BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Salah satu fungsi bahasa adalah sebagai alat untuk berkomunikasi bagi
manusia. Hal ini memungkinkan manusia untuk menyampaikan gagasan, pikiran, dan perasaan kepada individu lain (Alwasilah, 1990:12). Dalam proses berkomunikasi, manusia dituntut untuk menyampaikan gagasan, pikiran, dan perasaan dengan bahasa yang jelas agar lawan tutur dapat memahami informasi yang disampaikan. Penutur dan lawan tutur juga harus saling memahami maksud tuturan dengan baik agar komunikasi dapat berlangsung sesuai yang diharapkan. Ungkapan pikiran dan gagasan yang disampaikan melalui bahasa tidak semata-mata menghasilkan tuturan yang mengandung kata-kata dan struktur gramatikal saja, tetapi juga memperlihatkan tindakan-tindakan melalui tuturantuturan tersebut. Tindakan-tindakan yang diperlihatkan lewat tuturan tersebut, dalam studi pragmatik biasa disebut sebagai tindak tutur (Yule, 2006:82). Salah satu tindak tutur dalam studi pragmatik adalah tindak tutur direktif. Searle (dalam Rohmadi, 2010:34-35) menyatakan bahwa direktif adalah tindak tutur yang dilakukan oleh penuturnya dengan maksud agar lawan tutur melakukan tindakan yang disebutkan dalam ujaran itu, misalnya menyuruh, memohon, menuntut, menyarankan, dan menantang. Dalam hal ini, penutur dianjurkan untuk menggunakan bahasa yang benar, baik, dan santun dalam menyatakan sebuah tuturan agar lawan tutur tidak tersinggung dengan tuturan yang disampaikan.
1
2
Bahasa yang benar dan baik merupakan bahasa yang sesuai dengan kaidah bahasa dan konteks saat bahasa tersebut dituturkan. Dengan menggunakan bahasa yang benar dan baik, komunikasi akan berlangsung dengan lancar sehingga tidak melanggar norma-norma kesantunan. Kesantunan adalah suatu sistem hubungan antarmanusia yang diciptakan untuk mempermudah hubungan dengan meminimalkan potensi konflik dan perlawanan yang melekat dalam segala kegiatan manuasia (Yule, 2006:183). Penyampaian gagasan dengan memperhatikan kesantunan berbahasa akan mempermudah
keberlangsungan
komunikasi.
Seperti
halnya
komunikasi
antarpenghuni kerajaan, yaitu antara raja dengan pangeran, putri, menteri, atau pelayan. Perbedaan status sosial antarpenghuni kerajaan akan mempengaruhi tuturan yang disampaikan. Seorang menteri yang status sosialnya lebih rendah dari rajanya, harus menggunakan bahasa yang santun agar komunikasi antarkeduanya berlangsung sesuai yang diharapkan. Hal tersebut berlaku juga sebaliknya, seorang raja tidak boleh semena-mena terhadap para menterinya dan pelayannya. Perbedaan status sosial antarpenghuni kerajaan tersebut akan tetap berjalan sesuai yang diharapkan dengan cara tetap memperhatikan kesantunan berbahasa. Dalam studi pragmatik, kesantunan dalam tindak tutur direktif perlu untuk dikaji terutama dalam bahasa Arab karena bahasa Arab adalah bahasa yang sudah banyak dipakai oleh orang Indonesia dan dipelajari dalam tingkat menengah sampai tingkat perguruan tinggi. Oleh karena itu, penelitian ini membahas tentang kesantunan dalam tindak tutur direktif yang datanya dari naskah drama Syamsu
3
An-Nahār karya Taufīq Al-Ḥakīm, yaitu naskah drama berbahasa Arab yang latar ceritanya berada dalam sebuah istana. Tokoh-tokoh di dalam naskah drama tersebut memiliki status sosial yang berbeda sehingga tingkat jarak sosialnya pun berbeda. Hal ini memungkinkan adanya berbagai macam tuturan dan tindak tutur di dalam naskah tersebut. Selain itu, bahasa Arab yang digunakan dalam naskah drama ini adalah bahasa Arab resmi atau fuṣḥah yang telah dijadikan bahasa standar di berbagai Negara Arab serta di dalamnya juga terdapat banyak tindak tutur direktif sehingga cocok dijadikan sebagai data penelitian untuk mendapatkan gambaran mengenai tindak tutur direktif bahasa Arab. 1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan deskripsi yang telah diuraikan pada bagian latar belakang,
ada beberapa permasalahan yang perlu dirumuskan, yaitu: Apa saja bentuk-bentuk tindak tutur direktif dan bagaimana kesantunan itu diekspresikan dalam tindak tutur direktif bahasa Arab pada naskah drama Syamsu An-Nahār karya Taufīq AlḤakīm. 1.3
Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan, penelitian ini
bertujuan untuk menginventarisasi bentuk ungkapan tindak tutur direktif bahasa Arab, mendeskripsikan dan menjelaskan kategori kesantunan tindak tutur direktif bahasa Arab pada naskah drama Syamsu An-Nahār karya Taufīq Al-Ḥakīm. 1.4
Tinjauan Pustaka Sejauh pengamatan penulis, kajian tentang kesantunan tindak tutur direktif
sebelumnya pernah diteliti oleh Novianti (2008) dalam tesisnya yang berjudul
4
“Tindak Tutur Direktif dalam Bahasa Melayu Sambas”. Pada penelitian tersebut dijelaskan bahwa wujud tuturan direktif dalam bahasa Melayu dialek Sambas berkonstruksi imperatif, deklaratif dan interogatif. Wujud tuturan tersebut mengandung 9 makna, yaitu: (1) perintah, (2) suruhan, (3) permohonan atau harapan, (4) ajakan, (5) larangan, (6) pembiaran, (7) permintaan, (8) anjuran dan (9) menyule`. Selain itu, wujud kesantunan pemakaian tuturan direktif dalam bahasa Melayu dialek Sambas terbagi menjadi dua, yaitu (1) wujud kesantunan berdasarkan ciri linguistik (kesantunan linguistik), (2) wujud kesantunan berdasarkan ciri nonlinguistik (kesantunan pragmatik). Puspitasari (2009) juga pernah meneliti tindak tutur direktif dalam skripsinya yang berjudul “Penggunaan Strategi Kesantunan dalam Tindak Tutur Direktif pada Novel Memoirs of a Geisha Karya Arthur Golden”. Pada penelitian tersebut dinyatakan bahwa tuturan direktif dalam bentuk menyuruh (order) merupakan tuturan yang paling sering digunakan dalam tuturan novel Memoirs of a Geisha karya Arthur Golden. Penelitian tersebut memiliki kecenderungan penggunaan strategi kesantunan Brown dan Levinson (1987) yaitu strategi langsung tanpa basa-basi. Kemudian, penulis menemukan strategi kesantunan positif yang digunakan oleh penutur untuk mengungkapkan tuturan direktif seperti order, request, advise, tell, invite, suggest, instruct. Mahmud (2010) dalam bukunya yang berjudul “Al-afʻa>lu Al-Inja>ziyatu fi>
Al-Arabyyati Al-Muʻa>s}irati” memaparkan bahwa bentuk-bentuk tindak tutur direktif meliputi: “T}alabiyyah dan nafsiyyah. T}alabiyyah meliputi (1) t}alabu al-
ada>'i awi at-tarki (igra>', amr, isti'z|a>n, istiʻt}a>f, iqtira>h}, iltima>s, tah{z|i>r, tah}rid},
5
tah}d}i>d}, takhyi>r, tasyji>ʻ, tanbi>h, tahdi>d, taubi>kh, tawassul, duʻa>' (duʻa>' ʻalaihi dan duʻa>' lah), qasam, nus}h}, nahi>, dan wasyyah. (2) Talabu al-iqba>li (istiga>s|ah, nida>', nudbah, dan ʻard}). (3) T}alabu al-fahmi (istifta>', istifha>m, dan isti>d}ah> }). Nafsyyah meliputi istibt}a>', tah}addin, tahakkum, taʻjiz, syatm, syakwa> (taz}allum),
t}ama'anah, mawa>sa>h, mah}as> abah, maz}a>h, dan ʻita>b).” Kesantunan dalam tindak tutur direktif juga pernah diteliti oleh Santoso, Mardikantoro, dan Herwanti (2011) dalam penelitian mereka yang berjudul “Kode dan Kesantunan dalam Tindak Tutur Direktif pada Rapat Dinas: Kajian Sosiopragmatik Berperseptif Jender dan Jabatan”. Pada penelitian tersebut dijelaskan bahwa penggunaan kode TTD, berupa kode Indonesia secara dominan, baik baku maupun tidak baku, dan sebagian kecil berupa campur kode. Realisasi kesantunan berbahasa, baik pemimpin rapat maupun peserta rapat (laki-laki) dalam ber-TTD cenderung menggunakan tindak tutur langsung, baik berpenanda kesantunan (misalnya tolong, harap, mari, silakan, penggunaan partikel –lah) maupun tidak berpenanda kesantuanan. Sari (2011) juga pernah meneliti kesantunan tindak tutur direktif dalam skripsinya yang berjudul “Tindak Tutur Direktif dan Kesantunan Negatif dalam Reality show Minta Tolong di Rajawali Citra Televisi Indonesia”. Pada penelitian tersebut dinyatakan bahwa wujud tindak tutur direktif yang terdapat dalam RSMT sebanyak tujuh jenis, yaitu: tindak tutur meminta, menasihati, menyarankan, melarang, memperingatkan, mengingatkan dan membujuk. Sedangkan realisasi strategi kesantunan negatif yang terdapat dalam RSMT ada lima, yaitu menggunakan ungkapan secara tidak langsung, menggunakan pertanyaan
6
berpagar, meminimalkan paksaan, memberi penghormatan, dan menghindari penyebutan penutur dan lawan tutur. Hal yang sama juga pernah diteliti oleh Ardhiarta (2012) dalam skripsinya yang berjudul “Kesantunan Berbahasa dalam Interaksi Sosial di Pondok Pesantren Darul Ulum Jombang: Suatu Kajian Pragmatik”. Pada penelitian tersebut dinyatakan bahwa beberapa faktor yang melatarbelakangi kesantunan berbahasa yaitu: pertama, jarak sosial antara penutur dan lawan tutur. Kedua, status sosial antara penutur dan lawan tutur. Ketiga, tindak tutur didasarkan atas kedudukan relatif tindak tutur yang satu dengan yang lainnya. Keempat, adanya sikap tawad}u’, hormat dan santun. Kelima, adanya ilmu Ladunni. Adapun naskah drama Syamsu An-Nahār sebagai objek material, sejauh pengamatan penulis pernah diteliti oleh Mukaromah (2012) dalam skripsinya yang berjudul “Nasihat dalam Drama Syamsu An-Nahār Karya Taufīq Al-Ḥakīm Kajian Semiotik”. Pada penelitian tersebut dinyatakan bahwa nasihat yang terkandung dalam drama Syamsu An-Nahār berdasarkan kajian semotik Riffaterre berupa, (1) percaya kepada Allah SWT, (2) menuntut ilmu, (3) teguh pendirian, (4) bertanggung jawab, (5) percaya diri, (6) sabar, (7) qana’ah, (8) rendah hati, (9) mandiri, (10) tidak berlebih-lebihan, (11) adil, (12) jujur, (13) tolong menolong, (14) tidak menyia-nyiakan kesempatan, (15) saling menyanyangi antarsesama makhluk hidup, (16) menjaga lisan, (17) menghormati orang tua, (18) mengerjakan sesuatu yang lebih bermanfaat, (19) menahan diri dari sikap amarah, (20) kerja keras, dan (21) kewaspadaan dalam hidup.
7
Penelitian kesantunan tindak tutur direktif pada tulisan ini, berbeda dengan penelitian sebelumnya. Perbedaan tersebut terletak pada objek penelitian yang dikaji. Pada penelitian ini, diambil kesantunan tindak tutur direktif pada sebuah karya sastra yang berbentuk naskah drama berbahasa Arab, yaitu naskah drama Syamsu An-Nahār karya Taufīq Al-Ḥakīm yang sebelumnya belum pernah diteliti dengan pembahasan yang sama. Perbedaan pada objek material itulah yang nantinya akan memunculkan perbedaan pada hasil penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya. 1.5
Landasan Teori Beberapa para ahli mendefinisikan istilah pragmatik sebagai berikut:
menurut Yule (2006:3), pragmatik merupakan studi yang mempelajari tentang maksud yang disampaikan oleh penutur dan ditafsirkan oleh pendengar. Sebagai akibatnya studi pragmatik lebih berhubungan dengan maksud tuturan-tuturan yang disampaikan oleh seseorang daripada makna leksikal dari tuturan-tuturan tersebut. Sehubungan dengan hal ini, Wijana (2010:4) menyatakan bahwa pragmatik adalah cabang linguistik atau ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal, yaitu bagaimana satuan kebahasaan itu digunakan dalam komunikasi. Konteks merupakan komponen yang sangat penting dalam kajian pragmatik. Leech (1993:20) menjelaskan bahwa konteks adalah latar belakang pengetahuan yang sama-sama dimiliki oleh penutur dan lawan tutur untuk membantu lawan tutur menafsirkan makna tuturan. Selain konteks, komponen lain yang penting dalam kajian pragmatik adalah penutur, lawan tutur dan tujuan tutur.
8
Tindak tutur merupakan salah satu pembahasan dalam kajian pragmatik. Dalam penelitian ini, penulis hanya mengkaji tindak tutur direktif. Searle (dalam Rohmadi, 2010:34-35) menyatakan bahwa direktif adalah tindak tutur yang dilakukan oleh penuturnya dengan maksud agar lawan tutur melakukan tindakan yang disebutkan dalam ujaran itu. Menurut Searle (dalam Leech, 1993:327) yang termasuk tuturan direktif adalah ask (meminta), beg (meminta dengan sangat), bid (memohon dengan sangat), command (memberi perintah), demand (menuntut), forbid (melarang), recommend (menganjurkan), dan request (memohon). Selain hal itu, menurut Wijana (2010:28-29), bentuk tindak tutur dapat dibedakan menjadi dua, yaitu tindak tutur langsung dan tindak tutur tidak langsung serta tindak tutur literal dan tindak tutur tidak literal. Tindak tutur langsung (direct speech act) adalah tindak tutur yang secara langsung diungkapkan oleh penutur kepada lawan tutur baik berupa kalimat berita, tanya, maupun perintah. Tindak tutur tidak langsung (indirect speech act) adalah tindak tutur untuk memerintah seseorang agar melakukan sesuatu secara tidak langsung. Biasanya menggunakan kalimat berita atau kalimat tanya agar orang yang diperintah tidak merasa bahwa dirinya diperintah. Sedangkan tindak tutur literal (literal speech act) adalah tindak tutur yang maksudnya sama dengan maknamakna yang menyusunnya. Tindak tutur tidak literal (nonliteral speech act) adalah tindak tutur yang maksudnya tidak sama dengan makna kata-kata yang menyusunnya. Leech, (1993:206-207) berpendapat bahwa sebuah wacana kontekstual, yaitu proses percakapan yang terikat konteks, akan berlangsung lancar apabila
9
peserta-peserta tutur memenuhi prinsip kesantunan yang terjabar dalam enam maksim, yaitu: (1) maksim kebijaksanaan (tact maxim) adalah aturan dalam pertuturan dengan cara meminimalkan kerugian terhadap lawan tutur dan memaksimalkan keuntungan bagi lawan tutur. (2) Maksim kedermawanan (generosty maxim) adalah pertuturan dengan meminimalkan keuntungan bagi diri sendiri dan memaksimalkan kerugian bagi diri sendiri. (3) Maksim pujian (approbation
maxim)
adalah
aturan
pertuturan
yang
meminimalkan
ketidakhormatan terhadap orang lain dan memaksimalkan pujian kepada orang lain. (4) Maksim kerendahan hari (modezty maxim) adalah aturan dalam pertuturan dengan memaksimalkan ketidakhormatan terhadap diri sendiri, dan meminimalkan rasa hormat terhadap diri sendiri. (5) Maksim kesepakatan (agreement maxim) adalah aturan dalam pertuturan dengan memaksimalkan kesetujuan terhadap orang lain. (6) Maksim kesimpatian (simpaty maxim) adalah aturan dalam pertuturan dengan memaksimalkan rasa simpati kepada orang lain, dan meminimalkan rasa antipati kepada orang lain. Prinsip kesantunan sangat erat kaitannya dengan parameter pragmatik yang berupa: (1) tingkat jarak sosial (distance rating) ditentukan berdasarkan ukuran parameter keakraban dan parameter perbedaan umur, jenis kelamin, dan latar belakang sosiokultural. Semakin jauh jarak sosial antara penutur dengan lawan tutur, tuturan yang digunakan akan cenderung semakin santun. Sebaliknya, semakin dekat jarak status sosial diantara keduanya, akan semakin berkurang peringkat kesantunan tuturan tersebut. (2) Tingkat status sosial (power rating) didasarkan atas kedudukan yang asimetrik antara penutur dan lawan tutur di
10
dalam konteks pertuturan. Di ruang praktik seorang dokter memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari seorang polisi. Akan tetapi, di jalan raya polisi dapat menilangnya bila sang dokter melakukan pelanggaran. Dalam konteks yang terakhir ini polisi memiliki status sosial yang lebih tinggi. (3) Tingkat peringkat tindak tutur (rank rating) didasarkan atas kedudukan relatif tindak tutur yang satu dengan tindak tutur yang lain. Misalnya, di dalam situasi normal meminjam mobil kepada seseorang mungkin dipandang tidak sopan, atau tidak mengenakan. Akan tetapi, di dalam situasi yang mendesak (darurat) semisal untuk mengantar orang sakit keras, tindakan itu wajar-wajar saja, Leech (dalam Rohmadi, 2010:22-23). Menurut Leech (1993:194-195) ada tiga skala yang dapat menunjukkan derajad kesantunan yang sesuai dengan situasi percakapan tertentu, yaitu: (1) skala untung-rugi, pada skala ini menunjuk kepada besar kecilnya kerugian dan keuntungan yang diakibatkan oleh sebuah tindak tutur pada sebuah pertuturan. Semakin tuturan tersebut merugikan diri penutur, akan dianggap semakin santun. Demikian sebaliknya, semakin tuturan itu menguntungkan diri penutur akan semakin dianggap tidak santun. (2) Skala kemanasukaan, skala ini menunjuk kepada panjang pendek atau banyak sedikitnya pilihan yang disampaikan penutur kepada lawan tutur. Semakin pertuturan itu memungkinkan lawan tutur menentukan pilihan yang banyak dan leluasa, akan dianggap semakin santun. Sebaliknya, apabila pertuturan itu sama sekali tidak memberikan kemungkinan memilih bagi si lawan tutur, tuturan tersebut akan dianggap tidak santun. Menurut Rahardi (2009:27), dikatakan demikian karena sebenarnya tuturan yang memberikan sejumlah pilihan itu memang memiliki kadar ketegasan atau
11
kelangsungan yang rendah. Sebaliknya, ketidakhadiran pilihan dalam sebuah pertuturan itu mengindikasikan tingkat kelangsungan atau ketegasan yang tinggi. (3) Skala ketidaklangsungan, skala ini menunjuk kepada peringkat langsung atau tidak langsungnya maksud sebuah tuturan. Semakin tuturan itu bersifat langsung akan dianggap semakin tidak santun. Demikian sebaliknya, semakin tidak langsung maksud sebuah tuturan, akan dianggap semakin santun. Berdasarkan tinjauan pustaka (1.4), bentuk-bentuk tindak tutur direktif sangatlah beragam, akan tetapi dalam penelitian ini membahas bentuk tindak tutur direktif langsung dan tidak langsung yang berupa ask (meminta), beg (meminta dengan sangat), bid (memohon dengan sangat), command (memberi perintah), demand (menuntut), forbid (melarang), recommend (menganjurkan), dan request (memohon) saja, karena dianggap lebih sederhana. Selain itu penelitian ini juga membahas kesantunan tindak tutur direktif kategori santun dan kategori tidak santun, dengan berdasar pada parameter pragmatik dan skala yang dapat menunjukkan derajad kesantunan tersebut di atas. 1.6
Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Objek material
dalam penelitian ini adalah naskah drama Syamsu An-Nahār karya Taufīq AlḤakīm. Objek formal dalam penelitian ini adalah kesantunan dalam tindak tutur direktif pada naskah drama Syamsu An-Nahār karya Taufīq Al-Ḥakīm. Menurut Sudaryanto (1993:5), tiga tahap upaya strategis dalam penelitian bahasa secara berurutan, yaitu: penyediaan data, penganalisisan data, dan penyajian hasil
12
analisis data yang bersangkutan. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan tiga tahapan yang telah disebutkan di atas. Pada tahap penyediaan data, naskah drama Syamsu An-Nahār karya Taufīq Al-Ḥakīm sebagai sumber data didapatkan dengan cara mengunduhnya melalui internet. Kemudian, tuturan-tuturan yang ada dalam naskah drama tersebut di simak, dibaca, dan diartikan ke dalam bahasa Indonesia. Tahap selanjutnya adalah pengumpulan data yang berupa tuturan yang mengandung tindak tutur direktif, dilakukan dengan membaca berulang-ulang tuturan-tuturan yang terdapat pada naskah drama tersebut. Setelah itu, tuturan-tuturan yang mengandung tindak tutur direktif diberi penanda, lalu dicatat dalam kertas folio dengan bulpoin, sesuai klasifikasi bentuk tindak tutur direktif (langsung atau tidak langsung) baik berupa ask, beg, bid, command, demand, forbid, recommend, dan request. Setelah data terhimpun dalam kertas folio, data tersebut kemudian diklasifikasikan sesuai dengan kategorinya, yaitu kategori santun dan kategori tidak santun. Klasifikasi data dilakukan untuk mendapatkan tipe-tipe data yang tepat dan cermat, untuk mempermudah analisis pada tahap-tahap selanjutnya. Setelah data terklasifikasi berdasarkan bentuk tindak tutur dan kategori kesantunan, data tersebut diketik dalam komputer, lalu ditransliterasikan ke dalam tulisan latin berdasarkan pedoman transliterasi yang dikeluarkan oleh Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Pada tahap analisis data, penulis menggunakan metode analisis kontekstual. Menurut Rahardi (2005:16), metode analisis kontekstual adalah caracara analisis yang diterapkan pada data dengan mendasarkan, memperhitungkan,
13
dan mengaitkan identitas konteks-konteks yang ada. Dalam hal ini, penafsiran tuturan selalu diawali dengan penyajian konteks. Konteks itu sendiri merupakan lingkungan (fisik maupun non-fisik) di mana entitas bahasa itu digunakan, Rahardi (2009:36). Konteks pada naskah drama Syamsu An-Nahār karya Taufīq Al-Ḥakīm diperoleh dari semua aspek di luar bahasa yang melatarbelakangi kesantunan dalam tindak tutur direktif yang dituturkan pada naskah drama tersebut. Tahap terakhir adalah tahap penyajian hasil analisis data. Penulis menggunakan metode informal yaitu penyajian hasil penelitian dipaparkan secara deskriptif dengan kata-kata biasa (Sudaryanto, 1993:145). Setelah itu, hasil analisis data dipaparkan dalam bentuk laporan penulisan. 1.7
Sistematika Penulisan Hasil penelitian ini disajikan dalam empat bab, yaitu: Bab I berisi
pendahuluan. Pendahuluan terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, sistematika penulisan, dan pedoman transliterasi. Bab II berisi tentang bentuk-bentuk tindak tutur direktif pada naskah drama Syamsu An-Nahār karya Taufīq Al-Ḥakīm. Bab III dipaparkan mengenai kategori kesantunan dalam tindak tutur direktif pada naskah drama Syamsu An-Nahār karya Taufīq Al-Ḥakīm, dan Bab IV berisi kesimpulan dan saran hasil penelitian.
14
1.8
Pedoman Translitrasi Arab-Latin Penulisan transliterasi Arab-Latin dalam penelitian ini menggunakan
pedoman transliterasi dari keputusan bersama Mentri Agama RI dan Mentri Pendidikan dan Kebudayaan RI no. 158 tahun 1987 dan no. 0543 b/U/1987. 1.
Konsonan Konsonan bahasa Arab dilambangkan dengan huruf hijaiyah/disebut huruf
Arab. Daftar huruf Arab dan lambang transliterasi dalam huruf latin akan disajikan dalam tabel berikut. Huruf Arab
Nama
Huruf Latin
Keterangan
ﺍ
Alif
tidak dilambangkan
Tidak dilambangkan
ب
Ba
B
Be
ﺖ
Ta
T
Te
ﺙ
Śa
Ṡ
S (dengan titik diatasnya)
ﺝ
Jim
J
Je
ﺡ
Ha
Ḥ
H (dengan titik di bawahnya)
ﺥ
Kha
Kh
Ka dan ha
د
Dal
D
De
ﺫ
Żal
Ż
Z (dengan titik di atasnya)
ﺭ
Ra
R
Er
ﺯ
Za
Z
Zet
ﺱ
Sin
S
Es
ﺶ
Syin
Sy
Es dan ye
ﺹ
Sad
Ṣ
S (dengan titik di bawahnya)
ﺽ
Dad
Ḍ
D (dengan titik di bawahnya)
ﻁ
Ta
Ṭ
T (dengan titik di bawahnya)
15
Huruf Arab
Nama
Huruf Latin
Keterangan
ﻈ
Za
Ẓ
Z (dengan titik di bawahnya)
ﻉ
‘Ain
‘
Koma terbalik (di atas)
ﻍ
Gain
G
Ge
ﻑ
Fa
F
Ef
ﻕ
Qaf
Q
Qi
ﻚ
Kaf
K
Ka
ل
Lam
L
El
ﻡ
Mim
M
Em
ن
Nun
N
En
ﻭ
Wawu
W
We
ه
Ha
H
Ha
ﺀ
Hamzah
ˋ
Apostrof, tetapi lambang ini tidak dipergunakan untuk hamzah diawal kata
ﻱ
Ya
Y
Ye
2.
Vokal Vokal bahasa Arab, terdiri dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal
rangkap atau diftong, dan vokal panjang. Vokal tunggal
Diftong
Vokal Panjang
Tanda
Latin
Tanda
Latin
Tanda
Latin
َ_
A
ي...َ
Ai
ى...َ ا...َ
Ā
ِ
I
و...َ
Au
ي...ِ
Ī
ُ_
U
و...ُ
Ū
16
3.
Tā Marbūtah Transliterasi untuk tā Marbūtah ada dua, yaitu: tā Marbūtah hidup atau
mendapat harakat fathah, kasrah, atau dammah, transliterasinya adalah /t/ dan tā
Marbūtah mati atau mendapat sukūn, transliterasinya adalah /h/. Kata terakhir dengan tā Marbūtah diikuti oleh kata yang menggunakan kata sandang al serta kedua kata itu terpisah, maka tā Marbūt}ah itu ditransliterasikan dengan /h/. Contoh : املدينة 4.
املنور ّ al-Madinah al-Munawwarah.
Syaddah Tanda Syaddah dilambangkan dengan huruf yang sama dengan huruf yang
diberi tanda syaddah tersebut. Contoh : نزل ّ : nazzala 5.
Kata Sandang Transliterasi kata sandang dibedakan atas kata sandang yang diikuti oleh
huruf syamsiyyah dan kata sandang yang diikuti oleh huruf qamariyyah. kata sandang yang diikuti oleh huruf syamsiyyah ditransliterasikan sesuai dengan bunyinya, yaitu huruf /I/ diganti dengan huruf yang sama dengan huruf yang langsung mengikuti kata sandang tersebut. Contoh : الشمس ّ : asy-syamsu Kata sandang yang diikuti huruf qamariyah ditransliterasikan sesuai dengan bunyinya, yaitu /I/ ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya. Contoh : القمر: al-qamar
17
6.
Hamzah Hamzah ditransliterasikan dengan apostrof jika terletak ditengah dan akhir
kata. Bila terletak di awal kata, ia tidak dilambangkan karena dalam tulisan Arab berupa alif. Contoh : إ ّن: inna, ويأخذ: ya'khużu, قرأ: qara'a 7.
Penulisan Kata Pada dasarnya setiap kata ditulis terpisah, tetapi untuk kata-kata tertentu
yang penulisannya dalam huruf Arab sudah lazim dirangkaikan dengan kata lain karena ada huruf atau harakat yang dihilangkan, maka transliterasinya dirangkaikan dengan kata lain yang mengikutinya. Contoh : الرازقني ّ 8.
وإ ّن اهلل هلو خري: Wa innallāha lahuwa khair ar-rāziqīn
Huruf Kapital Meskipun dalam sistem tulisan Arab tidak dikenal huruf kapital, tetapi
dalam transliterasinya huruf kapital digunakan dengan ketentuan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Contoh : إالّ رسول
و ما حممد: Wa
mā Muhammadun illā rasūl