BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Masalah Penerjemahan adalah suatu kegiatan atau proses pengalihan pesan dari
bahasa sumber ke bahasa sasaran. Hal itu mengimplikasikan adanya dua hal, yaitu pertama, memahami pesan bahasa sumber dan kedua, mengungkapkan kembali pesan tersebut ke dalam bahasa sasaran. Mengingat bahasa sumber dan bahasa sasaran memiliki perbedaan maka ketika pesan ini diungkapkan kembali ke dalam bahasa sasaran,
ada berbagai persoalan yang cukup rumit berkaitan dengan
leksikon (kata), struktur gramatikal, situasi komunikasi dan bahkan konteks budaya (Nida dan Taber, 1964: 90-99; Larson, 1984: 3-4; Newmark,1988: 9598). Penerjemahan tidak sekadar menggarap pengalihbahasaan kata per kata atau kalimat per kalimat tetapi merambah pada tataran yang lebih tinggi, yakni wacana, yang mencakup isi amanat atau pesan seluruh teks. Pada dasarnya penerjemahan berkaitan dengan wacana (Durieux, 2000: 3). Hal ini dapat dipahami karena wacana dipandang sebagai wadah proposisi-proposisi yang saling berkaitan dalam kesatuan makna (Moeliono, 1988:334). Dalam hal ini wacana direalisasikan dalam bentuk teks. Teks adalah bahasa yang berfungsi. Artinya bahasa yang sedang melaksanakan tugas tertentu dalam konteks situasi tertentu pula (Halliday dan Hasan, 1992: 13). Pada hakikatnya bahasa itu memiliki fungsi atau bersifat fungsional. Halliday (2004) mengemukakan bahwa fungsi bahasa ada tiga, yaitu fungsi ideasional (pengungkap isi atau dunia nyata),
1
fungsi interpersonal (komunikasi antar manusia), dan fungsi tekstual (membentuk hubungan bahasa dengan situasi). Sementara itu, Sudaryanto mengemukakan dua jenis fungsi bahasa, yaitu fungsi representasional dan fungsi komunikatif (1990: 47). Bahasa berfungsi representasional artinya bahasa berfungsi untuk melambangkan dan mengungkapkan suatu hal. Bahasa berfungsi komunikatif artinya bahasa sebagai sarana untuk menjalin komunikasi antar sesama pemakai bahasa. Kedua fungsi tersebut saling berkaitan. Fungsi yang paling menonjol di antara fungsi-fungsi tersebut adalah interpersonal atau fungsi komunikasi. Dalam perkembangannya, wacana tidak hanya dipandang dari segi bentuk tetapi juga fungsi, yaitu fungsi komunikasi. Wacana adalah peristiwa komunikasi yang menggunakan bahasa. Seperti yang dikemukakan oleh Johnstone, “discourse usually means actual instances of communication in the medium of language (2002)”. Pada batasan tersebut, wacana dimaknai secara konkret, yaitu penggunaan bahasa dalam komunikasi. Hal ini berpengaruh pada analisis wacana. Brown dan Yule (1996) menyatakan bahwa analisis wacana adalah analisis bahasa dalam penggunaan (komunikasi). Lebih jauh
Johnstone mengatakan “What
distinguishes discourse analysis from other sorts of study that bear on human language and communication lies not the questions discourse analyst ask but in the ways they try to answer them: by analyzing discourse--that is, by examining aspects of the structure and function of the language in use” (2002). Maksudnya adalah analisis wacana/meneliti wacana dengan melihat hubungan antara bahasa, struktur, dan fungsinya dalam praktik berbahasa. Dalam linguistik, wacana dipandang sebagai satuan linguistik yang berada di atas tataran kalimat (Stubbs, 1983: 10). Hal ini berarti wacana mencakup
2
kalimat, gugus kalimat, alinea atau paragraf, dan karangan utuh. Sejalan dengan itu, Kridalaksana (1993: 231)1 mengemukakan bahwa wacana direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh (novel, buku, seri ensiklopedi, dsb.), paragraf, kalimat, atau kata yang membawa amanat yang lengkap. Dalam perkembangan berikutnya, wacana tidak selalu bersifat di atas kalimat (suprasentensial) karena banyak satuan lingual nonsuprasentensial yang memiliki amanat yang lengkap sebagai hasil tindak komunikasi. Amanatnya bergantung situasi atau konteks pertuturannya (Wijana, 2002: 65). Misalnya di suatu jalan kampung atau sekolah dasar yang di situ banyak anak-anak bermain, sering ada rambu peringatan Banyak anak-anak!. Yang artinya bahwa para pengguna jalan diminta untuk berhati-hati melewati jalan itu karena ada banyak anak-anak yang bermain di jalan. Berdasarkan strukturnya, wacana dibagi dalam tiga bagian yang masingmasing saling mendukung, yaitu (i) bagian makro, (ii) bagian superstruktur, dan (iii) bagian mikro (Van Dijk, 1985: 1-12). Elemen makro merupakan makna global dari suatu wacana, bagian superstruktur merupakan kerangka suatu wacana, bagian mikro merupakan makna wacana yang dipahami dari penggunaan kata, frasa, dan kalimat. Elemen yang dibicarakan pada bagian makro bersifat global atau isi wacana atau topik wacana. Topik adalah “apa yang dibicarakan atau ditulis dalam wacana” (Poedjosoedarmo, 1986: 5; Brown dan Yule, 1996: 73). Topik mengacu pada fakta yang telah diketahui oleh pembicara maupun mitra wicara sehingga tidak memberikan tambahan informasi pada tuturan. Oleh karena itu, topik
1
Kridalaksana, Harimurti.1993. Kamus Linguistik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
3
mengandung informasi lama (Renkema, 1993: 63). Topik direalisasikan dalam sebuah kata atau frasa. Kalimat yang mengandung kata atau frasa topik itu dinamakan kalimat topik. Setiap wacana selalu memiliki topik. Suatu wacana akan lahir jika ada yang dibicarakan (Baryadi, 2002: 54). Jadi, topiklah yang menyebabkan lahirnya wacana. Hal ini berarti bahwa topik menjiwai seluruh bagian wacana. Karena begitu pentingnya topik, Givòn (1979: 464) mengatakan bahwa topik merupakan "pusat perhatian" (centre of attention) dalam wacana. Wacana tersusun dari tuturan-tuturan yang berupa kalimat-kalimat yang saling berkaitan dan berhubungan dengan faktor luar bahasa atau fakta-fakta di luar bahasa sehingga kalimat-kalimat
dalam wacana itu
membentuk satu kesatuan yang bersifat
komunikatif. Sifat komunikatif itu mengimplikasikan bahwa wacana mudah dipahami.
Menurut
harus
Halliday dan Hasan (1976:1) kesatuan dalam
wacana bersifat sistematis. Artinya, sebuah kesatuan yang tidak hanya dipandang dari bentuknya melainkan juga dari segi maknanya. Hal ini dapat terwujud jika dalam wacana ada keserasian dan keterpaduan makna di antara kalimat-kalimat pembentuknya. Wacana berisi kesatuan topik (topic unity). Karena wacana berupa rangkaian dari unsur-unsur pembentuknya maka yang menjadi pangkal dan ujung rangkaian tersebut adalah topik. Topik menjadi pangkal tolak terbentuknya rangkaian bagian-bagian suatu wacana. Suatu wacana dikatakan baik apabila keterjalinan topik atau kesinambungan topik dalam wacana tersebut dapat dipahami dengan mudah oleh pembaca atau pendengar.
4
Ada beberapa jenis wacana, salah satunya adalah wacana naratif. Wacana naratif berisi urutan peristiwa atau jika wacana naratif berupa fiksi maka sebagai urutan peristiwa fiksional (Rimmon-Kenan, 1983:1-5). Wacana naratif memiliki ciri tertentu. Pertama, wacana naratif dapat dilihat pada proposisi-proposisinya yang berorientasi pada tokoh; Kedua, wacana naratif dapat dilihat pada proposisiproposisinya yang memiliki hubungan kronologis atau hubungan rangkaian waktu; Ketiga, wacana naratif dapat dilihat pada strukturnya yang disebut struktur stimulus-respon, yaitu proposisi yang mengungkapkan ‘rangsangan’ terhadap tindakan tokoh dan ada proposisi yang mengungkapkan ‘tanggapan’ terhadap rangsangan itu; dan Keempat wacana naratif dapat dilihat pada wujudnya yang bervariasi, seperti cerita pendek, novel, kisah, riwayat, dan dongeng (dalam Sumadi, 1998). Berdasarkan pada strukturnya, Vladimir Propp mengemukakan bahwa dongeng yang ditelitinya memiliki struktur yang sama. Artinya, dalam sebuah cerita para pelaku dan sifat-sifatnya dapat berubah, tetapi perbuatan dan perananperanannya sama. Elemen yang dianggap penting dalam wacana naratif, selain tokoh-tokoh juga aksi tokoh-tokoh (dalam Renkema, 1993: 118-120). Terkait dengan aksi tersebut
ada bagian aksi atau peristiwa yang ditonjolkan atau
dilatardepankan, yaitu bagian narasi yang menyajikan hal-hal utama yang sesuai dengan tujuan cerita, dan ada juga yang dilatarbelakangkan, yaitu bagian narasi yang memperkuat atau mengomentari tujuan cerita (Hopper, 1979: 280). Dari uraian di atas dapat dikemukakan bahwa topik berkaitan dengan masalah kesinambungan topik (topic continuity). Kesinambungan topik adalah strategi untuk menciptakan dan mempertahankan keutuhan topik (topic unity).
5
Keutuhan topik
terwujud bila ada keterhubungan bentuk dan makna antara
jalinan proposisi secara berurutan yang mengarah pada satu topik. Selain itu, topik juga berkaitan dengan penonjolan topik (topic prominence) (Givòn, 1983). Yang dimaksud dengan penonjolan topik berkaitan dengan strategi penempatan topik dalam wacana agar topik mudah dipahami. Penonjolan topik dilakukan dengan cara pengedepanan sehingga ada bagian wacana sebagai latar depan (foreground) dan bagian lain wacana sebagai latar belakang (background) (Renkema, 1993: 63-64). Untuk lebih jelasnya hal di atas, perhatikan contoh berikut.
(1)
a. Robinson se décida à se lever et à se diriger vers le fondde la grotte. b. Il n’eut pas à tatonner longtemps pour trouver ce qu’il cherchait: l’orifice d’une cheminée vertical et fort étroite. c. Il fit aussitôt quelques tentatives pour s’y laisser glisser. (VVS, 54-55) a. Robinson memutuskan untuk berdiri dan menuju ke dasar gua. b. Ia tidak perlu meraba-raba terlalu lama untuk menemukan apa yang dicarinya, yaitu mulut lubang cerobong udara yang lurus dan sangat sempit. c. Ia segera mencoba beberapa cara untuk meluncur turun ke sana. (KL, 51)
Topik wacana (1) di atas adalah Robinson. Kalimat (b) dan (c) menjelaskan topik Robinson, yaitu cara mencapai dasar gua. Jika dilihat dari segi kesinambungan topik, contoh (1) menggunakan pronomina il ‘ia (laki-laki)’ sebagai alatnya. Dalam penerjemahan bahasa Indonesia, alat kesinambungan il ‘ia’ diterjemahkan menjadi ia. Baik dalam bahasa Prancis maupun bahasa Indonesia, keduanya menggunakan pronomina. Hubungan antara kalimat pada wacana (1) bersifat kohesif. Kohesi dipandang
6
sebagai konsep semantis yang mengacu pada keterikatan semantis unsur-unsur teks. Ada dua jenis kohesi, yaitu kohesi gramatikal dan kohesi leksikal (Halliday dan Hasan, 1976). Kohesi gramatikal adalah keterikatan semantis bagian-bagian wacana yang diwujudkan ke dalam sistem gramatikal, yaitu pronomina il ‘ia’. Berbeda halnya dengan contoh (2). Wacana (2) di bawah terjadi perubahan alat kesinambungan topik. Untuk menjaga kesinambungan topik pada bahasa Prancis digunakan pronomina il 'dia (laki-laki)' dan elle 'dia (wanita)'. Akan tetapi, pada teks terjemahan bahasa Indonesia untuk menjaga kesinambungan topik digunakan bentuk pengulangan nama, yaitu Emma. Dengan kata lain, wacana (2) juga bersifat kohesif. Akan tetapi, kohesi yang ada pada wacana (2) teks sumber bahasa Prancis adalah kohesi gramatikal, yaitu dengan pronomina il ‘dia’ dan elle ‘dia’ sedangkan teks sasaran (terjemahan) bahasa Indonesia adalah kohesi leksikal, yaitu dengan pengulangan Emma. Kohesi leksikal adalah keterikatan semantis yang direalisasikan ke dalam sistem leksikal. Periksa contoh (2) berikut.
(2)
a. b. c. d.
Charles, à cheval, envoyait un baiser à Emma. Elle répondait par un signe. Elle refermait la fenêtre. Il partait. (MB:61)
a. Charles di atas punggung kudanya meniupkan ciuman pada Emma. b. Emma membalasnya dengan lambaian, c. Lalu menutup jendela. d. Charles pergi' (NB, 59) Berdasarkan pada penanda kala verbanya, contoh (1) mempergunakan kala passé simple yang beraspek perfektif, yaitu se décida ‘memutuskan’, n’eut pas ‘tidak perlu’, dan fit ‘mencoba’. Kala passé simple dipergunakan untuk menggambarkan peristiwa-peristiwa yang berurutan secara temporal dan untuk
7
menonjolkan sosok suatu peristiwa (Hoed, 1992: 145-152). Sehubungan dengan penonjolan topik, peristiwa pada wacana (1) sebagai latar depan (foreground). Adapun peristiwa pada wacana (2) bersifat imperfektif dengan menggunakan kala imparfait, yaitu verba envoyait ‘meniupkan’, répondait ‘membalas’, refermait ‘menutup’,
dan
partait
‘pergi’.
Kala
imparfait
dipergunakan
untuk
menggambarkan peristiwa-peristiwa yang penulis merasa “dekat” sedangkan kala passé simple penulis merasa “jauh”2. Oleh karena itu, peristiwa pada contoh (2) sebagai latar belakang (background). Berikut akan dijelaskan hubungan peristiwa latar belakang dengan peristiwa latar depan Dalam wacana naratif peristiwa latar depan adalah yang membentuk cerita sedangkan peristiwa latar belakang adalah merupakan latar yang memberi warna dan suasana pada latar depan. Peristiwa pada wacana (3a) – (3d) di bawah sebagai latar belakang dan peristiwa pada (3e)-(3f) sebagai latar depan. Dengan rumusan lain, topik wacana (3) adalah Robinson dan topik itu sebagai latar depan (3e)-(3f) sedangkan unsur yang lain sebagai latar belakang (3a)-(3d). Urutan peristiwanya adalah latar belakang kemudian disusul latar depan.
(3)
a. La plage était déserte. b. Les trois piroques et leurs occupants avaient disparu. c. Le cadavre de l’Indien abattu la veille d’un coup de fusil avait été enlevé. d. Il ne restait que le cercle noir du feu magique où les ossements se mêlaient aux souches calcinées. e. Robinson posa sur le sable ses armes et ses munitions avec un sentiment d’immense soulagement. f. Un grand rire le secoua, nerveux, fou, inextinguible. (VVS, 66) a. Pantai sunyi senyap. b. Ketiga perahu serta penumpangnya telah menghilang. c. Mayat orang Indian yang ditembak sehari sebelumnya telah
2
Hoed, komunikasi pribadi
8
diangkut orang. d. Yang tertinggal hanyalah lingkaran hitam bekas api gaib, tempat tulang belulang bercampur dengan tunggul yang hangus. e. Robinson meletakkan senjata dan amunisinya di atas pasir dengan perasaan lega sekali. f. Badannya diguncang tawa terbahak-bahak, histeris, seperti orang gila, dan sulit dihentikan. (KL, 62) Jika dilihat dari teks terjemahan dalam bahasa Indonesia, untuk peristiwa latar belakang contoh wacana (2) di atas, cenderung digunakan verba aktif me-, yaitu meniupkan, membalas, menutup, dan pergi sedangkan untuk peristiwa latar depan (4) di bawah yang perfektif dan berurutan cenderung digunakan verba bentuk pasif di-, yaitu dicabutnya, ditancapkannya, dan diberikannya.
(4)
a. Une fois un homme d'allure chétive, rubicond et chauve, entra chez elle. b. Il retira les épingles qui fermaient la poche latérale de sa longue verte, les piqua sur sa manche, et tendit poliment un papier. (RT, 74) a. Suatu kali seorang laki-laki dengan badan kurus lemah, bermuka dan berkepala botak, datang ke rumahnya. b. Dicabutnya jarum-jarum yang menyemat saku samping jas panjangnya yang hijau, ditancapkannya pada lengan jasnya, dan dengan sopan diberikannya sehelai kertas' (CT, 70)
Dari contoh di atas dalam kaitannya dengan pelataran (grounding) memunculkan pertanyaan, apakah bahasa Prancis mempergunakan strategi kala (imparfait dan passé simple) dan aspek (imperfektif dan perfektif) sedangkan bahasa Indonesia mempergunakan strategi diatesis (aktif me(N)- dan pasif di-, seperti yang dikemukakan Hopper (1979) dan Hoed (1992)? Hal lain yang menarik adalah topik wacana pada contoh (4), baik pada kalimat pertama maupun berikutnya sama, yaitu un homme 'seorang laki-laki' dan pronomina il 'dia'. Selain itu, baik kalimat pertama dan berikutnya menggunakan 9
bentuk aktif. Pada kalimat terjemahannya, kalimat pertama masih menempatkan seorang laki-laki sebagai topik. Akan tetapi, pada kalimat berikutnya berubah, yang semula menggunakan bentuk aktif berubah menjadi bentuk pasif. Dengan kata lain, pada bahasa Prancis kalimat pertama dan kedua memiliki kesinambungan topik yang konsisten tetapi pada kalimat bahasa Indonesia terjadi pergeseran, yang semula menempatkan pelaku sebagai topik
kemudian
"dilemahkan" pada kalimat berikutnya dan berganti menonjolkan verba dengan bentuk pasif. Hal seperti
ini oleh Dardjowidjojo dinamakan state of affairs.
(1986: 57-70) dengan menggunakan afiks di-/-nya. Dengan membandingkan teks sumber (TSu) bahasa Prancis dan teks sasaran (TSa) bahasa Indonesia di atas menunjukkan adanya persoalan-persoalan penerjemahan khususnya kesinambungan topik dan penonjolan topik wacana. Menurut Nida dan Taber (1964: 166) penerjemahan adalah usaha untuk mengungkapkan kembali pesan dalam bahasa sumber (BSu) ke dalam bahasa sasaran (BSa) dengan memprioritaskan kesepadanan pesan dan kemudian kesejajaran format atau gaya bahasa. Jadi, yang menjadi prioritas utama adalah pengungkapan kembali pesan dalam BSa. Ketika penerjemah akan mencari padanan pesan itu, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan. Untuk itu, Wills (1992:3) menyarankan adanya tiga pemahaman, yaitu pemahaman sintaktik, semantik, dan pragmatik. Mengingat penelitian ini berfokus pada analisis wacana dan penerjemahan dari bahasa Prancis ke dalam bahasa Indonesia, khususnya kesinambungan dan penonjolan topik wacana, maka penelitian ini mengarah pada kajian pragmatik dan penerjemahan. Pragmatik mengkaji bagaimana bahasa digunakan dalam komunikasi dalam hubungan dengan pemberi makna. Adapun
10
analisis terjemahan meneliti kesepadanan kesinambungan dan penonjolan topik wacana karena pada dasarnya masalah utama dalam penerjemahan adalah bagaimana menemukan padanan terjemahan di dalam BSa (Catford, 1965: 21). Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa penelitian ini akan membicarakan perihal Topik Wacana Bahasa Prancis dan Penerjemahannya ke dalam Bahasa Indonesia seperti yang tertera pada judul di atas.
1.2. Masalah Penelitian Penelitian ini menyoroti wacana bahasa Prancis dan penerjemahannya dalam bahasa Indonesia. Uraian wacana bahasa Prancis
dikhususkan pada
analisis topik wacana yang meliputi topik, kesinambungan topik, dan penonjolan topik. Analisis topik wacana diarahkan pada ciri-ciri topik-komen, hubungan topik-komen, dan status informasi topik-komen; analisis kesinambungan topik menelusuri jenis-jenis alat untuk menciptakan kesinambungan topik; analisis penonjolan topik mengupas cara penulis atau penutur untuk menonjolkan topik dalam wacana, melalui pengedepanan (foregrounding). Hal ini akan diuraikan pada Bab IV. Setelah itu, dilakukan analisis penerjemahan TSu bahasa Prancis dan TSa bahasa Indonesia. Sehubungan dengan ini, Williams dan Chesterman (2002: 49-51) mengemukakan analisis penerjemahan TSu dan TSa termasuk model komparatif (comparative models), yaitu membandingkan dua bahasa melalui teks penerjemahan. Menurut model komparatif bahwa analisis terjemahan itu bukan hanya sebagai masalah kesepadanan tetapi juga kesejajaran formal. Penerjemahan adalah suatu kegiatan mengalihkan pesan dari TSu ke TSa. Pesan tersebut
11
haruslah sepadan (equivalent). Bila materi yang diterjemahkan itu berupa teks tulis maka pesan TSu harus sepadan dengan TSa. Kesepadanan diukur tidak hanya dengan makna unsur bahasa yang bersangkutan, tetapi juga dengan pemahaman suatu terjemahan oleh penerimanya (Hoed, 2006). Analisis kesejajaran dilakukan dengan cara meneliti kesejajaran formal Bahasa Sasaran (BSa) dan Bahasa Sumber (BSu). Kesejajaran adalah sebuah hubungan formal dan fungsional yang sejajar antara dua sistem bahasa (tatabahasa). Model Komparatif bermanfaat untuk memetakan kesepadanan dan mengetahui pergeseran. Bisa jadi, unsur-unsur dalam TSu dan TSa sepadan atau sejajar. Dengan demikian, bisa dirumuskan pola-pola kesepadanan dan kesejajaran pada Bab V. Dari uraian di atas dapat disampaikan bahwa penelitian ini meliputi dua pokok bahasan, yaitu analisis wacana dan analisis terjemahan.
Dua pokok
bahasan itu dirumuskan dalam pertanyaan sebagai berikut. 1. Apa ciri-ciri yang menandai topik wacana bahasa Prancis? 2. Apa sajakah alat kesinambungan topik wacana bahasa Prancis? 3. Apa sajakah alat penonjolan topik wacana bahasa Prancis? 4. Apakah terjemahan dalam teks
bahasa Indonesia memperlihatkan
kesinambungan topik yang sepadan dan sejajar dengan kesinambungan topik dalam
teks
bahasa
Prancis?
Bagaimanakah
pola
perpadanannya?
Bagaimanakah strategi kesinambungan topik dalam teks bahasa Prancis dan teks terjemahan dalam bahasa Indonesia? 5. Apakah terjemahan dalam teks bahasa Indonesia memperlihatkan penonjolan topik yang sepadan dan sejajar dengan penonjolan topik dalam teks bahasa
12
Prancis? Bagaimanakah pola perpadanannya? Bagaimanakah strategi penonjolan topik dalam teks bahasa Prancis dan teks terjemahan bahasa Indonesia? 1.3. Tujuan dan Manfaat Seperti yang diuraikan di atas bahwa penelitian ini menyangkut dua hal, yaitu analisis wacana bahasa Prancis dan penerjemahan dalam bahasa Indonesia. Analisis wacana bahasa Prancis yang meliputi topik, kesinambungan topik, dan penonjolan
topik
wacana,
ditujukan
untuk
mengetahui
topik
wacana,
kesinambungan topik, dan penonjolan topik wacana. Karena topik memiliki kedudukan sentral dalam wacana, maka topik selalu diacu dan dipertahankan oleh unsur-unsur sesudahnya sehingga menimbulkan kesinambungan topik. Ada dua hal dalam analisis kesinambungan topik, yaitu pertama, cara menciptakan kesinambungan topik dalam wacana; dan kedua, cara mengukur kesinambungan topik. Untuk menciptakan kesinambungan topik diperlukan alat-alat atau piranti maka penelitian ini akan menganalisis jenis-jenis piranti kesinambungan topik wacana dan mengukur kadar kesinambungannya. Penonjolan topik terkait dengan latar depan dan latar belakang. Penelitian ini akan mengungkap fungsi latar depan dan latar belakang topik dalam wacana naratif. Dengan demikian, analisis wacana ini untuk mencari pola-pola (regularities) (Brown dan Yules, 1983: 22). Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui kesepadanan dan kesejajaran penerjemahan topik wacana bahasa Prancis ke dalam bahasa Indonesia serta strategi yang dipakai untuk menciptakan kesinambungan topik dan penonjolan topik dalam TSu dan TSa. Analisis padanan dalam penelitian
13
ini akan mengungkapkan seberapa besar topik wacana dalam penerjemahan dari bahasa Prancis ke dalam bahasa Indonesia. Apakah wacana padanan pada bahasa sasaran, bahasa Indonesia,
masih memperlihatkan kesinambungan dan
penonjolan topik yang sepadan dengan wacana bahasa sumber, bahasa Prancis Oleh karena itu, dengan membandingkan dan mengkaji strategi yang dipergunakan dua bahasa melalui teks terjemahan ini kita dapat menyusun polapola perpadanan wacana khususnya tentang kesinambungan topik dan penonjolan topik, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai dasar untuk penelitian terjemahan di masa yang akan datang. Di samping itu, secara praktis, hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan bagi para penerjemah untuk membantu menghasilkan terjemahan yang lebih baik.
1.4 Data dan Metode Penelitian Penelitian ini berkenaan dengan penelitian analisis wacana dan terjemahan tulis maka data yang diperlukan adalah data tulis. Untuk itu diperlukan data yang bersifat empiris dan autentik, yaitu TSu dan TSa (Williams dan Chesterman, 2002: 90). Data itu berupa TSu bahasa Prancis dan terjemahannya atau TSa bahasa Indonesia Adapun sumber data yang dimaksud di atas diambil dari novel. Dipilihnya novel sebagai sumber data karena teks dalam novel memiliki struktur naratif. Di samping itu, novel juga dipandang sebagai media komunikasi kebahasaan karena teks novel mengkomunikasikan cerita dengan menggunakan bahasa. Teks novel dapat dikaji sebagai suatu tindak bahasa. Tindak bahasa itu terjadi pada dua tataran, yaitu (i) tataran luar novel dan (ii) tataran dalam novel. Komunikasi pada tataran luar novel merupakan upaya penyampaian amanat
14
tertentu dari pengarangnya melalui isi novel. Komunikasi pada tataran dalam novel adalah penyampaian dalam cerita dari pencerita kepada pembacanya (Hoed,1992: 7-8).
Penelitian ini menggunakan data dari
tiga novel bahasa
Prancis dan tiga novel terjemahan dalam bahasa Indonesia. Ketiga novel bahasa Prancis itu adalah
(1) Vendredi ou la Vie Sauvage karya Michel Tournier
diterbitkan oleh Gallimard
tahun 1971, (2) Madame Bovary karya Gustave
Flaubert diterbitkan oleh Gallimard tahun 1972, dan (3) Le Rocher de Tanios karya Amin Maalout diterbitkan oleh Grasser & Fasquelle tahun 1993. Adapun novel terjemahannya adalah (1) Kehidupan Liar diterjemahkan oleh Ida Sundari Husen diterbitkan Pustaka Jaya tahun 1992, (2) Nyonya Bovary diterjemahkan oleh Winarsih Arifin diterbitkan oleh PT Dunia Pustaka Jaya tahun 1990 , dan (3) Cadas Tanios diterjemahkan oleh Ida Sundari Husen diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia tahun 1999. Pemilihan ketiga novel tersebut sebagai data penelitian didasarkan atas dua pertimbangan, yaitu pertama adalah respon masyarakat Prancis terhadap novel itu dan kedua adalah kompetensi penerjemah. Novel Madame Bovary ditulis oleh Gustave Flaubert pada abad ke-19. Gustave Flaubert dibawa ke pengadilan dengan tuduhan bahwa novelnya dianggap melanggar norma-norma masyarakat karena mengungkap peristiwa yang sensual, aib, pelanggaraan norma kesusilaan, agama dan digambarkan secara terbuka, khususnya bagi kaum borjuis. Kehidupan kaum borjuis yang diungkapkan dalam karya sastra tersebut memecahkan norma sosial Prancis pada waktu itu, misalnya mengenai perkawinan yang suci dan secara hipokrit sebab norma itu oleh mereka dalam kehidupannya tidak ditaati. Kaum borjuis adalah kelas sosial yang mendominasi
15
rezim kapitalis. Berkat kegigihan pengarang dalam mempertahankan argumennya di pengadilan, dia dibebaskan dari tuduhan. Karena kehebohan itu, novelnya terjual sebanyak 15.000 eksemplar dalam waktu 6 bulan. Novel itu dianggap sebagai revolusi sastra dan dikagumi tidak hanya di negara Prancis, tetapi juga di Eropha, Amerika, Asia termasuk Indonesia (Sastriyani, 2011: 216-233). Madame Bovary diterjemahkan dalam bahasa Indonesia Nyonya Bovary oleh Winarsih Arifin. Novel Le Rocher de Tanios ditulis
oleh Amin Maalouf. Novel ini
mengisahkan seorang pemuda bernama Tanios, yang didesas-desuskan anak Lamia hasil perselingkuhannya dengan Cheikh. Kisah yang berlatar belakang tahun 1830-an ini memberi gambaran nasib seseorang ditentukan oleh penguasa. Karya itu mendapatkan penghargaan dua kali, yaitu Prix Goncourt (1993) dan Grand Prix des Lecteurs (1996). Karya tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, Inggris, dan Indonesia. Pada tahun 1999 novel tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Cadas Tanios oleh Ida Sundari Husen. Novel terjemahan Cadas Tanios mendapatkan penghargaan sebagai karya terjemahan terbaik dari Yayasan Buku Utama tahun 2001 (Sastriyani, 2004: 2022). Novel Vendredi ou la Vie Sauvage karya Michel Tournier diterbitkan tahun 1971. Novel ini mengisahkan petualangan Robinson. Meskipun demikian, cerita dalam novel ini lebih menonjolkan tokoh Vendredi (Si Jum’at) dan perkembangan kejiwaan Robinson sebagai manusia yang hidup di sebuah pulau terkucil, karena kapalnya karam terdampar, jauh dari apa yang disebut “peradaban”, dalam usahanya untuk tetap bertahan hidup dengan jiwa yang sehat.
16
Michel Tournier ingin menunjukkan bahwa istilah sauvage ‘liar’ itu sebenarnya tidak tepat. Vendredi hidup dalam suatu peradaban lain yang berbeda dengan perdaban barat. Vendredi adalah seorang budak primitif yang harus menerima perintah-perintah dan petunjuk-petunjuk dari Robinson, orang barat yang berpretensi sebagai manusia “beradab”. Di sisi lain, Robinson juga belajar banyak dari Vendredi. Kisah ini diakhiri Vendredi ikut pulang bersama Robinson ke Inggris dan hidup sesuai dengan peradaban di negeri itu. Namun, sebaliknya Robinson kecewa melihat tingkah laku manusia di sekitarnya dan lebih suka tinggal menyendiri di pulau yang terlanjur dicintai itu. Karya itu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Ida Sundari Husen tahun 1991. Winarsih Arifin dan Ida Sundari Husen adalah penerjemah yang memiliki pendidikan dan pengalaman panjang. Mereka berdua memiliki pendidikan keprancisan baik di Indonesia maupun di Prancis. Mereka juga telah menghasilkan
karya-karya
yang
terkait
dengan
keprancisan.
Selain,
menerjemahkan novel Prancis ke dalam bahasa Indonesia, Winarsih Arifin juga menerbitkan kamus besar Prancis-Indonesia. Adapun Ida Sundari Husen, selain mengajar Mata Kuliah Terjemahan di Universitas Indonesia , juga banyak menerjemahkan banyak novel Prancis ke dalam bahasa Indonesia. Data penelitian berupa wacana dari ketiga novel di atas. Pada mulanya dilakukan pencatatan data secara menyeluruh
baik dari TSu maupun TSa.
Sesudah itu data TSu dipilah berdasarkan pada kesinambungan topik dan penonjolan topik. Data kesinambungan topik dipilah lagi berdasarkan pada alat yang digunakan. Adapun data penonjolan topik dikelompokkan berdasarkan pada peristiwa latar depan dan peristiwa latar belakang. Data itu dianalisis dengan
17
analisis wacana dan analisis terjemahan. Johnstone (2002) mengemukakan bahwa analisis wacana menekankan kajian bahsa yang digunakan dalam komunikasi, mengungkapkan pikiran, perasaan, dan menciptakan sebuah karya. Kita dapat mengetahui cara pengirim pesan mengungkapkan makna yang dimaksud melalui rangkaian klausa atau melalui unsur terkecil. Dengan demikian, analisis wacana memungkinkan telaah mulai dari kaitan antar konstituen di dalam kalimat, kaitan antarkalimat, sampai pada kaitan antarparagraf. Untuk itu, diterapkan teknik Bagi Unsur Langsung (BUL) (Sudaryanto, 1993), yaitu membagi wacana berdasarkan unsur-unsur unsur pembentuknya. Dengan teknik BUL akan diketahui unsurunsur pembentuk topik dan alat kesinambungan topik. Adapun untuk menganalisis peristiwa latar belakang dan latar depan diperlukan teknik baca markah, yaitu mengidentifikasi peristiwa melalui pemarkah kala. Setelah analisis wacana dilanjutkan analisis
terjemahan.
Analisis
terjemahan dilakukan dengan cara hasil pengelompokan di atas dianalisis dengan membandingkan data dari TSu dengan data TSa. Pembandingan itu dilakukan berdasarkan pada kesepadanan (equivalence) dan kesejajaran (correspondance). Pasangan data yang sepadan dan tidak sepadan maupun sejajar dan tidak sejajar dipisahkan. Pasangan data yang sepadan dan sejajar dianalisis strategi yang digunakan untuk menciptakan kesinambungan topik dan strategi yang digunakan untuk peristiwa latar depan dan peristiwa latar belakang. Hasil pembandingan itu dibuatkan pola-pola. Adapun pasangan data yang tidak sepadan dan tidak sejajar dicari penyebabnya. Kemudian, dirumuskan gabungan dari kesimpulan kecil.
18
kesimpulan yang merupakan