BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Manusia adalah makhluk yang ekspresif. Di dunia ini banyak sekali cara mengekspresikan perasaan, pikiran dan lain-lain. Cara mengungkapkan ekspresi ini dapat lewat lirik lagu, perbuatan atau sebuah tindakan, dapat juga dituangkan melalui tulisan. Pengungkapan ekspresi melalui tulisan dirangkai dalam berbagai bentuk, salah satunya berupa karya sastra. Karya sastra adalah sebuah hasil dari ungkapan ekspresi manusia dalam menanggapi gejala sosial yang ada. Karya sastra adalah sebuah tulisan yang indah dan memiliki nilai kekreatifan yang dapat menjadi alat pengarah kepada penikmat sastra untuk berpikir kreatif. Semua yang diungkapkan sastrawan dalam karya sastranya adalah hasil pengetahuan yang diolah oleh imajinasinya (Purba, 2010 : 9). Karya sastra dapat disajikan dalam berbagai bentuk, salah satunya berupa cerpen. Cerpen adalah cerita pendek yang biasanya terdiri dari beberapa lembar kertas yang berisi fiksi maupun fakta yang dituangkan penulis dalam bentuk tulisan. Cerpen dapat menjadi salah satu sarana untuk mengungkapkan imajinasi pengarang dalam menghadapi atau menilai sebuah citra sosial yang ada di masyarakat. Melalui cerpen dapat diketahui budaya maupun fenomena yang ada di masyarakat, salah satu contohnya adalah fenomena mengenai perempuan.
1
2
Perempuan adalah makhluk yang sering kali diagung-agungkan, dijadikan objek, dan dianggap sebagai makhluk Tuhan yang indah. Perempuan adalah sosok yang banyak dibicarakan di masyarakat. Perempuan yang banyak dibicarakan justru dipandang sebagai makhluk yang indah, justru sering kali mendapat perlakuan yang tidak adil. Permasalahan gender, yaitu perbedaan perlakuan antara laki-laki dan perempuan ini banyak terjadi di masyarakat dari berbagai negara. Oleh karena ketidakadilan atau tidak adanya kesetaraan inilah, muncul gerakan feminisme. Feminisme adalah paham atau gerakan wanita yang menuntut persamaan hak antara kaum wanita dan pria. Secara etimologis feminis berasal dari kata femme (woman), berarti perempuan (tunggal) yang bertujuan untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan (jamak), sebagai kelas sosial (Ratna, 2004:184). Paham feminis ini lahir dan mulai berkobar sekitar akhir 1960-an di Barat, dengan beberapa faktor penting yang mempengaruhinya (Sugihastuti dan Suharto, 2002:6). Ada beberapa pendapat yang mengatakan asal mula gerakan feminisme. Salah satunya adalah asal mula gerakan feminisme yang muncul di Amerika. Gerakan feminisme lahir saat para feminis merasa bahwa pemerintah Amerika tidak mengindahkan perempuan karena isi dari Deklarasi Kemerdekaan yaitu “all men are created equal” (“semua laki-laki diciptakan sama”), tanpa menyebutnyebut perempuan (Djajanegara, 2000:1). Pendapat lain menyatakan bahwa gerakan feminisme lahir berdasarkan aspek agama, yaitu perempuan dipandang sebagai kaum yang posisinya lebih rendah daripada laki-laki. Ideologi feminisme dipengaruhi oleh konsep sosialisme dan konsep Marxis. Menurut para feminis
3
Amerika, kaum wanita merupakan suatu kelas dalam masyarakat yang ditindas oleh kelas lain yaitu kelas laki-laki (Djajanegara, 2000:2). Perempuan sering kali mendapatkan ketidakadilan oleh karena perbedaan gender. Gender sendiri memiliki arti suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun kaum perempuan yang dikontruksi secara sosial maupun kultural, misalnya bahwa perempuan itu dikenal lemah lembut, centil, emosional, atau keibuan, sedangkan laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan, dan perkasa (Sugihastuti, 2007:72). Gender menciptakan perlakuan yang berbeda antara kaum laki-laki dan kaum perempuan. Perlakuan tersebut tercermin dalam berbagai bidang kehidupan, seperti di bidang pendidikan, pekerjaan, bahkan dalam rumah tangga. Namun, dengan berkembangnya jaman, peranan yang dimiliki perempuan mulai berangsur berubah. Perempuan masa kini memiliki banyak peranan, termasuk dalam bidang pendidikan, pekerjaan, politik dan lain-lain. Perempuan masa kini juga memiliki kesempatan untuk bekerja dan memutuskan kehendaknya atau keinginannya sendiri. Gambaran ataupun citra perempuan seperti ini seringkali tertuang dalam sebuah karya sastra. Pada awal kelahiran karya sastra, dunia sastra dikuasai oleh kaum lakilaki. Perempuan muncul hanya sebagai tokoh kedua atau tokoh tambahan yang seringkali tertindas dan tidak dihiraukan. Namun, pada masa kini mulai bermunculan dan banyak yang menjadikan perempuan sebagai tokoh utama dalam karya sastranya. Lahirnya pengarang perempuan sering kali mengajukan tokoh perempuan selaku tokoh utama, penokohan perempuan tersebut dapat menjadi corong bicara pengarang dalam meneriakkan emansipasi dan protes terhadap
4
tradisi-tradisi kaku yang membelenggu mereka, terhadap kesewenang-wenangan kaum laki-laki (Sugihastuti dan Suharto, 2002:3). Peninjauan tentang perempuan memunculkan kritik sastra feminis sebagai teori yang digunakan untuk membantu menganalisis tentang bagaimana perempuan digambarkan. Melalui kritik sastra feminis akan dideskripsikan adanya penindasan terhadap perempuan yang terdapat dalam karya sastra (Humm via Wiyatmi, 2012:9). Sejak akhir 1960-an ketika kritik feminis dikembangkan sebagai bagian dari gerakan perempuan internasional, anggapan tentang studi kritik sastra feminis ini pun menjadi pilihan yang menarik (Sugihastuti dan Suharto, 2002:6). Dalam penelitian ini, akan dibahas mengenai cerpen yang berjudul Yuugao no Onna karya Hiraiwa Yumie. Adapun pemilihan cerpen Yuugao no Onna sebagai data penelitian berdasarkan alasan bahwa cerpen Yuugao no Onna adalah cerpen yang memuat ide-ide maupun isu-isu feminisme di dalamnya. Isu-isu feminisme tersebut terletak pada citra perempuan yang ada dalam tokoh cerpen tersebut. Citra perempuan adalah pandangan-pandangan atau ide-ide tentang perempuan, bagaimana posisi dan perannya dalam masyarakat dan potensinya di tengah-tengah kekuasaan patriarki (Sugihastuti, 2007:46). Citra perempuan yang ditampilkan dalam cerpen Yuugao no Onna mewakili citra pemikiran para tokoh perempuan. Hiraiwa Yumie adalah sastrawan wanita yang cukup terkenal di Jepang. Hiraiwa Yumie merupakan penulis naskah drama televisi di Japan Today yang sukses. Hiraiwa Yumie lahir pada 15 Maret 1932 di Tokyo. Hiraiwa Yumie
5
merupakan anak dari seorang imam kepala di Yoyogi Hachiman kuil. Hiraiwa Yumie adalah lulusan dari salah satu Universitas Perempuan di Tokyo. Hiraiwa Yumie pernah menerima penghargaan Naoki Award dari karyanya yang berjudul Taganeshi pada tahun 1959. Karya-karya Hiraiwa Yumie banyak yang menggunakan kata “wanita” dan di dalamnya juga banyak menggambarkan kehidupan wanita Jepang. Yuugao no Onna adalah salah satu cerpennya yang bercerita tentang perempuan. Cerpen Yuugao no Onna termasuk dalam salah satu cerpen Hiraiwa Yumie dalam kumpulan cerpennya yang berjudul Nippon no Onna. Tokoh utama dalam cerpen ini adalah Yabe Mieko. Mieko adalah anak dari Yabe Kae. Ayah Mieko meninggal ketika Mieko bayi. Ketika Kae bertemu dengan Matsumura lalu menjalin hubungan, Mieko dirawat oleh neneknya. Ketika itu Mieko duduk di bangku sekolah dasar. Sesekali Mieko mengunjungi ibunya di Osaka saat akhir pekan. Sebagai seorang anak yang kehilangan ayahnya saat kecil dan tidak tinggal bersama ibunya, Mieko adalah wanita yang mandiri. Dia bekerja sebagai sekretaris manajer di cabang perusahaan soft drink Amerika yang ada di Toranomon. Kehidupan Mieko mulai berubah saat dia memutuskan untuk menikah dengan Ogata Hajime. Mieko tetap bekerja sebagai sekretaris dan dia juga harus menjadi ibu rumah tangga, yang mengurus rumah, membuat makan malam bahkan menggunakan uang gajinya untuk kebutuhan sehari-hari. Mieko juga harus kehilangan kesempatan untuk bersosialisasi dengan teman-temannya di kantor. Mieko tidak lagi mengikuti acara teman-temannya di kantor. Mieko harus melakukan dua peranan sekaligus sebagai ibu rumah tangga dan wanita karir,
6
bahkan gaji Mieko juga digunakan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Ogata tidak memberikan uang gajinya karena digunakan untuk membiayai disertasinya sebagai dokter. Sampai dua tahun usia pernikahan Mieko dan Ogata, Mieko harus kehilangan bayi dalam kandungannya karena dia harus bekerja dan juga berperan ganda menjadi seorang istri yang harus mengurus rumah. Setelah mengalami keguguran, Mieko berpikir seandainya dia dapat berhenti bekerja dan dapat memiliki anak seperti ibu rumah tangga pada umumnya. Kehidupannya sebagai istri Ogata, membuat Mieko tidak memiliki waktu untuk membeli baju-baju bagus yang dapat ia gunakan. Mieko harus hadir di pesta perpisahan bosnya dengan menggunakan gaun yang sama yang pernah dia gunakan tahun lalu. Mieko kembali teringat akan kehidupannya saat dia belum menikah, kebebasan yang dia miliki. Dia dapat menggunakan uang gajinya untuk keperluannya sendiri dan tidak harus bekerja keras membagi waktu untuk mengurus rumah. Mieko merasa bahwa hidup sendiri sebagai wanita independen yang tidak terikat akan kehidupan pernikahan itu lebih nyaman, sehingga membuat Mieko memutuskan untuk bercerai dengan Ogata dan menjadi wanita independen yang dapat membiayai hidupnya sendiri. Cerpen Yuugao no Onna karya Hiraiwa Yumie ini menarik untuk dikaji karena menggambarkan citra perempuan independen yang mengalami banyak perubahan setelah menikah, dan mendapat tekanan-tekanan dari kehidupan rumah tangganya sehingga membuat dia memilih untuk bercerai. Pengungkapan citra perempuan yang tergambar dalam cerpen Yuugao no Onna inilah yang menuntut skripsi ini menggunakan kritik sastra feminis secara dominan. Namun, sebelum
7
kritik sastra feminis digunakan untuk menganalisis citra perempuan dan ide-ide feminisme dalam cerpen, lebih dahulu cerpen akan dianalisis menggunakan teori struktural agar mempermudah analisis feminis (Sofia dan Sugihastuti, 2003:31).
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Bagaimana struktur cerita yang membangun cerpen Yuugao no Onna dan keterkaitan antar unsurnya? 2. Bagaimana citra tokoh perempuan dalam cerpen Yuugao no Onna? 3. Bagaimana isu-isu feminisme yang muncul dalam cerpen Yuugao no Onna?
1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini memiliki dua tujuan, yaitu tujuan teoritis dan praktis. Secara teoritis, penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan struktur cerita yang membangun terbentuknya cerpen Yuugao no Onna dengan teori strukturalisme dan citra perempuan yang tergambar dalam cerpen Yuugao no Onna berdasarkan teori kritik sastra feminis. Secara praktis, penelitian ini bertujuan untuk memberikan wawasan dan referensi bagi para peminat karya sastra, terutama karya sastra Jepang karya Hiraiwa Yumie.
8
1.4 Tinjauan Pustaka Terdapat beberapa karya tulis berupa skripsi yang menjadikan Kritik Sastra Feminis sebagai objek formal. Fivin Novidha mahasiswa sastra Indonesia Universitas Gadjah Mada dengan judul Citra Perempuan Jawa Dalam Novel Perempuan Jogja Karya Achmad Munif : Kritik Sastra Feminis menggunakan teori kritik sastra feminis untuk menganalisis citra perempuan Jawa yang tergambar dalam cerpen Perempuan Jogja. Dalam penelitian tersebut disimpulkan bahwa beberapa citra perempuan yang tergambar dalam novel Perempuan Jogja adalah sebagai berikut. Pertama, citra perempuan yang berpendidikan tinggi diwakili oleh tokoh Raden Ayu Indri Astuti (Indri). Pendidikan tinggi berdampak pada wawasan yang luas dan pola pikir modern, yang membuat Indri menginginkan keadilan dan kesetaraan gender. Kedua, citra perempuan bangsawan yang masih memegang adat istiadat adalah Raden Ayu Niken. Perempuan bangsawan yang hanya memiliki profesi ibu rumah tangga dan tidak memiliki pendidikan tinggi cenderung kontrafeminis. Ketiga, citra perempuan golongan wong cilik yang memiliki sikap pasrah dan nrimo, cenderung menjadi tokoh perempuan yang tidak berdaya terhadap segala tindak kekerasan. Keempat, citra perempuan yang memiliki sikap feminisme radikal. Kelima, citra perempuan Jawa yang keluar dari labelitas karakter perempuan Jawa, yang dapat hidup bebas karena menikah dengan orang luar negeri. Ada pula penelitian lain yang menggunakan kritik sastra feminis yang dilakukan oleh Tita Nurajeng Miyasari mahasiswa sastra Jepang Universitas
9
Gadjah Mada yang berjudul Citra Perempuan Dalam Cerpen Shitamachi Karya Hayashi Fumiko: Pendekatan Kritik Sastra Feminis. Dalam penelitian tersebut disimpulkan citra perempuan yang menolak akan posisi perempuan yang selalu terpinggirkan, perempuan dianggap sebagai kelas manusia yang tidak memiliki kekuatan. Tokoh Riyo dalam cerpen tersebut digambarkan sebagai tokoh pendukung gerakan feminisme yang menuntut akan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Berbeda dengan kedua penelitian di atas penelitian ini dilakukan dengan mengambil objek material berupa cerpen Yuugao no Onna karya Hiraiwa Yumie. Sedangkan objek formal yang digunakan sama-sama menggunakan kritik sastra feminis.
1.5 Landasan Teori Dalam meneliti cerpen karya Hiraiwa Yumie yang berjudul Yuugao no Onna ini digunakan dua teori yaitu teori struktural dan kritik sastra feminis. Kedua teori ini digunakan untuk menganalisis secara mendalam tentang cerita yang terkandung dalam cerpen dan citra perempuan serta ide-ide feminis seperti apa yang tergambar dalam karya sastra. 1.5.1 Teori Struktural Teeuw secara tegas mengatakan bahwa bagi setiap peneliti sastra, analisis struktur karya sastra yang ingin diteliti dari segi apapun juga merupakan tugas prioritas atau pekerjaan pendahuluan (Teeuw via Sofia dan Sugihastuti, 2003:11). Teori struktural adalah teori yang digunakan untuk meneliti karya sastra dilihat
10
dari unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Karya sastra dianggap sebagai sesuatu yang memiliki struktur. Teori struktural merupakan pendekatan yang bersifat objektif, yaitu pendekatan yang menganggap karya sastra sebagai “makhluk” yang berdiri sendiri (Sugihastuti dan Suharto, 2002 : 43). Karya sastra dianggap memiliki bagian-bagian yang menyusunnya. Strukturalisme
dapat
dipandang
sebagai
salah
satu
pendekatan
kesusastraan yang menekankan pada kajian antar unsur pembangun karya yang bersangkutan (Nurgiyantoro via Marpaung, 2006:7) Unsur-unsur yang akan dianalisis guna mengungkapkan masalah yang akan diteliti meliputi tema, tokoh dan penokohan, dan latar. i.
Tema Tema
adalah
ide,
gagasan,
pandangan
hidup
pengarang
yang
melatarbelakangi ciptaan karya sastra (Fananie, 2000:84). Tema diartikan sebagai pokok pikiran atau dasar cerita yang dipercakapkan dan dipakai sebagai dasar mengarang (Sofia dan Sugihastuti, 2003:12). Sedangkan menurut Stanton dan Kenny tema adalah makna yang dikandung oleh sebuah cerita (Nurgiyantoro, 1995:67). Dapat dikatakan bahwa tema adalah unsur utama yang membentuk sebuah karya sastra. ii.
Tokoh dan Penokohan Menurut Abrams, tokoh cerita adalah orang-orang yang ditampilkan dalam
suatu karya naratif atau drama yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Sedangkan penokohan menurut Jones adalah
11
pelukisan gambaran yang jelas tentang seorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita (Nurgiyantoro, 1995:165). Sebagian besar tokoh-tokoh dalam karya fiksi adalah tokoh-tokoh rekaan. Kendati berupa rekaan atau hanya imajinasi pengarang, masalah penokohan merupakan satu bagian penting dalam membangun sebuah cerita (Fananie, 2000:86). Dengan demikian istilah “penokohan” lebih luas pengertiannya daripada “tokoh” dan “perwatakan” sebab ia sekaligus mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan, dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca (Nurgiyantoro, 1995:166). iii.
Latar atau setting Menurut Stanton, latar cerita atau setting adalah lingkungan peristiwa,
yaitu dunia cerita tempat terjadinya peristiwa (via Sofia dan Sugihastuti, 2003:19). Dalam karya sastra, setting merupakan satu elemen pembentuk cerita yang sangat penting karena elemen tersebut akan dapat menentukan situasi umum sebuah karya (Abrams via Fananie, 2000:97). Walaupun setting dimaksudkan untuk mengidentifikasi situasi yang tergambar dalam cerita, keberadaan elemen setting hakikatnya tidaklah hanya sekedar menyatakan di mana, kapan, dan bagaimana situasi peristiwa berlangsung, melainkan berkaitan juga dengan gambaran tradisi, karakter, perilaku sosial dan pandangan masyarakat pada waktu cerita ditulis. 1.5.2 Teori Kritik Sastra Feminis Kritik sastra feminis merupakan suatu disiplin ilmu sastra yang menekankan penelitian sastra dengan perspektif feminis. Oleh karena itu kritik
12
sastra feminis tidak dapat dipisahkan dari feminisme (Ismiyati, 2010:26). Feminisme adalah paham atau gerakan wanita yang menuntut persamaan hak antara kaum wanita dan pria. Feminisme lahir dari adanya ketidakadilan gender, yakni kesempatan yang perempuan miliki sangat terbatas. Konsep penting yang harus dipahami dalam membahas feminisme adalah konsep seks dan gender. Seks atau jenis kelamin merupakan penyifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Sementara itu konsep gender merupakan suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki ataupun kaum perempuan yang dikontruksi secara sosial maupun kultural (Fakih via Sofia dan Sugihastuti, 2003:24). Gender berbicara mengenai maskulin dan feminin tentang bagaimana perlakuan yang diciptakan masyarakat, seperti dapat dicontohkan jika anak perempuan akan meniru ibunya berdandan dan anak laki-laki akan meniru cara ayahnya berjalan tegap. Perbedaan gender tidak akan menimbulkan masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender (gender inequalities) (Sofia dan Sugihastuti, 2003:24). Ketidakadilan gender yang dialami perempuan terjadi di berbagai bidang, seperti bidang pendidikan, bidang pekerjaan, bidang sosial politik dan lain-lain. Dipandang dari berbagai bidang tersebut feminisme lahir karena melawan diskriminasi yang kaum perempuan terima akibat dominasi kaum patriarki. Diskriminasi ini pun terjadi dalam bidang pendidikan dan sastra, yaitu kaum perempuan digambarkan sebagai tokoh tambahan yang tidak dianggap penting keberadaannya.
13
Kritik sastra feminis, sebagaimana dikemukakan oleh Humm adalah upaya yang dilakukan oleh kaum feminis dalam menolak kritik sastra standar dalam analisis dan sejarah sastra (Ismiyati, 2010:27). Kritik sastra feminis berawal dari kenyataan bahwa baik karya drama yang dianggap ciptaan asli seorang penulis maupun pandangan tentang manusia dalam karya sastra pada umumnya mencerminkan ketimpangan (Djajanegara, 2000:17-18). Secara sederhana, Sugihastuti memberikan makna kritik sastra feminis sebagai kritik sastra yang disesuaikan dengan pandangan dan kodrat perempuan (Sugihastuti via Sofia dan Sugihastuti, 2003:29). Dalam pendekatan kritik sastra feminis dikenal beberapa konsep tentang pembaca. Pertama, pembaca perempuan (woman reader) adalah perempuan yang membaca dengan konsep dan ide serta keinginan sesuai dengan pandangan masyarakat yang dilingkupi oleh kekuasaan patriarki (Humm via Ismiyati, 2010:28). Kedua, membaca sebagai perempuan (reading as a woman) adalah suatu konsep membaca yang digunakan sebagai bekal dalam membongkar praduga dan ideologi kekuasaan laki-laki yang patriarki yang sampai sekarang diasumsikan menguasai penulisan dan pembacaan sastra sehingga dapat menimbulkan kesadaran tentang perempuan (Culler via Wahyuni, 2010:38). Membaca sebagai perempuan adalah membaca dengan kesadaran membongkar praduga dan ideologi kekuasaan laki-laki yang androsentris atau patriarkhat (Sugihastuti dan Suharto, 2002:19). Dalam penelitian ini akan digunakan konsep membaca sebagai perempuan (reading as a woman) sebagai asumsi dasar. Konsep
14
membaca sebagai perempuan (reading as a woman) membawa pembaca karya sastra yang membaca karya sastra akan kesadaran untuk menghargai perempuan. Ruthven mengemukakan bahwa kritik sastra feminis meliputi penelitian tentang bagaimana perempuan digambarkan dalam teks sastra, dan bagaimana potensi yang dimiliki perempuan di tengah kekuasaan patriarki. Teori feminis diharapkan membuka pandangan baru berkaitan dengan bagaimana karakterkarakter perempuan diwakili dalam karya sastra (via Ismiyati, 2010:30). Dalam penelitian dengan pendekatan kritik sastra feminis karya sastra dapat menghadirkan image of woman. Menurut Ruthven, pendekatan sosiofeminis yang berfokus pada image of woman dianggap sebagai suatu jenis sosiologi yang menganggap teks sastra sebagai bukti adanya berbagai jenis peranan perempuan (via Ismiyati, 2010:30). Tujuan penelitian image of woman menurut Ruthven adalah membicarakan hakikat representasi stereotip yang menindas yang diubah ke dalam model-model peran serta menawarkan pandangan yang sangat terbatas dari hal-hal yang diharapkan oleh seorang perempuan (Wahyuni, 2010:40). Pengertian tentang citra atau image adalah semua wujud gambaran mental spiritual dan tingkah laku keseharian perempuan yang menunjukkan “wajah” dan ciri khas perempuan (Sofia dan Sugihastuti, 2003:190). Citra perempuan merupakan implementasi dari pandangan-pandangan masyarakat terhadap peran perempuan (Anipudin, 2009:12). Ketika perempuan memiliki peran dalam
15
berbagai bidang, peran tersebut menjadikan perempuan memiliki kekuatan dalam memperjuangkan aspirasinya sebagai kaum yang dianggap lemah. Dalam sebuah karya sastra, dapat juga memuat isu-isu feminis, isu-isu tersebut diharapkan mampu membawa pembaca pada kesadaran akan perempuan. Isu-isu feminisme berangkat dari kenyataan bahwa kontruksi sosial gender mendorong citra perempuan belum memenuhi cita-cita persamaan hak antara lakilaki dan perempuan (Anipudin, 2009:21). Kritik sastra feminis dalam pendekatan terhadap karya sastra digunakan sebagai materi pergerakan perempuan dalam mensosialisasikan isu feminis (Andersen via Anipudin, 2009:22).
1.6 Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian karya sastra ini adalah metode deskriptif-kualitatif. Metode deskriptif digunakan untuk mengungkapkan faktafakta yang ada dalam cerpen terutama untuk mengetahui lebih jauh tentang tokoh dan penokohan. Metode ini juga digunakan untuk menjelaskan dan memaparkan hasil analisis yang ada. Data yang diuraikan dalam bentuk kata-kata dan gambar bukan dalam bentuk angka (Semi via Widiastuti, 1993 : 24). Langkah-langkah yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1)
Mengumpulkan data, baik data primer maupun data sekunder yang dibutuhkan dalam penelitian ini. Pengumpulan data yang dilakukan untuk menganalisis cerpen Yuugao no Onna ini adalah dengan cara pengumpulan
16
data melalui sumber-sumber tertulis, berupa buku, majalah, internet dan artikel-artikel. Data primer yaitu cerpen Yuugao no Onna, sedangkan data sekunder diperoleh dari buku-buku dan sumber lain yang mencakup data teori kritik feminis. 2)
Melakukan pembacaan terhadap data tersebut.
3)
Melakukan analisis. Analisis awal akan dilakukan dengan teori struktural yang akan memaparkan tentang unsur instrinsik cerpen Yuugao no Onna. Unsur tersebut meliputi tema, tokoh dan penokohan, serta latar. Setelah dipaparkan beberapa unsur tersebut akan dijelaskan tentang keterkaitan antar unsur-unsurnya. Analisis ini akan membantu mempermudah analisis selanjutnya yaitu dengan kritik sastra feminis. Teori kritik sastra feminis akan digunakan untuk mengungkapkan citra perempuan yang tercermin dalam cerpen Yuugao no Onna.
4)
Menentukan kesimpulan kemudian menyajikannya dalam bentuk skripsi.
1.7 Sistematika Penulisan Skripsi ini akan disajikan dalam 4 bab, sebagai berikut. Bab I berisi pendahuluan yang membahas latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab II berisi analisis struktural cerpen. Dalam bab ini akan dianalisis struktur cerpen mulai dari ringkasan cerita, analisis tema, tokoh dan penokohan, pelataran serta keterkaitan antar unsur yang menjalin kesatuan makna.
17
Bab III berisi analisis citra tokoh perempuan dan isu-isu feminis dalam cerpen. Dalam bab ini akan dianalisis lebih dalam tentang analisis tokoh perempuan dalam cerpen, yaitu bagaimana citra perempuan tergambar dalamnya dan isu-isu feminis yang ada. Bab IV permasalahan.
berisi kesimpulan yang merupakan jawaban terhadap