Sistem pengelolaan keanggotaan partai politik tersebut mengatur tentang : rekrutmen, kaderisasi dan pencalonan menjadi pejabat publik. Sistem rekrutmen dengan kualifikasi yang tepat dan pemilihan yang ditentukan oleh rakyat adalah kunci untuk mengatasi problema kemampuan, loyalitas, disiplin dan kemandirian pengurus partai (Sanit 2003, h. 8). Jika pengelolaan keanggotaan partai berjalan dengan baik dan mampu memaksimalkan berjalannya fungsi partai politik, tentu persoalan representasi yang terjadi di Indonesia dapat diatasi dan berkontribusi bagi perbaikan kualitas demokrasi. Serupa dengan partai lain, PDI Perjuangan juga mengalami fluktuasi perolehan suara. Pada pemilihan umum 1999 PDI Perjuangan memperoleh 33,7 % suara, 2004 memperoleh 18,5 % suara dan 2009 memperoleh 14,03 %. Hal ini menunjukkan adanya penurunan kepercayaan masyarakat pada PDI Perjuangan. Pasca kongres PDI Perjuangan yang ke III pada tanggal 6-9 April 2010 di DenpasarBali, Megawati Soekarno Putri selaku ketua umum menyatakan regenerasi dan kaderisasi berlangsung di Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (Adian, Pramodhawardani, dan Latif 2011, h. 11). Berdasarkan pernyataan dalam pidato tersebut, menarik untuk mengetahui bagaimana konsep regenerasi dan proses kaderisasi yang terjadi di PDI Perjuangan. Kontradiksi menjadi terlihat ketika
21
kaderisasi dinyatakan berjalan namun kepemimpinan di PDI Perjuangan bergerak di lingkaran kecil saja. Berdasarkan uraian tersebut, tesis ini berusaha menunjukkan tentang upaya PDI Perjuangan dalam melakukan rekrutmen, kaderisasi dan kandidasi anggota legislatif DPR RI dalam pemilihan umum 2014. Penulis meyakini rekrutmen dan kaderisasi yang dikelola dengan baik akan mempengaruhi kandidasi dan kualitas representasi seseorang sebagai pejabat publik.
B. Rumusan Masalah Bagaimana pengelolaan rekrutmen, kaderisasi dan kandidasi anggota legislatif DPR RI PDI Perjuangan pada pemilihan umum 2014 ?
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi pengelolaan keanggotaan rekrutmen, kaderisasi dan kandidasi anggota legislatif DPR RI PDI Perjuangan pada pemilihan umum 2014. Diuraikan dengan melihat proses rekrutmen anggota, pengelolaan kaderisasi, mekanisme dan proses kandidasi anggota legislatif DPR RI dalam pemilihan umum 2014. Penelitian ini dilakukan dengan mengurai dan menganalisa pengelolaan keanggotaan yang berlangsung di internal PDI Perjuangan. Sehingga mampu memberikan manfaat untuk mendorong perbaikan partai politik. Memberikan kontribusi pemikiran terhadap permasalahan sosial dan politik terutama berkaitan
22
dengan pengelolaan keanggotaan yakni proses rekrutmen, pengelolaan kaderisasi dan kandidasi anggota legislatif DPR RI 2014 di PDI Perjuangan.
D. Signifikansi Penelitian Masih terbatasnya penelitian mengenai pengelolaan keanggotaan PDI Perjuangan menunjukkan bahwa pengelolaan keanggotaan partai adalah isu yang kurang popular. Penelitian yang ada cenderung hanya melihat rekrutmen anggota secara umum. Penelitian yang dilakukan belum melihat rekrutmen, kaderisasi dan kandidasi anggota legislatif sebagai variabel yang berkaitan. Oleh karena itu, penulis melihat perlunya melakukan penelitian terhadap partai politik mulai dari rekrutmen, kaderisasi hingga kandidasi anggota legislatif DPR RI di PDI Perjuangan pada pemilihan umum 2014. Dalam seri buku politik “Menggugat Partai Politik”, Laboratorium Ilmu Politik Universitas Indonesia. Arbi Sanit menyebutkan bahwa ada dua langkah strategis menanggulangi krisis kepemimpinan partai politik. Pertama, memperbarui sistem pengkaderan partai politik. Dengan menitik beratkan partai kader, pelatihan kader yang sistematis terarah untuk membentuk pemimpin yang demokratik sekaligus efektif, kemajuan kader perlu dikaitkan dengan posisinya di dalam struktur partai dan kenegaraan. Kedua, ialah memperbarui sistem rekrutmen pemimpin partai, dengan menggunakan kompetisi terbuka, kualifikasi pemimpin yang berkualitas, dan partisipasi seluas mungkin warga partai dan rakyat luas (Sanit 2003, h. 14).
23
Kemudian dalam penelitian yang dilakukan LIPI pada tahun 2003, disebutkan bahwa penurunan suara yang signifikan dialami PDI Perjuangan disebabkan oleh kebijakan partai tidak memihak kepentingan kaum alit. PDI Perjuangan sudah memiliki aturan internal dalam proses rekrutmen pengurus partai dan pencalonan anggota legislatif. Untuk seleksi pengurus partai, dilakukan mulai dari Pengurus Anak Cabang (PAC), Dewan Pengurus Cabang (DPC), Dewan Pengurus Daerah (DPD) hingga Dewan Pengurus Pusat (DPP). Akan tetapi, mekanisme pemilihan kepengurusan menjelang pemilihan umum 1999 dan proses pengajuan calon anggota legislatif 1999-2004 tidak dilakukan karena sempitnya waktu untuk konsolidasi partai. Proses pemilihan pengurus dan pencalonan anggota legislatif pada masa itu hanya seadanya dan terkesan sebagai politik balas budi bagi orang-orang yang menunjukkan militansinya pada saat susah dulu (Yanuarti 2003, h. 113-116). Pada tahun 2007, LIPI kembali melakukan penelitian dan menemukan bahwa dalam pelembagaan PDI Perjuangan ada rekrutmen anggota berupa KTA-nisasi dengan cara mendaftarkan terlebih dahulu dan kemudian melalui pembinaan selama satu bulan. Selama satu bulan masa pembinaan, masih disebut sebagai calon anggota. Setelah memenuhi persyaratan maka diambil sumpah dan disahkan menjadi anggota PDI Perjuangan dan dilantik oleh Dewan Pimpinan Cabang selaku struktural yang berhak mengeluarkan KTA. Sumber dana PDI Perjuangan disebutkan berasal dari iuran anggota, sumbangan yang sah menurut hukum dan bantuan dari negara. Dalam praktiknya iuran anggota tidak efektif dapat terkumpulkan. Dengan sumber keuangan yang terbatas, partai sangat kesulitan mendapatkan sumber dana pembiayaan partai (Nuryanti 2007, h. 162-175).
24
Sebagaimana yang diuraikan dalam literatur di atas, penelitian mengenai pengelolaan keanggotaan dalam partai politik sebelumnya cukup banyak yang mengkaji rekrutmen yang dilakukan partai politik. Penelitian yang dilakukan sebelumnya memetakan persoalan dalam pelembagaan partai politik dan rekrutmen anggota PDI Perjuangan. Tidak dapat dipungkiri bahwa penelitian mengenai pengelolaan keanggotaan merupakan sebuah rangkaian panjang dan memerlukan perhatian besar untuk dapat mengulasnya secara komprehensif. Penelitian sebelumnya, belum menganalisa rekrutmen, kaderisasi dan pencalonan legislatif partai tertentu sebagai variabel dalam satu rangkaian utuh dalam menghadapi pemilihan umum. Berdasarkan hal diatas, penulis ingin mengetahui bagaimana rekrutmen, kaderisasi dan kandidasi anggota legislatif DPR RI PDI Perjuangan dalam pemilihan umum 2014. Sehingga berkontribusi menambah kajian mengenai pengelolaan anggota partai politik Indonesia pada umumnya dan PDI Perjuangan khususnya.
E. Kerangka Teori Partai politik sebagai institusi utama dalam proses pengisian jabatan publik dalam sistem demokrasi memerlukan anggota sebagai basis organisasi kepartaian. Rekrutmen anggota menjadi sebuah fase awal terbentuknya kelembagaan partai. Rekrutmen anggota menjadi nilai penting karena anggota menjadi basis legitimasi partai politik. Anggota juga merupakan kanal penghubung partai politik dengan masyarakat. Untuk menggerakkan roda organisasi, anggota partai juga memiliki kemampuan menjadi pengurus dan kandidat pejabat publik. Di sisi lain, anggota juga
25
menjadi sumber pendanaan partai melalui iuran rutin yang dapat diterapkan. Selaras dengan ruh partai yang aktif dalam kompetisi memperoleh kekuasaan, proses tersebut akan sangat dipengaruhi dengan dukungan suara dari anggota dan kemampuan anggota untuk mempengaruhi dan mengerahkan dukungan masyarakat pada partai yang didukungnya. Rekrutmen politik didefinisikan sebagai sebuah proses mencari dan mengajak orang yang berbakat untuk aktif dalam kegiatan politik sebagai anggota partai (Budiardjo 2000, h. 164). Pendapat lain yang disampaikan Ramlan Surbakti menyebutkan bahwa rekrutmen politik ialah seleksi dan pemilihan atau seleksi dan pengangkatan seseorang atau sekelompok orang untuk melaksanakan sejumlah peranan dalam sistem politik pada umumnya dan pemerintahan pada khususnya (Surbakti 2010, h. 150). Sedangkan Susan Scarrow menyebutkan bahwa rekrutmen anggota, memiliki lima nilai penting. Pertama, anggota merupakan basis legitimasi bagi partai. Kedua, anggota partai dalam kehidupan sehari-hari merupakan penghubung partai dengan masyarakat, khususnya mengenai nilai-nilai yang diperjuangkan partai. Ketiga, anggota menjadi sumber penting bagi pembiayaan partai. Keempat, anggota menjadi tenaga kerja sukarela. Kelima, anggota menjadi sumber daya yang berpengalaman untuk menjadi kandidat (Scarrow 2005, h. 13-14). Kaderisasi atau pelatihan elit politik merupakan pelatihan atau pembekalan terhadap elit politik yang prospektif untuk mengisi jabatan-jabatan politik. Berbagai materi pelatihan dapat meliputi pemahaman tentang proses demokrasi, dan prinsip-
26
prinsip partai, serta berbagai persoalan strategis yang dihadapi bangsa dan pilihanpilihan kebijakannya (Pamungkas 2011, h. 17). Pencalonan anggota legislatif merupakan proses mendudukkan anggota partai politik di parlemen. Dalam teori-teori kepartaian, proses ini lebih dikenal dengan rekrutmen. Pippa Noris mengurai rekrutmen dalam tiga tahapan. Pertama, “siapa yang layak ?”. Bagian ini adalah tahap pendefinisian kriteria yang dapat masuk dalam kandidasi dengan mengurai mengenai model analisa seleksi calon, mengidentifikasi langkah-langkah kunci dalam seleksi dan mempertimbangkan “sertifikasi” dalam tahap rekrutmen. Kedua, “Siapa yang menyeleksi ?”. Ketiga, “Siapa yang layak dicalonkan ?”. Rekrutmen politik bukan hanya soal pencalonan di tingkat lokal dan nasional. Tetapi juga patronage appointments to public office. Siapa yang berhak ditentukan berdasarkan kriteria usia, sertifikasi berdasarkan aturan internal, konstitusi dan undang-undang. Umumnya dibutuhkan jangka waktu tertentu sebelum pencalonan untuk memastikan loyalitas dan familiar dengan kebijakan partai. Mengenai siapa yang mencalonkan, Pippa Noris mengutip pendapat Schattchneider yang menyatakan “Proses nominasi merupakan proses krusial bagi partai. Dia yang menyusun nominasi adalah pemilik partai”. Sedangkan mengenai siapa yang dicalonkan, Pippa Noris melihat proses nominasi adalah mekanisme pusat untuk memilih delegasi ke parlemen dan untuk menahan mereka bertanggung jawab (Norris 2006, h. 89-94). Berdasarkan penjabaran rekrutmen, kaderisasi dan pencalonan legislatif tersebut, jika dikaitkan dengan fungsi partai politik maka ketiga variabel tersebut merupakan fungsi partai sebagai organisasi (parties as organization). Pada posisi ini,
27
partai menunjukkan fungsi-fungsi yang melibatkan partai sebagai organisasi politik, atau proses-proses didalam organisasi partai itu sendiri (Pamungkas 2011, h. 17). Partai politik dalam imaji penulis merupakan sekelompok orang yang terorganisir secara permanen yang bertujuan untuk memperoleh jabatan publik dan memenangkan kekuasaan pemerintahan dan menyelenggarakan pemerintahan yang berkualitas serta berbasis kepentingan masyarakat. Dalam rangka berkompetisi mendapatkan jabatan politik tersebut partai memiliki tugas di internalnya untuk melakukan pengelolaan keanggotaan diantaranya melakukan rekrutmen, melakukan kaderisasi dan mempersiapkan kandidat pejabat publik untuk berkompetisi dalam pemilihan umum. Tugas lain yang harus dilakukan dalam rentang antar-pemilihan umum adalah menjaga relasi antara konstituen dengan partai. Proses menjaga relasi dengan konstituen dilakukan dengan menjalankan peran dan fungsi perwakilan. Dalam rangkaian menjalankan fungsi perwakilan tersebut, partai perlu terus menjaga kuantitas dan kualitas anggota partai melalui rekrutmen dan kaderisasi. Untuk memastikan ketersediaan calon pejabat publik yang berkualitas, tentu diperlukan waktu dan proses panjang dalam menjalankan rekrutmen dan kaderisasi. Jika proses ini konsisten dilakukan, partai politik tidak akan panik menghadapi pemilihan
legislatif
dan
eksekutif.
Sehingga
pragmatisme
partai
seperti
menyelenggarakan penerimaan calon anggota legislatif dari eksternal partai tidak terjadi menjelang pemilihan umum. Partai melainkan menjaga soliditas organisasi dengan menyelenggarakan penerimaan anggota melalui rekrutmen secara berkala dan mengikuti mekanisme pencalonan pejabat publik berdasarkan penjenjangan kader. Mekanisme yang baku dan proses yang matang tentu akan mampu menghadirkan
28
institusi partai yang dipercaya rakyat dan mendorong terwujudnya institusi legislatif dan eksekutif yang berkualitas. Sehingga proses demokrasi di Indonesia menjadi lebih baik. Alur Pikir Gambar 1.1 Pengelolaan Keanggotaan
Berdasarkan alur pikir dalam skema diatas, rekrutmen, kaderisasi dan pencalonan legislatif idealnya merupakan suatu proses yang terintegrasi dan menjadi sebuah proses yang saling mempengaruhi. Mulai dari rekrutmen yang bertujuan memperluas basis anggota, melakukan kaderisasi yang berorientasi pada fungsi partai sebagai organisasi politik hingga pada fungsi pengisian jabatan publik. Pengelolaan keanggotaan partai meliputi rekrutmen, menyelenggarakan kaderisasi secara berkala dan terencana serta mempersiapkan anggota partai menjadi pejabat publik. Setelah berhasil mengajak seseorang bergabung dengan partai, pemenuhan hak anggota harus dilakukan. Selain memenuhi hak anggota, partai perlu juga melakukan kaderisasi bagi anggota. Proses kaderisasi yang dilakukan partai akan memudahkan partai dalam menghadapi pemilihan umum sekaligus juga memaksimalkan fungsi partai di
29
masyarakat. Secara tidak langsung kaderisasi di internal yang berjalan baik dan berkesinambungan akan mempengaruhi kualitas representasi saat menjadi pejabat publik. Rekrutmen merupakan pintu masuk partai untuk memperkenalkan visi misi dan nilai perjuangan partai politik. Ketika internalisasi nilai partai berhasil dilakukan maka nilai-nilai yang diperjuangkan akan mewujud dalam setiap pengambilan keputusan politik. Keberpihakan yang mencerminkan nilai perjuangan partai akan mudah dilihat dan dipahami publik. Selain internalisasi nilai perjuangan partai, perlu juga diberikan pengetahuan manajerial partai. Pengetahuan manajerial partai ini akan menopang pengelolaan keorganisasian partai. Di sisi lain, untuk menjaga relasi partai dengan masyarakat perlu pula berlatih membangun relasi dengan konstituen. Penjangkauan konstituen akan membantu partai memahami aspirasi dan peta dukungan masyarakat atas sikap partai. Sehingga ketika terpilih dan menjadi pejabat publik, kader partai mampu menjalankan tugas dan fungsi representasi yang dipercayakan konstituen. Mata rantai rekrutmen dan kaderisasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan proses pencalonan menjadi pejabat publik khususnya menjadi anggota legislatif. Oleh karena itu, dalam kaderisasi partai di Indonesia materi pembelajaran mengenai fungsi legislasi, pengawasan dan anggaran haruslah mendapatkan perhatian khusus. Hal ini mengingat dalam konteks kepartaian, setiap anggota partai berpotensi menempati 3 (tiga) posisi yakni ; struktural partai politik, eksekutif dan legislatif. Pengetahuan dan pemahaman yang cukup mengenai fungsi legislasi, pengawasan dan anggaran menjadi bagian yang juga perlu dimiliki ketiga
30
elemen tersebut sehingga mampu memperjuangkan kepentingan konstituen dengan baik. Kaderisasi dalam konteks ini adalah proses membangun kesadaran melalui interaksi dua arah dengan melakukan pendidikan kader jangka panjang. Internalisasi ideologi, visi dan misi menjadi fase awal yang menjiwai proses kaderisasi. Dalam teknis pengelolaan partai, kader perlu dibekali mengenai manajerial partai dan penjangkauan konstituen. Manajerial partai bersifat teknis seperti menyelenggarakan rapat, perencanaan program, pelaksanaan program, kampanye, penggalangan dana dan lain-lain. Bagi kader yang diproyeksikan menjadi struktural/eksekutif/legislatif perlu diberikan tambahan pembekalan mengenai tools menerapkan fungsi pengawasan, anggaran dan legislasi, melakukan lobi, komunikasi politik, serta pembuatan kebijakan dan evaluasi kebijakan sesuai prinsip-prinsip akuntabilitas. Untuk memudahkan mengetahui adanya kaderisasi atau tidak dalam sebuah partai, ada beberapa hal yang dapat digunakan sebagai indikator. Pertama, adanya kurikulum atau silabus kaderisasi. Kedua, adanya divisi yang menjadi penanggung jawab atau penyelenggara kaderisasi. Ketiga, ada rentang waktu yang jelas untuk masing-masing level penjenjangan kaderisasi. Keempat, output dari rentang kaderisasi berupa capaian kapasitas yang disasar dari masing-masing level kaderisasi. Ideologi partai politik akan turut mempengaruhi proses kaderisasi karena membangun kesadaran anggota partai dengan visi misi perjuangan partai ditentukan dengan menentukan capaian dari proses kaderisasi tersebut. Desain kaderisasi berupa kurikulum atau silabus kaderisasi perlu memberikan porsi yang cukup proporsional antara peningkatan kapasitas personal anggota partai yang bersifat teknis dan
31
ideologis. Penjenjangan kaderisasi anggota partai akan juga dipengaruhi oleh proses distribusi kader dalam 3 wajah partai (struktural/eksekutif/legislatif). Hasil akhir dari proses kaderisasi partai politik adalah tersedianya kader partai politik untuk mengisi jabatan-jabatan publik. Pada konteks tersebut, kaderisasi partai politik
bukanlah mekanisme
yang
berdiri sendiri. Banyak
variabel yang
mempengaruhi bagaimana partai politik harus mengolah kaderisasi internal mereka. Sistem pemilu, sistem kepartaian, dan tipe atau model partai politik mempengaruhi partai politik dalam mengolah kaderisasi mereka. Oleh karena itu, partai politik mesti menyediakan banyak kader untuk memenuhi kuota tersebut. Selain itu, pemilihan umum merupakan momen pendidikan bagi kader-kader muda partai untuk belajar secara nyata bagaimana berkampanye dan meyakinkan konstituen sebanyakbanyaknya untuk memenangkan partai politik. Dukungan regulasi parpol harus kuat untuk memastikan tidak terjadi konflik atau politik uang diantara kader mereka sendiri. Perlu pula memastikan bahwa sistem kaderisasi masih tetap berjalan, meskipun sang calon legislatif kalah dalam pemilihan umum dengan cara merekrut mereka melalui program magang untuk membantu calon yang memperoleh kursi sebagai anggota legislatif. Kesempatan magang membantu kandidat yang terpilih menjadi anggota legislatif, memberikan ruang belajar yang lebih nyata bagi kandidat yang belum terpilih. Ide yang berkaitan dengan karakteristik partai dalam mengadvokasi kebijakan publik misalnya dapat diberikan. Kerjasama ini tentu menguntungkan bagi partai politik. Berbeda jika terjadi konflik diantara kandidat terpilih dan kandidat yang tidak terpilih, partai memerlukan pengaturan khusus untuk mencegah konflik di internal. Disiplin dalam menjalankan
32
penjenjangan kader dalam pencalonan menjadi anggota legislatif akan meminimalisir terjadinya konflik. Oleh karena itu, regulasi penjenjangan dan pelaksanaan kaderisasi mendesak dirumuskan oleh partai politik.
F. Definisi Konseptual F.1. Partai Politik Partai politik yang dimaksudkan merupakan sekelompok orang yang terorganisir secara permanen yang bertujuan untuk memperoleh jabatan publik, memenangkan kekuasaan pemerintahan dan menyelenggarakan pemerintahan yang berkualitas serta berbasis kepentingan masyarakat.
F.2. Rekrutmen Politik Rekrutmen politik merupakan pertemuan antara kemampuan mengajak atau melibatkan seseorang dalam aktivitas partai politik dan kesadaran untuk terlibat dalam partai politik secara sukarela.
F.3. Kaderisasi Kaderisasi merupakan proses formal dan informal yang dilakukan partai politik untuk meningkatkan kualitas dan kapasitas anggota partai politik.
33
F.4. Pencalonan Legislatif Pencalonan legislatif merupakan proses atau pengajuan anggota partai menjadi anggota legislatif melalui pemilihan umum.
G. Metode Penelitian G.1. Jenis Penelitian Penelitian ini memiliki tujuan menguraikan keanggotaan pada PDI Perjuangan melalui deskriptif kualitatif dengan menggunakan Constructivist Case Study sebagai pendekatan yang digunakan untuk mengetahui bagaimana keanggotaan PDI Perjuangan. Constructivist Case Study menguji validitas konstruk dengan menetapkan ukuran-ukuran operasional yang benar untuk konsep yang akan diteliti. Metode studi kasus
digunakan
karena
membantu
mempelajari,
menerangkan
atau
menginterpretasikan suatu kasus yang alamiah tanpa adanya intervensi pihak luar. Yin menyebut penelitian studi kasus adalah sebuah metode penelitian yang secara khusus dikehendaki untuk menyelidiki atau melacak peristiwa kontemporer (Yin 2011, h. 1238). Dalam kaitannya dengan waktu dan tempat, secara khusus Yin menjelaskan bahwa obyek yang dapat diangkat sebagai kasus bersifat kontemporer, yaitu yang sedang berlangsung atau telah berlangsung tetapi masih menyisakan dampak dan pengaruh yang luas, kuat atau khusus pada saat penelitian dilakukan. Dalam
penelitian
ini,
Case
Study
membantu
peneliti
mempelajari,
menerangkan atau menginterpretasikan bagaimana rekrutmen, kaderisasi hingga proses kandidasi anggota legislatif berlangsung di PDI Perjuangan.
34
G.2. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana rekrutmen, kaderisasi dan pencalonan anggota legislatif DPR RI di tubuh PDI Perjuangan. Ketiga tahapan tersebut menjadi bagian penting untuk mengetahui sejauhmana fungsi partai sebagai organisasi dijalankan di PDI Perjuangan. Mengurai ketiga variabel ini juga membantu mengetahui bagaimana PDI Perjuangan memperbaiki kualitas anggota secara umum dan mempersiapkan calon anggota legislatif DPR RI pada pemilihan umum 2014. Penelitian ini mengambil fokus PDI Perjuangan karena dari 9 partai yang memiliki suara di DPR RI, PDI Perjuangan memiliki pasang surut perolehan suara cukup signifikan. Selain itu, PDI Perjuangan juga menyatakan bahwa kaderisasi dan regenerasi berlangsung di internal PDI Perjuangan. DPP PDI Perjuangan menjadi fokus penelitian karena DPP memiliki kewenangan dalam menentukan kebijakan pengelolaan keanggotaan partai khususnya penyusunan daftar calon anggota legislatif DPR RI. Selain itu, adanya ketersediaan narasumber cukup untuk dapat memberikan gambaran mengenai bagaimana rekrutmen, kaderisasi dan mekanisme pencalonan anggota legislatif DPR RI berlangsung di tubuh PDI Perjuangan.
G.3. Subjek dan Objek Penelitian Subjek penelitian ini adalah dokumen dan informasi yang diperoleh dari DPP PDI Perjuangan, DPD PDI Perjuangan, Anggota Kader PDI Perjuangan. Objek penelitian ini meliputi rekrutmen yang berlangsung, kaderisasi dan mekanisme pencalonan anggota legislatif DPR RI di PDI Perjuangan.
35
G.4. Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian lapangan (field research) dengan memanfaatkan data sebagai basis analisis. Untuk mendapatkan data mengenai PDI Perjuangan, digunakan wawancara mendalam pada informan kunci dari DPP, DPD dan anggota PDI Perjuangan. Selain itu, penulis juga melakukan observasi dan studi pustaka yang berkaitan dengan rekrutmen, kaderisasi dan pencalonan legislatif di PDI Perjuangan. Data yang diperoleh membantu menjelaskan mengenai rekrutmen, kaderisasi dan mekanisme pencalonan anggota legislatif DPR RI sebagaimana yang menjadi pertanyaan dalam penelitian ini. Data-data tersebut dianalisa kelebihan dan kekurangannya. Beberapa data juga diperoleh melalui terbitan DPP PDI Perjuangan, media cetak dan elektronik. Untuk memperoleh gambaran empirik, peneliti mewawancarai beberapa narasumber sebagai berikut : 1. Idham Samawi selaku Kepala Bidang Keanggotaan, Rekrutmen dan Kaderisasi DPP PDI Perjuangan. 2. Dadang Juliantara selaku Tim DPP yang bertugas mengurusi Sekolah Partai. 3. Untoro Hariadi selaku DPD DIY Yogyakarta dan terlibat dalam Pendidikan Kader Pendidik. 4. Wulandari selaku peserta Sekolah Partai. 5. Nikolaus Beni selaku Sekretaris DPC PDI Perjuangan Kota Makassar. 6. AAGN Ari Dwipayana selaku akademisi dan pemateri Pendidikan Kader Pendidik.
36
7. Eva Kusuma Sundari selaku calon anggota legislatif DPR RI 2014. 8. Frans Wahyudi Atmaja selaku calon anggota legislatif DPR RI 2014.
G.5. Teknik Analisis Data Data yang telah dikumpulkan dalam penelitian ini, diklasifikasi melalui pengorganisasian data berdasarkan rumusan masalah dalam penelitian ini. Setiap data yang diperoleh diorganisasikan dalam menjawab ketiga variabel yang ada. Sehingga data yang diperoleh mampu membantu menjelaskan ketiga variabel, melihat benang merah dari ketiganya sampai pada tahap verifikasi data sehingga membantu penyusunan analisa dan mampu menjawab rumusan masalah dalam penelitian ini. Dalam membangun intrepretasi atas informasi dan data yang diperoleh dalam penelitian, penulis mencoba mengecek dengan membandingkan hasil wawancara dengan berbagai pihak terhadap objek penelitian.
H. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan tesis ini terbagi dalam enam bab. Bab pertama berisikan latar belakang mengenai pengelolaan keanggotaan partai secara umum berikut rumusan masalah, tujuan penelitian, signifikansi penelitian, penjelasan mengenai aplikasi teori yang digunakan dalam penelitian, metode penelitian yang akan digunakan, serta sistematika penulisan. Bab dua membahas mengenai profil PDI Perjuangan, mulai dari sejarah lahirnya, PDI Perjuangan era reformasi, struktur organisasi PDI Perjuangan dan organisasi sayap PDI Perjuangan. Bab tiga membahas
37
hal-hal normatif dan empirik mengenai rekrutmen PDI Perjuangan beserta analisanya. Bab empat membahas mengenai Sekolah Partai, penjenjangan kader, organisasi sayap partai dan analisa mengenai kaderisasi PDI Perjuangan. Bab lima membahas mengenai mekanisme, syarat pencalonan anggota, proses penyusunan daftar calon anggota legislatif DPR RI PDI Perjuangan dan inkonsistensi PDI Perjuangan dalam menerapkan mekanisme tersebut. Bab enam sekaligus bab penutup, berisi kesimpulan dari pertanyaan penelitian dan saran atas permasalahan penelitian diatas.