BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Manusia menggunakan bahasa untuk mengungkapkan isi pikiran dan perasaan
yang dimilikinya. Pikiran dan perasaan tersebut direalisasikan menjadi simbol-simbol abstrak berupa bahasa. Wilkins (1972: 14-33) mengklasifikasikan fungsi bahasa ke dalam delapan kategori yang berhubungan dengan emosi personal dan interpersonal dari penuturnya. Dalam hal ini, emosi dan perasaan lebih erat kaitannya dengan fungsi personal dari bahasa (Finachiaro, 1977). Fungsi personal mementingkan bahasa sebagai medium untuk mengungkapkan pendapat, pikiran, sikap atau perasaan dari penuturnya. Sejalan dengan Finachiaro, Halliday (1973) menyebut bahasa sebagai alat untuk menyampaikan diri. Manusia menyampaikan dirinya melalui tiga tahap yaitu memaparkan, menukarkan dan merangkai pengalaman (Saragih, 2006: 7). Hal ini disebut metafungsi bahasa. Dengan kata lain, manusia menyampaikan dirinya sendiri dengan mengungkapkan apa yang dirasakan dan dialaminya melalui bahasa. Pada umumnya, kondisi mental atau kejiwaan ikut mempengaruhi perasaan yang dimiliki oleh seorang manusia. Pada kondisi kejiwaan yang stabil atau normal, bahasa yang dituturkan akan dapat lebih mudah untuk dipahami. Dengan kata lain, faktor kejiwaan atau psikis ikut memainkan peranan penting dalam menentukan kemampuan berbahasa seseorang. Jika faktor kejiwaan atau psikis seseorang terganggu, maka dapat dipastikan bahwa bahasa yang diproduksi oleh orang tersebut
1
tidak dapat dikategorikan sebagai bahasa normal (Caplan, 1999). Menurut Curtiss (1994), bahasa normal dapat didefinisikan sebagai bahasa yang diproduksi oleh individu yang tidak mengalami gangguan kejiwaan atau psikis. Jika seorang penutur mengalami gangguan kejiwaan atau psikis, maka bahasa yang diproduksi akan sulit untuk dipahami karena adanya kecenderungan penutur untuk berbicara tanpa arah yang jelas. Bipolar Disorder merupakan salah satu gangguan kejiwaan atau psikis. Gangguan kejiwaan atau psikis tersebut mengakibatkan penderitanya mengalami perpindahan emosi yang sangat cepat dari fase depresi ke fase mania dan sebaliknya. Hal tersebut dialami oleh seorang warga negara Amerika Serikat berusia 32 tahun bernama Michelle. Ia memiliki sebuah rutinitas yaitu membuat sebuah video diari yang menceritakan tentang berbagai aktivitas yang dilakukannya serta kejadiankejadian yang dialaminya. Aktivitas sehari-hari yang direkam oleh dirinya sendiri berisikan tuturan-tuturan yang diujarkan oleh dirinya ketika ia sedang berada dalam fase mania dan fase depresi. Setelah memperhatikan secara sekilas video-video tersebut, peneliti mendapatkan kesan bahwa tuturan-tuturan Michelle dalam video tersebut sulit untuk dipahami secara makna dan arah tujuan pembicaraannya. Hal ini sering terjadi di dalam masyarakat dimana tuturan penderita Bipolar Disorder sulit untuk dipahami ketika penderita sedang berada dalam fase mania dan fase depresi. Berdasarkan pengamatan terhadap fenomena kebahasaan tersebut, peneliti merasa tertarik untuk lebih jauh memahami bentuk tuturan yang dihasilkan oleh Michelle sebagai seorang penderita Bipolar Disorder ketika ia berada dalam fase depresi dan fase mania.
2
Ada berbagai faktor yang memainkan peranan penting dalam menentukan apakah sebuah tuturan lebih dapat mudah dipahami atau tidak. Salah satunya adalah tindak tutur. Jika sebuah tuturan dapat diketahui tindak tutur yang terkandung di dalamnya, maka mitra tutur yang mendengar tuturan tersebut akan mengetahui maksud yang ingin disampaikan oleh penutur dalam tuturannya. Hal ini secara tidak langsung akan memberikan kejelasan makna dalam tuturan sehingga lebih dapat mudah dipahami. Selain tindak tutur, kohesi dan koherensi dalam sebuah tuturan juga dapat dikatakan memegang peranan yang signifikan. Chaer (2009:267) menjelaskan bahwa wacana yang disampaikan secara lisan juga mementingkan kohesi dan koherensi yang baik. Hal penting lainnya yang menunjang pemahaman utuh terhadap suatu tuturan adalah adanya referen yang jelas dalam menunjukkan posisi penutur dan orang lain yang disebutkan dalam tuturan tersebut. Referen yang menggunakan kata ganti untuk menunjukkan posisi penutur dan orang lain dalam sebuah tuturan disebut deiksis persona (Purwo, 1984: 22). Ketiga hal penunjang di atas berada dalam ranah pragmatik. Oleh karena itu, peneliti membatasai pengamatan dan analisis terhadap tuturan Michelle sebagai seorang penderita Bipolar Disorder dalam ranah pragmatik. Peneliti menemukan bahwa jenis tindak tutur yang paling dominan muncul dalam tuturan Michelle pada saat fase depresi dan fase mania adalah tindak tutur representatif. Hal ini menjadi salah satu kekhasan dimana tuturan Michelle lebih banyak mengandung tindak tutur representatif daripada jenis tindak tutur lainnya seperti tindak tutur direktif, komisif, ekspresif, dan deklaratif. Berikut ini adalah contoh analisis tuturan Michelle sebagai seorang penderita Bipolar Disorder ketika ia berada dalam fase mania.
3
(1)
There is sometimes things I say and do like I’m trying to make it ‘C’mon, exceedingly anxiously, you caring, generous, ummm, fought for person, but really what’s motive behind it (Ada hal-hal yang kadang saya ucapkan dan lakukan seperti saya sedang mencoba untuk membuatnya menjadi ‘Ayolah, cemas berlebihan, anda peduli, baik hati, umm, berjuang untuk seseorang tapi apa motif dibalik hal itu)
Pada tuturan (1) di atas, Michelle menyatakan bahwa ia terkadang memberikan kesan sinis dalam setiap hal yang ia katakan dan lakukan. Tindak menyampaikan tersebut termasuk ke dalam bentuk tindak tutur representatif. Tindak tutur representatif mengharuskan penuturnya, dalam hal ini Michelle, memiliki secara pasti kebenaran informasi yang terkandung di dalam pernyataannya. Peneliti menemukan landasan kebenaran informasi atas pernyataannya tersebut dalam tuturan lain berikut
(1a)
Everyone wants to know where I’ll get an idea of something I want to do or, like, whatever... (Setiap orang ingin tahu dimana saya akan mendapatkan sebuah ide akan hal yang saya ingin lakukan atau apapun itu)
Pada tuturan (1a) di atas, terdapat konteks yang membingkai tuturan (1) di atas. Konteks tersebut adalah Michelle menyampaikan bahwa ia merasa setiap orang ingin mengetahui jalan pikiran serta apa yang akan dirinya lakukan. Ia lalu meragukan
alasan
sebenarnya
mengapa
orang-orang
di
sekitarnya
begitu
memperhatikan dirinya dengan cara ingin mengetahui setiap apa yang dipikirkan dan dilakukannya.
4
Berikut adalah contoh lain dari tindak menyatakan yang terdapat dalam tuturan Michelle pada saat fase mania.
(2)
I feel like this huge massive manipulative b*tch and I feel like a puppet master and yeah, I’ll pull a string and make you dance (Saya merasa seperti seorang wanita jalang yang benar-benar manipulatif dan saya merasa seperti seorang pengendali boneka dan yeah, saya akan menarik benang dan saya akan membuat anda menari)
Pada tuturan (2) di atas, Michelle menyatakan bahwa ia merasa senang dapat memanipulasi dan mengendalikan orang-orang di sekitarnya. Hal tersebut dikarenakan Michelle merasa bahwa semua orang tidak benar-benar tulus saat memperhatikan keadaan dirinya. Oleh karena itu, Michelle merasa bahwa ia dapat memanfaatkan keadaan tersebut untuk memanipulasi orang-orang tersebut. Kebenaran informasi yang ada terbentuk berdasarkan konteks dari hubungan antara hal-hal di luar Michelle sebagai penutur yaitu orang-orang disekitarnya dan Michelle sendiri. Pada saat berada dalam fase depresi, peneliti menemukan tindak mengeluh yang juga merupakan jenis dari tindak tutur representatif dalam tuturan Michelle. Berikut ini adalah contoh tuturan-tuturan Michelle yang mengandung tindak mengeluh:
(3)
I’m just tired and I don’t wanna do anything (Saya hanya lelah dan saya tidak ingin melakukan apapun)
(4)
It’s so frustrating and there is something really really wrong with me like it’s just never going to get fixed...
5
(Hal ini begitu membuat frustasi dan ada hal yang benar-benar salah dengan saya seolah-olah hal tersebut tidak akan pernah dapat diperbaiki)
Selain tindak mengeluh, Michelle juga melakukan tindak berspekulasi pada tuturan (5) dan tindak menyatakan pada tuturan (6) yang keduanya merupakan jenis dari tindak tutur representatif.
(5)
I don’t even think anybody would care if I were there.... (Saya tidak bahkan berpikir bahwa siapa pun akan peduli jika saya berada di sana)
(6)
Like, there’s something bigger that I suppose to be doing than I’m doing. (Seolah-olah, ada hal yang lebih besar yang harus saya lakukan daripada hal yang saya sedang lakukan)
Pada tuturan (3), (4), dan (6) di atas, kebenaran informasi yang menjadi landasan dari tuturan-tuturan Michelle di atas berasal dari asumsi oleh dirinya sendiri. Pikiran dan perasaan Michelle yang tidak menentu karena depresi dan emosi memuncak di saat itu membentuk asumsi tersebut sehingga menjadi kebenaran informasi bagi Michelle dalam tuturannya. Namun, tuturan (2) dan (5) memiliki kebenaran informasi yang berasal dari hasil interaksi Michelle terhadap orang-orang dan lingkungan di sekitarnya. Hal ini lalu menimbulkan sebuah pertanyaan mengenai cara Michelle menempatkan dirinya dalam tiap tuturan yang ada pada saat ia berada dalam fase depresi dan fase mania. Oleh karena itu, peneliti lalu berusaha menemukan perbedaan mendasar antara tindak tutur representatif serta orientasi
6
tuturan yang ada dalam tuturan Michelle pada saat berada dalam fase depresi dan fase mania. Selain tindak tutur representatif, peneliti juga menganalisis sejauh mana tingkat kohesi dan koherensi yang ada pada tuturan Michelle pada saat fase depresi dan fase mania. Tuturan Michelle yang akan dianalisis kohesi dan koherensinya dapat dikategorikan sebagai sebuah wacana bersifat monolog. Dardjowidjojo (2010: 128) mengemukakan bahwa setiap orang pada umumnya mengikuti pola narasi tertentu dalam sebuah monolog. Ia lalu menambahkan bahwa setiap orang akan memilahmilah informasi yang tepat dan kurang tepat dalam monolog tersebut. Dalam tuturan Michelle, peneliti menemukan adanya kohesi gramatikal leksikal. Berikut adalah contoh adanya kohesi gramatikal dalam tuturan Michelle:
(7)
I try to ask my mother in law if she would do it (Saya mencoba meminta ibu mertua say a kalau-kalau ia mau melakukannya)
(8)
I’m trying really hard to not be overbearring with people because I know I can’t do that (Saya sedang berusaha sangat keras untuk tidak terlalu berurusan dengan orang-orang karena saya tahu saya tidak dapat melakukan hal itu)
Pada tuturan (7), ditemukan adanya kohesi gramatikal berupa pronomina she ‘dia’ sebagai acuan terhadap my mother ‘ibu saya’ yang digunakan secara tepat. Sedangkan pada tuturan (8), ditemukan adanya kohesi gramatikal lainnya berupa
7
konjungsi because ‘karena’ yang digunakan secara tepat untuk menunjukkan hubungan sebab akibat dalam kalimat tersebut. Selain kohesi gramatikal, peneliti juga menemukan adanya kohesi leksikal dalam tuturan Michelle. Berikut adalah contoh adanya kohesi leksikal dalam tuturan Michelle:
(9)
I’m sorry I’m so weird and awkward (Saya minta maaf saya begitu aneh dan canggung)
(10)
Like, if I don’t like a person, not necessarily to a person, I think it’s like I don’t pretend to care so much about a person. (Seperti jika saya tidak menyukai seseorang, tidak begitu penting terhadap seseorang, Saya pikir saya seperti tidak berpura-pura peduli akan seseorang)
Pada tuturan (9), ditemukan adanya kohesi leksikal berupa penggunaan dua leksem yang bersinonim yaitu weird ‘aneh’ dan awkward ‘canggung’. Selain itu, tuturan (10) juga memiliki kohesi leksikal yang baik berupa repetisi atau pengulangan leksem a person ‘seseorang’.
(11)
All I wanna do is... all I wanna have is like some measurement that this is not going on. But in order to do that, I need to talk about it. I need to bring it up (Hal yang ingin saya lakukan adalah... 1 Hal yang ingin saya miliki adalah seperti beberapa indikasi bahwa hal ini tidak sedang berlangsung. 2 Akan tetapi agar hal itu dapat dilakukan, saya perlu untuk membicarakannya. Saya perlu untuk mengemukakannya.)
8
Tuturan (11) diatas memiliki koherensi yang baik antar kalimat pertama dan kalimat kedua. Koherensi yang baik ditunjukkan dengan adanya hubungan hasilsyarat antara kalimat pertama dan kalimat kedua. Kalimat pertama menunjukkan hasil sedangkan kalimat kedua menunjukkan syarat. Namun, peneliti tetap menemukan beberapa tuturan Michelle yang tidak memiliki kohesi dan koherensi yang baik pada saat berada dalam fase depresi dan fase mania. Berikut ini adalah contoh tuturan Michelle yang tidak memiliki kohesi gramatikal yang baik pada saat ia sedang berada dalam fase mania:
(12)
Like there is a truck five miles in front of me and he just can take his sweet time and I don’t really care. Go ahead and make more like, fine. I mean it, I don’t even care. (Ada sebuah truk lima mil di depan saya dan dia dapat menggunakan waktunya selama mungkin dan saya benar-benar tidak peduli. Silahkan dan teruskan. Saya sungguh-sungguh. Saya bahkan tidak peduli)
Pada tuturan (12) di atas, Michelle menggunakan pronomina he ‘dia’ untuk mengacu akan seseorang. Namun, Michelle tidak memberikan gambaran secara jelas akan acuan dari pronomina tersebut sehingga membuat tuturan tersebut menjadi tidak kohesif. Untuk mengetahui acuan dari pronomina tersebut, peneliti lalu melihat ke dalam konteks tuturan tersebut. Konteks dari tuturan (12) di atas adalah Michelle sedang terjebak dalam kemacetan. Lebih lanjut, Michelle menyebutkan di awal tuturan bahwa ada sebuah truk di depan mobilnya ketika ia terjebak dalam kemacetan tersebut. Dengan menggabungkan kedua informasi tersebut, maka dapat diketahui bahwa acuan dari pronomina he ’dia’ yang digunakan Michelle dalam tuturan (12)
9
adalah seoang pengemudi truk. Namun, Michelle tidak menyebutkan secara langsung acuan dari pronomina yang ia gunakan karena ia sedang berada dalam kondisi gembira yang berlebihan akibat fase mania yang dialaminya. Kondisi tersebut menyebabkan Michelle mengalami kesulitan untuk fokus dalam menentukan acuan yang sesuai untuk pronomina yang ia gunakan dalam tuturannya. Peneliti juga menemukan bahwa banyak tuturan Michelle yang tidak menunjukkan kohesi dan koherensi yang baik pada saat ia berada dalam fase depresi. Berikut ini adalah contoh tuturan Michelle yang tidak memiliki koherensi yang baik pada saat ia sedang berada dalam fase depresi:
(13)
It seems like I’m just unwanted piece of trash. That’s what I feels like. It’s stupid and it’s stupid that I can’t help myself that is stupid, That is not really true. It is not but it is still... Just because you can tell yourself that is not true, you have no reason to feel like what does make you sad, feeling that way. Just because I know that. Just because I know... I know I can, like, logically say that’s not true. It’s because I can say that, you know. Devise logic doesn’t make me automatically think that way. This because can be explained, it doesn’t make believe it. I don’t know I can make any sense. I don’t know what’s wrong with me (Kelihatannya saya hanya seperti sampah yang tidak diinginkan. Itu yang saya rasakan. Hal itu bodoh dan bodoh hingga saya tidak bisa menyangkal bahwa hal itu bodoh. Hal itu benar-benar tidak benar. Hal itu tidak benar tetapi masih saja... Hanya karena kamu bisa mengatakan kepada dirimu bahwa itu tidak benar, kamu tidak memiliki alasan untuk merasakan apa yang membuat kamu sedih, merasakan hal itu. Hanya karena saya tahu itu. Hanya karena saya tahu... Saya tahu saya bisa, seperti secara logis mengatakan bahwa itu tidak benar. Hanya karena saya bisa mengatakan hal itu, kamu tahu. Logika tidak membuatku secara otomatis berpikir seperti itu. Hanya karena hal ini bisa dijelaskan, hal tersebut tidak bisa dipercayai. Saya tidak tahu saya bisa mengatakan hal bermakna. Saya tidak tahu apa yang salah dengan diri saya)
10
Pada tuturan (13) di atas, Michelle terus mengulang kalimat-kalimat yang sebenarnya memiliki inti yang sama yaitu bahwa dirinya merasa frustasi karena ia tidak tahu hal pasti yang menyebabkan ia sering merasa depresi. Pengulangan yang tidak efektif seperti itu membuat tuturan di atas sulit untuk dipahami akibat kurangnya koherensi dalam tuturan tersebut. Selain itu, hubungan antar kalimat pada tuturan tidak jelas dikarenakan tidak adanya penanda yang menunjukkan hubungan antar kalimat tersebut. Ketika berada dalam kondisi yang sangat depresif, Michelle cenderung untuk menghasilkan tuturan yang sulit untuk dipahami karena kurang baiknya koherensi dalam tuturan tersebut. Ia juga cenderung untuk terus mengulang kalimat yang sama pada posisi yang berbeda dalam sebuah tuturan. Adanya kecenderungan oleh Michelle untuk tidak menghasilkan tuturan yang memiliki kohesi dan koherensi yang baik pada saat berada dalam fase depresi dan fase mania menunjukkan bahwa Michelle kesulitan untuk menghasilkan sebuah tuturan yang mudah untuk dipahami. Peneliti lalu berusaha untuk memahami lebih jauh bentuk-bentuk kohesi dan koherensi yang kurang baik dalam tuturan Michelle baik pada saat fase depresi dan fase mania. Dengan ditemukannya bentuk-bentuk kohesi dan koherensi yang kurang baik pada fase depresi dan fase mania, peneliti dapat menentukan perbedaan mendasar antara kepaduan wacana dalam tuturan Michelle pada saat berada dalam fase depresi dan fase mania. Peneliti juga menyimak dengan seksama tuturan Michelle dan mendapati bahwa ia menggunakan berbagai pronomina dalam tuturannya. Salah satunya adalah pronomina yang digunakan sebagai pengacuan persona. Berikut adalah contoh tuturan tersebut.
11
(14)
I think it’s like… I don’t know, it’s just weird. I can’t even describe it. (Saya pikir seperti seolah-olah.... Saya tidak tahu, hal ini hanya aneh. Saya bahkan tidak dapat menjelaskannya)
Salah satu hal yang menarik dari tuturan (14) di atas adalah penggunaan pronomina I ‘saya’ tampak dominan dibandingkan pronomina lainnya. Peneliti lalu berasumsi bahwa Michelle sebagai penutur memiliki tingkat egosentris yang tinggi dimana segala sesuatu yang dibicarakan berpusat kepada dirinya. Namun, hal ini perlu dibuktikan kebenarannya secara ilmiah melalui pendekatan linguistik. Oleh karena itu, peneliti menganalisis hal ini dengan menggunakan teori deiksis persona. Yule (1996: 10) mengemukakan bahwa deiksis persona dapat terlihat melalui penggunaan pronomina yang mencerminkan sudut pandang orang pertama, kedua, dan ketiga. Berdasarkan teori tersebut, peneliti menganalisis tingkat egosentris Michelle dalam tuturannya pada saat berada dalam fase depresi dan fase mania.
1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang disebutkan di atas, rumusan masalah dari
penelitian ini adalah: 1.
Apa perbedaan mendasar antara tindak tutur representatif yang terkandung dalam tuturan Michelle pada saat berada dalam fase depresi dan fase mania?
2.
Bagaimana bentuk kohesi dan koherensi yang kurang baik dalam tuturan Michelle pada saat berada dalam fase depresi dan fase mania?
12
1.3
Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dibatasi dalam ranah pragmatik. Secara khusus, analisis data
dilakukan berlandaskan teori-teori pragmatik seperti tindak tutur reprentatif, kohesi, koherensi, dan deiksis persona. Data yang dianalisis berupa tuturan Michelle yang merupakan sebuah wacana monolog. Tuturan tersebut merupakan kalimat yang dituturkan oleh Michelle ketika ia berada dalam fase depresi dan fase mania. Peneliti membatasi tindak tutur yang ada hanya pada tindak tutur representatif yang ditemukan dalam tuturan Michelle ketika ia berada dalam fase depresi dan fase mania. Hal ini disebabkan tindak tutur representatif jauh lebih dominan muncul dalam tuturan Michelle daripada jenis tindak tutur lainnya baik pada saat berada dalam fase depresi dan fase mania. Selain tindak tutur representatif, peneliti juga menggunakan teori deiksis persona untuk menunjang usaha peneliti dalam menentukan perbedaan mendasar tingkat egosentris penutur dalam tuturannya pada saat berada dalam fase depresi dan fase mania. Peneliti juga membatasi analisis kohesi yang ada pada tataran kohesi leksikal dan kohesi gramatikal. Hal ini disebabkan oleh banyaknya kohesi yang kurang baik pada tataran leksikal dan gramatikal dalam tuturan Michelle pada saat berada dalam fase depresi dan fase mania. Sedangkan untuk koherensi, peneliti membatasi analisis yang ada terhadap koherensi antar kalimat dalam tuturan Michelle ketika ia berada dalam fase depresi dan fase mania. Hal ini disebabkan oleh banyaknya koherensi yang kurang baik antar kalimat dalam tuturan Michelle pada saat berada dalam fase depresi dan fase mania.
13
1.4
Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang ada, tujuan dari penelitian ini adalah:
1.
Mendeskripsikan perbedaan mendasar antara tindak tutur representatif yang terkandung dalam tuturan Michelle pada saat berada dalam fase depresi dan fase mania
2.
Mendeskripsikan bentuk kohesi dan koherensi yang kurang baik dalam tuturan Michelle pada saat berada dalam fase depresi dan fase mania.
1.5
Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat positif bagi
para pembaca dan peneliti-peneliti berikutnya. Manfaat dari penelitian ini dapat dibagi dua yaitu yang bersifat teoretis dan yang bersifat praktis.
1.5.1
Manfaat Teoretis Secara teoretis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi positif
terhadap perkembangan linguistik terutama dalam kajian pragmatik. Penelitian ini secara khusus diharapkan dapat memberikan pemahaman mendetail tentang teori tindak tutur representatif, deiksis persona, serta kohesi dan koherensi. Adanya pemahaman mendetail terhadap teori-teori tersebut diharapkan dapat diaplikasikan secara praktis dalam analisis sebuah tuturan.
14
1.5.2
Manfaat Praktis Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi dalam
memberikan pemahaman terhadap tuturan penderita Bipolar Disorder pada umumnya. Pemahaman menyeluruh tersebut diharapkan dapat tercapai melalui analisis tindak tutur representatif, kohesi, koherensi, dan deiksis persona yang dilakukan terhadap tuturan Michelle sebagai seorang penderita Bipolar Disorder. Selama ini masyarakat beranggapan bahwa sulit untuk memahami maksud tuturan dari penderita Bipolar Disorder dikarenakan mereka selalu diidentikkan dengan orang yang mengalami gangguan jiwa atau tidak waras. Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sudut pandang yang berbeda dalam upaya memahami maksud tuturan dari penderita Bipolar Disorder yang seringkali dipengaruhi oleh perubahan suasana hati yang sangat cepat dan terkadang ekstrim. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi positif dengan memberikan data tambahan dalam penelitian lanjutan dalam bidang psikologi terhadap penderita Bipolar Disorder pada masa mendatang.
1.6
Tinjauan Pustaka Penelitian yang berkaitan dengan tindak tutur representatif telah banyak
dilakukan oleh peneliti terdahulu. Salah satunya adalah “Tindak Tutur Representatf dalam ceramah K.H. Anwar Zahid” oleh Eka Rahayuningsih. Dalam penelitiannya, Eka berusaha menganalisis jenis, modus, dan strategi tindak tutur representatif yang digunakan dalam ceramah K.H. Anwar Zahid. Metode penelitian yang digunakan oleh Eka adalah metode penelitian deskriptif kualitatif. Hasil penelitian yang
15
didapatkan menunjukkan bahwa tindak tutur representatif, modus tindak tutur, dan strategi tindak tutur yang digunakan oleh K.H. Anwar Zahid berisi tentang hubungan manusia dengan Tuhan serta hubungan manusia dengan manusia. K.H. Anwar Zahid menyampaikan hal tersebut dengan serius dan dipadukan dengan gurauan sehingga pendengar dapat memahami sekaligus menikmati dalam mendengarkan ceramah tersebut. Hal yang membedakan antara penelitian Eka Rahayuningsih dan penelitian ini adalah peneliti hanya menganalisis bentuk tindak tutur representatif yang digunakan. Peneliti tidak menganalisis modus dan strategi tindak tutur seperti yang dilakukan oleh Eka Rahayuningsih. Penelitian yang berkaitan dengan kohesi dan koherensi juga telah banyak dilakukan oleh peneliti terdahulu. Salah satunya adalah “Kajian Kohesi dan Koherensi Dalam Novel Kadurakan Ing Kidul Karya Suparto Brata” oleh Astuti Kurnia Salmi. Dalam penelitiannya, Astuti berusaha mendeskripsikan wujud penanda kohesi serta koherensi dalam novel Kadurakan Ing Kidul karya Suparto Brata. Astuti menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif untuk mengumpulkan, menganalisis, serta menyajikan data penelitiannya. Hasil penelitian yang dilakukan Astuti menunjukkan bahwa kohesi dan koherensi dalam novel Kadurakan Ing Kidul dapat dikatakan baik dikarenakan memiliki wujud penanda yang jelas. Hal yang membedakan antara penelitian Astuti Kurnia Salmi dan penelitian ini adalah sumber data yang digunakan. Penelitian Astuti menggunakan novel sebagai objek penelitian sedangkan peneliti menggunakan tuturan dalam sebuah video diari sebagai objek penelitian.
16
Penelitian yang berkaitan dengan deiksis persona juga telah banyak dilakukan oleh peneliti terdahulu. Salah satunya adalah “Analisis Deiksis Persona Dalam Bahasa Rusia (Suatu Tinjauan Pragmatik)” oleh Heppy Leo Mustika. Dalam penelitiannya, Heppy membahas tentang cara menentukan deiksis persona yang terdapat dalam bahasa Rusia serta bentuk-bentuk deiksis persona yang digunakan dalam novel “Antara Ayah dan Anak” karya Ivan Turgenev. Metode penelitian yang digunakan oleh Heppy adalah metode penelitian deskriptif analisis. Hasil penelitian yang ada menunjukkan bahwa deiksis persona dalam bahasa Rusia mengacu pada konteks tuturan seperti penulis, pembaca, topik pembicaraan dan latar. Selain itu, Heppy juga mengidentifikasi dan mengklasifikasi berbagai bentuk deiksis persona yang ditemukan dalam novel tersebut. Hal yang membedakan antara penelitian Heppy dan penelitian ini adalah peneliti berusaha menganalisis deiksis persona yang digunakan untuk mengetahui tingkat egosentris dari penutur. Peneliti tidak berusaha mengidentifikasi dan mengklasifikasi berbagai bentuk deiksis persona seperti halnya yang dilakukan oleh Heppy. Penelitian lain yang relevan dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti dilakukan oleh Wahyu Wiji Nugroho dengan judul “Karakteristik Bahasa Toni Blank (Seorang Penderita Schizofrenia)”. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan karakteristik linguistik, pelanggaran prinsip kerja sama, serta kohesi dan koherensi dari tuturan Toni Blank sebagai seorang penderita schizofrenia. Hasil yang didapatkan dari penelitian ini adalah adanya dominasi pelanggaran maksim kualitas, kohesi yang baik, dan koherensi yang buruk dalam tuturannya. Perbedaan mendasar antara penelitian yang dilakukan oleh Wahyu dan peneliti adalah peneliti tidak
17
menggunakan prinsip kerja sama untuk menganalisis data yang ada serta memilih tindak tutur representatif dan penggunaan deiksis persona untuk menentukan tingkat egosentris dari subjek penelitian.
1.7
Landasan Teori Dalam menganalisis data berupa tuturan Michelle sebagai seorang penderita
Bipolar Disorder, peneliti menggunakan beberapa teori dalam ranah linguistik sebagai berikut
1.7.1
Pragmatik Bahasa digunakan oleh penutur untuk berbagai tujuan. Salah satunya adalah
untuk
mengungkapkan
pikiran
dan
perasaan
yang
dimilikinya.
Manusia
mengungkapkan hal tersebut ketika ia sedang berkomunikasi (Parker, 1985:11). Ketika bahasa dilihat dari sudut pandang penuturnya maka bahasa tersebut dapat berfungsi personal. Dengan demikian, terdapat hubungan yang erat antara bahasa dan penuturnya. Pragmatik sebagai cabang linguistik merupakan kajian yang mempelajari hubungan antara bahasa dan penuturnya (Yule, 1996:4).
1.7.2
Tindak Tutur Representatif Dalam bukunya yang berjudul ”How to Do Things with Words”, Austin
(1962) mengemukakan bahwa seseorang dapat melakukan suatu tindakan ketika ia mengujarkan sesuatu. Hal inilah yang disebut dengan tindak tutur. Yule (1996: 47) menegaskan bahwa tuturan tidak hanya terdiri dari struktur gramatikal dan kata
18
melainkan juga tindak tutur yang melakukan tindakan melalui tuturan tersebut. Lebih lanjut, Chaer dalam Rohmadi (2004: 29) mengemukakan bahwa tindak tutur adalah gejala individual yang bersifat psikologis dan keberlangsungannya ditentukan oleh kemampuan bahasa si penutur dalam menghadapi situasi tertentu. Searle dalam Parker (1985: 15) menjelaskan bahwa konsep dasar tindak tutur terdiri dari tindak tutur lokusi, tindak tutur ilokusi, dan tindak tutur perlokusi. Tindak tutur ilokusi atau The Act of Doing Something adalah tindak tutur yang memiliki daya tuturan berupa tindakan yang disampaikan melalui tuturan tersebut (Austin dalam Parker 1985: 15). Searle dalam Yule (1996: 53) mengklasifikasikan tindak tutur ilokusi tersebut ke dalam lima kateogori tindak tutur yaitu representatif, direktif, komisif, ekspresif, dan deklaratif. Dalam penelitian ini, teori tindak tutur representatif akan digunakan untuk menganalisis permasalahan pertama dalam penelitian ini. Menurut Searle (1976: 11), tindak tutur representatif mengharuskan penuturnya untuk menyajikan suatu hal sebagai kebenaran dalam tuturannya. Dardjowidjojo (2010: 100) menambahkan bahwa tuturan representatif mengandung muatan proposi berupa informasi-informasi yang benar. Hal senada dikemukakan oleh Kreidler (1998: 183) bahwa tindak tutur representatif berkaitan dengan penyampaian informasi berupa fakta. Informasi tersebut merupakan kenyataan yang benar-benar terjadi dan dapat dibuktikan kebenarannya. Oleh karena itu, tindak tutur representatif mengikat penuturnya untuk dapat mempertanggungjawabkan tuturannya sebagai suatu hal yang benar. Lebih lanjut, jenis tindak tutur representatif meliputi tindak menyatakan, menyebutkan, mengakui,
menyimpulkan,
mengeluh,
19
memutuskan,
menegaskan,
menuntut,
melaporkan, menunjukkan, berspekulasi, dan tindakan lainnya yang menyangkut penutur dengan kebenaran informasi dalam tuturannya. Berikut adalah contoh tuturan Michelle sebagai seorang penderita Bipolar Disorder yang mengandung tindak tutur representatif.
(15)
When I do trust somebody, I would trust them implicitly. (Ketika saya mempercayai seseorang, saya akan mempercayai orang tersebut secara implisit)
Pernyataan di atas merupakan kebenaran bahwa Michelle memiliki sebuah pandangan tersendiri tentang bagaimana ia bersikap dalam sebuah hubungan sosial dengan orang-orang di sekitarnya. Tuturan tersebut merupakan hal yang dapat dipertanggungjawabkan Michelle bahwa ia memang tidak mempercayai seseorang sepenuhnya dan tidak menunjukkan rasa percayanya secara terang-terangan. Dengan demikian, jenis tindak tutur representatif pada tuturan (15) di atas adalah tindak menyatakan.
1.7.3
Konteks Konteks diperlukan dalam upaya memahami tindak tutur yang ada. Menurut
Yule (1996: 21), konteks mempengaruhi bagaimana suatu ekspresi yang diacu dapat diinterpretasi. Interpretasi tersebut, lebih lanjut, ditunjang oleh pemahaman akan latar belakang pengetahuan yang membingkai sebuah tuturan. Selain itu, Lubis (1993: 85) menjelaskan bahwa interpretasi terhadap tuturan juga akan menjadi lebih mudah jika penutur dalam tuturan tersebut diketahui.
20
Dalam perkembangannya, teori konteks telah dirumuskan beberapa kali oleh beberapa ahli bahasa di dunia. Salah satunya adalah Hymes (1974) yang mengemukakan bahwa terdapat delapan komponen tutur yang menunjang sebuah konteks dan mempengaruhi sebuah tuturan. Salah satu komponen dari delapan komponen tersebut adalah latar dan suasana (Setting and Scene). Latar adalah tempat dimana tuturan tersebut dituturkan sedangkan suasana adalah kondisi psikologis penutur saat memproduksi sebuah tuturan. Hal senada disampaikan oleh Parret dalam Andianto (2000: 65) dalam klasifikasinya terhadap konteks dimana konteks psikologis ikut mempengaruhi sebuah tuturan. Lebih lanjut, konteks aksional juga memiliki andil dalam menentukan interpretasi sebuah tuturan. Konteks aksional adalah perilaku-perilaku di luar tuturan atau non verbal yang ada ketika tuturan diproduksi.
1.7.4
Wacana Dalam kajian linguistik, wacana merupakan salah satu objek yang dikaji
hingga memunculkan suatu disiplin ilmu bernama analisis wacana. Wacana adalah satuan bahasa yang memiliki kedudukan paling tinggi di atas kalimat atau klausa. Wacana tersebut dapat berbentuk lisan maupun tulisan. Sudaryat (2009: 112) mengemukakan bahwa medium penyampaian sebuah wacana dapat berupa lisan dan tulisan. Hal senada dikemukakan oleh Crystal dalam Wijana (2011: 69) bahwa wacana lisan merupakan penyampaian berbagai peristiwa melalui tuturan. Chaer (2009: 267) mengemukakan bahwa wacana yang disampaikan secara lisan juga memperhatikan aspek-aspek yang membangun kesinambungan dalam
21
wacana tersebut dari awal hingga akhir. Aspek-aspek yang dimaksud dapat dikategorikan menjadi dua yaitu kohesi dan koherensi. Kohesi dan koherensi menjadi aspek-aspek yang perlu diperhatikan dalam menjaga keutuhan sebuah wacana.
1.7.5
Kohesi Kohesi adalah perangkat sumber-sumber kebahasaan yang terdapat pada tiap
bahasa (Halliday & Hasan dalam Suwandi 2008:121). Hal tersebut merupakan bagian dari metafungsi tekstual untuk mengaitkan antar bagian dalam wacana. Pendapat lain mengenai definisi kohesi yang digagas oleh Mulyana (2005:26) menjelaskan adanya hubungan ikatan sintaktikal yang dibangun secara struktural. Selain itu, wacana yang baik dan utuh memperlihatkan adanya hubungan kohesif melalui pemarkah yang bersifat lingual formal. Pemarkah tersebut biasanya berhubungan dengan hubungan antar kalimat berupa kata, frasa, kalimat atau satuan gramatikal lainnya. Oleh karena itu, kohesi sering dianggap sebagai aspek keutuhan internal dari sebuah wacana. Djajasudarma (2010:4) menguatkan pernyataan ini dengan mengemukakan bahwa kohesi adalah adanya keserasian hubungan antara unsur-unsur internal dalam sebuah wacana Kohesi dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu kohesi leksikal dan kohesi gramatikal.
1.7.5.1 Kohesi Leksikal Kohesi leksikal mementingkan adanya hubungan leksikal antara bagianbagian dalam sebuah wacana. Hubungan leksikal tersebut menunjukkan adanya hubungan makna atau semantis antara satuan lingual (Sumarlam 2010: 55). Kohesi
22
leksikal terdiri dari beberapa jenis yaitu sinonimi, antonimi, hiponimi, repetisi, kolokasi, dan ekuivalensi (Halliday dan Hasan dalam Mulyana, 2005: 26-27).
1.
Sinonimi Secara etimologi, kata sinonim berasal dari bahasa Yunani yaitu kata onoma
yang berarti ‘nama’ dan syn yang berarti ‘dengan’. Dengan demikian, sinonim berarti nama lain untuk benda yang sama (Chaer, 1990: 85). Definisi lain dari sinonimi adalah hubungan persamaan antara bentuk kebahasaan yang satu dan lainnya (Wijana dan Rohmadi, 2008: 28). Sinonimi berkaitan dengan relasi makna yang sama. Arifin dan Tasai (2000) mendefinisikan sinonimi sebagai makna yang sama antara dua kata yang memiliki bentuk yang berbeda. Makna dalam sinonimi tidaklah harus benarbenar sama. Keraf (1979) berpendapat bahwa setidaknya terdapat kemiripan atau kesamaan dalam makna tersebut. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Saeed (2000: 65) bahwa sinonimi adalah kata yang memiliki bentuk fonologis berbeda namun terdapat makna yang sama atau hampir sama. Contoh sinonimi dalam bahasa Inggris terdapat pada kata large dan huge. Kedua kata tersebut memiliki makna yang sama yaitu ‘sangat besar’.
2.
Antonimi Secara etimologi, kata antonimi berasal dari bahasa Yunani yaitu kata onoma
yang berarti ‘kata’ dan anti yang berarti ‘melawan’. Dengan demikian antonimi dapat didefinisikan secara harafiah sebagai perlawanan makna dimana antonimi berkaitan dengan relasi makna yang berlawanan. Antonimi adalah kata yang bermakna oposisi
23
dan berkebalikan dengan kata lain. Berdasarkan sifatnya, antonimi dapat diklasifikasikan menjadi antonimi mutlak, antonimi kutub, antonimi hubungan, antonimi hierarkial, dan antonimi majemuk (Chaer 1989: 93-96). a.
Antonimi mutlak adalah perlawanan makna secara mutlak. Contohnya adalah kata dead yang berarti ‘mati’ berlawanan makna secara mutlak dengan kata alive yang berarti ‘hidup’.
b.
Antonimi kutub adalah perlawanan makna secara gradasi. Contoh adalah kata old yang berarti ‘tua’ berlawanan makna secara gradasi dengan kata young yang berarti ‘muda’.
c.
Antonimi hubungan adalah perlawanan makna secara hubungan. Contohnya adalah kata husband yang berarti ‘suami’ berlawanan makna secara hubungan dengan kata wife yang berarti ‘istri’.
d.
Antonimi hierarkial adalah perlawanan makna secara tingkatan. Contohnya adalah kata employer yang berarti ‘atasan’ berlawanan makna secara hierarkial dengan kata employee yang berarti ‘pegawai’.
e.
Antonimi majemuk adalah perlawanan makna antara satu kata dan beberapa kata. Contohnya adalah kata red yang berarti ‘merah’ berlawanan makna dengan beberapa kata seperti yellow yang berarti ‘kuning’, blue yang berarti ‘biru’ dan beberapa kata lainnya.
3.
Hiponimi Secara etimologi, kata hiponimi berasal dari bahasa Yunani yaitu kata onoma
yang berarti ‘kata’ dan hypo yang berarti ‘di bawah’. Dengan demikian, hiponimi
24
dapat didefinisikan secara harafiah sebagai nama yang berada di bawah nama lain. Keraf (2005: 38) mendefinisikan hiponimi sebagai hubungan atas bawah antar kata dimana kata yang berkedudukan di atas disebut sebagai hipernimi dan kata yang berkedudukan di bawah disebut sebagai hiponimi. Definisi lain dari hiponimi adalah hubungan antara yang lebih kecil dan yang lebih besar (Verhaar, 2001:396). Hal senada digagas oleh Suherlan dan Rosidin (2004: 272) dimana hiponimi memiliki hierarki atau urutan mulai dari yang terkecil atau terendah hingga yang terbesar atau tertinggi. Sedangkan Kridalaksana (2008: 83) mengemukakan bahwa hiponimi lebih mengarah kepada relasi semantis antara makna spesifik dan makna generik. Contohnya adalah kata orchid yang berarti ‘anggrek’, rose yang berarti ‘mawar’, dan jasmine yang berarti ‘melati’ merupakan hiponim dari kata flower yang berarti ‘bunga’ yang merupakan hipernim. Bagan kedudukan atas bawah dari hiponim dan hipernim tersebut dapat ditunjukkan sebagai berikut:
flower ‘bunga’ orchid ‘anggrek’
rose ‘mawar’
jasmine ‘melati’
Bagan 1. Hipernim dan Hiponim 4.
Repetisi Repetisi adalah pengulangan satuan lingual yang dianggap penting untuk
memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai (Sumarlan dalam Tugiati, 2004: 48). Fungsi dari repetisi adalah untuk memberi tekanan pada unsur yang dianggap
25
penting sehingga perlu untuk diulang. Adanya repetisi dalam sebuah wacana baik lisan maupun tulisan dapat memberikan dampak yang baik maupun buruk dalam wacana tersebut. Penggunaan yang benar dan dan penempatan yang tepat dari repetisi akan memberikan pemahaman yang baik terhadap unsur yang dipentingkan dalam wacana tersebut. Sebaliknya, penggunaan repetisi yang konstan secara terus-menerus dan tanpa arah yang jelas akan menimbulkan kesan monoton dan lemahnya penguasaan bahasa terutama dalam perbendaharaaan kosa kata yang dimiliki. Repetisi dapat diklasifikasikan menjadi delapan jenis yaitu repetisi epizeuksis, repetisi tautotes, repetisi anafora, repetisi episfora, repetisi simploke, repetisi mesodiplosis, repetisi epanalepsis, dan repetisi anadiplosis. a.
Repetisi epizeuksis adalah pengulangan kata atau frasa yang dipentingkan beberapa kali secara berturut-turut. Contohnya adalah sebagai berikut:
(16)
The anomalists did not deny that there were regularities in the formation of words in language, but pointed to the many instances of irregular words for the formation of which analogical reasoning is of no avail (child:children, etc.) and also to the multiplicity of different ‘analogies’ that had to be recognized for words of the same class (Lyons, 1968: 7). (Para ahli anomali tidak menyangkal bahwa ada keteraturanketeraturan dalam formasi kata-kata dalam bahasa, tetapi menunjuk kepada banyak instansi kata-kata tidak beraturan untuk formasi yang memiliki alasan secara logis tidak berguna (anak: anak-anak, dan lainlain) dan juga kepada banyaknya ‘analogi-analogi’ yang berbeda dimana harus dikenali sebagai kata-kata dalam kelas yang sama (Lyons, 1968: 7).)
b.
Repetisi tautotes adalah pengulangan kata atau frasa beberapa kali dalam sebuah konstruksi. Contohnya adalah sebagai berikut:
26
(17)
The historical development of the later system cannot be understood except by reference to the earlier, but the facts of the historical development are clearly not relevant to an understanding of how the later system worked (Lyons, 1968: 48). (Perkembangan historis dari sistem berikutnya tidak dapat dipahami kecuali dengan referensi sebelumnya, tetapi dengan fakta bahwa perkembangan historis secara jelas tidak relevan terhadap sebuah pemahaman akan bagaimana sistem berikutnya bekerja (Lyons, 1968: 48).)
c.
Repetisi anafora adalah pengulangan kata atau frasa pertama pada kalimat berikutnya. Contohnya adalah sebagai berikut:
(18)
He also took over from his predecessors the threefold classification of gender. He observed, however, that the names of many ‘things’... (Lyons, 1968: 11) (Dia juga mengambil alih dari para pendahulunya tiga klasifikasi akan gender. Dia mengamati, akan tetapi, bahwa nama-nama dari banyak ‘hal’... (Lyons, 1968: 11).
d.
Repetisi episfora adalah pengulangan kata atau frasa pada akhir kalimat secara berturut-turut. Contohnya adalah sebagai berikut:
(19)
She lives near my house. In the evenings, we usually meet at my house (Wahyudi, 2013: 1). (Dia tinggal dekat rumah say a. Pada malam hari, kami biasanya bertemu di rumah saya (Wahyudi, 2013: 1).)
e.
Repetisi simploke adalah pengulangan kata atau frase pada awal dan akhir beberapa kalimat secara berturut-turut. Contohnya adalah sebagai berikut:
27
(20)
We couldn’t forget what we have experienced in Malang. We plan to have another holiday in Malang because never enough to visit such a great, comfortable, and beautiful places in Malang (Putri, 2014). (Kami tidak dapat melupakan apa yang kami alami di Malang. Kami berencana untuk berlibur lagi di Malang karena tidak pernah cukup untuk mengunjungi tempat-tempat yang indah, nyaman, dan bagus di Malang (Putri, 2014).)
f.
Repetisi mesodiplosis adalah pengulangan kata atau frasa di tengah-tengah kalimat secara berturut-turut. Contohnya adalah sebagai berikut:
(21)
We shall make use of this particular numerical relationship in the following section. And we shall make appeal to the more general principle that distinctions can be made either syntagmatically or paradigmatically in later chapters, especially in the chapter dealing with semantics (Lyons, 1968: 81) (Kita sebaiknya membuat hubungan angka tertentu dalam bagian berikutnya berguna. Dan kita sebaiknya membuat lebih banyak prinsip umum menarik dimana perbedaannya dapat dibuat baik secara sintaksis dan paradigmatis di bab-bab berikutnya, terutama di bab yang berhubungan dengan semantik (Lyons, 1968: 81).)
g.
Repetisi epanalepsis adalah pengulangan kata atau frasa pada awal kalimat yang diulang pada akhir kalimat tersebut. Contohnya adalah sebagai berikut:
(22)
Gender is semantically relevant, however, in the case of words which are traditionally described as having common gender (Lyons, 1968: 287). (Gender bersifat relevan secara semantis, akan tetapi, berkaitan dengan kata-kata yang secara tradisional mendeskripsikan adanya persamaan gender (Lyons, 1968: 287).)
28
h.
Repetisi anadiplosis.adalah pengulangan kata atau frasa terakhir dari kalimat menjadi kata atau frasa pertama pada kalimat berikutnya. Contohnya adalah sebagai berikut:
(23)
We may begin by invoking the notion of ‘acceptability’. ‘Acceptability’ is a primitive, or pre-scientific, term, which is neutral with respect to a number of different distinctions that will be made later... (Lyons, 1968: 137) (Kita mungkin dapat memulai dengan meminjam gagasan akan ‘akseptabilitas’. ‘Akseptabilitas’ adalah istilah yang bersifat primitif atau pra-ilmiah, yang bersifat netral dengan beberapa perbedaan yang akan dikemukakan nanti... (Lyons, 1968: 137).)
5.
Kolokasi Secara etimologi, kolokasi berasal dari bahasa Latin yaitu kata colloco yang
berarti ‘ada di tempat yang sama dengan’. Kolokasi sering juga disebut sebagai sanding kata. Hal ini disebabkan karena adanya asosiasi hubungan yang tetap antara satu kata dan kata lainnya yang berdampingan (Kridalaksana, 2008: 127). Asosiasi hubungan yang tetap itu terjadi dalam satu lingkungan atau tempat yang sama. Sumarlan (2003: 44) menyebut lingkungan atau tempat yang sama tersebut sebagai domain atau jaringan tertentu. Berikut adalah contoh penggunaan kolokasi:
(24)
He has enhanced eyesight that enables him to spot small things in faraway places, or seeing through a thick mist, smoke, and heavy rains (Wisnu, 2012). (Dia telah meningkatkan daya penglihatan yang memungkinkan dirinya untuk menemukan hal-hal kecil di tempat-tempat yang sangat jauh, atau melihat melalui kabut te bal, asap, dan hujan y ang l ebat (Wisnu, 2012).)
29
Pada contoh (24) di atas, kata-kata seperti a thick mist, smoke, dan heavy rains memiliki satu domain atau jaringan atau lingkungan kebahasaan yang sama yaitu cuaca yang buruk.
6.
Ekuivalensi Secara harafiah, ekuivalensi berarti keadaan yang sepadan dan sebanding.
Dalam sebuah wacana, hubungan kesepadanan antara satuan-satuan lingual baik kata, frase, dan kalimat disebut sebagai ekuivalensi (Moeliono, 2007: 292). Hubungan kesepadanan tersebut dapat ditunjukkan oleh proses afiksasi pada morfem asli yang sama. Contohnya adalah hubungan makna pada kata-kata seperti dangerous yang berarti ‘berbahaya’ dan endanger yang berarti ‘membahayakan’. Kedua kata tersebut sama-sama dibentuk dari morfem asli yang sama yaitu danger yang berarti ‘bahaya’.
1.7.5.2 Kohesi Gramatikal Kohesi gramatikal berkaitan erat dengan aturan tata bahasa. Suatu wacana dapat dikatakan kohesif secara gramatikal jika bagian-bagian dalam wacana tersebut sesuai dengan penggunaan aturan tata bahasa yang ada. Menurut Mulyana (2005: 26), kohesi gramatikal adalah kepaduan dan keutuhan antar unsur-unsur dari sebuah wacana berupa kata atau kalimat. Kohesi gramatikal selanjutnya dibedakan menjadi lima macam yaitu pengacuan atau referensial, konjungsi, substitusi, dan elipsis (Parera, 2004: 225).
30
1.
Referensi Referensi adalah pengacuan terhadap unsur bahasa dengan menggunakan
unsur bahasa lainnya (Zaimar dan Harahap, 2009: 117). Fungsi utama dari referensi adalah memberikan pemahaman terhadap suatu hal dengan menggunakan lambang lain yang dianggap dapat mewakili hal tersebut. Berdasarkan pengacuannya, referensi dapat dibedakan menjadi dua yaitu referensi eksoforis dan referensi endoforis (Sudaryat, 2009: 153). Referensi eksoforis mengacu pada hal di luar teks sedangkan referensi endoforis mengacu pada hal di dalam teks. Berdasarkan letak acuannya, referensi endoforis selanjutnya dibedakan lagi menjadi dua macam yaitu referensi anaforis dan kataforis (Rani dkk 2004: 99). Yule (1996: 23) mengemukakan bahwa jika letak acuannya berada sebelum referensi endoforis maka disebut sebagai referensi anaforis. Sedangkan jika letak acuannya berada sesudah referensi endoforis maka disebut sebagai referensi kataforis. Referensi endoforis pada umumnya menggunakan pengacuan persona, pengacuan demonstratif, dan pengacuan komparatif (Halliday dan Hasan, 1976: 31). a.
Pengacuan persona adalah referen yang menggunakan pronomina (Halliday dan Hasan, 1976: 43). Pronomina yang digunakan sebagai referen meliputi pronomina I tunggal dan jamak, prononomina II tunggal dan jamak, dan pronomina III tunggal dan jamak. Secara lebih jelas, Halliday dan Hasan (1976: 44) menggambarkan bagan pengacuan persona dalam bahasa Inggris sebagai berikut:
31
Speaker only: I Speech Roles Speech roles
Speaker plus: we Male: he Addressee (s): you Human
Person Singular
Specific
Male: she
Non human: it
Other roles
Plural: they
Generalized human: one Bagan 2. Pengacuan Persona dalam Bahasa Inggris
32
Pronomina
Tunggal
Jamak
Pronomina I
I
We
Pronomina II
You
You
Pronomina III
He, She, It
They
Tabel 1. Pronomina dalam Bahasa Inggris
Berikut adalah contoh penggunaan pengacuan persona dimana pronomina III tunggal yaitu it mengacu kepada a large snake: (25)
I turned the corner and almost stepped on it. There was a large snake in the middle of the path (Yule, 1996: 23). (Saya berbelok di sudut dan hampir menginjaknya. Ada seekor u lar yang besar di tengah jalur (Yule, 1996: 23).)
b.
Pengacuan demonstratif adalah pronomina yang dipakai untuk mengacu orang atau benda (Kridalaksana, 2008: 45). Pengacuan demonstratif dapat dibedakan menjadi
dua yaitu
pengacuan
demonstratif
tempat
dan
pengacuan
demonstratif waktu. Dalam bahasa Inggris, pengacuan demonstratif tempat menggunakan this, that, these, those, there, here, dan lainnya. Sedangkan pengacuan demonstratif waktu menggunakan now, then, dan lainnya. Halliday dan Hasan (1976: 57) menggambarkan pengacuan demonstratif dalam bahasa Inggris sebagai berikut:
33
Neutral: the Near
Near:
Far:
Singular:
this
that
Plural:
these
those
Place:
here
there
Time:
now
then
Far (not near) Selective Participant
Circumstance
Bagan 3. Pengacuan Demonstratif dalam Bahasa Inggris
Berikut adalah contoh penggunaan pengacuan demonstratif dalam sebuah tuturan:
(26)
You know, big brother... In Indonesia, it’s so annoying, you know people here sometimes do not appreciate something we do (Lumbon, 2013: 3). (Kamu tahu, kak.... di Indonesia, begitu menyebalkan, kamu tahu orang-orang di si ni terkadang tidak menghargai sesuatu yang kita lakukan (Lumbon, 2013: 3).)
c.
Pengacuan komparatif adalah pengacuan yang berkaitan dengan perbandingan dua hal atau lebih yang memiliki persamaan atau perbedaan dari segi bentuk/wujud, sikap, sifat, watak, perilaku dan sebagainya (Sumarlam, 2003:
34
26). Dalam bahasa Inggris, pengacuan komparatif menggunakan like, the same as, as, similar to, dan lainnya. Berikut adalah contoh penggunaan pengacuan komparatif:
(27)
The distinction of the synchronic and diachronic in semantics is, however, subject to the same general limitation as it is in phonology and grammar (Lyons, 1968: 407). (Perbedaan antara sinkronis dan diakronis dalam semantik adalah, akan tetapi, berkaitan dengan batasan umum yang sama dengan yang terdapat dalam fonologi dan tata bahasa (Lyons, 1968: 407).)
2.
Konjungsi Konjungsi sering disebut sebagai kata tugas atau kata sambung. Konjungsi
berfungsi untuk menghubungkan dua satuan yang sederajat (Alwi dkk, 2003: 296). Dua satuan sederajat yang dimaksud dapat berupa antar kata dengan kata, frasa dengan frasa, klausa dengan klausa, kalimat dengan kalimat, dan paragraf dengan paragraf. Berdasarkan hubungan antar dua satuan yang sederajat tersebut, konjungsi diklasifikasikan menjadi empat jenis yaitu konjungsi aditif (penjumlahan), konjungsi adversatif (perlawanan), konjungsi kausal (sebab), dan konjungsi temporal (waktu) (Halliday dan Hasan, 1976: 238-239). a.
Konjungsi aditif (penjumlahan) memiliki fungsi untuk menambahkan informasi pada informasi yang telah ada pada satuan kebahasaan sebelumnya. Dalam bahasa Inggris, konjungsi yang digunakan untuk menunjukkan hubungan penjumlahan adalah and, moreover, furthermore, likewise, additionaly, dan lainnya. Berikut adalah contoh penggunaan konjungsi aditif:
35
(28)
In the film, a man and a woman were trying to wash a cat. The man was holding the cat while the woman poured water on it. He said something to her and they started laughing (Yule, 1996: 22). (Dalam film tersebut, seorang pria dan seorang wanita sedang mencoba memandikan seekor kucing. Sang pria sedang memegang si kucing sementara sang wanita tersebut menuangkan air ke atas kucing tersebut. Sang pria mengatakan sesuatu kepada sang wanita dan mereka mulai tertawa (Yule, 1996: 22).)
b.
Konjungsi
adversatif
(pertentangan)
memiliki
fungsi
untuk
mempertentangkan informasi yang terdapat antara satuan kebahasaan dan satuan kebahasaan lainnya. Dalam bahasa Inggris, konjungsi yang digunakan untuk menunjukan hubungan pertentangan adalah but, however, though, nevertheles, on the contrary, dan lainnya. Berikut adalah contoh penggunaan konjungsi adversatif:
(29)
I may be mistaken, but I thought I saw a wedding ring on her finger (Yule, 1996: 38). (Saya mungkin keliru, tetapi saya kira saya melihat sebuah cincin kawin di jarinya (Yule, 1996: 38).)
c.
Konjungsi kausal (sebab) memiliki fungsi untuk menunjukkan hubungan sebab akibat antara dua satuan kebahasaan yang ada. Dalam bahasa Inggris, konjungsi yang digunakan untuk menunjukkan hubungan sebab akibat tersebut adalah so, because, because of, therefore, hence, accordingly, consequently, dan lainnya. Berikut adalah contoh penggunaan konjungsi kausal:
36
(30)
Perhaps you could just ask him if he is going to stop soon because it’s getting a bit late and people need to get to sleep (Yule, 1996: 61). (Mungkin anda cukup dapat menanyakan pada dirinya apakah dia akan berhenti nanti karena sudah semakin sedikit larut malam dan orangorang perlu untuk tidur (Yule, 1996: 61).)
d.
Konjungsi temporal (waktu) memiliki fungsi untuk menunjukkan hubungan urutan waktu kejadian atau informasi yang terdapat pada satuan kebahasaan dengan satuan kebahasaan lainnya. Dalam bahasa Inggris, konjungsi yang digunakan untuk menunjukkan hubungan urutan waktu tersebut adalah then, when, while, next, before, after, afterwards, until, finally, meanwhile, dan lainnya. Berikut adalah contoh penggunaan konjungsi tempral:
(31)
I brush my teeth and take a bath. Then I put on my uniform, have breakfast, and sometimes watch the news or cartoon on TV (Siska, 2013). (Saya menyikat gigi dan mandi. Lalu saya mengenakan seragam, makan pagi, dan terkadang menonton berita atau kartun di TV (Siska, 2013).)
3.
Substitusi Substitusi atau penggantian adalah proses dan hasil penggantian salah satu
unsur bahasa dengan unsur bahasa lain dalam satuan yang lebih besar (Kridalaksana dalam Mulyana, 2005: 28). Berbeda dengan referensi yang berada dalam hubungan makna, substitusi mengarah kepada hubungan leksikogramatikal. Hubungan leksikogramatikal adalah hubungan yang berada pada tingkat tata bahasa dan kosa kata dimana kata, frase, atau klausa yang ada memiliki makna yang berbeda dengan 37
unsur yang menjadi substitusi (Quirk dalam Rani, 2004: 105). Lebih lanjut, Haliday dan Hasan (1976: 89) mengklasifikasikan substitusi ke dalam tiga jenis yaitu substitusi nominal, substitusi verbal, dan substitusi klausal.
a.
Substitusi nominal Substitusi nominal adalah penggantian unsur bahasa berkategori nomina atau kata benda dengan unsur bahasa lainnya yang berkategori sama yaitu nomina. Dalam bahasa Inggris, kata one, ones, dan same seringkali dipakai untuk menggantikan unsur bahasa berkategori nomina. Berikut adalah contoh penggunaan substitusi nominal dalam bahasa Inggris:
(32)
b.
I never saw a purple cow, I never hope to see one; But I can tell you, anyhow, I’d rather see than be one (Burgess, 1895)
(Saya tidak pernah melihat seekor sa pi ungu , Saya tidak pernah berharap untuk melihatnya; Tetapi saya dapat memberitahu kepadamu bahwa saya lebih baik melihat daripada menjadi sapi i tu (Burgess, 1895).) Substitusi verbal adalah penggantian unsur bahasa berkategori verba atau kata kerja dengan unsur bahasa lainnya yang berkategori sama yaitu verba. Dalam bahasa Inggris, kata do, does, did, doing, dan done digunakan untuk menggantikan unsur bahasa berkategori verba. Berikut adalah contoh penggunaan substitusi verbal dalam bahasa Inggris:
(33)
You wouldn’t worry so much about what others think of you if you realized how seldom they do (Roosevelt, 2009).
38
(Kamu tidak perlu begitu khawatir akan apa orang lain pikirkan tentang dirimu jika kamu sadar betapa jarang mereka melakukannya (Roosevelt, 2009).)
c.
Substitusi klausal adalah penggantian unsur bahasa berkategori klausa atau kalimat dengan unsur bahasa lainnya. Dalam bahasa Inggris, kata so, not, this, that, dan lainnya sering digunakan untuk menggantikan satu klausa utuh. Berikut adalah contoh penggunaan substitusi klausal dalam bahasa Inggris:
(34)
When I quote others I do so in order to express my own ideas more clearly (de Montaigne, 1993). (Ketika saya m engutip o rang lain, saya melakukannya untuk mengekspresikan ide milik saya sendiri secara lebih jelas (de Montaigne, 1993).)
4.
Elipsis Elipsis atau pelesapan adalah proses pelesapan atau penghilangan unsur-unsur
kebahasaan berupa kata, frasa, atau kalimat. Kridalaksana (2008: 57) menjelaskan bahwa konteks bahasa dan konteks luar bahasa dapat memberikan pemahaman akan unsur bahasa yang dilesapkan atau dihilangkan tersebut. Unsur bahasa yang dilesapkan atau dihilangkan tersebut biasanya ditandai sebagai zero atau . Salah satu fungsi dari pelesapan adalah untuk menjaga efisiensi dan keefektifitasan bahasa dalam suatu wacana (Sumarlam, 2003: 30). Lebih lanjut, Halliday dan Hassan (1976: 146) mengklasifikasikan elipsis ke dalam tiga jenis yaitu elipsis nominal, elipsis verbal, dan elipsis klausal.
39
b.
Elipsis nominal adalah pelesapan nomina atau kata benda. Berikut adalah contoh penggunaan elipsis nominal.
(35)
As we have seen in the first half of this chapter, the acquisition of language begins at about the same time for all normal children and progresses through predictable stages, regardless of each child’s particular environment or the specific language to which he or she is exposed (Parker, 1985: 169). (Seperti yang telah kita lihat dalam setengah bagian pertama dari bab ini, pemerolehan b ahasa dimulai pada saat yang bersamaan untuk semua anak-anak normal dan berkembang melalui tahap-tahap yang dapat diprediksi, tanpa memperhatikan lingkungan tertentu atau bahasa spesifik yang mengekspos anak tersebut (Parker, 1985: 169).)
c.
Elipsis verbal adalah pelesapan verba atau kata kerja. Berikut adalah contoh penggunaan elipsis verbal.
(36)
Damage to the left side of the thalamus causes such linguistic dysfunctions as involuntary repetitions and naming difficulties; damage to the right side of the thalamus, however, generally does not (Parker, 1985: 195). (Kerusakan pada sisi kiri thalamus menyebabkan disfungsi linguistik seperti pengulangan-pengulangan tak disengaja dan kesulitan penamaan; kerusakan pada sisi kanan thalamus, akan tetapi, secara umum tidak (Parker, 1985: 195).)
d.
Elipsis klausal adalah pelesapan klausa atau kalimat. Berikut adalah contoh penggunaan elipsis klausal.
(37)
He was unable to recognize members of his family, the hospital staff, or his own face in the mirror.... (Brown dalam Parker, 1985: 210).
40
(Dia tidak d apat m engenali anggota keluarganya, staff rumah sakit, atau wajahnya sendiri di depan cermin..... (Brown dalam Parker, 1985: 210).) 1.7.6
Koherensi Tidak hanya kohesi, koherensi juga dibutuhkan untuk tetap menjaga keutuhan
setiap wacana. Oleh karena itu, wacana monolog juga perlu memperhatikan koherensi yang merupakan kesatuan dan keserasian dari segi maknanya (Dardjowidjojo, 2010: 128). Secara umum, koherensi merupakan susunan ide dan makna secara logis sehingga dapat dipahami oleh pendengarnya. Hal senada dijelaskan oleh Yule (1996: 84) bahwa koherensi memungkinkan pendengar untuk dapat memahami apa yang dikatakan dan ditulis berdasarkan pengalaman umum yang dialami oleh pendengar sendiri. Dengan kata lain, koherensi ikut berkontribusi dalam pemahaman akan wacana baik lisan dan tulisan. Lebih lanjut, koherensi dapat diklasifikasikan berdasarkan hubungan antar proposisi yaitu hubungan sebab-akibat, hubungan sarana-hasil, hubungan alasansebab, hubungan sarana-tujuan, hubungan latar-kesimpulan, hubungan kelonggaranhasil, hubungan syarat-hasil, hubungan perbandingan, hubungan parafratis, hubungan amplikatif/penjelas, hubungan aditif-waktu, hubungan non waktu, hubungan identifikasi, hubungan generik-spesifik, dan hubungan ibarat.
1.
Hubungan Sebab-Akibat Hubungan ini menandai keterkaitan antara dua kalimat dimana kalimat
pertama menunjukkan sebab sedangkan kalimat lainnya menunjukkan akibat.
41
2.
Hubungan Sarana-Hasil Hubungan ini menandai keterkaitan antara dua kalimat dimana salah satu
kalimat menjawab pertanyaan ‘mengapa hal ini dapat terjadi?’ dan kalimat lainnya merupakan hasil yang telah tercapai.
3.
Hubungan Alasan-Sebab Hubungan ini menandai keterkaitan antara dua kalimat dimana salah satu
kalimat menjawab pertanyaan ‘apa alasannya?’ dan kalimat lainnya merupakan penyebab terjadinya.
4.
Hubungan Sarana-Tujuan Hubungan ini menandai keterkaitan antara dua kalimat dimana salah satu
kalimat menjawab pertanyaan ‘apa yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut?’.
5.
Hubungan Latar-Kesimpulan Hubungan ini menandai keterkaitan antara dua kalimat dimana salah satu
kalimat menjawab pertanyaan ‘apa yang menjadi bukti atas dasar kesimpulan tersebut?’
42
6.
Hubungan Kelonggaran-Hasil Hubungan ini menandai keterkaitan antara dua kalimat dimana salah satu
kalimat atau paragraf menyatakan hasil berupa kegagalan suatu usaha yang dilakukan dan kalimat lainnya merupakan kelonggaran.
7.
Hubungan Syarat-Hasil Hubungan ini menandai keterkaitan antara dua kalimat dimana salah satu
kalimat menjawab pertanyaan ‘apa saja syarat yang harus dilakukan atau keadaan yang harus dipenuhi?’
8.
Hubungan Perbandingan Hubungan ini menandai keterkaitan antara dua kalimat dimana salah satu
kalimat dibandingkan dengan kalimat lainnya.
9.
Hubungan Parafratis Hubungan ini menandai keterkaitan antara dua kalimat dimana salah satu
kalimat mengemukakan isi dari kalimat lain melalui penyampaian yang berbeda.
10.
Hubungan Amplikatif/Penjelas Hubungan ini menandai keterkaitan antara dua kalimat atau lebih dimana
beberapa kalimat menjelaskan salah satu kalimat yang menjadi bagian utama untuk dijelaskan
43
11.
Hubungan Aditif-Waktu Hubungan ini menandai keterkaitan antara beberapa kalimat yang
menceritakan peristiwa atau hal yang terjadi secara simultan dan berurutan.
12.
Hubungan Non-Waktu Hubungan ini menandai keterkaitan antara beberapa kalimat yang
menceritakan kondisi suatu peristiwa atau hal yang terjadi.
13.
Hubungan Identifikasi Hubungan ini menandai keterkaitan antara dua kalimat dimana salah satu
kalimat mengidentifikasi atau menjelaskan hal atau istilah yang ada di kalimat lainnya.
14.
Hubungan Generik-Spesifik Hubungan ini menandai keterkaitan antara dua kalimat dimana salah satu
kalimat menjelaskan hal yang bersifat umum sedangkan kalimat berikutnya menjelaskan hal sama yang bersifat khusus.
15.
Hubungan Ibarat Hubungan ini menandai keterkaitan antara dua kalimat dimana salah satu
kalimat memberikan perbandingan berupa perumpamaan mengenai kalimat lainnya. .
44
1.7.7
Deiksis Persona Kata deiksis berasal dari bahasa Yunani yang berarti ‘menunjuk’ melalui
bahasa (Yule, 1996: 9). Berdasarkan etimologi tersebut, definisi merupakan penunjukan terhadap sesuatu benda atau orang dengan menggunakan unsur-unsur yang terdapat dalam bahasa. Saaed (2000: 173) mendefinisikan deiksis sebagai unsurunsur kebahasaan yang terikat dalam konteks. Dalam menginterpretasi penunjukan oleh deiksis tersebut, konteks seperti situasi pembicaraan menjadi faktor yang perlu diikutsertakan (Moeliono dan Dardjowidjojo 1988: 35). Hal senada disampaikan oleh Huang (2007: 132) bahwa terdapat hubungan antara konteks dan struktur bahasa yang ditunjukkan oleh deiksis. Dalam bahasa Inggris, deiksis dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis yaitu deiksis persona, deiksis spasial, deiksis temporal, deiksis sosial, dan deiksis wacana. Dalam penelitian ini, deiksis persona menjadi sorotan utama di antara ketiga jenis deiksis tersebut. Kata ‘persona’ berasal dari bahasa Latin yang berarti ‘topeng’ yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani yang berarti ‘peran’. Menurut Yule (1996: 10), deiksis persona pada dasarnya meliputi pronomina tunggal pertama yaitu I, pronomina tunggal kedua yaitu you, dan pronomina tunggal ketiga yaitu he, she, dan it. Perbedaan mendasar dari ketiga jenis deiksis persona ini adalah jarak komunikasi yang tercipta dimana pronomina tunggal ketiga dianggap sebagai partisipan tidak langsung (Yule, 1996: 11). Berikut adalah bagan yang menggambarkan bagaimana fungsi deiksis persona dalam sebuah tindak tutur
45
Tindak Tutur
[+ Partisipan]
[- Partisipan]
Mitra Tutur
Mitra Tutur
Tunggal Pertama
Tunggal Kedua
Tunggal Kedua
Bagan 4. Kedudukan Deiksis Persona Dalam Tindak Tutur
Jarak komunikasi yang ada dalam tindak tutur menghadirkan keunikan tersendiri dalam penggunaan deiksis persona di atas. Lyon (1968: 275) mengemukakan bahwa ciri khas dari sebuah tuturan adalah adanya egosentris. Egosentris berkaitan dengan peranan penutur bahwa ia selalu berada di titik pusat dalam sebuah tuturan. Levinson (1983: 64) menegaskan bahwa hal yang menyebabkan egosentris merupakan ciri khas dari deiksis persona yaitu penutur merupakan partisipan yang menempati titik fokus utama.
1.7.8
Bipolar Disorder Secara etimologi, istilah Bipolar berasal dari sebuah kondisi seseorang yang
mengalami perpindahan mood antara dua kutub yang berlawanan yaitu fase depresi dan mania. Berdasarkan etimologi tersebut, Bipolar Disorder dapat didefinisikan sebagai kondisi kejiwaan dimana penderitanya mengalami perubahan psikologis yang
46
sangat cepat dari fase depresi ke fase mania dan juga sebaliknya. Pergantian emosi antara kedua fase tersebut dapat terjadi dengan sangat cepat melampaui batas normal pada periode waktu yang lama (Kazdin, 2000). Pernyataan ini diperkuat oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh seorang psikiater dari Jerman bernama Emil Kraepelin. Ia meneliti perilaku penderita Bipolar Disorder dan mengambil kesimpulan bahwa penderita menunjukkan gejala-gejala seperti mania dan depresi. Dalam bukunya yang berjudul ”Lonely, Sad and Angry”, pakar psikologi Ingersol dan Goldstein (2001) mengemukakan bahwa perubahan kejiwaan yang ekstrim ini sangat dipengaruhi oleh faktor suasana hati dan energi dari penderitanya. Menurut Kusumawardhani (2013), fase mania ditandai dengan kondisi mood yang sangat meningkat. Pada masa ini, penderita akan sangat mudah marah dan tersinggung. Tarjum (2011) menambahkan bahwa Bipolar Disorder mengakibatkan penderitanya mengalami perubahan tidak biasa pada pikiran dan perasaan yang dimilikinya. Fase mania yang dialami menyebabkan penderita Bipolar Disorder dapat merasakan gairah yang sangat berlebihan dan tidak terkendali. Hal tersebut mengakibatkan penderitanya berbicara dengan sangat cepat serta mengeluarkan berbagai ide yang berbeda secara spontan (Afrianti, 2015). Sebaliknya, penderita dapat mengalami depresi yang sangat berat hingga dapat menimbulkan keinginan untuk bunuh diri ketika ia memasuki fase depresi. Depresi yang dialami oleh penderita Bipolar Disorder disebabkan oleh berbagai faktor antara lain faktor organobiologis, faktor psikologis, dan faktor sosio-lingkungan (American Psychiatric Association, 2000). Afrianti (2015) mengemukakan bahwa penderita Bipolar Disorder akan cenderung berbicara tentang hal-hal terkait kematian, mengalami
47
masalah ingatan, sulit berkonsentrasi dalam berkomunikasi, dan mengeluh tiada henti akibat rasa lelah yang dialami ketika berada dalam fase depresi. Risiko bunuh diri pada penderita Bipolar Disorder yang sangat besar disebabkan oleh penderita Bipolar Disorder tidak menunjukkan pola perilaku mental yang sehat (Daradjat, 2003: 39). Berdasarkan indikator-indikator pada fase depresi dan fase mania yang telah disebutkan, peneliti dapat menentukan fase yang dialami Michelle ketika ia menghasilkan sebuah tuturan dalam video diari yang dibuatnya.. Adanya kesulitan untuk memahami dengan baik tuturan dari penderita Bipolar Disorder ikut disebabkan oleh adanya gangguan pada otak penderita terutama pada bagian neurotransmitter yang menyebabkan depresi berlebihan. Dengan demikian, penelitian ini tidak membahas secara mendetail penyebab klinis atas ketidakmampuan penderita Bipolar Disorder dalam memproduksi tuturan yang dapat mudah dipahami selayaknya bahasa normal karena hal tersebut telah masuk ke dalam ranah lain yang bukan merupakan fokus utama penelitian ini. Bressert (2007) mengemukakan bahwa seorang penderita Bipolar Disorder perlu untuk membuat sebuah diari harian tentang rutinitasnya sehari-hari agar ia dapat terus memonitor kondisinya. Salah satu bentuk diari harian tersebut bisa berupa video. Tarjum (2011) menambahkan bahwa aktivitas merekam tuturan sendiri dalam bentuk video merupakan sebuah terapi diri sendiri oleh penderita Bipolar Disorder. Aktivitas merekam ini sangatlah penting bagi para penderita Bipolar Disoder dikarenakan mereka dapat menyalurkan emosi berlebihan baik pada saat fase mania dan depresi melalui kata-kata.
48
1.8
Metode Penelitian Secara umum, peneliti menggunakan menggunakan metode deskriptif
kualitatif. Metode ini adalah prosedur penelitian yang didasarkan pada data deskriptif dan merupakan data yang asli serta tidak diubah dengan menggunakan cara yang sistematis dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Untuk mencapai tujuan dalam penelitian, maka peneliti menempuh tiga tahapan, yaitu tahapan pengumpulan data, analisis data, dan penyajian hasil analisis data (Sudaryanto, 1993: 5-8) Wasito (1992: 69) menjelaskan bahwa terdapat dua jenis data yaitu data primer dan data sekunder. Data primer penelitian ini diperoleh dengan menggunakan teknik simak dan catat (Subroto, 1992: 41). Peneliti terlebih dahulu telah memastikan kesahihan data yang ada dengan memeriksa keaslian sumber video yang ada. Peneliti juga memastikan bahwa Michelle benar-benar merupakan seorang penderita Bipolar Disorder dan video yang ditampilkan bukan merupakan akting atau sandiwara. Peneliti memastikan hal tersebut dengan memeriksa deskripsi kanal video, blog Michelle, serta komentar-komentar terhadap video yang sebagian besar berasal dari penderita Bipolar Disorder lainnya dan bahkan beberapa psikiater. Peneliti lalu mengunduh dua puluh video monolog Michelle yang diunggah pada sebuah situs video
bernama
YouTube.
Hal
berikutnya
adalah
peneliti menyimak
dan
mentranskripsikan video tersebut secara ortografis sehingga menghasilkan data sekunder yang akan dianalisis dengan menggunakan teori-teori yang sesuai dengan permasalahan penelitian ini. Setelah
data-data
didapatkan,
peneliti
lalu
mengidentifikasi
dan
mengklasifikasikan tiap tindak tutur representatif yang ditemukan dalam data
49
tersebut.
Klasifikasi
data
dilakukan
agar
peneliti
dapat
dengan
mudah
mendeskripsikan tiap tindak tutur yang ada secara lebih jelas dan mendetail. Klasifikasi data dilakukan berdasarkan teori yang relevan yaitu teori tindak tutur representatif. Peneliti mendeskripsikan data yang ada dengan menghubungkan konteks yang ada di luar bahasa (Kesuma 2007: 47). Dengan kata lain, peneliti menggunakan metode padan untuk mendeskripsikan tindak tutur representatif yang ditemukan dalam tuturan Michelle pada saat fase depresi dan fase mania.. Selain metode padan, peneliti juga menggunakan metode agih untuk menganalisis data. Metode agih adalah metode analisis data dimana alat penentu analisis ditemukan di dalam bahasa dari data yang diteliti (Kesuma 2007: 54). Lebih lanjut, metode agih diterapkan melalui teknik dasar maupun teknik lanjutan. Dalam menganalisis data, peneliti menggunakan beberapa teknik lanjutan seperti teknik sisip dan teknik baca markah. Kesuma (2007: 60) mengemukakan bahwa teknik sisip dilakukan dengan menyisipkan satuan kebahasaan lainnya di antara konstruksi yang dianalisis. Sedangkan teknik baca markah dilakukan dengan mengidentifikasi pemarkah yang terdapat dalam konstruksi yang dianalisis. Teknik sisip dan teknik baca markah digunakan untuk menganalisis kohesi, koherensi, dan deiksis persona yang ada dalam tuturan Michelle sebagai seorang penderita Bipolar Disorder. Pada tahap penyajian data, peneliti menggunakan metode penyajian informal dan formal. Peneliti menggunakan metode penyajian informal untuk menyajikan data dalam bentuk bentuk penjabaran dan penjelasan hasil analisis data dengan menggunakan kata-kata biasa dan bersifat deskriptif. Peneliti juga menggunakan
50
metode penyajian formal dengan menyajikan beberapa data dalam bentuk bagan dan tabel (Kesuma 2007: 73).
1.9
Sistematika Penyajian Bab I merupakan bagian pendahuluan yang terdiri dari 1.1 Latar Belakang
Masalah, 1.2 Rumusan Masalah, 1.3 Tujuan Penelitian, 1.4 Manfaat Penelitian, 1.5 Ruang Lingkup Penelitian, 1.6 Tinjauan Pustaka, 1.7 Landasan Teori, 1.8 Metode Penelitian, dan 1.9 Sistematika Penyajian. Bab pertama ini akan membahas mengenai latar belakang masalah yang berisikan tentang pengertian Bipolar Disorder secara umum dan kaitannya dengan penggunaan bahasa terutama tindak tutur representatif, kohesi, dan koherensi yang terdapat di dalamnya. Selain itu, bab ini juga akan mengemukakan tentang rumusan masalah yang akan menjadi batasan penelitian serta komponen lain seperti landasan teori dan metode yang akan digunakan untuk menganalisis data penelitian. Bab II akan mendeskripsikan perbedaan mendasar antara tindak tutur representatif yang terkandung dalam tuturan Michelle pada saat berada dalam fase depresi dan fase mania. Bab III akan mendeskripsikan tentang kohesi dan koherensi yang kurang baik dalam tuturan Michelle pada fase mania dan depresi. Peneliti akan menjelaskan secara detail bentuk-bentuk kohesi dan koherensi yang kurang baik dalam tuturan Michelle pada fase mania dan depresi. Bab IV berisikan kesimpulan dan saran. Pada bab ini, peneliti akan menjabarkan hasil temuan analisis data berdasarkan rumusan permasalahan yang
51
telah ditentukan. Selain itu, peneliti akan mengemukakan saran-saran terkait dengan penelitian yang dilakukan dan kelanjutannya untuk penelitian berikutnya.
52