BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Diabetes Melitus (DM) termasuk dalam kelompok 8 besar penyakit yang menyumbang kematian di dunia. Terdapat 2,3 juta kematian yang diakibatkan oleh DM di tahun 2004 (Dieren et al., 2010). DM merupakan kelompok penyakit degeneratif yang prevalensinya terus meningkat dari tahun ke tahun. Jumlah kasus diabetes dewasa di dunia mencapai 171 juta orang di tahun 2000, meningkat 11% dari estimasi sebelumnya. Diperkirakan pada tahun 2030 jumlah penderita DM di dunia akan sebesar 366 juta (Wild et al., 2004). Di Asia, lebih dari 110 juta orang menderita diabetes di tahun 2007 (Chan et al., 2009). Peningkatan jumlah penderita DM juga terjadi di Indonesia. Indonesia menempati urutan ke 9 negara dengan penderita DM terbesar di dunia. Sebanyak 7 juta penduduk di Indonesia tercatat menderita DM (International Diabetes Federation, 2009). Di tahun 2030, jumlah penderitanya diperkirakan mencapai 21,3 juta orang (Wild et al., 2004). Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013 menunjukkan prevalensi DM di Indonesia adalah sebesar 2,1 persen. Data nasional ini menunjukkan peningkatan hampir dua kali lipat apabila dibandingkan data RISKESDAS 2007 yang sebesar 1,1 persen (Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan RI, 2013)
1
Hampir 80% kasus DM adalah DM tipe 2 (Kementrian Kesehatan RI, 2009). Peningkatan Prevalensi DM tipe 2 (DMT2) terjadi di hampir semua provinsi di Indonesia. Di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), 3% penduduk dewasanya menunjukkan gejala-gejala DM (Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan RI, 2013). Sebagian pasien dengan gejala DM akan mendatangi Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP). Data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul memperlihatkan diagnosis DM selalu masuk dalam 10 besar penyakit di puskesmas. Tahun 2012, terdapat 8.068 kasus DM di puskesmas wilayah Kabupaten Bantul, sedangkan sebanyak 11.730 kasus dilayani di RSUD (Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul, 2013). Diabetes adalah penyakit kronis yang membutuhkan pengobatan dan perawatan jangka panjang. Depresi merupakan salah satu masalah yang timbul akibat tidak terkendalinya kadar gula darah (Al-muzien & Al-sowielem, 2014). Tingginya jumlah penderita DM diiringi dengan peningkatan kasus depresi pada penderita DM. Beberapa penelitian menunjukkan prevalensi depresi pada
penderita DM yang melebihi
prevalensi di populasi umum. Penelitian Anderson et al. (2001) menyimpulkan bahwa prevalensi depresi mayor pada penderita DM sebesar 11%. Angka yang hampir sama ditunjukkan oleh Collins et al., (2009) yakni sebesar 10,4-11,2 %. Di wilayah Asia prevalensinya beragam,
antara lain 30% di Bangladesh (Asghar et al., 2007) dan
14,7% di Pakistan (Zahid et al., 2008), Kondisi depresi pada pasien DM akan meningkatkan kejadian komplikasi mikro dan makrovaskuler, disabilitas, serta
mortalitas (Black et al, 2003). Untuk mencegah
2
morbiditas dan mortilitas akibat DM, dibutuhkan penanganan yang terus menerus dan multispesialistik, dikombinasi dengan edukasi,manajemen mandiri pasien, serta dukungan keluarga (American Diabetic Association, 2010). Mendeteksi depresi pada pasien diabetes berarti mencegah komplikasi penyakit yang diakibatkan ketidaktaatan pasien terhadap terapi. Gejala depresi yang ditemui pada seorang pasien diabetes hendaknya ditindaklanjuti dengan monitoring yang lebih ketat serta pendampingan baik oleh keluarga maupun dokter yang merawat (Dimatteo et al., 2000).
Keluarga memiliki peran penting dalam kesembuhan penyakit, terutama penyakit kronis. Penilaian terhadap fungsi keluarga pada pasien dengan penyakit kronis penting di lakukan oleh dokter keluarga. Hal ini bertujuan untuk membuat perencanaan terapi serta membantu keluarga tersebut mengatasi permasalahan yang dihadapi (McWhinney, 1997). Mengetahui adanya disfungsi dalam sebuah keluarga dapat membantu dokter keluarga dalam mencegah kejadian depresi pada pasien DM.
Fungsi keluarga dapat diukur menggunakan beberapa alat ukur. Salah satu yang telah digunakan selama puluhan tahun adalah kuesioner APGAR keluarga. Kuesioner ini telah dikenal luas di kalangan praktisi dan mahasiswa kedokteran keluarga. APGAR keluarga menilai persepsi pasien terhadap 5 fungsi keluarga, yaitu Adaptability, Partnership, Growth, Affection, and Resolve. Kuesioner ini banyak digunakan karena dapat dikerjakan dengan mudah dan cepat (Smilkstein, 1978). Kuesioner APGAR keluarga memiliki reliabilitas dan validitas yang cukup baik
(Smilkstein, 1978;
3
Shortridge-baggett, 2004). Meskipun begitu, penelitian beberapa tahun terakhir mulai mempertanyakan apa yang sebenarnya diukur oleh kuesioner ini (Gardner et al., 2001). B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka disusunlah pertanyaan penelitian sebagai berikut : “Adakah hubungan antara skor APGAR keluarga dan tingkat depresi pada pasien DMT2 di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama ?” C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara skor APGAR keluarga dan tingkat depresi pada pasien DMT2 di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini penting dilakukan untuk memberikan rekomendasi penggunaan skor APGAR keluarga di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama sebagai langkah awal untuk mengenali potensi kejadian depresi pada pasien DMT2. Hal ini merupakan salah satu penerapan prinsip holistik pelayanan dokter keluarga. E. Keaslian Penelitian Penelitian mengenai hubungan skor APGAR keluarga dan tingkat depresi pasien DMT2 di fasilitas kesehatan tingkat pertama belum pernah dilakukan sebelumnya. Penelitian serupa yang pernah dilakukan disajikan dalam tabel berikut :
4
Tabel 1 Penelitian serupa yang pernah dilakukan Judul Hubungan fungsi keluarga dengan kualitas hidup lansia (Sutikno, 2011)
Persamaan Menggunakan kuesioner APGAR untuk meniai fungsi keluaraga
Perbedaan Variabel : Fungsi keluarga dan Kualitas hidup lansia
Hasil Terdapat hubungan positif sangat kuat dan signifikan antara fungsi keluarga dan kualitas hidup lansia Keluarga yang disfungsional berperan dalam perkembangan penyakit mental seperti depresi dan gangguan disosiatif
Family functioning among depressive and dissociative (conversion) patients (Aamir et al., 2009)
Meneliti peran fungsi keluarga dalam kejadian depresi
Depresi diukur menggunakan skala hamilton Subyek penelitian pasien umum bukan DMT2
Family issues and family functioning of Japanese outpatients with type 2 diabetes (Takenaka, H. et al., 2013)
Meneliti peran fungsi keluarga pada pasien diabetes
Variabel : Fungsi keluarga dan pengendalian gula darah Instrumen : FACESKGIV-16
Fungsi keluarga yang seimbang mempengaruhi pengendalian gula darah
The relationship between depressive symptoms and family functioning in institutionalized elderly (Oliveira,S.C. et al, 2014)
Meneliti hubungan skor APGAR dan deepresi
Gejala depresi diukur menggunakan GDS (Geriatric Depression Scale)
Terdapat hubungan signifikan antara fungsi keluarga dan gejala depresi
5