BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian Karya sastra merupakan sarana yang menarik untuk mengungkapkan perasaan manusia serta wadah penyampaian gagasan, ide, dan pikiran pengarang terhadap suatu hal. Hasil karya sastra merupakan pengembangan diri dari ekspresi dan kreativitas pengarang. Salah satu bentuk karya sastra ialah novel. Novel merupakan karya fiksi yang dibangun melalui berbagai unsur intrinsiknya. Unsurunsur tersebut sengaja dipadukan pengarang dan dibuat mirip dengan dunia yang nyata lengkap dengan peristiwa-peristiwa di dalamnya sehingga tampak seperti sungguh ada dan terjadi. Unsur-unsur intrinsik inilah yang akan menyebabkan karya sastra berupa novel hadir. Ragam karya fiksi di Indonesia mulai semarak dengan adanya novel yang diadaptasi dari film, pertama kali dipelopori oleh Seno Gumira Ajidarma dengan novelnya Biola Tak Berdawai (Akur, 2004). Selain itu, ada pula beberapa judul novel yang diadaptasi dari skenario film, seperti Brownis oleh Fira Basuki, 30 Hari Mencari Cinta dinovelkan oleh Nova Ariyanti Yusuf (Gagas Media, 2004), Finding Srimulat (2013), dan Bangsal 13 dinovelkan oleh FX. Rudi Gunawan (Gagas Media, 2004), Jendral Kecil oleh Gola Gong (Mizan, 2002), dan kumpulan cerpen Tentang Dia karya Melly Goeslaw (Gagas Media, 2004) yang ditulis dalam bentuk skenario oleh Titin Wattimena dengan sutradara Rudi Sudjarwo dan dinovelkan kembali oleh Moamar Emka (Gagas Media, 2005).
1
2
Film Nagabonar Jadi 2 merupakan lanjutan cerita dari film Nagabonar karya Asrul Sani pada tahun 1987. Ada bagian-bagian yang dinarasikan lebih detail dibandingkan dengan film, seperti pada monolog Nagabonar yang semakin memperdalam karakter tokoh Nagabonar yang tidak dijelaskan pada film. Berbeda dengan film Nagabonar Jadi 2 yang menceritakan tokoh utama (Nagabonar) sebagai sudut pandang orang ketiga, novel tersebut menempatkan Nagabonar sebagai sudut pandang orang pertama yaitu tokoh Aku (Nagabonar) sebagai pencerita. Salah seorang pengarang Indonesia, Akmal Nasery Basral, selain seorang sastrawan juga seorang wartawan majalah Tempo yang dikenal memiliki ketertarikan terhadap karya sastra. Karya-karyanya telah beredar dalam bentuk fiksi ialah, Imperial (novel, 2005), Ada Seorang di Kepalaku Yang Bukan Aku (antalogi cerpen, 2006), Million $$$ Baby (2006, sebagai penyunting edisi dari karya F.X Toole), dan The Sea (2007, sebagai penyunting edisi Indonesia dari karya John Banville, sastrawan Irlandia yang memenangkan The Man Booker Prize, 2005), dan Nagabonar Jadi 2 (novel, 2007). Di antara karya-karyanya tersebut yang paling banyak mendapat perhatian masyarakat awam adalah novel Nagabonar Jadi 2. Novel ini terbit pada tahun 2007 tepatnya setelah produksi film selesai, bahkan telah beredar dalam bentuk VCD dan DVD di kalangan masyarakat. Novel ini terbit bersamaan dengan berlangsungnya pemutaran film dengan judul yang sama. Selain itu, novel Nagabonar Jadi 2 telah mengalami dua kali cetak ulang, yang pertama pada
3
April 2007 dan kedua pada Mei 2007. Hal ini cukup membuktikan bahwa novel Nagabonar Jadi 2 ini menarik dan banyak diminati oleh pembaca. Dipilihnya novel Nagabonar Jadi 2 sebagai objek penelitian karena novel tersebut tersusun dari unsur yang saling berkaitan satu dan unsur yang lain. Novel Nagabonar Jadi 2 mempunyai sisi yang menarik dalam menggambarkan tokoh. Pengarang menonjolkan sisi patriotisme pada setiap dialog tokoh utama. Peristiwa pertemuan tokoh, konflik yang terjadi, dan sikap tokoh dalam menentukan keputusan membentuk tema cerita yang bisa menambah pengalaman diri pembaca. Dari segi latar novel, novel Nagabonar Jadi 2 memiliki teknik penggambaran latar waktu, tempat, dan sosial-budaya yang jelas. Penulisan latar cerita tersebut dapat menunjang imajinasi pembaca terhadap peristiwa-peristiwa yang dialami tokoh. Latar juga memengaruhi karakter tokoh dalam menentukan sikap dan pola pikir. Penelitian ini menerapkan teori struktur novel Robert Stanton. Adapun teori ini dipilih karena teori tersebut merupakan teori yang tepat untuk menganalisis objek kajian yaitu struktur novel Nagabonar Jadi 2. Menurut Stanton (1965: 11--12) karya sastra terdiri atas unsur, tema, fakta-fakta cerita, dan sarana-sarana sastra. Fakta cerita terdiri dari alur, tokoh, dan latar. Ketiga unsur tersebut sering disebut Stanton sebagai struktur faktual cerita karena peristiwa yang ada dapat dibayangkan oleh pembaca. Struktur faktual akan membentuk pola sederhana untuk menyampaikan tema cerita. Sarana-sarana sastra merupakan unsur-unsur yang tidak terpisahkan dalam struktur novel. Sarana-sarana sastra tersebut antara lain judul, sudut pandang,
4
gaya, dan nada. Tidak dianalisisnya sarana-sarana sastra, antara lain, karena alasan sebagai berikut. Unsur-unsur yang dominan dalam novel adalah fakta-fakta cerita dan tema. Alasan dibatasinya topik penelitian menjadikan skripsi ini hanya menganalisis unsur-unsur yang dominan. Hal ini tidak berarti bahwa sarana-sarana sastra dapat dikesampingkan begitu saja. Secara sepintas sarana-sarana sastra berupa judul novel juga dianalisis dalam hubungannya dengan tema. Selain itu sarana-sarana sastra berupa simbol dianalisis melalui latar. Dengan belum dianalisisnya sarana-sarana sastra, topik penelitian ini masih memungkinkan peneliti lain untuk menelitinya. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, yang menjadi rumusan masalah penelitian ini adalah: unsur-unsur pembangun novel Nagabonar Jadi 2 berupa fakta-fakta cerita dan tema. Fakta-fakta cerita tersebut meliputi alur, tokoh dan penokohan, dan latar. 1.3 Tujuan Penelitian Penelitian yang dilakukan terhadap novel Nagabonar Jadi 2 memiliki tujuan teoretis dan praktis. Tujuan teoretis dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui struktur novel Nagabonar Jadi 2 melalui analisis alur, tokoh, dan latar. Selain itu, ialah untuk memaknai struktur novel Nagabonar Jadi 2, untuk menilai kualitas struktur novel Nagabonar Jadi 2, terutama dari segi alur, tokoh, latar, dan tema, serta untuk menerapkan teori struktur novel pada novel Nagabonar Jadi 2.
5
Tujuan praktis penelitian ini, antara lain adalah sebagai wujud apresiasi pembaca terhadap salah satu karya sastra. Penelitian ini bertujuan menambah studi pustaka bagi kritik sastra ilmiah modern dengan menggunakan teori struktur novel Robert Stanton, serta menambah referensi penelitian terhadap novel Nagabonar Jadi 2. 1.4 Tinjauan Pustaka Teori struktur novel Robert Stanton telah digunakan dalam penelitian. Dari beberapa penelitian yang digunakan untuk acuan, sepengetahuan penulis belum ada penelitian terhadap novel Nagabonar Jadi 2 menggunakan teori struktur novel Robert Stanton. Penelitian yang menggunakan teori tersebut antara lain. Didik Kusuma Saputra menggunakan teori struktur novel Robert Stanton dalam skripsinya yang berjudul “Fakta Cerita dan Tema Novel Purasani Karya Yasawidagda” (2004), Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang. Novel Purasani merupakan salah satu novel yang menggunakan bahasa Jawa. Struktur cerita dalam novel Purasani menggunakan teknik penulisan alur maju, meskipun disisipi teknik penceritaan balik yang ditunjukkan untuk menghidupkan cerita. Tema cerita adalah kehidupan lelaki Jawa yang bernama Purasani. Latar, pola pikir tokoh dan karakter menunjukkan adanya keterkaitan dengan tema yang ingin disampaikan pengarang. Diana Ch. Minanlarat dari Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya UGM juga menggunakan teori yang sama dalam judul skripsinya “Analisis Tema dan Fakta Cerita Novel Wanita Di Jantung Jakarta Karya Korrie Layun Rampan”
6
(2005). Dalam kesimpulan Minanlarat menuliskan masalah yang ada pada novel tersebut yaitu masalah yang berkaitan dengan kehidupan tokoh utama. Peristiwa masa lalu yaitu kegagalan dalam berumah tangga menjadi tema utama yang melatar-belakangi karakter tokoh Sumarsih. Analisis menggunakan teori yang sama pernah dilakukan oleh Intan Permatasari dari Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya UGM dengan judul skripsi “Novel Toenggoel Karya Eer Asura Analisis Tema dan Fakta Cerita” (2006). Novel Toenggoel terbentuk dari hubungan antara tema dengan fakta-fakta cerita. Pertentangan antara dua nilai, yaitu nilai tradisi dengan nilai agama dalam satu lingkungan masyarakat dapat menjadi pola sederhana yang membentuk tema cerita. Dengan menitikberatkan analisis terhadap tema dan fakta-fakta cerita maka dapat diamati sikap masyarakat dalam menghadapi pertentangan yang terjadi antara nilai tradisi dan nilai agama. Teori struktur novel Robert Stanton telah banyak digunakan oleh peneliti terdahulu untuk menganalisis fakta-fakta cerita dalam antologi cerpen Dilarang Mencintai Bunga-Bunga karya Kuntowijoyo. Skripsi oleh Titik Rohayati, Sastra Indonesia FIB UGM (2006) tersebut menganalisis fakta-fakta cerita pada antologi cerpen Dilarang Mencintai Bunga-Bunga. Cerpen tersebut bercerita tentang adanya konflik oleh dua tokoh yang tidak saling bertemu. Penelitian menggunakan teori struktur novel Robert Stanton lainnya adalah “Analisis Tema dan Fakta Cerita Novel Tarian Bumi Karya Oka Rusmini” (2006) skripsi oleh Putri Hari Wardani dari Jurusan Sastra Indonesia FIB UGM.
7
Tema mayor dalam novel Tarian Bumi adalah perbedaan kasta dalam adat Bali yang membangun jarak di antara sesama manusia. Tarian Bumi memiliki kekuatan dari segi plot dan latar, terutama latar sosial. Latar sosial dengan struktur kasta yang kuat membuat tokoh-tokoh mengalami perubahan psikologis akibat perubahan kasta yang dijalaninya. Perbenturan yang terjadi karena perbedaan kasta tersebut menimbulkan konflik dan membuat tokoh utama mengalami perubahan psikologis akibat perubahan kasta yang dipilihnya. Analisis dengan teori struktur novel Robert Stanton juga pernah dilakukan oleh Nurina Yudistianti dan Sugihastuti dengan judul buku Struktur Novel: Studi Cermin Merah Stantonian (2007). Buku tersebut menjelaskan bahwa novel Cermin Merah memberikan ketegangan dan rasa ingin tahu pada pembaca melalui unsur suspense yang kuat. Yudistianti dan Sugihastuti menuliskan bahwa keunggulan novel tersebut terletak pada perkembangan plot yang membuat pembaca begitu penasaran. Skripsi lain ditulis oleh Anggraeni Jumearti dari FKIP Universitas Ahmad Dahlan dengan judul skripsi “Analisis Tema dan Fakta Cerita Novel Perempuan Merajut Gelombang Karya Maulana Syamsuri” (2007). Pada novel Perempuan Merajut Gelombang terdapat tema utama dan tema tambahan. Dengan menggunakan teknik analitik dan dramatik pengarang membuat cerita menjadi lebih hidup. Novel ini menggunakan latar sosial masyarakat menengah ke atas. Jumearti menarik kesimpulan bahwa tema dan fakta cerita saling berkaitan.
8
Penelitian dengan menggunakan teori tersebut pernah diterapkan pula pada buku berjudul Struktur Novel: Teori dan Analisis Biola Tak Berdawai yang ditulis oleh Sugihastuti dan Yudhistira Adi Prasetya (2011). Di dalam buku tersebut Sugihastuti dan Prasetya menjelaskan bahwa tema berkaitan pula dengan judul novel. Judul novel Biola Tak Berdawai merupakan simbol inti keseluruhan cerita. Judul novel tersebut merujuk pada tema yaitu tidak adanya salah satu hal pokok untuk menggerakkan kehidupan. Skripsi berjudul “Analisis Fakta-Fakta Cerita dan Tema Novel Amrike Kembang Kopi Karya Sunaryata Soemardjo” (2014) karya Kirana Mega Puspitasari, Sastra Nusantara FIB UGM. Novel Amrike Kembang Kopi merupakan novel Jawa modern. Mega menuliskan bahwa terdapat kesatuan unsur antara alur, tokoh, latar dan tema sehingga muncul pesan moral yang disampaikan pengarang melalui hubungan antarunsur tersebut. Dari semua penelitian tersebut belum ada penelitian dengan objek kajian novel Nagabonar Jadi 2 karya Akmal Nasery Basral. Oleh sebab itu, selain mempunyai daya tarik seperti dikemukakan pada latar belakang penelitian, novel ini layak untuk dikaji dengan teori struktur novel Robert Stanton dengan menitikberatkan pada fakta-fakta cerita dan tema. Dengan demikian, untuk sementara waktu sampai laporan penelitian ini ditulis keaslian dan kebaruan penelitian ini terjaga. Terdapat penemuan adanya latar alat yang dianalisis dalam penelitian ini. Latar alat merupakan komponen dari fakta0fakta cerita yang secara kuat untuk
9
membangun karakter tokoh. Hal ini dapat menjadikan penelitian ini memiliki perbedaan hasil analisis dengan penelitian sebelumnya menggunakan teori struktur novel Robert Stanton. 1.5 Landasan Teori Menurut Stanton (1965: 11) karya sastra terdiri atas tema, fakta-fakta cerita (facts), dan sarana-sarana sastra (literary devices). Fakta-fakta cerita terdiri dari alur, tokoh, dan latar. Ketiga unsur tersebut merupakan unsur fiksi yang secara faktual dapat dibayangkan peristiwa dan eksistensinya dalam sebuah novel. Stanton sering menyebut alur, tokoh, dan latar sebagai struktur faktual (factual structure) atau tahapan faktual (factual level) sebuah cerita. Struktur faktual bisa menjelaskan jalan cerita secara sederhana dan mendetail, teratur, dan membentuk pola yang menyampaikan tema. Struktur faktual sangat mencolok dan memenuhi cerita, tetapi bukan bagian yang terpisah dari cerita (Stanton, 1965: 12). Dalam penelitian ini analisis struktur novel hanya akan dilakukan pada alur, tokoh, latar, dan tema. Pemahaman atas teori Robert Stanton didukung dengan adanya teori lain untuk analisis identifikasi tokoh. Teori lain yang digunakan tersebut dipakai guna melengkapi hasil analisis penelitian terhadap novel Nagabonar Jadi 2. 1.5.1 Alur Pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989: 24), alur adalah rangkaian peristiwa yang direka dan dijalin dengan saksama dan menggerakkan jalan cerita melalui rumitan ke arah klimaks dan selesaian. Alur menurut Stanton (1965:14)
10
dalam arti luas adalah keseluruhan bagian dari peristiwa-peristiwa. Stanton menerangkan istilah alur biasanya dibatasi pada peristiwa-peristiwa yang dihubungkan secara sebab-akibat, yakni peristiwa yang secara lagsung merupakan sebab atau akibat dari peristiwa lainnya. Jika salah satu dihilangkan, tidak terbentuk jalinan cerita. Peristiwa tersebut tidak hanya melibatkan kejadian fisikal, seperti percakapan atau tindakan, tetapi juga melibatkan perubahan sikap, pandangan hidup, keputusan, dan segala sesuatu yang dapat mengubah jalannya suatu cerita. Alur merupakan tulang punggung suatu cerita sebab alur lebih menjelaskan dirinya sendiri daripada unsur lainnya. Alur memiliki kaidah sendiri. Alur memiliki bagian awal, tengah, dan akhir. Alur sebuah cerita harus bersifat sejalan. Antara peristiwa satu dan peristiwa lainnnya, antara peristiwa yang sudah dan akan diceritakan terdapat hubungan keterkaitan satu sama lain. Keterkaitan satu sama lain harus bersifat logis, jelas, dan dapat dikenali dari segi waktu dan tempat berdasarkan cerita sebelumnya. Alur yang bersifat utuh dan selaras akan menyuguhkan cerita yang utuh dan selaras pula. Alur dapat ditentukan melalui pembabakan peristiwa-peristiwa (Stanton, 1965: 45). Episode dalam sebuah novel mirip dengan babakan dalam drama. Perpindahan dari episode yang satu ke episode yang lain biasanya ditandai dengan perpindahan waktu, tempat, atau tokohnya. Selain pembabakan peristiwa, Stanton (1965: 16) membagi unsur alur menjadi dua bagian yaitu konflik dan klimaks. Setiap karya fiksi berisi konflik
11
internal dan atau konflik eksternal. Konflik internal merupakan konflik antara dua keinginan dalam diri seorang tokoh. Konflik eksternal merupakan konflik tokoh yang satu dengan tokoh lainnya atau antara tokoh dengan lingkungannya. Banyak ditemukan konflik yang terjadi dalam suatu cerita, namun yang terpenting adalah adanya konflik sentral, baik itu konflik internal maupun konflik eksternal. Sebuah cerita bisa terdiri dari beberapa konflik, tetapi hanya ada satu konflik sentral yang dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan peristiwa yang membangun alur. Konflik pada cerita mengarah pada klimaks, yaitu saat konflik mencapai titik intensitas tinggi dan menimbulkan kejadian yang tidak dapat dihindari. Klimaks menentukan perkembangan alur. Klimaks merupakan keadaan penemuan solusi atas konflik yang terjadi. Menurut Stanton (1965: 16) dua unsur penting alur adalah konflik dan klimaks. Aristoteles (Abrams, 1981: 138) mengemukakan pendapat bahwa awal cerita memperkenalkan peristiwa yang membuat pembaca mendapatkan informasi penting yang berkaitan dengan hal-hal yang akan muncul pada bagian berikutnya. Masalah sudah mulai muncul pada bagian awal cerita. Pada bagian tengah merupakan pertentangan pada konflik yang mulai muncul pada bagian awal cerita. Konflik tersebut mulai meningkat hingga mencapai klimaks. Bagian akhir merupakan penyelesaian berdasarkan akibat dari klimaks. Sebuah alur hendaknya terdiri dari bagian awal, bagian tengah, dan bagian akhir (Stanton, 1965: 15). Bagian awal pada sebuah cerita berisi perkenalan tokoh. Biasanya dijelaskan keadaan awal lingkungan tokoh sebagai perkenalan untuk
12
merujuk pada bagian selanjutnya. Kondisi latar dijelaskan pada awal bagian cerita untuk mengenalkan tokoh pada pembaca. Bagian tengah cerita berisi masalah-masalah yang dialami tokoh. Pada tahap ini pengarang menampilkan pertentangan dan masalah yang semakin lama menuju pada puncak konflik. Konflik yang diceritakan dapat berupa konflik internal maupun konflik eksternal. Bagian tengah cerita merupakan bagian yang terpenting karena pengarang menempatkan inti cerita pada bagian tersebut. Biasanya tema utama jelas diungkapkan pada bagian tengah cerita. Bagian akhir cerita menampilkan penyelesaian terhadap masalah atau disebut klimaks. Klimaks dalam cerita adalah ketika konflik memuncak dan mengakibatkan terjadinya penyelesaian yang tidak bisa dihindari (Stanton, 1965:16). Klimaks terjadi apabila konflik telah mencapai puncak tertinggi atas masalah yang dipertentangkan. 1.5.2 Tokoh dan Penokohan Tokoh
oleh
pembaca
ditafsirkan
memiliki
kualitas
moral
dan
kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan atau yang dilakukan dalam tindakan. Untuk kasus kepribadian seorang tokoh, pemaknaan itu dilakukan berdasarkan kata-kata (verbal) dan tingkah laku lain. Perbedaan antara tokoh satu dengan yang lain lebih ditentukan dengan kualitas pribadi daripada dilihat secara fisik. Menurut Sumardjo dan Saini (1997: 145) “tingkah laku dan perbuatan tokoh-tokoh cerita akan membangkitkan perhatian pembaca dalam memahami, menghayati, dan menyimpulkan buah pikiran pengarang”. Oleh sebab
13
itu, pembaca dalam memahami watak para tokoh lebih ditentukan oleh ucapan dan perbuatan tokoh daripada dilihat secara fisik. Tokoh cerita menempati posisi strategis sebagai pembawa dan penyampai pesan, amanat moral, atau sesuatu yang sengaja ingin disampaikan kepada pembaca. Tidak jarang tokoh cerita digunakan sebagai pembawa pesan cerita. Tokoh cerita seolah-olah hanya sebagai penyampai pesan atau merupakan refleksi pikiran, sikap, pendirian dan keinginan-keinginan pengarang. Aminuddin (2004:80) mengemukakan hal-hal yang perlu diperhatikan untuk menentukan
tokoh utama dan tokoh tambahan yaitu: “(1) melihat
keseringan pemunculan dalam cerita, (2) petunjuk yang diberikan pengarang”. Keseringan pemunculan yang dimaksud adalah bahwa tokoh utama terlibat pada sebagian besar peristiwa dalam cerita. Petunjuk yang diberikan pengarang mengacu pada ciri-ciri khusus kepada tokoh satu yang membedakan dengan tokoh yang lain. Kemunculan tokoh utama secara bersama-sama membangun cerita dengan tokoh tambahan. Tokoh yang ditampilkan pengarang dalam sebuah cerita memiliki watakwatak tertentu. Sehubungan dengan itu, dalam sebuah cerita ada yang disebut dengan tokoh yang protagonis dan tokoh yang antagonis. Aminuddin (2004: 80) mengemukakan bahwa “tokoh protagonis adalah tokoh yang memiliki watak yang baik sehingga disenangi pembaca, dan tokoh antagonis adalah tokoh yang tidak sesuai dengan apa yang diidamkan oleh pembaca”. Selanjutnya menurut Sumardjo dan Saini (1997: 144) “tokoh protagonis berperan sebagai penggerak cerita.
14
Karena perannya itu, protagonis adalah tokoh yang pertama-tama menghadapi masalah dan terlibat dalam kesukaran-kesukaran. Tokoh antagonis berperan sebagai penghalang dan masalah protagonis”. Istilah karakter menurut Stanton (1965: 17) merujuk pada dua pengertian. Pertama, karakter merujuk pada individu-individu yang muncul dalam cerita. Kedua, karakter merujuk pada percampuran dari berbagai kepentingan, keinginan, emosi, dan prinsip moral dari individu-individu tersebut. Dalam sebagian besar cerita dapat ditemukan suatu ‘karakter utama’ yaitu karakter yang terkait dengan semua peristiwa yang berlangsung dalam cerita. Penulis menggunakan teori lain untuk mendukung penelitian. Teori tersebut antara lain adalah sebagai berikut. Menurut Egri (dalam Sukada, 1987: 64) karakter seorang tokoh memiliki tiga dimensi sebagai struktur pokoknya, yaitu fisiologis, sosiologis, dan psikologis. Ketiga dimensi tersebut adalah tiga unsur yang membangun karakter dalam sebuah karya sastra. Menurut Nurgiyantoro (1995: 210), pelukisan wujud fisik tokoh berfungsi untuk lebih mengintensifkan sifat kedirian tokoh. Dimensi fisiologis yang dimaksud adalah dalam menentukan karakter tokoh, keadaan fisik tokoh perlu dilukiskan, terutama jika tokoh tersebut memiliki bentuk fisik yang khas. Tujuannya adalah pembaca dapat menggambarkan wujud tokoh secara imajinatif. Kehidupan sosial tokoh mencangkup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks. Ia dapat berupa kebiasaan hidup, adat-istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, dan lain-lain (Nurgiyantoro, 2013:
15
233). Masalah sosial yang merujuk pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial tokoh di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi termasuk dalam dimensi sosiologis. Keadaan fisik tokoh sering berkaitan dengan keadaan kejiwaannya, atau paling tidak pengarang sengaja mencari dan memperhubungkan adanya keterkaitan itu Nurgiyantoro (1995: 210). Misalnya, bibir tipis menyaran pada sifat suka berbicara, rambut lurus merujuk pada sifat tidak mau mengalah, dahi yang lebar merujuk pada sifat pemikir, dan lain-lain yang dapat merujuk pada sifat tertentu. Hal tersebut berkaitan dengan pandangan (budaya) masyarakat yang bersangkutan. 1.5.3 Latar Pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989: 501) istilah latar berarti keterangan mengenai waktu, ruang, dan suasana terjadinya lakuan. Latar suatu cerita menurut Stanton (1965: 16) adalah lingkungan dan peristiwa-peristiwa yang ada dalam cerita. Latar dapat disebut sebagai tempat dengan lingkungan tertentu dan waktu tertentu terjadinya sebuah cerita rekaan. Dalam latar dijumpai unsur tempat, sosial, dan waktu. Deskripsi latar tertentu akan menciptakan suasana tertentu pula dalam cerita, misalnya suasana romantis, misteri, haru, dan lain-lain. Menurut Nurgiyantoro (2013: 244), adanya situasi atau suasana tertentu yang dapat membawa pembaca ke dalam cerita akan menyebabkan pembaca terlibat secara emosional. Pembaca akan tertarik, bersimpati, berempati, meresapi, dan menghayati cerita secara intensif. Adanya kekhasan latar juga memengaruhi
16
karakter yang dibangun seorang tokoh. Maka dari itu, latar menjadi aspek penting yang membentuk suatu cerita. 1. Latar Tempat Deskripsi tempat secara teliti dan realistis penting untuk mengesankan pembaca
seolah-olah
hal
yang
diceritakan
sungguh-sungguh
terjadi
(Nurgiyantoro, 2013: 314—315). Latar tempat merujuk pada lokasi terjadinya suatu peristiwa yang terdapat dalam cerita. Tempat yang dijelaskan pada cerita dapat berupa nama tempat maupun penggambaran melalui inisial tertentu. Penggunaan latar tempat harus menggunakan istilah nama-nama tertentu yang menggambarkan keadaan geografis tokoh yang bersangkutan. Deskripsi latar tempat dijelaskan secara rinci agar peristiwa tampak nyata bagi pembaca. 2. Latar Waktu Terjadinya suatu peristiwa sering ditunjukkan dengan adanya waktu. Latar waktu menjelaskan ‘kapan’ peristiwa tersebut terjadi dan menunjukkan gambaran masa lalu atau masa depan tokoh pada suatu cerita. Masalah ‘kapan’ tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah (Nurgiyantoro, 2013: 318). Novel ada yang memiliki waktu panjang sampai akhir penceritaan, ada pula novel yang hanya bercerita secara singkat. Novel yang memiliki tenggang waktu panjang dalam penceritaan biasanya tidak secara keseluruhan dapat dijelaskan, melainkan hanya waktu yang memiliki kaitan erat dengan alur yang ditonjolkan.
17
3. Latar Sosial-Budaya Latar sosial-budaya menunjuk pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi (Nurgiyantoro, 2013: 322). Kehidupan masyarakat, kebiasaan pola pikir, dan cara pandang merupakan hal-hal yang membentuk karakter tokoh dalam novel. Latar sosial-budaya dapat membentuk pola pikir dan cara pandang tokoh dalam novel. Latar sosial-budaya dalam novel dijelaskan melalui deskripsi kehidupan lingkungan sekitar, kebiasaan, dan cara pikir tokoh dalam memutuskan jalan keluar terhadap suatu masalah. Kekhasan suatu cerita ditunjukkan melalui penggambaran latar sosial-budaya. Nurgiyantoro (2013: 323) mengatakan bahwa latar sosial-budaya memang dapat secara meyakinkan menggambarkan suasana kedaerahan, local colour, warna setempat daerah tertentu melalui kehidupan sosial-budaya masyarakat. Adanya kekhasan nama tokoh, dialek yang digunakan juga menunjukkan adanya kondisi sosial-budaya. Karakter yang ditonjolkan antara tokoh satu dengan yang lainnya perlu dideskripsikan secara jelas untuk memahami perbedaan kondisi sosial-budaya antartokoh. Misalnya, Nagabonar memiliki watak keras karena dia memiliki darah keturunan suku Batak. Berbeda dengan Umar yang memiliki karakter tenang dan lembut karena ia memiliki darah keturunan suku Jawa.
18
4. Atmosfer (Suasana) Suasana tertentu yang tercipta itu tidak dideskripsikan secara langsung, melainkan sesuatu yang tersarankan (Stanton, 1965: 19). Suasana dapat berupa deskripsi keadaan sekitar, misalnya suasana mencekam, romantis, duka, dan lain sebagainya. Suasana yang dijelaskan dalam cerita dapat menjelaskan kondisi jiwa seorang tokoh. Kondisi jiwa seorang tokoh dipengaruhi oleh keadaan atau suasana lingkungan sekitar. 1.5.4 Tema Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2008: 1492), tema merupakan pokok pikiran atas dasar cerita sebagai dasar suatu karangan diciptakan. Pengarang adalah pencerita, tetapi agar tidak menjadi sekadar anekdot, cerita rekaannya harus memiliki maksud. Maksud inilah yang dinamakan tema (Yudistianti dan Sugihastuti, 2010: 17). Oleh karena itu, sebagai pencerita pengarang berusaha untuk menggambarkan tema melalui peristiwa-peristiwa yang ada dalam cerita. Hal tersebut ialah untuk menyampaikan pesan yang terkandung dalam suatu cerita. Tema sebuah cerita terkait dengan pengalaman manusia yang syarat akan makna; yang pengalaman tersebut dapat diingat (Stanton, 1965: 19). Sebuah cerita dapat menguraikan dan melukiskan beberapa peristiwa atau emosi yang dialami manusia pada umumnya seperti perasaan cinta, kesedihan, ketakutan, penderitaan, dan lain sebagainya.
19
Dalam sebuah cerita, tema dibedakan menjadi tema sentral dan tema bawahan. Tema sentral merupakan gagasan utama yang mendasari cerita. Tema bawahan merupakan gagasan yang sekadar melatarbelakangi cerita maupun untuk mengembangkan cerita bawahan serta menjadi sarana untuk menyangkutkan atau mengikuti tema (Panuti-Sudjiman, 1991: 55) Tergantung pada konteksnya, tema dapat bersinonim dengan ide utama (central ide) dan tujuan utama (central purpose) (Stanton, 1965: 19). Ide utama membuat alur cerita terfokus dan saling memiliki keterkaitan antara satu dengan yang lain hingga menjadikan sebuah cerita utuh. Sedangkan tujuan utama merupakan alasan yang mendasari ide utama yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca. Sehubungan dengan tema yang maksudnya tersembunyi di balik cerita, penafsirannya harus dilakukan berdasarkan fakta-fakta yang ada yang secara keseluruhan membangun cerita tersebut (Stanton, 1965: 21). Dalam usaha menemukan dan menafsirkan tema sebuah novel, secara lebih rinci digunakan sejumlah kriteria yang dapat dilakukan seperti berikut (Stanton: 22 23). Pertama, penafsiran tema sebuah novel harus mempertimbangkan setiap detail yang menonjol pada suatu cerita. Hal yang sering muncul tersebut merupakan sisi cerita yang ingin ditonjolkan oleh penulis. Detail cerita diperkirakan berada di sekitar persoalan utama yang menyebabkan adanya konflik yang sedang dihadapi tokoh utama. Adanya tokoh, masalah, dan konflik utama merupakan tempat yang tepat untuk mengungkapkan tema. Kedua, penafsiran tema sebuah novel tidak bersifat menentang setiap detail cerita. Ketiga, penafsiran tema tidak berdasarkan pada
20
bukti-bukti yang dinyatakan secara langsung maupun tidak langsung dalam sebuah novel. Tema tidak hanya dapat ditafsirkan melalui perkiraan pemikiran, sesuatu yang dibayangkan, atau informasi lain yang belum tentu dapat dipercaya. Keempat, penafsiran tema mendasar pada bukti-bukti yang disampaikan langsung atau disarankan dalam cerita. Tema sebuah cerita harus dapat dibuktikan dengan adanya data-data atau detail-detail cerita yang terdapat dalam novel. Tema dapat disebut pula gagasan atau makna dasar umum yang menopang sebuah karya sastra sebagai struktur yang semantis dan bersifat abstrak. Tema disaring dari motif-motif yang terdapat dalam karya yang bersangkutan yang menentukan
hadirnya
peristiwa-peristiwa,
konflik,
dan
situasi
tertentu
(Nurgiyantoro, 2013: 115). Walaupun sulit ditentukan secara pasti, tema bukanlah makna yang terlalu disembunyikan, namun belum tentu juga dikemukakan secara eksplisit (Nurgiyantoro, 2013: 116). Dengan demikian, untuk menemukan tema sebuah karya fiksi haruslah disimpulkan dari keseluruhan cerita, tidak hanya dari bagianbagian tertentu cerita. 1.6 Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analisis. Metode deskriptif analisis adalah metode yang dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis (Ratna, 2008:53). Metode ini digunakan terutama pada pengumpulan dan klasifikasi data laporan. Data yang dideskripsikan berupa data verbal yang mengungkapkan alur,
21
karakter tokoh, dan latar. Data verbal tersebut berupa kalimat-kalimat, dialog maupun monolog dan karakterisasi langsung dari pengarang dengan karakter tokoh dalam novel Nagabonar Jadi 2. Adapun langkah-langkah yang ditempuh dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Menentukan sumber data yang akan dijadikan objek penelitian yaitu novel Nagabonar Jadi 2. 2. Melakukan pembacaan berulang-ulang novel Nagabonar Jadi 2 agar mendapatkan pemahaman yang mendalam. 3. Merumuskan dan menetapkan permasalahan dalam novel Nagabonar Jadi 2. 4. Menganalisis alur, tokoh dan penokohan, latar, dan tema novel Nagabonar Jadi 2. 5. Menyimpulkan hasil analisis penelitian. 1.7 Sistematika Laporan Penelitian Laporan hasil penelitian ini terdiri atas empat bab. Adapun pembagian masing-masing bab tersebut adalah sebagai berikut. Bab I memuat pendahuluan yang berisi latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika laporan penelitian. Bab II penelitian ini berisi analisis alur, tokoh dan penokohan, dan latar. Bab III memuat analisis tema. Bab IV memuat kesimpulan.